Tugas Klinik HNC Gout Arthritis
Tugas Klinik HNC Gout Arthritis
ASMA
Disusun Oleh:
NURHIDAYAH C11111120
ASRIANI INDAH YULIANI C11111185
Pembimbing:
dr. Alifiah Ayu Delima
SAMPUL ………………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI ………………………………………………………...........2
HALAMAN PENGESAHAN …...……………………..…………............3
BAB I. LAPORAN KASUS …...……………………..…………............... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.……………………..…………..............12
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...25
HALAMAN PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Keluarga, Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
Pembimbing
I. Identitas Pasien :
Nama : Tn. L
Umur : 29 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl.Perintis kemerdekaan lr 9 No 6
Status Pasien : BPJS
Waktu Pemeriksaan : Selasa, 27 september 2017
II. Riwayat Biologis Keluarga :
a. Keadaan kesehatan sekarang : Sedang
b. Kebersihan perorangan : Baik
c. Penyakit yang sering diderita: Sesak
d. Penyakit keturunan : Tidak ada
e. Penyakit kronis/menular : Tidak ada
f. Kecacatan anggota keluarga : Tidak Ada
g. Pola makan : Baik
h. Pola istirahat : Sedang
i. Jumlah anggota keluarga : 2 orang
III. Psikologis Keluarga
a. Kebiasaan buruk : Tidak ada
b. Pengambilan keputusan : Bapak
c. Ketergantungan obat : Tidak ada
d. Tempat mencari pelayanan kesehatan : Klinik
e. Pola rekreasi : Kurang
IV. Keadaan Rumah/Lingkungan
a. Jenis bangunan : Semi Permanen
b. Lantai rumah : Keramik
c. Luas rumah : 9 x 16 m2
d. Penerangan : Cukup
e. Kebersihan : Baik
f. Ventilasi : Baik
g. Dapur : Ada
h. Jamban keluarga : Ada
i. Sumber air minum : PDAM
j. Sumber pencemaran air : Tidak ada
k. Pemanfaatan pekarangan : Ada
l. Sistem pembuangan air limbah : Ada
m. Tempat pembuangan sampah : Ada
n. Sanitasi keluarga : Baik
V. Spiritual Keluarga
a. Ketaatan beribadah : Baik
b. Keyakinan tentang kesehatan : Baik
VI. Keadaan sosial keluarga
a. Tingkat pendidikan : Cukup
b. Hubungan antar anggota keluarga : Baik
c. Hubungan dengan orang lain : Baik
d. Kegiatan organisasi sosial : Baik
e. Keadaan ekonomi : Sedang
VII. Kultural keluarga
a. Adat yang berpengaruh : Bugis
b. Lain-lain : Tidak ada
VIII. Anggota Keluarga : 2 orang
Hub.
Keadaan Keadaan
No. Nama dengan Umur Pekerjaan Agama Imunisasi KB Ket
Kesehatan Gizi
Pasien
1 Tn. L Pasien 29 Wiraswasta Islam Sakit Cukup - - -
Ibu Rumah
2 Ny. M Istri 28 Islam Sehat Cukup - - -
Tangga
IX. Anamnesis
a. Keluhan utama : Sesak
b. Keluhan tambahan : tidak ada
c. Riwayat penyakit sekarang : Keluhan sesak dialami sejak 7 tahun
yang lalu. Sesak dirasakan tiba tiba 2 jam sebelum ke klinik HNC.
Pasien hanya mengalami sesak sesekali saja jika di picu oleh debu
ataupun udara dingin. Batuk tidak ada, nyeri dada tidak ada. Keluhan
yang sama dalam keluarga tidak ada.
d. Riwayat pengobatan :
Pasien berobat di klinik HNC sejak tahun 2013 dan mengkonsumsi obat
salbutamol tablet dan inhaler tiap kali muncul keluhan yang sama.
e. Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat didiagnosis dengan penyakit Asma oleh dokter sejak tahun
2013.
f. Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit di keluarga.
g. Riwayat alergi :
Pasien memiliki riwayat alergi debu
h. Riwayat psikososial :
Pasien mengaku sulit menghidari debu kare pekerjaannya dan jarang
menggunakan masker
X. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Sakit sedang/gizi baik/GCS 15 (compos mentis)
Tanda-tanda Vital
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Frekuensi nadi : 86 kali/menit, reguler
- Frekuensi napas : 25 kali/menit
- Suhu (aksilla) : 36,8oC
Kepala
Deformitas : Tidak ada
Simetris muka : Simetris
Rambut : Sukar dicabut
Ukuran : Normocephal
Bentuk : Mesocephal
Mata
Eksoftalmus : Tidak ada
Konjungtiva : Anemis (-)
Kornea : Refleks kornea (+)
Enoptalmus : Tidak ada
Sklera : Ikterus (-)
Pupil : Isokor 2,5 mm/2,5 mm
Telinga
Pendengaran: Dalam batas normal
Otorrhea : Tidak ada
Hidung
Epistaksis : Tidak ada
Rhinorrhea: Tidak ada
Mulut
Bibir : Kering (-)
Lidah : Kotor (-)
Tonsil : T1-T1 Tidak Hiperemis
Faring : Tidak Hiperemis
Leher
KGB : Tidak ada pembesaran
DVS : R+2 cmH2O
Kelenjar Gondok : Tidak ada pembesaran
Kaku kuduk : Tidak Ada
Thoraks
Bentuk : Simetris kiri sama dengan kanan
Buah dada : Simetris kira sama dengan kanan, tidak ada kelainan
Sela iga : Simetris kiri sama dengan kanan
Paru
Palpasi : Fremitus simetris kiri sama dengan kanan
Nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Batas paru hepar ICS VI dekstra
Batas paru belakang kanan ICS IX
Batas paru belakang kiri ICS X
Auskultasi : Bunyi Pernapasan : Vesikuler
Bunyi Tambahan : Ronkhi (-/-), Wheezing (+/+)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas atas ICS II sinistra
Batas kanan linea parasternalis dekstra
Batas kiri linea axilla anterior sinistra
Aukultasi : BJ I/II murni reguler
Bising jantung (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba
Massa tumor (-), Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Ekstremitas
Inspeksi : Pitting edema (-/-)
Palpasi : Kulit kering, tidak ada nyeri tekan
ASMA
I. Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai oleh mengi
dan atau batuk berulang.1
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif dari gejala-gejala
batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala
tersebut dengan ditandai obstruksi saluran napas. Terjadinya serangan asma
menandakan kegagalan dalam manajemen asma secara keseluruhan yaitu
kurangnya pengetahuan pasien terhadap penghindaran pencetus maupun
gagalnya tata laksana jangka panjang. 2
II. Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun dari hasil
penelitian yang telah dilakukan menggunakan kuesioner ISAAC (International
Study on Asthma and Alergy in Children) tahun 1995 pada anak sekolah
memperoleh hasil 2,1% dan meningkat pada tahun 2003 menjadi 5,2%. Hasil survei
lain pada anak sekolah usia 6-7 tahun yang dilakukan dibeberapa kota di Indonesia
menunjukkan prevalensi kejadian 3,7% - 6,4%.3
Pengamatan di 5 provinsi di Indonesia (Sumatra Utara, Jawa tengah, Jawa
Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan oleh Subdit
Penyakit Kronik dan Degeneratif Lain pada bulan april tahun 2007, menunjukkan
bahwa pada umumnya upaya untuk pengendalian asma belum berjalan dengan baik
serta ketersediaan alat untuk penanganan pasien dengan asma masih sangat minim.3
III. Etiologi
Secara umum ada 2 faktor penyebab terjadinya asma yaitu faktor genetik dan
faktor lingkungan.
a. Faktor genetik
- Hipereaktivitas
- Atopi/alergi bronkus
- Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
b. Faktor lingkungan
- Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing dll)
- Alergen di luar ruangan (jamur, tepung sari)
- Makanan (bahan peneyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan
laut, susu sapi, telur)
- Obat-obatan tertentu (golongan aspirin, NSAID, beta bloker dll)
- Bahan yang mengiritasi (Parfum dll)
- Emosi berlebih
- Asap rokok
- Polusi udara di luar ruangan dan di dalam ruangan
- Perubahan cuaca.
IV. Patofisiologi
Pada serangan asma akut tejadi obstruksi jalan napas secara luas
yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus
(bronkokonstriksi), edem mukosa karena inflamasi saluran napas, dan
hipersekresi mukus, serta penebalan mukosa karena proses remodeling.
Keempat keadaan di atas menyebabnya penyempitan pada saluran napas
sehingga meningkatkan tahanan jalan napas, terperangkapnya udara (air trapping),
dan distensi paru yang berlebih (hiperinflasi). Hal di atas akan menyebabkan tidak
padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).2
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru sehingga
terjadi peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang
diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran napas yang menyempit,
dapat mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran napas, sehingga
meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan
peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan dalam gas darah.
Pada awal serangan untuk mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga
kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada
obstruksi jalan napas yang berat akan terjadi kelelahan otot napas dan hipoventilasi
alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Selain
itu dapat terjadi pula asidosis metabolikakibat hipoksia jaringan dan produksi
laktat oleh otot napas dan masukan kalori yang kurang.2
Atelektasis dapat terjadi karena dua mekanisme yaitu pertama rusaknya sel
alveoli yang berakibat produksi surfaktan yang berkurang akibat adanya hipoksia
dan vasokonstriksi. Mekanisme kedua adalah akibat adanya hipersekresi
mukus dapat meyebabkan mucus plug yang dapat menyebabkan sumbatan saluran
napas sehingga terjadi atelektasis.2
VII. Penatalaksanaan
Tatalaksana serangan asma :
Serangan Ringan
Apabila prediksi awal berupa serangan asma ringan diberikan β-
agonis saja. Pada pasien yang menunjukkan respons baik (complete response) pada
pemberian nebulisasi awal dilakukan observasi selama 1 jam. Jika
respons tersebut bertahan (klinis tetap baik) pasien dapat dipulangkan dengan
membekali obat bronkodilator (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam.
Apabila alat nebuliser tidak tersedia, maka sebagai alternatif lain dapat digunakan
MDI dengan spacer. Keuntungan penggunaan spaceradalah tidak memerlukan
koordinasi antara saat menekan (menyemprot) dengan saat menghirup
secara bersamaan dan mengurangi efek samping. Dengan bantuan spacer, deposit
obat di paru lebih besar bila dibandingkan dengan MDI tanpa spacermaupun dengan
DPI (Dry Powder Inhaler). 2
Pada pasien dengan serangan ringan tidak memerlukankortikosteroid oral kecuali
jika pencetus serangannya adalah infeksi virus dan ada riwayat serangan asma berat.
Kortikosteroid oral (yang dianjurkan golongan metil prednisolon dan prednison)
diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dalam jangka pendek (3-5 hari).
Pemberian maksimum 12 kali (episode) pertahun tidak mengganggu pertumbuhan
anak. Pasien dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam
untuk reevaluasi tata laksana. Apabila dalam kurun waktu observasi gejala timbul
kembali, maka pasien diperlakukan sebagai serangan sedang. 2
Serangan Sedang
Pada pasien yang diprediksi mengalami serangan sedang atau menunjukkan
respons parsial (incomplete response) pada tata laksana awal dianggap sebagai
derajat serangan sedang yaitu diberikan oksigen, nebulisasi dilanjutkan dengan
β-agonis + antikolinergik dan kortikosteroid oral. Pemberian inhalasi dapat diulang
setiap 2-4 jam. Selanjutnya dilakukan observasi selama 12 jam (dapat dilakukan di
ruang rawat sehari). Apabila dalam 12 jam klinis tetap baik maka pasien
dipulangkan dengan dibekali obat yang biasa digunakan namun apabila responsnya
tetap tidak baik maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap dan dianggap
sebagai serangan berat.2
Serangan Berat
Tata laksana serangan asma berat adalah:
a. Pemberian oksigen
b. Kortikosteroid intravena diberikan secara bolus tiap 6-8 jam, dengan dosis 0,5-1
mg/kgBB/hari.
c. Nebulisasi β-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika
dalam 4-6 kali pemberian telah terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
d. Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
- Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis
awal(inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis
sebanyak 20 ml diberikan dalam 20-30 menit. Tetapi jika pasien telah mendapat
aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis awal aminofilin diberikan 1/2nya (3-4
mg/kgBB).
- Selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.
- Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.
e. Terapi suportif apabila terdapat kelainan berupa dehidrasi dan asidosis yaitu
pemberian cairan intravena dan koreksi gangguan asam-basanya.
f. Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam.
Kortikosteroid dan aminofilin dapat diberikan peroral.
g. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat
β- agonis (hirupan atau oral) atau kombinasi dengan teofilin yang diberikan tiap 4-6
jam selama 24-48 jam. Kortikosteroid dilanjutkan peroral hingga pasien kontrol ke
Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tata laksana. Obat yang biasa
digunakan sebagai controller tetap diberikan.
h. Jika dengan tata laksana di atas tidak berhasil, bahkan pasien menunjukkan tanda
ancaman henti napas, maka pasien dialihrawat ke Ruang Rawat Intensif.2
VIII. Komplikasi
Komplikasi asma serangan berat adalah pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis dan gangguan asam basa seperti asidosis laktat. Pneumotoraks dan
pneumomediastinum terjadi karena pecahnya alveolus yang dapat terjadi
karena barotrauma sedangkan atelektasis terjadi karena adanya sumbatan
saluran respiratorik akibat hipersekresi dan edema serta bronkokonstriksi.
Asidosis laktat dapat terjadi karena meningkatnya proses glikogenolisis dengan
hasil akhir asam laktat karena proses anaerob akibat hipoksemia. Pada keadaan
aerob, piruvat sebagai produk dari glikogenolisis diubah menjadi H2O dan CO2
sedangkan pada keadaan anaerob (hipoksia) piruvat diubah menjadi laktat.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
IV. Jakarta: Media Aesculapius
2. Sudung O. Pardede, dkk. 2013.Tatalaksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat
pada Anak. Departemen ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
3. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat
Pengendalian penyakit Tidak menular. Pedoman Pengendalian Asma. Departemen
Kesehatan RI. 2009.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di
Indonesia, 2004