Anda di halaman 1dari 20

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT Laporan Kasus

DAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS September 2017


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

ASMA

Disusun Oleh:
NURHIDAYAH C11111120
ASRIANI INDAH YULIANI C11111185

Pembimbing:
dr. Alifiah Ayu Delima

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
DAFTAR ISI

SAMPUL ………………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI ………………………………………………………...........2
HALAMAN PENGESAHAN …...……………………..…………............3
BAB I. LAPORAN KASUS …...……………………..…………............... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.……………………..…………..............12
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...25
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Nurhidayah C11111120


Asriani Indah Yuliani C11111185

Laporan Kasus: ASMA

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Keluarga, Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.

Makassar, September 2017

Pembimbing

dr. Alifiah Ayu Delima


BAB I
LAPORAN KASUS
KEDOKTERAN KELUARGA
ASMA

Data Riwayat Keluarga:

I. Identitas Pasien :
Nama : Tn. L
Umur : 29 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl.Perintis kemerdekaan lr 9 No 6
Status Pasien : BPJS
Waktu Pemeriksaan : Selasa, 27 september 2017
II. Riwayat Biologis Keluarga :
a. Keadaan kesehatan sekarang : Sedang
b. Kebersihan perorangan : Baik
c. Penyakit yang sering diderita: Sesak
d. Penyakit keturunan : Tidak ada
e. Penyakit kronis/menular : Tidak ada
f. Kecacatan anggota keluarga : Tidak Ada
g. Pola makan : Baik
h. Pola istirahat : Sedang
i. Jumlah anggota keluarga : 2 orang
III. Psikologis Keluarga
a. Kebiasaan buruk : Tidak ada
b. Pengambilan keputusan : Bapak
c. Ketergantungan obat : Tidak ada
d. Tempat mencari pelayanan kesehatan : Klinik
e. Pola rekreasi : Kurang
IV. Keadaan Rumah/Lingkungan
a. Jenis bangunan : Semi Permanen
b. Lantai rumah : Keramik
c. Luas rumah : 9 x 16 m2
d. Penerangan : Cukup
e. Kebersihan : Baik
f. Ventilasi : Baik
g. Dapur : Ada
h. Jamban keluarga : Ada
i. Sumber air minum : PDAM
j. Sumber pencemaran air : Tidak ada
k. Pemanfaatan pekarangan : Ada
l. Sistem pembuangan air limbah : Ada
m. Tempat pembuangan sampah : Ada
n. Sanitasi keluarga : Baik
V. Spiritual Keluarga
a. Ketaatan beribadah : Baik
b. Keyakinan tentang kesehatan : Baik
VI. Keadaan sosial keluarga
a. Tingkat pendidikan : Cukup
b. Hubungan antar anggota keluarga : Baik
c. Hubungan dengan orang lain : Baik
d. Kegiatan organisasi sosial : Baik
e. Keadaan ekonomi : Sedang
VII. Kultural keluarga
a. Adat yang berpengaruh : Bugis
b. Lain-lain : Tidak ada
VIII. Anggota Keluarga : 2 orang
Hub.
Keadaan Keadaan
No. Nama dengan Umur Pekerjaan Agama Imunisasi KB Ket
Kesehatan Gizi
Pasien
1 Tn. L Pasien 29 Wiraswasta Islam Sakit Cukup - - -
Ibu Rumah
2 Ny. M Istri 28 Islam Sehat Cukup - - -
Tangga

IX. Anamnesis
a. Keluhan utama : Sesak
b. Keluhan tambahan : tidak ada
c. Riwayat penyakit sekarang : Keluhan sesak dialami sejak 7 tahun
yang lalu. Sesak dirasakan tiba tiba 2 jam sebelum ke klinik HNC.
Pasien hanya mengalami sesak sesekali saja jika di picu oleh debu
ataupun udara dingin. Batuk tidak ada, nyeri dada tidak ada. Keluhan
yang sama dalam keluarga tidak ada.
d. Riwayat pengobatan :
Pasien berobat di klinik HNC sejak tahun 2013 dan mengkonsumsi obat
salbutamol tablet dan inhaler tiap kali muncul keluhan yang sama.
e. Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat didiagnosis dengan penyakit Asma oleh dokter sejak tahun
2013.
f. Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit di keluarga.
g. Riwayat alergi :
Pasien memiliki riwayat alergi debu
h. Riwayat psikososial :
Pasien mengaku sulit menghidari debu kare pekerjaannya dan jarang
menggunakan masker

X. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Sakit sedang/gizi baik/GCS 15 (compos mentis)

Tanda-tanda Vital
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Frekuensi nadi : 86 kali/menit, reguler
- Frekuensi napas : 25 kali/menit
- Suhu (aksilla) : 36,8oC
Kepala
Deformitas : Tidak ada
Simetris muka : Simetris
Rambut : Sukar dicabut
Ukuran : Normocephal
Bentuk : Mesocephal

Mata
Eksoftalmus : Tidak ada
Konjungtiva : Anemis (-)
Kornea : Refleks kornea (+)
Enoptalmus : Tidak ada
Sklera : Ikterus (-)
Pupil : Isokor 2,5 mm/2,5 mm

Telinga
Pendengaran: Dalam batas normal
Otorrhea : Tidak ada

Hidung
Epistaksis : Tidak ada
Rhinorrhea: Tidak ada

Mulut
Bibir : Kering (-)
Lidah : Kotor (-)
Tonsil : T1-T1 Tidak Hiperemis
Faring : Tidak Hiperemis
Leher
KGB : Tidak ada pembesaran
DVS : R+2 cmH2O
Kelenjar Gondok : Tidak ada pembesaran
Kaku kuduk : Tidak Ada

Thoraks
Bentuk : Simetris kiri sama dengan kanan
Buah dada : Simetris kira sama dengan kanan, tidak ada kelainan
Sela iga : Simetris kiri sama dengan kanan
Paru
Palpasi : Fremitus simetris kiri sama dengan kanan
Nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Batas paru hepar ICS VI dekstra
Batas paru belakang kanan ICS IX
Batas paru belakang kiri ICS X
Auskultasi : Bunyi Pernapasan : Vesikuler
Bunyi Tambahan : Ronkhi (-/-), Wheezing (+/+)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas atas ICS II sinistra
Batas kanan linea parasternalis dekstra
Batas kiri linea axilla anterior sinistra
Aukultasi : BJ I/II murni reguler
Bising jantung (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba
Massa tumor (-), Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Ekstremitas
Inspeksi : Pitting edema (-/-)
Palpasi : Kulit kering, tidak ada nyeri tekan

XI. Pemeriksaan Penunjang


Asam Urat8,5mg/dl

XII. Resume Pasien


Seorang laki-laki usia 29 tahun datang ke klinik HNC dengan keluhan
sesak dialami tiba tiba sejak 2 jam sebelum dating ke klinik keluhan
dirasakan muncul pada subuh hari 3 hari sebelum datang ke klinik. Sesak
dipicu oleh debu dan bulu kucing. Batuk tidak ada. Riwayat merokok ada.
Pasien sering mengalami keluhan yang samasejak tahun 2013. BAB biasa,
BAK kuning kesan lancar.
Riwayat didiagnosis dengan penyakit Asma oleh dokter sejak tahun
2014.Pasien berobat di klinik HNC sejak tahun 2014 dan mengkonsumsi
obat salbutamol dan inhaler tiap kali muncul keluhan yang sama.Riwayat
penyakit hipertensi dan diabetes mellitus disangkal.Riwayat penyakit
hipertensi, diabetes mellitus dan asma dalam keluarga disangkal.
Dari pemeriksaan fisis didapatkan status generalisata sakit sedang, gizi
cukup, komposmentis. Dari tanda vital didapatkan tekanan darah, yaitu
120/80 mmHg, Frekuensi nadi: 86 x/menit, Pernapasan 26 x/menit, suhu
axilla: 36,8oC. Dari pemeriksaan thoraks didapatkan suara tambahan
wheezing di kedua paru

XIII. Diagnosa Kerja :


Gout Arthiritis

XIV. Anjuran Penatalaksanaan Penyakit


a. Promotif
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang Asma kepada
pasien agar dapat menjalankan pola hidup sehat dengan mengonsumsi
makanan sehat, mengurangi makanan yang merangsang alergi,
menghindari allergen seperti debu dan udara dingin
b. Preventif
Menganjurkan kepada pasien dan keluarganya untuk menjalankan pola
atau gaya hidup yang sehat dengan memakai masker dan jaket saat
bekerja
c. Kuratif
Terapi medikamentosa :
 Nebulizer combivent
 Salbutamol tab 2,5 mg per 8 jam
Terapi non medikamentosa:
 Mengatur pola makan dan mengurangi konsumsi makanan yang
merangsang alergi
 Istirahat yang cukup
 Melakukan olahraga ringan rutin setiap minggu
 Menghindari stress
d. Rehabilitatif
 Kontrol penyakit ke dokter
 Monitoring asma berulang
 Interaksi obat dan efek samping
 Kepatuhan minum obat dan modifikasi gaya hidup
XV. Prognosis
a. Ad vitam : Dubia at bonam
b. Ad sanationam : Dubia at bonam
c. Ad fungsionam : Dubia at bonam
Tinjauan Pustaka

ASMA

I. Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai oleh mengi
dan atau batuk berulang.1
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif dari gejala-gejala
batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala
tersebut dengan ditandai obstruksi saluran napas. Terjadinya serangan asma
menandakan kegagalan dalam manajemen asma secara keseluruhan yaitu
kurangnya pengetahuan pasien terhadap penghindaran pencetus maupun
gagalnya tata laksana jangka panjang. 2

II. Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun dari hasil
penelitian yang telah dilakukan menggunakan kuesioner ISAAC (International
Study on Asthma and Alergy in Children) tahun 1995 pada anak sekolah
memperoleh hasil 2,1% dan meningkat pada tahun 2003 menjadi 5,2%. Hasil survei
lain pada anak sekolah usia 6-7 tahun yang dilakukan dibeberapa kota di Indonesia
menunjukkan prevalensi kejadian 3,7% - 6,4%.3
Pengamatan di 5 provinsi di Indonesia (Sumatra Utara, Jawa tengah, Jawa
Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan oleh Subdit
Penyakit Kronik dan Degeneratif Lain pada bulan april tahun 2007, menunjukkan
bahwa pada umumnya upaya untuk pengendalian asma belum berjalan dengan baik
serta ketersediaan alat untuk penanganan pasien dengan asma masih sangat minim.3

III. Etiologi
Secara umum ada 2 faktor penyebab terjadinya asma yaitu faktor genetik dan
faktor lingkungan.
a. Faktor genetik
- Hipereaktivitas
- Atopi/alergi bronkus
- Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
b. Faktor lingkungan
- Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing dll)
- Alergen di luar ruangan (jamur, tepung sari)
- Makanan (bahan peneyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan
laut, susu sapi, telur)
- Obat-obatan tertentu (golongan aspirin, NSAID, beta bloker dll)
- Bahan yang mengiritasi (Parfum dll)
- Emosi berlebih
- Asap rokok
- Polusi udara di luar ruangan dan di dalam ruangan
- Perubahan cuaca.

IV. Patofisiologi
Pada serangan asma akut tejadi obstruksi jalan napas secara luas
yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus
(bronkokonstriksi), edem mukosa karena inflamasi saluran napas, dan
hipersekresi mukus, serta penebalan mukosa karena proses remodeling.
Keempat keadaan di atas menyebabnya penyempitan pada saluran napas
sehingga meningkatkan tahanan jalan napas, terperangkapnya udara (air trapping),
dan distensi paru yang berlebih (hiperinflasi). Hal di atas akan menyebabkan tidak
padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).2
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru sehingga
terjadi peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang
diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran napas yang menyempit,
dapat mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran napas, sehingga
meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan
peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan dalam gas darah.
Pada awal serangan untuk mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga
kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada
obstruksi jalan napas yang berat akan terjadi kelelahan otot napas dan hipoventilasi
alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Selain
itu dapat terjadi pula asidosis metabolikakibat hipoksia jaringan dan produksi
laktat oleh otot napas dan masukan kalori yang kurang.2
Atelektasis dapat terjadi karena dua mekanisme yaitu pertama rusaknya sel
alveoli yang berakibat produksi surfaktan yang berkurang akibat adanya hipoksia
dan vasokonstriksi. Mekanisme kedua adalah akibat adanya hipersekresi
mukus dapat meyebabkan mucus plug yang dapat menyebabkan sumbatan saluran
napas sehingga terjadi atelektasis.2

V. Diagnosis dan Gejala Klinis


Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting dalam menegakkan penanganan
yang akan dilakukan sebagaimana mestinya. Mengi (wheezing) dan/atau batuk
kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis.
Secara umum untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.3
a. Anamnesis
Ada beberapa hal yang ditanyakan yaitu :
- Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?
- Apakah mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah terpajan
alergen atau polutan (pencetus)?
- Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (Commond cold) merasa sesak
di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10 hari atau lebih)?
- Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan aktifitas
atau olahraga?
- Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah pemberian obat
pelega (bronkodilator)?
- Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim/cuaca
atau suhu yang ekstrim (perubahan yang tiba-tiba)?
- Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi, konjungtivitis
alergi)?
- Apakah dalam keluarga ada yang menderita asma atau alergi? 3
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat diperoleh hasil yang bervariasi dari normal
atau di dapat kelainan. Selain itu, perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan
penyakit alergi lainnya. Tanda yang paling sering ditemukan pada penderita
asma yaitu mengi (Wheezing), pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) dan pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaraan
menurun.3
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
a. Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi
sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis
b. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat dapat terjadi
pulsus paradoksus)
c. Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata
d. Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir
Gambaran klinik yang terlihat dari hasil pemeriksaan fisik maupun anamnesis
yang telah dilakukan menjadi penentu klasifikasi derajat asma yang di derita.
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan Serangan

Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan gambaran klinik


c. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan fungsi untuk diagnosis asma faal paru dengan alat spirometri. Uji
Fungsi Paru / Uji Spirometri (Penurunan FEV1 mencapai <70% nilai normal,
variabilitas ≥20% dan reversibilitas ≥20%).
- Uji reversibilitas (dengan bronkodilator).
- Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada tidaknya hipereaktivitas bronkus.
- Uji alergi (tes tusuk kulit/ skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.
- Foto thoraks, pemriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain
asma.3

VI. Diagnosis Banding


a. Rinosinusitis
b. Refluks gastroesofageal
c. Infeksi respiratorik bawah viral berulang
d. Displasia bronkopulmoner
e. Tuberkulosis
f.Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik.
g. Aspirasi benda asing
h. Penyakit jantung bawaan.3

VII. Penatalaksanaan
Tatalaksana serangan asma :
 Serangan Ringan
Apabila prediksi awal berupa serangan asma ringan diberikan β-
agonis saja. Pada pasien yang menunjukkan respons baik (complete response) pada
pemberian nebulisasi awal dilakukan observasi selama 1 jam. Jika
respons tersebut bertahan (klinis tetap baik) pasien dapat dipulangkan dengan
membekali obat bronkodilator (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam.
Apabila alat nebuliser tidak tersedia, maka sebagai alternatif lain dapat digunakan
MDI dengan spacer. Keuntungan penggunaan spaceradalah tidak memerlukan
koordinasi antara saat menekan (menyemprot) dengan saat menghirup
secara bersamaan dan mengurangi efek samping. Dengan bantuan spacer, deposit
obat di paru lebih besar bila dibandingkan dengan MDI tanpa spacermaupun dengan
DPI (Dry Powder Inhaler). 2
Pada pasien dengan serangan ringan tidak memerlukankortikosteroid oral kecuali
jika pencetus serangannya adalah infeksi virus dan ada riwayat serangan asma berat.
Kortikosteroid oral (yang dianjurkan golongan metil prednisolon dan prednison)
diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dalam jangka pendek (3-5 hari).
Pemberian maksimum 12 kali (episode) pertahun tidak mengganggu pertumbuhan
anak. Pasien dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam
untuk reevaluasi tata laksana. Apabila dalam kurun waktu observasi gejala timbul
kembali, maka pasien diperlakukan sebagai serangan sedang. 2
 Serangan Sedang
Pada pasien yang diprediksi mengalami serangan sedang atau menunjukkan
respons parsial (incomplete response) pada tata laksana awal dianggap sebagai
derajat serangan sedang yaitu diberikan oksigen, nebulisasi dilanjutkan dengan
β-agonis + antikolinergik dan kortikosteroid oral. Pemberian inhalasi dapat diulang
setiap 2-4 jam. Selanjutnya dilakukan observasi selama 12 jam (dapat dilakukan di
ruang rawat sehari). Apabila dalam 12 jam klinis tetap baik maka pasien
dipulangkan dengan dibekali obat yang biasa digunakan namun apabila responsnya
tetap tidak baik maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap dan dianggap
sebagai serangan berat.2
 Serangan Berat
Tata laksana serangan asma berat adalah:
a. Pemberian oksigen
b. Kortikosteroid intravena diberikan secara bolus tiap 6-8 jam, dengan dosis 0,5-1
mg/kgBB/hari.
c. Nebulisasi β-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika
dalam 4-6 kali pemberian telah terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
d. Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
- Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis
awal(inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis
sebanyak 20 ml diberikan dalam 20-30 menit. Tetapi jika pasien telah mendapat
aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis awal aminofilin diberikan 1/2nya (3-4
mg/kgBB).
- Selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.
- Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.
e. Terapi suportif apabila terdapat kelainan berupa dehidrasi dan asidosis yaitu
pemberian cairan intravena dan koreksi gangguan asam-basanya.
f. Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam.
Kortikosteroid dan aminofilin dapat diberikan peroral.
g. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat
β- agonis (hirupan atau oral) atau kombinasi dengan teofilin yang diberikan tiap 4-6
jam selama 24-48 jam. Kortikosteroid dilanjutkan peroral hingga pasien kontrol ke
Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tata laksana. Obat yang biasa
digunakan sebagai controller tetap diberikan.
h. Jika dengan tata laksana di atas tidak berhasil, bahkan pasien menunjukkan tanda
ancaman henti napas, maka pasien dialihrawat ke Ruang Rawat Intensif.2

Pemberian oksigen sangat diperlukan untuk mengurangi keadaan


hipoksemia akibat sumbatan jalan napas. Penggunaan oksigen ini tetap memerlukan
pemantauan secara ketat karena dapat banyak dan lamanya pemberian
tergantung pada hasil analisis gas darah. Diusahakan saturasi oksigen
tetap di atas atau sama dengan 95%.2
Penggunaan bronkodilator biasanya sudah dilakukan di rumah sehingga pada
saat datang di UGD pemberian inhalasi menggunakan beta agonis dan anti
kolinergik (ipratropium bromide). Dosis ipratropium bromide adalah 250 mcg dan
diberikan bersama-sama dengan beta agonis. Pemberian kombinasi ini mempunyai
keuntungan dibandingkan pemberian beta agonis sendiri yaitu dalam hal
perawatan di rumah sakit dan menurunkan gejala serangan asma. Pemberian inhalasi
pada awalnya dapat diberikan lebih sering tetapi seiring dengan perbaikan klinis
maka diturunkan secara bertahap.2
Kortikosteroid yang diberikan sebaiknya sistemik baik intravena maupun oral.
Beberapa peneliti mendapatkan bahwa pemberian kortikosteroid secara oral sama
efektifnya dengan pemberian intravena. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah
metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB /hari dengan dosis maksimal pada
anak di bawah 2 tahun adalah 20 mg/hari sedangkan pada anak yang lebih besar
dapat diberikan 30-40 mg/hari dengan dosis maksimal 60 mg/hari. Pemberian
kortikosteroid sistemik ini sebaiknya tidak melebihi 5 hari. Pemberian
kortikosteroid secara inhalasi kurang diabjurkan pada serangan berat meskipun ada
beberapa yang menggunakan dosis besar (2400 ug) untuk mengatasi serangan asma
berat.2
Pemberian aminofilin kontroversi karena ketakutan akan sempitnya
safety margin. Aminofilin tidak dianjurkan pada serangan ringan dan sedang karena
efek sampingnya lebih besar dibandingkan efektifitasnya. Pada serangan berat
aminofilin mempunyai peran yang cukup besar karena cukup efektif. Di Jepang
penggunaan aminofilin dilakukan pada asma serangan berat namun tidak diajurkan
pada pasien dengan riwayat kejang dan gangguan susunan saraf pusat serta tidak
adanya fasilitas untuk mengukur kadar aminofilin.2
Berbeda dengan dewasa, pada anak harus diperhatikan status hidrasinya dalam
menangani serangan asma terutama pada bayi dan anak yang lebih muda. Dehidrasi
dapat terjadi karena adanya peningkatan frekuensi napas dan masukan yang
mungkin berkurang karena sesak. Dengan demikian pemberian cairan sebagai
tata laksana suportif sangat diperlukan pada serangan asma anak.2
Pada keadaan tertentu respons terhadapm pengobatan standar tidak
ada perbaikan sehingga memerlukan perawatan khusus di ruang
intensif. Indikasi perawatan di ruang intensif adalah tidak ada respons
sama sekali terhadap tata laksana awal di IGD dan/atau perburukan
asma yang cepat dengan tata laksana baku dan adanya ancaman henti
napas (PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >60 mmHg) atau hilangnya
kesadaran.Pemberian alat bantu napas (ventilator) pada serangan asma berat harus
berhati-hati karena dapat memperburuk keadaan yaitu komplikasi akibat
barotrauma seperti pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum sehingga
tindakan tersebut merupakan langkah yang harus dipertimbangkan secara
matang.Untuk menghindari komplikasi yang terjadi pernah dilaporkan keberhasilan
penggunaan ECMO (Extracorporeal Membrane Oxygenation) pada status
asmatikus (serangan asma yang mengancam jiwa).2

VIII. Komplikasi
Komplikasi asma serangan berat adalah pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis dan gangguan asam basa seperti asidosis laktat. Pneumotoraks dan
pneumomediastinum terjadi karena pecahnya alveolus yang dapat terjadi
karena barotrauma sedangkan atelektasis terjadi karena adanya sumbatan
saluran respiratorik akibat hipersekresi dan edema serta bronkokonstriksi.
Asidosis laktat dapat terjadi karena meningkatnya proses glikogenolisis dengan
hasil akhir asam laktat karena proses anaerob akibat hipoksemia. Pada keadaan
aerob, piruvat sebagai produk dari glikogenolisis diubah menjadi H2O dan CO2
sedangkan pada keadaan anaerob (hipoksia) piruvat diubah menjadi laktat.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
IV. Jakarta: Media Aesculapius
2. Sudung O. Pardede, dkk. 2013.Tatalaksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat
pada Anak. Departemen ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
3. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat
Pengendalian penyakit Tidak menular. Pedoman Pengendalian Asma. Departemen
Kesehatan RI. 2009.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di
Indonesia, 2004

Anda mungkin juga menyukai