Anda di halaman 1dari 107

ANALISIS BIONOMIKA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

WILAYAH PETERNAKAN RUMINANSIA


DI KABUPATEN TASIKMALAYA

WAHYU DARSONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Bionomika


dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah Peternakan Ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016

Wahyu Darsono
NIM H152120101
RINGKASAN

WAHYU DARSONO. Analisis Bionomika dalam Perencanaan Pembangunan


Wilayah Peternakan Ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya. Dibimbing oleh
EKA INTAN KUMALA PUTRI dan NAHROWI.

Komoditas peternakan, khususnya ternak ruminansia secara umum berada


di perdesaan yang terkait dengan sumberdaya alam sesuai dengan bionomikanya,
yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu lahan, ternak dan pakan. Ruang
lingkup penelitian ini adalah pada aspek biofisik dan manajemen sumberdaya
lingkungan dalam pembangunan wilayah melalui pengembangan komoditas
ternak ruminansia. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspek-aspek bionomika
dalam perencanaan pembangunan wilayah peternakan ruminansia terutama untuk
menetapkan wilayah prioritas pengembangannya. Metode analisis yang digunakan
adalah metode Location Quotion (LQ), analisis potensi sumberdaya pakan dan
kapasitas tampung serta karakteristik usaha dan tingkat pendapatan peternak.
Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya adalah 127.847,89
satuan ternak (ST) yang terdiri dari sapi potong 50.137 ST, sapi perah 2.106,00
ST, kerbau 13.568,85 ST, kambing 47.55,80 ST and domba 14.482,24 ST.
Karakteristik usaha masih bersifat semi intensif dengan kelembagaan usaha
berbentuk kelompok atau gabungan kelompok peternak. Rata-rata pendapatan
peternak dari usaha peternakan adalah sebesar Rp. 2.678.619,- per satuan ternak
per tahun dengan Return on Investment (ROI) paling baik pada komoditas kerbau
(152,92%) dan kambing (87,40%). Terdapat enam kecamatan yang merupakan
wilayah basis untuk sapi potong (Cipatujah LQ=1,62; Karangnunggal LQ=1,16;
Cikalong LQ=1,13; Pancatengah LQ=1,38; Cikatomas LQ=1,40), satu kecamatan
(Pagerageung LQ=10,23) sebagai wilayah basis sapi perah, empat kecamatan
(Cipatujah LQ=1,36; Karangnunggal LQ=1,22; Culamega LQ=1,05; dan
Cigalontang LQ=1,02) sebagai wilayah basis kerbau, tiga kecamatan (Leuwisari
LQ=1,20; Sariwangi LQ=2,23; dan Cigalontang LQ=1,22) sebagai wilayah basis
kambing, dan tidak ada wilayah basis ternak domba. Potensi pakan hijauan
sebanyak 801,202.62 ton bahan kering (BK) yang menyebar di seluruh kecamatan,
terutama di wilayah basis. Kapasitas tampung wilayah sebesar 341.174.08 ST
untuk ternak ruminansia dan dapat ditingkatkan sebanyak 213.326.19 ST atau
sekitar 160% dari populasi yang ada saat ini.
Wilayah prioritas pengembangan ternak ruminansia secara umum masih
mengarah pada wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya, terutama di wilayah
basis. Namun demikian, lokasi-lokasi non basis dapat dijadikan prioritas kedua
untuk pengembangannya sesuai dengan kapasitas tampung wilayahnya dan daya
dukung potensi produksi pakan hijauan. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya perlu
mendorong kebijakan pengembangan wilayah ternak ruminansia melalui
penetapan kawasan sentra peternakan dengan komoditas unggulannya sesuai
komoditas basis, peningkatan ketersediaan infrastruktur dasar berupa lahan
sebagai basis ekologi ternak, sumberdaya manusia, kelembagaan dan sarana
penunjang lainnya.

Kata kunci: bionomika ternak, ruminansia, wilayah pembangunan


SUMMARY

WAHYU DARSONO. Bionomics Analysis in Regional Planning Development


for Ruminants in Tasikmalaya District. Supervised by EKA INTAN KUMALA
PUTRI and NAHROWI

Livestock commodities, particularly ruminants in Indonesia are generally


located in rural areas related to natural resources in accordance with bionomics
aspect, consists of three main components i.e: land, livestock and feed.
Characteristics of the livestock faming are still traditional such as a sideline
business and low scale of operations or ownership of livestock. This condition can
affect the economic development of the area of the livestock subsector. The scope
of this study was the biophysical and management of environmental resources in
the development of the region through the development of ruminants based on
population distribution and potential carrying capacity of land and forage
resources. The objectives of research were to determine the priority of ruminant
development region in Tasikmalaya District. Methods of the research used
analysys area base using Location Quotion (LQ) method, feed resources potential
and carryng capacity analysis.
Ruminants population in Tasikmalaya District were 127,847.89 animal
unit (AU) consisted of beef cattle 50,137 AU, dairy cattle 2,106.00 AU, buffaloes
13,568.85 AU, goats 47,55.80 AU and sheep 14,482.24 AU. Characteristics of
livestock farming are semi-intensive and join in a group of farmer or unigroup of
farmer. The average of income in ruminants farming are Rp. 2,678,619,- per
animal unit per year, buffaloes (152,92%) and goat (87,40%) has good level in
return on investment (ROI). There were six subdistricts (Cipatujah LQ=1.62;
Karangnunggal LQ=1.16; Cikalong LQ=1.13; Pancatengah LQ=1.38; Cikatomas
LQ=1.40) as area base of beef cattle, one subdistrict (Pagerageung LQ=10.23) as
area base of dairy cattle, four subdistrict (Cipatujah LQ=1.36; Karangnunggal
LQ=1.22; Culamega LQ=1.05; Cigalontang LQ=1.02) as area base of buffaloes,
three subdistrict (Leuwisari LQ=1.20; Sariwangi LQ=2.23; Cigalontang LQ=1.22)
as area base of goats, and no area base for sheep. Potential production of feedstuff
was 801,202.62 dry matter (DM) tons/year spread in every subdistrict, especially
in the area base of ruminants. Tasikmalaya District had the carrying capacity
341,174.08 AU of ruminant and was still able to increase up to 213,326.19 AU or
160% of the real population.
The priority areas for the development of ruminants is generally still
located in the southern of Tasikmalaya, especially in the area base. However, the
locations of non area base can be used as a second priority to development in
accordance with carrying capacities and feedstuff support. Government of
Tasikmalaya needs to encourage policy of regional development through the
establishment of regional ruminant farm centers with superior commodity based
on commodity basis, the increase in the availability of basic infrastructure such as
base land of animal ecology, human resources, institutional and other institutional
supporting facilities.

Keywords:animal bionomics, regional development, ruminants


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS BIONOMIKA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
WILAYAH PETERNAKAN RUMINANSIA
DI KABUPATEN TASIKMALAYA

WAHYU DARSONO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji pada Ujian Tesis : Dr Ir Sri Mulatsih MScAgr
Judul Tesis : Analisis Bionomika dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah
Peternakan Ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya
Nama : Wahyu Darsono
NIM : H152120101

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Eka Intan Kumala Putri MSi Prof Dr Ir Nahrowi MSc


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

Prof Dr Ir Bambang Juanda MS Dr Ir Dahrul Syah MScAgr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


31 Agustus 2016
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penelitian tesis ini berhasil disusun. Topik penelitian
merupakan kajian pada aspek biofisik lingkungan dan manajemen sumberdaya
alam dalam perencanaan pembangunan wilayah dan perdesaan dengan ternak
ruminansia sebagai komoditas kajiannya. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Maret 2016 sampai dengan Juni 2016 ini berjudul Analisis Bionomika dalam
Perencanaan Pembangunan Wilayah Peternakan Ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Eka Intan Kumala Putri MS
dan Bapak Prof Dr Ir Nahrowi MSc selaku pembimbing, serta Dr Ir Sri Mulatsih
MScAgr selaku dosen penguji, yang telah banyak memberi saran. Penghargaan
dan terima kasih juga disampaikan kepada Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Ahli
Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Asosiasi Sarjana Membangun Desa
(ASMD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten
Tasikmalaya dan Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Tasikmalaya atas segala dukungan, fasilitasi dan kesempatan yang diberikan.
Terima kasih juga disampaikan kepada ema, bapa, anak-anak tersayang (khalda
dan syauqi) dan istri tercinta (Dewi Siska) atas kesabaran dan kasih sayangnya,
serta rekan-rekan PWD 2012 atas kebersamaan dan dukungannya.
Semoga penelitian dan karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016


Wahyu Darsono
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Bionomika Peternakan 5
Pembangunan Wilayah 7
Potensi dan Daya Dukung Wilayah 8
Sumberdaya Pakan Lokal 9
Penelitian Terkait 10
Kerangka Pemikiran 12
3 METODE 14
Lokasi dan Waktu Penelitian 14
Jenis dan Sumber Data 14
Analisis Data 15
4 GAMBARAN UMUM 17
Kondisi Umum Wilayah 17
Perekonomian Wilayah 21
Kebijakan Wilayah Pembangunan 21
Subsektor Peternakan 23
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 26
Ekologi dan Potensi Peternakan 27
Karakteristik Usaha dan Pendapatan Peternak 38
Wilayah Basis Ternak Ruminansia 43
Potensi Pakan Hijauan 51
Kapasitas Tampung Wilayah 58
Prioritas Wilayah Pengembangan 65
6 SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 68
Simpulan 69
Implikasi Kebijakan 70
DAFTAR PUSTAKA 70
LAMPIRAN 73
RIWAYAT HIDUP 93
DAFTAR TABEL
1. Tujuan analisis, jenis data dan sumber data .................................................... 14
2. Distribusi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha ........................... 19
3. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia ................................................ 19
4. Penggunaan lahan pertanian ............................................................................ 19
5. Kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB (%) ............................................. 21
6. Wilayah pembangunan utama dan arah pembangunan ................................... 23
7. Populasi Ternak di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010-2014 ...................... 24
8. Jumlah peternak di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-2014 ....................... 25
9. Produksi peternakan di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-2014 ................ 25
10. Pemasukan, pengeluaran dan pemotongan ternak ruminansia tahun 2014 ..... 26
11. Nilai konversi satuan ternak ruminansia ......................................................... 27
12. Pasar hewan di Kabupaten Tasikmalaya ......................................................... 37
13. Karakteristik peternak (responden) ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya ..................................................................................................... 39
14. Rata-rata biaya dan pendapatan peternak ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya (Rp/ST/tahun) ............................................................................. 41
15. Pengelompokan wilayah prioritas pengembangan berdasarkan nilai LQ
dan PPTR efektif ............................................................................................. 65

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran penelitian ........................................................................ 13
2. Luas wilayah dan kepadatan penduduk di setiap kecamatan .......................... 18
3. Peta administrasi Kabupaten Tasikmalaya dan luas wilayah setiap
kecamatan (ha)................................................................................................. 20
4. Populasi ternak ruminansia di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) .................. 27
5. Populasi ternak sapi potong di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ................. 28
6. Populasi ternak sapi perah di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ................... 29
7. Populasi ternak kerbau di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ......................... 29
8. Populasi ternak kambing di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ...................... 30
9. Populasi ternak domba di setiap kecamatan tahun 2014 (ST) ......................... 31
10. Peta penyebaran populasi ternak ruminansia tahun 2014 ................................ 32
11. Luas sawah, lahan kering, padang gembalaan dan hutan (ha)......................... 33
12. Rumah tangga petani dan jumlah penduduk tahun 2014 ................................. 34
13. Peta penyebaran rumah tangga petani di setiap kecamatan ............................. 35
14. Tingkat pendapatan peternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya
(Rp/ST/Tahun) ................................................................................................. 40
15. Wilayah basis komoditas ternak ruminansia (LQ>1) di Kabupaten
Tasikmalaya ..................................................................................................... 44
16. Nilai LQ sapi potong ....................................................................................... 44
17. Peta wilayah basis (LQ>1) ternak sapi potong ................................................ 45
18. Nilai LQ sapi perah.......................................................................................... 46
19. Nilai LQ kerbau ............................................................................................... 46
20. Peta wilayah basis (LQ>1) ternak sapi perah .................................................. 47
21. Peta wilayah basis (LQ>1) ternak kerbau........................................................ 48
22. Nilai LQ kambing ........................................................................................... 49
23. Nilai LQ domba............................................................................................... 50
24. Peta wilayah basis (LQ>1) ternak kambing .................................................... 51
25. Potensi pakan hijauan (ton BK/tahun) ............................................................ 52
26. Peta potensi pakan hijauan .............................................................................. 53
27. Potensi pakan rumput (ton BK/tahun)............................................................. 54
28. Peta potensi pakan rumput di Kabupaten Tasikmalaya .................................. 55
29. Potensi pakan jerami (ton BK/tahun) .............................................................. 56
30. Peta potensi produksi pakan jerami di Kabupaten Tasikmalaya ..................... 57
31. Kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi pakan (ST) ............ 58
32. Peta kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi pakan (ST) .... 59
33. Kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi rumah tangga
petani (ST)....................................................................................................... 60
34. Peta kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi rumah
tangga petani ................................................................................................... 61
35. Peningkatan populasi ternak ruminansia (PPTR) berdasarkan potensi
pakan (ST) ....................................................................................................... 62
36. Peta penambahan populasi ternak ruminansia (PPTR-efektif)
berdasarkan potensi pakan (ST) ...................................................................... 64
37. Urutan prioritas wilayah pengembangan berdasarkan potensi
penambahan populasi ternak ruminansia (PPTR-Efektif)............................... 66

DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta wilayah pengembangan utama (WPU) di Kabupaten Tasikmalaya ........ 73
2. Luas wilayah, jumlah penduduk, kepadatan penduduk dan jumlah rumah
tangga petani di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014..................................... 74
3. Ketinggian, iklim/suhu dan curah hujan di Kabupaten Tasikmalaya ............. 75
4. Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014
(Satuan Ternak/ST) ......................................................................................... 77
5. Hasil penghitungan analisis pendapatan peternak sapi potong ....................... 78
6. Hasil penghitungan pendapatan peternak sapi perah ..................................... 79
7. Hasil penghitungan pendapatan peternak kerbau ............................................ 80
8. Hasil penghitungan pendapatan peternak kambing......................................... 81
9. Hasil penghitungan pendapatan peternak domba ............................................ 82
10. Nilai Location Quotion ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya
tahun 2014 ....................................................................................................... 83
11. Potensi pakan hijauan di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014 ....................... 84
12. Kapasitas tampung wilayah (KWT-Pakan) dan potensi penambahan
ternak ruminansia berdasarkan potensi pakan (PPTR-Pakan) ........................ 85
13. Kapasitas tampung wilayah (KWT-KK) dan potensi penambahan ternak
ruminansia berdasarkan rumah tangga petani (PPTR-KK) ............................. 86
14. Wilayah kecamatan dengan nilai penambahan populasi ternak (PPTR-
Efektif) ............................................................................................................ 87
15. Kuesioner penelitian........................................................................................ 88
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemajuan pembangunan nasional tidak terlepas dari peran bidang


peternakan. Subsektor peternakan memiliki peran yang strategis dalam
menyediakan sumber pangan, energi, dan sumber pendukung lainnya.
Pengembangan subsektor peternakan yang berkembangan di perdesaan diprediksi
akan berdampak pada kemajuan kehidupan perekonomian dan pembangunan
sumberdaya manusia Indonesia. Kebijakan otonomi daerah mendorong setiap
daerah untuk mengembangan peternakan dengan perhitungan kecukupan pangan
hewani berupa daging, telur dan susu. Pengembangan ternak tersebut diarahkan
pada wilayah-wilayah tertentu sebagai sentra pengembangan berbasis kawasan
yang mengacu pada Permentan 50/2012 tentang pedoman pengembangan kawasan
pertanian, Kepmentan 43/2015 tentang penetapan kawasan sapi potong, kerbau,
kambing, sapi perah, domba dan babi nasional dan peraturan pemerintah nomor 6
tahun 2013 tentang pemberdayaan peternak, maka pendekatan pembangunan
peternakan dan kesehatan hewan ke depan diarahkan ditempuh melalui
pengembangan sentra peternakan rakyat berbasis kawasan (DPKH, 2015).
Prioritas pembangunan peternakan di wilayah Indonesia di masa yang akan
datang cenderung berada di luar Jawa, terutama di Indonesia bagian timur.
Kecenderungan ini berdasarkan pertimbangan utama ketersediaan lahan yang luas
dan kepadatan penduduk yang masih sedikit. Namun demikian, tidak menutup
peluang pengembangan ternak di pulau Jawa yang merupakan pasar terbesar
produk peternakan, terutama wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Hasil sensus
pertanian tahun 2013 yang dirilis BPS (2014), jumlah ternak unggas yang
dipelihara oleh rumah tangga pertanian di Indonesia, ayam ras pedaging
merupakan ternak yang paling banyak diusahakan yaitu sebanyak 1.306.663.850
ekor, ayam lokal sebanyak 87.904.370 ekor dan ayam ras petelur sebanyak
81.148.992 ekor. Sementara itu untuk jenis ternak ruminansia yang paling banyak
diusahakan adalah kambing sebanyak 13.491.190 ekor dan sapi potong sebanyak
12.329.477 ekor. Populasi kambing dan sapi potong mayoritas berada di Provinsi
Jawa Timur, yaitu masing-masing sebanyak 4.151.397 ekor dan 3.545 493 ekor.
Ternak yang diusahakan/dipelihara oleh rumah tangga pertanian dibedakan
menjadi empat kelompok, yaitu; kelompok ternak besar terdiri dari sapi potong,
sapi perah, kerbau, dan kuda; kelompok ternak kecil terdiri dari kambing, domba,
dan babi; kelompok unggas terdiri dari ayam lokal (ayam kampung dan ayam
lokal lainnya), ayam ras petelur, ayam ras pedaging, itik, dan itik manila, serta
kelompok ternak lainnya terdiri dari angsa, kalkun, burung merpati, burung
puyuh, dan kelinci. Hasil sensus pertanian tahun 2013 juga menunjukan bahwa
rumah tangga usaha pertanian subsektor peternakan memiliki jumlah rumah
tangga usaha terbanyak kedua yaitu 12.969.210 rumah tangga, setelah subsektor
tanaman pangan. Mayoritas rumah tangga peternakan di Indonesia mengusahakan
satu jenis ternak. Jawa Timur merupakan provinsi yang paling banyak mempunyai
rumah tangga yang mengusahakan satu jenis ternak yaitu 2.180.569 rumah tangga,
diikuti Provinsi Jawa Tengah sebanyak 1.654.402 rumah tangga, dan Provinsi
Jawa Barat sebanyak 911.881 rumah tangga.
2

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki keunggulan
komparatif dalam pengembangan peternakan. Keunggulan tersebut ditunjukan
dengan populasi ternak unggas pada tahun 2012 sebagai berikut: ternak ayam ras
pedaging 610.436.303 ekor; ayam buras 27.224.219 ekor; ayam ras petelur
12.271.938 ekor; dan Itik 8.773.043 ekor. Populasi ternak ruminanasia yang
terdiri dari domba sebanyak 8.249.844 ekor; kambing 2.303.256 ekor; sapi potong
429.637 ekor; dan sapi perah 136.054 ekor (Disnak Provinsi Jawa Barat, 2012).
Namun demikian, keunggulan tersebut sampai saat ini belum sepenuhnya mampu
memberikan kesejahteraan bagi para peternak serta terhadap masyarakat secara
wajar dan merata. Salah satu komoditas potensial yang belum dikembangkan
secara optimal adalah komoditas ternak ruminansia, padahal komoditas ini
menyumbang kontribusi penyediaan hewani yang cukup baik dan diusahakan oleh
masyarakat di pedesaan. Penyediaan kebutuhan masyarakat terhadap komoditas
telur, daging dan susu sampai saat ini baik jumlah maupun keterjangkauan masih
kurang dan memerlukan pasokan dari luar wilayah bahkan dari luar negeri, karena
produksi dan distribusi produk masih terkendala berbagai faktor. Dilain pihak
melihat laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat relatif tinggi dibandingkan
dengan daerah lain yaitu tercatat laju pertumbuhan penduduk selama sepuluh
tahun terakhir yaitu pada tahun 2000-2010 adalah sebesar 1,90%, demikian pula
pengaruh dari income per kapita Jawa Barat serta tingkat pendidikan, akan
mendorong permintaan konsumsi produk peternakan terus meningkat. Pada tahun
2012 tingkat konsumsi protein yang berasal dari ternak di Jawa Barat baru
mencapai konsumsi rata-rata 6,71 gram protein/kapita/hari (Disnak Provinsi Jawa
Barat, 2012). Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi
protein hewani harus didukung dengan ketersediaan produk ternak yang dapat
dihasilkan dari sentra-sentra pengembangan peternakan.
Salah satu lokasi sentra produksi peternakan ruminansia di Jawa Barat
adalah Kabupaten Tasikmalaya. Kabupaten Tasikmalaya merupakan wilayah di
bagian selatan Jawa Barat yang diarahkan sebagai wilayah pengembangan ternak
ruminansia. Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya hampir 20%
dari total populasi ternak ruminansia di Jawa Barat. Berdasarkan data BPS
Kabupaten Tasikmalaya (2015), populasi ternak ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya pada tahun 2014 adalah 61.667 ekor ruminansia besar yang terdiri
dari 47.427 ekor sapi potong, 1.986 ekor sapi perah, 11.892 ekor kerbau dan 362
ekor kuda. Sedangkan populasi ternak ruminansia kecil di Kabupaten Tasikmalaya
adalah 392.657 ekor yang terdiri dari 76.592 ekor kambing dan 316.065 ekor
domba. Potensi peternakan di Kabupaten Tasikmalaya juga di dukung oleh letak
geografis Kabupaten Tasikmalaya yang strategis terhadap pasar yaitu dekat
dengan pusat ibu kota Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Namun demikian,
kemampuan produksi dan populasi ternak di Kabupaten Tasikmalaya belum
mampu memenuhi permintaan pasar secara optimal karena rendahnya
produktivitas. Kelemahan tersebut diantaranya disebabkan belum optimalnya
pemanfaatan kesesuaian bionomika ternak dengan kegiatan produksi peternakan.
Menurut Fatah et al (2012), rendahnya produktivitas ternak ruminansia di suatu
wilayah disebabkan berbagai keterbatasan antara lain: (a) ketersediaan pakan
terutama pada musim kemarau; (b) manajemen budidaya ternak yang masih
tradisional; (c) kelembagaan peternak yang belum berfungsi secara optimal; dan
(d) ancaman akibat pergeseran fungsi lahan garapan sumber pakan.
3

Wilayah Kabupaten Tasikmalaya terdiri dari 39 kecamatan dan 351 desa,


dengan karakteristik wilayah terdiri dari 34 daerah perkotaan dan 317 daerah
perdesaan, 11 desa diantaranya merupakan wilayah pesisir. Kabupaten
Tasikmalaya memiliki luas 270.882 hektar dengan luas lahan pertanian 242.416
hektar (sawah 51.188 hektar dan bukan sawah 191.228 hektar) dan lahan non
pertanian 28.466 hektar (BPS Kab. Tasikmalaya, 2015). Penggunaan lahan di
Kabupaten Tasikmalaya yang didominasi oleh kegiatan pertanian merupakan
potensi untuk menghasilkan hijauan pakan ternak dari tanaman rumput maupun
dari limbah pertanian. Menurut Wiyatna et al (2012), penyediaan hijauan pakan
sebagian besar berasal dari pemanfaatan lahan garapan seperti sawah, ladang dan
hutan. Penyediaan hijauan pakan ternak sangat dipengaruhi oleh musim, dimana
pada musim penghujan hijauan pakan sangat berlimpah sedangkan pada musim
kemarau sebaliknya. Faktor lain yang mempengaruhi menurunnya ketersediaan
pakan adalah pergeseran lahan-lahan pertanian penghasil limbah pertanian yang
mengalami penurunan luas akibat persaingan dengan penggunaan lahan untuk
keperluan non pertanian (Nahrowi, 2015). Oleh karena itu, menurut Preston dan
Leng (1987) diperlukan suatu pola yang jelas antara ketersediaan rumput,
leguminosa, jerami padi serta limbah pertanian lainnya untuk menjamin
ketersediaan pakan secara berkesinambungan yang sesuai dengan kondisi
wilayah-wilayah pengembangan peternakan ruminansia terkait dengan potensi,
kapasitas tampung dan ekologinya.

Perumusan Masalah

Subsektor peternakan merupakan salah satu kegiatan yang potensial dan


prospektif bagi peningkatan ekonomi perdesaan. Komoditas peternakan,
khususnya ternak ruminansia secara umum berada di perdesaan yang terkait
dengan sumberdaya alam sesuai dengan bionomikanya. Kesesuaian bionomika
tersebut merupakan kunci keberhasilan pengembangan komoditas ternak
ruminansia yang terdiri dari tiga komponen utama yang saling terkait, yaitu lahan,
ternak dan pakan. Menurut Abdullah (2014), sistem pemeliharaan ternak
ruminansia skala menengah ke bawah masih mengalami kendala signifikan dalam
penyediaan bibit dan bahan pakan, hal ini menjadi penyebab belum maksimalnya
produksi ternak lokal. Sementara itu, Tawaf dan Daud (2010) berpendapat bahwa
kecukupan pakan pada usaha ternak ruminansia masih menjadi kendala yang
sangat dipengaruhi oleh pergerakan musim dimana pada musim tertentu tingkat
ketersediaan pakan akan menurun tajam dan sebaliknya. Ketersediaan pakan juga
dipengaruhi oleh pola penggunaan/pemilikan lahan serta menyebarnya lokasi-
lokasi sumberdaya pakan yang berjauhan dengan kawasan-kawasan usaha
peternakan sehingga diperlukan suatu model pengelolaan sumberdaya pakan
sesuai dengan supply-demand dan potensinya secara terintegrasi.
Komoditas ternak strategis di Kabupaten Tasikmalaya meliputi sapi
potong, domba, sapi perah, kambing, ayam ras pedaging dan itik. Pada tahun
2014 perkembangan populasi ternak tersebut berkisar antara 1,72-46,22% jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jenis ternak yang prospektif untuk
dikembangkan saat ini adalah sapi potong, kambing dan domba. Peluang pasar
untuk komoditas ternak ruminansia sangat terbuka lebar, permintaan sapi potong
tidak kurang dari 14.000 ekor, sedangkan dari potensi lokal baru terpenuhi sekitar
4

15%, sisanya sebesar 85% harus mendatangkan dari luar kabupaten dan bahkan
dari luar Provinsi Jawa Barat antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur dan
impor (Disnakkanla Kab. Tasikmalaya, 2015).
Pada tahun 2013, lahan pengangongan dengan status milik desa tercatat
8.434 hektar, dengan perkiraan produksi rumput 164.733 ton bahan kering/tahun
dengan estimasi kapasitas tampung mencapai 176.482 ekor, tersebar di
Kecamatan Salopa, Cikatomas, Pancatengah, Cibalong, Karangnunggal,
Bantarkalong dan Cikalong, cenderung mengalami penurunan fungsi dan daya
dukungnya. Demikian juga dengan kondisi sosial ekonomi yang ditunjukan
dengan jumlah kelompok peternak sebanyak 100 kelompok dengan anggota tiap
kelompok berkisar 20-30 orang pada skala usaha dua sampai tiga ekor ternak
ruminansia (khususnya sapi) juga cenderung stagnan (Disnakanla Kab.
Tasikmalaya, 2014). Kondisi ini dikhawatirkan akan berdampak pada hilangnya
lokasi-lokasi produksi peternakan akibat degradasi lahan dan alih fungsi lahan.
Karakteristik usaha ternak yang masih tradisional sebagai usaha sambilan serta
rendahnya skala usaha dan kepemilikan ternak juga dapat berpengaruh terhadap
perkembangan ekonomi wilayah dari subsektor peternakan. Oleh karena itu,
pengembangan peternakan, khususnya ternak ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya perlu kembali di arahkan pada wilayah-wilayah pengembangan yang
tepat sesuai dengan bionomika dan potensi daya dukung wilayahnya. Berdasarkan
uraian-uraian tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana potensi pengembangan ternak ruminansia berdasarkan tingkat
penyebaran populasi, wilayah basis dan karakteristik ekologi serta
karakteristik usaha dan pendapatan peternaknya ?
2. Bagaimana potensi dan daya dukung wilayah berdasarkan ketersediaan
sumberdaya pakan lokal serta kapasitas tampungnya ?
3. Bagaimana prioritas perencanaan pembangunan wilayah untuk lokasi
pengembangan usaha ternak ruminansia berdasarkan kesesuaian
bionomikanya ?

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi sumberdaya peternakan berdasarkan penyebaran populasi


ternak ruminansia untuk memperoleh lokasi wilayah basis, karakteristik usaha
serta tingkat pendapatan peternak di Kabupaten Tasikmalaya.
2. Menganalisis potensi ekologi dan daya dukung wilayah berdasarkan
ketersediaan sumberdaya pakan lokal untuk mengetahui kapasitas tampung
wilayah terhadap pengembangan ternak ruminansia.
3. Menetapkan lokasi prioritas pengembangan usaha ternak ruminansia dalam
perencanaan pembangunan wilayah Kabupaten Tasikmalaya.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi atas permasalahan


pengembangan wilayah berbasis peternakan khususnya komoditas ternak
ruminansia terkait dengan bionomika dan potensi daya dukung wilayah di
Kabupaten Tasikmalaya, serta dapat dijadikan sumber acuan penelitian lebih
lanjut.
5

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah pada aspek biofisik dan manajemen
sumberdaya lingkungan dalam pembangunan wilayah melalui pengembangan
ternak ruminansia berdasarkan penyebaran populasi pada wilayah basis dan non
basis, karakteristik usaha dan tingkat pendapatan peternak, dan potensi ekologi
serta daya dukung wilayahnya (lahan dan sumberdaya pakan lokal) sebagai suatu
sistem bionomika ternak ruminansia. Kesesuaian aspek-aspek dalam bionomika
tersebut dikaji untuk menetapkan lokasi-lokasi prioritas pengembangan usaha
ternak ruminansia dalam perencanaan pembangunan wilayah.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Bionomika Peternakan

Menurut Soeharsono (2008), bionomika adalah ilmu yang membahas


interaksi manusia dengan hewan dalam suatu ekosistem sehingga berkembang
kondisi adaptif tekno-sosio-ekonomi yang mendukung pemanfaatan ternak dan
pengembangan potensinya untuk kesejahteraan manusia. Lokasi geografis
merupakan salah satu faktor yang menentukan berkembangnya jenis peternakan
dengan basis ekologis manusia dan ternak yang tidak dapat dipisahkan. Manusia
berusaha memanfaatkan ternak melalui teknologi pemeliharaan tertentu dan
berorientasi ekonomi. Untuk dapat meningkatkan produksi ternak, upaya
memperkecil hambatan lingkungan dilakukan dengan mempertimbangan faktor
klimatologi dan nutrisi yang sesuai dengan genetika ternak.
Peternakan merupakan suatu ekosistem yang bersifat artificial dalam skala
kecil dibandingkan dengan yang alami. Terdapat empat karakteristik utama
ekosistem yang digunakan dalam penyusunan kriteria lingkungan ekologis dalam
pengembangan ternak ruminansia, yaitu: temperatur (suhu rata-rata dan
kelembaban); ketersediaan air (curah hujan, bulan kering, dan sumber air) dan
kualitas air; terrain (elevasi dan lereng); dan persentase kandungan batuan.
Pemanfaatan lahan sebagai ekosistem peternakan didasarkan pada posisi bahwa;
(a) lahan adalah sumber pakan untuk ternak; (b) semua jenis lahan cocok sebagai
sumber pakan; (c) pemanfaatan lahan untuk peternakan diartikan sebagai usaha
penyerasian antara peruntukan lahan dengan sistem pertanian; dan (d) hubungan
antara lahan dan ternak bersifat dinamis (Suratman et al, 1998).
Ketersediaan lahan sebagai sumber pakan ternak semakin berkurang akibat
digunakan lahan terbuka untuk perumahan dan kecendrungan dari petani untuk
menanam lahan dengan tanaman pertanian yang dapat bermanfaat langsung untuk
kebutuhan manusia. Maka pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan alternatif
adalah salah satu solusi untuk menanggulagi kekurangan pakan ternak ruminansia.
Dengan diversifikasi pemanfaatan produk samping (by-product) yang sering
dianggap sebagai limbah (waste) dari limbah pertanian dan perkebunan menjadi
pakan dapat mendorong perkembangan agribisnis ternak ruminansia secara
integratif dalam suatu sistem produksi terpadu dengan pola pertanian dan
perkebunan melalui daur ulang biomas yang ramah lingkungan atau dikenal “zero
waste production system” (Wahyono et al, 2003).
6

Ruminansia adalah kelompok hewan mamalia yang bisa memah (memakan)


dua kali sehingga kelompok hewan tersebut dikenal juga sebagai hewan
memamah biak. Prospek usaha ternak ruminansia (sapi, kambing, domba) di
Indonesia seperti Jawa, Sumatera dan Sulawesi sangat menjanjikan baik dilihat
dari segi teknis, ekonomis dan sosial. Secara teknis, usaha ternak ruminansia
sudah cukup berkembang dan mudah menyesuaikan dengan lingkungan. Secara
ekonomis memiliki pangsa pasar cukup besar baik untuk pemenuhan kebutuhan
dalam negeri maupun untuk ekspor. Secara sosial, ternak sapi, kambing dan
domba sudah memasyarakat di kalangan peternak dan dagingnya digemari
masyarakat (Soetanto, 2000).
Yusdja (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya ada enam bentuk struktur
penguasaan dan pengusahaan ternak ruminansia yang dapat dipahami yaitu:
(a) kelompok peternakan rakyat wilayah tanaman pangan, pada kelompok ini
pemeliharaan ternak sapi bersifat tradisional dan pemilikan sapi erat kaitannya
dengan usaha pertanian, bentuk ini umumnya ditemukan di pulau Jawa; (b)
kelompok peternakan rakyat yang tidak terkait dengan tanaman pangan, dengan
pola pemeliharaan sapi bersifat tradisional dan pemilikan erat kaitannya dengan
ketersediaan padang penggembalaan atau hijauan, bentuk pemeliharaan ternak
seperti ini sudah umum di Sumatera dan Indonesia Bagian Timur; (c) kelompok
peternakan rakyat dengan sistem bagi hasil, dimana pola pemeliharaan ternak
mempunyai tujuan yang tergantung pada kesepakatan; (d) kelompok usaha
peternakan rakyat dan skala kecil dengan pemeliharaan bersifat intensif; (e)
kelompok usaha peternakan skala menengah dengan pemeliharaan sapi sangat
intensif, penggunaan teknologi rendah, contoh kelompok ini adalah kelompok
usaha ternak sapi potong mandiri dan kelompok usaha ternak sapi potong
bermitra; serta (f) kelompok usaha peternakan swasta skala besar (feedlotters).
Usaha ternak ruminansia saat ini cenderung dilakukan dengan pola
pemeliharaan intensif dengan menggunakan teknologi tinggi. Namun demikian,
menurut Yusdja dan Ilham (2003) dimasa yang akan datang struktur pemilikan
atau pengusahaan ternak akan mengalami perubahan, karena hal-hal berikut: (a)
adanya perubahan struktur penggunaan lahan, dari persawahan menjadi lahan
untuk keperluan sektor non pertanian sehingga jika keberadaan ternak ruminansia
dikaitkan dengan perkembangan pertanian, berarti dengan menyusutnya lahan
pertanian akan diikuti oleh menyusutnya jumlah ternak; (b) introduksi traktor akan
menggantikan peran ternak sapi, akan menyebabkan hilangnya budaya pertanian
dengan menggunakan ternak sapi. Introduksi traktor pertanian bagaimanapun juga
akan mempengaruhi populasi ternak. Selama ini kebijakan introduksi traktor tidak
disertai dengan kebijakan yang dapat mengarahkan tujuan pemeliharaan ternak
menjadi sumber penghasil daging; (c) suplai daging dari usaha rakyat menghadapi
stagnasi sedangkan permintaan daging sapi terus melonjak maka akan muncul
perusahaan-perusahaan skala besar untuk mengisi kekosongan produksi sapi yang
tidak lagi bisa diandalkan dari usaha rakyat; dan (d) pergeseran tenaga pertanian
dari pedesaan ke kota menyebabkan penurunan jumlah petani dan sekaligus
menyebabkan menyusut pula jumlah pengelola ternak, sehingga jumlah ternak
diramalkan menyusut. Sekalipun petani yang masih tertinggal telah diberi
penyuluhan tentang mengalihkan fungsi sapi dari fungsi kerja menjadi sumber
pendapatan, tetapi pemerintah tidak menyadari bahwa tindakan itu berarti
mengubah budaya padat karya menjadi padat modal.
7

Pembangunan Wilayah

Budiharsono (2001) memberikan definisi wilayah sebagai unit geografi


yang dibatasi kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal.
Wilayah dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu : (a) wilayah homogen adalah
wilayah dipandang dari aspek atau kinerja yang mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri
yang relatif sama dan dibatasi berdasarkan keseragaman internal; (b) wilayah
nodal adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara
pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat
dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa ataupun komunikasi
dan transportasi. (c) wilayah administrasi adalah wilayah yang batas-batasnya
ditentukan pemerintah atau politik seperti propinsi, kabupaten, kecamatan, desa
atau kelurahan dan RT atau RW.
Menurut Sukirno (1985), teori perekonomian regional dibagi menjadi dua
sektor yaitu kegiatan basis dan kegiatan non basis. Kegiatan basis adalah kegiatan-
kegiatan yang mengekspor barang dan jasa ke tempat-tempat di luar batas
perekonomian yang bersangkutan. Kegiatan non basis adalah kegiatan yang
menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bertempat
tinggal di dalam batas-batas perkonomian masyarakat yang bersangkutan. Inti dari
model ekonomi basis adalah bahwa arah dan petumbuhan suatu wilayah
ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut yang berupa barang dan jasa serta tenaga
kerja.
Pembangunan wilayah yang berbasis pada peternakan sebagai komoditas
unggulan harus didasarkan pada penetapan jenis ternak sebagai komoditas basis,
pengembangan kelembagaan peternak, peningkatan usaha dan industri peternakan,
optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan serta perlindungan sumberdaya alam
lokal yang didukung oleh pengembangan teknologi tepat guna dan ramah
lingkungan (Pambudy dan Sudardjat, 2000). Pembangunan subsektor peternakan
pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan populasi maupun produksi ternak
dan hasil ikutannya, yang pada gilirannya diharapkan dapat mendongkrak
pendapatan petani ternak, mendorong diversifikasi pangan dan perbaikan mutu
gizi masyarakat serta mengembangkan pasar ekspor terutama untuk mencapai
kedaulatan pangan. Pengembangan usaha ternak ruminansia dilakukan melalui
model kawasan sentra peternakan. Menurut Sunaryo dan Joshi (2003), kawasan
peternakan adalah kawasan yang secara khusus diperuntukan untuk kegiatan
peternakan atau terpadu sebagai komponen usahatani (berbasis tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan atau perikanan) dan terpadu sebagai komponen
ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung atau suaka alam)
Menurut Imam (2003), strategi pengembangan peternakan melalui kawasan
sentra peternakan terpadu sebagai sebuah klaster diarahkan pada suatu kawasan
khusus maupun terintegrasi dengan komoditi lainnya serta terkonsentrasi di suatu
wilayah. Pengembangan kawasan peternakan ini sangat penting perannya dalam
efisiensi dan efektivitas pelayanan teknis dan ekonomis. Pelayanan teknis seperti
inseminasi buatan, kesehatan hewan, pakan, bibit dan pelayanan ekonomis seperti
pasar, rumah potong hewan, perkreditan dan permodalan, yang dana, sarana dan
tenaga menjadi lebih terfokus untuk satu kawasan. Klaster memungkinkan
pemasaran hasil ternak lebih ekonomis dalam pelayanan pasar karena dengan
klaster memungkinkan terjadinya pemasaran hasil bersama. Pengembangan
8

kawasan ini juga diarahkan kepada peningkatan investasi yang menarik bagi
semua pihak karena sudah tersedia ternak dan pelayanan yang bersifat teknis dan
ekonomis. Pusat pertumbuhan komoditas tersebut dapat menjadi sentra produksi
utama suatu komoditas peternakan yang mengarah kepada keunggulan komparatif
suatu wilayah (one village one product).
Ahmad (2004) menambahkan bahwa minimal dalam satu kawasan
peternakan satu rumah tangga peternak memiliki dua sampai tiga ekor sapi
potong, sehingga akan terdapat sekitar 300 ekor dalam satu klaster yang tergabung
dalam satu Gapoktan. Kelayakan secara ekonomi dalam satu kawasan/klaster
harus memenuhi batas minimal usaha yaitu dua ekor kerbau; 30 ekor ayam buras;
enam ekor domba/kambing; dan 15 ekor itik. Jumlah ternak ini sudah dianggap
memenuhi syarat minimal untuk disebut sebagai skala ekonomi sehingga
memerlukan layanan teknis yaitu layanan perbibitan, budidaya, pakan, layanan
kesehatan hewan dan layanan kesehatan masyarakat veteriner. Selain itu, dalam
satu klaster harus terdapat layanan bersifat ekonomi dan kelembagaan yaitu
layanan infrastruktur terpadu yang mencakup pengolahan dan pemasaran, layanan
permodalan, layanan transportasi yaitu untuk pengangkutan ternak dan jalan usaha
tani serta layanan pendampingan (kelembagaan).

Potensi dan Daya Dukung Wilayah

Menurut Suratman et al (1998), lahan merupakan sumberdaya alam yang


berkaitan erat dengan usaha peternakan, khususnya untuk ternak ruminansia
sebagai pemakan hijauan (herbivora). Berdasarkan kebutuhan lahan, usaha
peternakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: usaha peternakan yang berbasis
lahan (land base agriculture) dan usaha peternakan yang tidak berbasis lahan (non
land base agriculture). Khusus untuk usaha peternakan yang berbasis lahan yaitu
ternak dengan komponen pakannya sebagian besar terdiri atas tanaman hijauan
(rumput dan leguminosa), lahan merupakan faktor penting sebagai lingkungan
hidup dan pendukung pakan.
Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak antara lain: lahan
sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat, dengan
tingkat kepadatan tergantung kepada keragaman dan intensitas tanaman,
ketersediaan air, serta jenis ternak yang dipelihara. Luasnya lahan sawah, kebun,
dan hutan tersebut memungkinkan pengembangan pola integrasi ternak-tanaman
yang merupakan suatu proses saling menunjang dan saling menguntungkan,
melalui pemanfaatan tenaga sapi untuk mengolah tanah dan kotoran sapi sebagai
pupuk organik. Sementara lahan sawah dan lahan tanaman pangan menghasilkan
jerami padi dan hasil sampingan tanaman yang dapat diolah sebagai makanan sapi.
Sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan rumput alam dan jenis
tanaman lain. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan
ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan
produktivitas ternak (Imam, 2003).
Menurut Soemarwoto (1983), daya dukung adalah suatu ukuran jumlah
individu dari suatu spesies yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu. Tiga
pengertian daya dukung, yaitu: (a) pengertian daya dukung yang berhubungan
dengan kurva logistik, dimana daya dukung adalah asimtot atas dari kurva
tersebut, batasan daya dukung adalah batasan teratas dari pertumbuhan populasi
9

dimana pertumbuhan populasi tidak dapat didukung lagi oleh sumberdaya dan
lingkungan yang ada; (b) pengertian daya dukung yang dikenal dalam ilmu
pengelolaan margasatwa, daya dukung adalah jumlah individu yang dapat
didukung oleh suatu habitat; (c) pengertian daya dukung yang dikenal dalam
pengelolaan padang penggembalaan, daya dukung adalah jumlah individu yang
dapat didukung oleh lingkungan dalam keadaan sehat tanpa mengganggu
kerusakan tanah. Daya dukung menunjukkan besarnya kemampuan lingkungan
untuk mendukung kehidupan hewan, yang dinyatakan dalam jumlah ekor per
satuan luas lahan. Jumlah hewan yang dapat didukung kehidupannya itu
tergantung pada biomas (bahan organik tumbuhan) yang tersedia untuk hewan.

Sumberdaya Pakan Lokal

Menurut Nahrowi (2015), Indonesia sebenarnya memiliki sumber-sumber


bahan baku pakan lokal yang melimpah, namun belum dimanfaatkan secara
optimal. Kendala dalam pemanfaatan bahan baku lokal diantaranya adalah
ketersediaan yang menyebar dan tidak kontinyu, kualitas yang masih rendah
karena penanganan pasca panen yang kurang tepat, adanya pemalsuan dan
kontaminasi. Salah satu sumber daya pakan adalah hijauan merupakan semua
bahan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan. Kelompok hijauan
makanan ternak meliputi famili rumput (gramineae), leguminosa, dan hijauan dari
tumbuhan lain, seperti daun waru, nangka, dan lain-lain. Hijauan sebagai pakan
ternak dapat diberikan dalam keadaan segar dan dalam keadaan kering.
Peningkatan produksi dan produktivitas ternak ruminansia sangat
tergantung dari tiga faktor yaitu pakan, pemuliabiakan dan pemeliharaan. Pakan
bagi ternak ruminansia tergantung dari penyediaan hijauan dengan jumlah cukup,
berkualitas tinggi dan berkesinambungan sepanjang tahun. Rendahnya nilai gizi
dan fluktuasi produksi hijauan pakan sepanjang tahun merupakan masalah
penyediaan pakan di Indonesia sampai saat ini. Pakan merupakan salah satu faktor
dasar yang penting dalam usaha ternak karena mempunyai pengaruh yang besar
terhadap produktivitas ternak. Pakan dari sudut nutrisi merupakan salah satu unsur
yang sangat penting untuk menunjang kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan,
produksi dan atau reproduksi ternak. Pakan yang baik akan menjadikan ternak
sanggup menjalankan fungsi proses dalam tubuh secara normal. Dalam batas
normal, pakan bagi ternak berguna untuk menjaga keseimbangan jaringan tubuh,
dan menghasilkan energi sehingga mampu melakukan peran dalam proses
metabolisme (Sutrisno, 2009).
Abdullah (2014) menyatakan bahwa dalam pengembangan ternak
ruminansia di Indonesia, hijauan makanan ternak adalah faktor yang sangat
penting dengan komposisi yang terbesar yaitu 70-80% dari total biaya
pemeliharaan. Tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak pada suatu wilayah
merupakan salah satu faktor yang sangat penting serta turut mempengaruhi
dinamika populasi dalam keberhasilan pengembangan ternak khususnya ternak
herbivora. Menurut Sudardjat (2000), dalam memperhitungkan potensi suatu
wilayah untuk mengembangkan ternak secara teknis, perlu dilihat populasi ternak
yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi hijauan makanan ternak
yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Menurut Budiman (2001),
secara umum permasalahan dalam pengembangan pakan adalah: (a) kebutuhan
10

bahan baku pakan tidak seluruhnya dipenuhi dari lokal sehingga masih
mengandalkan impor; (b) bahan baku pakan lokal belum dimanfaatkan secara
optimal; (c) ketersediaan pakan lokal tidak kontinyu dan kurang berkualitas; (d)
penggunaan tanaman legum sebagai sumber pakan belum optimal; (e)
pemanfaatan lahan tidur dan lahan integrasi masih rendah; (f) penerapan teknologi
pakan masih rendah; (g) produksi pakan nasional tidak pasti akibat akurasi data
yang kurang tepat, serta (h) penelitian dan aplikasinya tidak sejalan.
Pengembangan pakan seharusnya mengembangkan potensi sumberdaya
pakan lokal dengan teknologi yang sesuai. Ketersediaan dan harga jenis pakan
sangat tergantung pada musim. Jika musim kemarau atau musim hujan terlalu
panjang, maka para peternak akan kesulitan mencari bahan pakan untuk ternaknya
dan harga rumput sangat tinggi pada musim kemarau karena kelangkaannya,
sedangkan pada musim penghujan ketersediaanya sangat melimpah dan harganya
murah. Sementara untuk limbah pertanian dan industri pertanian, secara umum
keberadaannya masih melimpah dan pemanfaatan masih belum optimal, maka
perlu adanya sebuah teknologi untuk mengolah maupun mengawetkan sumber
pakan baik yang berasal dari limbah maupun hijauan. Teknologi pengolahan
pakan sebagai sebuah teknologi pendukung untuk usaha ternak, relatif sudah
dikembangkan untuk peternakan unggas, namun belum banyak untuk ruminansia
(Sutrisno, 2009; Sudardjat, 2000; Budiman, 2001).

Penelitian Terkait

Penelitian terkait dengan topik pengembangan peternakan berbasis wilayah


sudah banyak dilakukan. Topik-topik penelitian tersebut pada umumnya mengkaji
aspek potensi wilayah berdasarkan kesesuaian lahan dan kapasitas tampung
penambahan populasi ternak. Berikut beberapa topik penelitian terkait :
1. Penelitian dengan judul Regional Analysis of Climate, Primary Production,
and Livestock Density in Inner Mongolia bertujuan untuk menganalisis
wilayah pengembangan peternakan dengan analisis spasial terhadap iklim dan
produksi peternakan berdasarkan daya dukung lahan. Alat analisis yang
digunakan adalah daya dukung hijauan dan biomass serta analisis spasial.
Penelitian ini dilakukan oleh Mei Y, James EE, and Howard EE,
dipublikasikan pada Jurnal Environment Qual Nomor 33 tahun 2004:1675–
1681.
2. Penelitian dengan judul Analysis of Regional Distribution Capacity and
Priorities for Improving Beef Cattle Population in East Nusa Tenggara
Province. Penelitian bertujuan: (a) menganalisis tingkat kapasitas penambahan
populasi sapi pada setiap kabupaten; dan (b) merumuskan skala prioritas tiap
wilayah kabupaten untuk pengembangan sapi. Metode yang digunakan adalah
analisis kapasitas peningkatan populasi ternak sapi (KPPTS menggunakan
persamaan potensi maksimum berdasarkan sumberdaya lahan (PMSDL) dan
potensi maksimum berdasarkan jumlah kepala keluarga (PMKK). Analisis
rasio densitas penduduk dan ternak digunakan untuk merumuskan kebijakan
pengembangan sapi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (a) kapasitas
wilayah NTT masih sangat besar untuk penambahan ternak sapi hingga sekitar
3,2 kali dari populasi saat ini (berdasarkan sumberdaya lahan dan tenaga
kerja), dengan tingkat teknologi dan manajemen yang ada. Wilayah kabupaten
11

dengan sumberdaya lahan besar namun sumberdaya tenaga kerja kecil (atau
pun sebaliknya), akan memiliki nilai KPPTS efektif yang kecil pula,
tergantung pada sumberdaya fisik mana yang paling terbatas; dan (b) skala
prioritas wilayah tidak didominasi wilayah dengan jumlah sapi terbanyak saja.
Jumlah kepala keluarga dan lahan garapan berpengaruh positif dan dominan
(dibanding luas padang rumput) terhadap KPPTS Efektif. Penelitian ini
dilakukan oleh UR Lole, S Hartoyo, Kuntjoro, & IW Rusastra, dipublikasikan
pada Jurnal Media peternakan Volume April 2013:70-78.
3. Penelitian dengan judul Inventarisasi dan Pemetaan Lokasi Budidaya dan
Lumbung Pakan Ternak Sapi Potong. Penelitian ini bertujuan untuk
menginventarisir dan memetakan wilayah-wilayah pusat sapi potong dan
lumbung pakan terutama hijauan dan sumber konsentrat di Provinsi Jawa
Barat. Alat analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis laju
pertumbuhan populasi, analisis kesesuaian ekologi ternak, analisis potensi
pakan, analisis kapasitas tampung wilayah dan analisis komoditas peternakan
basis. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sekitar 50% wilayah Jawa Barat
berpotensi sebagai wilayah untuk lokasi budidaya/pengembangan ternak sapi
potong yaitu di 14 wilayah kabupaten di Karesidenan Bogor dan Priangan
Timur, serta 17 wilayah kabupaten berpotensi untuk pengembangan lumbung
pakan. Penelitian ini dilakukan oleh Hasni Arief, Achmad Firman, Lizah
Khaerani dan Romi Zamhir Islami, dipublikasikan pada Jurnal Ilmu Ternak,
Desember 2012 Volume 12 Nomor 2:26-34.
4. Penelitian dengan judul Pengembangan Ternak Ruminansia berdasarkan
Ketersediaan Lahan Hijauan dan Tenaga Kerja di Kabupaten Muara Enim
Sumatera Selatan, bertujuan untuk mengidentifikasi potensi dan kendala
pengembangan ternak ruminansia berdasarkan ketersediaan lahan hijauan dan
tenaga kerja serta memetakan dan menganalisis prioritas pengembangan
ternak ruminansia di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan. Alat analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis KPPTR. Hasil penelitian
ini menunjukan bahwa nilai kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia
efektif Kabupaten Muara Enim bernilai positif sebesar 12661,40 atau dapat
meningkat 16,24% dari populasi sebelumnya. Penelitian ini dilakukan oleh A
Fariani, R Yulianti, dan A Imsya, dipublikasikan pada Jurnal Peternakan
Sriwijaya Volume 3 Nomor 2 Desember 2014:35-42.
5. Penelitian yang berjudul arahan penataan kawasan penyebaran dan
pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Limapuluh Kota,
bertujuan untuk: (a) mengidentifikasi lahan-lahan yang sesuai untuk
pengembangan ternak sapi; (b) menghitung daya dukung lahan-lahan yang
sesuai bagi usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Limapuluh Kota; dan
(c) menentukan arahan kawasan penyebaran dan pengembangan serta
kapasitas peningkatan sapi potong berdasarkan potensi sumberdaya lahan di
Kabupaten Limapuluh Kota. Penentuan kawasan penyebaran dan
pengembangan peternakan sapi potong, menggunakan analisis Nilai Kriteria
Karakterisasi Kunci, analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis
(SSA). Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah
Kabupaten Limapuluh Kota sesuai untuk lingkungan ekologis sapi potong
dengan luas 157 822 hektar (57.58%). Hasil overlay peta kesesuaian
lingkungan ekologis sapi potong dengan peta kesesuaian hijauan makanan
12

ternak menunjukkan bahwa lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan


ternak sapi potong adalah lahan pada kebun campuran, tegalan/ladang,
perkebunan, semak/rerumputan, sawah dan hutan produksi dengan luas
keseluruhan 107 719 hektar, dengan daya dukung 128 214 Satuan Ternak (ST).
Pada kebun campuran, tegalan/ladang, perkebunan dan sawah pengembangan
peternakan dapat dilakukan dengan sistem diversifikasi, sedangkan pada lahan
semak/rerumputan dan hutan produksi dengan sistem ekstensifikasi. Kawasan
penyebaran dan pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten
Limapuluh Kota adalah Kecamatan Pangkalan, Kecamatan Suliki dan
Kecamatan Lareh Sago Halaban, dengan luas wilayah pengembangan 28 386
ha, Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak 148 151 ST dan kapasitas
penambahan ternak sapi potong 24 882 ST (35 546 ekor). Penelitian ini
merupakan tesis atas nama Susi Herlinda pada Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Tahun
2007.

Kerangka Pemikiran

Pembangunan wilayah berbasis peternakan mampu mengintegrasikan


keunggulan komoditas, kesesuaian ekologi/lahan dan karakteristik sosial ekonomi
serta dukungan ketersediaan pakan yang berbasis pada potensi daya dukung
wilayah itu sendiri. Menurut Soeharsono (2008), bionomika membahas interaksi
manusia dengan hewan dalam suatu ekosistem sehingga berkembang kondisi
adaptif tekno-sosio-ekonomi yang mendukung pemanfaatan ternak dan
pengembangan potensinya untuk kesejahteraan manusia. Abdullah (2014)
menyatakan bahwa dalam pengembangan ternak ruminansia di Indonesia, hijauan
makanan ternak adalah faktor yang sangat penting dengan komposisi yang
terbesar yaitu 70-80% dari total biaya pemeliharaan. Tingkat ketersediaan hijauan
makanan ternak pada suatu wilayah merupakan salah satu faktor yang sangat
penting serta turut mempengaruhi dinamika populasi dalam keberhasilan
pengembangan ternak khususnya ternak herbivora. Menurut Sudardjat (2000),
dalam memperhitungkan potensi suatu wilayah untuk mengembangkan ternak
secara teknis, perlu dilihat populasi ternak yang ada di wilayah tersebut
dihubungkan dengan potensi hijauan makanan ternak yang dihasilkan oleh
wilayah yang bersangkutan.
Permasalahan pengembangan ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya
adalah belum optimalnya pemanfaatan potensi wilayah, daya dukung lahan dan
sumberdaya pakan secara terintegrasi dengan lokasi basis produksi ternak
(bionomika). Kondisi ini dikhawatirkan akan berdampak pada hilangnya lokasi-
lokasi produksi peternakan akibat degradasi lahan dan alih fungsi lahan.
Karakteristik usaha ternak yang masih tradisional sebagai usaha sambilan serta
rendahnya skala usaha dan kepemilikan ternak juga dapat berpengaruh terhadap
perkembangan ekonomi wilayah dari subsektor peternakan. Potensi daya dukung
wilayah terhadap pengembangan komoditas ternak terdiri dari aspek ekologi dan
ketersediaan sumberdaya pakan. Kondisi sosial ekonomi, ekologi/ketersediaan
lahan dan sumberdaya pakan merupakan dasar pertimbangan dalam
pengembangan peternakan berbasis wilayah. Karakteristik dan skala usaha yang
ideal di wilayah basis ternak ruminansia dengan dukungan ekologi dan kapasitas
13

tampung wilayah serta daya dukung pakan yang berkelanjutan akan menjadi kunci
keberhasilan pengembangan peternakan berbasis wilayah. Oleh karena itu,
kesesuaian bionomika dan daya dukung wilayah khususnya dukungan sumberdaya
lingkungan dalam pengembangan ternak ruminansia akan berdampak terhadap
kebijakan pembangunan daerah dalam menetapkan prioritas wilayah
pengembangan ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya. Pembangunan
wilayah melalui pengembangan usaha ternak ruminansia harus dilakukan melalui
penetapan lokasi-lokasi prioritas sebagai kawasan sentra peternakan. Kawasan
peternakan yang ditetapkan selanjutnya diarahkan pada kegiatan peternakan
secara terpadu dengan komponen usaha tani (berbasis tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan atau perikanan) dan terpadu dengan komponen
ekosistem tertentu (kawasan hutan lindung atau suaka alam).
Kabupaten Tasikmalaya sebagai salah satu sentra peternakan di Provinsi
Jawa Barat sangat potensial untuk meningkatkan produksi peternakan pada
komoditas strategis yang meliputi ternak sapi potong, kerbau, kambing, domba
dan unggas. Peningkatan produksi tersebut perlu diarahkan pada optimaliasi
pewilayahan sentra produksi yang sesuai dengan ekologi dan daya dukungnya.
Penetapan wilayah-wilayah prioritas pembangunan berbasis komoditas merupakan
implementasi kebijakan dan strategi penataan ruang yang mengacu pada Perda
Nomor 2 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Tasikmalaya. Implementasi
kebijakan dan strategi penataan ruang khususnya dalam pewilayahan
pembangunan peternakan berbasis ternak ruminansia, perlu didukung informasi
yang spesifik terkait penyebaran populasi ternak, potensi dan daya dukung serta
ketersediaan sumberdaya pakan dan kapasitas tampungnya. Oleh karena itu, hasil
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan kebijakan implementasi
perencanaan pembangunan wilayah berbasis ternak ruminansia.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian


14

3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di 39 kecamatan di wilayah Kabupaten Tasikmalaya,


Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan
Juni 2016.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data sekunder yang digunakan terdiri dari data tabular yang berupa data
statistik yang berasal dari dinas/instansi terkait. Data sekunder dikumpulkaan
untuk menganalisis: (a) wilayah basis; (b) kapasitas tampung; dan (c) daya
dukung pakan, di 39 kecamatan atau di seluruh kabupaten. Lokasi sampel
pengumpulan data primer dilakukan di kecamatan terpilih untuk komoditas ternak
ruminansia dari hasil analisis data sekunder pada kecamatan yang merupakan
wilayah basis, kapasitas tampung dan daya dukung pakan dengan nilai terbesar.
Selanjutnya pada lokasi sampel tersebut dianalisis secara deskriptif data primer
untuk mengetahui karakteristik usaha, sarana pendukung dan gambaran fisik di
lapangan. Data primer dikumpulkan melalui observasi langsung di kelompok
peternak dan wawancara dengan narasumber peternak yang ditetapkan secara
purposive di setiap kecamatan sampel yang merupakan kecamatan basis untuk
komoditas ternak tertentu. Responden adalah peternak yang memiliki pengalaman
beternak minimal tiga tahun dan tergabung dalam kelompok tani atau gabungan
kelompok tani.
Tabel 1 Tujuan analisis, jenis data dan sumber data
No Tujuan Jenis Data Sumber Data
1. Mengidentifikasi sumberdaya  Data primer  BPS
peternakan berdasarkan penyebaran  Data populasi ternak tahun 2011-2015
populasi ternak ruminansia untuk ruminansia tahun 2015  Laporan tahunan
memperoleh lokasi wilayah basis, Disnakkanla
karakteristik usaha serta tingkat tahun 2014-2015
pendapatan peternak di Kabupaten  Observasi dan
Tasikmalaya. wawancara

2. Menganalisis potensi ekologi dan  Data populasi ternak  Bappeda tahun


daya dukung wilayah berdasarkan ruminansia tahun 2015 2011-2015
ketersediaan sumberdaya pakan lokal  Data luas lahan pertanian,  BPS
untuk mengetahui kapasitas tampung perkebunan dan kehutanan tahun 2011-2015
wilayah terhadap pengembangan tahun 2015  Disnakanla tahun
ternak ruminansia.  Data jenis/jumlah rumput 2011-2015
dan limbah pertanian  Distanbunhut
tahun 2011-2015

3. Menetapkan lokasi prioritas  Data primer  Observasi dan


pengembangan usaha ternak  Data wilayah basis, wawancara
ruminansia dalam perencanaan kapasitas tampung dan  Hasil pengolahan
pembangunan wilayah Kabupaten penambahan populasi data sekunder
Tasikmalaya. ternak ruminansia
15

Analisis Data

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah: (a) analisis
wilayah basis; (b) analisis potensi pakan; (c) analisis kapasitas tampung; dan (d)
analisis deskriptif. Pengolahan data dilakukan dengan software Microsoft Excel
dan software lainnya yang relevan.
1. Analisis wilayah basis dengan metode Location Quotion yang merupakan
perbandingan antara populasi ternak ruminansia ke-j terhadap populasi ternak
ruminansia di wilayah kecamatan ke-i dengan populasi ternak ruminansia ke-j
terhadap populasi ternak ruminansia di wilayah kabupaten. Persamaan LQ
yang digunakan sebagai berikut (Panuju dan Rustiadi, 2012) :
𝑋𝑖𝑗 /𝑋𝑖 .
𝐿𝑄(𝑖𝑗 ) = 𝑋.𝑗 /𝑋.. …(a)

dimana :
𝐿𝑄(𝑖𝑗 ) = nilai komoditas basis, bila LQ>1 maka wilayah tersebut merupakan
wilayah basis dan bila LQ<1 maka wilayah tersebut bukan merupakan wilayah
basis.
𝑋𝑖𝑗 =populasi ternak ruminansia ke-j (dalam satuan ternak) di wilayah atau
kecamatan ke-i
𝑋𝑖. =populasi ternak ruminansia di wilayah atau kecamatan ke-i
𝑋. 𝑗 =populasi ternak ruminansia ke-j (dalam satuan ternak) di seluruh wilayah
atau kecamatan (se-kabupaten)
𝑋..= populasi ternak ruminansia (dalam satuan ternak) di seluruh wilayah atau
kecamatan (se-kabupaten)
Hasil analisis LQ diinterpretasikan sebagai berikut :
(1) Jika nilai LQ>1, maka terdapat indikasi konsentrasi populasi ternak ke-j di
wilayah ke-i atau terjadi pemusatan aktivitas ke-j di wilayah ke-i. Hal ini
dapat diartikan bahwa wilayah ke-i berpotensi untuk mengekspor produk
aktivitas ke-j ke wilayah lain secara relating produksinya di atas rata-rata
produksi di seluruh cakupan wilayah analisis atau kabupaten.
(2) Jika nilai LQ=1, maka wilayah ke-i mempunyai pangsa populasi ternak
ruminansia ke-j setara dengan pangsa populasi ternak ke-j di seluruh
wilayah/kabupaten. Jika diasumsikan sistem perekonomian tertutup,
dimana pertukaran produk atau perdagangan hanya terjadi dalam wilayah
atau kabupaten tersebut, maka wilayah ke-i secara relatif mampu
memenuhi kebutuhan internalnya, namun tidak memiliki surplus produksi
yang potensial bisa diekspor ke wilayah lain atau kabupaten lain.
(3) Jika LQ<1, maka wilayah ke-i mempunyai pangsa populasi relatif lebih
kecil dibandingkan dengan pangsa populasi ke-j di seluruh wilayah atau
kabupaten. Hal ini dapat diartikan bahwa pangsa relative populasi ternak
ke-j di wilayah ke-i lebih rendah dibandingkan rata-rata populasi ternak
ke-j di seluruh wilayah atau kabupaten.
2. Analisis potensi pakan hijauan (rumput dan jerami) diukur dengan menghitung
produksi total bahan kering dalam satu tahun berdasarkan luas lahan (rumput)
atau luas panen (jerami) per ton per hektar (Samadi et al, 2010). Persamaan
untuk menghitung potensi pakan hijauan tersebut dijabarkan sebagai berikut
(Syamsu et al, 2003; Arief H et al, 2012):
16

(1) Ketersediaan rumput (indeks produksi x luas lahan x indeks bahan kering):
Lahan sawah = (0,77591 x luas lahan x 0,36498) ton BK/tahun …(b)
Lahan kebun = (1,062 x luas lahan x 0,59522) ton BK/tahun …(c)
Lahan padang rumput = (1,062 x luas lahan x 6,083) ton BK/tahun …(d)
Lahan hutan = (2,308 x luas lahan x 0,5322) ton BK/tahun …(e)
(2) Ketersediaan jerami (indeks produksi x luas panen x indeks bahan kering):
Jerami padi = (3,86 x luas panen x 0,9) ton BK/tahun … (f)
Jerami jagung = (0,86 x luas panen x0,9) ton BK/tahun … (g)
Jerami kacang kedele = (1,59 x luas panen x0,9) ton BK/tahun … (h)
Jerami kacang tanah = (2,14 x luas panen x0,9) ton BK/tahun …(i)
Jerami kacang hijau = (1,59 x luas panen x0,9) ton BK/tahun …(j)
Daun ubi jalar = (1,91 x luas panen x0,9) ton BK/tahun …(k)
Daun ubi kayu = (0,92 x luas panen x0,9) ton BK/tahun …(l)
3. Analisis kapasitas tampung wilayah untuk ternak (KWT) dilakukan untuk
melalui perhitunan berdasarkan potensi pakan dan potensi rumah tangga
petani. Hasil penghitungan kapasitas tampung tersebut selanjutnya digunakan
untuk menentukan kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia (PPTR-
Efektif), yaitu nilai terendah dari perbandingan antara kapasitas tampung
berdasarkan potensi pakan dengan kapasitas tampung berdasarkan potensi
rumah tangga petani (Lole et al, 2013).
Persamaan untuk menghitung kapasitas tampung ternak berdasarkan potensi
pakan (KWT-pakan) digunakan persamaan sebagai berikut (Arief H, et al,
2012) :
𝑃𝐻𝑅 + 𝑃𝐻𝐽
𝐾𝑊𝑇𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛 = …..(m)
𝐾𝐻
dimana :
KWT pakan = kemampuan wilayah dalam menampung ternak berdasarkan
potensi pakan
KH = kebutuhan hijauan setiap satuan ternak per tahun (9,1kg BKx365)
PHR = produksi hijauan rumput (ton BK/tahun)
PHJ = produksi hijauan jerami (ton BK/tahun)
Sedangkan persamaan untuk menghitung kapasitas tampung ternak
berdasarkan rumah tangga petani (KWT-kk) adalah sebagai berikut (Lole et
al, 2013) :
𝑅𝑇𝐾𝐾
𝐾𝑊𝑇 − 𝑘𝑘 = …..(n)
2,78 𝑆𝑇
dimana :
KWT-kk= kemampuan wilayah dalam menampung ternak berdasarkan potensi
rumah tangga petani
𝑅𝑇𝐾𝐾 = jumlah rumah tangga petani (KK)
2,78 𝑆𝑇 = indeks kemampuan rumah tangga petani memelihara ternak
ruminansia
4. Analisis pendapatan peternak dilakukan secara kuantitatif dengan persamaan
pendapatan (Soekartawi, 1993) untuk mengetahui besarnya pendapatan
peternak dari usaha peternakan, digunakan persamaan berikut :
Π = 𝑇𝑅 − 𝑇𝐶 ….(o)
dimana :
Π = Total pendapatan peternak (Rp/tahun)
17

TR (Total revenue) = Total penerimaan yang diperoleh peternak (Rp/tahun)


TC (Total cost) = Total pengeluaran peternak (Rp/tahun)

Lebih lanjut, untuk mengetahui tingkat efektivitas pendapatan peternak


dengan komoditas ternak ruminansia yang diusahakan berbeda jenis ternaknya
maka dilakukan penghitungan liquiditas pendapatan peternak terhadap
pengembalian modal/investasi melalui persamaan return on investment (ROI).
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Garrison dan Noreen,
2000):
ROI = [( Total Penjualan – Investasi ) / Investasi] x 100%... (p)
5. Analisis deskriptif dilakukan terhadap karakteristik usaha dan kondisi ekologi
yang meliputi luas wilayah, kondisi fisik/tata guna lahan, sarana pendukung,
rumah tangga petani/kelompok tani dan kebijakan tata ruang wilayah. Analisis
deskriptif dilakukan melalui pendekatan spasial untuk mendapatkan keluaran
berupa peta tematik berdasarkan hasil-hasil analisis sebelumnya sebagai
sebuah sistem informasi geografis (Puntodewo et al, 2003).

4 GAMBARAN UMUM
Kondisi Umum Wilayah

Kabupaten Tasikmalaya berada di sebelah tenggaran wilayah Provinsi


Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 7º02’ dan 7º50’ Lintang Selatan
serta 109º97’ dan 108º25’ Bujur Timur. Jarak membentang utara selatan
sejauh 75 km dan arah barat timur sepanjang 56,25 km. Secara administratif
memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
(1) Sebelah Utara : Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis
(2) Sebelah Selatan : Samudera Hindia
(3) Sebelah Barat : Kabupaten Garut
(4) Sebelah Timur : Kabupaten Ciamis
Secara administratif Kabupaten Tasikmalaya terdiri dari 39 Kecamatan
dan 351 desa, dengan luas wilayah 270.882 hektar setelah pemekaran dengan
Kota Tasikmalaya (Gambar 3). Kecamatan Cipatujah merupakan kecamatan
terluas, yaitu 24.667 hektar atau 8,82% dari wilayah Kabupaten Tasikmalaya.
Kecamatan Sukaresik adalah kecamatan dengan luas wilayah paling kecil,
yaitu 1.781 hektar atau 0,61% dari luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya.
Wilayah Kabupaten Tasikmalaya memiliki ketinggian berkisar antara 0-2.500
meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebagian besar bentuk wilayah adalah
bergelombang sampai berbukit, kecuali di kecamatan-kecamatan bagian Utara
yang berbukit sampai bergunung. Kecamatan Leuwisari, Cigalontang,
Sukaratu, Kadipaten, Pagerageung, dan Taraju merupakan kecamatan yang
mempunyai ketinggian wilayah 1.000 mdpl. Kecamatan Cipatujah, Cikalong,
dan Karangnunggal merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian
berkisar antara 0-100 mdpl (Lampiran 2).
Iklim Kabupaten Tasikmalaya secara umum bersifat tropis dan beriklim
sedang dengan rata-rata suhu didataran rendah antara 20 o -34o C dan dataran
tinggi berkisar antara 18o – 22o C. Suhu harian antara 23o -34o C sebagian besar
beriklim B dan sebagian besar beriklim C2. Curah hujan pada bulan basah
18

rata-rata 1.298 mm per tahun yang terjadi pada bulan oktober, November dan
Desember. Curah hujan kering rata-rata 650 mm per tahun terjadi pada bulan
Maret-Juni, sebaran curah hujan diuraikan pada Lampiran 2 (BPS Kab.
Tasikmalaya, 2015).
Jumlah penduduk Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2014 tercatat
sebanyak 1.720.124 jiwa. Rasio penduduk berdasarkan jenis kelamin terdiri
dari 853.812 jiwa laki-laki dan 866.312 jiwa perempuan dengan sex ratio
sebesar 98.58%. Kecamatan-kecamatan dengan sex ratio diatas 100% terdapat
di Kecamatan Cipatujah, Bantarkalong, Sukaraja, Manonjaya, Cigalontang
dan Kadipaten. Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Tasikmalaya
adalah sebesar 899 jiwa per per km2 (Lampiran 1). Kecamatan Singaparna
merupakan kecamatan dengan kepadatan tertinggi yaitu 2.712 jiwa per km 2,
sedangkan kecamatan Pancatengah merupakan wilayah dengan kepadatan
terendah yaitu 227 jiwa per km2 (Gambar 2).

Gambar 2 Luas wilayah dan kepadatan penduduk di setiap kecamatan

Jumlah penduduk yang bekerja pada tahun 2014 adalah sebesar 41,02%
atau sebanyak 709.095 jiwa. Penyebaran penduduk berdasarkan lapangan
usaha terdiri dari lapangan usaha pertanian yang masih merupakan bidang
usaha pilihan utama sebesar 48,45%, selanjutnya bidang perdagangan sebesar
14,20% dan bidang industri pengolahan sebesar 21,42%. Bidang
pertambangan, bidang keuangan dan bidang listrik, gas dan air merupakan
lapangan usaha dengan persentase penduduk terendah. Bidang pertanian
utama di Kabupaten Tasikmalaya adalah bidang pertanian tanaman pangan,
perkebunan dan hortikultura. Pertanian tanaman pangan khususnya tanaman
padi terdapat diwilayah utara dan tengah. Pertanian hortikultura khususnya
sayur dan buah-buahan banyak terdapat di wilayah tengah. Distribusi
penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha diuraikan pada Tabel 2
sebagai berikut :
19

Tabel 2 Distribusi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha


Jenis Lapangan Usaha Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
Pertanian 343.556,53 48,45
Pertambangan 2.269,10 0,32
Industri pengolahan 85.091,40 12,00
Listrik, gas dan air 425,46 0,06
Bangunan 34.036,56 4,80
Perdagangan 171.600,99 24,20
Angkutan 36.589,30 5,16
Keuangan 3.545,48 0,50
Jasa kemasyarakatan 31.767,46 4,48
Lainnya 212,73 0,03
Jumlah 709.095,00 100,00
Sumber : BPS Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)

Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur menunjukan bahwa


secara umum penduduk Kabupaten Tasikmalaya berada pada kelompok usia
produktif dengan persentase sebesar 60,26%. Jumlah penduduk berdasarkan
kelompok umur diuraikan pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia
Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
< 15 514.029,00 29,74
> 15 - 60 1.041.674,00 60,26
> 60 172.915,00 10,00
Jumlah 1.728.618,00 100,00
Sumber : BPS Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)
Luas daratan diartikan sebagai luas lahan tanah di Kabupaten
Tasikmalaya yaitu 270.882 hektar yang terdiri dari lahan pertanian seluas
242.416 hektar dan lahan non pertanian seluas 28.466 hektar. Lahan pertanian
terdiri dari lahan sawah seluas 51.188 hektar dan lahan non sawah seluas
191.228 hektar. Uraian lahan pertanian disajikan pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4 Penggunaan lahan pertanian
Penggunaan Lahan Jumlah (ha) Persentase (%)
Sawah 51.188,00 21,12
Pekarangan 15.005,55 6,19
Tegal/kebun 51.877,02 21,40
Ladang/huma 22.835,59 9,42
Padang rumput 9.090.60 3,75
Hutan rakyat 41.594,18 17,16
Perkebunan 30.503,49 12,58
Kolam 3.733,21 1,54
Sementara tidak diusahakan 3.206,00 1,32
Lain-lain 13.381,36 5,52
Jumlah 242.416,00 100,00
Sumber : BPS Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)
20

Gambar 3 Peta administrasi Kabupaten Tasikmalaya dan luas wilayah setiap


kecamatan (ha)
21

Perekonomian Wilayah

Salah satu dimensi sasaran pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi


dan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat diukur
dengan menggunakan parameter Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Perekonomian Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2014 mengalami percepatan
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan laju pertumbuhan PDRB sebesar
4.76%. PDRB Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2014 berdasarkan harga
berlaku mencapai Rp. 23,42 triliun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan
tercatat sebesar Rp. 18,79 triliun. Tingkat perkembangan perekonomian
Kabupaten Tasimalaya sejak tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 terus
mengalami peningkatan. Nilai PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 2013
tercatat sebesar Rp. 21,31 triliun. Struktur perkonomian masyarakat Kabupaten
Tasikmalaya adalah berbasis pada sektor pertanian, terutama tanaman pangan.
Kontribusi pertanian terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya adalah sebesar
39,29%, diikuti sektor perdagangan sebesar 20,60%. (BPS Kab. Tasikmalaya,
2015).
Sektor pertanian sebagai sektor penyedia lapangan kerja di Kabupaten
Tasikmalaya terbesar, yaitu sekitar 39,29% kesempatan kerja berasal dari sektor
pertanian, diikuti perdagangan 20,60%, dan jasa-jasa 15,08%. Sektor pertanian
merupakan penyedia utama kebutuhan pangan masyarakat yang merupakan
kebutuhan dasar dan hak asasi manusia. Sektor pertanian juga menyediakan pasar
yang sangat besar untuk produk manufaktur karena jumlah penduduk perdesaan
yang besar dan terus mengalami peningkatan. Dengan demikian, sektor pertanian
merupakan salah satu sektor yang paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan
di wilayah perdesaan melalui peningkatan pendapatan mereka yang bekerja di
sektor pertanian. Komoditas unggulan sektor pertanian Kabupaten Tasikmalaya
yang sudah berorientasi ekspor antara lain: Padi Organik (SRI) dengan sentra di 7
(tujuh) Kecamatan. (Sukaresik, Cisayong, Sukaraja, Manonjaya, Cineam,
Sukahening dan Salawu), Manggis dengan sentra di Puspahiang, Mendong dan
Golok Galonggong Manonjaya. Sedangkan pada sektor industri adalah kerajinan
dengan sentra di Rajapolah dan bordir dengan sentra di Sukaraja. Kontribusi
lapangan usaha terhadap PDRB Kabupaten Tasikmalaya diuraikan pada Tabel 5
berikut :
Tabel 5 Kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB (%)
2013 2014
Jenis Lapangan Usaha
-------------------------------(%)-------------------------
Pertanian 39,69 39,29
Pertambangan 0,31 0,30
Industri pengolahan 7,13 7,55
Listrik, gas dan air 0,07 0,08
Bangunan 9,1 9,04
Perdagangan 20,94 20,60
Angkutan 3,72 3,80
Keuangan 2,93 2,91
Jasa kemasyarakatan 14,73 15,08
Lainnya 1,38 1,35
Sumber : BPS Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)
22

Kebijakan Wilayah Pembangunan

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tasikmalaya, yang selanjutnya


disebut RTRW Kabupaten Tasikmalaya, yang diatur melalui Perda Nomor 2
Tahun 2012, adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten Tasikmalaya. Ruang wilayah Kabupaten Tasikmalaya adalah
wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, ruang udara dan termasuk juga
ruang di dalam bumi, sebagai tempat masyarakat Kabupaten Tasikmalaya
melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya, serta merupakan
suatu sumberdaya yang harus ditingkatkan upaya pengelolaannya secara
bijaksana. Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah di Kabupaten
Tasikmalaya adalah sebagai berikut (Bappeda Kab. Tasikmalaya, 2015) :
1. Pemantapan lahan sawah beririgasi serta meningkatkan produktivitas
pertanian
2. Pemantapan pemanfaatan ruang kawasan lindung sesuai dengan fungsinya
3. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut dengan pendekatan keterpaduan
ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pembangunan berkelanjutan
4. Pengembangan sistem perkotaan perdesaan
5. Pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah
6. Pengoptimalan potensi lahan budidaya dan sumberdaya alam yang mendorong
pertumbuhan sosial ekonomi di wilayah belum berkembang
7. Pengembangan kawasan permukiman perkotaan dengan mempertimbangkan
keserasian, keseimbangan dan pembangunan berkelanjutan
Wilayah pembangunan Kabupaten Tasikmalaya terdiri atas wilayah
pengembangan utama utara, tengah dan selatan (Tabel 6). Wilayah
pengembangan utama selatan terdiri dari 10 kecamatan, wilayah
pengembangan utama tengah terdiri dari 20 kecamatan dan wilayah
pengembangan utama utara terdiri dari sembilan kecamatan (Lampiran 1).
Wilayah pengembangan utama utara yang merupakan satuan wilayah
pengembangan (SWP) I, memiliki luas area 35.804,15 hektar. Wilayah
pengembangan utama utara terdiri dari Kecamatan Ciawi, Kadipaten,
Pagerageung, Sukaresik, Jamanis, Sukahening, Rajapolah, Sukaratu dan
Cisayong. Wilayah pengembangan utama utara meliputi pengembangan
industri manufaktur, pertanian lahan basah dan kering, palawija dan
hortikultura, agroindustri, perikanan darat, peternakan, perkebunan,
pertambangan wisata agro, pusat pelayanan informasi pariwisata, perdagangan
dan jasa komersial skala regional.
Wilayah pengembangan utama tengah terdiri dari tiga satuan wilayah
pengembangan (SWP), yaitu SWP II dengan luas area 44.467,10 hektar
meliputi Kecamatan Singaparna, Sukaraja, Salawu, Cigalontang, Sariwangi,
Leuwisari, Padakembang, Mangunreja, Sukarame, dan Tanjungjaya. Satuan
wilayah pengembangan ini diarahkan pada pengembangan agroindustri,
industri, perdagangan, pekebunan, perikanan, pertambangan, jasa komersil,
transportasi, pertanian lahan basah dan kering, hortikultura dan peternakan.
SWP III dengan luas 33.397,09 hektar meliputi Kecamatan Taraju,
Puspahiang, Sodonghilir dan Bojonggambir. Wilayah ini diarahkan pada
pengembangan bidang perkebunan, pertanian lahan basah, agrowisata
perkebunan, peternakan, pertambangan dan industri kecil. SWP IV dengan
23

luas 39.373,12 hektar meliputi Kecamatan Manonjaya, Cineam, Karangjaya,


Salopa, Jatiwaras, dan Gunungtanjung. Satuan wilayah pengembangan ini
diarahkan pada pengembangan bidang agribisnis, konservasi hutan dan pusat
pengembangan pendidikan dan latihan.
Wilayah pengembangan utama selatan terdiri dari satuan wilayah
pengembangan (SWP) V dan VI. Satuan wilayah pengembangan V memiliki luas
70.576,08 hektar yang meliputi wilayah Kecamatan Karangnunggal, Bantarkalong,
Culamega, Bojongasih, Parungponteng, Cibalong dan Cipatujah. Satuan wilayah
pengembangan ini diarahkan pada pengembangan bidang perkebunan karet,
peternakan, hortikultura, pariwisata, perikanan darat, pengembangan jasa
transportasi laut, pusat pengolahan industri pertambangan, agribisnis dan
pertahanan keamanan. Satuan wilayah pengembangan (SWP) VI dengan luas area
47.634,17 hektar yang meliputi Kecamatan Cikatomas, Cikalong dan Pancatengah
diarahkan pada pengembangan bidang pertambangan umum, industri, bahan
bangunan, hortikultura dan palawija, konservasi hutan, budidaya perkebunan,
peternakan, agroindustri pengolahan kelapa dan industri kecil.
Tabel 6 Wilayah pembangunan utama dan arah pembangunan
Wilayah Kecamatan Arah Pembangunan
Pembangunan Utama (Sektor/Subsektor)
Selatan Karangnunggal, Bantarkalong, industri manufaktur, pertanian
Culamega, Bojongasih, lahan basah dan kering,
Parungponteng, Cibalong dan palawija dan hortikultura,
Cipatujah, Cikatomas, Cikalong dan agroindustri, perikanan darat,
Pancatengah peternakan, perkebunan,
pertambangan wisata agro,
pusat pelayanan informasi
pariwisata, perdagangan dan
jasa komersial skala regional

Tengah Singaparna, Salawu, Cigalontang, agroindustri, induusti


Sukaraja, Sariwangi, Leuwisari, perdagangan, pekebunan,
Padakembang, Mangunreja, perikanan, pertambangan, jasa
Sukarame, dan Tanjungjaya komersil, transportasi,
Manonjaya, Cineam, Karangjaya, pertanian lahan basah dan
Salopa, Jatiwaras, dan kering, hortikultura dan
Gunungtanjung peternakan

Utara Ciawi, Kadipaten, Pagerageung, pertambangan umum, bahan


Sukaresik, Jamanis, Sukahening, bangunan, hortikultura dan
Rajapolah, Sukaratu dan Cisayong palawija, konservasi hutan,
budidaya perkebunan,
peternakan, agroindustri
pengolahan kelapa dan industri
kecil
Sumber : Bappeda Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)

Berdasarkan Tabel 6 tersebut, arah pembangunan peternakan di Kabupaten


Tasikmalaya berada di seluruh wilayah pengembangan utama. Hal ini menunjukan
bahwa belum adanya kekhususan wilayah yang menjadi pusat unggulan atau
sentra produksi peternakan. Pengembangan peternakan di setiap wilayah
pengembangan utama sebenarnya dapat diintegrasikan dengan pertanian,
perkebunan, kehutanan dan agroindustri.
24

Subsektor Peternakan

Pembangunan peternakan belum menjadi perhatian utama dalam lingkup


kebijakan pembangunan pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Meskipun Secara
historis kegiatan peternakan telah menyatu dengan kehidupan masyarakat
sehingga menjadi bagian dari kultur masyarakat serta menjadi penopang
perekonomian masyarakat. Komoditas ternak strategis di Kabupaten Tasikmalaya
meliputi sapi potong, domba, sapi perah, kambing, ayam ras pedaging dan
itik. Pada tahun 2014 perkembangan populasi ternak tersebut meningkat antara 8-
12% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perkembangan populasi ternak
di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-2014 diuraikan pada Tabel 7 sebagai
berikut :
Tabel 7 Populasi Ternak di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010-2014
Jumlah Ternak (Ekor)
Jenis Ternak
2010 2011 2012 2013 2014
Sapi potong 31.527 33.548 49.053 51.861 47.427
Sapi perah 2.104 2.422 2.573 2.790 1.986
Kerbau 17.096 17.111 15.136 14.845 11.892
Kambing 61.229 68.021 70.726 71.765 76.592
Domba 251.007 271.191 270.189 295.807 316.065
Ayam ras petelur 129.500 361.799 394.386 428.779 479.500
Ayam ras pedaging 4.599.500 5.221.400 5.634.400 6.143.350 6.411.350
Ayam buras 1.512.215 1.664.912 1.699.270 1.814.170 1.868.595
Itik 155.217 163.772 168.707 219.904 236.550
Sumber : Disnakkanla Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)

Kekuatan peternakan di Kabupaten Tasikmalaya, khususnya ternak


ruminansia adalah pertumbuhan populasi yang didukung oleh ketersediaan pakan.
Keberadaan pasar hewan, industri pengolahan hasil ternak dan kebijakan
pemerintah yang berusaha mendorong usaha ternak ruminansia memotivasi
perkembangan usaha. Pada tahun 2010-2014, jumlah peternak ruminansia,
khususnya ternak sapi potong, kambing dan domba mengalami peningkatan yang
signifikan. Populasi ternak sapi perah mengalami penurunan meski tidak
signifikan. Peningkatan jumlah peternak ruminansia terjadi seiring dengan
meningkatknya motivasi peternak dan juga sejalan dengan kebijakan
pembangunan peternakan untuk pencapaian swasembada daging dan kerbau.
Komoditas ternak itik merupakan komoditas ternak lokal yang mengalami
penurunan jumlah peternaknya. Penurunan jumlah tersebut terjadi karena tidak
adanya pola pembibitan yang baik serta tingginya permintaan daging itik. Hal ini
berbeda dengan ayam buras, ayam ras pedaging dan ayam ras petelur yang
menunjukan peningkatan jumlah peternaknya. Peningkatan jumlah peternak
unggas secara signifikan terjadi pada ayam ras petelur. Tingginya peternak ayam
ras petelur dan broiler tidak terlepas dari pola kemitraan inti-plasma, selain juga
peternak mandiri. Secara umum peningkatan jumlah peternak dapat menunjukan
bahwa terdapat gairah yang positif untuk peningkatan usaha peternakan di
Kabupaten Tasikmalaya. Jumlah peternak di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-
2014 diuraikan pada Tabel 8 sebagai berikut :
25

Tabel 8 Jumlah peternak di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-2014


Jumlah Peternak (Jiwa)
Jenis Ternak
2010 2011 2012 2013 2014
Sapi potong 11.774 12.129 12.516 12.871 13.262
Sapi perah 395 304 358 381 369
Kerbau 8.865 8.111 8.163 8.204 8.454
Kambing 7.861 8.021 8.537 9.086 9.544
Domba 36.080 36.276 37.930 38.895 39.279
Ayam ras petelur 44 88 78 111 131
Ayam ras pedaging 2.699 1.894 2.604 2.604 2.604
Ayam buras 1.749 2.142 2.332 2.453 2.651
Itik 12.708 13.290 13.816 14.160 13.557
Sumber : Disnakkanla Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)

Pemenuhan kebutuhan daging unggas, telur, daging sapi/kerbau dan susu di


Kabupaten Tasikmalaya masih tergantung dengan pasokan dari wilayah sekitar.
Hal ini terjadi karena hasil produksi peternakan di dalam wilayah Kabupaten
Tasikmalaya masih belum cukup memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk
Kabupaten Tasikmalaya, selain juga kebocoran hasil ternak yang keluar dari
wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Wilayah-wilayah pemasok kebutuhan daging
unggas dan telur adalah Ciamis (ayam buras dan telur), Sukabumi, Bogor,
Bandung, Purwakarta, Banten dan Subang (ayam ras pedaging). Produksi daging
dan susu pada komoditas ternak ruminansia khususnya sapi potong dan domba
menunjukan produksi yang meningkat, namun tidak pada ternak kerbau dan
kambing yang cenderung menurun. Untuk produk komoditas unggas secara umum
cenderung meningkat, terutama pada produksi daging ayam ras broiler. Produksi
telur, daging dan susu di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2010-2014 diuraikan
pada Tabel 9 sebagai berikut :
Tabel 9 Produksi peternakan di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2010-2014
Produksi Ternak Jumlah (Ton)
2010 2011 2012 2013 2014
Telur ayam buras 429.53 376.19 420.83 492.28 518.37
Telur ayam ras 4.154.84 4.963.15 5.420.27 5.886.20 6.592.55
Telur itik 612.88 662.36 724.61 752.00 801.63
Daging sapi 779.76 936.81 978.84 1.009.64 1.106.56
Daging kerbau 295.96 257.77 258.96 260.51 251.13
Daging kambing 42.26 36.82 39.23 40.68 39.22
Daging domba 464.16 630.96 658.79 678.44 775.46
Daging ayam buras 967.27 940.01 976.46 987.91 1.013.60
Daging ayam ras broiler 23.197.66 28.088.08 29.373.75 30.444.97 33.276.35
Daging ayam ras petelur 750.88 762.10 857.88 902.17 956.30
Daging itik 62.82 60.58 62.72 63.66 64.62
Susu sapi 1.759.41 1.908.92 2.180.90 2.567.81 2.901.63
Sumber : Disnakkanla Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)
26

Khusus untuk komoditas ternak ruminansia ketersediaan produksi di


Kabupaten Tasikmalaya dipengaruhi juga oleh jumlah pemasukan dan
pengeluaran serta pemotongan ternak. Ternak ruminansia yang masuk secara
umum berasal dari Kabupaten Ciamis, Garut dan Sumedang serta dari luar
Provinsi Jawa Barat yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ternak ruminansia yang
keluar sebagain besar menuju Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Garut,
Bandung dan wilayah Jabodetabek. Pemasukan dan pengeluaran ternak
ruminansia sebagaian besar berupa ternak hidup siap potong dan bibit. Jumlah
ternak yang masuk tidak sebanding dengan jumlah ternak yang keluar dan
dipotong, sehingga populasi riil yang ada di wilayah Kabupaten Tasikmalaya
menjadi penting untuk ditingkatkan. Ternak domba dan sapi merupakan jenis
ternak dengan jumlah pemotongan terbesar pada tahun 2014. Tingginya jumlah
pemotongan ternak ini berpengaruh terhadap laju pertumbuhan populasi, dan
dikhawatirkan akan menjadi ancaman terhadap pemotongan bibit apabila ternak
siap potong tidak mencukupi. Jumlah pemasukan, pengeluran dan pemotongan
ternak ruminansia tahun 2014 diuraikan pada Tabel 10 sebagai berikut :
Tabel 10 Pemasukan, pengeluaran dan pemotongan ternak ruminansia tahun 2014
Pemasukan Pengeluaran Pemotongan
Jenis Ternak
-----------------------------------------(ekor)------------------------------------
Sapi bibit 179 40 -
Sapi potong 1,095 675 6,731
Kerbau bibit 114 92 -
Kerbau potong 484 220 615
Kambing bibit 754 877 -
Kambing potong 148 9,127 2,670
Domba bibit 1,212 5,834 -
Domba potong 1,215 8,005 19,601
Sumber : Disnakkanla Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)

Peran subsektor peternakan dalam pembangunan di wilayah Kabupaten


Tasikmalaya secara khusus belum menjadi perhatian kebijakan pemerintah.
Namun demikian jika diukur dari potensi dan kontribusinya terhadap
pembangunan wilayah, subsektor peternakan seharusnya menjadi perhatian utama.
Pemenuhan kebutuhan pangan hewani saat ini di Kabupaten Tasikmalaya belum
menunjukan kemampuan pemenuhan secara mandiri. Sementara disisi lain,
potensi produksi cukup tinggi dan dapat diperhitungkan mampu memenuhi
kebutuhan tersebut secara mandiri. Lalu lintas ternak dan produk hasil ternak yang
keluar dan masuk wilayah Kabupaten Tasikmalaya menunjukan bahwa potensi
produksi yang ada saat ini seolah-olah mengalami kelebihan produksi. Padahal
kenyataanya, beberapa komoditas dan produk hasil ternak malah lebih banyak
masuk ke wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan kondisi tersebut,
pemerintah Kabupaten Tasikmalaya sudah saatnya melirik dan menjadikan
peternakan sebagai komoditas unggulan dalam pembangunan ekonomi wilayah
dengan menetapkan wilayah-wilayah sentra produksi. Potensi produksi dan daya
dukung wilayah harus dapat dioptimalkan melalui peningkatan produksi dan
pemanfaatan sumberdaya lokal, sehingga mampu mencegah terjadinya kebocoran
ekonomi wilayah.
27

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekologi dan Potensi Peternakan

Populasi Ternak Ruminansia


Parameter utama dalam mengukur kemajuan peternakan adalah
perkembangan struktur dan sebaran populasi ternak di wilayah-wilayah
pengembangan. Kesesuaian agroekologis, tingkat penerimaan masyarakat
terhadap ternak, penguasaan teknologi beternak, dinamika populasi dan
keberhasilan reproduksinya sangat tergantung pada struktur populasi tersebut.
Pada tahun 2014, struktur dan sebaran populasi ternak ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya (Lampiran 3) hampir merata di wilayah selatan. Penghitungan
populasi ternak dilakukan dengan mengkonversi populasi ternak yang ada saat ini
dari data sekunder ke dalam satuan ternak (ST). Konversi satuan ternak dengan
mengacu pada Tabel 11 berikut :
Tabel 11 Nilai konversi satuan ternak ruminansia dewasa (ST)
Konversi 1 Ekor Ternak Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Kambing Domba
Jantan 1,00 1,00 1,15 0,16 0,14
Betina 1,00 1,00 1,15 0,16 0,14
Sumber : Disnakanla Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)

Hasil penghitungan konversi populasi ternak, populasi tertinggi terdapat di


Kecamatan Cipatujah sebanyak 8.820,67 ST, Karangnunggal 7.991,99 ST,
Cikatomas 7.877,14 ST, Pancatengah 6.623,37 ST, Cikalong 6.099,74 ST,
Sodonghilir 5.891,42 ST, Parungponteng 5.946,02 ST, Cigalontang 5.332,84 ST,
Pagerageung 4.448,67 ST dan populasi terendah di Kecamatan Karangjaya 258,50
ST. Wilayah pembangunan utama selatan merupakan wilayah dengan populasi
ternak ruminansia terbanyak dibandingkan wilayah pembangunan utama tengah
dan utara. Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya sebagaimana
disajikan pada Gambar 4 sebagai berikut :

Gambar 4 Populasi ternak ruminansia di setiap kecamatan tahun 2014 (ST)


28

Untuk komoditas ternak sapi potong, populasi tertinggi terdapat di


Kecamatan Cipatujah sebanyak 5.615,00 ST. Beberapa kecamatan lainnya
dengan populasi ternak sapi potong yang cukup tinggi adalah Cikatomas 4.828,00
ST, Pancatengan 4.782,00 ST, Karangnunggal 4.001,00 ST dan Cikalong 3.915,00
ST. Wilayah kecamatan dengan populasi ternak sapi potong tertinggi tersebut
merupakan kecamatan yang berada di wilayah selatan Tasikmalaya dan
merupakan Wilayah Pengembangan Utama Selatan. Populasi ternak sapi potong
paling rendah berada di Kecamatan Karangjaya 69,00 ST dan Culamega 173,00
ST yang merupakan Wilayah Pengembangan Utama Tengah, serta Sukaresik
90,00 ST yang berada di Wilayah Pengembangan Utama Utara. Gambaran
sebaran populasi ternak sapi potong di Kabupaten Tasikmalaya dapat dilihat pada
Gambar 5 berikut :

Gambar 5 Populasi ternak sapi potong di setiap kecamatan tahun 2014 (ST)
Kecamatan Pagerageung yang berada di wilayah pembangunan utama utara
Kabupaten Tasikmalaya merupakan wilayah dengan populasi sapi perah paling
tinggi yaitu sebanyak 1.486, 00 ST. Kondisi ini juga didukung oleh keberadaan
koperasi peternak sapi perah. Komoditas ternak sapi perah tidak menyebar merata
di wilayah kecamatan lainya. Rata-rata populasi ternak sapi perah di wilayah
kecamatan lainnya dibawah 100 ST, dan bahkan dibeberapa kecamatan tidak ada
sama sekali ternak sapi perah (Gambar 6). Wilayah utara Kabupaten Tasikmaaya
sudah sejak lama merupakan sentra peternakan sapi perah, meski secara khusus
belum ditetapkan sebagai kawasan pengembangan sapi perah. Keberadaan sapi
perah tidak tersebar di seluruh lokasi kecamatan di wilayah pengembangan utama
utara. Populasinya terkonsentrasi di salah satu kecamatan, yaitu Kecamatan
Pagerageung. Kondisi ini terjadi, karena Kecamatan Pagerageung merupakan
wilayah pengunungan yang memiliki lokasi yang paling tepat secara ekologis bagi
pengembangan ternak sapi perah. Beberapa kecamatan lainnya di wilayah
pembangunan utama utara yang terdapat sapi perah, meski jumlahnya tidak
banyak adalah di Kecamatan Cisayong dan Sukaratu.
29

Gambar 6 Populasi ternak sapi perah di setiap kecamatan tahun 2014 (ST)
Hampir sama dengan ternak sapi potong, penyebaran populasi ternak kerbau
juga berada diwilayah selatan Tasikmalaya, yaitu wilayah Kecamatan Cipatujah
sebanyak 1.275,35 ST dan Karangnunggal 1.146,55 ST. Populasi kerbau terdapat
di wilayah tengah antara lain di Kecamatan Bojonggambir 986,70 ST,
Cigalontang 956,80 ST dan Sodonghilir 733,70 ST. Sementara di wilayah utara,
penyebaran populasi ternak kerbau relatif rendah. Kecamatan dengan populasi
kerbau paling sedikit adalah Kecamatan Kadipaten 5,75 ST. Ternak kerbau tidak
berkembang di wilayah pengembangan utama utara, dimungkinkan karena
ketidaksesuaian ekologis. Ketersediaan lahan pangonan menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi keberadaan dan berkembangnya ternak kerbau. Gambaran
penyebaran populasi ternak kerbau disajikan pada Gambar 7 berikut :

Gambar 7 Populasi ternak kerbau di setiap kecamatan tahun 2014 (ST)


30

Berbeda dengan komoditas ternak ruminansia besar, populasi ternak


kambing menyebar di wilayah pembangunan utama tengah Kabupaten
Tasikmalaya. Wilayah tengah merupakan wilayah dengan potensi pertanian
tanaman pangan dan hortikultura yang cukup tinggi. Kondisi geografis dan
ekologi yang moderat antara pegunungan dan pantai menjadikan wilayah
pengembangan utama tengah cocok untuk ternak kambing. Wilayah kecamatan
dengan populasi ternak kambing tertinggi adalah Kecamatan Sariwangi sebanyak
2.229,60 ST. Wilayah kecamatan lainnya dengan populasi kambing cukup tinggi
adalah Kecamatan Leuwisari 1.203,20 ST, Cigalontang 1.219,52 ST dan
Karangnunggal 884,32 ST. Kecamatan Karangjaya merupakan wilayah dengan
populasi ternak kambing paling rendah 14,56 ST dan Sukaresmi 20,64 ST.
Gambaran populasi ternak kambing dan sebarannya di Kabupaten Tasikmalaya
disajikan pada Gambar 8 berikut :

Gambar 8 Populasi ternak kambing di setiap kecamatan tahun 2014 (ST)


Ternak domba memiliki karakteristik kebutuhan ekologi yang hampir sama
degan ternak kambing. Penyebaran populasi ternak domba hampir serupa dengan
penyebaran ternak domba, bahkan lebih tersebar di selurih kecamatan di
Kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan hasil observasi dan perhitungan populasi
yang dikonversi ke dalam Satuan Ternak (ST), populasi paling tinggi terdapat
wilayah Kecamatan Cigalontang sebanyak 2.550,52 ST, lalu Kecamatan
Cikatomas 2.126,18 ST, Sukarame 2.099,72 ST, Sukahening 2.016,00 ST,
Karangnunggal 1.954,12 ST, Cisayong 1.890,84 ST, Sodonghilir 1.878,52 ST,
Pagerageung 1.837,22 ST, Salawu 1.708,84 ST, Puspahiang 1.351,84 ST,
Parungponteng 1.539,30 ST, Bojongasih 1.538,60 ST, Cipatujah 1.519,56 ST,
Bantarkalong 1.515,78 ST, Cikalong 1.514,52 ST, Taraju 1.438,08 ST, Leuwisari
1.393,00 ST, Cibalong 1.366,26 ST, Singaparna 1.282,40 ST, Bojonggambir
1.138,48 ST, Sariwangi 1.064,14 ST, dan Salopa 1.055,32 ST. Populasi terendah
terdapat di Kecamatan Karangjaya 96,04 ST. Secara umum konsentrasi
penyebaran ternak domba terdapat di wilayah pembangunan utama tengah.
Gambaran penyebaran populasi ternak domba di Kabupaten Tasikmalaya pada
tahun 2014 disajikan pada Gambar 9 berikut :
31

Gambar 9 Populasi ternak domba di setiap kecamatan tahun 2014 (ST)


Jumlah populasi ternak yang tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten
Tasikmalaya tidak terlepas dari daya dukung lingkungan dan potensi wilayah
lainnya (Gambar 10). Untuk ternak sapi potong, potensi populasi tersebar di
wilayah pengembangan utama selatan dan tengah, sedangkan ternak sapi perah
penyebarannya terpusat di wilayah utara. Ternak domba penyebarannya hampir
merata di seluruh kecamatan. Sedangkan untuk ternak kambing populasinya
terpusat di wilayah tengah. Pola penyebaran populasi tersebut dapat diindikasikan
bahwa pada lokasi-lokasi dengan tingkat populasi tinggi terdapat faktor-faktor
yang mendukung kesesuaian ekologisnya. Kesesuaian ekologis tersebut antara
lain terkait dengan kesesuian temperatur, curah hujan, daya dukung lahan dan
kegiatan usaha tani. Salah satu indikasi adanya kesesuaian ekologis tersebut
ditunjukan dengan populasi ternak sapi potong yang dominan berada di wilayah
selatan, dimana wilayah selatan memiliki lahan kering yang cukup luas, iklim dan
suhu yang relatif panas serta kontur tanah yang relatif datar. Namun demikian
dalam perkembangan dan peningkatan kapasitas produksinya perlu kembali
disesuaikan dengan ketersediaan lahan dan daya dukung lingkungan secara
terintegrasi. Hal ini terutama sekali berkaitan dengan ketersediaan pakan dan
kapasitas tampung wilayahnya.
Konsentrasi populasi ternak di suatu wilayah juga dapat dikaitkan dengan
keberadaan rumah tangga petani sebagai pelaku utama kegiatan usaha tani ternak.
Pola sebaran populasi ternak ruminansia uyang cenderung berada di wilayah
pengembangan utama selatan juga mengindikasikan bahwa di wilayah tersebut
terdapat rumah tangga petani. Ragam kegiatan usaha tani yang meliputi usaha tani
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan kehutanan juga dapat
mengindikasikan pola sebaran populasi ternak ruminansia. Hal ini terkait dengan
ketersediaan sumberdaya pakan yang tidak terlepas dari kegiatan usaha tani, serta
keberadaan lahan pertanian sebagai sumber rumput.
32

Gambar 10 Peta penyebaran populasi ternak ruminansia tahun 2014


33

Daya Dukung Lingkungan


Wilayah Kabupaten Tasikmalaya secara umum beriklim tropis dengan
kelembapan sedang pada suhu rata-rata 20o-34oC di dataran rendah dan 18o-22oC
pada dataran tinggi. Kondisi iklim tersebut secara umum mendukung
pengembangan ternak ruminansia dengan kebutuhan suhu rat-rata 15o-30oC pada
kelembapan tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering. Faktor lain yang
mendukung pengembangan usaha peternakan ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya adalah ketersediaan air. Semakin mudah ketersediaan air di suatu
wilayah, maka akan semakin besar potensi untuk pengembangan peternakan.
Sumberdaya air yang terdapat di Kabupaten Tasikmalaya dapat diidentifikasi
dengan banyaknya sungai serta anak sungai yang mengalir dari kawasan
pengunungan hingga pantai. Wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya merupakan
wilayah dataran rendah yang dekat dengan pantai dan muara sungai-sungai besar
yang potensial sebagai penyedia air bagi kegiatan usaha pertanian.
Aspek lain yang tidak kalah penting dalam pengembangan usaha
peternakan adalah ketesediaan lahan sebagai basis ekologi ternak berkembang
biak. Lahan kering dan hutan banyak terdapat di wilayah selatan, sedangkan lahan
sawah dan padang gembalaan terdapat hampir merata di seluruh wilayah
kecamatan. Luas lahan tanah di Kabupaten Tasikmalaya adalah 270.882 hektar
yang terdiri dari lahan pertanian seluas 242.416 hektar dan lahan non pertanian
seluas 28.466 hektar. Lahan pertanian terdiri dari lahan sawah seluas 51.188
hektar dan lahan non sawah seluas 191.228 hektar. Luas lahan kering pada tahun
2014 adalah sekitar 105.225,82 hektar dan luas hutan sekitar 41.594,18 hektar.
Pemanfaatan lahan kering, hutan dan padang gembalaan sebagai sumber penghasil
rumput serta lahan sawah sebagai sumber penghasil jerami padi dapat dilakukan
secara optimal dalam rangka menjamin ketersediaan pakan. Kesesuaian iklim dan
ketersediaan lahan merupakan kunci keberhasilan pengembangan peternakan di
Kabupaten Tasikmalaya. Gambaran mengenai penyebaran lahan sawah, lahan
kering, padang gembalaan dan hutan disajikan pada Gambar 11 berikut :

Gambar 11 Luas sawah, lahan kering, padang gembalaan dan hutan (ha)
34

Rumah Tangga Petani


Keberhasilan usaha peternakan tidak saja harus didukung oleh
ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan, namun juga lebih penting
keberadaan sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia yang dimaksud tentunya
adalah sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki kemampuan teknis
dalam usaha tani ternak. Pengalaman beternak dan pelatihan keterampilan serta
pendampingan dari pemerintah merupakan potensi untuk peningkatan kualitas
sumberdaya manusia. Hal ini menjadi penting karena secara umum pendidikan
formal peternak masih relatife rendah dengan rata-rata pendidikan sekolah dasar.
Sumberdaya manusia pelaku usaha peternakan adalah peternak yang
merupakan kelompok rumah tangga petani. Terlebih lagi, orientasi usaha
peternakan di Kabupaten Tasikmalaya secara umum masih bersifat usaha
sampingan dengan pekerjaan utama adalah pertanian bercocok tanam.
Keberadaan rumah tangga petani hampir merata di seluruh wilayah kecamatan.
Namun demikian, pada lokasi-lokasi dengan tingkat populasi ternak tinggi
terdapat lebih banyak rumah tangga petani. Pada tahun 2014, terdapat 283.757 KK
rumah tangga petani, dengan jumlah terbanyak terdapat di wilayah Kecamatan
Sodonghilir 14.036 KK, lalu di Kecamatan Karangnunggal 13.524 K), Cipatujah
13.124 KK, Cigalontang 12.212 KK dan Salawu 11.093 KK. Jumlah rumah
tangga petani terendah terdapat di Kecamatan Karangjaya 3.237 KK. Lebih lanjut,
keberadaan rumah tangga petani dapat dijadikan patokan untuk pengembangan
dan peningkatan populasi ternak. Keberadaan rumah tangga petani erat kaitannya
dengan jumlah penduduk dan ketersediaan lapangan usaha, dimana pertanian
merupakan lapangan usaha/pekerjaan terbesar di Kabupaten Tasikmalaya. Gambar
12 dan 13 menunjukan perbandingan antara jumlah penduduk dengan jumlah
rumah tangga petani serta penyebaran rumah tangga petani di setiap kecamatan.

Gambar 12 Rumah tangga petani dan jumlah penduduk tahun 2014


35

Gambar 13 Peta penyebaran rumah tangga petani di setiap kecamatan


36

Teknologi
Hasil observasi dan wawancara di lapangan dengan kelompok-kelompok
peternak, pola pemeliharaan ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya masih
dilakukan secara tradisional. Hal ini dapat dilihat dari pola pemeliharaan ternak
pada aspek perkandangan, peralatan yang digunakan, penanganan penyakit serta
manajemen pemberian pakan. Perkandangan yang digunakan secara umum masih
sederhana. Kandang dibangun dengan konstruksi atap genteng atau kiray, lantai
tembok, tanah atau bambu serta dinding kayu atau bambu. Jarak kandang dengan
pemukiman relatif memenuhi syarat antara lain pada jarak 100-200 m. ternak-
ternak ruminansia umunya dikandangkan setiap hari dan dilepas untuk dijemur
atau digembalakan. Masa pakai kandang rata-rata 3-5 tahun. namun demikian,
pola pemeliharaan yang dilakukan umumnya sudah intensif (untuk ternak sapi
perah, kambing dan domba) dan sebagian kecil yang semi intensif (untuk ternak
sapi potong dan kerbau). Aplikasi teknologi yang sudah berjalan antara lain adalah
teknologi reproduksi, khususnya untuk ternak sapi perah dan sapi potong.
Teknologi reproduksi yang dimaksud adalah inseminasi buatan. Penerapan
teknologi ini tidak terlepas dari bantuan petugas inseminator yang berasal dari
Dinas Peternakan dan atau Kantor Cabang Dinas (KCD).
Jenis pakan yang diberikan pada ternak ruminansia umunya berupa hijauan
dalam bentuk rumput dan jerami yang berasal dari areal pertanian. Beberapa
peternak yang tergabung dalam kelompok peternak umumnya memiliki kebun
rumput. Ketersediaan pakan hijauan di Kabupaten Tasikmalaya sangat
dipengaruhi oleh musim, iklim dan curah hujan. Sebagian besar peternak tidak
memberikan pakan tambahan berupa konsentrat, dan hanya sebagian kecil saja
yang menggunakan pakan tambahan berupa dedak padi dan singkong/onggok.
Pola pemberian pakan dilakukan secara adlibitum dengan frekuensi pemberian
pakan sebanyak dua kali dalam sehari.

Modal
Modal usaha ternak yang digunakan oleh para peternak ruminansia di
Kabupaten Tasikmalaya umumnya merupakan modal sendiri, bagi hasil dan
modal yang berasal dari bantuan program pemerintah. Sebagian besar peternak
tidak dapat mengakses modal kredit perbankan karena tekendala persyaratan
agunan/jaminan. Lemahnya akses terhadap modal sebenarya tidak saja karena
faktor kendala agunan/jaminan, tetapi juga disebabkan karakteristik usahanya
yang masih meruapakan usaha sampingan. Secara historis, peternak di Kabupaten
Tasikmalaya menjadikan peternakan sebagai tabungan dengan siklus
usaha/pemeliharaan jangka panjang (siklus tahunan) dimana hari raya Idul Adha
merupakan moment panen. Modal yang berasal dari bantuan program pemerintah
antara lain berupa modal Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), LM3, Sarjana
Membangun Desa (SMD) dan Bantuan Sosial lainnya yang berasal dari
pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten.
Khusus untuk komoditas ternak sapi perah, permodalan didukung oleh
keberadaan koperasi. Peternak sapi perah hampir seluruhnya merupakan anggota
koperasi. Permodalan dari koperasi berupa bibit ternak, sarana/peralatan produksi
ternak, pakan konsentrat dan pinjaman dalam bentuk yang. Peternak sebagai
anggota koperasi memiliki kewajiban menyetor susu hasil produksinya ke
koperasi dimana mereka menjadi anggota.
37

Kelembagaan
Kelembagaan merupakan aspek penting dalam pengembangan usaha
peternakan. Kelembagaan yang paling sederhana adalah kelompok peternak yang
dapat berperan dalam pembinaan melalui penyuluhan dan bimbingan teknis.
Keberadaan kelompok peternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya masih di
dominasi pada komoditas ternak sapi potong dan sapi perah. Kelembagaan pada
komoditas sapi perah cenderung sudah lebih maju dengan bentuk lembaga
koperasi. Sedangkan pada komoditas sapi potong, bentuk kelembagaan berupa
kelompok peternak dan atau gabungan kelompok peternak. Hal lain yang juga
tidak kalah penting dalam kelembagaan peternak adalah aspek pemasaran.
Fasilitasi kelembagaan yang dilakukan pemerintah untuk menunjang kegiatan
pemasaran adalah disediakannya pasar hewan di beberapa lokasi yang tersebar
dan dapat menjangkau seluruh wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Pengelolaan
pasar hewan masih dilakukan oleh pemerintah melalui Dinas Peternakan
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tasikmalaya dan pemerintah desa setempat
dimana lokasi pasar hewan berada. Bentuk kelembagaan lain yang sudah ada
adalah pola kemitraan usaha antara investor dengan kelompok peternak dengan
sistem bagi hasil. Bentuk kelembagaan ini terjadi pada komoditas sapi potong,
kambing dan domba.
Tabel 12 Pasar hewan di Kabupaten Tasikmalaya
Nama Pasar Lokasi/Kecamatan Hari Pasar
Cilampunghilir Padakembang Senin, Selasa, Jumat
Tawang Pancatengah Rabu, Sabtu
Landbouw Ciawi Minggu
Cikeusal Tanjungjaya Rabu
Manonjaya Manonjaya Sabtu
Taraju Taraju Selasa
Cineam Cineam Senin
Simpang Bantarkalong Kamis
Bojonggambir Bojonggambir Kamis
Sumber Disnakkanla Kab. Tasikmalaya, 2015

Berdasarkan uraian hasil observasi di atas, pada aspek ekologi dan sarana
pendukung peternakan, dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Tasikmalaya
memiliki populasi ternak ruminansia yang secara spesifik tersebar sesuai degan
ekologi wilayah pengembangannya. Ternak sapi potong dan kerbau cenderung
berada diwilayah selatan dengan ketersediaan lahan kering yang cukup luas.
Ternak sapi perah terkonsentrasi diwilayah utara yang merupakan wilayah
pegunungan dengan suhu dan kelembapan yang sesuai dengan kebuuthan ternak
perah. Sedangkan ternak kambing dan domba keberadaanya merata di setiap
kecamatan. Wilayah tengah merupakan wilayah yang paling potensial untuk
penngembangan ternak kambing dan domba, sehingga perlu dilakukan
optimalisasi pemanfaatan lahan-lahan yang tersedia sebagai basis ekologis ternak
dalam penyediaan pakan. Pengembangan peternakan ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya juga dapat dioptimalkan dengan peran rumah tangga petani yang
keberadaanya tersebar di wilayah-wilayah potensial pengembangan ternak
ruminansia sehingga diperlukan peran kelembagaan dan dukungan pemerintah
terkait dengan pemasaran dan penyediaan modal serta insfrastruktur pendukung.
38

Karakteristik Usaha dan Pendapatan Peternak

Hasil observasi dan wawancara di lapangan diperoleh gambaran pola


pengusahaan ternak ruminansia yang spesifik komoditas. Pada komoditas ternak
sapi perah, pola pengusahaan ternak sudah lebih baik dan memiliki lembaga yang
jelas, yaitu koperasi peternak sapi perah. Sedangkan pada ternak sapi potong,
kerbau, kambing dan domba, pola pengusahaan relatif sama dalam skala rumah
tangga serta beberapa diantaranya tergabung dalam kelompok peternak.
Keberadaan kelompok peternak terdapat pada komoditas sapi potong dan bahkan
diantaranya sudah memiliki gabungan kelompok peternak (Gapoknak/Gapoktan).
Pengusahaan ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya tidak ada dalam skala
industri. Hasil observasi diketahui bahwa ada satu kandang ternak sapi potong
dengan kapasitas 1.000 ekor di Kecamatan Indihiang (berada di wilayah Kota
Tasikmalaya) tetapi bukan merupakan industri penggemukan sapi/feedlot tetapi
hanya kandang transit untuk pemasaran sapi ex impor siap potong di wilayah
priangan timur.
Observasi dilakukan di kecamatan sampel yaitu kecamatan-kecamatan
yang merupakan wilayah basis, serta wawancara dengan 38 (tiga puluh delapan)
peternak responden. Responden terdiri dari tujuh orang peternak sapi potong,
sembilan orang peternak sapi perah, lima orang peternak kerbau, enam orang
peternak kambing dan 11 (sebelas) orang peternak domba. Hasil observasi dan
wawancara diperoleh gambaran peternak dengan karakteristik: (a) umur 40-60
tahun sebanyak 48%; (b) tingkat pendidikan rata-rata pada tingkat Sekolah Dasar
dan Sekolah Menengah Pertama; (c) jumlah anggota keluarga 4-6 orang; (d)
pengalaman beternak 6-10 tahun; (e) rata-rata jumlah ternak yang diusahakan
sebanyak 8,4 ST; (f) rata-rata luas lahan 0,4 ha; dan (g) jumlah anggota kelompok
sebanyak 5-10 orang. Berdasarkan hasil observasi tersebut dapat disimpulkan
bahwa secara umum pola pengusahaan ternak ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya merupakan usaha dalam skala rumah tangga, namun diusahakan oleh
kelompok umur produktif , sebagaimana disajikan pada Tabel 13.
Hasil observasi terhadap pengelolaan sumberdaya pakan diperoleh
gambaran bahwa sebagian besar peternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya
masih memanfaatkan rumput dan jerami sebagai sumber pakan utama. Rumput
dan jerami tersebut tersedia di lahan-lahan sekitar lokasi peternakannya. Khusus
untuk ternak sapi perah, peternak sudah menggunakan konsentrat. Namun
demikian konsentrat yang digunakan tidak dipenuhi secara mandiri, peternak
masih tergantung pada koperasi dimana mereka tergabung sebagai anggota. Pakan
hijauan yang bersumber dari jerami maupun rumput belum dikelola dengan baik.
Rumput dan jerami yang digunakan masih dalam bentuk rumput /jerami segar
atau kering. Para peternak belum melakukan pengolahan terhadap bahan pakan
yang tersedia. Hijauan yang diperoleh dengan cara menyabit atau mengumpulkan
dari lahan-lahan tanaman pangan yang sudah dipanen dibawa ke lokasi kandang
dan disimpan dalam keranjang untuk dilayukan/dikeringkan sebelum diberikan
pada ternak. Beberapa peternak memberikan tambahan garam pada hijauan yang
diberikan sebagai pakan ternak. Pemenuhan kebutuhan pakan hijauan mayoritas
masih berasal dari lokasi dimana peternak tersebut berada dan tidak tergantung
pada daerah lain.
39

Tabel 13 Karakteristik peternak (responden) ruminansia di Kabupaten


Tasikmalaya
Karakteristik Rumah Tangga Petani
Umur (Tahun)
a. 20 - 40 11.00 28.95 %
b. >40 - 60 17.00 44.74%
c. > 60 11.00 28.95%
Pendidikan
a. SD 13.00 34.21 %
b. SMP 12.00 31.58%
c. SMA 10.00 26.32%
d. PT 2.00 5.26%
Jumlah anggota keluarga (jiwa)
a. 2 - 4 13.00 34.21%
b. > 4 - 6 19.00 50.00%
c. > 6 6.00 15.79%
Pengalaman beternak (tahun)
a. 3 - 6 11.00 28.95%
b. >6 - 10 19.00 50.00%
c. >10 8.00 21.05%
Jumlah anggota kelompok (jiwa)
a. 5 - 10 20.00 52.63%
b. >10 - 20 12.00 31.58%
c. > 20 6.00 15.79%
Rata-Rata kepemilikan lahan (ha) 0.40
Rata-rata kepemilikan ternak (ST)
Sapi potong 7.00
Sapi perah 10.00
Kerbau 7.50
Kambing 10.00
Domba 7.50

Pendapatan peternak merupakan hasil perhitungan antara biaya-biaya yang


dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh selama melaksanakan kegatan usaha
ternak ruminansia. Komponen biaya yang diperhitungan pada kegiatan usaha
ternak ruminansia antara lain adalah biaya pakan hjiauan, biaya pakan konsentrat,
obat-obatan/vitamin, inseminasi buatan, tenaga kerja, listrik, lahan, penyusutan
kandang, penyusutan peralatan, dan bibit/bakalan. Pakan hijauan merupakan
komponen utama yang banyak digunakan oleh para peternak. Komponen biaya
obat/vitamin, inseminasi buatan dan pakan konsentrat merupakan komponen
pilihan. Sumber pendapatan terdiri dari hasil penjualan ternak dan hasil lainnya
berupa susu untuk ternak perah dan hasil ikutan berupa limbah/kotoran.
Berdasarkan hasil observasi dan penghitungan tingkat pendapatan peternak, ternak
sapi perah merupakan komoditas ternak yang memberikan pendapatan paling
tinggi dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya, sedangkan ternak domba
memberikan tingkat pendapatan terendah (Gambar 14). Hal ini terjadi karena sapi
perah memberikan sumber pendapatan dari susu dan pedet yang dihasilkan, selain
juga faktor kelembagaan usaha yang sudah cukup baik dengan adanya koperasi.
Namun demikian, komoditas yang paling efisien dari kemampuan pengembalian
modal (Return on Investment) adalah ternak kerbau dan kambing.
40

Gambar 14 Tingkat pendapatan peternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya


(Rp/ST/Tahun)
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pada peternak responden
(Tabel 14), diketahui bahwa pendapatan yang diperoleh peternak sapi potong
berasal dari kegiatan usaha penggemukan dalam kurun waktu satu tahun.
Komponen pengeluaran terdiri dari biaya pakan, obat dan vitamin, inseminasi
buatan, tenaga kerja, listrik, bibit/bakalan, kandang dan peralatan serta lahan.
Rata-rata total pengeluaran untuk ternak sapi potong adalah sebesar
Rp. 13.123.857,-. Pada komponen pakan rata-rata pengeluarannya sebesar
Rp. 1.471.429.- untuk pakan hjiauan, sebagain besar peternak memberikan pakan
hijauan berupa rumput lapangan dan jerami serta penambahan garam. peternak
memberikan konsentrat sebagai pakan tambahan dengan biaya sebesar
Rp. 228.571,-. Penyakit yang sering menyerang ternak sapi potong adalah
penyakit mencret, kembung dan cacingan serta lemah kaki dan keracunan. Untuk
penanganan penyakit biaya yang dikeluarkan tidak terlalu banyak, yaitu sebesar
Rp. 171.714,-, demikian juga dengan inseminasi buatan yang hanya dilakukan
oleh peternak yang melakukan kegiatan pembibitan dengan biaya rata-rata sebesar
Rp. 230.000,-. Komponen tenaga kerja yang terlibat terdiri dari komponen tenaga
kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga (upahan), dengan rata-rata biaya
sebesar Rp. 1.564.286,-. Biaya-biaya lainnya terdiri dari biaya listrik sebesar
Rp. 51.429,- dan biaya penyusutan lahan Rp. 957.714,- dan penyusutan kandang
Rp. 957.143,- serta biaya penyusutan peralatan sebesar Rp. 164.286,-. Komponen
biaya terbesar adalah biaya bibit/bakalan sebesar Rp. 7.714.286,-. Bibit yang
digunakan untuk usaha ternak sapi potong adalah ternak sapi yang akan dipelihara
dan dijual pada umur dan bobot potong. Peternak biasanya menjual ternaknya
pada musim qurban (Idul Adha). Penerimaan peternak sapi potong berasal dari
penjualan ternak dan kotoran/limbah. Rata-rata total penerimaan peternak adalah
sebesar Rp. 15.550.286,- sehingga diperoleh rata-rata keuntungan sebesar
Rp. 1.426,429,- per Satuan Ternak per tahun. Return on Investment (ROI) pada
ternak sapi potong adalah sebesar 18,49%). Detil penghitungan pendapatan
peternak sapi potong dapat dilihat pada Lampiran 5.
41

Tabel 14 Rata-rata biaya dan pendapatan peternak ruminansia di Kabupaten


Tasikmalaya (Rp/ST/tahun)
Jenis Ternak Ruminansia
Rata-Rata
Uraian Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Kambing Domba
------------------------------------(Rp/ST/tahun)----------------------------------------------
A. Penerimaan
Penjualan Ternak 15.285.714 5.888.889 6.500.000 2.833.333 2.072.727 6.516.133
Penjualan Kotoran
Ternak/Limbah 264.571 188.889 - 300.000 254.545 201.601
Penjualan Susu - 19.800.000 - 833.333 - 4.126.667
Jumlah
15.550.286 25.877.778 6.500.000 3.966.667 2.327.273 10.844.401
Penerimaan (Rp)
B. Pengeluaran
Pakan Hijauan 1.471.429 655.556 - 833.333 727.273 737.518
Pakan Konsentrat 228.571 605.556 - 200.000 - 206.825
Obat/Vitamin 171.714 244.444 - 66.667 - 96.565
Inseminasi Buatan 230.000 511.111 - - - 148.222
Tenaga Kerja 1.564.286 1.577.778 1.040.000 - - 836.413
Listrik 51.429 63.333 50.000 66.667 59.091 58.104
Lahan 957.143 1.133.333 - - - 418.095
Penyusutan Kandang 570.714 255.556 240.000 133.333 118.182 263.557
Penyusutan Peralatan 164.286 244.444 100.000 66.667 59.091 126.898
Bibit/Bakalan 7.714.286 16.000.000 1.140.000 750.000 763.636 5.273.584
Jumlah
13.123.857 21.291.111 2.570.000 2.116.667 1.727.273 8.165.782
Pengeluaran (Rp)
C. Pendapatan
2.426.429 4.586.667 3.930.000 1.850.000 600.000 2.678.619
Rata-Rata (Rp)
D. Return on
18,49 21,54 152,92 87,40 34,74 32,80
Investment (%)

Pada komoditas sapi perah, penghitungan pendapatan tidak terlepas dari


modal yang dikeluarkan (Tabel 14). Modal pada usaha ternak sapi perah relatif
cukup besar dibandingkan komoditas ternak lainnya, yaitu sebesar Rp. 4.586.667,-
per satuan ternak per tahun. Rata-rata total biaya pengeluaran untuk ternak sapi
perah adalah sebesar Rp. 25.800.000,- dengan komponen biaya terbesar pada
pembelian bibit indukan (sapi perah betina bunting) sebesar Rp. 16.000.000,-.
Komponen biaya rata-rata yang dikeluarkan pada usaha ternak sapi perah antara
lain adalah biaya pakan hijauan rata-rata sebesar Rp. 655.556,- biaya pakan
konsentrat Rp. 605.556,-, biaya obat dan vitamin Rp. 244.444,-, biaya inseminasi
buatan sebesar Rp. 511.111,- dan biaya tenaga kerja sebesar Rp. 1.577.778,-.
Biaya lainnya terdiri dari biaya listrik Rp. 63.333,-, biaya lahan Rp. 1.133.333,-
biaya kandang Rp. 255.556,-, biaya peralatan sebesar Rp. 244.444,-. Penerimaan
peternak sapi perah berasal dari hasil penjualan pedet umur 4-6 bulan dengan
harga Rp. 5.188.889,- penjualan kotoran/limbah sebesar Rp. 188.889,- dan yang
terbesar berasal dari penjualan susu sebesar Rp. 19.800.000,- dengan rata-rata
produksi susu sebanyak 12 liter per ekor per hari. Return on investment (ROI)
pada ternak sapi perah, yaitu kemampuan pengembalian modal berdasarkan
pendapatan adalah sebesar 21,54%. Detil penghitungan pendapatan peternak sapi
perah dapat dilihat pada Lampiran 6.
42

Untuk komoditas ternak kerbau, ciri khusus pengelolaan usahanya yang


dilakukan secara ekstensif. Pemeliharaan ternak kerbau mayoritas dilakukan oleh
peternak skala kecil (peternakan rakyat) yang berada di wilayah perdesaan dengan
keterbatasan penguasaan sumberdaya (lahan, pendapatan, inovasi dan teknologi).
Hasil observasi di lokasi penelitian menunjukan bahwa pemeliharaan kerbau yang
dilakukan oleh peternak responden hampir seluruhnya digembalakan dengan cara
mengandangkan pada malam hari dan melepasnya di siang hari di lahan-lahan
sawah, kebun dan atau areal lahan penggembalaan. Oleh karena itu, hampir tidak
ada komponen biaya pakan, obat dan vitamin, serta inseminasi buatan (Tabel 14).
Komponen biaya usaha ternak kerbau secara total per satuan ternak per tahun
adalah sebesar Rp. 2.550.000,- yang terdiri dari komponen biaya tenaga kerja
Rp. 1.040.000,-, biaya listrik Rp. 50.000,- biaya penyusutan kandang
Rp. 240.000,- biaya penyusutan peralatan Rp. 100.000,- dan biaya penyusutan
indukan Rp. 1.140.000,-. Biaya penyusutan indukan diperoleh dari perhitungan
bahwa indukan kerbau mampu dipelihara dan menghasilkan anakan selama 6-8
tahun. penerimaan usaha ternak kerbau berasal dari hasil penjualan ternak kerbau
muda yaitu kerbau yang berusia 6-8 bulan seharga Rp. 6.500.000,-. Keuntungan
yang diperoleh rata-rata oleh peternak kerbau responden adalah sebesar
Rp. 3.930.000,- per satuan ternak per tahun. Return on Investment (ROI) pada
usaha ternak kerbau cukup tinggi dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya,
yaitu sebesar 152,92%. Hal ini menunjukan bahwa usaha ternak kerbau cukup
menguntungkan dimana keuntungan yang diperoleh lebih tinggi daripada modal
investasi yang digunakan. Detil penghitungan pendapatan peternak kerbau
disajikan pada Lampiran 7.
Terdapat 2 pola pengusahaan ternak kambing, yaitu kambing perah dan
kambing potong. Biaya rata-rata untuk usaha ternak kambing sebagaimana
disajikan pada Tabel 14, adalah sebesar Rp. 2.116.667,-. Kompenen-komponen
biaya pada usaha ternak kambing terdiri dari biaya pakan hijauan Rp. 833.333,-,
biaya pakan konsentrat Rp. 200.000,-, biaya obat dan vitamin Rp. 66.667,-, biaya
listrik Rp. 66.667,-, biaya penyusutan kandang Rp. 133.333,-, biaya penyusutan
peralatan Rp. 66.667,- dan biaya pembelian bakalan atau penyusutan indukan
sebesar Rp. 750.000,-. Penerimaan usaha ternak kambing berasal dari hasil
penjualan ternak sebesar Rp. 2.833.333,- dan hasil penjualan susu Rp. 833.333,-
serta hasil penjualan kotoran Rp. 300.000,-. Return on Investment (ROI) pada
ternak kambing adalah sebesar 87,40%. Detil penghitungan pendapatan peternak
kambing dapat dilihat pada Lampiran 8.
Peranan usaha ternak domba dalam struktur pendapatan peternak
merupakan potensi yang sangat penting, terutama dalam pemanfaatan lahan
pertanian, lahan kosong, perkebunan dan kehutanan. Penyebaran populasi ternak
domba di Kabupaten Tasikmalaya menunjukan bahwa ternak domba merupakan
komoditas yang banyak diusahakan di masyarakat Kabupaten Tasikmalaya,
meskipun tingkat pendapatan yang diperoleh peternak merupakan yang terendah
jika dibandingkan dengan pendapatan dari komoditas ternak lainnya. Keuntungan
atau pendapatan yang diperoleh peternak domba berdasarkan hasil observasi
dengan peternak responden rata-rata sebesar Rp. 600.000,- (Tabel 14). Komponen
biaya pengeluaran pada usaha ternak domba antara lain adalah biaya bibit/bakalan
sebesar Rp. 763.636,- biaya penyusutan kandang Rp. 118.182,- biaya penyusutan
peralatan Rp. 59.091,- biaya listrik Rp. 59.091,- dan biaya pakan Rp. 727.723,-.
43

Pada usaha ternak domba, komponen tenaga kerja hampir tidak diperitungkan,
karena karakteristik pengusahaanya yang merupakan usaha sampingan dengan
usaha pokok pada kegiatan pertanian tanaman pangan dan hortikultura.
Komponen penerimaan pada usaha ternak domba berasal dari hasil penjualan
ternak domba dewasa yang siap potong yaitu sebesar Rp. 2.072.727,-, dan hasil
penjualan kotoran/limbah sebagai pupuk kandang sebesar Rp. 201.601,-. Return
on Investment (ROI) pada ternak domba adalah sebesar 34,74%. Detil
penghitungan pendapatan peternak domba disajikan pada Lampiran 9.
Berdasarkan uraian di atas, jika dibandingkan antara pendapatan dengan
return on investment (ROI) atau tingkat kemampuan pengembalian pendapatan
terhadap modal, dapat disimpulkan bahwa ternak sapi perah dengan pendapatan
tertinggi belum dapat dijadikan pertimbangan sebagai usaha ternak yang paling
menguntungkan. Usaha ternak kerbau (ROI=152,92) merupakan usaha yang
paling menguntungkan dibandingkan dengan sapi perah ROI sebesar 21,54%.
Demikian juga dengan ternak sapi potong (ROI=1849%), kambing (ROI=87,40%),
dan domba (ROI=34,74%), harus dipertimbangkan tingkat kemampuan
pengembalian modal investasinya. Ternak kerbau dan kambing merupakan
komoditas dengan nilai ROI yang paling baik (Tabel 14).

Wilayah Basis Ternak Ruminansia

Wilayah basis adalah lokasi-lokasi yang merupakan pusat konsentrasi ternak


ruminansia berada. Pada wilayah basis terdapat keunggulan populasi
dibandingkan dengan wilayah lain, sehingga memiliki kemungkinan untuk
mengekspor keunggulan populasi ke wilayah lain. Berdasarkan hasil analisis
Location Quotion (LQ), terdapat 11(sebelas) kecamatan yang merupakan wilayah
basis untuk komoditas ternak ruminansia. Wilayah-wilayah basis tersebut
merupakan wilayah dengan nilai LQ>1 (Gambar 15). Wilayah basis ternak sapi
potong berada di enam kecamatan di wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya,
yaitu Kecamatan Cipatujah (LQ=1,62; dengan jumlah sapi potong 5.615,00 ST),
Cikatomas (1,40; dengan jumlah sapi potong 4.828,00 ST), Pancatengah
(LQ=1,38; dengan jumlah sapi potong 4.782,00 ST), Parungponteng (LQ=1,18;
dengan jumlah sapi potong 4.069,00 ST), Karangnunggal (LQ=1,16; dengan
jumlah sapi potong 4.001,00 ST) dan Cikalong (LQ=1,13; dengan jumlah sapi
potong 3.915,00 ST). Wilayah basis ternak kerbau berada wilayah selatan yaitu di
Kecamatan Cipatujah (LQ= 1,36; dengan jumlah kerbau 1.275,35 ST) dan
Karangnunggal (LQ= 1,22; dengan jumlah kerbau 1.146,55 ST) serta di wilayah
tengah yaitu di Kecamatan Culamega (LQ=1,05; dengan jumlah kerbau 986,70
ST) dan Cigalontang (LQ= 1,02; dengan jumlah kerbau 956,80 ST). Wilayah
basis komoditas ternak sapi perah hanya terdapat di satu kecamatan di wilayah
utara yaitu Kecamatan Pagerageung (LQ= 10,23; dengan jumlah sapi perah
1.486,00 ST). Wilayah basis komoditas kambing berada di wilayah tengah yaitu di
Kecamatan Cigalontang (LQ=1,22; dengan jumlah kambing 1.219,52 ST),
Leuwisari (1,20; dengan jumlah kambing 1.203,20 ST) dan Sariwangi (LQ=2,23;
dengan jumlah kambing 2.229,60 ST). Untuk komoditas ternak domba, tidak ada
satu pun kecamatan yang merupakan wilayah basis, hal ini menunjukan bahwa
populasi ternak domba cenderung tersebar secara merata di seluruh wilayah
kecamatan.
44

Gambar 15 Wilayah basis komoditas ternak ruminansia (LQ>1) di Kabupaten


Tasikmalaya
Gambar 16 dan 17 menunjukan nilai LQ di seluruh wilayah kecamatan
untuk komoditas sapi potong. Berdasarkan urutan wilayah kecamatan, nilai LQ>1
terkonsentrasi di wilayah pengembangan utama selatan, yaitu Kecamatan
Cipatujah, Karangnunggal, Cikalong, Pancatengah, Cikatomas dan
Parungponteng. Sedangkan nilai LQ<1 hampir merata tersebar di kecamatan pada
wilayah pengembangan tengah dan utara. Jika dikaitkan dengan kondisi ekologi
dan daya dukung wilayah, wilayah selatan sebagai lokasi basis ternak sapi potong
memiliki kesesuaian yang cukup tinggi. Berada pada ketinggian 0-100 mdpl,
dengan ketersediaan lahan kering dan perkebunan serta kehutanan sebagai sumber
pakan rumput sangat mendukung perkembangan usaha ternak sapi potong. Usaha
ternak sapi potong bagi masyarakat di wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya
merupakan usaha yang diintegrasikan ke dalam sistem usah tani. Bangsa sapi yang
dipelihara adalah sapi hasil persilangan, yaitu jenis peranakan ongole dan
brahman, serta Limousine dan Simmental.

Gambar 16 Nilai LQ sapi potong


45

Gambar 17 Peta wilayah basis (LQ>1) ternak sapi potong


46

Gambar 18 dan 20 menunjukan nilai LQ di seluruh kecamatan untuk


komoditas ternak sapi perah. Kecamatan Pagerageung merupakan satu-satunya
wilayah basis untuk komoditas sapi perah dengan nilai LQ paling tinggi
(LQ=10,23). Hal ini populasi ternak sapi perah di kecamatan lain sangat sedikit
(<100 ekor) bahkan ada wilayah kecamatan yang tidak terdapat sapi perah sama
sekali. Kecamatan Pagerageung berada di wilayah pengembangan utama utara
dengan kondisi ekologi pegunungan yang cocok untuk pengembangan komoditas
ternak sapi perah. Populasi sapi perah di Pagerageung terpusat di Desa Guranteng
khususnya di Kampung Guranteng, Cikerenceng, Tewel, Picung dan Cikadu.

Gambar 18 Nilai LQ sapi perah


Gambar 19 dan 21 menunjukan nilai LQ di seluruh kecamatan untuk
komoditas ternak kerbau. Terdapat empat kecamatan yang memiliki nilai LQ>1,
yaitu Kecamatan Cipatujah, Karangnunggal, dan Culamega di wilayah selatan
serta Cigalontang di wilayah tengah. Kecamatan Cigalontang di wilayah tengah
memiliki karakteristik yang hampir sama dengan wilayah selatan, dan didukung
oleh ketersediaan potensi produksi pakan hjiauan yang sesuai dengan kebutuhan
ternak kerbau.

Gambar 19 Nilai LQ kerbau


47

Gambar 20 Peta wilayah basis (LQ>1) ternak sapi perah


48

Gambar 21 Peta wilayah basis (LQ>1) ternak kerbau


49

Gambar 22 dan 24 menunjukan nilai LQ di seluruh kecamatan untuk


komoditas ternak kambing. Terdapat tiga kecamatan di wilayah tengah sebagai
wilayah basis ternak kambing dengan nilai LQ>1, yaitu Kecamatan Cigalontang,
Leuwisari dan Sariwangi. Ketiga kecamatan tersebut berada pada satu hamparan
di wilayah tengah yang merupakan wilayah dengan potensi produksi pakan dari
tanaman pangan hortikultura, sayur-sayuran dan buah. Kondisi geografis dan
ekologi berbukit namun bukan merupakan dataran tinggi juga mendukung
pengembangan ternak kambing di wilayah tengah. Potensi pakan dari limbah
pertanian hortikultura dan rumput dan kondisi ekologis tersebut merupakan faktor
berkembannya ternak kambing di wilayah tengah. Jenis ternak kambing yang
diusahakan di Kabupaten Tasikmalaya terdiri dari 2 jenis, yaitu ternak kambing
perah (peranakan etawah dan saanen) serta jenis kambing pedaging (kambing
kacang dan boer). Hampir sama dengan pola usaha ternak ruminansia lainnya,
usaha ternak kambing masih dilakukan sebagai usaha sampingan dan beberapa
diantaranya dicampur dengan usaha ternak domba.

Gambar 22 Nilai LQ kambing


Gambar 23 menunjukan nilai LQ di setiap kecamatan untuk komoditas
domba. Hasil penghitungan untuk komoditas ternak domba tidak ada satu pun
kecamatan yang memiliki LQ>1. Hal ini berarti bahwa tidak ada wilayah basis
untuk komoditas domba dan menunjukan bahwa komoditas ternak domba
populasinya tersebar merata di setiap kecamatan. Usaha ternak domba sudah
tidak asing lagi bagi masyarakat petani Kabupaten Tasikmalaya. Namun demikian
kebanyakan pengusahanya masih bersifat sampingan. Skala pemilikan usaha
ternak domba yang dilakukan para petani berkisar antara dua sampai enam ekor.
Usaha ternak domba hampir menyebar dengan merata di seluruh kecamatan
bagian selatan, tengah dan utara Tasikmalaya. Jenis domba unggul yang banyak
dipelihara adalah domba lokal yang biasa disebut Domba Garut. Keunggulan
domba tersebut antara lain pertumbuhannya yang cepat, bobot dan postur tubuh
yang baik, serta produktivitasnya cukup tinggi.
50

Gambar 23 Nilai LQ domba


Berdasarkan uraian hasil analisis LQ di atas, terdapat 11(sebelas) kecamatan
sebagai wilayah basis komoditas ternak ruminansia dan potensial untuk
dikembangkan jika ditinjau dari struktur populasi ternaknya. Namun demikian,
kecamatan-kecamatan dengan nilai LQ<1 bukan tidak potensial untuk
dikembangkan. Pengembangan wilayah-wilayah basis dan non basis tersebut
untuk peningkatan populasi ternak ruminansia juga harus mempertimbangkan
aspek lainnya, seperti ekologi, daya dukung lahan dan potensi pakan serta
sumberdaya manusia berupa rumah tangga petani. Secara spasial, 11 (sebelas)
kecamatan wilayah basis komoditas ternak ruminansia tersebut berada merata di
wilayah pembangunan utama selatan, tengah dan utara. Jika dikaitkan dengan
analisis terhadap ekologi dan potensi peternakan pada aspek daya dukung
lingkungan, rumah tangga petani, teknologi dan modal serta kelembagaan,
terdapat relevansi antara wilayah-wilayah basis dengan aspek-aspek tersebut. Pada
wilayah basis terdapat kesesuaian jumlah dan sebaran populasi dengan daya
dukung lingkungan yang juga cocok dengan karakteristik komoditas ternak
basisnya. Pada lokasi-lokasi wilayah basis juga ditemukan peran rumah tangga
petani, penerapan teknologi dan kelembagaan yang sesuai dengan karakteristik
ternak basisnya. Wilayah-wilayah basis yang ditetapkan berdasarkan analisis
Location Quotion selanjutnya akan digunakan sebagai pertimbangan untuk
menentukan prioritas wilayah pengembangan ternak ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya.
Sektor basis dengan komoditas tertentu adalah sektor yang menjadi tulang
punggung perekonomian daerah karena mempunyai keunggulan kompetitif.
Sektor non basis adalah sektor-sektor lainnya yang kurang potensial tetapi
berfungsi sebagai penunjang sektor basis atau service industries. Aktivitas basis
memiliki peranan sebagai primer mover dalam pertumbuhan suatu wilayah. Oleh
karena itu, wilayah-wilayah basis ternak ruminanasia diharapkan akan
menimbulkan efek ganda dalam perekonomian regional Kabupaten Tasikmalaya.
51

Gambar 24 Peta wilayah basis (LQ>1) ternak kambing


52

Daya Dukung dan Potensi Pakan Hijauan

Pakan merupakan komponen penting dalam usaha peternakan dimana


pakan yang bersumber dari hijauan merupakan pakan utama untuk ternak
ruminansia. Hasil kajian terhadap potensi pakan hijauan yang terdiri dari rumput
dan jerami diperoleh informasi bahwa potensi pakan berkorelasi dengan luas
wilayah dan kondisi ekologi lahan yang berada di setiap kecamatan. Secara total,
potensi produksi pakan hijauan dalam konversi Bahan Kering (BK) di setiap
kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya ditunjukan pada Gambar 25. Potensi
produksi tertinggi terdapat diwilayah Kecamatan Cipatujah sebanyak 57.855,76
ton BK/tahun yang berada di wilayah pengembangan utama selatan dan
merupakan wilayah basis untuk ternak sapi potong dan kerbau. Lokasi-lokasi
wilayah basis ternak ruminansia lainnya yang memiliki potensi produksi pakan
hijauan yang cukup tinggi, yaitu diwilayah selatan Kecamatan Karangnunggal
sebanyak 29.684,59 ton BK/tahun, Cikalong sebanyak 32.037,58 ton BK/tahun,
Pancatengah sebanyak 33.831,20 ton BK/tahun, Cikatomas sebanyak 20.826,30
ton BK/tahun, Culamega sebanyak 27.242,81 ton BK/tahun; di wilayah tengah
yaitu Kecamatan Cigalontang sebanyak 27.910,56 ton BK/tahun, Leuwisari
sebanyak 22.356,88 ton BK//tahun, Sariwangi sebanyak 18.574,99 ton BK/tahun;
dan di wilayah utara yaitu Kecamatan Cisayong sebanyak 33.482,48 ton BK/tahun
dan Pagerageung sebanyak 14.049,98 ton BK/tahun.

Gambar 25 Potensi pakan hijauan (ton BK/tahun)


Gambar 26 menunjukan sebaran potensi produksi pakan hijauan di
wilayah-wilayah kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya. Kecamatan Cipatujah
yang juga merupakan wilayah basis ternak di wilayah selatan masih merupakan
kecamatan dengan potensi produksi pakan hijauan yang paling tinggi. Wilayah-
wilayah non basis yang secara geografis terletak dekat wilayah selatan
menunjukan potensi produksi pakan yang cukup tinggi. Hal ini dapat
diindikasikan bahwa wilayah yang berada dalam satu hampran memiliki potensi
yang sama dan cocok dikembangkan sebagai satu kawasan sentra produksi
peternakan tanpa batasan wilayah administratif.
53

Gambar 26 Peta potensi pakan hijauan


54

Gambar 27 menunjukan sebaran produksi pakan rumput di setiap kecamatan.


Produksi tertinggi berada di Kecamatan Cipatujah di wilayah selatan sebanyak
26.822,09 ton BK/tahun dan Bojonggambir di wilayah tengah sebanyak 26.661,99
ton BK/tahun. Kedua kecamatan tersebut berada dalam satu hamparan sehingga
memiliki karakteristik ekologi yang sama. Di wilayah pembangunan tengah
produksi rumput yang cukup tinggi juga terdapat di Kecamatan Salopa (12.131,69
ton BK/tahun) dan Kecamatan Leuwisari (10.300,50 ton BK/tahun). sedangkan di
wilayah utara produksi rumput tertinggi berada di Kecamatan Ciawi (12.100,78
ton BK/tahun) dan Pagerageung sebanyak 14.228,63 ton BK/tahun.

Gambar 27 Potensi pakan rumput (ton BK/tahun)


Wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya merupakan wilayah dengan
produksi pakan hijauan yang berasal dari rumput cukup tinggi dibandingkan
dengan wilayah tengah dan utara (Gambar 28). Potensi produksi rumput di
wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya terutama sekali didukung oleh
ketersediaan lahan. Wilayah-wilayah kecamatan di bagian selatan Tasikmalaya
juga memiliki luas wilayah yang relatif lebih luas dibandingkan dengan luas
wilayah kecamatan-kecamatan di bagian tengah dan utara. Lahan kering, padang
gembalaan dan perkebunan (khususnya perkebunan kelapa) serta lahan hutan
rakyat adalah penghasil rumput yang potensial bagi pemenuhan kebutuhan usaha
ternak. Sementara di wilayah utara, potensi rumput banyak terdapat di kecamatan-
kecamatan dengan ketersediaan lahan perkebunan dan kehutanan yang cukup luas,
yaitu Kecamatan Pagerageung, Kadipaten, Sukaratu, dan Cisayong. Demikian
juga di wilayah tengah, Kecamatan Cigalontang, Leuwisari, Sariwangi dan
Sodonghilir, merupakan wilayah kecamatan yang berada pada kondisi ekologis
pegunungan yang memiliki lahan hutan rakyat dan perkebunan. Potensi produksi
rumput sangat rendah diwilayah kecamatan yang dekat dengan Kota Tasikmalaya,
karena penggunaan lahan sudah di dominasi oleh pemukiman. Produksi rumput
juga sangat dipengaruhi oleh konversi lahan dan kepadatan penduduk. Hal ini
terjadi diwilayah kecamatan yang dekat dengan Kecamatan Singaparna yang
merupakan ibu kota Kabupaten Tasikmalaya.
55

Gambar 28 Peta potensi pakan rumput di Kabupaten Tasikmalaya


56

Gambar 29 menunjukan hasil penghitungan potensi pakan jerami di setiap


kecamatan. Lokasi produksi pakan jerami tertinggi berada di Kecamatan
Cipatujah yang berada di bagian selatan Kabupaten Tasikmalaya sebanyak
31.033,67 ton BK/tahun. Wilayah-wilayah kecamatan lainnya yang juga memiliki
produksi jerami cukup tinggi adalah Kecamatan Sodonghilir di bagian tengah
20.739,02 ton BK/tahun, Cigalontang di bagian tengah sebanyak 20.321,08 ton
BK/tahun, Culamega di bagian selatan sebanyak 18.379,40 ton BK/tahun dan
Cisayong dibagian utara sebanyak 18.186,19 ton BK/tahun. Potensi produksi
jerami sebagai pakan untuk ternak ruminansia secara umum berada di wilayah-
wilayah yang merupakan wilayah pertanian tanaman pangan dan hortikultura.
Sebaran wilayahnya hampir merata di wilayah pembangunan utama selatan,
tengah dan utara. Lokasi-lokasi kecamatan dengan produksi jerami yang cukup
tinggi tersebut juga sebagian besar merupakan lokasi-lokasi basis untuk beberapa
komoditas ternak ruminansia. Tingginya produksi jerami tidak terkait langsung
dengan luas wilayah kecamatan. Hal ini terbukti pada beberapa wilayah
kecamatan di bagian utara Tasikmalaya dengan luas wilayah yang relatif lebih
kecil dibandingkan kecamatan-kecamatan di wilayah selatan, namun memiliki
produksi jerami yang cukup tinggi.

Gambar 29 Potensi pakan jerami (ton BK/tahun)


Potensi jerami sebagai pakan yang dihitung berdasarkan produksi luas panen
bersumber dari produksi padi, jagung, kacang kedele, kacang tanah, kacang hijau,
daun ubi jalar dan daun ubi kayu. Sebaran potensi produksi jerami sebagai pakan
mayoritas wilayah dengan produksi jerami tinggi terdapat diwilayah selatan
terutama di Kecamatan Cipatujah, Karangnunggal, Cikalong dan Pancatengah
(Gambar 30). Beberapa kecamatan di wilayah tengah yang memiliki produksi
jerami cukup tinggi adalah Kecamatan Sodonghilir dan Cigalontang. Di wilayah
utara Kecamatan Cisayong merupakan kecamatan dengan potensi produksi jerami
cukup tinggi. Potensi jerami di wilayah utara terutama sekali bersumber dari
jerami padi, karena di wilayah ini terdapat areal sawah yang cukup luas.
Pemanfaatan jerami padi sebagai sumber pakan harus mempertimbangkan faktor
pembatasnya, yaitu maksimal 30%.
57

Gambar 30 Peta potensi produksi pakan jerami di Kabupaten Tasikmalaya


58

Berdasarkan perhitungan potensi produksi rumput dan jerami sebagai


pakan hijauan serta sebaran wilayah produksinya, maka dapat disimpulkan bahwa
wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya merupakan wilayah yang potensial untuk
pengembangan ternak ruminansia. Potensi produksi pakan hijauan yang cukup
tinggi juga terdapat di wilayah non basis yaitu di wilayah tengah (Kecamatan
Bojonggambir) dan wilayah utara (Kecamatan Cisayong). Jika dikaitkan dengan
potensi populasi dan lokasi konsentrasi ternak (wilayah basis), maka wilayah
selatan harus tetap di arahkan sebagai wilayah utama pengembangan ternak sapi
potong dan kerbau. Wilayah tengah sebagai lokasi pengembangan ternak kambing,
sedangkan wilayah utara harus diarahkan untuk pengembangan ternak sapi perah.

Kapasitas Tampung Wilayah

Kapasitas tamppung wilayah diperhitungkan berdasarkan potensi pakan


hijauan dan potensi rumah tangga petani. Nilai perbandingan terkecil dari
kapasitas tampung wilayah berdasarkan kedua potensi tersebut merupakan dasar
untuk penghitungan penambahan populasi ternak ruminansia yang efektif. Hasil
penghitungan kapasitas tampung wilayah berdasarkan potensi pakan (Lampiran 9),
sebagaimana disajikan pada Gambar 31, Wilayah-wilayah basis ternak ruminansia
masih merupakan wilayah yang memiliki kapasitas tampung cukup tinggi.
Wilayah-wilayah tersebut antara lain Kecamatan Cipatujah dengan kapasitas
tampung sebanyak 25.493,86 ST, Pancatengah sebanyak 15.571,57 ST, Cikalong
sebanyak 14.292,16 ST, Karangnunggal sebanyak 12.876,80 ST, Pagerageung
sebanyak 12.823,51 ST, Culamega sebanyak 10.870,45 ST, Cigalontang sebanyak
10.687,95 ST, Leuwisari sebanyak 9.832,12 ST, Sariwangi sebanyak 8.393,94 ST.
Namun demikian, beberapa kecamatan non basis juga memiliki kapasitas tampung
wilayah yang cukup tinggi, antara lain Kecamatan Bojonggambir sebanyak
19.604,85 ST, Cisayong sebanyak 14.685,76 ST, Sukaratu sebanyak 12.959,42 ST,
Sodonghilir sebanyak 12.082,61 ST, Ciawi sebanyak 11.610,58 ST dan
Kecamatan Salopa 10.173,71 ST.

Gambar 31 Kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi pakan (ST)


59

Gambar 32 Peta kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi pakan


(ST)
60

Gambar 33 menunjukan kapasitas tampung wilayah berdasarkan potensi


rumah tangga petani (KWT-KK). Wilayah-wilayah basis ternak ruminansia masih
merupakan wilayah yang memiliki kapasitas tampung cukup tinggi. Wilayah-
wilayah tersebut antara lain Kecamatan Cipatujah dengan kapasitas tampung
sebanyak 36.484,72 ST, Cikalong sebanyak 39.420,40 ST, Karangnunggal
sebanyak 37.596,72 ST, di wilayah selatan dan Cigalontang sebanyak 33.949,36
ST di wilayah tengah. Wilayah-wilayah non basis juga memiliki potensi rumah
tangga petani yang cukup tinggi, antara lain adalah Kecamatan Sodonghilir
sebanyak 39.020,08 ST dan Salawu sebanyak 30.838,54 ST. Kedua kecamatan
tersebut berada diwilayah tengah. di wilayah tengah. Sementara itu di wilayah
utara, Kecamatan Pagerageung yang merupakan wilayah basis memiliki kapasitas
tampung wilayah berdasarkan rumah tangga petani sebanyak 25.539,86 ST.
Wilayah non basis di utara yang juga potensial adalah Kecamatan Cisayong
sebanyak 19.786,58 ST dan Ciawi sebanyak 10.067,22 ST. Kapasitas tampung
wilayah berdasarkan rumah tangga petani di wilayah utara realtif lebih kecil
dibandingkan dengan kapasitas tampung di wilayah selatan dan tengah. Hal ini
dapat diartikan bahwa konsentrasi rumah tangga petani juga berada di wilayah
selatan. Rumah tangga petani merupakan faktor penting dalam pengembangan
peternakan, terutama pengembangan peternakan yang berbasis pada kawasan.
Pelibatan rumah tangga petani selain bertujuan meningkatkan kesejahteraan
mereka, juga bertujuan untuk meningkatkan produktivitas peternakan pada skala
wilayah. Melalui pemberdayaan para petani akan memiliki keyakinan yang lebih
besar akan kemampuan dirinya. Para petani akan meninggalkan kebiasaan lama
yang tidak relevan dan menghambat kemajuan kehidupannya, menanamkan nilai
pertanian modern seperti kerja keras, hemat, disiplin, keterbukaan,
kebertanggungjawaban dan kemampuan menghadapi persaingan global.

Gambar 33 Kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi rumah tangga


petani (ST)
61

Gambar 34 Peta kapasitas tampung wilayah (KWT) berdasarkan potensi rumah


tangga petani
62

Kapasitas wilayah dalam menampung ternak menunjukan kemampuan


wilayah jika akan dilakukan penambahan populasi ternak ruminansia. Namun
demikian, perlu juga dipertimbangkan berbagai faktor pendukung lainnya antara
lain, faktor fisik, biologi, teknis dan sosial budaya serta keterampilan peternak.
Pada penelitian ini, kapasitas tampung wilayah dilakukan dengan
memperhitungkan populasi ternak dengan potensi produksi pakan hijauan. Untuk
selanjutnya dibandingkan dengan kapasitas tampung berdasarkan rumah tangga
petani. Hasil perbandingan tersebut dapat dijadikan dasar untuk memperoleh
kapasitas penambahan ternak ruminansia (PPTR) yang efektif. Penambahan
populasi ternak ruminansia yang efektif adalah nilai terkecil dari perbandingan
antara PPTR berdasarkan potensi pakan dengan PPTR berdasarkan rumah tangga
petani (PPTR-pakan<PPTR-KK).
PPTR efektif di Kabupaten Tasikmalaya adalah PPTR berdasarkan potensi
sumberdaya pakan yang berkaitan langsung dengan sumberdaya lahan, sehingga
nilai PPTR di setiap kecamatan sangat bervariasi (Gambar 35). Hal ini ditetapkan
karena nilai PPTR berbasis potensi pakan lebih kecil dibandingkan dengan nilai
PPTR berbasis rumah tangga petani. Nilai PPTR efektif dipengaruhi oleh luas
lahan pertanian, luas panen dan proporsi riil populasi ternak dan jumlah rumah
tangga petani. Hasil penghitungan penambahan populasi ternak ruminansia
(PPTR) berdasarkan potensi produksi pakan hijauan diperoleh wilayah-wilayah
potensial untuk pengembangan populasi ternak ruminansia di wilayah basis
maupun non basis. Terdapat satu wilayah basis yang bernilai PPTR negatif
(-72,89) yaitu Kecamatan Parungponteng. Nilai PPTR pada wilayah basis secara
berurutan adalah Kecamatan Cipatujah 16.673,19 ST; Culamega 8.951,71 ST;
Pancatengah 8.948,20 ST; Pagerageung 8.374,84 ST; Cikalong 8.192,42 ST;
Leuwisari 6.631,77 ST; Cigalontang 5.355,11; Karangnunggal 4.884,81 ST; dan
Sariwangi 4.586,10 ST. Sementara itu, wilayah-wilayah non basis yang potensial
untuk penambahan populasi ternak ruminansia dengan nilai di atas 10.000 ST
adalah Kecamatan Bojonggambir 17.169,45 ST; Cisayong 11.660,18 ST; Sukaratu
11.396,64 ST; dan Ciawi 10.349,18 ST.

Gambar 35 Peningkatan populasi ternak ruminansia (PPTR) berdasarkan potensi


pakan (ST)
63

Wilayah-wilayah kecamatan dengan nilai PPTR-efektif positif


sebagaimana disajikan pada Gambar 36 yang menunjukan sebaran wilayah-
wilayah yang masih mampu menampung penambahan populasi ternak sebesar
nilai efektifnya berdasarkan ketersediaan pakan hijauan. Di wilayah selatan lokasi
potensial untuk penambahan ternak ruminansia adalah Kecamatan Cipatujah dan
Culamega yang merupakan lokasi basis ternak sapi potong dan kerbau. Di wilayah
tengah wilayah yang potensial adalah Kecamatan Bojonggambir dan di wilayah
utara adalah Kecamatan Ciawi, Cisayong dan Sukaratu. Lokasi-lokasi diwilayah
tengah dan utara merupakan wilayah non basis. Ketersediaa pakan hijauan yang
menyebar di setiap kecamatan sudah seharusnya dapat dioptimalkan
pemanfaatannya melalui pengolahan dan distribusinya. Tidak menutup
kemungkinan bahwa wilayah-wilayah basis mendapatkan pasokan pakan dari
wilayah non basis.
Pakan ternak ruminansia terdiri dari pakan hijauan (rumput dan jerami
limbah pertanian), konsentrat, vitamin dan mineral sebagai suplemen. Rumput
merupakan komponen terbesar yang digunakan sebagai sumber pakan ternak
ruminansia. Rumput dan jerami yang biasa digunakan sebagai pakan pada usaha
peternakan rakyat di pedesaan adalah rumput lapangan dan hasil samping
pertanian, serta beberapa rumput introduksi sebagai rumput unggulan. Hasil
sampingan pertanian yang sering digunakan adalah jerami padi, jerami jagung,
jerami kedelai, jerami sorgum, daun ubi jalar, daun ubi kayu dan pucuk tebu,
sedangkan bahan baku konsentrat yang sering digunakan adalah dedak padi,
gaplek, bungkil kelapa, bungkil kelapa dan lain-lain. Kabupaten Tasikmalaya
dengan karakteristik wilayah dan potensi pertanian tanaman pangan yang cukup
tinggi, sangat memiliki kesesuaian untuk pengembangan wilayah-wilayah
produksi peternakan. Melihat potensi dan daya dukung yang ada Kabupaten
Tasikmalaya dapat memenuhi kebutuhan pakan hijauan untuk ternak secara
mandiri, dengan mengoptimalkan ketersediaan pakan yang ada. Disisi lain,
penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan memiliki kendala yaitu nilai
nutrisi yang tergolong rendah, waktu panen serta adanya perlakuan pasca panen.
Kandungan nutrisi yang rendah seperti protein dan serat kasar yang tinggi
menyebabkan limbah pertanian terbatas penggunaannya sebagai pakan ternak.
Salah satu strategi optimalisasi pemanfaatan potensi pakan untuk
pengembangan ternak ruminansia adalah dengan menerapkan pola integrasi ternak
dengan tanaman. Integrasi tanaman dan ternak merupakan bagian dari ssstem
usahatani yang terdiri atas beberapa subsistem seperti subsistem rumah-tangga
petani, lahan, tanaman, ternak dan lain-lain yang terintegrasi dan saling tergantung
satu sama lain. Sistem usahatani tanaman ternak pada dasarnya merupakan respon
petani terhadap faktor risiko yang harus dihadapi, mengingat berbagai
ketidakpastian dalam berusahatani. Pola integrasi tanaman ternak pada umumnya
sangat membantu terutama untuk golongan petani berlahan sempit, sebab
pemeliharaan ternak sapi bersifat diversifikasi komplementer (saling menunjang)
dengan tanaman pangan. Ternak sapi mampu memberikan sumbangan nyata
khususnya terhadap pendapatan petani utamanya pada wilayah topografi berbukit.
Ternak ruminansia merupakan ternak yang paling efisien dalam memanfaatkan
limbah pertanian yang rendah kandungan gizinya. Jerami padi dapat dioptimalkan
dengan teknologi biofermentasi dengan probiotik akan meningkatkan kualitas
nutrisinya sehingga mampu meningkatkan produksi pada ternak.
64

Gambar 36 Peta penambahan populasi ternak ruminansia (PPTR-efektif)


berdasarkan potensi pakan (ST)
65

Prioritas Wilayah Pengembangan

Wilayah pengembangan ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya


berdasarkan ekologi dan potensi peternakan, hasil perhitungan LQ dan
perhitungan kapasitas tampung wilayah (KWT) dapat diketahui bahwa Kabupaten
Tasikmalaya masih sangat potensial untuk pengembangan populasi ternak
ruminansia. Variasi kondisi dan daya dukung yang beragam pada setiap
kecamatan merupakan potensi yang spesifik untuk pengembangan wilayah
kecamatannya secara mandiri. Kelompok I dengan nilai PPTR Efektif positif dan
LQ>1 merupakan wilayah prioritas yang potensial untuk pengembangan ternak
ruminansia. Kelompok II dengan nilai PPTR Efektif positif dan LQ<1 merupakan
wilayah prioitas kedua untuk pengembangan ternak ruminansia. Kelompok III dan
IV diarahkan untuk pengembangan ternak non ruminansia (unggas), karena
kondisi ekologi dan potensi peternakan tidak mendukung pengembangan ternak
ruminansia. Kelompok III dan IV juga besar kemungkinan merupakan wilayah
pusat administrasi yang cenderung potensial untuk pengembangan non peternakan.

Tabel 15 Pengelompokan wilayah prioritas pengembangan berdasarkan nilai LQ


dan PPTR-Efektif
Kelompok Kriteria Kecamatan
I PPTR-Efektif (Positif) Wilayah Utara Wilayah Selatan
LQ>1 1. Pagerageung* 1. Cipatujah*
2. Karangnunggal*
Wilayah Tengah 3. Cikalong*
1. Cigalontang* 4. Pancatengah*
2. Leuwisari* 5. Culamega*
3. Sariwangi* 6. Cikatomas*

II PPTR-Efektif (Positif) Wilayah Utara Wilayah Tengah


LQ<1 1. Cisayong 1. Bojonggambir
2. Sukaratu 2. Sodonghilir
3. Ciawi 3. Taraju
4. Kadipaten 4. Salawu
6. Sukaresik 5. Puspahiang
7. Sukahening 6. Tanjungjaya
8. Rajapolah 7. Sukaraja
9. Jamanis 8. Salopa
9. Jatiwaras
Wilayah Selatan 10. Cineam
1. Cibalong 11. Karangjaya
2. Bantarkalong 12. Manonjaya
3. Bojongasih 13. Gunungtanjung
14. Singaparna
15. Mangunreha
16. Padakembang

III PPTR-Efektif (Negatif) 1. Parungponteng*


LQ>1

IV PPTR-Efektif (Negatif)
LQ<1

Ket : * Wilayah Basis


66

Wilayah-wilayah basis masih merupakan lokasi potensial untuk dijadikan


prioritas pengembangan ternak ruminansia. Terutama kecamatan-kecamatan yang
berada di wilayah selatan. Namun demikian, jika diurutkan berdasarkan nilai
PPTR-Efektif tertinggi sampai yang terendah (Gambar 37), maka mayoritas
wilayah yang potensial sebagai prioritas pengembangan adalah Kecamatan
Bojonggambir diwilayah tengah, Kecamatan Cipatujah di wilayah selatan, dan
Kecamatan Cisayong di wilayah utara.

Gambar 37 Urutan prioritas wilayah pengembangan berdasarkan potensi


penambahan populasi ternak ruminansia (PPTR-Efektif)
Berdasarkan pengelompokan wilayah prioritas pengembangan peternakan
ruminansia sebagaimana disajikan pada Tabel 15, maka dalam perencanaan
pembangunan wilayah Kabupaten Tasikmalaya dapat secara komprehensif
mempertimbangan wilayah-wilayah prioritas tersebut sebagai sentra
pengembangan peternakan berbasis komoditas dan potensi wilayah (Gambar 37).
Prioritas utama pengembangan wilayah peternakan ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya adalah sebagai berikutt : (a) wilayah pembangunan utama selatan
untuk ternak sapi potong dan kerbau; (b) wilayah pembangunan utama tengah
untuk ternak kambing dan domba; dan (c) wilayah pembangunan utama utara
untuk ternak sapi perah. Populasi ternak ruminansia besar di Kabupaten
Tasikmalaya didominasi oleh ternak sapi potong sebanyak 50.137 ST yang
merupakan basis komoditas di kecamatan-kecamatan yang berada wilayah selatan.
Wilayah selatan merupakan wilayah dataran rendah dengan ekologi dan
ketersediaan lahan kering yang sesuai dengan karakteristik ternak sapi potong dan
kerbau. Sapi potong dapat dijadikan prioritas pengembangan sekaligus komoditas
unggulan. Populasi ternak ruminansia kecil di dominasi oleh ternak domba
sebanyak 47.553,80 ST dengan penyebaran yang merata di seluruh wilayah
kecamatan, tidak ada wilayah basis ternak domba. Berdasarkan lokasi-lokasi
wilayah basis tersebut, maka wilayah pembangunan utama selatan masih
merupakan wilayah yang potensial dan dapat dijadikan prioritas untuk
67

pengembangan ternak ruminansia. Khusus untuk ternak sapi perah, wilayah


prioritas pengembangannya adalah wilayah pembangunan utama utara, sedangkan
untuk ternak ruminansia kecil (kambing dan domba) prioritasnya adalah wilayah
pembangunan utama tengah.
Ketersediaan pakan hijauan yang bersumber dari rumput dan jerami
terutama berada di wilayah-wilayah basis ternak ruminansia. Potensi produksi
pakan hijauan sebesar 801.202,62 BK ton/tahun dapat menampung ternak
ruminansia sebanyak 341.174,08 ST. Potensi produksi pakan dan kapasitas
tampung tersebut jika dibandingkan dengan populasi riil saat ini maka Kabupaten
Tasikmalaya masih dapat meningkatkan populasi ternak ruminansia sebanyak
213.326,19 ST atau sekitar 160%. Kapasitas tampung wilayah dan peningkatan
populasi sangat tergantung pada produksi pakan yang harus didukung dengan
ketersediaan lahan. Oleh karena itu, optimalisasi lahan sebagai basis ekologis
ternak serta pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan dapat menjadi pilihan
yang diimplementasikan melalui sistem produksi terpadu. Sumberdaya lahan yang
dapat dioptimalkan antara lain adalah lahan sawah, padang penggembalaan, lahan
perkebunan, dan hutan rakyat.
Ketersediaan dan kesesuaian lahan bagi ternak, khususnya ternak
ruminansia merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan
meningkatkan produktifitas. Hal ini menjunkan bahwa tidak semua kondisi lahan
dipermukaan bumi ini akan sesuai bagi kehidupan ternak ruminansia, termasuk di
wilayah Kabupaten Tasikmlaya yang memiliki tiga karakteristik geografi yang
berbdea di wilayah selatan, tengah dan utara. Melalui pendekatan perpaduan
kondisi agroklimat dan penggunaan lahannya serta produktivitas tanaman pangan
dan hijauan yang ada, maka kesesuaian lahan dan arah pengembangan wilayah
untuk pengembangan usaha ternak ruminansia dapat ditentukan. Potensi produksi
pakan hijauan memperlihatkan status masing-masing wilayah kecamatan terhadap
kemampuan penambahan populasi ternak ruminansia saat ini. Luas tanah di
Kabupaten Tasikmalaya adalah 270.882 hektar yang terdiri dari ahan pertanian
seluas 242.416 hektar, dengan kondisi fisik lahan berupa dataran rendah,
menengah dan tinggi. Berdasarkan kondisi tersebut maka arah pengembangan
wilayah berdasarkan kesesuaian ekologis lahan dapat dilakukan meliputi dua pola.
Pertama, pola diversifikasi spasial, yaitu pengembangan pada lahan-lahan yang
telah mempunyai peruntukan, antara lain untuk tanaman pangan dan perkebunan
dalam bentuk pola keterpaduan. Kedua, pola ekstensifikasi spasial, yaitu
pengembangan pada lahan kehutanan dan lahan kering. Berdasarkan komoditas,
maka arah pengembangan wilayah denga mengutamakan pemanfaatan lahan dapat
dilakkan melalui pola diversifikasi untuk kelompok ternak sapi potong, kerbau,
kambing dan domba sebaiknya mengoptimalkan di lahan tegalan, sawah dan
perkebunan. Arah pengembangan ternak sapi perah dapat dilakukan dengan pola
intensifikasi didataran tinggi dengan dukungan lahan kehutanan sebagai sumber
pakan hijauan.
Wilayah-wilayah non basis ternak ruminansia memiliki potensi sumber
daya pakan yang cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah non basis.
Kondisi ini memberikan kemungkinan penambahan kapasitas tampung untuk
peningkatan populasi ternak ruminansia. Rendahnya populasi ternak di wilayah
non basis disebabkan beberapa faktor bonomika yang kurang mendukung, seperti
kondisi ekologi (temperature, iklim dan suhu) dan letak geogrfis (jauh dari pusat
68

pertumbuhan) yang kurang sesuai dengan karakteristik ternak, rendahnya jumlah


rumah tangga petani, serta ketersediaan infrastruktur yang belum memadai. Di
lokasi wilayah-wilayah non basis jumlah ternak ruminansia kecil (kambing dan
domba) cenderung lebih banyak dibandingkan ternak ruminansia besar. Hal ini
bahwa ternak ruminansia kecil lebih mudah diusahakan dan memiliki daya
adaptasi yang tinggi terhadap ketidaksesuaian bionomikanya. Pemerintah
Kabupaten Tasikmalaya harus tetap mempertimbangkan wilayah-wilayah non
basis sebagai prioritas wilayah pengembangan. Faktor ketersediaan potensi pakan
yang cukup tinggi dapat dijadikan dasar untuk pengembangan ternak ruminansia
di wilayah non basis. Strategi pengembangannya dapat dilakukan dengan
membangun kawasan sentra produksi peternakan dalam satu hamparan yang
terdiri dari beberapa kecamatan dengan menetapkan wilayah basis sebagai pusat
pengembangannya.Wilayah non basis yang memiliki potensi produksi pakan yang
tinggi dapat memasok ketersediaan pakannya ke wilayah-wilayah basis dalam satu
hamparan kawasan pengembangan tersebut.
Tingkat populasi dan kapasitas tampung wilayah serta kesesuaian ekologis
yang didukung potensi pakan hijauan pada wilayah-wilayah basis dapat dijadikan
dasar dalam implementasi kebijakan pembangunan wilayah berbasis peternakan di
Kabupaten Tasikmalaya. Kebijakan tersebut antara lain mencakup penetapan
komoditas unggulan, pengembangan kelembagaan peternak, peningkatan usaha
dan industri peternakan, serta optimalisasi pemanfaatan dan perlindungan
sumberdaya alam lokal. Wilayah-wilayah basis dengan segala potensi dan daya
dukungnya sebagai wilayah prioritas pengembangan dapat diarahkan menjadi
kawasan sentra produksi peternakan yang terintegrasi dengan komponen usaha
tani lainya (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan kehutanan).
Implementasi kawasan sentra produksi peternakan dapat berperan dalam efisiensi
dan efektivitas pelayanan teknis (inseminasi buatan, kesehatan hewan, pakan,
bibit) dan pelayanan ekonomi (pasar hewan, rumah potong hewan, perkreditan
dan permodalan).
Jika dikaitkan dengan kajian bionomika ternak sebagai fokus dalam
penelitian ini, yang membahas interaksi manusia dengan hewan dalam suatu
ekosistem untuk menciptakan kondisi adaptif tekno-sosio-ekonomi yang
mendukung pemanfaatan ternak dan pengembangan potensinya untuk
kesejahteraan manusia. Maka lokasi geografis Kabupaten Tasikmalaya merupakan
salah satu faktor yang menentukan berkembangnya ternak ruminansia sesuai
dengan kondisi ekologi wilayahnya. Wilayah-wilayah kecamatan di Kabupaten
Tasikmalaya memenuhi dan memiliki kesesuaian dengan empat karakteristik
utama ekosistem yang digunakan dalam penyusunan kriteria lingkungan ekologis
dalam pengembangan ternak ruminansia, yaitu: (a) temperatur (suhu rata-rata dan
kelembaban); (b) ketersediaan air (curah hujan, bulan kering, dan sumber air); (c)
terrain (elevasi dan lereng); dan (d) potensi daya dukung wilayah (ketersediaan
sumberdaya pakan). Sebagaimana dijelaskan Suratman et al, 1998, pemanfaatan
lahan sebagai ekosistem peternakan didasarkan pada posisi bahwa; (a) lahan
adalah sumber pakan untuk ternak; (b) semua jenis lahan cocok sebagai sumber
pakan; (c) pemanfaatan lahan untuk peternakan diartikan sebagai usaha
penyerasian antara peruntukan lahan dengan sistem pertanian; dan (d) hubungan
antara lahan dan ternak bersifat dinamis. Berdasarkan teori tersebut maka
wilayah-wilayah prioritas pengembangan harus diarahkan secara optimal untuk
69

dapat mengintegrasikan potensi dan kondisi sosio ekologis yang ada dengan
dinamika perkembangan ternak ruminansia. Dinamika tersebut juga tidak terlepas
dengan karakteristik usaha dan tingkat pendapatan peternak. Pada skala usaha
peternakan rakyat, tingkat pendapatan rata-rata yang ada saat ini sudah cukup
memberikan kesejahteraan bagi peternak. Namun akan berbeda jika skala
usahanya ditingkatkan. Oleh karena itu perlu juga diperhatikan peningkatan
infrastruktur dasar berupa lahan sebagai basis ekologi ternak, sumberdaya
manusia, kelembagaan dan sarana penunjang lainnya.
Arah pembangunan peternakan ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya dapat
diarahkan sebagai kegiatan pembangunan yang berbasis pada karakter
sumberdaya melalui penekanana pada komoditas unggulan. Pengembangan
wilayah berbasis komoditas unggulan menekankan pada pilihan komoditas
unggulan suatu wilayah sebagai motor penggerak pembangunan wilayah.
Pengembangan wilayah merupakan kebijakan yang menyeluruh dan terpadu dari
semua kegiatan pembangunan, yang didasarkan atas sumber daya yang ada dan
kontribusi pada pembangunan suatu wilayah tertentu. Dengan demikian dalam
mengembangkan wilayah peternakan ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya
diperlukan pendekatan-pendekatan tertentu yang disesuaikan dengan karakteristik
wilayah kecamatan yang bersangkutan. Konsep pengembangan wilayah berbasis
karakter sumber daya harus dilakukan melalui pendekatan kebijakan yang
berorientasi pada (a) pengembangan wilayah berbasis sumber daya; (b)
pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan; (c) pengembangan wilayah
berbasis efisiensi; (d) pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan.
Orientasi kebijakan tersebut dapat berdampak terhadap peningkatan daya saing
wilayah. Pengembangan wiayah peternakan ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya melalui penetapan wilayah-wilayah prioritas tidak berarti membatasi
suatu wilayah, namun diarahkan untuk dapat mengoptimalkan berbagai sumber
daya alam, manusia, sosial, fisik, teknologi, dan kelembagaan dapat ditingkatkan
lebih intensif dan interaktif untuk meningkatkan kegiatan perekonomian lokal dan
tingkat kehidupan masyarakat lokal yang lebih sejahtera. Konsep pembangunan
ekonomi berbasis kewilayahan ini diharapkan mampu menangani perubahan-
perubahan fundamental yang lebih bersifat transformatif, memberdayakan sumber
daya lokal untuk mengurangi ketergantungan, dan meningkatkan kegiatan
perekonomian lokal serta mengurangi terjadinya kebocoran ekonomi wilayah.

6 SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Simpulan

1. Sumberdaya peternakan di Kabupaten Tasikmalaya untuk komoditas ternak


ruminansia pada jenis ternak sapi potong dan kerbau populasinya menyebar di
wilayah selatan sebagai wilayah basis yang memiliki kesesuaian ekologi dan
daya dukung lahan yang didominasi oleh dataran rendah dan lahan kering.
Untuk ternak sapi perah, populasi terkonsentrasi di wilayah utara dengan
wilayah basis pengunungan dan daya dukung iklim serta potensi pakan.
Ternak kambing terdapat di wilayah tengah yang didukung oleh kawasan
pertanian tanaman pangan dan hortikutura.
70

2. Rata-rata pendapatan peternak dari usaha ternak ruminansia adalah sebesar


Rp. 2.678.619,-. Ternak kerbau dan kambing merupakan komoditas ternak
yang memberikan nilai efisiensi usaha paling baik berdasarkan kemampuan
pengembalian modal (Return on Investment) yang tinggi dibandingkan ternak
sapi potong, sapi perah dan domba.
3. Potensi daya dukung wilayah dalam penyediaan pakan hijauan memberikan
kemungkinan yang cukup besar untuk penambahan ternak ruminansia
sebanyak 213.326,19 ST atau sekitar 160% dari populasi riil yang ada saat ini.
4. Wilayah prioritas pengembangan ternak ruminansia tidak saja pada lokasi
wilayah basis, tetapi juga pada wilayah non basis. Wilayah non basis memiliki
keuggulan potensi pakan yang cukup tinggi. Pengembangan wilayah non basis
sebagai wilayah prioritas harus memperhatikan kondisi ekologi dan geografi,
jumlah rumah tangga petani serta ketersediaan sarana infrastruktur dasar
lainya.

Implikasi Kebijakan

1. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya harus mendorong pengembangan


peternakan ruminansia pada wilayah-wilayah prioritas pengembangan sesuai
dengan kapasitas tampung wilayahnya serta harus meningkatkan infrastruktur
dasar berupa lahan sebagai basis ekologi ternak, sumberdaya manusia,
kelembagaan dan sarana penunjang lainnya.
2. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk merumuskan langkah-langkah teknis
operasional pengembangan populasi ternak ruminansia di Kabupaten
Tasikmalaya berkaitan dengan skala usaha dan kelayakannya di wilayah-
wilayah prioritas pengembangan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah L. 2014. Mewujudkan Konsentrat (Green Concentrate) dalam Industri


Baru Pakan untuk Mendorong Kemandirian Pakan dan Daya Saing
Peternakan Nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. Bogor (ID): IPB Press.
Ahmad SN, DD Siswansyah, dan DKS Swastika. 2004. Kajian Sistem Usaha
Ternak Sapi Potong di Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. 7(2):155-170.
Arief H, Firman A, L Khaerani, dan RZ. Islami. 2012. Inventarisasi dan Pemetaan
Lokasi Budidaya dan Lumbung Pakan Ternak Sapi Potong di Jawa Barat.
Jurnal Ilmu Ternak. 12(2):26-34.
[Bappeda Kab. Tasikmalaya]. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Tasikmalaya. (ID). 2012. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
2011-2031.
[BPS Kab. Tasikmalaya]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya. (ID)
2015. Tasikmalaya dalam Angka Tahun 2015.
Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.
Jakarta (ID): PT. Pradnya Paramita.
71

Budiman S. 2001. Dukungan Pemerintah terhadap Keberadaan Bahan Baku Pakan


Lokal. Makalah Dies Natalis Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak (Himasiter). Bogor (ID):Fakultas Peternakan IPB.
[Disnak Provinsi Jabar]. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. (ID). 2015.
Laporan Tahunan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat.
[Disnakkanla Kab. Tasikmalaya]. Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Tasikmalaya. (ID). 2014. Laporan Tahunan Dinas Peternakan
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2014.
[DPKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. (ID). 2015.
Pedoman Umum Pengembangan Sentra Peternakan Rakyat Tahun 2015.
Fariani AR. Yulianti, dan A Imsya. 2004. Pengembangan Ternak Ruminansia
berdasarkan Ketersediaan Lahan Hijauan dan Tenaga Kerja di Kabupaten
Muara Enim Sumatera Selatan. Jurnal Peternakan Sriwijaya. 3(2):35-42.
Garrison RH dan EW Noreen. 2000. Akuntansi Manajerial. Jakarta (ID): Salemba
Empat
Herlinda S. 2007. Arahan Penataan Kawasan Penyebaran dan Pengembangan
Ternak Sapi Potong di Kabupaten Limapuluh Kota. [Tesis]. Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah. Sekolah Pascasarjana IPB.
Ilham N. 2007. Alternatif Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan PDB Subsektor
Peternakan di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 5(4):335-357.
Imam HM. 2003. Strategi Usaha Pengembangan Peternakan yang
Berkesinambungan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner 29 – 30 September. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Lole UR, S Hartoyo, Kuntjoro, dan IW Rusastra. 2013. Analysis of Regional
Distribution Capacity and Priorities for Improving Beef Cattle Population in
East Nusa Tenggara Province. Jurnal Media Peternakan. April: 70-78.
Mei Y, James EE, and Howard EE. 2004. Regional Analysis of Climate, Primary
Production, and Livestock Density in Inner Mongolia. Jurnal of
Environment Qual. 33:1675–1681.
Nahrowi. 2014. Merevolusi Revolusi Hijau. Kumpulan Pemikiran Guru Besar
Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID):IPB Press.
Nahrowi. 2015. Pakan Potensial Masa Depan untuk Mendukung Peternakan
Tropika Modern Berkelanjutan dan Berdaya Saing Tinggi. Orasi Ilmiah
Guru Besar Tetap Fakultas Peternakan IPB. 24 Oktober 2015. Bogor (ID):
IPB Press.
Pambudy R dan Sofyan S. 2004. Menjelang Dua Abad Sejarah Peternakan dan
Kesehatan Hewan Indonesia: Peduli Peternak Rakyat. Jakarta (ID):Yayasan
Agroindo Mandiri.
Panuju DR, E Rustiadi. 2012. Teknik Analisa Pengembangan Perencanaan
Wilayah. Bogor (ID): Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.
Preston TR and RA Leng. 1987. Matching Ruminant Production System with
Available Resources in the Tropics and Sub-tropics. Armidale New South
Wales (AU): Penambul Book.
Puntodewo A, Dewi S, dan Tarigan J. 2003. Sistem Informasi Geografis untuk
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta (ID): Center for International
Forestry Research.
72

Samadi, Usman Y, dan Delima D. 2010. Kajian Potensi Limbah Pertanian sebagai
Pakan Ternak Ruminansia di Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Agripet
10(2):45-53
Soetanto H. 2000. Masalah Gizi dan Produktivitas Ternak Ruminansia di
Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Peternakan.
Malang (ID): Universitas Brawijaya.
Soeharsono. 2008. Bionomika Ternak. Bandung (ID): Widya Padjadjaran.
Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press.
Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan. Jakarta (ID):Lembaga Penerbit FEUI.
Sunaryo dan L Joshi. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal Dalam Sistem
Agroforestry. Bogor (ID): World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast
Asia Regional Office.
Soemarwoto I. 1983. Pengelolaan Sumberdaya Alam Bogor. Bogor (ID): Jurusan
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program Pasca Sarjana IPB.
Suratman, Ritung S, Djaenudin. 1998. Potensi Lahan untuk Pengembangan
Ternak Ruminansia Besar di Beberapa Propinsi di Indonesia. Dalam:
Karama AS, editor. Bogor (ID): Prosiding Pertemuan Pembahasan dan
Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. 4-6 Maret 1998.
Cisarua (ID). Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Syamsu JA, Lily AS, Mudikdjo K, Sa’id EG. 2003. Daya Dukung Limbah
Pertanian sebagai Sumber Pakan Ternak Ruminansia di Indonesia. Jurnal
Wartazoa. 13(1): 30-36.
Tawaf R. dan Daud AR. 2010. Tantangan dalam Pengembangan Bisnis Pakan
Ruminansia di Indonesia. Jakarta (ID): Makalah Seminar Nasional
Swasembada Daging 2014. 30 September. Jakarta (ID):ASOHI
Wahyono DE, Hardianto R, Anam C, Wijono DB, Purwanto T, dan Malik M.
2003. Strategi Pemanfaatan Limbah Pertanian dan Agroindustri Untuk
Pembuatan Pakan Lengkap Ruminansia. Makalah Seminar Nasional
Pengembangan Sapi Potong. Bandung (ID):Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Wiyatna MF, Fuah AM, Mudikjo K. 2013. Potensi Pengembangan Usaha Sapi
Potong berbasis Sumberdaya Lokal di Kabupaten Sumedang. Jurnal Ilmu
Ternak . 12(2):16-21.
Yusdja Y dan N Ilham. 2003. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agribisnis Sapi
Potong. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 2(2):183-203.
Yusdja Y. 2004. Pemantapan Program dan Strategi Kebijakan Peningkatan
Produksi Daging Sapi. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian.
Zulbardi M, Karto AA, Kusnadi U, dan Thalib A. 2001. Pemanfaatan Jerami Padi
bagi Usaha Pemeliharaan Sapi Pernakan Ongole di Daerah Irigasi Tanaman
Padi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
73

Lampiran 1 Peta wilayah pengembangan utama (WPU) di Kabupaten


Tasikmalaya
74

Lampiran 2 Luas wilayah, jumlah penduduk, kepadatan penduduk dan jumlah


rumah tangga petani di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014
Luas Wilayah Penduduk Kepadatan Penduduk RT Petani
Kecamatan
(km2) (ha) (jiwa) (per km2) (per ha) (kk)
Cipatujah 246,67 24.667 68.872 279 2,79 13.124
Karangnunggal 136,33 13.633 83.493 612 6,12 13.524
Cikalong 139,66 13.966 63.115 452 4,52 14.180
Pancatengah 201,85 20.185 46.027 228 2,28 10.360
Cikatomas 132,68 13.268 49.235 371 3,71 10.058
Cibalong 58,58 5.858 31.445 537 5,37 6.285
Parungponteng 47,27 4.727 34.530 730 7,30 7.900
Bantarkalong 59,83 5.983 35.324 590 5,90 6.623
Bojongasih 38,58 3.858 19.785 513 5,13 4.505
Culamega 68,32 6.832 23.637 346 3,46 6.028
Bojonggambir 169,29 16.929 39.553 234 2,34 9.106
Sodonghilir 93,11 9.311 64.559 693 6,93 14.036
Taraju 55,85 5.585 38.539 690 6,90 7.272
Salawu 50,50 5.050 59.338 1.175 11,75 11.093
Puspahiang 34,90 3.490 33.707 966 9,66 7.327
Tanjungjaya 36,69 3.669 43.674 1.190 11,90 6.980
Sukaraja 43,08 4.308 50.330 1.168 11,68 6.756
Salopa 121,76 12.176 40.800 335 3,35 8.144
Jatiwaras 73,37 7.337 49.338 672 6,72 8.814
Cineam 78,79 7.879 34.342 436 4,36 7.928
Karangjaya 47,90 4.790 12.776 267 2,67 3.237
Manonjaya 39.,41 3.941 62.153 1.577 15,77 7.230
Gunungtanjung 36,41 3.641 28.437 781 7,81 6.076
Singaparna 24,81 2.481 67.652 2.727 27,27 3.887
Sukarame 19,92 1.992 40.187 2.017 20,17 3.522
Mangunreha 29,64 2.964 37.919 1.279 12,79 4.858
Cigalontang 19,75 1.975 69.802 3.534 35,34 12.212
Leuwisari 53,26 5.326 37.643 707 7,07 4.278
Sariwangi 49,66 4.966 31.269 630 6,30 4.335
Padakembang 37,71 3.771 36.707 973 9,73 3.841
Sukaratu 57,13 5.713 45.260 792 7,92 5.683
Cisayong 59,40 5.940 54.393 916 9,16 7.111
Sukahening 28,42 2.842 30.300 1.066 10,66 4.439
Rajapolah 21,45 2.145 45.882 2.139 21,39 3.592
Jamanis 21,28 2.128 33.269 1.563 15,63 4.328
Ciawi 45,32 4.532 59.412 1.311 13,11 6.499
Kadipaten 45,79 4.579 33.792 738 7,38 4.726
Pagerageung 66,74 6.674 52.839 792 7,92 9.187
Sukaresik 17,80 1.780 34.223 1.923 19,23 4.673
Jumlah 2.608,91 260.891 1.723.558 283.757
Sumber : BPS Kab. Tasikmalaya. 2015 (diolah)
75

Lampiran 3 Ketinggian, iklim/suhu dan curah hujan di Kabupaten Tasikmalaya


Uraian Wilayah Selatan Wilayah Tengah Wilayah Utara
1. Ketinggian (mdpl)
(a) 0-100 Cipatujah - -
Cikalong
Karangnunggal
(b) >100-1500 Pancatengah Bojonggambir Cisayong
Culamega Sodonghilir Rajapolah
Cikatomas Taraju Jamanis
Cibalong Salawu Sukaresik
Bantarkalong Puspahiang Ciawi
Bojongasih Sukaraja
Parungponteng Salopa
Jatiwaras
Cineam
Karangjaya
Manonjaya
Gunungtanjung
Singaparna
Sukarame
Mangunreha
Padakembang
(c) >1500 -2500 - Leuwisari Sukaratu
Sariwangi Kadipaten
Cigalontang Pagerageung
Taraju Sukahening
2. Iklim/suhu (o C)
(a) 18 – 22 - Leuwisari
Sariwangi
Cigalontang
Taraju
(b) 23 – 24 Cipatujah Bojonggambir
Cikalong Sodonghilir
Karangnunggal Taraju
Pancatengah Salawu
Culamega Puspahiang
Cikatomas Sukaraja
Cibalong Salopa
Bantarkalong Jatiwaras
Bojongasih Cineam
Parungponteng Karangjaya
Manonjaya
Gunungtanjung
Singaparna
Sukarame
Mangunreha
Padakembang
3. Curah Hujan
(mm/tahun)
(a) 2500-3000 Cibalong Sukaraja Pagerageung
Bantarkalong Salopa Kadipaten
Cikatomas Mangunreja Sukaresik
Bojongasih Puspahiang Ciawi
Culamega Tanjungjaya
76

Lampiran 3 Ketinggian, iklim/suhu dan curah hujan di Kabupaten Tasikmalaya


(Lanjutan)
(a) >3000-4000 Cipatujah Bojonggambir Cisayong
Karangnunggal Sodonghilir Rajapolah
Pancatengah Singaparna Sukaratu
Cikalong Jatiwaras
Parungponteng Cineam
Karangjaya
Manonjaya
Gunungtanjung
Sukarame
Padakembang
(b) >4000 - Leuwisari Jamanis
Cigalontang Sukahening
Sariwangi
Taraju
Salawu
Sumber : BPS Kab. Tasikmalaya, 2015 (diolah)
77

Lampiran 4 Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014


(Satuan Ternak/ST)
Sapi Sapi Jumlah
Kecamatan Kerbau Kambing Domba
Potong Perah Ruminansia
-------------------------------------------- (ST)---------------------------------------
Cipatujah 5.615,00 13,00 1.275,35 397,76 1.519,56 8.820,67
Karangnunggal 4.001,00 6,00 1.146,55 884,32 1.954,12 7.991,99
Cikalong 3.915,00 3,00 577,30 89,92 1.514,52 6.099,74
Pancatengah 4.782,00 5,00 601,45 279,84 955,08 6.623,37
Cikatomas 4.828,00 22,00 717,60 183,36 2.126,18 7.877,14
Cibalong 2.250,00 4,00 67,85 151,84 1.366,26 3.839,95
Parungponteng 4.069,00 3,00 73,60 261,12 1.539,30 5.946,02
Bantarkalong 1.590,00 13,00 561,20 310,72 1.515,78 3.990,70
Bojongasih 2.213,00 3,00 165,60 105,44 1.538,60 4.025,64
Culamega 173,00 13,00 986,70 307,84 438,20 1.918,74
Bojonggambir 218,00 6,00 924,60 148,32 1.138,48 2.435,40
Sodonghilir 2,531,00 17,00 733,70 731,20 1.878,52 5.891,42
Taraju 215,00 3,00 585,35 102,56 1.438,08 2.343,99
Salawu 221,00 80,00 532,45 227,52 1.708,84 2.769,81
Puspahiang 269,00 - 244,95 488,16 1.351,84 2.353,95
Tanjungjaya 704,00 5,00 197,80 220,64 582,54 1.709,98
Sukaraja 1,588,00 - 196,65 498,88 847,98 3.131,51
Salopa 2,169,00 9,00 460,00 379,04 1.055,32 4.072,36
Jatiwaras 2,750,00 13,00 262,20 124,64 333,62 3.483,46
Cineam 562,00 18,00 171,35 129,28 877,24 1.757,87
Karangjaya 69,00 3,00 75,90 14,56 96,04 258,50
Manonjaya 743,00 4,00 102,35 167,84 642,18 1.659,37
Gunungtanjung 490,00 1,00 210,45 94,24 699,58 1.495,27
Singaparna 322,00 1,00 120,75 171,36 1.282,40 1.897,51
Sukarame 231,00 20,00 125,35 148,64 2.099, 72 2.624,71
Mangunreha 183,00 1,00 55,20 570,72 1.064,56 1.874,48
Cigalontang 543,00 63,00 956,80 1.219,52 2.550,52 5.332,84
Leuwisari 385,00 11,00 208,15 1.203,20 1.393,00 3.200,35
Sariwangi 428,00 1,00 85,10 2.229,60 1.064,14 3.807,84
Padakembang 162,00 7,00 196,65 725,92 997,36 2.088,93
Sukaratu 320,00 63,00 200,10 190,08 789,60 1.562,78
Cisayong 125,00 129,00 439,30 441,44 1.890,84 3.025,58
Sukahening 138,00 18,00 27,60 56,96 2.016,00 2.256,56
Rajapolah 243,00 3,00 92,00 80,32 821,52 1.239,84
Jamanis 179,00 1,00 27,60 66,24 561,26 835,10
Ciawi 128,00 21,00 71,30 186,40 854,70 1.261,40
Kadipaten 319,00 37,00 5,75 190,56 979,02 1.531,33
Pagerageung 376,00 1.486,00 67,85 681,60 1.837,22 4.448,67
Sukaresik 90,00 - 18,40 20,64 234,08 363,12
Jumlah 50.137,00 2.106,00 13.568,85 14.482,24 47.553,80 127.847,89
78

Lampiran 5 Hasil penghitungan analisis pendapatan peternak sapi potong


79

Lampiran 6 Hasil penghitungan pendapatan peternak sapi perah


80

Lampiran 7 Hasil penghitungan pendapatan peternak kerbau


81

Lampiran 8 Hasil penghitungan pendapatan peternak kambing


82

Lampiran 9 Hasil penghitungan pendapatan peternak domba


83

Lampiran 10 Nilai Location Quotion ternak ruminansia di Kabupaten


Tasikmalaya tahun 2014
Kecamatan Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Kambing Domba
Cipatujah 1,62 0,09 1,36 0,40 0,46
Karangnunggal 1,16 0,04 1,22 0,89 0,60
Cikalong 1,13 0,02 0,62 0,09 0,46
Pancatengah 1,38 0,03 0,64 0,28 0,29
Cikatomas 1,40 0,15 0,77 0,18 0,65
Cibalong 0,65 0,03 0,07 0,15 0,42
Parungponteng 1,18 0,02 0,08 0,26 0,47
Bantarkalong 0,46 0,09 0,60 0,31 0,46
Bojongasih 0,64 0,02 0,18 0,11 0,47
Culamega 0,05 0,09 1,05 0,31 0,13
Bojonggambir 0,06 0,04 0,99 0,15 0,35
Sodonghilir 0,73 0,12 0,78 0,73 0,57
Taraju 0,06 0,02 0,63 0,10 0,44
Salawu 0,06 0,55 0,57 0,23 0,52
Puspahiang 0,08 - 0,26 0,49 0,41
Tanjungjaya 0,20 0,03 0,21 0,22 0,18
Sukaraja 0,46 - 0,21 0,50 0,26
Salopa 0,63 0,06 0,49 0,38 0,32
Jatiwaras 0,79 0,09 0,28 0,12 0,10
Cineam 0,16 0,12 0,18 0,13 0,27
Karangjaya 0,02 0,02 0,08 0,01 0,03
Manonjaya 0,21 0,03 0,11 0,17 0,20
Gunungtanjung 0,14 0,01 0,22 0,09 0,21
Singaparna 0,09 0,01 0,13 0,17 0,39
Sukarame 0,07 0,14 0,13 0,15 0,64
Mangunreja 0,05 0,01 0,06 0,57 0,32
Cigalontang 0,16 0,43 1,02 1,22 0,78
Leuwisari 0,11 0,08 0,22 1,20 0,42
Sariwangi 0,12 0,01 0,09 2,23 0,32
Padakembang 0,05 0,05 0,21 0,73 0,30
Sukaratu 0,09 0,43 0,21 0,19 0,24
Cisayong 0,04 0,89 0,47 0,44 0,58
Sukahening 0,04 0,12 0,03 0,06 0,61
Rajapolah 0,07 0,02 0,10 0,08 0,25
Jamanis 0,05 0,01 0,03 0,07 0,17
Ciawi 0,04 0,14 0,08 0,19 0,26
Kadipaten 0,09 0,25 0,01 0,19 0,30
Pagerageung 0,11 10,23 0,07 0,68 0,56
Sukaresik 0,03 - 0,02 0,02 0,07
84

Lampiran 11 Potensi pakan hijauan di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014


Jerami Rumput Pakan Hijauan
Kecamatan
(1) (2) (1+2)
----------------------------(ton BK/Tahun)-------------------------
Cipatujah 31.033,67 26.822,09 57.855,76
Karangnunggal 16.598,87 13.085,72 29.684,59
Cikalong 16.603,76 15.433,82 32.037,58
Pancatengah 15.941,43 17.889,77 33.831,20
Cikatomas 9.421,96 11.404,35 20.826,30
Cibalong 7.354,17 3.969,11 11.323,28
Parungponteng 13.513,39 2.997,10 16.510,49
Bantarkalong 11.346,06 5.173,79 16.519,84
Bojongasih 6.337,08 5.151,26 11.488,34
Culamega 18.379,40 8.863,40 27.242,81
Bojonggambir 11.793,55 26.661,99 38.455,53
Sodonghilir 20.739,02 9.696,69 30.435,71
Taraju 12.939,31 3.848,95 16.788,26
Salawu 15.126,37 4.596,53 19.722,91
Puspahiang 10.725,34 3.367,12 14.092,46
Tanjungjaya 8.048,43 3.350,17 11.398,60
Sukaraja 8.525,15 2.705,57 11.230,73
Salopa 9.528,61 12.131,69 21.660,30
Jatiwaras 12.480,90 7.351,63 19.832,53
Cineam 5.692,15 5.528,16 11.220,31
Karangjaya 3.985,35 4.177,45 8.162,80
Manonjaya 6.596,14 2.554,61 9.150,75
Gunungtanjung 5.536,30 3.338,88 8.875,17
Singaparna 10.150,04 705,99 10.856,03
Sukarame 10.571,38 713,37 11.284,75
Mangunreha 10.352,36 1.513,30 11.865,66
Cigalontang 20.321,08 7.589,48 27.910,56
Leuwisari 12.056,38 10.300,50 22.356,88
Sariwangi 9.269,51 9.305,48 18.574,99
Padakembang 11.351,29 9.257,35 20.608,64
Sukaratu 14.305,93 14.369,39 28.675,32
Cisayong 18.186,19 15.296,29 33.482,48
Sukahening 8.390,48 7.378,28 15.768,76
Rajapolah 9.032,42 6.915,66 15.948,08
Jamanis 9.587,72 7.523,05 17.110,77
Ciawi 14.362,98 12.100,78 26.463,76
Kadipaten 10.917,34 8.617,69 19.535,03
Pagerageung 14.136,05 14.228,63 28.364,68
Sukaresik 7.957,98 6.092,00 14.049,98
Jumlah 469.195,53 332,007,09 801.202,62
85

Lampiran 12 Kapasitas tampung wilayah (KWT-Pakan) dan potensi penambahan


ternak ruminansia berdasarkan potensi pakan (PPTR-Pakan)
Pakan Hijauan KWT-Pakan Populasi PPTR-Pakan
Kecamatan (ton BK/Tahun) (ST) (ST) (ST)
(1) (2) (3) (2-3)
Cipatujah 57.855,76 25.493,86 8.820,67 16.673,19
Karangnunggal 29.684,59 12.876,80 7.991,99 4.884,81
Cikalong 32.037,58 14.292,16 6.099,74 8.192,42
Pancatengah 33.831,20 15.571,57 6.623,37 8.948,20
Cikatomas 20.826,30 9.703,64 7.877,14 1.826,50
Cibalong 11.323,28 4.604,06 3.839,95 764,11
Parungponteng 16.510,49 5.873,13 5.946,02 (72,89)
Bantarkalong 16.519,84 6.531,27 3.990,70 2.540,57
Bojongasih 11.488,34 5.009,66 4.025,64 984,02
Culamega 27.242,81 10.870,45 1.918,74 8.951,71
Bojonggambir 38.455,53 19.604,85 2.43540 17.169,45
Sodonghilir 30.435,71 12.082,61 5.891,42 6.191,19
Taraju 16.788,26 6.213,22 2.343,99 3.869,23
Salawu 19.722,91 7.321,82 2.769,81 4.552,01
Puspahiang 14.092,46 5.256,54 2.353,95 2.902,59
Tanjungjaya 11.398,60 4.440,40 1.709,98 2.730,42
Sukaraja 11.230,73 4.195,79 3.131,51 1.064,28
Salopa 21.660,30 10.173,71 4.072,36 6.101,35
Jatiwaras 19.832,53 8.184,30 3.483,46 4.700,84
Cineam 11.220,31 5.042,44 1.757,87 3.284,57
Karangjaya 8.162,80 3.715,26 258,50 3.456,76
Manonjaya 9.150,75 3.524,12 1.659,37 1.864,75
Gunungtanjung 8.875,17 3.677,27 1.495,27 2.182,00
Singaparna 10.856,03 3.480,96 1.897,51 1.583,45
Sukarame 11.284,75 3.612,26 2.624,71 987,55
Mangunreha 11.865,66 4.027,99 1.874,48 2.153,51
Cigalontang 27.910,56 10.687,95 5.332,84 5.355,11
Leuwisari 22.356,88 9.832,12 3.200,35 6.631,77
Sariwangi 18.574,99 8.393,94 3.807,84 4.586,10
Padakembang 20.608,64 8.991,72 2.088,93 6.902,79
Sukaratu 28.675,32 12.959,42 1.562,78 11.396,64
Cisayong 33.482,48 14.685,76 3.025,58 11.660,18
Sukahening 15.768,76 6.968,85 2.256,56 4.712,29
Rajapolah 15.948,08 6.883,56 1.239,84 5.643,72
Jamanis 17.110,77 7.416,47 835,10 6.581,37
Ciawi 26.463,76 11.610,58 1.261,40 10.349,18
Kadipaten 19.535,03 8.475,91 1.531,33 6.944,58
Pagerageung 28.364,68 12.823,51 4.448,67 8.374,84
Sukaresik 14.049,98 6.064,12 363,12 5.701,00
Jumlah 801.202,62 341,174.08 12.847,89 213.326,19
86

Lampiran 13 Kapasitas tampung wilayah (KWT-KK) dan potensi penambahan


ternak ruminansia berdasarkan rumah tangga petani (PPTR-KK)
Jumlah Rumah KWT-KK Populasi PPTR-KK
Kecamatan Tangga Petani (KK) (ST) (ST) (ST)
(1) (2) (3) (2-3)
Cipatujah 13.124,00 36.484,72 8.820,67 27.664,05
Karangnunggal 13.524,00 37.596,72 7.991,99 29.604,73
Cikalong 14.180,00 39.420,40 6.099,74 33.320,66
Pancatengah 10.360,00 28.800,80 6.623,37 22.177,43
Cikatomas 10.058,00 27.961,24 7.877,14 20.084,10
Cibalong 6.285,00 17.472,30 3.839,95 13.632,35
Parungponteng 7.900,00 21.962,00 5.946,02 16.015,98
Bantarkalong 6.623,00 18.411,94 3.990,70 14.421,24
Bojongasih 4.505,00 12.523,90 4.025,64 8.498,26
Culamega 6.028,00 16.757,84 1.918,74 14.839,10
Bojonggambir 9.106,00 25.314,68 2.435,40 22.879,28
Sodonghilir 14.036,00 39.020,08 5.891,42 33.128,66
Taraju 7.272,00 20.216,16 2.343,99 17.872,17
Salawu 11.093,00 30.838,54 2.769,81 28.068,73
Puspahiang 7.327,00 20.369,06 2.353,95 18.015,11
Tanjungjaya 6.980,00 19.404,40 1.709,98 17.694,42
Sukaraja 6.756,00 18.781,68 3.131,51 15.650,17
Salopa 8.144,00 22.640,32 4.072,36 18.567,96
Jatiwaras 8.814,00 24.502,92 3.483,46 21.019,46
Cineam 7.928,00 22.039,84 1.757,87 20.281,97
Karangjaya 3.237,00 8.998,86 258,50 8.740,36
Manonjaya 7.230,00 20.099,40 1.659,37 18.440,03
Gunungtanjung 6.076,00 16.891,28 1.495,27 15.396,01
Singaparna 3.887,00 10.805,86 1.897,51 8.908,35
Sukarame 3.522,00 9.791,16 2.624,71 7.166,45
Mangunreha 4.858,00 13.505,24 1.874,48 11.630,76
Cigalontang 12.212,00 33.949,36 5.332,84 28.616,52
Leuwisari 4.278,00 11.892,84 3.200,35 8.692,49
Sariwangi 4.335,00 12.051,30 3.807,84 8.243,46
Padakembang 3.841,00 10.677,98 2.088,93 8.589,05
Sukaratu 5.683,00 15.798,74 1.562,78 14.235,96
Cisayong 7.111,00 19.768,58 3.025,58 16.743,00
Sukahening 4.439,00 12.340,42 2.256,56 10.083,86
Rajapolah 3.592,00 9.985,76 1.239,84 8.745,92
Jamanis 4.328,00 12.031,84 835,10 11.196,74
Ciawi 6.499,00 18.067,22 1.261,40 16.805,82
Kadipaten 4.726,00 13.138,28 1.531,33 11.606,95
Pagerageung 9.187,00 25.539,86 4.448,67 21.091,19
Sukaresik 4.673,00 12.990,94 363,12 12.627,82
Jumlah 283.757,00 788.844,46 127.847,89 660.996,57
87

Lampiran 14 Wilayah kecamatan dengan nilai penambahan populasi ternak


(PPTR-Efektif)
Kecamatan PPTR-Pakan PPTR-KK PPTR-Efektif
(PPTR-Pakan < PPTR-KK)
---------------------------------------------(ST)----------------------------------
Bojonggambir 17.169,45 22.879,28 17.169,45
Cipatujah 16.673,19 27.664,05 16.673,19
Cisayong 11.660,18 16.743,00 11.660,18
Sukaratu 11.396,64 14.235,96 11.396,64
Ciawi 10.349,18 16.805,82 10.349,18
Culamega 8.951,71 14.839,10 8.951,71
Pancatengah 8.948,20 22.177,43 8.948,20
Pagerageung 8.374,84 21.091,19 8.374,84
Cikalong 8.192,42 33.320,66 8.192,42
Kadipaten 6.944,58 11.606,95 6.944,58
Padakembang 6.902,79 8.589,05 6.902,79
Leuwisari 6.631,77 8.692,49 6.631,77
Jamanis 6.581,37 11.196,74 6.581,37
Sodonghilir 6.191,19 33.128,66 6.191,19
Salopa 6.101,35 18.567,96 6.101,35
Sukaresik 5.701,00 12.627,82 5.701,00
Rajapolah 5.643,72 8.745,92 5.643,72
Cigalontang 5.355,11 28.616,52 5.355,11
Karangnunggal 4.884,81 29.604,73 4.884,81
Sukahening 4.712,29 10.083,86 4.712,29
Jatiwaras 4.700,84 21.019,46 4.700,84
Sariwangi 4.586,10 8.243,46 4.586,10
Salawu 4.552,01 28.068,73 4.552,01
Taraju 3.869,23 17.872,17 3.869,23
Karangjaya 3.456,76 8.740,36 3.456,76
Cineam 3.284,57 20.281,97 3.284,57
Puspahiang 2.902,59 18.015,11 2.902,59
Tanjungjaya 2.730,42 17.694,42 2.730,42
Bantarkalong 2.540,57 14.421,24 2.540,57
Gunungtanjung 2.182,00 15.396,01 2.182,00
Mangunreha 2.153,51 11.630,76 2.153,51
Manonjaya 1.864,75 18.440,03 1.864,75
Cikatomas 1.826,50 20.084,10 1.826,50
Singaparna 1.583,45 8.908,35 1.583,45
Sukaraja 1.064,28 15.650,17 1.064,28
Sukarame 987,55 7.166,45 987,55
Bojongasih 984,02 8.498,26 984,02
Cibalong 764,11 13.632,35 764,11
Parungponteng (72,89) 16.015,98 (72,89)
Jumlah 213.326,19 660.996,57 213.326,19
88

Lampiran 15 Kuesioner penelitian

KUESIONER PENELITIAN
Petunjuk :
1. Kuesioner ini bertujuan untuk menggali informasi tentang karakteristik usaha ternak
ruminansia dan pendapatan peternak, dalam rangka penelitian Tesis :
Judul : Bionomika Ternak Ruminansia dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah
di Kabupaten Tasikmalaya.
Lembaga : Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
2. Mohon diisi dengan informasi yang benar, informasi yang diberikan akan digunakan untuk
kepentingan penelitian ilmiah.

Nomor Responden : _____________________________________

Pelaksanaan Wawancara : Tanggal____Bulan_____________Tahun 2016

A. Karakteristik Responden

1. Nama : __________________________________________

2. Alamat : __________________________________________

__________________________________________

3. Umur : __________________Tahun

4. Pendidikan : SD / SMP / SMA / PT


(lingkari yang sesuai)
5. Jumlah anggota keluarga : __________________Orang

6. Pengalaman beternak : __________________Tahun


7. Jenis ternak : Sapi Potong / Sapi Perah / Kerbau / Kuda
(lingkari yang sesuai) Kambing / Domba
8. Jumlah ternak : Jantan Dewasa : ___________ Ekor
Betina Dewasa : ___________ Ekor
Jantan Anak : ___________ Ekorr
Betina Anak : ___________ Ekor
9. Luas lahan peternakan : _________________Meter Persegi

10. Nama kelompok : __________________________________________

11. Jumlah anggota kelompok : __________________Orang

12. Alamat kelompok : __________________________________________

__________________________________________
89

B. Pendapatan Peternak
A. Total revenue (Rp/tahun) = Nilai populasi ternak akhir tahun (nilai ternak yang ada + nilai
yang di konsumsi + nilai yang di jual + nilai hasil penjualan produk ternak lainnya

Anak (Ekor) Dewasa (Ekor)


Komponen Penerimaan Nilai (Rp)
Jantan Betina Jantan Betina
a. Ternak akhir
 Sapi Potong
 Sapi Perah
 Kerbau
 Kuda
 Kambing
 Domba
Jumlah a
b. Ternak yang dikonsumsi
 Sapi Potong
 Sapi Perah
 Kerbau
 Kuda
 Kambing
 Domba
Jumlah b
c. Ternak yang dijual
 Sapi Potong
 Sapi Perah
 Kerbau
 Kuda
 Kambing
 Domba
Jumlah c
d. Penjualan produk ternak Liter Kg Rp/liter Rp/Kg Nilai (Rp)
 Susu
 Kotoran/Limbah
 Lainnya
Jumlah d
JUMLAH A (a+b+c+d)
90

B. Total cost (Rp/tahun) = Nilai populasi ternak awal tahun + biaya yang di keluarkan selama 1
tahun

Anak (Ekor) Dewasa (Ekor)


Komponen Pengeluaran Nilai (Rp)
Jantan Dewasa Jantan Dewasa
a. Ternak awal
 Sapi Potong
 Sapi Perah
 Kerbau
 Kuda
 Kambing
 Domba
Jumlah a
b. Ternak yang dibeli
 Sapi Potong
 Sapi Perah
 Kerbau
 Kuda
 Kambing
 Domba
Jumlah b
c. Biaya pakan Liter Kg Rp/liter Rp/Kg Nilai (Rp)
 Konsentrat
 Rumput
 Limbah pertanian
 Biomassa
 Additive/supplemen/vit
 Lainnya
Jumlah c
d. Biaya lainnya Orang Unit Rp/orang Rp/unit Nilai (Rp)
 Upah tenaga kerja
 Penyusutan kandang
 Lainnya
Jumlah d
JUMLAH B (a+b+c+d)
91

C. Pengelolaan Sumberdaya Pakan


Pengelolaan sumberdaya pakan dilakukan melalui empat aktivitas utama dalam rantai pasokan
sebagai sebuah sistem logistik pakan, yaitu: (1) Perencanaan (plan); (2) Sumber (source); (3)
Membuat (make); (4) Pengiriman (deliver).

a. Perencanaan (bahan pakan yang digunakan)

Penggunaan Jumlah
Bahan Pakan Nilai (Rp)
Ya Tidak Kg Rp/Kg
1. Rumput
2. Jerami padi
3. Jerami jagung
4. Jerami kacang kedelai
5. Jerami kacang tanah
6. Jerami kacang hijau
7. Daun ubi jalar
8. Daun ubi kayu
9. Dedak
10. Bungkil kelapa
11. Ampas tahu
12. Ampas kecap
13. Lainnya_________________

b. Sumber (asal pasokan bahan pakan yang digunakan)


Mandiri Pembelian
Bahan Pakan
Ya Tidak Kg Ya Tidak Kg
1. Rumput
2. Jerami padi
3. Jerami jagung
4. Jerami kacang kedelai
5. Jerami kacang tanah
6. Jerami kacang hijau
7. Daun ubi jalar
8. Daun ubi kayu
9. Dedak
10. Bungkil kelapa
11. Ampas tahu
12. Ampas kecap
13. Lainnya_______________
c.
92

d. Membuat (proses pengolahan bahan pakan yang digunakan)


Kon %
Tidak Lainnya,
Bahan Pakan Silase Hay sen dalam
Diolah sebutkan..
trat pakan
1. Rumput
2. Jerami padi
3. Jerami jagung
4. Jerami kacang kedelai
5. Jerami kacang tanah
6. Jerami kacang hijau
7. Daun ubi jalar
8. Daun ubi kayu
9. Dedak
10. Bungkil kelapa
11. Ampas tahu
12. Ampas kecap
13. Lainnya __________

e. Pengiriman (proses pemberian kepada ternak dan atau (distribusi)


Digunakan Gudang
Dijual
sendiri Harga /Distribusi
Bahan Pakan Ya Tidak Ya Tidak perkg Gudan Lokasi
(Rp) g Pemasar
an
1. Rumput
2. Jerami padi
3. Jerami jagung
4. Jerami kacang kedelai
5. Jerami kacang tanah
6. Jerami kacang hijau
7. Daun ubi jalar
8. Daun ubi kayu
9. Dedak
10. Bungkil kelapa
11. Ampas tahu
12. Ampas kecap
13. Lainnya __________
93

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Rajapolah pada tanggal 29 November 1980, putra ketiga dari
empat bersaudara dari pasangan Endin Samsudin dan Yayah. Penulis menempuh
pendidikan Sarjana di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada Program
Studi Sosial Ekonomi Peternakan tahun 1998-2003 dan melanjutkan pendidikan
Magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan tahun 2012-2016.
Aktivitas utama penulis adalah wirausaha peternakan dan aktif pada kegiatan
sosial pemberdayaan masyarakat desa melalui Asosiasi Sarjana Membangun Desa
(ASMD) dan kegiatan keilmuan pada Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia
(AINI). Pada tahun 2016, penulis berkesempatan mengikuti Australian Awards
Indonesia-Shortterm Program; Livestock and Animal Production di Universitas
New England Armidale New South Wales serta Magang di Rural Training
Queensland (Emerald Agricutural College dan Longreach Pastoral College)
Australia.

Anda mungkin juga menyukai