Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA

“CORAK KEBERAGAMAN UMAT ISLAM DI INDONESIA”

Disusun Oleh :
Mochamad Alfan Daniswara ( 171711049 )
Umar Salman Aman ( 171711061 )

PROGRAM STUDI D3 TEKNIK KONVERSI ENERGI


JURUSAN TEKNIK KONVERSI ENERGI
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2018
Kata Pengantar

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya, penyusun mampu
menyelesaikan tugas makalah ini hingga selesai.

Agama islam sebagai sistem kepercayaan di indonesia sejak dulu , dan islam agama
yang telah berkembang empat belas abad lebih di indonesia yang awal mulanya dibawa oleh
para pedagang daerah jazirah arab dan daerah lain sebagainya. Dan karena itulah juga alasan
lainnya umat islam di indonesia memiliki corak keberagaman yang beragam dan tidak
dimiliki oleh negara - negara lain di dunia.

Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan dan
dorongan kedua orang tua serta teman-teman.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Corak Keberagaman
Umat Isam di Indonesia” berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber referensi dan
informasi. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang
datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan.

Semoga makalah ini dapat menjadi amal jariah dan sumbangan pemikiran kepada
pembaca khususnya para mahasiswa Politeknik Negeri Bandung. Penulis sadar bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca dmi makalah yang lebih baik di masa
mendatang.
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan petunjuk bagi manusia menuju jalan yang lurus, benar
dan sesuai dengan tuntunan kitab suci al-qur’an yang telah diajarkan oleh nabi Muhammad
SAW. Kalau dikaitkan dengan konteks perubahan zaman sekarang, bagaimana islam
memandang suatu keberagaman/pluralitas yang ada di negeri ini, bahkan di dunia.
Sebagaimana yang telah disebutkan berkali-kali oleh Allah SWT didalam Al-qur’an. Islam
sangat menjunjung keberagaman/pluralitas, karena kebergaman/pluralitas merupakan
sunnatullah, yang harus kita junjung tinggi dan kita hormati keberadaannya.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki jumlah


penduduk yang sangat banyak juga beraneka ragam suku, budaya dan agamanya. Dan disini
penulis ingin menjelaskan latar belakang masalah dalam corak keanekaragaman umat islam
di indonesia. Karena agama islam merupakan agama mayoritas penduduk indonesia dan juga
agama ialah merupakan suatu hal yang sangat sensitif.

Dengan adanya keberagaman iini, bukan berarti menganggap kelompok, madzhab ataupun
keberagaman yang lain sejenisnya menganggap kelompoknyalah yang paling benar. Yang
harus kita ketahui disini adalah keberagamn sudah ada sejak zaman para sahabat, yaitu ketika
nabi wafat, para sahabat saling mengklaim dirinyalah yang pantas untuk menjadi pengganti
nabi muhammad SAW.
Ajaran islam mengutamakan persaudaraan atau ukhuwwah dalam
menyikapi keberagaman, istilah ukhuwwah dalam menyikapapi keberagaman dijelaskan
dalam qs al-hujurat, 49-50 ‘’Sesungguhnya orang orang mukmin adalah bersaudaran karena
itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
mendapati rahmat” Ketegasan syariah islam memberikan gambaran betapa perhatiannya
islam terhadap permasalahan keberagaman, dengan mengutamakan persaudaraan,
keharmonisan dan perdamaian.

Beberapa hadist memeberikan perumpaan bahwa sesama muslim diibaratkan satu tubuh;

“perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi,
seumpama tubuh, jika satu tubuh anggota sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah
tidur atau merasakan demam” (HR.Muslim)

Perumpamaan yang lain mengibaratkan bangunan;

“orang mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian
menguatkan sebagian yang lain” (sahih Muslim no.4684)

Penyebab munculnya pengelompokan-pengelompokan/aliran-aliran dalam Islam antara lain :

1.Perkara keislaman baru yang diada-adakan, tanpa bimbingan para salafush shalih

2.Adanya pergolakan politik dalam negeri,

3. Mengalirnya pemikiran Non muslim

4. Akibat proses perubahan kultural danp politik, dari masyarakat tradisional ke modern dan
dari politik regional ke dunia.

5. Kultural atau proses budaya yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu nenkk moyang nya.
Beragam kalangan bersuara dalam menanggapi isu ini. Dan dalam hal ini
Perbedaan keberagaman umat islam baik dari budanya atau beberapa adat nya di latar
belakangi oleh berbagai indikasi, mulai dari sifat turun temurun yang sudah dilakukan sejak
dahulu kala oleh nenek moyangnya dan juga ada yang berasal dari adat atau kebiasaan
sumber pembawa agama islam yaitu timur tengah.

Di dalam hal ini, kebiasaan atau adat yang dimiliki oleh suatu umat islam di indonesia ini
banyak yang menganggap merupakan suatu hal yang yang diluar dari ajaran islam
sesungguhnya, juga ada yang menganggap itu merupakan suatu ajaran islam yang ekstrimis
atau berlebihan.

Salah satu masalah yang serius dalam menyikapi keberagamaan adalah


masalah klaim kebenaran. Padahal untuk mencapai kepasrahan yang tulus kepada Allah
(makna generik dari kata islam) diperlukan suatu pemahaman yang sadar dan bukan hanya
ikut-ikutan.

Oleh sebab itu, sikap kelapangan dalam mencapai kebenaran ini adalah makna terdalam
keislaman itu sendiri. Diceritakan dalam hadist, Rasulullah bersabda kepada sahabat Utsman
bin Mazhun, “ Dan sesungguhnya sebaik-baik agama disisi Allah adalah semangat pencarian
kebenaran yang lapang (Al Hanifiyah Al Samhah)”.

Dalam berdakwah kita harus mengutamakan keikhlasan, kebijaksanaan, dan cara-cara


argumentatif lainnya (interfaith dialogue). Tiap agama mempunyai logikanya sendiri dalam
memahami tuhan dan firmannya, kedua bahwa dialog bukanlah dimaksudkan untuk saling
menyerang tetapi adalah upaya untuk mencapai kesepahaman, dan mempertahankan
keyakinan kita

“Katakanlah olehmu (wahai Muhammad) wahai Ahli kitab marilah menuju ketitik pertemuan
antara kami dan kamu” (QS. Ali Imran ayat 64)
Agama sebagai Salah Satu Parameter Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Adapun Islam dalam menaggapi perbedaan dalam persatuan dan kesatuan bangsa adalah :

Konsep Toleransi dalam Islam

Radikalisme Islam mendorong Barat memelihara isu “:teroris Islam” agar tersebarya
virus islamophobhia dan ikut memberantas Islam atas dasar radikalisme Islam. Menghapus
citra Islam dengan mengatakan, “Islam adalah agama yang intoleransi”.

Islam adalah agama yang sangat toleransi. Jelas ini tidak pantas jika Islam dituduh
agama yang ekstrim dan radikal. Apalagi dengan mengatakan Al Qur’an dan Nabi
Muhammad sebagai inti dari semua teror.

Islam mengakui keberagaman ada, termasuk keberagaman dalam agama. Dalam Islam
seorang muslim dilarang memaksa orang lain untuk meninggalkan agamanya dan masuk
Islam dengan terpaksa, karena Allah telah berfirman:

‫ال إكراه في الدين‬

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”(QS. Al Baqarah ayat 256)

Sejarah telah mengabadikan kepemimpinan Rasulullah shallallahu álaihi wassalam


dan sikap tasamuh beliau dalam memperlakukan penduduk Madinah yang plural. Seperti
yang tertulis dalam “Piagam Madinah” (shahifah madinah). Diantara isi piagam
disebutkan tentang adanya kesepakatan, bahwa jika ada penyerangan terhadap kota
Madinah atau penduduknya, maka semua ahlu shahifah (yang terlibat dalam
Piagam Madinah) wajib mempertahankan dan menolong kota Madinah dan
penduduknya tanpa melihat perbedaan agama dan qabilah.
2. Rumusan Masalah

Yang menjadi masalah dalam hal keberagaman corak umat islam di indonesia ini ialah :

1. Bagaimana perbedaan corak dan ragam umat islam di indonesia ini bukanlah menjadi suatu
indikasi yang membuat perpecahan umat muslim di indonesia.

2. Bagaimana Keberagaman umat islam indonesia ini menjadi pemersatu umat Islam .

3.Bagaimana bisa terjadi keberagaman corak umat islam di indonesia.

3. Tujuan Pembahasan

1.Mengenal berbagai corak keberagaman umat islam di indonesia.

2.Menjadikan keberagaman corak umat islam di indonesia sebagai pemersatu bukan menjadi
pemecah belah.

3.Menjadikan kita sebagai mahasiswa agar menjalankan fungsinya yaitu Guardian value,
social control, dan moral forces .
BAB 2
PEMBAHASAN

Jika seseorang menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memeluk


agama islam, maka setiap orang menerimanya tanpa keberatan apapun. Demikian pula, ketika
seseorang menyampaikan berita bahwa di era reformasi ini terbukti banyak terjadi koupsi,
kolusi, nepotisme (KKN), bahkan sampai lapisan masyarakat paling bawah, mereka juga
menerimanya, meskipun dengan berat hati. Penyimpulan deduktif yang dilakukan, dengan
rumusan secara pasti, bahwa sebagian dari pelaku KKN ini adalah pemeluk ajaran islam, juga
terpaksa diterima, bukan hanya alur silogismenya yang koheren tetapi juga naluri mengatakan
demikian.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keberagamaan di Tanah Air sesungguhnya


tidak bisa dipisahkan dari unsur penting, yaitu politik dan kebudayaan. Keduanya
memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi pola keberagamaan. Di satu sisi,
keterlibatan agama dalam politik tidak bisa diabaikan, yang ditandai dengan menguatnya
identitas keagamaan dalam ranah politik. Namun di sisi lain, keterlibatan kebudayaan sebagai
bagian integral dalam pola keberagamaan tidak bisa diabaikan begitu saja.

Salah satu contoh yang cukup menarik adalah ekspresi keagamaan orang-orang Jawa.
Identitas keberagamaan masyarakat Muslim di Jawa sangatlah plural. Uniknya keragaman
tersebut masih eksis hingga sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi keberagamaan
ditentukan oleh banyak faktor, baik itu politik, sosial, paham keagamaan, maupun
kebudayaan. Potret masyarakat Muslim Jawa yang plural itu akan memberikan warna
tersendiri dalam ranah sosial politik, terutama dalam rangka membangun semangat
kebangsaan.

Sebagai suatu unsur dalam peubahan sosial, proses aplikasi agama islam dalam
transformasi sosial budaya bangsa indonesia dapat diurai menjadi bebeapa satuan analisis.
Anatomi sosial ini meliputi ajaran islam itu sendiri , bangsa indonesia yang mengamalkannya
dan medan kegiatan yang ditandai oleh gejala transfomasi sosial budaya.
Masing-masing satuan analisis ini dapat didudukan dalam lingkungannya sendiri karena
berpikir adalah manipulasi lingkungan tanpa aktifitas fisik.

Sunnah sebagai petunjuk al Qur’an dalamm kehidupan praktis, sejak wahyu petama
sampai yang terakhir, memiliki tipologi akumulasi perbuatan dan tingkah laku kebeagamaan
di semua lapisannya, sehingga lahirlah pola atau manhaj tertentu. Konseptualisasi gejala ini
dapat dirumuskan menjadi teminologi Manhaj at Tadayyun al Nabawy. Kaena manhaj
tadayyun atau pola keberagamaan ini mampu membei pemecahan masalah konkrit atas
poblem masyarakat pemeluk, maka yabg harus ditemui adalah kekuatan yanf terkandung di
dalamnya.Masing-masing manhaj memiliki terdiri atas unsur-unsur diantaranya yaitu
lingkup keberagamaan, satuan perilaku beragama, bentuk hubungan antaa satuan satu dengan
yang lainnya, tipologi bentuk keseluruhannya.

Selain unsur-unsur tersebut, ada pula unsur-unsur yang berpotensi dan sudah dalam
wujud aktual, untuk membentuk kekuatan beragama. Unsur pertama adalah proses syahadat
yang memang secara langsung menyentuh kebanaran islam. Dalam kondisi seperti ini, maka
peluang tumbuhnya khawatir yang berorientasi pada tumbuhnya agama hanya merupakan
produk otomatis dalam proses kesadaran seseorang. Unsur lain yang benarbenar menentukan
adalah tingkat kualitas dan bentuk penghayatan seseorang akan imannya kepada Allah SWT.
Potensi maksimaluntuk membentuk perbuatan dan peilaku beragama akan sangat ditentukan
oleh penghayatan yang tidak mengacu kepada eksistensi, melainkan pada peran keberadaan
tuhan dalam diri orang beriman.
BAB 3
RANGKUMAN

Corak keragaman umat muslim indonesia


1.ACEH

Pembangunan masjid di Bali sejak abad XIV hingga sekarang mengalami akulturasi
dengan unsur arsitektur tradisional Bali atau menyerupai stil wantilan. Akulturasi dua unsur
seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam di
Bali tampak berbeda dengan bangunan masjid di jawa maupun daerah lainnya di indonesia

Pemeluk agama Islam di Aceh merupakan mayoritas, dibandingkan dengan agama-


agama lain. Salah satu contoh corak keberagamaan masyarakat muslim di Aceh terlihat
dari Parlemen Aceh yang akhirnya mengesahkan Qanun Hukum Jinayah sebagai pedoman
baru pelaksanaan syariat Islam. Penerapan hukum Islam berupa cambuk dan denda emas bagi
pelanggar syariat, termasuk non-muslim dan anak-anak, segera berlaku di provinsi
itu. Peraturan tersebut tentu berbeda dengan peraturan yang ada di provinsi selain Aceh.
Dengan disahkannya Qanun Hukum Jinayah, maka di Aceh akan berlaku hukuman
cambuk atau denda dengan bayar emas murni bagi pelaku pemerkosaan, perzinaan, pelecehan
seksual, praktik gay, lesbian, mesum, perjudian, mengonsumsi minum keras dan bermesraan
dengan pasangan bukan muhrim. Bukan hanya pelaku, orang yang ikut menceritakan ulang
perbuatan atau pengakuan pelaku jarimah secara langsung atau melalui media juga dikenakan
hukuman cambuk.
Sanksi cambuk bukan hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam. Warga non-
muslim, anak-anak dan badan usaha yang menjalankan bisnisnya di Aceh, jika melakukan
pelanggaran syariat, juga akan dikenakan hukuman dalam qanun ini. Hanya saja bagi non-
muslim diberi kelonggaran yakni bisa memilih apakah diproses dengan qanun atau hukum
nasional yang berlaku.
Selain itu corak keberagamaan muslim di aceh terlihat dari tradisi orang Aceh yang
menganggap musholla lebih signifikan dibandingkan dengan masjid. Menurut Andrew
Beatty, karena hidup berkeluarga adalah arena utama dari kehidupan social dan bidang di
mana tindakan moral dibentuk dan dinilai, maka musholla memiliki arti penting praktis yang
lebih besar. Sebuah desa di Aceh dapat bertahan tanpa masjid karena shalat Jumat dilakukan
di sebuah mesjid kemukiman. Tetapi tanpa mushalla (Meunasah), maka kesalehan akan
terhenti menjadi patokan normatik: kewajiban skriptual tetap kewajiban, tetapi solidaritas
sesame muslim akan memudar.

1. TANAH GAYO
Dataran Tinggi Gayo adalah daerah yang berada di salah satu bagian punggung
pegunungan Bukit Barisan yang membentang sepanjang Pulau Sumatera.Secara administratif
dataran tinggi Gayo meliputi wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan kabupatenBener
Meriah serta kabupaten Gayo Lues. Tiga kota utamanya yaitu Takengon, Blang
Kejeren dan Simpang Tiga Redelong.

CORAK KEBERAGAMAAN ISLAM MASYARAKAT GAYO


a. Sistem pemerintahan
Meskipun sistem pemerintahan dari kerajaan Islam Aceh, mempunyai pola umum
yang sama untuk seluruh wilayahnya, tetapi sistem pemerintahan di Tanah Gayo mempunyai
“ciri-ciri” tersendiri.
Sistem yang berdasarkan Hukum Adat.Hukum Adat bersumber dan berlandaskan
hukum Islam.Hukum Adat tidak tertulis.Tetapi hukum Islam adalah hukum tertulis,
berdasarkan Qur’an dan Hadits Nabi.Jadi meskipun hukum adat tidak tertulis, tetapi sumber
dan landasannya adalah hukum tertulis yaitu dari Qur’an dan Hadist Nabi.
Keputusan mengenai hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam, maka
setelah mendengarkan pendapat Imam, hukum adat harus dikesampingkan dan hukum Islam
yang harus dilaksanakan. Hukum Islam adalah kuat terhadap hukum adat dalam pelaksanaan
hukum di Tanah Gayo. Hubungan antara kedua hukum adat dan hukum agama ini adalah
jalin berjalin yang sangat erat, sebagaimana dilukiskan dalam kata-kata adat Gayo “Hukum
ikanung edet, edet ikanung Agama”. Artinya setiap hukum mengandung adat, dan setiap adat
mengandung agama. Hukum adat adalah anak kandung dari hukum agama.
Dengan perkataan lain, hukum adat di dalam pemerintahan Tanah Gayo pada
hakikatnya adalah merupakan “pancaran dari hukum Islam.” Walaupun demikian sering juga
terjadi praktek sengketa antara hukum adat dengan hukum agama yang kadang-kadang
hukum Islam dikesampingkan. Hal ini dapat terjadi dalam hal, apabila sang raja tidak
mengerti ajaran agama dan hukum-hukum Islam atau karena sang raja berlaku sewenang-
wenang atau oleh faktor-faktor lain.
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam kata-kata adat Gayo ini menggambarkan
sesuatu pemerintahan berdasarkan hukum adat yang bersumber dari hukum Islam dengan
mengindahkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Suatu prinsip gotong royong yaitu
semacam sistem demokrasi yang dikenal zaman ini.

b. Struktur Sosial Masyarakat Gayo


Lapisan ulama merupakan lapisan sosial yang sangat mulia di mata masyarakat etnik
Gayo. Lapisan ini muncul berdasarkan penguasaan ilmu agama Islam yang luas.Lapisan
ulama ini tidak dapat diturunkan kepada anaknya, sebab yang menjadi ulama ditentukan oleh
dasar tingginya ilmu agama yang dikuasainya. Siapa saja berhak menjadi alim ulama, asal
mampu memenuhi syarat-syarat sebagai seorang ulama, yaitu selain tinggi ilmu agamanya,
juga pembawaannya haruslah kelihatan mempunyai wibawa yang tinggi di mata masyarakat,
pandai berdakwah, jujur, bijaksana, rajin dan harus yang rajin beribadah.
Agar menjadi anak yang saleh, maka sejak berumur 6 tahun, anak-anak suku Gayo
pada saat itu diharuskan belajar mengaji Al Qur’an, belajar rukun sembahyang, rukun Islam,
rukun Iman dan lain-lainnya yang berhubungan dengan keagamaan.
Pada waktu dulu banyak anak-anak lelaki Gayo pergi menuntut ilmu agama ke
pesantren-pesantren kenamaan seperti di Padang, Bukit Tinggi, dan bahkan ada pula yang
sampai menyeberang ke pulau Jawa sana, yaitu di pesantren Tebu Ireng, Gontor, dan
sebagainya. Setelah menamatkan pendidikannya di Pesantren-Pesantren tersebut, mereka
akan kembali ke tanah asalnya dan membawa banyak perubahan pada masyarakat Gayo,
terutama mereka umumnya banyak yang mendirikan sekolah-sekolah keagamaan di kampung
mereka.

c. Bidang Kepercayaan
Dalam bidang kepercayaan masyrakat etnik Gayo juga mempercayai adanya kekuatan
gaib dan kekuatan sakti.Mengenai wujud dari kekuatan-kekuatan gaib tersebut dapat dilihat
dalam bentuk kegiatan talak bele (menolak bahaya). Jika ada wabah penyakit yang melanda
daerah mereka, maka masyarakat setempat akan bersama-sama untuk melakukan upacara
tolak bele, agar mereka terhindar dari penyakit tersebut.
Upacara ini dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap angker atau keramat,
misalnya dibawah pohon besar atau di tepi Danau Laut Tawar. Upacara ini dilakukan dengan
cara menyediakan sesaji berupa makanan agar balum bidi dan telege (sumur) Reje Linge
tidak mengambil atau menelan orang yang mandi di sungai atau di danau Laut Tawar
tersebut.
Upacara keagamaan pada hari-hari besar Islam juga dirayakan, seperti upacara Maulid
Nabi sebagai upacara bersejarah bagi umat Islam yang dilakukan pada setiap tahunnya pada
bulan Rabiulawal. Dahulu setiap mersah melakukan upacara ini dengan mengundang tamu-
tamu dari mersah lainnya. Bagi mereka yang cukup mampu selalu membawa hidangan
makanan untuk dimakan pada acara tersebut, dan bagi mereka yang kurang mampu akan
melakukan kerjasama dengan rumah-rumah lain untuk sama-sama membuat sebuah hidangan
untuk disajikan pada acara itu juga.
Pelaksanaan upacara selalu dipimpin oleh Imam mersah masing-masing. Setelah
upacara selesai, maka akan disertai dengan zikir sampai selesai, dan pada akhir acara
tersebut, tibalah saatnya untuk makan bersama-sama. Sekarang proses upacara yang besar
seperti ini sudah sangat jarang sekali dilakukan pada masyarakat suku Gayo. Saat ini, mereka
hanya melakukan upacara Maulid Nabi SAW dengan acara sederhana tanpa ada acara
hiburan rakyat lagi, mereka memperingati acara tersebut dengan sangat sederhana, Begitu
juga dengan upacara-upacara lainnya.(Rusdi dkk., 1998:91-92).

2. SIDODADI
Sidodadi merupakan salah satu gampong yang ada di kecamatan Simoang Kanan,
Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, Indonesia

CORAK KEBERAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM SIDODADI


Kenyataannya muslim Sidodadi memang memiliki sebutan tersendiri terkait
orientasikeagamaan mereka, yakni orang Sunnah dan orang Yasin.
§ Istilah orang Sunnahterkadang digunakan secara bertukaran dengan istilah orang Pengajian

§ istilah orang Yasin juga digunakan bertukaran dengan orang Perwiridan (muslim tradisionalis

Perbedaan
Orang Sunnah Orang Yasin
Tidak menyelenggarakan tahlil Secara berkala membaca tahlil bersama,
termasuk tahlil untuk orang meninggal
Seorang muslim tidak membungkukkan Mentradisikan orang lebih muda
badan sedikitpun saat bersalaman mencium tangan orang lebih tua.
Bersalam-salaman tidak harus Melakukan salaman setelah shalat
dilakukan setelah selesai shalat

Kontestasi kesalehan antara kedua kelompok berlangsung dinamis, dalam beberapa kasus
memunculkan ketegangan sosial dan rekonsiliasi antara kedua belah pihak.
· Orang Yasin misalnya mendukung tradisi pesejeuk (kenduri) saat mendirikan rumah, baca
yasin bersama, tahlilan, membacakan talkin untuk mayat yang barudikuburkan, sampai
dengan pementasan orgen tunggal dalam acara resepsi pernikahan.
· Orang Sunnah menentang semua tradisi tersebut karena tidak ditemukanlandasan hukumnya
dalam al-Qur'an dan hadist. Tradisi baca yasin bersama menurutorang sunnah sama bid'ahnya
dengan pementasan orgen tunggal saat resepsi pernikahan.
Meskipun orientasi keberagamaan orang Sunnah berbeda dari orang Yasin, keduanya
masih tetap berpijak pada landasan yang sama. Al-Quran dan hadis tetap dijadikan acuan
utama dalam membangun otoritas kehidupan agama. Definisi serta wilayah cakupan agama
juga diturunkan oleh keduanya melalui dua sumber ajaran Islam ini. Tetapi masing-masing
pihak ingin merealisasikan ideal yang terkandung dalam teks suci ke dalam kehidupan nyata
dalam versinya masing-masing. Kedua belah pihak menempuh jalan yang berbeda dalam
menghampiri Islam.

B. Di Bali
Islam di Bali merupakan agama minoritas yang dianut oleh 520.244 jiwa atau 13,37%
dari 3.890.757 jiwa penduduk Bali. Konsentrasi terbesar umat Islam di Bali terdapat di Kota
Denpasar dengan jumlah 200 ribu jiwa lebih. Islam masuk ke Bali diperkirakan pada abad ke-
13 dan 14 melalui Kerajaan Gelgel, namun tepatnya belum ada penelitian yang pasti.
Penelitian tentang asal muasal Islam di Bali masih terhitung langka. Sangat sulit untuk
mendapatkan sumber tertulis mengenai sejarah masuknya Islam ke pulau Bali pertama kali.

Pembangunan masjid di Bali sejak abad XIV hingga sekarang mengalami akulturasi
dengan unsur arsitektur tradisional Bali atau menyerupai stil wantilan. Akulturasi dua unsur
seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam di
Bali tampak berbeda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia.
Agama Islam dan Hindu, Sesungguhnya memiliki banyak persamaan bahkan terjadi
akulturasi menyangkut seni dan budaya dari kedua agama tersebut di Bali . Bukti lain dari
terjadinya akulturasi Islam–Hindu adalah di Desa Pegayaman–Buleleng, Kepaon–Denpasar,
serta Desa Loloan Di Jembrana. Di desa Pegayaman misalnya sebagian besar warganya
memeluk agama Islam, namun nama depan sebagian besar warganya sama seperti orang Bali
pada umumnya, sehingga muncul nama seperti misal Wayan Muhammad Saleh atau Made
Jalaluddin. Dalam Budaya, umat Islam Bali telah ‘berbaur’ dengan budaya setempat, terlihat
dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat
masyarakat Bali Hindu.
Dalam pengairan bidang pertanian tradisional (Subak) misalnya, umat muslim
menerapkan cara dan pola pengaturan air seperti yang dilakukan petani yang beragama
Hindu, meskipun cara mensyukuri saat panet berbeda. Propinsi Bali membentuk wadah
komunikasi antar umat beragama untuk mengadakan komunikasi dan menjembatani berbagai
permasalahan yang menyangkut anatar umat beragama. Pembentukan wadah tersebut,
awalnya mengantisipasi konflik yang bernuansa kesukuan, agama, ras, anatar– olongan (
SARA) yang sempat melanda di beberapa daerah di Indonesia. Gagasan yang mendapat
dukungan dari semua pihak itu terbukti mampu menciptakan kehidupan yang lebih akrab,
saling menghormati dan menghargai serta melindungi satu sama lain.
Kampung Kecicang Islam berada di kawasan Banjar Dinas Kecicang Islam, Desa
Bungayan Kangin, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Kampung ini adalah
kampung Islam terbesar di Kabupaten Karangasem, Bali dengan penduduk mencapai 3.402
kepala keluarga. Penduduk Kampung Kecicang mempercayai bahwa leluhur mereka berasal
dari penduduk kawasan Tohpati Buda Keling. Setelah raja mereka meninggal, raja baru
memindahkan penduduknya dari Tohpati ke Kecicang dengan cara membuka hutan. Nama
Kecicang sendiri diambil dari nama bunga berwarna putih yang biasa dimasak oleh
masyarakat setempat. Namun, sebagian penduduk mengatakan bahwa Kecicang berasal dari
kata incang-incangan yang berarti 'saling mencari saat perang pada zaman kerajaan'.
Berbeda dari mayoritas penduduk Bali yang beragama Hindu, seluruh warga
Kampung Kecicang menganut Islam. Nuansa Islami pun begitu kentara di kampung yang
sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai pedagang dan petani itu.
Salah satu bukti nyata eksistensi Islam di Kampung Kecicang adalah keberadaan
Masjid Baiturrahman. Masjid yang telah berdiri sejak akhir abad 17 itu tak sekadar menjadi
tempat ibadah, tapi juga menjadi ikon dan identitas Muslim Kecicang. Selain masjid, nuansa
Islam di kampung ini dapat dirasakan melalui beragam tradisi kearifan lokal yang masih
dilestarikan oleh masyarakatnya. Warga Kecicang memiliki tari-tarian khas bernama Tari
Rudat yang merupakan akulturasi budaya Bali dan Timur Tengah. Mereka juga menjalankan
tradisi ritual keagamaan seperti tahlil, ziarah, dan selamatan.
Sebagaimana masyarakat Muslim di Bali lainnya, hubungan antara masyarakat
Kecicang Islam dengan mayoritas penganut Hindu di Bali terjalin harmonis sejak lama.
Keharmonisan ini dibuktikan saat pelaksanaan tradisi tahunan salat Idul Fitri, di mana
sejumlah pecalang (polisi adat) turut serta membantu mengamankan hari raya umat Islam
tersebut. Demikian pula sebaliknya, ketika umat Hindu merayakan Nyepi, Muslim Kecicang
turut pula menjaga keamanan dan memberi hadiah makanan.

C. Di Yogyakarta
Yogyakarta merupakan kota yang penuh dengan berbagai macam adat dan budaya,
masyarakat Yogyakarta yang mayoritas beragama islam, banyak memadukan antara unsur
agama islam dengan adat-adat dan kebiasaan lokal di daerah tersebut.
Hubungan dan kolaborasi antara Islam dengan budaya lokal tidak lagi dipandang
sebagai unsur yang saling menaklukan atau ditaklukan, namun saat ini telah dipandang
sebagai dua hal yang saling melengkapi dan semakin menunjukkan kekayaan atau
keberagaman ekspresi budaya Islam, setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan
budaya lokal.
Islam tidak selalu dipandang sebagai agama yang kaku, islam dapat menerima dan
mengapresiasi budaya lokal selama itu tidak melenceng dari nilai-nilai islam. Di sisi lain,
budaya lokal tidak pulaselalu kita pandang sebagai bagian yang harus selalu mengalah
kepada Islam, namun budaya lokal pasti mempunyai kacamata tersendiri dalam
mengekspresikan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang seperti ini memberikan
sikap saling menghargai antara kedua perspektif tersebut
Pada zaman kerajaan islam terdahulu, kebudayaan masyarakat Yogyakarta masih
kental dipengaruhi oleh ‘warisan’ budaya Majapahit dan Syiwa Budha, namun sedikit demi
sedikit sudah mulai diarahkan pada budaya dan pola interaksi yang islami. Di sinilah peran
Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah, memberikan andil yang begitu besar. Hasilnya adalah
terdapat sejumlah upacara kerajaan yang telah diislamisasi sebagai syiar Islam di tengah
masyarakat, seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang
masih ada hingga kini.
1. Upacara Sekaten
Kata sekaten dari bahasa Arab syahadatain, yang artinya dua syahadat, merupakan
nama dua buah gamelan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan ditabuh pada hari-hari
tertentu atau pada Perayaan Maulud Nabi di Masjid Agung. Pendapat lainya menyatakan
bahwa, kata sekaten, berasal dari bahasa Arab, yaitu syshadatain, yang berarti dua Syahadat
atau kesaksian. Dua syahadat itu ialah syahadat auhid, dan syahadat rasul.

Menurut sejarahnya, perayan Sekatan bermula sejak zaman kerajaan islam Demak.
Meski sebelumnya, ketika jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan
semacam Sekaten yang disebut “Serdaagung” itu sudah ada. Perayaan yang menjadi tradisi
kerajaan Majapahit tersebut, berupa persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan
mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.
Penguasa keraton Yogyakarta, sampai sekarang masih melestarikan perayaan Sekaten
untuk memperingati Maulud Nabi. Perayaan Sekaten itu merupakan salah satu bentuk
perpaduan unsur Islam dan Budaya Jawa. Sedangkan unsur yang tidak dapat disatukan,
seperti pemujaan arwah leluhur tidak dilakukan.
Puncak dari perayaan sekaten adalah upacara Grebeg yang merupakan ritual budaya
untuk memperingati hari Kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Gelaran sekaten biasanya
dilangsungkan hingga 40 hari, belakangan hanya dilaksanakan 20 hari.

2. Upacara Grebeg
Garebeg adalah upacara adat Kraton Yogyakarta yang diselenggarakan tiga kali dalam
satu tahun untuk memperingati hari besar Islam. Mengenai Istilah, Garebeg ini berasal dari
bahasa Jawa “Grebeg” yang berarti “diiringi para pengikut”, yakni upacara menghantarkan
Sultan dari Keraton menuju masjid untuk mengikuti Perayaan Maulud Nabi Muhammad saw.
yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal Istana lengkap dengan nasi gunungannya.
Pengertian lain mengatakan bahwa Gunungan itu di perebutkan warga masyarakat
yang berarti di Grebeg atau Garebeg. Pelaksanaan upacara Tersebut bertepatan dengan hari-
hari besar Islam seperti :
a. Garebeg syawal
b. Garebeg besar
c. Garebeg maulud

3. Wayang
Merupakan sarana yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media
mendakwahkan Islam (dakwahtainment). Wayang yang sudah ada sejak Kerajaan Kahuripan
itu menjadi salah satu hiburan masyarakat yang paling populer.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, TT, Kehidupan Masyarakat Jogja yang Islami, (diakses 14 Mei 2016)
Prasetya, Eka, 2014, Budaya Makanan Ciri Khas Yogyakarta (diakses 14 Mei 20160
Kamseno, Sigit, 2015, Ragam Peringatan Maulid Nabi di Indonesia, (diakses 14 Mei 2016)
2. Ansor, Muhammad. Berebut Paling Saleh: Kontestasi Orang Yasin dan Orang Sunnah di Sidodadi
Kabupaten Aceh Tamiang, www.eprints.uinsby.ac.id diakses pada tanggal 21 Mei 2016 pukul
07.00 WIB.
3.AHMAD MANSUR SURYANEGARA,API SEJARAH 2,(BANDUNG:GRAFINDO,2014),978-602-84-
5898-6,596)
4.E BOOK ISLAM NUSANTARA(1 AGUUSTUS 2015)
5.WWW.studis2farmasia2016kel13.blospot.co.id
PENUTUP

Terkait dengan konsep keberagaman dalam beragama beserta wujud implementasi


hadits, maka dapat dibatasi dalam suatu rumusan konsepsi bahwa tingkat keberagamaan
harus diukur dari aspek aqidah, ibadah, dan akhlaknya. Tetapi, karena aqidah merupakan hal
yang bersifat abstrak dan penelusurannya sangat sulit melalui inderawi, maka konsepsi
tingkat keberagamaan seseorang dapat ditelusuri melalui rutinitas pelaksanaan ibadahnya dan
penampilannya melalui akhlaknya.
Rutinitas pelaksanaan ibadah, tercakup di dalamnya ibadah wajib dan sunnah. Pada masalah
akhlak, tercakup di dalamnya akhlak al-mahmudah dan akhlak mazmumah.

Akhlak al-mahmudah misalnya kepatuhan terhadap kedua orangtua, menghormati guru dan
etika dalam berpakaian. Sedangkan akhlak mazmumah adalah membantah kedua orangtua,
tidak menghormati guru dan tidak beretika dalam menggunakan pakaian.

Kategori kedua dan terakhir yang disebutkan di atas, walaupun tidak menjalankan ajaran
agama secara konsekuen, tetapi mereka tetap percaya akan adanya Tuhan, bahkan telah
mempersaksikannya melalui syahadat, maka minimal mereka menempati kategori Mukmin
dalam arti percaya terhadap Tuhan.

Dengan batasan konsepsi di atas, maka wujud Konsep keberagaman dalam beragama
seseorang juga beravariasi, ada yang berkategori tinggi, berkategori sedang dan berkategori
rendah. Kategori tinggi, sedang dan rendahnya keber-agamaan seseorang terlihat dari realiasi
pengamalannya terhadap ajaran-ajaran agama, baik yang menyangkut dengan aspek ibadah
maupun aspek akhlak.

Daftar Pustaka

“API SEJARAH 2”

Anda mungkin juga menyukai