Oleh :
KELOMPOK 2/ KELAS A1 (A14)
Fasilitator :
Erna Dwi Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat,serta kasih-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini
tepat waktu. Adapun tujuan dengan dibuatnya makalah ini sebagai syarat untuk
memenuhi nilai dalam mata kuliah Keperawatan Kritis 2.
Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini tidak dapat terlepas dari
bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1) Bu Erna Dwi Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep selaku fasilitator mata kuliah
Keperawatan Kritis;
2) Teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan tugas makalah ini.
Penulis,
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Kejadian trauma medulla spinalis lebih dominan terjadi pada pria usia muda
sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Pada usia sekitar 45 tahunlebih fraktur
banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan,
dan kecelakaan bermotor. Tetapiwanita juga sangat memungkinkan terkena
penyakit ini karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan
hormonal (menopause) (Reevs, Charlene J.,1999). Sedangkan syok spinal terjadi
sekunder akibat kerusakan pada medula spinalis (Kowalak, 2011).Syok pada
medula spinalis adalah keadaan disorganisasi fungsi medula spinalis yang
fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini timbul segera
setelah cedera dan berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu. Syok
spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah akibat dari kehilangan tonus
1
vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini
menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan
atau penampung dan kapiler organ splanknik(Tambayong, 2000).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mempelajari konsep teoritis dan asuhan keperawatan berdasarkan
study casetrauma medulla spinalis dan shock spinal.
1.2.2 Tujuan Khusus
2
1.3 Manfaat
Memberikan pengetahuan tentang asuhan keperawatan trauma medulla spinal
dan shock spinal dengan menggunakan konsep dan study case.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat, terletak didalam
canalis vertebralis dan merupakan lanjutan dari medulla oblongata danujung
caudalnya membentuk conus medullaris. Panjangnya pada pria sekitar 45cm
dan wanita 42-43 cm dengan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medula
spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki
sepasang saraf yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramen intervetebra
(lubang pada tulang vertebra). Saraf-saraf spinal diberi nama sesuai dengan
foramen intervertebra, kecuali saraf servical pertama yang keluar di antara tulang
oksipital dan vertebra servikal pertama. Dengan demikian, terdapat 8 pasang saraf
servikal (dan hanya tujuh vertebra servikalis), 12 pasang saraf torakalis, 5 pasang
saraf lumbalis, 5 pasang saraf sakralis, dan 1 pasang saraf koksigis (Akhyar,
2009). Segmen upper cervical & thoracal berbentuk silindris dan segmen lower
cervical dan lumbal berbentuk oval. Berawal dari dasar otak(atlas/V.C1), berakhir
setinggi L1-L2 (conus medullaris), ke bawah melanjutkandiri sebagai fillum
terminale. Di bawah Conus medullaris terbentuk anyaman akarsaraf (saraf tepi)
menyerupai ekor kuda (cauda equina).Saraf Spinal dilindungi oleh tulang
vertebra, ligamen juga oleh meningen spinal dan CSF (Muttaqin, 2008).
4
Pada potongan melintang medulla spinalis terdapat substansia grisea atau gray
matter (abu-abu) dan substansi alba atau white matter (putih). Bagian central
membentuk huruf H (Gray Matter) dan dikelilingi oleh white matter.
2 bagian medulla spinalis dipisahkan oleh septum medianus (dorsal/posterior) dan
fissura medianus (ventral/anterior). Sulcus dorsolateral (posterior) adalah pintu
masuk akar saraf posterior (sensorik) dan sulcus ventrolateral (anterolateral)
adalah pintu keluar akar saraf ventral (motorik). 3 area white matter: funikulus
posterior, funikulus lateralis, funikulus anterio.
a. Substansia grisea (gray matter)
1) Cornu Anterior (anterior horn cell/ AHC) berisi akar saraf motorik.
2) Cornu Intermediolateral terbatas pada regio thoracal dan upper lumbal.
3) Cornu Posterior (posterior horn cell/ PHC) berisi akar saraf sensorik
4) Canalis Centralis terletak di tengah substansia abu-abu,membagi
medulla spinalis menjadi 2 daerah commisura grisea anterior &
posterior
b. Substansia alba (white matter)
1) Berisi serabut-serabut sensorik, motorik dan otonom
2) Terdiri dari tiga area funikulus, yaitu
a) Anterior (berisi fasikulus descending/motorik)
b) Lateral (berisi fasikulus decsending & ascending)
c) Posterior (berisi fasikulus ascending/sensorik)
3) Tiap funikulus terdiri dari satu atau lebih traktus ataufunikulus
5
Medulla spinalis melewati dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus
desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang
bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara
umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat
mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1)
informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan
raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya
otot dan sendi (Akhyar, 2009)
Menurut Mahadewa & Maliawan (2009) medula spinalis diperdarahi oleh
2 susunan arteria yang mempunyai hubungan istimewa. Arteri - arteri spinal
terdiri dari arteri spinalis anterior dan posterior serta arteri radikularis.
a. Arteri spinalis anterior dibentuk oleh cabang kanan dan dari segmen
intrakranial kedua arteri vertebralis.
b. Arteri spinalis posterior kanan dan kiri juga berasal dari kedua arteri
vertebralis.
c. Arteria radikularis dibedakan menjadi arteria radikularis posterior dan
anterior.
6
Beberapa fungsi dari masing-masing sistem saraf adalah sebagai berikut:
Fungsi Otot Saraf
I. Pleksus servikalis C1 – C4
Fleksi, ekstensi, rotasi, Mm. koli profundi (M. Saraf servikalis
dan eksorotasi leher sternokleidomastoideus, M. C1-C4
trapezius)
Pengangkatan dada atas, Mm. Skaleni C3-C5
inspirasi
Inspirasi Diafragma Saraf frenikus
C3–C5
II. Pleksus brakhialis C5-T1
Aduksi dan endorotasi M. pektoralis mayor dan Saraf torakalis
lengan, minor anterior
Menurunkan bahu ke C5-T1
dorsoventral
Fiksasi skapula selama M. seratus anterior Saraf torakalis longus
mengangkat lengan C5-C7
Elevasi dan aduksi M. levator skapula, Saraf skapularis
skapula ke arah kolumna Mm. rhomboidei dorsal
spinalis C4-C5
Mengangkat dan M. supraspinatus Saraf supraskapularis
eksorotasi lengan C4-C6
7
Eksorotasi lengan M. teres minor C4-C5
Fleksi lengan atas dan M. biseps brakhii Saraf
bawah dan supinasi muskulokutaneus
lengan bawah C5-C6
M. korakobrakhialis
Elevasi dan aduksi C5-C7
lengan M. brakhialis
C5-C6
Fleksi lengan bawah
Fleksi dan deviasi radial M. fleksor karpi radialis Saraf medianus
tangan C5-C6
8
dan ekstensi sendi lain Jari II dan III tangan C8-T1
9
Ekstensi siku dan M. ekstensor karpi radialis C6-C8
abduksi radial tangan
Ekstensi falangs
proksimal jari II
Elevasi iga; ekspirasi; Mm. toracis dan abdominalis N. toracis
kompresi abdomen; T1-L1
anterofleksi dan
laterofleksi tubuh.
III. Pleksus lumbalis T12-L4
Fleksi dan endorotasi M. iliopsoas Saraf femoralis
10
pinggul L1-L3
M. sartorius L2-L3
Fleksi dan endorotasi
tungkai bawah
M. quadriseps femoris L2-L4
Ekstensi tungkai bawah
pada tungkai lutut
Aduksi paha M. pektineus Saraf obturatorius
M. aduktor longus L2-L3
M. aduktor brevis L2-L3
M. aduktor magnus L2-L4
M. grasilis L3-L4
L2-L4
Aduksi dan eksorotasi M. obturator eksternus L3-L4
paha
IV. Pleksus sakralis L5-S1
Abduksi dan endorotasi M. gluteus medius dan Saraf glutealis
paha minimus superior
L4-S1
M. tensor fasia lata
Fleksi tungkai atas pada L4-L5
pinggul; abduksi dan
endorotasi
M. piriformis
Eksorotasi paha dan L5-S1
abduksi
Ekstensi paha pada M. gluteus maksimus Saraf glutealis
pinggul, M. obturator internus inferior
Eksorotasi paha Mm. gemeli L4-S2
M. quadratus L5-S1
11
L4-S1
Fleksi tungkai bawah M. biseps femoris Saraf skiatikus
M. semitendinosus L4-S2
M. semimembranosus L4-S1
L4-S1
Dorsifleksi dan supinasi M. tibialis anterior Saraf peronealis
kaki profunda
M. ekstensor digitorum L4-L5
Ekstensi kaki dan jari-jari longus L4-S1
kaki
M. ekstensor digitorum L4-S1
Ekstensi jari kaki II-V brevis
L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki M. ekstensor halusis
longus L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki
M. ekstensor halusis brevis
Pengangkatan dan pronasi Mm. peronei Saraf peronealis
bagian luar kaki superfisialis
L5-S1
Fleksi plantar dan kaki M. gastroknemius Saraf tibialis
dalam supinasi, M. triseps surae L5-S2
Supinasi dan fleksi plantar M. soleus
dari kaki M. tibialis posterior
L4-L5
Fleksi falangs distal jari M. fleksor digitorum L5-S2
kaki II-V (plantar fleksi longus
kaki dalam supinasi)
12
Fleksi jari kaki II-V pada S1-S3
falangs tengah M. fleksor digitorum
brevis
Melebarkan, menutup, dan S1-S3
fleksi falangs proksimal
jari-jari kaki Mm. plantaris pedis
Menutup sfingter kandung Otot-otot perinealis dan Saraf pudendalis
kemih dan rectum sfingter S2-S4
13
Trauma medula spinalis bisa meliputi fraktur, kontusio, dan kompresi
kolumna vertebra yang biasa terjadi karena trauma pada kepala atau leher.
Kerusakan dapat mengenai seluruh medula spinalis atau terbatas pada salah
satu belahan dan bisa terjadi pada setiap level (Kowalak, 2011).
14
3. FRANKEL SCORE C: fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna
(dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
4. FRANKEL SCORE D: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak
dengan nomal "gait").
5. FRANKEL SCORE E: tidak terdapat gangguan neurologik.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan Inkomplit
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan dibawah lesi. Terdapat 5
sindrom utama cedera medula spinalis inkomplit menurut American Spinal
Cord Injury Association yaitu:
Nama Pola dari Lesi saraf Kerusakan
Sindroma
Central Cord Cedera pada posisi central dan Menyebar ke daerah sacral.
syndrome sebagian daerah lateral.
Kelemahan otot ekstremitas
Sering terjadi pada trauma atas lebih berat dari
daerah servikal ekstermitas bawah.
Anterior Cord Cedera pada sisi anterior dan Kehilangan perioperatif dan
Syndrome posterior dari medula spinalis. kehilangan fungsi motorik
secara ipsilateral
Cedera akan menghasilkan
gangguan medula spinalis
unilateral
Brown Sequard Kerusakan pada anterior dari Kehilangan fungsi motorik dan
Syndrome daerah putih dan abu-abu sensorik secara komplit.
medula spinalis.
Posterior Cord Kerusakan pada saraf lumbal Kerusakan sensori dan lumpuh
15
Syndrome atau sacral sampai ujung flaccid pada ekstremitas bawah
medulla spinalis dan kontrol berkemih dan
defekasi
16
2. Incomplete injury
Apabila masih terdapat fungsi sensorik dan motorik yang masih dalam
keadaan baik dibawah tingkat neurologis, termasuk pada segmen sacral
S4-S5 (Kirshblum dkk, 2011).
a. Complete transaction
Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla spinalis terputus
menyebabkan semua fungsi yang melibatkan medulla spinalis di
bawah level terjadinya transection semua terganggu dan terjadi
kerusakan permanen.
Secara klinis menyebabkan kehilangan kemampuan motorik berupa
tetraplegia pada transeksi cervical dan paraplegia jika terjadi pada
level thorakal. Terjadi flaksid otot, hilangnya refleks dan fungsi
sensoris dibawah level trabsseksi. Kandung kemih dan susu atoni
sehingga menyebabkan ileus paralitik. Kehilangan tonus vasomotor
area tubuh dibawah lesi menyebabkan tekanan darah rendah dan tidak
stabil. Kehilangan kemampuan perspirasi menyebabkan kulit kering
dan pucat, juga terjadi gangguan pernapasan.
17
Gambar Complete Transection
18
b. Incomplete transaction : Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada
ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan
kehilangan sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah
adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis
stenosis servikal sebelumnya. Dari anamnesis didapatkanadanya riwayat
jatuh kedepan dengan dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau
tanpa fraktur tulang servikal atau dislokasi.
19
pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan
paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.
20
level trauma (traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan trauma
tembus langsung ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi
perbaikan.
Kondisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level lesi disertai kehilangan fungsi
sensoris sentuhan, tekanan, getaran dan posisi. Terjadi gangguan kehilangan
sensoris nyeri dan suhu kontralatetal.
21
1. Cedera medula spinalis traumatik
Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Cedera medula spinalis traumatic ditandai sebagai lesi traumatik
pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau
paralisis.
2. Cedera medula spinalis non traumatik
Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor
mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang
terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup
penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
22
Usia yang sudah memasuki masa lansia atau di atas 60 tahun akan
cenderung mengalami proses penuaan, sehingga fungsi tulangnya juga
menurun, hal ini dapat mengakibatkan trauma patologis pada medula
spinalis.
2. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih cenderung banyak yang terkena trauma medula spinalis
karena faktor pekerjaan dan gaya hidup.
3. Alkohol
Alkohol dapat mengurangi kepadatan tulang dan mengakibatkan
peningkatan fraktur, atau gangguan tulang lainnya yang akhirnya
menyebabkan tulang belakang rentang terhadap trauma pada medula
spinalis.
4. Merokok
Pada orang yang merokok proses pengeropoasan tulang tulang lebih
cepat, dan tingkat fraktur vertebra pinggul dan lebih tinggi, di antara
orang-orang yang merokok. Tembakau, nikotin, dan bahan kimia lain
yang ditemukan dalam rokok mungkin langsung beracun ke tulang, atau
mereka menghalangi penyerapan kalsium dan lain gizi yang diperlukan
untuk kesehatan tulang. Sehingga tulang belakang juga sangat rentan
terkena penyakit dan mudah terjadi trauma ketika mendapat benturan atau
kecelakaan.
5. Minum Obat saat Berkendara
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera
tulang belakang untuk orang dewasa, sementara jatuh adalah penyebab
paling tinggi cedera pada orang dewasa yang sudah tua. Dengan
meminum obat obatan dengan efek samping mengantuk, maka kesadaran
seseorang akan menurun dan akan mengganggu konsentrasi dalam
berkendara.
6. Penyakit Osteomyelitis dan Spondilitis TB
Pada penyakit osteomielitis dan spondilitis TB bisa terjadi komplikasi
fraktur patologis. Hal ini terjadi pada keadaan osteomielitis vertebra yang
23
akan menyebabkan kolaps vertebra dan kompresi medula spinalis.
Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya cedera pada tulang belakang.
24
Hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan
prospriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal
dan reflex autonom. Batas cedera medulla spinalis, tanda dan gejala :
25
motorik pada klavikula dan utuh kemih
bagian lengan bagian lengan
dan tangan serta tangan
26
kaki menginervasi
L4-S2: fleksi tungkai bawah,
lutut kaki dan
S1-S2: fleksi perineum
plantar S1-S2:
(sentakan
pergelangan
kaki)
S2-S5: kontrol
usus/kandung
kemih
a. Perubahan reflex
27
Setelah cedera medulla spinalis terjadi edema medulla spinalis sehingga
stimulus reflex juga terganggu misalnya reflex pada bladder, aktivitas
visceral, reflex ejakulasi.
b. Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit transversal,
dimana pasien terjadi ketidakmampuan melakukan pergerakan.
c. Spinal shock
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flaccid paralisis dibawah garis
kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks-refleks spinal, hilangnya
tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak
adanya keringat dibawah garis kerusakan dan inkontinensia urin dan retensi
feses.
d. Autonomic dysreflexia
Autonomic dysreflexia terjadi pada cidera thorakal enam ke atas, dimana
pasien mengalami gangguan refleks autonom seperti terjadinya bradikardi,
hipertensi paroksimal, distensi bladder.
e. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi, menurunnya
sensasi dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat
ejakulasi.
28
b. Foto rontgen thorak, memperlihatkan keadan paru (contoh: perubahan
pada diafragma, atelektasis)
4. Bila hasil meragukan lakukan CT-Scan,bila terdapat defisit neurologi
harus dilakukan MRI atau mielografi.
a. CT-Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
d. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
5. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur
volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma
servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada
saraf frenikus /otot interkostal).
6. GDA: Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
7. Serum kimia, adanya hiperglikemia atau hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan Hmt.
8. Urodinamik, proses pengosongan bladder.
29
c. Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas
bladder.
d. Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk meningkatkan
tonus leher bradder.
e. Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan
uretra.
f. Agen antiulcer seperti ranitidine
g. Pelunak fases seperti docusate sodium.
5. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur
dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.
6. Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi cacat dan
mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.
30
Algoritma Medula Spinal
31
2.2.8 Komplikasi Medulla Spinalis
Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu
instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca
trauma, nyeri dan gangguan fungsi seksual. Komplikasi lain yang bisa terjadi yaitu:
1. Neurogenik shock
2. Hipoksia
3. Instabilitas spinal
4. Ileus paralitik
5. Infeksi saluran kemih
6. Kontraktur
7. Dekubitus
8. Konstipasi
Faktor –faktor resiko dominan untuk cedara medulla spinalis meliputi usia, jenis
kelamin, dan penyalahgunaan obat. Frekuensi factor resiko ini dikaitkan dengan
cedera medulla spinalis bertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan
32
primeruntuk mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah – langkah berikut
perlu dilakukan:
33
2.3.2 Etiologi Syok Spinal
Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS.
Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan hambatan
hantaran simpatik dari pusat vasomotor pada otak. Dan penyebab utamanya
adalah SCI . Syok neurogenik keliru disebut juga dengan syok tulang
belakang. kondisi berikutnya mengacu pada hilangnya aktivitas neurologis
dibawah tingkat cedera tulang belakang, tetapi tidak melibatkan perfusi
jaringan tidak efektif.
Tipe syok ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang menstimulasi
parasimpatik atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vaskular. Trauma
pada syaraf spinal atau medulla dan kondisi yang mengganggu suplai oksigen
atau gulokosa ke medulla menyebabkan syok neorogenik akibat gangguan
aktivitas simpatik. Obat penenang, anestesi, dan stres hebat beserta nyeri juga
merupakan penyebab lainnya.
34
Syok spinal adalah kombinasi dari arefleksia / hiporefleksia dan disfungsi
otonom yang menyertai cedera tulang belakang. Hiporefleksia diawali dengan
hilangnya refleks cutaneus dan reflek tendon dalam (deep tendon reflexes)
disertai dengan hilangnya aliran simpatis, mengakibatkan hipotensi dan
bradikardia. Refleks umumnya kembali dalam pola tertentu, dengan refleks
cutaneus umumnya kembali sebelum refleks tendon dalam (Silver,2000).
Ko et AL telah dijelaskan pola tertentu kembalinya refleks dan yang
pertama kembali adalah Delayed Plantar Reflex (DPR), diikuti oleh
bulbocavernosis (BC) dan cremasteric reflex (CR), dan akhirnya reflek
pergelangan kaki dan lutut (AJ, KJ). Bulbocavernosous reflex (BCR) diperiksa
untuk menentukan akhir dari syok spinal. Menarik pada kateter Foley juga
dapat menimbulkan Bulbocavernosous reflex (BCR) (Ko et Al,2000). Hal ini
biasanya kembali 1 sampai 3 hari setelah cedera. Terdapat 4 fase shok spinal
yaitu:
1. Fase I: areflexia/hyporeflexia (0–1 hari)
Fase pertama terjadi 0-24 jam setelah cedera. Bila SCI (Spinal Cord
Injury) Complete, diawali dengan hilangnya DTR(deep tendon reflexes)
seperti ankle jerk (AJ) atau refleks Achilles dan knee jerk (KJ) atau
refleks patella disertai otot yang lemah dan lumpuh. Selama periode ini
reflek cutenous (polysynaptic) mulai pulih seperti bulbocavernosus (BC),
Anal Wink (AW), dan cremasteric (CM). Refleks patologis, Delayed
Plantar Response (DPR) yang pertama kembali dan dapat diamati setelah
beberapa jam setelah cedera. Saat terjadi SCI, rangsangan menjadi hilang
dan neuron spinal menjadi tidak terangsang. Ini merupakan penyebab
utama depresi refleks selama syok spinal. Refleks depresi mungkin juga
karena peningkatan penghambatan tulang belakang. Hiperpolarisasi
lumbar neuron motorik dan interneuron kemudian kurang merespon
untuk refleks input segmental. Secara klinis, ini adalah hiporefleksia syok
spinal. Hiporefleksia diamati dengan lesi di bawah level mid-pons; lesi di
atas tingkat ini menghasilkan kekakuan deserebrasi. hiporefleksia shock
spinal, bagaimanapun, segera muncul setelah SCI. Jadi, meskipun
35
perubahan metabolik dan struktural dapat berkontribusi untuk awal
hiporefleksia, ini mungkin bukan penyebab utama.
2. Fase 2 initial reflex return (1–3 hari)
Fase ini syok spinal berlangsung selama 1-3 hari postinjury. Refleks
cutaneous (BC, AW, dan cremasteric) menjadi lebih kuat selama periode
ini. Biasanya, DTR masih tidak ada. Pada fase ini akan terjadi mekanisme
denervasi supersensitivity yang meliputi: (1) mengurangi rangsang
neurotransmitter reuptake, (2) peningkatan sintesis dan masuknya
reseptor dalam membran postsinaps (3) menurunkan pelepasan
danpenurunan reseptor, dan (4) mengubah sintesis dan komposisi subunit
reseptor.
3. Fase 3 early hyper-reflexia (4 hari-1 bulan)
Kebanyakan DTR pertama muncul kembali selama periode ini. AJ
biasanya kembali lebih dulu daripada KJ dan tanda Babinski. Refleks
cutaneous (BC, AW, dan CM) biasanya muncul pada akhir periode ini.
Meskipun pada umumnya, waktu pengembalian refleks bervariasi bahkan
setelah SCI complete karena perbedaan rangsangan refleks antara subyek.
Fungsi otonom terus berkembang dengan membaiknya saraf vagus
dimediasi bradiaritmia dan hipotensi. Disrefleksia otonom dapat mulai
muncul. Hal ini biasanya disebabkan oleh viskus membesar (misalnya,
kandung kemih atau usus) bertindak sebagai stimulus menyebabkan
aliran simpatis masif di bawah zona cedera, yang tidak diatur oleh Input
supraspinal.
4. Fase 4 spasticity/hyper-reflexia (1–12 bulan)
Tahap keempat syok spinal terjadi antara 1 dan 6 bulan pasca cedera.
DPR telah menghilang di sebagian besar kasus. Refleks kulit, DTR, dan
BS menjadi hiperaktif dan menanggapi rangsangan minimal. Vasovagal
hipotensi dan bradiaritmia diselesaikan dalam 3-6 minggu. Kemudian 4
hari-4 minggu pertumbuhan sinaps, akson pendek dan / atau akson
disediakan. Setelah itu 1-12 bulan pertumbuhan sinaps, akson panjang
dan soma disediakan. (Ditunno, Little, Tessler, & Burns, 2004)
36
Tabel Mekanisme 4 Fase Syok Spinal (Ditunno et al., 2004)
2.3.4 Manifestasi Klinis Syok Spinal
Hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu
didalam tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian
tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal
akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah (Corwin, 2009).
37
6. Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka panjang seperti
komplikasi pada kulit, system reproduksi, dan system perkemihan dengan
melibatkan anggota keluarga (Corwin, 2009).
Sedangkan menurut Batticaca dan Fransisca B (2008) penatalaksanaan
syok spinal yaitu :
1. Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara
teratur agarmencegah terjadinya inkontinensia overfloe dan dribbling.
2. Lakukan pengosongan rectum dengan cara tambahkan diet tinggi serat,
laksatif, supposutoria, enema untuk BAB atau pengosomngan secara
teratur tanta terjai inkontinensia.
38
9. Amati terhadap trombosis vena dalam, yakni embolisme pulmonal.
Gejala-gejalanya termasuk nyeri dada pleuritik, ansietas, sesak napas, dan
nilai gas darah abnormal.
10. Berikan terapi antikoagulan dosis rendah untuk mencegah TVD dan EP
11. Gunakan stoking elastis setinggi paha atau alat kompresi pneumatik.
39
2.3.6 Komplikasi Syok Spinal
1. Henti nafas karena kompresi saraf frenikus diantara C3 dan C5
akibat kerusakan dan pembengkakan pada area cedera.
2. Hiperrefleksia otonom ditandai dengan tekanan darah yang tinggi
disertai bradikardi, serta berkeringat dan kemerahan pada kulit
wajah.
3. Cedera yang lebih berat akan mempengaruhi system tubuh, hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya infeksi pada ginjal dan saluran
kemih, kerusakan kulit hingga terjadi dekubitus, danterjadi atrofi
pada otot.
4. Depresi, stress pada keluarga dan pernikahan, kehilangan
pendapatan, serta biaya medis yang besar sebagai respon dari
psikososial (Corwin, 2009).
40
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Trauma Medulla Spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis akibat trauma
langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga mengakibatkan
gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek. Sedangkan syok spinal
adalah kerusakan medulla spinalis sekunder yang menyebabkan kehilangan
aktifitas otonom, reflex, motoric, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat
terjadinya medulla spinalis.
Baik trauma medulla spinal dan syok spinal keduanya membutuhkan
penanganan yang tepat. Perawat mempunyai peran penting dalam tindakan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam kasus trauma medulla spinalis
dan syok spinal.
3.2 Saran
Bagi petugas pelayanan kesehatan lebih memperhatikan klien dengan kasus
trauma medulla spinalis dan syok spinal untuk mencegah komplikasi dari kedua
kasus tersebut serta menurunkan angka kematian disebabkan oleh trauma medulla
spinalis ataupun syok spinal.
41
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
42
Tidy, C. 2014. Spinal Cord Injury and Compression. EMIS Egton Medical
Information System.
Lawrence S Chin, Robert B and Molly G King Endowed. 2014. Spinal Cord
Injuries. Medscape Medical News.(Online),
http://emedicine.medscape.com/article/793582, diakses tanggal 24
Februari 2018.
Ziu, Endrit & Fassil B. Mesfin. 2017. Spinal Shock. Columbia: NCB
43