Anda di halaman 1dari 7

Referat

PATOGENESIS RINITIS KRONIK ALERGI (RKA)

Oleh :

Ariyati Ningsih
NIM 1608438314

Pembimbing
dr. Harianto, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2018
PATOGENESIS RINITIS KRONIK ALERGI (RKA)

I. DEFINISI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi yang ditandai dengan
kelainan pada hidung yaitu gejala bersin-bersin, rinore (sekresi mukus hidung yang
berlebihan), rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar oleh alergi
yang diperantarai oleh Ig E (Imunglobulin E).1, 2
Reaksi alergi terdiri dari dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction
atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) diperantarai-antibodi yang berlangsung sejak
kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau
reaksi alergi fase lambat (RAFL) diperantarai dengan pengaktifan limfosit yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsug 24-48 jam.1, 2
Rinitis kronik alergi (RKA) merupakan suatu penyakit inflamasi kronis
pada membran mukosa hidung disebabkan oleh infeksi yanng berulang. RKA dibagi
dalam beberapa macam yaitu rinitis hipertrofi dan rinitis atrofi yang ditandai adanya
atofi progresif pada mukosa, tulang konka dan pembentukkan krusta. Rinitis kronis
alergi yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat dijumpai pada rinitis vasomotor
dan rinitis medikamentosa.3,4,5

II. CARA MASUKNYA ALERGEN


Cara masuknya alergen dibagi atas :1
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernafasan, misalnya tungau
debu rumah (D. pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa seripahan epitel kulit
binatang (kusing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur
(Aspergilus,Alternaria).
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
sususapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.

2
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga
tahap besar:1
1. Respon primer :
Terjadi proses eliminasi dan fogositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non sesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.
2. Respons sekunder :
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem
imunitas selular atau humoral atau kedua–duanya di bangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier :
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

III. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala Rhinitis Alergi : 1,2
1. Bersin berulang-ulang, terutama pagi hari atau terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu (mekanisme fisiologik akibat dilepaskannya histamin yaitu
proses membersihkan sendiri (cleaning process)).
2. Sekresi hidung yang berlebih/hidung meler (rinore) akibat hipersekresi
kalenjar mukosa, sel goblet dan permeabilitas kapiler meningkat. Cairan yang keluar
biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau
kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
3. Hidung tersumbat dan Hidung gatal (pruritus mukosa hidung) akibat
vasodilatasi sinosoid dan terjadi rangsangan ujung saraf vidianus oleh histamin.
Gatal tenggorokan, kemerahan pada konjungtiva dan gatal pada mata serta lakrimasi
.

3
Gambar 1. Proses masuknya alergen.2

IV. PATOGENESIS
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cell/APC) akan
menangkap alergen yang menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II
(major histo-compatibility complex) yang kemudian sel penyaji akan melepas sitokin
seperti interleukin 1 ( IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4,
IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
Imunoglobulin E (IgE).1
Imunoglobulin E (IgE) di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat
oleh resptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga
kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel
mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin.

4
Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), Bradikinin, platelete
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL 3, IL 4, IL 5, IL 6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut reaksi
alergi fase cepat (RAFC).1
Histamin akan merangsang H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).1
Pada RAFC, sel matosist juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8
jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan
jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL4, IL5 dan Granulocyte
Mecrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), dan Eosinophilic Perioxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1

5
Gambar 3. Mekanisme Imunologik pada Rinitis Alergi.1

6
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rhinitis Aleri. Dalam :Soepardi
EA, Iskandar N, bashiruddin J, Restutu RD, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: FKUI;
20012. P: 106-111
2. Solomon WR. Gangguan Alergi Umum (Diperantarai IgE). Dalam: A.P
Sylvia, M.W Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. EGC. Jakarta : 2006. P: 163-175.
3. Dhingra P.L.Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L,ed Disease of
Ear, Nose and Throat. Edisi 4. New Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. P: 152-
3. Diunduh dan diakses tanggal 13 Maret 2018. dari
https://books.google.co.id/books?id=0ByMBgAAQBAJ&lpg=PA152&ots=B
iEC5SruCa&dq=dhingra%20PL%20acute%20and%20chronic%20rhinitis&p
g=PA153#v=onepage&q=dhing
4. Soetjipto D, Wardani RS. Rinitis Vasomotor. Dalam :Soepardi EA, Iskandar
N, bashiruddin J, Restutu RD, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: FKUI; 20012. P.
113-4.
5. Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rinitis Medikamentosa. Dalam :
Soepardi EA, Iskandar N, bashiruddin J, Restutu RD, eds. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edisi 7.
Jakarta: FKUI; 2012. P. 115.

Anda mungkin juga menyukai