Anda di halaman 1dari 29

TUGAS

MAKALAH SP ( STATEGI PELAKSANAAAN )

TENTANG HARGA DIRI RENDAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Jiwa

Oleh :

Rini Widiastuti
NIM 1811142010236

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN

YARSI SUMBAR BUKITTINGGI

2019
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan
terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang
menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.
Wilayah Indonesia secara geografis dan geologis dapat digambarkan sebagai berikut:
a. merupakan negara kepulauan yang terletak pad a pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu: lempeng
Euroasia, Australia, Pasifik, dan Filipina.
b. terdapat 130 gunung api aktif di Indonesia yang terbagi dalam Tipe A, Tipe B, dan Tipe C. Gunung api
yang pernah meletus sekurang
c. kurangnya satu kali sesudah tahun 1600 dan masih aktif digolongkan sebagai gunung api tipe A, tipe B
adalah gunung api yang masih aktif tetapi belum pernah meletus sedangkan tipe C adalah gunung api
yang masih di indikasikan sebagai gunung api aktif.
d. terdapat lebih dari 5.000 sungai besar dan kecil yang 30% di antaranya melewati kawasan padat
penduduk dan berpotensi terjadinya banjir, banjir ban dang dan tanah longsor pada saat musim
penghujan.

Beberapa kejadian bencana besar di Indonesia antara lain:


a. Gempa bumi dan tsunami.
b. Gempa bumi. Gempa bumi Nias
c. Ledakan bom.
d. Letusan gunung berapi.
e. kegagalan teknologi. Kasus kegagalan teknologi yang pernah terjadi adalah ledakan pabrik pupuk Petro
Widada Gresik pada tanggal 20 Januari 2004 dengan jumlah korban meninggal 2 orang dan 70 orang
luka bakar
f. banjir lumpur panas.
g. banjir bandang.
h. Konflik. Sejak awal tahun 1999 telah terjadi konflik vertikal dan konflik horizontal di Indonesia,
ditandai dengan timbullnya kerusuhan sosial, misalnya di Sampit Sambas, Kalimantan Barat, Maluku,
Aceh, Poso, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Papua, Tarakan dan berbagai daerah lainnya yang
berdampak pada terjadinya pengungsian penduduk secara besar-besaran.
Semua kejadian tersebut menimbulkan krisis kesehatan maupun dampak psikologis bagi masayarakat yang
terkena bencana, antara lain: lumpuhnya pelayanan kesehatan, korban mati, korban luka, pengungsi,
masalah gizi, masalah ketersediaan air bersih, masalah sanitasi lingkungan, penyakit menular, gangguan
kejiwaan dan gangguan pelayanan kesehatan reproduksi. Secara umum, upaya 5 penanggulangan krisis
kesehatan masih menghadapi berbagai macam kendala, antara lain:
A. sistem informasi yang belum berjalan dengan baik
B. mekanisme koordinasi belum berfungsi dengan baik;
C. mobilisasi bantuan ke lokasi bencana masih terhambat;
D. sistem pembiayaan belum mendukung;
E. keterbatasan sumber daya yang akan dikirim maupun yang tersedia di daerah bencana
F. pengelolaan bantuan lokal maupun intemasional yang belum baik.

Oleh karena itu perlu adanya standar bagi petugas kesehatan, LSM/NGO nasional maupun internasional,
lembaga donor dan masyarakat yang bekerja atau berkaitan dalam penanganan krisis kesehatan.

1. 2. Tujuan
a. Tujuan Umum

Dari penyusunan makalah ini diharapkan penulis dapat mengerti, memahami dan memperoleh gambaran
tentang Efek Kesehatan Dan Dampak Psikososial Terhadap Bencana.

b. Tujuan Khusus

Setelah penulisan makalah ini, penulis mampu:


- Memahami dampak psikososial terhadap bencana
- Mengetahui efek kesehatan terhadap bencana

1. 3 Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, penulisan menggunakan teknik penulisan yang bersumber dari buku –
buku, browsing internet dan sumber lain untuk mendapatkan data dalam pembuatan makalah ini.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 DAMPAK BENCANA TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT

Salah satu dampak bencana terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk dapat dilihat dari
berbagai permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi. Bencana yang diikuti dengan pengungsian
berpotensi menimbulkan masalah kesehatan yang sebenarnya diawali oleh masalah bidang/sektor lain.
Bencana gempa bumi, banjir, longsor dan letusan gunung berapi, dalam jangka pendek dapat
berdampak pada korban meninggal, korban cedera berat yang memerlukan perawatan intensif,
peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan air (Pan
American Health Organization, 2006). Timbulnya masalah kesehatan antara lain berawal dari
kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan yang
merupakan awal dari perkembangbiakan beberapa jenis penyakit menular.

Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses terjadinya
penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi secara langsung tingkat
pemenuhan kebutuhan gizi korban bencana. Pengungsian tempat tinggal (shelter) yang ada sering tidak
memenuhi syarat kesehatan sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan daya
tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan menimbulkan masalah di bidang kesehatan.
Sementara itu, pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering menemui banyak kendala
akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan,
terbatasnya tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat menimbulkan dampak
lebih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal
Departemen Kesehatan, 2001).

Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda-beda, antara lain tergantung
dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera yang memerlukan perawatan medis,
misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada bencana gempa bumi dibandingkan dengan kasus cedera
akibat banjir dan gelombang pasang. Sebaliknya, bencana banjir yang terjadi dalam waktu relatif lama
dapat menyebabkan kerusakan sistem sanitasi dan air bersih, serta menimbulkan potensi kejadian luar
biasa (KLB) penyakit-penyakit yang ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti diare
dan leptospirosis. Terkait dengan bencana gempa bumi, selain dipengaruhi kekuatan gempa, ada tiga
faktor yang dapat mempengaruhi banyak sedikitnya korban meninggal dan cedera akibat bencana ini,
yakni: tipe rumah, waktu pada hari terjadinya gempa dan kepadatan penduduk (Pan American Health
Organization, 2006).

Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi masyarakat terdampak. Dampak
ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok penduduk rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal
55 (2) UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: 1).
Bayi, balita dan anak-anak; 2). Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3). Penyandang cacat;
dan 4) Orang lanjut usia. Selain keempat kelompok penduduk tersebut, dalam Peraturan Kepala BNPB
Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pemenuhan Kebutuhan Dasar ditambahkan ‘orang
sakit’ sebagai bagian dari kelompok rentan dalam kondisi bencana. Upaya perlindungan tentunya perlu
diprioritaskan pada kelompok rentan tersebut, mulai dari penyelamatan, evakuasi, pengamanan sampai
dengan pelayanan kesehatan dan psikososial.

Identifikasi kelompok rentan pada situasi bencana menjadi salah satu hal yang penting untuk dilakukan.
Penilaian cepat kesehatan (rapid health assessment) paska gempa bumi 27 Mei 2006 di Kabupaten
Bantul, misalnya, dapat memetakan kelompok rentan serta masalah kesehatan dan risiko penyakit
akibat bencana. Penilaian cepat yang dilakukan pada tanggal 15 Juni 2006 di lima kecamatan terpilih di
wilayah Kabupaten Bantul (Pleret, Banguntapan, Jetis, Pundong dan Sewon) ini meliputi aspek
keadaan umum dan lingkungan, derajat kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan kesehatan. Hasil
penilaian cepat terkait dengan kelompok rentan beserta permasalahan kesehatan yang dihadapi adalah
permasalahan kecukupan gizi dijumpai pada kelompok penduduk rentan balita dan ibu hamil,
sedangkan kondisi fisik yang memerlukan perhatian terutama dijumpai pada kelompok rentan ibu baru
melahirkan, korban cedera, serta penduduk yang berada dalam kondisi tidak sehat.
Pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering tidak memadai. Hal ini terjadi
antara lain akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis obat serta alat
kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan, terbatasnya dana operasional pelayanan di lapangan. Hasil
penilaian cepat paska gempa Bantul 2006, misalnya, mencatat sebanyak 55,6 persen Puskesmas Induk
dan Perawatan dari 27 unit yang ada di Kabupaten Bantul mengalami kerusakan berat, begitu juga
dengan kondisi Puskesmas Pembantu (53,6 persen) serta Rumah Dinas Dokter dan Paramedis (64,8
persen). Bila tidak segera ditangani, kondisi tersebut tentunya dapat menimbulkan dampak yang lebih
buruk akibat bencana tersebut.

Tidak hanya fasilitas kesehatan yang rusak, bencana alam tidak jarang juga menimbulkan
dampak langsung pada masyarakat di suatu wilayah yang menjadi korban. Pada kasus gempa Bantul
2006, sebagian besar (81,8 persen) rumah penduduk hancur, bahkan tidak ada rumah yang tidak rusak
meskipun hanya rusak ringan (3,1 persen). Selain itu, 70,4 persen penduduk masih mengandalkan
sumber air bersih dari sumur, namun ada sebagian kecil (4,8 persen) penduduk dengan kualitas fisik
sumur yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Masih banyak masyarakat yang mengobati dirinya
sendiri di rumah (30,2 persen) atau bahkan mendiamkan saja luka yang diderita (6,6 persen).
Ketersediaan cadangan bahan makanan pokok masih bisa mencukupi kebutuhan keluarga untuk 14
hari, sedangkan bahan makanan lain masih bisa mencukupi untuk kebutuhan selama satu minggu,
kecuali buah-buahan (3 hari). Hampir dua minggu paskagempa, sudah banyak lingkungan responden
yang telah mendapatkan bantuan kesehatan dari berbagai instansi atau LSM, namun bantuan
pengasapan (fogging) untuk mengurangi populasi nyamuk baru 47,6 persen, penyemprotan (spraying)
untuk membunuh bibit penyakit berbahaya baru 20 persen, dan upaya pengolahan air hanya 21,9
persen.

Salah satu permasalahan kesehatan akibat bencana adalah meningkatnya potensi kejadian
penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Bahkan, tidak jarang kejadian luar biasa (KLB)
untuk beberapa penyakit menular tertentu, seperti KLB diare dan disentri yang dipengaruhi lingkungan
dan sanitasi yang memburuk akibat bencana seperti banjir. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
merupakan keluhan yang yang paling banyak diderita pengungsi sepuluh jenis penyakit bencana
letusan Gunung Merapi tahun 2010 di Kabupaten Sleman. Data EHA - WHO Indonesia (2010) per 27
Oktober 2010 juga mencatat 91 korban bencana Merapi harus dirujuk ke RS Sardjito di Yogyakarta,
sebagian besar diantaranya karena mengalami gangguan pernafasan dan/atau luka bakar.

Permasalahan kesehatan lingkungan dan sanitasi juga sering dijumpai pada kondisi bencana
alam. Berbagai literatur menunjukkan bahwa sanitasi merupakan salah satu kebutuhan vital pada tahap
awal setelah terjadinya bencana.Kondisi lingkungan yang tidak higienis, persediaan air yang terbatas
dan jamban yang tidak memadai, misalnya, seringkali menjadi penyebab korban bencana lebih rentan
untuk mengalami kesakitan bahkan kematian akibat penyakit tertentu.

2.1 DAMPAK PSIKOSOSIAL TERHADAP BENCANA

2.1.1 Dampak psikologis pada individu


Dalam bencana tidak ada patokan yang kaku tentang tahapan dalam merespon bencana, ada banyak variasi
pada setiap tahap dan tahap tumpang tindih. Oleh karena itu munculnya gejala gangguan psikologis dapat
bervariasi, tergantung banyak factor, namun bisa mencapai 90%tau bahkan lebih. Penyintas akan
menunjukkan setidaknya beberapa gejala psikologis yang negatif setelah beberapa jam paska bencana .
Pada bencana social, misalnya konflik, dua belas minggu paska bencana, 20-50 persen atau bahkan lebih
masih dapat menunjukkan tanda-tanda signifikan dari gangguan tersebut. Jika tidak diatasi dan diselesaikan
dengan tepat dan cepat, reaksi tersebut dapat menjadi gangguan psikologis yang serius.
1) Tahap Tanggap Darurat

Tahap ini adalah masa beberapa jam atau hari setelah bencana. Pada tahap ini kegiatan bantuan sebagian
besar difokuskan pada menyelamatkan penyintas dan berusaha untuk menstabilkan situasi. Penyintas harus
ditempatkan pada lokasi yang aman dan terlindung, pakaian yang pantas, bantuan dan perhatian medis, serta
makanan dan air yang cukup.
Selama tahap penyelamatan, berbagai jenis respon emosional bisa dilihat. Penyintas mungkin mengalami
perubahan dari satu jenis respon terhadap lain atau mungkin tidak menunjukkan sikap yang "biasa". Pada
fase ini kadang penyintas mengalami numbing, atau suatu kondisi mati rasa secara psikis. Penyintas tampak
tertegun, linglung, bingung, apatis dan tatapan mata yang kosong. Secara tampak luar, penyintas tampak
tenang, namun bisa saja hal itu adalah ketenangan yang semu. Karena ketenangan itu akan segera diikuti
oleh penolakan atau upaya untuk mengisolasi diri mereka sendiri. 7
Penyintas akan menolak kenyataan yang sudah terjadi. Mereka menolak realita, dengan mengatakan ini
hanya mimpi, beberapa yang lain marah jika mendengar orang lain membicarakan tentang anggta
keluarganya yang meninggal bahkan menduh mereka adalah pembohong. Namun hal itu juga tidak lama,
penyintas akan mengalami perasaan takut yang sangat kuat, disertai dengan rangsangan fisiologis: jantung
berdebar-debar, ketegangan otot, nyeri otot, gangguan gastrointestinal atau sakit magh. Beberapa kemudian
akhirnya menjadi depresif ataupun kebalikannya menjadi aktif secara berlebihan.
2) Tahap Pemulihan

Setelah situasi telah stabil, perhatian beralih ke solusi jangka panjang. Disisi lain, euforia bantuan mulai
menurun, sebagian sukarelawan sudah tidak datang lagi dan bantuan dari luar secara bertahap berkurang.
Para penyintas mulai menghadapi realitas. Jika pada minggu-minggu pertama setelah bencana, penyintas
mungkin akan melalui fase "bulan madu", ditandai dengan perasaan yg aman dan optimisme tentang masa
depan. Tetapi dalam tahap pemulihan, mereka harus membuat penilaian yang lebih realistis tentang hidup
mereka. Pada fase ini kekecewaan dan kemarahan sering menjadi gejala dominan yang sangat terasa. Pada
tahap ini berbagai gejala pasca-trauma muncul, misalnya "Pasca Trauma Stress Disorder," "Disorder
Kecemasan Generalized," "Abnormal Dukacita, " dan " Post Traumatic Depresi "-
a. Akut Stress Paska Trauma.

Gejala-gejala dibawah ini adalah normal, sebagai reaksi atas kejadian yang tidak normal (traumatik).
Biasanya gejala-gejala diawah ini akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu.
1) Emosi.
Mudah menangis ataupun kebalikkannya yakni mudah marah, emosinya labil, mati rasa dan kehilangan
minat untuk melakukan aktivitas, gelisah, perasaan ketidakefektifan, malu dan putus asa.
2) Pikiran.

Mimpi buruk, mengalami halusinasi ataupun disasosiasi, mudah curiga (pada penyintas kasus bencana
karena manusia), sulit konsentrasi, menghindari pikiran tentang bencana dan menghindari tempat, gambar,
suara mengingatkan penyintas bencana; menghindari pembicaraan tentang hal itu
3) Tubuh.

Sakit kepala, perubahan siklus mensruasi, sakit punggung, sariawan atau sakit magh yang terus menerus
sakit kepala, berkeringat dan menggigil, tremor, kelelahan, rambut rontok, perubahan pada siklus haid,
hilangnya gairah seksual, perubahan pendengaran atau penglihatan, nyeri otot
4) Perilaku.

Menarik diri, sulit tidur, putus asa, ketergantungan, perilaku lekat yang berlebihan atau penarikan social,
sikap permusuhan, kemarahan, merusak diri sendiri, perilaku impulsif dan mencoba bunuh diri
b. Post Trauma Stress Disorder (PTSD), meliputi: Jika setelah lebih dari dua bulan gejala gejala di atas
(ASPT) masih ada maka dapat diduga mengalami PTSD, jika memunjukkan gejala ini selepas 2 bulan dari
kejadian bencana:
1) Reecperience atau mengalami kembali. Penyintas sekan mengalami kembali peristiwa traumatic yang
mengganggu; misalnya melalui mimpi buruk setiap tidur, merasa mendengar, melihat kembali kejadian
yang berhubungan dengan bencana, dalam pikirannya kejadian bencana terus menerus sangat hidup, apapun
yang dilakukan tidak mampu mengalihkan pikirannya dari
9
bencana. Pada anak-anak korhan konflik senjata, mereka bermain perang-perangan berulang-ulang.
2) Avoidance, atau menghindar hal-hal yang berkaitan dengan ingatan akan bencana, misalnya menghindari
pikiran atau perasaan atau percakapan tentang bencana; menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang
mengingatkan penyintas dari trauma, ketidakmampuan untuk mengingat bagian penting dari bencana,
termenung terus dengan tatapan dan pikiran yang kosong
3) Hyperarusal, atau rangsangan yang berlebihan. Misalnya kesulitan tidur; sangat mudah marah atau
kesulitan berkonsentrasi; jantung mudah berdebar-debar, keringat dingin, panik dan nafas terengah-engah
saat teringat kejadian, kesulitan konsentrasi dan mudah terkejut.
c. Generalized Anxiety Disorder: meliputi: Kecemasan yang berlebihan dan khawatir tentang berbagai
peristiwa ataupun kegiatan (tidak terbatas bencana). Cemas berlebihan saat air tidak mengalir, seseorang
tidak muncul tepat waktu.
d. Dukacita Eksrim: Biasanya, setelah kematian orang yang dicintai. Seringkali respon pertama adalah
penyangkalan. Kemudian, mati rasa dan kadang kemarahan
e. Post Trauma Depresi: depresi berkepanjangan adalah salah satu temuan yang paling umum dalam
penelitan terhadap penyintas trauma. Gangguan ini sering terjadi dalam kombinasi dengan Post Traumatic
Stress Disorder. Gejala umum depresi termasuk kesedihan, gerakan yang lambat, insomnia (ataupun
kebalikannya hipersomnia), kelelahan atau kehilangan energi, nafsu makan berkurang (atau berlebihan
nafsu makan), kesulitan dengan konsentrasi, apatis dan perasaan tak berdaya, anhedonia (tidak
menunjukkan minat atau kesenangan dalam aktivitas hidup), penarikan sosial, pikiran negatif, perasaan
putus asa, ditinggalkan, dan mengubah hidup tidak dapat dibatalkan, dan lekas marah.
10
3) Tahap Rekonstruksi

Satu tahun atau lebih setelah bencana, fokus bergeser lagi. Pola kehidupan yang stabil mungkin telah
muncul. Selama fase ini, walaupun banyak penyintas mungkin telah sembuh, namun beberapa yang tidak
mendapatkan pertolongan dengan tepat menunjukkan gejala kepribadian yang serius dan dapat bersifat
permanen. Pada tahap ini risiko bunuh diri dapat meningkatkan, kelelahan kronis, ketidakmampuan untuk
bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan sehari-hari, dan kesulitan berpikir dengan logis. Pada penyintas
penyiksaan atau pelecehan seksual, yang telah disiksa di kamp konsentrasi, atau yang telah tinggal selama
bulanan atau tahunan dalam suatu keadaan kronis perang saudara akan menjadi seseorang dengan
kepribadian yang berbeda dari sebelumnya, merek menjadi pribadi yangg penuh kebencian, pemarah dan
anti sosial. Mereka menjadi pendendam dan mudah menyerang orang lain termasuk orang-orang yang ia
sayangi. Gangguan ini pada akhirnya merusak hubungan penyintas dengan keluarga dan komunitasnya.

2.1.2 DAMPAK BENCANA PADA KOMUNITAS

Bencana tidak hanya berdampak pada pribadi tapi juga pada komunitas. Paska bencana dapat saja
tercipta masyarakat yang mudah meminta (padahal sebelumnya adalah pekerja yang tangguh), masyarakat
yang saling curiga (padahal sebelumnya saling peduli), masyarakat yang mudah melakukan kekerasan
(padahal sebelumnya cinta damai). Bencana yang tidak ditangani dengan baik akan mampu merusak nilai-
nilai luhur yang sudah dimiliki masyarakat.
Saat penyintas dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka dan bermigrasi di tempat lain, tanpa pelatihan
dan bekal yang memadai, tidak hanya kehidupan mereka yang terancam, namun juga identitas dirinya.
Mereka dipaksa menjadi peladang padahal sepanjang hidupnya adalah nelayan, ataupun sebaliknya.
Sebagai akibat jangka panjangnya, konflik perkawinan meningkat, kenaikan tingkat perceraian pada tahun-
tahun setelah bencana dapat terjadi da juga meningkatnya kekerasan intra-keluarga (kekerasan pada anak
dan pasangan).

Bantuan yang tidak terorganisir dan menempatkan penyintas sebagi objek pada akhirnya, sama
menghancurkannya dengan efek psikologis individual. Pemberian bantuan yang tidak terpola
menempatkan penyintas sebagai objek yang tidak berdaya, pada akhirnya merusak etos kerja mereka dan
terjadi ketergantungan pada pemberi bantuan.

BAB III
PENUTUP

3. 1 Kesimpulan

Bencana alam yang disertai dengan pengungsian seringkali menimbulkan dampak terhadap
kesehatan masyarakat yang menjadi korban, terlebih mereka yang termasuk dalam kelompok rentan.
Permasalahan kesehatan akibat bencana beragam, termasuk meningkatnya potensi kejadian penyakit
menular maupun penyakit tidak menular, dan pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering
tidak memadai.
Berbagai panduan penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana sudah dikeluarkan di tingkat
nasional. Upaya tersebut pada prinsipnya dilaksanakan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat,
antara lain hak untuk mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar. Pengorganisasian sektor
kesehatan juga dilakukan berjenjang. Dalam hal ini, peran Puskemas di lokasi kejadian bencana menjadi
sangat penting, baik pada fase prabencana, saat bencana maupun paska bencana. Jnitiai rapid health
assessment, misalnya, merupakan kegiatan penting yang perlu dilaksanakan petugas kesehatan dan
diharapkan dapat dapat memetakan kelompok rentan serta berbagai masalah kesehatan dan risiko penyakit
akibat bencana. Standar minimal pun telah ditetapkan, meliputi aspek pelayanan kesehatan, pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular, gizi dan pangan, Iingkungan serta kebutuhan dasar kesehatan.

3. 2 Saran

Untuk mengatasi masalah diatas, dilakukan berbagai intervensi. Salah satu pendekatan yang
dilakukan dalam menangani korban-korban bencana khususnya permasalahan psikologis dalam
lingkungan masyarakat adalah metode intervensi psikososial. Intervensi psikologis merupakan kegiatan
untuk mencari jawaban tentang tentang kebutuhan psikologis dan sosial secara kelompok dan setelah
pemulihan korban maupun pengobatan pasca bencana perlu dilakukan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi
harus benar-benar terealisasi dan dilakukan sebaik-baiknya supaya dapat mengembalikan keadaan korban
seperti semula, sebelum terjadinya bencana dan juga bisa menjadikan korban untuk menjadi pribadi yang
lebih baik lagi.

I. Pendahuluan
”Health-care Associated Infections (HAIs)” merupakan komplikasi yang paling sering terjadi di
pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial atau disebut juga sebagai
Infeksi di rumah sakit ”Hospital-Acquired Infections” merupakan persoalan serius karena dapat
menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Kalaupun tak berakibat
kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga pasien harus membayar biaya rumah sakit yang lebih
banyak.

HAIs adalah penyakit infeksi yang pertama muncul (penyakit infeksi yang tidak berasal dari pasien itu
sendiri) dalam waktu antara 48 jam dan empat hari setelah pasien masuk rumah sakit atau tempat
pelayanan kesehatan lainnya, atau dalam waktu 30 hari setelah pasien keluar dari rumah sakit. Dalam
hal ini termasuk infeksi yang didapat dari rumah sakit tetapi muncul setelah pulang dan infeksi akibat
kerja terhadap pekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.

Angka kejadian terus meningkat mencapai sekitar 9% (variasi3-21%) atau lebih dari 1,4 juta pasien
rawat inap di rumah sakit seluruh dunia.Kondisi ini menunjukkan penurunan mutu pelayanan
kesehatan. Tak dipungkiri lagi untuk masa yang akan datang dapat timbul tuntutan hukum bagi sarana
pelayanan kesehatan, sehingga kejadian infeksi di pelayanan kesehatan harus menjadi perhatian bagi
Rumah Sakit.

Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang berisiko
mendapat HAIs.Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke
pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien. Dengan
demikian akan menyebabkan peningkatan angka morbiditas, mortalitas, peningkatan lama hari rawat
dan peningkatan biaya rumah sakit.

Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat Penting untuk melindungi pasien, petugas
juga pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya infeksi karena dirawat, bertugas juga berkunjung
ke suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Keberhasilan program PPI perlu
keterlibatan lintas profesional: Klinisi, Perawat, Laboratorium, Kesehatan Lingkungan, Farmasi, Gizi,
IPSRS, Sanitasi &Housekeeping, dan lain-lain sehingga perlu wadah berupa Komite Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi.

Beberapa rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan merupakan lahan praktik bagi
mahasiswa/siswa serta peserta magang dan pelatihan yang berasal dari berbagai jenjang pendidikan dan
institusi yang berbeda-beda. Tak diragukan lagi bahwa semua mahasiswa/siswa dan peserta
magang/pelatihan mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam penularan infeksi dan akan beresiko
mendapatkan HAIs. Oleh karena itu penting bagi mahasiswa/siswa, peserta magang/pelatihan,
termasuk juga karyawan baru memahami proses terjadinya infeksi, mikroorganisme yang sering
menimbulkan infeksi, serta bagaimana pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit. Sebab bila
sampai terjadi infeksi nosokomial akan cukup sulit mengatasinya, pada umumnya kuman sudah
resisten terhadap banyak antibiotika. Sehingga semua mahasiswa/siswa, peserta magang/pelatihan yang
akan mengadakan praktik di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, termasuk juga
karyawan baru yang akan bertugas harus diberikan Layanan Orientasi dan Informasi (LOI) tentang
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

II. Rantai Penularan Infeksi


Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena apabila satu mata rantai
dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen yang diperlukan
sehingga terjadi penularan adalah:

1. Agen infeksi (infectious agent) adalah Mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi.
Pada manusia dapat berupa bakteri , virus, ricketsia, jamur dan parasit. Dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu: patogenitas, virulensi, dan jumlah (dosis, atau load)
2. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dan siap
ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umumadalah manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada manusia: permukaan kulit, selaput
lendir saluran nafas atas, usus dan vagina
3. Port of exit ( Pintu keluar) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir. Pintu
keluar meliputi : saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan
membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.
4. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi dari
reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara penularan yaitu :
5. Port of entry (Pintu masuk) adalah Tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu (yang
suseptibel). Pintu masuk bisa melalui: saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih
dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).
6. Pejamu rentan (suseptibel) adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang cukup
untuk melawan agen infeksi serta mencegah infeksi atau penyakit. Faktor yang mempengaruhi:
umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma atau
pembedahan, pengobatan imunosupresan. Sedangkan faktor lain yang mungkin berpengaruh
adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan
herediter.

a. Kontak (contact transmission):

1) Direct/Langsung: kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara fisik pada saat
pemeriksaan fisik, memandikan pasien

2) Indirect/Tidak langsung (paling sering !!!): kontak melalui objek (benda/alat) perantara: melalui
instrumen, jarum, kasa, tangan yang tidak dicuci

b. Dropler

Partikel droplet > 5 μm melalui batuk, bersin, bicara, jarak sebar pendek, tdk bertahan lama di udara,
“deposit” pada mukosa konjungtiva, hidung, mulut contoh : Difteria, Pertussis, Mycoplasma,
Haemophillus influenza type b (Hib), Virus Influenza, mumps, rubella

c. Airborne

partikel kecil ukuran < 5 μm, bertahan lama di udara, jarak penyebaran jauh, dapat terinhalasi, contoh:
Mycobacterium tuberculosis,virus campak, Varisela (cacar air), spora jamur

d. Melalui Vehikulum
Bahan yang dapat berperan dalam mempertahankan kehidupan kuman penyebab sampai masuk
(tertelan atau terokulasi) pada pejamu yang rentan. Contoh: air, darah, serum, plasma, tinja, makanan

e. Melalui Vektor

Artropoda (umumnya serangga) atau binatang lain yang dapat menularkan kuman penyebab cara
menggigit pejamu yang rentan atau menimbun kuman penyebab pada kulit pejamu atau makanan.
Contoh: nyamuk, lalat, pinjal/kutu, binatang pengerat

III. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas penjamu, agen infeksi
(pathogenesis, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi factor resiko pada penjamu dan
pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya infeksi (HAIs), baik pada
pasien ataupun pada petugas kesehatan.

Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari:

1. Peningkatan daya tahan penjamu, dapat pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi hepatitis
B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan secara umum termasuk
nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh.
2. Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan metode fisik maupun kimiawi. Contoh
metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak makanan seperlunya.
Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.
3. Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah penularan
penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda ketaatan petugas dalam melaksanakan
prosedur yang telah ditetapkan.

Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu “Isolation Precautions” (Kewaspadaan Isolasi)
yang terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan Standar) dan
“Transmission based Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan)

4. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap petugas


kesehatan. Berkaitan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh
lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya. Penyakit
yang perlu mendapatkan perhatian adalah hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV.

IV. Kewaspadaan Isolasi

Mikroba penyebab HAIs dapat ditransmisikan oleh pasien terinfeksi/kolonisasi kepada pasien lain dan
petugas. Bila kewaspadaan isolasi diterapkan benar dapat menurunkan risiko transmisi dari pasien
infeksi/kolonisasi. Tujuan kewaspadaan isolasi adalah menurunkan transmisi mikroba infeksius
diantara petugas dan pasien. Kewaspadaan Isolasi harus diterapkan kewaspadaan isolasi sesuai gejala
klinis,sementara menunggu hasil laboratorium keluar.

Kewaspadaan Isolasi merupakan kombinasi dari :

 Standard Precautions /Kewaspadaan Standar


gabungan dari:

 Universal Precautions/Kewaspadaan Universal


 Body Substance Isolation/Isolasi substansi/cairan tubuh

berlaku untuk semua pasien, kemungkinan atau terbukti infeksi, setiap waktu di semua unit pelayanan
kesehatan

 Transmission-based precautions/ Kewaspadaan berbasis transmisi

dipakai bila rute transmisi tidak dapat diputus sempurna hanya Standard precautions.

Sejarah Kewaspadaan Isolasi

 Kewaspadaan Standar

Kewaspadaan standar diberlakukan terhadap semua pasien, tidak tergantung terinfeksi/kolonisasi.


Kewaspadaan standar disusun untuk mencegah kontaminasi silang sebelum diagnosis diketahui dan
beberapa merupakan praktek rutin, meliputi:

1. Kebersihan tangan/Handhygiene
2. Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung), face shield
(pelindungwajah), gaun
3. Peralatan perawatan pasien
4. Pengendalian lingkungan
5. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen
6. Kesehatan karyawan / Perlindungan petugas kesehatan
7. Penempatan pasien
8. Hyangiene respirasi/Etika batuk
9. Praktek menyuntik yang aman
10. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi

 Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi

Tujuan untuk memutus rantai penularan mikroba penyebab infeksi. Diterapkan pada pasien
gejala/dicurigai terinfeksi atau kolonisasi kuman penyebab infeksi menular yang dapat ditransmisikan
lewat udatra, droplet, kontak kulit atau permukaan terkontaminasi.

3 Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi:

- kewaspadaan transmisi kontak

- kewaspadaan transmisi droplet

- kewaspadaan transmisi airborne

Kewaspadaan berdasarkan transmisi dapat dilaksanakan secara terpisah ataupun kombinasi karena
suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara.

1. Kewaspadaan transmisi Kontak


a) Penempatan pasien :

 Kamar tersendiri atau kohorting (Penelitian tidak terbukti kamar tersendiri mencegah HAIs)
 Kohorting (management MDRo )

b) APD petugas:

 Sarung tangan bersih non steril, ganti setelah kontak bahan infeksius, lepaskan sarung tangan
sebelum keluar dari kamar pasien dan cuci tangan menggunakan antiseptik
 Gaun, lepaskan gaun sebelum meninggalkan ruangan

c) Transport pasien

 Batasi kontak saat transportasi pasien

2. Kewaspadaan transmisi droplet

a) Penempatan pasien :

 Kamar tersendiri atau kohorting, beri jarak antar pasien >1m


 Pengelolaan udara khusus tidak diperlukan, pintu boleh terbuka

b) APD petugas:

 Masker Bedah/Prosedur, dipakai saat memasuki ruang rawat pasien

c) Transport pasien

 Batasi transportasi pasien, pasangkan masker pada pasien saat transportasi


 Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk

3. Kewaspadaan transmisi udara/airborne

a) Penempatan pasien :

 Di ruangan tekanan negatif


 Pertukaran udara > 6-12 x/jam,aliran udara yang terkontrol
 Jangan gunakan AC sentral, bila mungkin AC + filter HEPA
 Pintu harus selalu tertutup rapat.
 kohorting
 Seharusnya kamar terpisah, terbukti mencegah transmisi, atau kohorting jarak >1 m
 Perawatan tekanan negatif sulit, tidak membuktikan lebih efektif mencegah penyebaran
 Ventilasi airlockà ventilated anteroom terutama pada varicella (lebih mahal)
 Terpisah jendela terbuka (TBC ), tak ada orang yang lalu lalang

b) APD petugas:

 Minimal gunakan Masker Bedah/Prosedur


 Masker respirator (N95) saat petugas bekerja pada radius <1m dari pasien,
 Gaun
 Goggle
 Sarung tangan

(bila melakukan tindakan yang mungkin menimbulkan aerosol)

c) Transport pasien

 Batasi transportasi pasien, Pasien harus pakai masker saat keluar ruangan
 Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk

Catatan :

Kohorting adalah menempatkan pasien terinfeksi atau kolonisasi patogen yang sama di ruang yang
sama, pasien lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk.

Peraturan Untuk Kewaspadaan Isolasi

Harus dihindarkan transfer mikroba pathogen antar pasien dan petugas saat perawatan pasien rawat
inap, perlu diterapkan hal-hal berikut :

1. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi dari seluruh pasien
2. Dekontaminasi tangan sebelum dan sesudah kontak diantara pasien satu lainnya
3. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh)
4. Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan terhadap bahan infeksius
5. Pakai sarung tangan saat atau kemungkinan kontak darah dan cairan tubuh serta barang yang
terkontaminasi, disinfeksi tangan segera setelah melepas sarung tangan. Ganti sarung tangan
antara pasien.
6. Penanganan limbah feses, urine, dan sekresi pasien lain di buang ke lubang pembuangan yang
telah disediakan, bersihkan dan disinfeksi bedpan, urinal dan obtainer/container pasien lainnya.
7. Tangani bahan infeksius sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)
8. Pastikan peralatan, barang fasilitas dan linen pasien yang infeksius telah dibersihkan dan
didisinfeksi benar.

E. Kebersihan Tangan

Tangan merupakan media transmisi patogen tersering di RS.Menjaga kebersihan tangan dengan baik
dan benar dapat mencegah penularan mikroorganisme dan menurunkan frekuensi infeksi
nosokomial.Kepatuhan terhadap kebersihan tangan merupakan pilar pengendalian infeksi.Teknik yang
digunakan adalah teknik cuci tangan 6 langkah.Dapat memakai antiseptik, dan air mengalir atau
handrub berbasis alkohol.

Kebersihan tangan merupakan prosedur terpenting untuk mencegah transmisi penyebab infeksi (orang
ke orang;objek ke orang). Banyak penelitian menunjukkan bahwa cuci tangan menunjang penurunan
insiden MRSA, VRE di ICU.

Kapan Mencuci Tangan?

 Segera setelah tiba di rumah sakit


 Sebelum masuk dan meninggalkan ruangan pasien
 Sebelum dan sesudah kontak pasien atau benda yang terkontaminasi cairan tubuh pasien
 Diantara kontak pasien satu dengan yang lain
 Sebelum dan sesudah melakukan tindakan pada pasien
 Sesudah ke kamar kecil
 Sesudah kontak darah atau cairan tubuh lainnya
 Bila tangan kotor
 Sebelum meninggalkan rumah sakit
 Segera setelah melepaskan sarung tangan
 Segera setelah membersihkan sekresi hidung
 Sebelum dan setelah menyiapkan dan mengkonsumsi makanan

Alternatif Kebersihan Tangan

 Handrub berbasis alkohol 70%:

– Pada tempat dimana akses wastafel dan air bersih terbatas

– Tidak mahal, mudah didapat dan mudah dijangkau

– Dapat dibuat sendiri (gliserin 2 ml 100 ml alkohol 70 %)

 Jika tangan terlihat kotor, mencuci tangan air bersih mengalir dan sabun harus dilakukan
 Handrub antiseptik tidak menghilangkan kotoran atau zat organik, sehingga jika tangan kotor
harus mencuci tangan sabun dan air mengalir
 Setiap 5 kali aplikasi Handrub harus mencuci tangan sabun dan air mengalir
 Mencuci tangan sabun biasa dan air bersih mengalir sama efektifnya mencuci tangan sabun
antimikroba (Pereira, Lee dan Wade 1997.
 Sabun biasa mengurangi terjadinya iritasi kulit

Enam langkah kebersihan tangan :

Langkah 1 : Gosokkan kedua telapak tangan

Langkah 2 : Gosok punggung tangan kiri dengan telapak tangan kanan, dan lakukan sebaliknya

Langkah 3 : Gosokkan kedua telapak tangan dengan jari-jari tangan saling menyilang

Langkah 4 : Gosok ruas-ruas jari tangan kiri dengan ibu jari tangan kanan dan lakukan
sebaliknya

Langkah 5 : Gosok Ibu Jari tangan kiri dengan telapak tangan kanan secara memutar, dan
lakukan sebaliknya

Langkah 6 : Gosokkan semua ujung-ujung jari tangan kanan di atas telapak tangan kiri, dan
lakukan sebaliknya
PENUTUP

Memutus mata rantai penularan merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah penularan penyakit
infeksi, tetapi harus didukung dengan kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan prosedur yang telah
ditetapkan dalam Standar Prosedur Operasional. Adapun cara memutus mata rantai penularan infeksi
tersebut adalah dengan penerapan “Isolation Precautions” (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari 2
pilar/tingkatan, yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan Standar) dan “Transmission based
Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan).

Promosi secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan dapat meningkatkan daya tahan tubuh.
Selanjutnya perlu perlindungan bagi petugas minimal dengan imunisasi Hepatitis B, dan diulang tiap 5
tahun paska imunisasi.

Kewaspadaan yang konstan dalam penanganan benda tajam harus dilaksanakan sesuai dengan Standar
Prosedur Operasional (SPO). Luka tertusuk Jarum merupakan bahaya yang sangat nyata dan
membutuhkan program manajemen paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap
petugas kesehatan berkaitan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh
lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai