Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Isu yang sedang hangat di dunia global saat ini adalah isu terorisme. Yang
terjadi di belahan dunia. Semua orang, semua negara sepakat bahwa tindakan
terorismemerupakan kejahatan kemanusiaan, dan menimbulkan pro dan kontra siapa
dan berasal dari mana pelaku aksi tersebut.

Banyak faktor dan motif yang menyebabkan terjadinya aksi tersebut seperti
kecemburuan sosial, HAM, globalisasi dan politik atau kegagalan pemerintah. dan
siapapu bisa melakukan tindakan tersebut.

Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dari aksi terorisme adalah keadilan
dalam sosial dan politik, kemerdekaan nasional dan masih banyak lagi.

B. Rumusan Masalah

1. Latar belakang terjadinya tindak terorisme?


2. Bagaimana lembaga dunia menyikapi persoalan terorisme dalam dunia global?
3. Apakah semua tindakan berkaitan dengan isu agama?

C. Tujuan Makalah

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini selain memenuhi nilai mata kuliah
Filsafat Kontemporer, yaitu:
1. Mengetahui isu-isu dunia global.
2. Menjaga persatuan umat manusia dalam memerangi aksi terorisme.
3. Menyikapi tindakan terorisme.
BAB II
PEMBAHASAN

B.1 Apa yang menjadi motif yang melatarbelakangi terjadinya terorism di


dunia?
Sejarah tentang Terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk
kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan
tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang
kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun
oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran.

Kata Terorisme berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang semula dipergunakan
untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan
kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh
melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme dipergunakan untuk
menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata Terorisme
sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun
kegiatan yang anti pemerintah.Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam
usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik), atau dapat pula diartikan sebagai praktik
tindakan teror. Terorisme sendiri pada hakikatnya merupakan suatu tindak kejahatan ekstrim
yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menebarkan teror, ancaman, ketakutan,
kekhawatiran, dan rasa tidak aman di tengah-tengah masyarakat sehingga menimbulkannya
adanya pergolakan dan ketidakstabilan baik secara ekonomi, sosial, maupun politik.

Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I,
terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai
banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa Terorisme
adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara
membunuh orang-orang yang berpengaruh. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi
terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan
masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme
diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.

Bentuk pertama Terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, Terorisme dilakukan dengan
cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua Terorisme dimulai di
Aljazair pada tahun 50an, dilakukan oleh FLN (Front de Liberation Nationale) atau Front
pembebasan Nasional yang memopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap
masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut
sebagai Terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan

untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun 60an dan terkenal
dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan
publisitas. Bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu:

1. kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya


gerakan-gerakan demokrasi serta HAM.
2. pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalis
setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.
3. kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.

Pemicu Terjadinya Terorism


Faktor – Faktor Ekonomi sebagai Pemicu Aksi Terorisme
Dalam perkembangannya, muncul berbagai hipotesis dan argumen yang berusaha
menjelaskan faktor - faktor apa yang sebenarnya menjadi penyebab utama munculnya aksi -
aksi terorisme di seluruh dunia, salah satunya adalah faktor yang berkaitan dengan
perekonomian suatu negara. Faktor – faktor ekonomi ini meliputi faktor geopolitik dalam
pengelolaan sumber daya alam negara berkembang oleh negara maju dan faktor – faktor
sosioekonomi, seperti kondisi ekonomi masyarakat, kemiskinan, dan pendidikan (human
capital). Menurut Ehrlich dan Liu (2002), faktor geopolitik, khususnya dalam kasus negara
kaya (negara maju) yang berusaha mengendalikan sumber daya minyak bumi yang dimiliki
negara berkembang mendorong terjadinya serangan teroris yang ditujukan pada negara maju
tersebut yang dilakukan oleh segelintir orang dari negara berkembang. Hal ini terkait dengan
investasi besar – besaran yang dilakukan negara maju untuk mengeksploitasi sumber daya di
negara berkembang yang menimbulkan ketidakadilan ekonomi.Lebih lanjut, Ehrlich dan Liu
(2002) juga mengungkapkan bahwa faktor - faktor sosioekonomi, khususnya masalah
kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan besarnya jumlah pengangguran atau generasi muda
yang tidak memiliki prospek ekonomi, bisa jadi salah satu penyebab yang memberikan
sumbangsih dalam mendorong terjadinya aksi - aksi terorisme. Akan tetapi, mengenai
signifikansi faktor – faktor tersebut dalam menjelaskan pemicu terorisme masih
diperdebatkan dan banyak memunculkan pertentangan. Maka dari itu, faktor - faktor
sosioekonomi kerap kali luput dari perhatian negara maju, padahal faktor tersebut memiliki
potensi menciptakan kelemahan - kelemahan yang dapat memotivasi tindakan terorisme dan
memudahkan perekrutan teroris. Terkait hal tersebut, perlu adanya upaya - upaya khusus
yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kelemahan – kelemahan sosioekonomi yang
ada. Negara - negara maju, khususnya Amerika Serikat, dirasa mampu untuk membantu
upaya penurunan angka terorisme dengan cara mengontrol konsumsi yang berlebihan (over-
consumption) dan meningkatkan jumlah bantuan bagi negara - negara berkembang.
Memang perlu diakui bahwa faktor - faktor kondisi sosioekonomi bukanlah penyebab
utama atau penyebab satu – satunya dari timbulnya aksi serangan teroris. Buktinya, tidak
semua negara - negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin yang memiliki kondisi
sosioekonomi yang sama dengan Indonesia memunculkan gerakan terorisme dan mengalami
serangan teroris seperti Indonesia.

Selain itu, walaupun jumlah orang miskin di sejumlah negara berkembang, termasuk
Indonesia, sangat banyak jumlahnya (bisa jadi lebih dari lima puluh persen dari jumlah
penduduk), sebagian besar penduduk bukanlah teroris atau dengan kata lain hanya sedikit
sekali anggota masyarakat yang menjadi teroris.Menurut Ehrlich dan Liu (2002), banyak
orang, baik orang miskin maupun orang kaya, di negara berkembang lebih banyak
memberikan perhatian pada kehidupan mereka sehari - hari dibandingkan harus melakukan
tindakan -tindakan terorisme demi kepentingan politik. Maka dari itu, penjelasan mengenai
faktor – faktor penyebab timbulnya aksi terorisme di suatu negara memerlukan pengkajian
lebih lanjut terkait aspek – aspek budaya, sejarah, politik, dan agama, bukan hanya ditinjau
dari kondisi ekonomi dan kesejahteraannya.
Literatur empiris menunjukkan bahwa kemiskinan dan kondisi ekonomi tidak
memiliki korelasi dengan jumlah aksi teror, teori memprediksi bahwa kemiskinan dan kondisi
ekonomi yang buruk dapat mempengaruhi kualitas aksi teror yang terjadi (Benmelech,
Berrebi, dan Klor, 2010). Dalam teori dijelaskan bahwa kondisi perekonomian yang buruk
dapat mendorong orang – orang yang memiliki kemampuan lebih dan pendidikan tinggi
untuk ikut serta dalam suatu aksi terorisme dan memungkinkan organisasi teror radikal
mengirimkan teroris dengan kualifikasi yang lebih baik ke dalam suatu misi terorisme yang
lebih kompleks dan dampak yang lebih besar. Benmelech, Berrebi, dan Klor (2010)
menemukan bukti adanya korelasi antara kondisi ekonomi, karakteristik teroris bom bunuh
diri, dan target serangan mereka, berdasarkan kasus teroris bom bunuh diri dalam konflik
Palestina dan Israel.
Pemaparan Benmelech, Berrebi, dan Klor (2010) bahwa tingkat pengangguran yang
tinggi dan kondisi perekonomian yang buruk memungkinkan organisasi teror untuk merekrut
teroris yang lebih berpendidikan, dewasa, dan berpengalaman, kontradiktif dengan
pemaparan Ehrlich dan Liu (2002). Namun, apabila analisis tersebut benar adanya, maka
kesimpulan ini bisa menjelaskan mengapa hanya segelintir orang yang menjadi teroris di
negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk miskin yang relatif besar. Argumen
tentang faktor – faktor ekonomi sebagai pemicu terorisme ini bisa menjelaskan pemicu
terorisme di Indonesia, di mana tingkat pengangguran yang masih tinggi dan kondisi
kesejahteraan masyarakat yang buruk mendorong sejumlah orang berpendidikan untuk
menjadi otak tindakan teroris. Namun, di sisi lain, kondisi masyarakat yang masih miskin dan
berpendidikan rendah juga memudahkan teroris untuk merekrut teroris untuk melakukan
serangan bom bunuh diri.

Terorisme sebagai Implikasi Kegagalan Pemerintah


Argumen lain yang berusaha menjelaskan motif di balik aksi terorisme di Indonesia
adalah terkait kegagalan pemerintah. Hidayat (2011) dan Pirous (2011) menyatakan bahwa
masih tumbuhnya kegiatan terorisme di Indonesia, antara lain, karena pemerintah dianggap
gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat, melakukan penegakan hukum, dan memenuhi janji-
janjinya semasa kampanye. Lebih lanjut, munculnya tindakan terorisme di Indonesia
merupakan implikasi dari buruknya kondisi bangsa saat ini yang membuat banyak orang
frustrasi. Hal ini ditandai dengan beberapa indikator ekonomi dan politik, antara lain tindakan
korupsi yang terus merajalela, ekonomi rakyat kecil yang sulit dan semakin terdesak, jaminan
keamanan bagi masyarakat yang rendah (kegagalan aparatur keamanan dalam memberikan
rasa aman kepada masyarakat), para pemimpin pemerintahan tidak lagi mampu memberikan

teladan atau contoh yang baik kepada masyarakat (buruknya moral para wakil rakyat yang
semakin terekspos media), dan konspirasi global yang merugikan bangsa atau umat tertentu
(seperti: konspirasi zionis, konspirasi organisasi – organisasi multilateral internasional, dan
lain-lain). Indikator – indikator tersebut memunculkan anggapan bagi segelintir orang bahwa
Indonesia saat ini telah menjadi negara yang gagal (failed states) di sejumlah bidang,
khususnya yang terkait dengan kesejahteraan rakyat.
Argumen bahwa tindakan terorisme di Indonesia dipicu oleh kegagalan pemerintah
juga dapat dihubungkan dengan argumen sebelumnya yang menjelaskan bahwa tindakan
terorisme disebabkan kondisi sosioekonomi yang buruk. Kedua argumen tersebut dapat
melengkapi satu sama lain. Munculnya anggapan bahwa pemerintah Indonesia telah gagal
dalam menjalankan perannya selama ini, baik dalam kesejahteraan masyarakat, penegakan
hukum, maupun politik luar negeri, mendorong segelintir orang berpendidikan untuk
merancang aksi terorisme. Kondisi kesejahteraan masyarakat yang rendah dan tingkat
pengangguran tinggi memudahkan otak aksi terorisme tersebut untuk merekrut pelaku –
pelaku terorisme lainnya, khususnya yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke
bawah.

Konspirasi Penguasa dan Aparat di Balik Aksi Terorisme


Selain faktor – faktor sosial dan ekonomi, muncul pula argumen yang menyatakan
bahwa tindakan – tindakan terorisme yang ada di Indonesia hanyalah rekayasa penguasa
belaka. Dalam hal ini, faktor politik dan pemerintahan yang berperan dalam menimbulkan
aksi – aksi terorisme di dalam negeri.
Abshor (2011) menilai bahwa pemerintah baru berhasil mengatasi terorisme di
Indonesia, namun, di sisi lain, pemerintah belum berhasil mencegah tindakan terorisme dalam
bentuk deradikalisasi. Hal tersebut mendorong pemerintah untuk dapat merangkul organisasi
yang mendukung pluralisme dan mengembangkan pemahaman kepada seluruh lapisan
masyarakat bahwa aksi kekerasan dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan. Oleh karena
itu, peran pemuka agama dan tokoh masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk menghapuskan
paham – paham keagamaan yang radikal dan meniadakan kekerasan antarumat
beragama.Latief (2011) menilai kembali maraknya aksi terorisme di Indonesia pada tahun
2011 menimbulkan banyak praduga, apakah aksi teror yang terjadi antara nyata dan rekayasa
(real – unreal). Muncul argumen yang menyatakan bahwa aksi terorisme yang terjadi
belakangan ini memiliki kaitan dengan korban – korban kekerasan di masa lalu (khusunya,
pada masa Orde Baru), mengingat aparat keamanan turut menjadi target serangan teroris. Di
sisi lain, muncul pula argumen adanya keterlibatan negara dalam aksi terorisme. Dalam
perjalanan sejarah Indonesia, terdapat hubungan antara skenario aparatur pertahana dan
keamanan negara untuk melindungi kepentingan – kepentingan politik penguasa.
Argumen bahwa ada keterlibatan negara dalam aksi terorisme di Indonesia terdapat
dalam film “Inside Indonesia’s War and Teror”. Film ini diproduksi oleh Dateline SBS
(Special Broadcasting Service), sebuah stasiun televisi terkenal di Australia dan sudah
ditayangkan pada tanggal 12 Oktober 2005. Film dokumenter tersebut menyimpulkan bahwa
mayoritas aksi teror dan kerusuhan antaragama di Indonesia adalah proyek negara yang
melibatkan TNI, Polri, dan BIN. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa ada suatu
konspirasi politik penguasa di balik aksi – aksi terorisme di Indonesia.

Faktor sosial
Orang-orang yang mempunyai pikiran keras di mana di situ terdapat suatu kelompok
garis keras yang bersatu mendirikan Tanzim al-Qaidah Aceh. Dalam keseharian hidup yang
kita jalani terdapat pranata social yang membentuk pribadi kita menjadi sama. Situasi ini
sangat menentukan kepribadian seseorang dalam melakukan setiap kegiatan yang dilakukan.
Sistem social yang dibentuk oleh kelompok radikal atau garis keras membuat semua orang
yang mempunyai tujuan sama dengannya bisa mudah berkomunikasi dan bergabung dalam
radikal.

Faktor Ideologi
Faktor ini yang menjadikan seseorang yakin dengan apa yang diperbuatnya.
Perbuatan yang mereka lakukan berdasarkan dengan apa yang sudah disepakati dari awal
dalam perjanjiannya. Dalam setiap kelompok mempunyai misi dan visi masing-masing yang
tidak terlepas dengan ideologinya. Dalam hal ini terorisme yang ada di Indonesia dengan
keyakinannya yang berdasarkan Jihad yang mereka miliki.

B.2 Upaya Pemerintah menanggulangi Teroris


Masih adanya ancaman terorisme di Indonesia juga disebabkan oleh belum adanya
payung hukum yang kuat bagi kegiatan intelijen untuk mendukung upaya pencegahan dan
penanggulangan terorisme. Kendala lain dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme
adalah belum adanya pembinaan yang menjamin dapat mengubah pemikiran radikal menjadi
moderat. Sementara itu masih lemahnya sistem pengawasan terhadap peredaran berbagai
bahan pembuat bom, menyebabkan para teroris masih leluasa melakukan perakitan bom yang
jika tidak terdeteksi dapat menimbulkan kekacauan di berbagai tempat.

Berikut adalah arah kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah dalam rangka mencegah dan
menanggulangi kejahatan terorisme pada tahun 2005 – 2009 adalah sebagai berikut:

1. Penguatan koordinasi dan kerja sama di antara lembaga Pemerintah;

2. Peningkatan kapasitas lembaga pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan teroris,


terutama satuan kewilayahan;

3. Pemantapan operasional penanggulangan terorisme dan penguatan upaya deteksi secara


dini potensi aksi terorisme;
4. Penguatan peran aktif masyarakat dan pengintensifan dialog dengan kelompok masyarakat
yang radikal,

5. Peningkatan pengamanan terhadap area publik dan daerah strategis yang menjadi target
kegiatan terorisme;

6. Sosialisasi dan upaya perlindungan masyarakat terhadap aksi terorisme;

7. Pemantapan deradikalisasi melalui upaya-upaya pembinaan (soft approach) untuk


mencegah rekrutmen kelompok teroris serta merehabilitasi pelaku terror yang telah
tertangkap.

Dalam rangka mencegah dan menanggulangi ancaman terorisme di dalam negeri,


Pemerintah telah menempuh berbagai cara, terutama dengan mengambil tindakan-tindakan
yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pemerintah, melalui aparat terkait, telah
melakukan pendekatan melalui tokoh masyarakat, tokoh agama moderat dan yang cenderung
radikal guna mengubah pemikiran radikal menjadi moderat, yakni dengan memberikan
pengertian sesungguhnya tentang istilah jihadyang selama ini “disalahartikan”.

Permasalahan terorisme hanya dapat diselesaikan melalui kerja sama dan koordinasi
antara berbagai pemangku kepentingan (stake holder), baik instansi pemerintah maupun
masyarakat. Untuk itu, TNI dan Polri terus melakukan latihan gabungan mengingat
pentingnya kerja sama TNI-Polri untuk terorisme. Untuk membantu penanganan kasus yang
berhubungan dengan terorisme, Kejaksaan Agung membentuk satuan tugas penanganan
tindak pidana terorisme dan tindak pidana lintas negara sehingga diharapkan penyelesaian
kasus terorisme dapat dilakukan dengan lebih baik.

Dalam mencegah dan menanggulangi terorisme, Pemerintah tetap berpedoman pada


prinsip yang telah diambil sebelumnya, yakni melakukan secara preventif dan represif yang
didukung oleh upaya pemantapan kerangka hukum sebagai dasar tindakan proaktif dalam
menangani aktivitas, terutama dalam mengungkap jaringan terorisme. Peningkatan kerja
sama intelijen, baik dalam negeri maupun dengan intelijen asing, melalui tukar-menukar
informasi dan bantuan-bantuan lainnya, terus ditingkatkan. Untuk mempersempit ruang gerak
pelaku kegiatan terorisme, Pemerintah akan terus mendorong instansi berwenang untuk
meningkatkan penertiban dan pengawasan terhadap lalu lintas orang dan barang di bandara,
pelabuhan laut, dan wilayah perbatasan, termasuk lalu lintas aliran dana, baik domestik
maupun antarnegara.Penertiban dan pengawasan juga akan dilakukan terhadap tata niaga dan
penggunaan bahan peledak, bahan kimia, senjata api dan amunisi di lingkungan TNI, Polisi,
dan instansi pemerintah. Selain itu, TNI, Polisi, dan instansi pemerintah juga terus melakukan
pengkajian mendalam bekerja sama dengan akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh
agama. Peningkatan kemampuan berbagai satuan anti teror dan intelijen dalam menggunakan
sumber-sumber primer dan jaringan informasi diperlukan agar dapat membentuk aparat anti
teror.
Aksi terorisme sebernanya bukanlah hal baru. Sejak awal kemerdekaan hingga
reformasi aksi terorisme selalu ada dalam bentuk, motif dan gerakan yang berbeda-beda serta
dengan strategi penanggulangan yang berbeda-beda pula. Di masa Orde Lama kebijakan dan
strategi penanggulangan terorisme dilaksanakan dengan pendekatan keamanan melalui
operasi militer dengan basis UU Subversif. Hampir sama dengan Orde Lama,
penanggulangan terorisme pada masa Orde Baru juga mendasarkan pada UU Subversif
dengan penekanan lebih pada operasi intelijen. Pada era reformasi, demokratisasi, kebebasan
dan perspektif HAM di berbagai sektor telah turut mempengaruhi kebijakan dan strategi
penanggulangan terorisme yang lebih mengedepankan aspek penegakan hukum misalnya
lahirnya UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme setelah
tragedi Bom Bali I Tahun 2002 di Legian Bali. Pada perkembangan selanjutnya pada tahun
2010 pemerintah mengeluarkan Perpres No. 46 Tahun 2010 tentang pembentukan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang pada tahun 2012 diubah dengan Perpres
No. 12 Tahun 2012. Pembentukan BNPT merupakan kebijakan negara dalam melakukan
terorisme di Indonesia sebagai pengembangan dari Desk Koordinasi Pemberantasan
Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 2002.

Dalam bidang pencegahan, BNPT menggunakan dua strategi pertama, kontra


radikalisasi yakni upaya penanaman nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilainilai non-kekerasan.
Dalam prosesnya strategi ini dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun non formal.
Kontra radikalisasi diarahkan masyarakat umum melalui kerjasama dengan tokoh agama,
tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan stakehorlder lain dalam
memberikan nilai-nilai kebangsaan. Strategi kedua adalah deradikalisasi. Bidang
deradikalisasi ditujukan pada kelompok simpatisan, pendukung, inti dan militan yang
dilakukan baik di dalam maupun di luar lapas. Tujuan dari deradikalisasi agar; kelompok inti,
militan simpatisan dan pendukung meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam
memperjuangkan misinya serta memoderasi paham-paham radikal mereka sejalan dengan
semangat kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi-misi kebangsaan yang
memperkuat NKRI.

ISIS: Gerakan Baru, Jaringan Lama. Setelah al-Qaeda, ISIS merupakan salah satu kelompok
terorisme yang telah mengejutkan dunia dengan aksi-aksi brutal dan mampu menjaring
pengaruh besar dari beberapa negara. Apa itu ISIS? ISIS pada awalnya merupakan kekuatan
milisi nasional yang tidak puas dengan pemerintahan pasca Saddam Hussien yang dikuasai
kelompok Syiah. Zarqawi adalah pendiri awal gerakan ini yang jauh sebelumnya telah
berbaiat dengan Osama dan menyatakan diri berafiliasi dengan al-Qaeda atau AQI (Al-Qaeda
of Iraq) sebelum akhirnya berubah menjadi Islamic State of Iraq ketika dipimpin Abu Bakar
al-Baghdady. Gerakan ini hanya beroperasi di Irak, namun ketika muncul konflik oposisi di
Suriah, gerakan ini memanfaatkan kekisruhan dgn memperlebar kawasan menjadi ISIS/ISIL.
Dengan penaklukan Mosul yang sempat menggemparkan dunia, Juni 2014 mereka
mendeklarasikan IS (Islamic State). Pada perkembangannya ISIS telah memberikan pengaruh
ke tokoh-tokoh radikal di Asia Tengah seperti Kyrgistan, Tajikistan dan Turkmenistan.
Beberapa tokoh Taliban di Pakistan juga sudah bergabung dengan IS.
Terakhir kelompok teroris Boko Haram juga telah menyatakan diri berbaiat pada
ISIS. Tidak hanya di Timur Tengah ISIS juga telah merambah anak-anak muda Eropa dan
Amerika 4 melalui penyebaran media Ash Shabaab. Di Indonesia Pengaruh ISIS ke Indonesia
melalui tokoh dan kelompok radikal teroris lama. Pada Oktober 2014 sejak 2011 diperkirakan
15,000 orang dari belahan dunia telah bergabung ke ISIS.

Langkah-langkah untuk membendung pertambahan jumlah isis di Indonesia di


antaranya mencakup pencegahan WNI ke Suriah atau Irak, pemantauan yang ketat terhadap
WNI yang diketahui berada di Suriah, dan mengetatkan pengolahan terorisme di lembaga
pemasyarakatan.

Indonesia menjadi tuan rumah dalam pertemuan internasional ke-4 (IMCT) yang
membahas mengenai penanggulangan tindak terorisme pada 10 Agustus di Nusa Dua, Bali.
Acara yang mengambil tema “Menanggulangi Tindak Teror Perbatasan” itu akan dibuka oleh
Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan dihadiri oleh beberapa pemimpin negara. Menurut juru
bicara Kemlu, Arrmanatha Nasir ada 3 fokus Indonesia dalam IMCT yakni memperkuat
jaringan kerja sama internasional untuk mengatasi meningkatnya ancaman dari terorisme,
mengatasi penggunaan teknologi siber dalam menyebarluaskan ekstrimisme dan radikalisme
serta meningkatkan pertukaran informasi, intelejen dan pengalaman untuk mengatasi tindak
terorisme.
B.3 Apakah semua tindakan terorisme berkaitan dengan isu agama?

Isu-isu kontemporer dalam dunia global pada abad ke 21 ini adalah maraknya aksi
radikal seperti bom bunuh diri, penembakan massal, aksi teror dan kegiatan radikal lainnya.
Dengan terjadinya hal tersebut, banyak orang mengaitkannya dengan isu agama, ras dan
politik. Seperti agama Islam yang diusung oleh ISIS sebuah kelompok jihadis yang dikenal
dikalangan masyarakat Internasional.

Organisasi ISIS adalah kelompok radikal yang menggunakan nama islam dalam
kegiatannya yang sesungguhnya bukan cerminan dari agama Islam itu sendiri. Mereka meng-
klaim bahwa tindakan mereka merupakan suatu jihad yang diajarkan oleh para Rasul, padahal
jihad yang sebenarnya dalam Islam tidak mengandung kekerasan sedikit pun. Jihad yang
dilaksanakan Rasul ini adalah menyebarkan agama dengan berdakwah kepada umat manusia
untuk meninggalkan kemusyrikan dan kembali pada ajaran Allah.

Tetapi, tidak semua aksi terorisme dikaitkan dengan agama. Tindak terorisme tidak
mengenal agama. Seperti pada kasus yang belum lama ini terjadi yaitu aksi penembakan di
dua Masjid di kota Christchurch, Selandia Baru yang menewaskan 49 orang dan membuat
warga sekitar merasa khawatir. Pelaku, Brento Tarrant 28 tahun, menjelaskan bahwa apa
yang ia lakukan merupakan dalam rangka menjaga budaya kulit putih agar tidak tergusur oleh
imigran yang datang dari berbagai negara. Terutama negara Islampada kasus tersebut bisa
dikatakan penembakan tersebut disebabkan oleh kecemburuan sosial, karena para imigran
Muslim memiliki tingkat kelahiran yang tinggi dibandingkan masyarakat di New Zealand.
Tarrant berfikir untuk membuat sebuah gerakan melanjutkan apa yang pernah dilakukan oleh
para tokoh pejuang supremasi kulit putih di masa lalu

Jadi tidak semua tindakan terorisme berkaitan dengan agama, bahkan agama Islam
sendiri yang selama ini sering dikaitkan dengan ISIS tidak mengajarkan jihad dalam bentuk
kekerasan. Meskipun dasar ajaran agama yang dipegang sama, setiap orang memiliki cara
mereka sendiri untuk memahami agamanya. Pada dasarnya, semua agama bermaksud
mengajarkan kebaikan. Tidak ada agama yang membenarkan tindakan kekerasan ataupun
pembunuhan.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha


mencapai tujuan pribadi atau kelompok. Serangan-serangan yang terjadi terkordinasi dengan
tujuan menakuti sekelompok masyarakat dengan terornya dan menjalankan aksinya. Aksi
para pelakau tidak tunduk pada cara peperangan, dengan target korban jiwa acak.

Terorisme saat ini menjadi isu di dunia global yang merupakan tindakan pembantaian
atau teror terhadap sekelompok orang. Aksi teror ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor dan
motif. Aksi teror ini juga tidak ada kaitannya dengan isu agama apapun. Karena semua agama
mengajarkan kebaikan bukan kekerasan terhadap sesama.

Sekarang, kita mengetahui tujuan dan motif aksi teror tidak selalu soal agama. Banyak
faktor yang menyebabkan aksi tersebut terjadi. Sehingga saat ini kita, masyarakat
kebanyakan tidak mengklaim bahwa aksi terorisme disebabkan oleh ajaran suatu agama.

B. Saran

Dengan penulisan makalah ini diharapkan pembaca

1. Mengetahui sebab atau faktor pendorong aksi terorisme


2. Menciptakan satu kesatuan untuk memerangi tindak terorisme di dunia global

Anda mungkin juga menyukai