Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN TRAUMA MEDULLA SPINALIS DAN SPINAL SHOCK

Oleh :
KELOMPOK 2/ KELAS A1 (A14)

Fasilitator :
Erna Dwi Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep

Lutvi Choirunissa 131411131002


Shanti Indah Lestari 131411131036
Astrid Anggreswari Nur S. 131411131042
Anissa Zuchrufiany 131411131045
Navisha Khoirunisa 131411131056
Eva Dwi Agustin 131411131057
Retno Dwi Agustin 131411131058
Titin Paramida 131411131099
Elisa Maria Wahyuni 131411133028

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat,serta kasih-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini
tepat waktu. Adapun tujuan dengan dibuatnya makalah ini sebagai syarat untuk
memenuhi nilai dalam mata kuliah Keperawatan Kritis 2.
Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini tidak dapat terlepas dari
bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1) Bu Erna Dwi Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep selaku fasilitator mata kuliah
Keperawatan Kritis;
2) Teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan tugas makalah ini.

Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi


pembaca pada umumnya dan bagi kami pada khususnya.
Kami menyadari masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini, oleh
karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun akan kami terima dengan
senang hati.

Penulis,

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semakin banyaknya angka kejadian kecelakaan lalu lintas maka trauma


medulla spinalis kerap terjadi.Trauma medulla spinalis adalah trauma seringkali
mengenai daerah L1-L2 dan/atau di bawahnya, trauma ini mengakibatkan
kerusakan fungsi neurologis, hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.(Marilynn E. Doenges,1999;338).
Karena kondisi trauma pada medulla spinalis serta persyarafan akan mencetuskan
kejadian syok spinal, dimana syok spinal yaitu suatu keadaan kehilangan aktifitas
otonom, reflek motorik, dan sensorik pada daerah dibawah tingkat terjadinya
medulla spinalis (Kowalak, 2011).

Setiap tahun di Amerika Serikat sekitae 7.600 sampai 10.000 individu


mengalami trauma medulla spinalis. Pada tahun 2004 Cristopher & Dana Reeve
Foundation bekerjasama dengan Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) melakukan penelitian dimana hasilnya sekitar 0,4% dari populasi Amerika
serikat atau sekitar 1.275.000 orang mengalami paralisis dikarenakan oleh trauma
medulla spinalis. Hal ini menandakan bahwa sekunder syok spinal juga banyak
terjadi.

Kejadian trauma medulla spinalis lebih dominan terjadi pada pria usia muda
sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Pada usia sekitar 45 tahunlebih fraktur
banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan,
dan kecelakaan bermotor. Tetapiwanita juga sangat memungkinkan terkena
penyakit ini karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan
hormonal (menopause) (Reevs, Charlene J.,1999). Sedangkan syok spinal terjadi
sekunder akibat kerusakan pada medula spinalis (Kowalak, 2011).Syok pada
medula spinalis adalah keadaan disorganisasi fungsi medula spinalis yang
fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini timbul segera
setelah cedera dan berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu. Syok
spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah akibat dari kehilangan tonus

1
vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini
menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan
atau penampung dan kapiler organ splanknik(Tambayong, 2000).

Klien yang mengalami trauma medulla spinalis membutuhkan perhatian lebih


diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL danmobilisasi. Begitu juga dengan
spinal shock dimana membutuhkan terapi fisik dan kolaborasi pembedahan. Maka
dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien dengan trauma medulla spinalis dan spinal syok
dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mempelajari konsep teoritis dan asuhan keperawatan berdasarkan
study casetrauma medulla spinalis dan shock spinal.
1.2.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahuianatomi fisiologi medulla spinal


2) Mengetahui definisitrauma medulla spinal dan shock spinal.
3) Mengetahui etiologi trauma medulla spinal dan shock spinal.
4) Mengetahui patofisiologi trauma medulla spinal dan shock spinal.
5) Mengetahui manfestasi klinis trauma medulla spinal dan shock
spinal.
6) Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada klien dengan trauma
medulla spinal dan shock spinal.
7) Mengetahui penatalaksanaan pada klien dengan trauma medulla
spinal dan shock spinal.
8) Mengetahuikomplikasi pada klien dengan trauma medulla spinal
dan shock spinal.
9) Mengetahui prognosis pada klien dengan trauma medulla spinal
dan shock spinal.
10) Mengetahui asuhan keperawatan klien dengan trauma medulla
spinal dan shock spinal.

2
1.3 Manfaat
Memberikan pengetahuan tentang asuhan keperawatan trauma medulla spinal
dan shock spinal dengan menggunakan konsep dan study case.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologis Medulla Spinalis

Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat, terletak didalam
canalis vertebralis dan merupakan lanjutan dari medulla oblongata danujung
caudalnya membentuk conus medullaris. Panjangnya pada pria sekitar 45cm
dan wanita 42-43 cm dengan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medula
spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki
sepasang saraf yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramen intervetebra
(lubang pada tulang vertebra). Saraf-saraf spinal diberi nama sesuai dengan
foramen intervertebra, kecuali saraf servical pertama yang keluar di antara tulang
oksipital dan vertebra servikal pertama. Dengan demikian, terdapat 8 pasang saraf
servikal (dan hanya tujuh vertebra servikalis), 12 pasang saraf torakalis, 5 pasang
saraf lumbalis, 5 pasang saraf sakralis, dan 1 pasang saraf koksigis (Akhyar,
2009). Segmen upper cervical & thoracal berbentuk silindris dan segmen lower
cervical dan lumbal berbentuk oval. Berawal dari dasar otak(atlas/V.C1), berakhir
setinggi L1-L2 (conus medullaris), ke bawah melanjutkandiri sebagai fillum
terminale. Di bawah Conus medullaris terbentuk anyaman akarsaraf (saraf tepi)
menyerupai ekor kuda (cauda equina).Saraf Spinal dilindungi oleh tulang
vertebra, ligamen juga oleh meningen spinal dan CSF (Muttaqin, 2008).

4
Pada potongan melintang medulla spinalis terdapat substansia grisea atau gray
matter (abu-abu) dan substansi alba atau white matter (putih). Bagian central
membentuk huruf H (Gray Matter) dan dikelilingi oleh white matter.
2 bagian medulla spinalis dipisahkan oleh septum medianus (dorsal/posterior) dan
fissura medianus (ventral/anterior). Sulcus dorsolateral (posterior) adalah pintu
masuk akar saraf posterior (sensorik) dan sulcus ventrolateral (anterolateral)
adalah pintu keluar akar saraf ventral (motorik). 3 area white matter: funikulus
posterior, funikulus lateralis, funikulus anterio.
a. Substansia grisea (gray matter)
1) Cornu Anterior (anterior horn cell/ AHC) berisi akar saraf motorik.
2) Cornu Intermediolateral terbatas pada regio thoracal dan upper lumbal.
3) Cornu Posterior (posterior horn cell/ PHC) berisi akar saraf sensorik
4) Canalis Centralis terletak di tengah substansia abu-abu,membagi
medulla spinalis menjadi 2 daerah commisura grisea anterior &
posterior
b. Substansia alba (white matter)
1) Berisi serabut-serabut sensorik, motorik dan otonom
2) Terdiri dari tiga area funikulus, yaitu
a) Anterior (berisi fasikulus descending/motorik)
b) Lateral (berisi fasikulus decsending & ascending)
c) Posterior (berisi fasikulus ascending/sensorik)
3) Tiap funikulus terdiri dari satu atau lebih traktus ataufunikulus

5
Medulla spinalis melewati dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus
desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang
bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara
umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat
mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1)
informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan
raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya
otot dan sendi (Akhyar, 2009)
Menurut Mahadewa & Maliawan (2009) medula spinalis diperdarahi oleh
2 susunan arteria yang mempunyai hubungan istimewa. Arteri - arteri spinal
terdiri dari arteri spinalis anterior dan posterior serta arteri radikularis.
a. Arteri spinalis anterior dibentuk oleh cabang kanan dan dari segmen
intrakranial kedua arteri vertebralis.
b. Arteri spinalis posterior kanan dan kiri juga berasal dari kedua arteri
vertebralis.
c. Arteria radikularis dibedakan menjadi arteria radikularis posterior dan
anterior.

6
Beberapa fungsi dari masing-masing sistem saraf adalah sebagai berikut:
Fungsi Otot Saraf
I. Pleksus servikalis C1 – C4
Fleksi, ekstensi, rotasi, Mm. koli profundi (M. Saraf servikalis
dan eksorotasi leher sternokleidomastoideus, M. C1-C4
trapezius)
Pengangkatan dada atas, Mm. Skaleni C3-C5
inspirasi
Inspirasi Diafragma Saraf frenikus
C3–C5
II. Pleksus brakhialis C5-T1
Aduksi dan endorotasi M. pektoralis mayor dan Saraf torakalis
lengan, minor anterior
Menurunkan bahu ke C5-T1
dorsoventral
Fiksasi skapula selama M. seratus anterior Saraf torakalis longus
mengangkat lengan C5-C7
Elevasi dan aduksi M. levator skapula, Saraf skapularis
skapula ke arah kolumna Mm. rhomboidei dorsal
spinalis C4-C5
Mengangkat dan M. supraspinatus Saraf supraskapularis
eksorotasi lengan C4-C6

Eksorotasi lengan pada M. infraspinatus C4-C6


sendi bahu
Endorotasi sendi bahu; M. latissimus dorsi, Saraf torakalis dorsal
aduksi dari ventral ke M. teres major, C5-C8
dorsal; M. subskapularis (dari daerah dorsal
menurunkan lengan pleksus)
yang terangkat
Abduksi lengan ke garis M. deltoideus Saraf aksilaris
horizontal C5-C6

7
Eksorotasi lengan M. teres minor C4-C5
Fleksi lengan atas dan M. biseps brakhii Saraf
bawah dan supinasi muskulokutaneus
lengan bawah C5-C6
M. korakobrakhialis
Elevasi dan aduksi C5-C7
lengan M. brakhialis
C5-C6
Fleksi lengan bawah
Fleksi dan deviasi radial M. fleksor karpi radialis Saraf medianus
tangan C5-C6

Pronasi lengan bawah M. pronator teres C5-C6

Fleksi tangan M. palmaris longus C7-T1

Fleksi jari II-V pada M. fleksor digitorum C7-T1


falangs tengah superfisialis

Fleksi falangs distal ibu M. fleksor polisis longus C6-C8


jari tangan

Fleksi falangs distal jari M. fleksor digitorum C7-T1


II dan III tangan profundus (radial)
Abduksi metakarpal I M. abduktor polisis brevis C7-T1

Fleksi falangs proksimal M. fleksor polisis brevis C7-T1


ibu jari tangan

Oposisi metakarpal I M. oponens polisis brevis C6-C7


Fleksi falangs proksimal Mm. lumbrikalis Saraf medianus

8
dan ekstensi sendi lain Jari II dan III tangan C8-T1

Fleksi falangs proksimal Jari IV dan V tangan Saraf ulnaris


dan ekstensi sendi lain C8-T1
Fleksi dan M. fleksor karpi ulnaris Saraf ulnaris
pembengkokan ke arah C7-T1
ulnar jari tangan
M. fleksor digitorum C7-T1
Fleksi falangs proksimal profundus (ulnar)
jari tangan IV dan V
M. aduktor polisis C8-T1
Aduksi metakarpal I
M. abduktus digiti V C8-T1
Abduksi jari tangan V
M. oponens digiti V C7-T1
Oposisi jari tangan V
M. fleksor digiti brevis V Saraf ulnaris
Fleksi jari V pada sendi C7-T1
metakarpofalangeal
Mm. interosei palmaris dan C8-T1
Pembengkokan falangs dorsalis
proksimal, meregangkan Mm. lumbrikalis III dan IV
jari tangan III, IV, dan V
pada sendi tangan dan
distal seperti juga
gerakan membuka dan
menutup jari-jari
Ekstensi siku M. biseps brakhii dan M. Saraf radialis
ankoneus C6-C8

Fleksi siku M. brakhioradialis C5-C6

9
Ekstensi siku dan M. ekstensor karpi radialis C6-C8
abduksi radial tangan

Ekstensi falangs M. ekstensor digitorum C6-C8


proksimal jari II-IV

Ekstensi falangs M. ekstensor digiti V C6-C8


proksimal jari V

Ekstensi dan deviasi ke M. ekstensor karpi ulnaris C6-C8


arah ulnar dari tangan

Supinasi lengan bawah M. supinator C5-C7

Abduksi metakarpal I: M. abduktor polisis longus C6-C7


ekstensi radial dari
tangan
M. ekstensor polisis brevis C7-C8
Ekstensi ibu jari tangan
pada falangs proksimal
M. ekstensor polisis longus C7-C8
Ekstensi falangs distal
ibu jari M. ekstensor indisis proprius C6-C8

Ekstensi falangs
proksimal jari II
Elevasi iga; ekspirasi; Mm. toracis dan abdominalis N. toracis
kompresi abdomen; T1-L1
anterofleksi dan
laterofleksi tubuh.
III. Pleksus lumbalis T12-L4
Fleksi dan endorotasi M. iliopsoas Saraf femoralis

10
pinggul L1-L3

M. sartorius L2-L3
Fleksi dan endorotasi
tungkai bawah
M. quadriseps femoris L2-L4
Ekstensi tungkai bawah
pada tungkai lutut
Aduksi paha M. pektineus Saraf obturatorius
M. aduktor longus L2-L3
M. aduktor brevis L2-L3
M. aduktor magnus L2-L4
M. grasilis L3-L4
L2-L4
Aduksi dan eksorotasi M. obturator eksternus L3-L4
paha
IV. Pleksus sakralis L5-S1
Abduksi dan endorotasi M. gluteus medius dan Saraf glutealis
paha minimus superior
L4-S1
M. tensor fasia lata
Fleksi tungkai atas pada L4-L5
pinggul; abduksi dan
endorotasi
M. piriformis
Eksorotasi paha dan L5-S1
abduksi
Ekstensi paha pada M. gluteus maksimus Saraf glutealis
pinggul, M. obturator internus inferior
Eksorotasi paha Mm. gemeli L4-S2
M. quadratus L5-S1

11
L4-S1
Fleksi tungkai bawah M. biseps femoris Saraf skiatikus
M. semitendinosus L4-S2
M. semimembranosus L4-S1
L4-S1
Dorsifleksi dan supinasi M. tibialis anterior Saraf peronealis
kaki profunda
M. ekstensor digitorum L4-L5
Ekstensi kaki dan jari-jari longus L4-S1
kaki
M. ekstensor digitorum L4-S1
Ekstensi jari kaki II-V brevis
L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki M. ekstensor halusis
longus L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki
M. ekstensor halusis brevis
Pengangkatan dan pronasi Mm. peronei Saraf peronealis
bagian luar kaki superfisialis
L5-S1
Fleksi plantar dan kaki M. gastroknemius Saraf tibialis
dalam supinasi, M. triseps surae L5-S2
Supinasi dan fleksi plantar M. soleus
dari kaki M. tibialis posterior
L4-L5
Fleksi falangs distal jari M. fleksor digitorum L5-S2
kaki II-V (plantar fleksi longus
kaki dalam supinasi)

Fleksi falangs distal ibu L5-S2


jari kaki M. fleksor halusis longus

12
Fleksi jari kaki II-V pada S1-S3
falangs tengah M. fleksor digitorum
brevis
Melebarkan, menutup, dan S1-S3
fleksi falangs proksimal
jari-jari kaki Mm. plantaris pedis
Menutup sfingter kandung Otot-otot perinealis dan Saraf pudendalis
kemih dan rectum sfingter S2-S4

2.2 Trauma Medulla Spinalis


2.2.1 Definisi Trauma Medulla Spinalis

Trauma medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula


spinalis yang di akibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik
dengan susunan saraf pusat dan saraf parifer. Tingkat kerusakan pada medula
spinalis tergantung dari keadaan atau inkomplet (Tarwato, 2007).
Trauma medulla spinalis merupakan kerusakan pada medulla spinalis yang
disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis.
Gangguan-gangguan yang terjadi akibat trauma medulla spinalis berupa
gangguan fungsi-fungsi utama dari medulla spinalis, yaitu fungsi motorik,
sensorik, autonom, dan reflek. Gangguan fungsi-fungsi utama medulla
spinalis dapat terjadi komplet atau parsial (Jasajurnal, 2017).
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis (Brunner &
Suddaerth, 2008). Trauma medula spinalis dapat bervariasi dari trauma
ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai
yang menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan
quadriplegia (Fransiska B. Batticaca, 2008).
Pada trauma medula spinalis timbul perlukaan pada sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau permanen,
perubahan fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Pasien dengan cedera
tulang belakang biasanya memiliki defisit neurologis permanen dan sering
mengalami kecacatan (Lawrence, 2014).

13
Trauma medula spinalis bisa meliputi fraktur, kontusio, dan kompresi
kolumna vertebra yang biasa terjadi karena trauma pada kepala atau leher.
Kerusakan dapat mengenai seluruh medula spinalis atau terbatas pada salah
satu belahan dan bisa terjadi pada setiap level (Kowalak, 2011).

Jadi, trauma medulla spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis akibat


trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek.

2.2.2 Klasifikasi Trauma Medulla Spinalis


Menurut Batticaca (2008) trauma medula spinalis dapat diklasifikasi
menjadi 2 macam, yaitu:
1. Cedera tulang
a. Stabil, bila kemapuan fragmen tulang tidak mempengaruhi kemapuan
tulang untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera.
Komponen arkus neural intak serta ligamen yang menghubungkan ruas
tulang belakang, terutama ligamen longitudinal posterior tidak robek.
b. Tidak Stabil, kondisi trauma menyebabkan adanya pergeseran tulang
yang terlalu jauh sehingga cukup mapu untuk merobek ligamen
longitudinal posterior serta merusak keutuhan arkus neural.
2. Cedera neurologis
a. Tanpa defisit neurologis
b. Disertai defisit neurologis

American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional


Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan
mempublikasikan standart Internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis
cedera medula spinalis. Klasifikasi berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969.
Klasifikasi ASIA/IMSOP dipakai dibanyak negara karena sistem tersebut dipandang
akurat dan komperhensif. Skala kerusakan menurut ASIA/IMSOP adalah sebagai
berikut:
1. FRANKEL SCORE A: kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap
(complete loss).
2. FRANKEL SCORE B: fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.

14
3. FRANKEL SCORE C: fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna
(dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
4. FRANKEL SCORE D: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak
dengan nomal "gait").
5. FRANKEL SCORE E: tidak terdapat gangguan neurologik.

Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan Inkomplit
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan dibawah lesi. Terdapat 5
sindrom utama cedera medula spinalis inkomplit menurut American Spinal
Cord Injury Association yaitu:
Nama Pola dari Lesi saraf Kerusakan
Sindroma

Central Cord Cedera pada posisi central dan Menyebar ke daerah sacral.
syndrome sebagian daerah lateral.
Kelemahan otot ekstremitas
Sering terjadi pada trauma atas lebih berat dari
daerah servikal ekstermitas bawah.

Anterior Cord Cedera pada sisi anterior dan Kehilangan perioperatif dan
Syndrome posterior dari medula spinalis. kehilangan fungsi motorik
secara ipsilateral
Cedera akan menghasilkan
gangguan medula spinalis
unilateral

Brown Sequard Kerusakan pada anterior dari Kehilangan fungsi motorik dan
Syndrome daerah putih dan abu-abu sensorik secara komplit.
medula spinalis.

Cauda Equina Kerusakan pada posterior dari Kerusakan proprioseptif


Syndrome daerah putih dan abu-abu diskriminasi dan getaran.
medula spinalis
Fungsi motorik juga terganggu

Posterior Cord Kerusakan pada saraf lumbal Kerusakan sensori dan lumpuh

15
Syndrome atau sacral sampai ujung flaccid pada ekstremitas bawah
medulla spinalis dan kontrol berkemih dan
defekasi

Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


1. Complete injury
Complete injury atau cedera penuh mengakibatkan hilangnya fungsi
sensorik dan motorik secara total dibawah level cedera. Terlepas dari
mekanisme cedera, jenis cedera secara penuh ini bisa berupa diseksi atau
robekan lengkap pada sumsum tulang belakang yang menghasilkan dua
kondisi:
a. Tetraplegia
Cedera terjadi pada level C1 sampai dengan T1. Fungsi otot residual
tergantung pada segmen servikal yang terpengaruh.
b. Paraplegia
Dikatakan paraplegia apabila terdapat kerusakan ataupun hilangnya
fungsi sensorik dan motoric pada segmen thorakal, lumbar ataupun
sacral (Kirshblum dkk, 2011).

Gambar. Klasifikasi Trauma Medula Spinalis

16
2. Incomplete injury
Apabila masih terdapat fungsi sensorik dan motorik yang masih dalam
keadaan baik dibawah tingkat neurologis, termasuk pada segmen sacral
S4-S5 (Kirshblum dkk, 2011).

Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada


pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali
sehingga tidak membingungkan pemeriksa. Berdasarkan sindrom medulla
spinalis, trauma medulla spinalis dikelompokkan sebagai berikut:

a. Complete transaction
Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla spinalis terputus
menyebabkan semua fungsi yang melibatkan medulla spinalis di
bawah level terjadinya transection semua terganggu dan terjadi
kerusakan permanen.
Secara klinis menyebabkan kehilangan kemampuan motorik berupa
tetraplegia pada transeksi cervical dan paraplegia jika terjadi pada
level thorakal. Terjadi flaksid otot, hilangnya refleks dan fungsi
sensoris dibawah level trabsseksi. Kandung kemih dan susu atoni
sehingga menyebabkan ileus paralitik. Kehilangan tonus vasomotor
area tubuh dibawah lesi menyebabkan tekanan darah rendah dan tidak
stabil. Kehilangan kemampuan perspirasi menyebabkan kulit kering
dan pucat, juga terjadi gangguan pernapasan.

17
Gambar Complete Transection

Gambar. Paraplegia pada thoracal spinal transection; tetraplegia pada cervical


spinal transcetio

18
b. Incomplete transaction : Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada
ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan
kehilangan sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah
adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis
stenosis servikal sebelumnya. Dari anamnesis didapatkanadanya riwayat
jatuh kedepan dengan dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau
tanpa fraktur tulang servikal atau dislokasi.

Gambar. Central cord syndrome.


Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih
prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan
fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada
ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai
disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan karena

19
pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan
paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.

c. Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome


Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi dengan
hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi, dan
tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan
infark pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis
anterior. Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit
lainnya. Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi
sensoris terhadap raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik

Gambar. Central cord syndrome.

d. Brown Sequard Syndrome


Sindrome ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat luka
tembus. Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus murni,
sindrom ini terdiri dari kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus
kortikospinalis) dan hilangnya sensasi posisi (kolumna posterior), disertai dengan
hilangnya sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di bawah

20
level trauma (traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan trauma
tembus langsung ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi
perbaikan.
Kondisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level lesi disertai kehilangan fungsi
sensoris sentuhan, tekanan, getaran dan posisi. Terjadi gangguan kehilangan
sensoris nyeri dan suhu kontralatetal.

Gambar. Brown sequard syndrome.

2.2.3 Etiologi Trauma Medulla Spinalis


Trauma Medula Spinalis bisa disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya
adalah akibat trauma langsung yang mengenai tulang belakang dan
melampaui batas kemampuan tulang belakang dala melindungi saraf-saraf
yang ada di dalamnya. Trauma tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan industri, jatuh dari bangunan, pohon, luka tusuk, luka tembak dan
terbentur benda keras (Muttaqin, 2008).
Trauma Medula Spinalis dibedakan menjadi 2 macam:

21
1. Cedera medula spinalis traumatik
Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Cedera medula spinalis traumatic ditandai sebagai lesi traumatik
pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau
paralisis.
2. Cedera medula spinalis non traumatik
Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor
mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang
terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup
penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.

Sedangkan menurut Baticaca, 2008 penyebab terjadinya trauma medula


spinalis adalah sebagai berikut:
1. Kecelakaan di jalan raya (penyebab paling sering)
2. Olahraga
3. Menyelam pada air dangkal
4. Luka tembak atau luka tikam
Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit
yang mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar;
mielitis akibat inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang
disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra; siringmielia; tumor infiltrasi
maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.

Faktor Resiko Trauma Medula Spinalis


Menurut Aryani (2008) dan Tarwoto (2007) faktor resiko yang menyebabkan
terjadinya trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1. Faktor Usia

22
Usia yang sudah memasuki masa lansia atau di atas 60 tahun akan
cenderung mengalami proses penuaan, sehingga fungsi tulangnya juga
menurun, hal ini dapat mengakibatkan trauma patologis pada medula
spinalis.
2. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih cenderung banyak yang terkena trauma medula spinalis
karena faktor pekerjaan dan gaya hidup.
3. Alkohol
Alkohol dapat mengurangi kepadatan tulang dan mengakibatkan
peningkatan fraktur, atau gangguan tulang lainnya yang akhirnya
menyebabkan tulang belakang rentang terhadap trauma pada medula
spinalis.
4. Merokok
Pada orang yang merokok proses pengeropoasan tulang tulang lebih
cepat, dan tingkat fraktur vertebra pinggul dan lebih tinggi, di antara
orang-orang yang merokok. Tembakau, nikotin, dan bahan kimia lain
yang ditemukan dalam rokok mungkin langsung beracun ke tulang, atau
mereka menghalangi penyerapan kalsium dan lain gizi yang diperlukan
untuk kesehatan tulang. Sehingga tulang belakang juga sangat rentan
terkena penyakit dan mudah terjadi trauma ketika mendapat benturan atau
kecelakaan.
5. Minum Obat saat Berkendara
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera
tulang belakang untuk orang dewasa, sementara jatuh adalah penyebab
paling tinggi cedera pada orang dewasa yang sudah tua. Dengan
meminum obat obatan dengan efek samping mengantuk, maka kesadaran
seseorang akan menurun dan akan mengganggu konsentrasi dalam
berkendara.
6. Penyakit Osteomyelitis dan Spondilitis TB
Pada penyakit osteomielitis dan spondilitis TB bisa terjadi komplikasi
fraktur patologis. Hal ini terjadi pada keadaan osteomielitis vertebra yang

23
akan menyebabkan kolaps vertebra dan kompresi medula spinalis.
Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya cedera pada tulang belakang.

2.2.4 Patofisiologi Trauma Medulla Spinalis


Kerusakan yang dialami medula spinalis dapat bersifat sementara atau
menetap akibat trauma terhadap tulang belakang. Medula spinalis dapat tidak
berfungsi untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat sembuh
kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema,
perdarahan perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada
kerusakan medula spinalis yang menetap, secara makroskopis, kelainannya
dapat terlihat dan terjadi lesi, kontusio, laserasi dan pembengkakan daerah
tertentu di medula spinalis.
Segera setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cedera, serabut-serabut
saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea
medulla spinalis menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi
pada cedera pembuluh darah medula spinalis, tetapi proses patogenik
dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera medula spinalis
akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia,
hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan
kerusakan mielin dan akson. Reaksi sekunder ini, diyakini menjadi penyebab
prinsip degenerasi medula spinalis pada tingkat cedera, sekarang dianggap
reversibel 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu jika kerusakan medula
tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali pengobatan dengan
menggunakan kortikosteroid dan obat-obat anti-inflamasi lainnya yang
dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari
perkembangannya,masuk kedalam kerusakan total dan menetap.

2.2.5 Manifestasi Klinis Trauma Medulla Spinalis


Menurut Towarto (2007) tanda dan gejala dari cedera medulla spinalis, yaitu:
1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan

24
Hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan
prospriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal
dan reflex autonom. Batas cedera medulla spinalis, tanda dan gejala :

Tabel Manifestasi klinis sesaui radiks yang mengalami gangguan


Level Fungsi Motorik Refleks Fungsi Fungsi Pernapasan Fungsi Usus
Cedera Tendon Sensorik dan Kandung
Spinal Profunda Kemih
Volunter
C1-C4 Kuadriplegia: Semuanya Hilangnya Hilangnya fungsi Tidak ada
Hilangnya hilang semua fungsi pernapasan kendali usus
semua fungsi sensorik pada volunter atau kandung
motorik dari leher ke bawah (interkostal) dan kemih
leher ke bawah (C4 involunter (frenik);
mempersarafi dukungan ventilasi
klavikula) dan trakeostomi
dibutuhkan
C5 Kuadriplegia: C5, C6 Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada
Hilangnya sensasi di tetapi otot kontrol usus
semua fungsi bawah interkostal tidak atau kandung
di bawah bahu klavikula dan utuh kemih
atas sebagaan besar
bagian lengan,
tangan, dada,
abdomen dan
ekstrimitas
bawah.

C6 Kuadriplegia: C5, C6 Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada


Hilangnya brakioradi semua aspek tetapi otot kontrol usus
semua fungsi alis pada lesi C5 interkostal tidak atau kandung
di bawah bahu tetapi sensasi utuh kemih
dan lengan lengan dan ibu
atas; jari lebih terasa
penurunan
kontrol siku,
lengan bawah,
dan tangan
C7 Kuadriplegia: C7, C8 Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada
hilangnya trisep sensasi di tetapi otot fungsi usus
kontrol bawah interkostal tidak atau kandung

25
motorik pada klavikula dan utuh kemih
bagian lengan bagian lengan
dan tangan serta tangan

C8 Kuadriplegia: Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada


hilangnya sensasi di tetapi otot fungsi usus
kontrol bawah dada interkostal tidak atau kandung
motorik pada dan bagain utuh kemih
lengan dan tangan
tangan
T1-T6 Paraplegia: Hilangnya Saraf frenik Defekasi atau
hilangnya sensasi di berfungsi mandiri. berkemih tidak
setiap sensasi bawah area beberapa berfungsi
di bawah area dada tengah gangguan otot
dada, termasuk intercostal
otot di batang
tubuh
T6- Paraplegia: Hilangnya Fungsi pernapasan Kontrol
T12 kehilangan setiap sensasi tidak terganggu defekasi atau
kontrol di bawah berkemih tidak
motorik di pinggang berfungsi
bawah
pinggang
L1-L3 Paraplegia: L2-L4 Hilangnya Fungsi pernapasan Kontrol
hilangnya (sentakan sensasi tidak terganggu defekasi atau
sebagian besar lutut) abdomen baah berkemih tidak
kontrol tungkai dan tungkai ada
dan pelvis
L3-S5 Paraplegia: S1-S2 Saraf sensori Fungsi pernapasan Kontrol
inkomplet (sentakan lumbal tidak terganggu defekasi atau
Kontrol pergelanga menginervasi berkemih
motorik n kaki) tungkai atas mungkin
segmental dan bawah terganggu
L4-S1: abduksi L5: aspek Segmen S2-S4
dan rotasi medial kaki mengendalikan
internal S1: aspek kontinensia
pinggul, lateral kaki urin
dorsifleksi S2: aspek Segmen S3-S5
pergelangan posterior mengendalikan
kaki dan betis/paha kontinensia
inversi kaki Saraf sensori feses (otot
L5-S1: eversi sakral perianal)

26
kaki menginervasi
L4-S2: fleksi tungkai bawah,
lutut kaki dan
S1-S2: fleksi perineum
plantar S1-S2:
(sentakan
pergelangan
kaki)
S2-S5: kontrol
usus/kandung
kemih

Sumber: Patricia G. Morton. Keperawatan Kritis Vol. 2 Hal 1089-1093

Lokasi Fungsi Motorik dan Sensorik


Funsi Motorik Funsi Sensorik
Lokasi Fungsi Lokasi Area Sensasi
C1-C6 Fleksor Leher C5 Deltoid
C1-T1 Ekstensor Leher C6 Ibu jari
C3-C5 Diafragma C7 Jari tengah
C5 Fleksor Siku C8 Jari-jari
C6 Ekstensor pergelangan tangan T4 Batas putting susu
C7 Ekstensor siku T10 Umbilikus
C8 Fleksi pergelangan tangan L5 Empu kaki
T1-T6 Interkosta otot dada S1 Little toe
T7-L1 Otot abdomen S2-S5 Perineum
L1-L4 Fleksi pinggul
L2-L4 Adduksi pinggul ekstensi lutu
L4-S1 Abduksi pinggul
Dorsofleksi kaki
L5-S2 Ekstensi pinggul
Plantar Fleksi kaki
L4-S2 Fleksi Lutut

a. Perubahan reflex

27
Setelah cedera medulla spinalis terjadi edema medulla spinalis sehingga
stimulus reflex juga terganggu misalnya reflex pada bladder, aktivitas
visceral, reflex ejakulasi.
b. Spasme otot
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit transversal,
dimana pasien terjadi ketidakmampuan melakukan pergerakan.
c. Spinal shock
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flaccid paralisis dibawah garis
kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks-refleks spinal, hilangnya
tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak
adanya keringat dibawah garis kerusakan dan inkontinensia urin dan retensi
feses.
d. Autonomic dysreflexia
Autonomic dysreflexia terjadi pada cidera thorakal enam ke atas, dimana
pasien mengalami gangguan refleks autonom seperti terjadinya bradikardi,
hipertensi paroksimal, distensi bladder.
e. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi, menurunnya
sensasi dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat
ejakulasi.

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Medulla Spinalis


1. Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien tiba di
rumah sakit
2. Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri tekan,
gangguan gerakan(terutama leher)
3. Pemerikaan radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada servikal
diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.

28
b. Foto rontgen thorak, memperlihatkan keadan paru (contoh: perubahan
pada diafragma, atelektasis)
4. Bila hasil meragukan lakukan CT-Scan,bila terdapat defisit neurologi
harus dilakukan MRI atau mielografi.
a. CT-Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
d. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
5. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur
volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma
servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada
saraf frenikus /otot interkostal).
6. GDA: Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
7. Serum kimia, adanya hiperglikemia atau hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan Hmt.
8. Urodinamik, proses pengosongan bladder.

2.2.7 Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinalis


Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1. Segera dilakukan imobilisasi.
2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan
pemasangan collar servical, atau dengan menggunakan bantalan pasir.
3. Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan
pemberian oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
4. Terapi pengobatan:
a. Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
b. Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan darah
akibat autonomic hiperrefleksia akut.

29
c. Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas
bladder.
d. Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk meningkatkan
tonus leher bradder.
e. Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan
uretra.
f. Agen antiulcer seperti ranitidine
g. Pelunak fases seperti docusate sodium.
5. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur
dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.
6. Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi cacat dan
mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.

30
Algoritma Medula Spinal

Algoritma Spinal Cord Injury menurut U.S National Library of Medicine.


National Institute of Health.

31
2.2.8 Komplikasi Medulla Spinalis
Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu
instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca
trauma, nyeri dan gangguan fungsi seksual. Komplikasi lain yang bisa terjadi yaitu:
1. Neurogenik shock
2. Hipoksia
3. Instabilitas spinal
4. Ileus paralitik
5. Infeksi saluran kemih
6. Kontraktur
7. Dekubitus
8. Konstipasi

2.2.9 Prognosis Trauma Medulla Spinalis


Sebuah penelitian Gaus, Syafruddin, dkk membuktikan bahwa kurang dari 5%
pasien dengan cedera medulla spinalis yang komplit dapat sembuh. Jika paralisis
komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera, kemungkinan pulih adalah 0%.
Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit. Jika masih
terdapat beberapa fungsi sensorik, peluang untuk bisa berjalan kembali adalah lebih
dari 50%. Sembilan puluh persen pasien cedera medulla spinalis dapat kembali ke
rumah dan mandiri.
Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom dapat kembali dalam 1 minggu
sampai 6 bulan pasca cedera. Kemungkinan pemulihan spontan menurun setelah 6
bulan. Bila terjadi pergerakan penderita pada cedera yang tidak stabil maka akan
mempengaruhi medulla spinalis sehingga memperberat kerusakan.1,5,16 Ditinjau
dari cedera medulla spinalisnya, prognosis pasien ini adalah baik, karena terjadi
cedera yang inkomplit.

2.2.10 Pencegahan Trauma Medulla Spinalis

Faktor –faktor resiko dominan untuk cedara medulla spinalis meliputi usia, jenis
kelamin, dan penyalahgunaan obat. Frekuensi factor resiko ini dikaitkan dengan
cedera medulla spinalis bertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan

32
primeruntuk mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah – langkah berikut
perlu dilakukan:

1. Menurunkan kecepatan berkendara.


2. Menggunakan sabuk pengaman.
3. Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
4. Mencegah jatuh.
5. Menggunakan alat – alat pelindung dan teknik latihan.

2.3 Syok Spinal


2.3.1 Definisi Syok Spinal
Spinal Shock (syok spinal) merupakan kehilangan aktifitas otonom,
refleks, motorik, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat terjadinya cedera
medula spinalis. Syok Spinal terjadi sekunder akibat kerusakan pada medula
spinalis (Kowalak, 2011).
Spinal shock/syok pada medula spinalis adalah keadaan disorganisasi
fungsi medula spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara
waktu, keadaan ini timbul segera setelah cedera dan berlangsung dari
beberapa jam hingga beberapa minggu. Syok spinal juga diketahui sebagai
syok neurogenik adalah akibat dari kehilangan tonus vasomotor yang
mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini menimbulkan
hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan atau
penampung dan kapiler organ splanknik. Tonus vasomotor dikendalikan dan
dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan serat simpatis yang meluas ke
medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan. Karenanya
kondisi apapun yang menekan fungsi medulla atau integritas medulla spinalis
serta persarafan dapat mencetuskan syok neurogenik/syok spinal (Tambayong,
2000).
Jadi, syok spinal adalah kerusakan medulla spinalis sekunder yang
menyebabkan kehilangan aktifitas otonom, reflex, motoric, dan sensorik pada
daerah di bawah tingkat terjadinya medulla spinalis.

33
2.3.2 Etiologi Syok Spinal
Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS.
Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan hambatan
hantaran simpatik dari pusat vasomotor pada otak. Dan penyebab utamanya
adalah SCI . Syok neurogenik keliru disebut juga dengan syok tulang
belakang. kondisi berikutnya mengacu pada hilangnya aktivitas neurologis
dibawah tingkat cedera tulang belakang, tetapi tidak melibatkan perfusi
jaringan tidak efektif.
Tipe syok ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang menstimulasi
parasimpatik atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vaskular. Trauma
pada syaraf spinal atau medulla dan kondisi yang mengganggu suplai oksigen
atau gulokosa ke medulla menyebabkan syok neorogenik akibat gangguan
aktivitas simpatik. Obat penenang, anestesi, dan stres hebat beserta nyeri juga
merupakan penyebab lainnya.

2.3.3 Patofisiologi Syok Spinal


Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada
spinal. Syok spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah
lokasi terjadinya cedera pada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain
reflek yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan usus, tekanan
darah, dan suhu tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara
akut yang seharusnya disalurkan melalui neuron dari otak untuk
mempertahankan fungsi reflek. Ketika syok spinal terjadi akan mengalami
regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas otot serta reflex
pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009). Syok spinal akan
menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah pada pembuluh darah dan
kapiler organ splanknik. Tonus vasomotor di medula dan saraf simpatis yang
meluas ke medula spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan.
Kerena itu kondisi yang menekan fungsi medula atau integritas medula
spinalis serta persarafan akan mengakibatkan syok neurogenik (Tambayong,
2000).

34
Syok spinal adalah kombinasi dari arefleksia / hiporefleksia dan disfungsi
otonom yang menyertai cedera tulang belakang. Hiporefleksia diawali dengan
hilangnya refleks cutaneus dan reflek tendon dalam (deep tendon reflexes)
disertai dengan hilangnya aliran simpatis, mengakibatkan hipotensi dan
bradikardia. Refleks umumnya kembali dalam pola tertentu, dengan refleks
cutaneus umumnya kembali sebelum refleks tendon dalam (Silver,2000).
Ko et AL telah dijelaskan pola tertentu kembalinya refleks dan yang
pertama kembali adalah Delayed Plantar Reflex (DPR), diikuti oleh
bulbocavernosis (BC) dan cremasteric reflex (CR), dan akhirnya reflek
pergelangan kaki dan lutut (AJ, KJ). Bulbocavernosous reflex (BCR) diperiksa
untuk menentukan akhir dari syok spinal. Menarik pada kateter Foley juga
dapat menimbulkan Bulbocavernosous reflex (BCR) (Ko et Al,2000). Hal ini
biasanya kembali 1 sampai 3 hari setelah cedera. Terdapat 4 fase shok spinal
yaitu:
1. Fase I: areflexia/hyporeflexia (0–1 hari)
Fase pertama terjadi 0-24 jam setelah cedera. Bila SCI (Spinal Cord
Injury) Complete, diawali dengan hilangnya DTR(deep tendon reflexes)
seperti ankle jerk (AJ) atau refleks Achilles dan knee jerk (KJ) atau
refleks patella disertai otot yang lemah dan lumpuh. Selama periode ini
reflek cutenous (polysynaptic) mulai pulih seperti bulbocavernosus (BC),
Anal Wink (AW), dan cremasteric (CM). Refleks patologis, Delayed
Plantar Response (DPR) yang pertama kembali dan dapat diamati setelah
beberapa jam setelah cedera. Saat terjadi SCI, rangsangan menjadi hilang
dan neuron spinal menjadi tidak terangsang. Ini merupakan penyebab
utama depresi refleks selama syok spinal. Refleks depresi mungkin juga
karena peningkatan penghambatan tulang belakang. Hiperpolarisasi
lumbar neuron motorik dan interneuron kemudian kurang merespon
untuk refleks input segmental. Secara klinis, ini adalah hiporefleksia syok
spinal. Hiporefleksia diamati dengan lesi di bawah level mid-pons; lesi di
atas tingkat ini menghasilkan kekakuan deserebrasi. hiporefleksia shock
spinal, bagaimanapun, segera muncul setelah SCI. Jadi, meskipun

35
perubahan metabolik dan struktural dapat berkontribusi untuk awal
hiporefleksia, ini mungkin bukan penyebab utama.
2. Fase 2 initial reflex return (1–3 hari)
Fase ini syok spinal berlangsung selama 1-3 hari postinjury. Refleks
cutaneous (BC, AW, dan cremasteric) menjadi lebih kuat selama periode
ini. Biasanya, DTR masih tidak ada. Pada fase ini akan terjadi mekanisme
denervasi supersensitivity yang meliputi: (1) mengurangi rangsang
neurotransmitter reuptake, (2) peningkatan sintesis dan masuknya
reseptor dalam membran postsinaps (3) menurunkan pelepasan
danpenurunan reseptor, dan (4) mengubah sintesis dan komposisi subunit
reseptor.
3. Fase 3 early hyper-reflexia (4 hari-1 bulan)
Kebanyakan DTR pertama muncul kembali selama periode ini. AJ
biasanya kembali lebih dulu daripada KJ dan tanda Babinski. Refleks
cutaneous (BC, AW, dan CM) biasanya muncul pada akhir periode ini.
Meskipun pada umumnya, waktu pengembalian refleks bervariasi bahkan
setelah SCI complete karena perbedaan rangsangan refleks antara subyek.
Fungsi otonom terus berkembang dengan membaiknya saraf vagus
dimediasi bradiaritmia dan hipotensi. Disrefleksia otonom dapat mulai
muncul. Hal ini biasanya disebabkan oleh viskus membesar (misalnya,
kandung kemih atau usus) bertindak sebagai stimulus menyebabkan
aliran simpatis masif di bawah zona cedera, yang tidak diatur oleh Input
supraspinal.
4. Fase 4 spasticity/hyper-reflexia (1–12 bulan)
Tahap keempat syok spinal terjadi antara 1 dan 6 bulan pasca cedera.
DPR telah menghilang di sebagian besar kasus. Refleks kulit, DTR, dan
BS menjadi hiperaktif dan menanggapi rangsangan minimal. Vasovagal
hipotensi dan bradiaritmia diselesaikan dalam 3-6 minggu. Kemudian 4
hari-4 minggu pertumbuhan sinaps, akson pendek dan / atau akson
disediakan. Setelah itu 1-12 bulan pertumbuhan sinaps, akson panjang
dan soma disediakan. (Ditunno, Little, Tessler, & Burns, 2004)

36
Tabel Mekanisme 4 Fase Syok Spinal (Ditunno et al., 2004)
2.3.4 Manifestasi Klinis Syok Spinal
Hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu
didalam tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian
tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal
akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah (Corwin, 2009).

2.3.5 Penatalaksanaan Syok Spinal


Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien dengan kondisi shock
spinal adalah sebagai berikut:
1. Imobilisasi pasien untuk mencegah semakin beratnya cedera medulla
spinalis atau kerusakan tambahan
2. Kolaborasi tindakan pembedahan untuk mengurangi tekanan pada medulla
spinalis akibat terjadinya trauma yang dapat mengurangi disabilitas jangka
panjang.
3. Pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (satu jam pertama) untuk
mengurangi pembengkakan dan inflamasi medulla spinalis serta
mengurangi luas kerusakan permanen.
4. Fiksasi kolumna vertebralis melalui tindakan pembedahan untuk
mempercepat dan mendukung proses pemulihan.
5. Terapi fisik diberikan setelah kondisi pasien stabil.

37
6. Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka panjang seperti
komplikasi pada kulit, system reproduksi, dan system perkemihan dengan
melibatkan anggota keluarga (Corwin, 2009).
Sedangkan menurut Batticaca dan Fransisca B (2008) penatalaksanaan
syok spinal yaitu :
1. Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara
teratur agarmencegah terjadinya inkontinensia overfloe dan dribbling.
2. Lakukan pengosongan rectum dengan cara tambahkan diet tinggi serat,
laksatif, supposutoria, enema untuk BAB atau pengosomngan secara
teratur tanta terjai inkontinensia.

Menurut Baughman (2000) penatalaksanaan yang diberikan pada pasien


yang mengalami shock spinal adalah:
1. Gunakan dekompresi intestinal untuk mengatasi distensi usus dan paralitik
ileus yang disebabkan oleh depresi refleks.
2. Berikan pengamatan ketat pada pasien yang tidak berkeringan pada bagian
tubuh yang mengalami paralisis dan untuk deteksi dini awitan demam
mendadak
3. Sanggah dan pertahankan ketahanan tubuh sampai syok spinal menghilang
dan sistem telah pulih akibat serangan traumatik (3-6 minggu)
4. Berikan perhatian khusus pada sistem pernapasan (kemungkinan tekanan
intratorakal tidak mencukupi untuk menghasilkan batuk secara efektif
5. Berikan terapi fisik dada dan penghisapan untuk membantu membersihkan
sekresi pernapasan.
6. Pantau komplikasi pernapasan (gagal pernapasan, pneumonia)
7. Pantau terhadap hiperefleksia (ditandai dengan sakit kepala berdenyut,
banyak berkeringat, hidung tersumbat, piloereksi atau bulu kuduk berdiri,
bradikardia, hipertensi)
8. Pertahankan pengawasan konstan terhadap tanda dan gejala luka dekubitus
dan infeksi (perkemihan, pernapasan, infeksi setempat pada tempat pin)

38
9. Amati terhadap trombosis vena dalam, yakni embolisme pulmonal.
Gejala-gejalanya termasuk nyeri dada pleuritik, ansietas, sesak napas, dan
nilai gas darah abnormal.
10. Berikan terapi antikoagulan dosis rendah untuk mencegah TVD dan EP
11. Gunakan stoking elastis setinggi paha atau alat kompresi pneumatik.

Pasien shock spinal harus dirawat di tempat ICU, karena banyak


komplikasi diperkirakan timbul. Pengobatan metilprednison kontroversial
dengan beberapa percobaan menunjukkan manfaat sederhana dan beberapa
efek samping lainnya menunjukkan efek samping yang lebih negatif daripada
manfaat. Sebaiknya, jika pasien muda dan tidak memiliki banyak penyakit
mendasar yang dapat diperburuk dengan penggunaan steroid, percobaan
singkat methylprednisone harus dimulai dimulai dengan dosis pemuatan 30
mg / kg diikuti dengan dosis pemeliharaan 5 mg / kg / jam untuk 24 jam ke
depan. Syok neurogenik biasanya terjadi dengan lesi di atas tingkat T6. Tetes
norepinephrine dan penggunaan atropin yang sesuai untuk bradikardia harus
menjadi bagian dari pengobatan awal. Akhirnya, dalam beberapa hari
hipotensi membaik, dan infus intravena (IV) harus sedikit diturunkan. Dengan
cedera serviks tinggi, fungsi diafragma akan terganggu, dan pasien ini akan
memerlukan trakeotomi dini karena mereka akan tergantung pada ventilator.
Trombosis vena dalam sangat tinggi pada pasien ini. Profilaksis harus dimulai
sesegera mungkin dalam beberapa hari setelah cedera. Manajemen jangka
panjang pasien cedera syaraf tulang belakang selalu membutuhkan
penanganan tim multidisipliner antara berbagai layanan. Sekitar 60% pasien
ini akan memerlukan stabilisasi tulang belakang dengan intervensi bedah, dan
ahli bedah saraf atau ahli ortopedi harus dikonsultasikan lebih awal. Terakhir,
mempertahankan tidak mengembangkan tukak tekanan (Ziu & Fasil, 2017).

Algoritma spinal shock

39
2.3.6 Komplikasi Syok Spinal
1. Henti nafas karena kompresi saraf frenikus diantara C3 dan C5
akibat kerusakan dan pembengkakan pada area cedera.
2. Hiperrefleksia otonom ditandai dengan tekanan darah yang tinggi
disertai bradikardi, serta berkeringat dan kemerahan pada kulit
wajah.
3. Cedera yang lebih berat akan mempengaruhi system tubuh, hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya infeksi pada ginjal dan saluran
kemih, kerusakan kulit hingga terjadi dekubitus, danterjadi atrofi
pada otot.
4. Depresi, stress pada keluarga dan pernikahan, kehilangan
pendapatan, serta biaya medis yang besar sebagai respon dari
psikososial (Corwin, 2009).

40
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Trauma Medulla Spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis akibat trauma
langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga mengakibatkan
gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek. Sedangkan syok spinal
adalah kerusakan medulla spinalis sekunder yang menyebabkan kehilangan
aktifitas otonom, reflex, motoric, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat
terjadinya medulla spinalis.
Baik trauma medulla spinal dan syok spinal keduanya membutuhkan
penanganan yang tepat. Perawat mempunyai peran penting dalam tindakan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam kasus trauma medulla spinalis
dan syok spinal.

3.2 Saran
Bagi petugas pelayanan kesehatan lebih memperhatikan klien dengan kasus
trauma medulla spinalis dan syok spinal untuk mencegah komplikasi dari kedua
kasus tersebut serta menurunkan angka kematian disebabkan oleh trauma medulla
spinalis ataupun syok spinal.

41
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M. E. 1999.Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta :
EGC

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku Untuk


Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Tarwoto, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.


Jakarta : Sagung Seto.

Batticaca, B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.Brunner &


Suddath. 2001. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran.

Akhyar, Yayan. 2009. Traktus Spinotalamikus: Files of DrsMed FK UNRI,


(Online) http://www.yayanakhyar.co.nr diakses tanggal 24 Februari 2018

Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Kirshblum, steven dkk. 2011. International standards for neurological


classification of spinal cord injury. Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3232636/pdf/scm-34-
535.pdf

42
Tidy, C. 2014. Spinal Cord Injury and Compression. EMIS Egton Medical
Information System.

Lawrence S Chin, Robert B and Molly G King Endowed. 2014. Spinal Cord
Injuries. Medscape Medical News.(Online),
http://emedicine.medscape.com/article/793582, diakses tanggal 24
Februari 2018.

Jasajurnal. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Medulla Spinalis, (Online)


http://www.jasajurnal.com/diagnosis-dan-tatalaksana-trauma-medulla-
spinalis/, diakses tanggal 24 Februari 2018

Ziu, Endrit & Fassil B. Mesfin. 2017. Spinal Shock. Columbia: NCB

43

Anda mungkin juga menyukai