Anda di halaman 1dari 11

Pentingnya Pendidikan Akhlak dalam Keluarga

Sumber Artikel:
http://www.kompasiana.com/khairilmiswar/pentingnya-pendidikan-akhlak-dalam
keluarga_54f35d40745513a22b6c7219
05 Februari 2015 20:56:10 Dibaca : 168

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 10 Agustus 2014

Kata akhlak merupakan serapan yang berasal dari Bahasa Arab, yaitu al-khuluqu dengan bentuk
jamak akhlaq (Munawwir dan Fairuz, 1997: 21). Dalam Kamus Al-Marbawi kata khuluqu
diterjemahkan sebagai perangai dan tabiat. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa (2003: 20)
Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dengan demikian, dari sisi
bahasa, secara sederhana akhlak dapat dipahami sebagai sebuah perilaku yang dimiliki oleh
seseorang. Secara umum, perilaku itu sendiri dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis; perilaku
baik (aklaqul karimah) dan perilaku tercela (akhlaqul mazmumah).

Adapun secara terminologi, para ahli telah mendefinisikan akhlak dalam pengertian yang
beragam. Seorang tokoh pembaharu di Mesir, Syaikh Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip
oleh Dalimunthe (2010: 82-83), menyebutkan bahwa akhlak adalah: “suatu kebaikan dalam
bermu’amalah dengan Allah dan bermu’amalah dengan makhluk lain.” Muhammad Abduh juga
membagi akhlak dalam dua bentuk, yaitu akhlak kepada Allah dan akhlak kepada makhluk.
Akhlak kepada makhluk juga dibagi dalam beberapa macam, akhlak kepada manusia, akhlak
kepada hewan, akhlak kepada tumbuhan dan akhlak kepada benda mati.

Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan oleh Abduh, dapat dipahami bahwa fungsi akhlak yang
pertama adalah untuk menjalin hubungan baik dengan Allah. Akhlak terhadap Allah dapat
tercermin dari kepatuhan dan ketaatan seseorang dalam menjalankan perintah dan menjauhi
larangan yang ditetapkan oleh Allah, baik melalui Alquran maupun melalui lisan Rasul-Nya.
Adapun fungsi kedua dari akhlak adalah untuk menjalin hubungan baik dengan makhluk, baik
dengan manusia, hewan, tumbuhan maupun benda mati. Akhlak terhadap makhluk merupakan
modal utama dalam terciptanya kehidupan yang komunikatif, harmonis dan elegan.

Tentang pentingnya akhlak telah pula disinggung oleh Nabi Saw dalam beberapa hadits, di
antaranya sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari: “sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhak”. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pembentukan akhlak
manusia merupakan salah satu misi kenabian yang mesti dilestarikan oleh setiap muslim.

Fenomena Kerusakan Akhlak

Adalah sebuah realitas yang tak dapat dipungkiri bahwa kondisi akhlak manusia di zaman ini,
khususnya di kalangan anak didik (anak usia sekolah) telah jauh melenceng dari nilai-nilai Islam.
Kita menyaksikan sendiri berbagai bentuk fenomena kerusakan akhlak yang saban hari
“dipamerkan” oleh anak-anak usia sekolah, semisal aksi tawuran, balapan liar, narkoba dan
bahkan pelacuran. Tidak hanya itu, adab dan sopan santun pada anak usia sekolah juga telah
mulai luntur dan pudar, baik terhadap orang tua maupun terhadap guru di sekolah.

Jika dicermati, fenomena kerusakan akhlak yang melanda anak usia sekolah saat ini disebabkan
oleh beberapa faktor, di antaranya: kurangnya kontrol orang tua; pengaruh lingkungan; pengaruh
media, khususnya televesi yang menyajikan tontonan “tidak sehat” bagi anak; dan juga faktor
arus informasi yang tanpa batas semisal kebebasan internet, sehingga anak usia sekolah bebas
melakukan akses terhadap situs-situs yang “tak lazim”. Dengan demikian, tidak-lah heran jika
ada anak usia sekolah melakukan pelecehan seksual dan bahkan pemerkosaan yang merupakan
ekses langsung dari tontonan dan bacaan berbau pornografi. Begitu pula halnya dengan aksi
pembunuhan, pencurian dan aksi bunuh diri yang marak dilakukan oleh anak usia sekolah juga
merupakan ekses dari berbagai tayangan destruktif yang disiarkan oleh media televisi.

Menyikapi berbagai fenomena kerusakan akhlak yang menimpa anak usia sekolah saat ini, tidak
ada pilihan lain harus sesegera mungkin dilakukan upaya pembenahan agar kerusakan akhlak
tersebut tidak mencapai “titik nadir”. Dalam pengertian terbatas, mungkin konsep “Revolusi
Mental” yang pernah digagas oleh Joko Widodo (capres terpilih) bisa menjadi solusi untuk
“mengobati” berbagai penyakit mental (kerusakan akhlak) pada anak usia sekolah. Namun
demikian, dalam pandangan penulis, upaya pembentukan akhlak terhadap anak usia sekolah
harus dilakukan sejak dini dan dimulai dari keluarga.

Gazalba (2001: 382) mengemukakan bahwa disebabkan luasnya lingkaran pendidikan, maka
dapat dibagi dalam tiga lapangan; pendidikan rumah tangga, pendidikan sekolah dan pendidikan
masyarakat. Menurut Gazalba, batas dari ketiga lapangan pendidikan tersebut tidak begitu jelas,
artinya pendidikan yang satu masuk ke dalam lapangan pendidikan lain, demikian pula
sebaliknya. Dari penjelasan Gazalba, dapat dipahami bahwa rumah tangga adalah institusi
pendidikan paling awal yang menjadi media untuk membentuk karakter dan akhlak seorang
anak. Adapun pendidikan sekolah dan masyarakat hanyalah media lanjutan, setelah sebelumnya
mereka (anak) ditempa dalam keluarga. Pondasi dari akhlak itu sendiri harus dibangun dan
dipupuk sejak dini dalam rumah tangga. Dalam pendidikan keluarga tersebut, peran kedua orang
tua merupakan aspek terpenting, mengingat orang tua adalah guru pertama bagi setiap anak.

Orang tua, sebagaimana disebut oleh Daradjat (1979: 48) merupakan pusat kehidupan rohani
bagi anak. Dalam pikiran seorang anak, ibu dan bapaknya adalah orang yang paling sempurna.
Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa seorang ayah merupakan pemimpin dalam keluarganya.
Tanggung jawab seorang ayah tentunya tidak hanya terbatas pada kewajiban dalam menunaikan
kebutuhan materi semisal sandang, pangan dan papan saja. Tapi lebih dari itu, kebutuhan
pendidikan anak juga harus mampu dipenuhi secara optimal, termasuk pembentukan akhlak
anak. Demikian juga dengan ibu, sebagai sosok yang dekat dengan anak juga harus secara intens
menanamkan budi pekerti (akhlak) yang baik kepada anak agar mereka (anak) terbebas dari
perilaku tercela.

Salah satu metode yang tepat dalam membentuk akhlak anak adalah melalui keteladanan. Dalam
bukunya, Bukhari Umar menyebutkan bahwa: “metode keteladanan merupakan metode yang
sangat penting. Banyak ahli pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan
merupakan metode yang paling berhasil guna, karena umumnya anak lebih mudah menangkap
yang konkret daripada yang abstrak. Hal ini disebabkan karena anak akan merasa kesulitan
dalam memahami pesan apabila ia tidak diberikan contoh dalam masalah yang disampaikan
kepadanya” (Umar, 2010: 226).

Sementara itu, Aly dan Munzir (2008: 151), menyatakan bahwa: “pengajaran dan keteladanan
merupakan metode asasi bagi terbentuknya keutamaan dan akhlak. Prinsip ini terlihat dari
perilaku Rasulullah Saw yang bernilai edukatif akhlaki. Oleh Sebab itu Allah memerintahkan
kepada hamba-Nya untuk meneladaninya, yakni melakukan apa yang telah diperintahkannya dan
menjauhi apa yang dilarangnya.”

Metode keteladanan merupakan metode nubuwah yang kerap dipakai oleh Rasulullah dalam
mengajarkan para sahabatnya 1.400 tahun yang lalu, sehingga metode tersebut sangat praktis
digunakan dalam pembentukan akhlak. Hal ini juga sesuai dengan ajaran Ki Hajar Dewantara:
“ing ngarso sung tulodo” (yang di depan memberi contoh). Tentunya akan sangat kontradiktif
pada saat orang tua menekankan anaknya untuk berakhlak mulia, sedangkan dalam
kesehariannya si orang tua justru mempraktekkan perilaku tercela. Memang tidak ada jaminan
bahwa anak seorang pencuri akan menjadi pencuri, demikian pula tidak secara otomatis anak
seorang ulama akan menjadi ulama. Namun demikian, perilaku orang tua berpotensi
mempengaruhi sikap dan pilihan hidup seorang anak. Wallahu Waliyut Taufiq.

*Penulis adalah alumnus IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

khairilmiswar
Bireuen, Aceh, Indonesia
Dilahirkan di Gampong Cot Bada Baroh, Kecamatan Peusangan, Bireuen pada 24 Juli
1981 dari pasangan Ayahanda Tgk. H. Ismail Sarong dan Ibunda Mudiah Affan.
Pendidikan dimulai dari MIN Cot Bada (lulus 1993), MTsN Peusangan (1996), MAN
Peusangan (1999). Pendidikan tinggi pada awalnya di IAIN Ar-Raniry Jurusan Bahasa
Arab pada tahun 1999-2004 (tapi sayang tidak selesai). Di tahun yang sama (1999) juga
kuliah di Diploma Dua IAIN Ar-Raniry (selesai 2001). Tahun 2005 mencoba
menyelesaikan S1 di STIT Almuslim Bireuen Jurusan Pendidikan Agama Islam (lagi-lagi
tidak selesai), Kemudian pada tahun 2010 mencoba melanjutkan lagi S1 di STAI Al-
Wasyliyah Banda Aceh Jurusan PAI (juga tidak bertahan), dan akhirnya pada tahun 2011
bertekad kembali untuk menyelesaikan S1 di STAI Almuslim Bireuen di Jurusan yang
sama dan alhamdulillah lulus pada tahun 2013. Panjangnya riwayat pendidikan S1
bukanlah disebabkan oleh faktor Skripsi sebagaimana sering dikeluhkan oleh banyak
mahasiswa, tetapi lebih disebabkan oleh faktor "M" alias Malas (jangan ditiru) Saat ini
(2014) sedang melanjutkan pendidikan di UIN Ar-Raniry Banda Aceh pada Konsentrasi
Pemikiran dalam Islam (berharap bisa selesai).
Lihat profil lengkapku
Ibadah Minimalis
Sumber artikel:
http://www.kompasiana.com/atep_afia/ibadah-minimalis_550fd9eaa333117c39ba7d88
18 Oktober 2011 12:06:55 Dibaca :

Oleh : Atep Afia Hidayat - Manusia adalah mahluk sudah pasti ada yang menciptakannya,
menghidupkannya dan mematikannya. Manusia ada batas masa hidupnya, tidak ada satupun
yang hidup terus-menerus. Sudah ada kepastian kapan si A harus meninggalkan kehidupan di
dunia, bahkan sudah tertulis kapan detik “D”, menit “M”, jam “J”, hari “H”, bulan “B” dan tahun
“T”-nya, Setiap manusia ada titik jatuh temponya dan sama sekali tidak bisa diperpanjang,
meskipun hanya satu detik.

Menurut prediksi Divisi Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tepat tanggal 31


Oktober 2011, jumlah manusia akan mencapai tujuh milyar jiwa, tersebar di 203 negara yang
ada. Distribusi di permukaan Planet Bumi sangat tidak merata, ada bagian yang sangat padat,
banyak juga yang sangat jarang. Bagian permukaan Bumi yang memiliki sumberdaya ekonomi
berlimpah biasanya dipadati manusia.

Tujuh milyar manusia hidup dan menjalani kehidupan di planet yang sama, secara serempak
semuanya membuat cerita dan berita. Setiap individu manusia ada kisah dan catatannya masing-
masing. Tujuh milyar manusia itu memiliki posisi dan peran masing-masing, menjalani kuota
waktu hidupnya dengan ekspresi dan improvisasi masing-masing.

Namun tujuh milyar manusia tersebut tentu semuanya dalam posisi bergantung, tidak ada yang
memiliki otonomi penuh. Tidak ada yang bisa menjalani kehidupan sepenuhnya sesuai dengan
kemauannya. Manusia adalah mahluk yang ada pengaturnya. Ada yang mem-bolak-balikan
hatinya, ada yang memberikan inspirasi, ada yang mempertahankannya supaya tetap hidup,
beraktivitas dan berkembang biak, serta ada yang akan mengakhiri kehidupannya.

Manusia tidak bisa terbebas dari Penciptanya, meskipun cara berpikir, sikap dan tindakannya
merasa demikian. Tetap saja manusia harus menjalani fase-demi-fase kehidupannya, mulai
proses pembentukan, kelahiran, tumbuh dan berkembang, dewasa, menua dan meninggal. Semua
manusia harus melewati tahapan tersebut, kecuali yang meninggal duluan.

Tidak semata-mata manusia diciptakan, kecuali untuk beribadah kepada Penciptanya. Ya, tugas
manusia ialah beribadah kepada Sang Pencipta. Lantas ibadah seperti apa ? Tentu saja Sang
Pencipta sudah menyiapkan panduan lengkapnya bagaimana manusia beribadah. Selain
dilengkapi perangkat keras (hardware), manusia pun dibekali perangkat lunak (software). Sang
Pencipta menyertakan buku manual untuk standar operasional hidup manusia.

Dengan demikian, tugas manusia ialah mencari dan mencapai Tuhan, Sang Pencipta, melalui
software yang telah disiapkannya. Lantas, bagaimana supaya manusia mendapatkan software
versi original, bukan yang bajakan apalagi telah mengalami modifikasi ? Untuk itu manusia
diberi akal dan pikiran untuk belajar menemukan kebenaran.
Sangat merugi jika menjalani kehidupan tanpa mempedulikan software-nya. Tentu saja
pencapaian tertinggi tidak akan diraih, yang ada hanya menjalani kehidupan dengan kesia-siaan.
Bagaimanapun arena kehidupan adalah ajang ibadah, baik ibadah khusus maupun yang umum.
Hidup terlalu berharga jika menjalaninya hanya dengan ibadah minimalis, ala kadarnya dan
sekedarnya.

Setiap ibadah tentu akan mencapai sasarannya asal menjalaninya sesuai dengan panduan yang
benar. Ibadah itu hanya berlaku sepanjang manusia masih menjalani kehidupan di alam dunia.
Ketika manusia di alam rahim dan di alam kubur, kewajiban ibadah itu tidak ada. Alam rahim
dan alam kubur merupakan masa penantian. Alam rahim adalah penantian untuk menjalani
kehidupan di alam semu atau alam fana (alam dunia). Alam kubur adalah penantian untuk
menjalani kehidupan di alam keabadian (alam akherat).

Ya, perjalanan manusia akan menjalani keabadian di alam akherat. Hanya ada dua kondisi
kehidupan manusia di alam akherat, yaitu bahagia dan sengsara. Adapun faktor yang
menentukannya ialah kualitas dan kuantitas ibadah selama di alam dunia. Sulit dibayangkan,
bagaimana kondisi kehidupan di alam akherat jika selama di alam dunia hanya menjalani ibadah
secara minimalis.

Tujuh milyar manusia yang hidup sekarang dan milyaran manusia yang saat ini berada di alam
penantian (alam kubur), setelah tibanya hari kiamat (saat Planet Bumi mengalami kehancuran
total, bahkan musnah) secara serempak akan memasuki alam keabadian. Kondisi kehidupan di
sana tergantung pada kualitas, kuantitas dan orisinalitas ibadahmya masing-masing. Manusia
diberi seperangkat alat dan sistem untuk mencari kebaikan yang benar dan kebenaran yang baik.
Tidak ada dan upaya kecuali atas pertolongan Allah. Dan Allah tidak akan mengubah nasib suatu
kaum (sekelompok manusia), jika kaum itu tidak berupaya mengubahnya sendiri. (Atep Afia).

PantonaNews.com
Prasangka Buruk Yang Dibolehkan
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/prasangka-buruk-yang-dibolehkan.html

 20 June 2015, 9:03 am


 Akhlak, prasangka, prasangka buruk, suuzhan, suuzhon

Sebagaimana kita ketahui, bahwa berburuk sangka kepada


orang lain adalah akhlak yang tercela dan dilarang dalam
agama. Allah berfirman:

‫ظ ِن إِثْم‬
َّ ‫ض ال‬ َّ ‫اِجْ تَنِب ُْوا َكثِي ًْرا ِمنَ ال‬
َ ‫ظ ِن إِ َّن بَ ْع‬

“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan,


sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa” (QS. Al-
Hujuraat: 12).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

َّ
‫الظن أكذب الحديث‬ َّ ،‫والظن‬
‫فإن‬ َّ ‫إياكم‬

“jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR.
Bukhari-Muslim).

Inilah hukum asal prasangka buruk terhadap sesama Muslim, yaitu terlarang. Karena kehormatan
seorang Muslim pada asalanya terjaga dan mulia.

Prasangka buruk yang dibolehkan

Namun ketahuilah, ada prasangka buruk yang dibolehkan. Syaikh As Sa’di menjelaskan surat Al
Hujurat ayat 12 di atas: “Allah Ta’ala melarang sebagian besar prasangka terhadap sesama
Mukmin, karena ‘sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa’. Yaitu prasangka yang tidak
sesuai dengan fakta dan bukti-bukti” (Taisir Karimirrahman). Maknanya, jika suatu prasangka
didasari bukti atau fakta, maka tidak termasuk ‘sebagian prasangka‘ yang dilarang.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengatakan:

‫ فال يجوز له أن يتشكك في أخيه و يسيء به الظن إال إذا رأى‬،‫فالواجب على المسلم أن ال يسيء الظن بأخيه المسلم إال بدليل‬
‫على أمارات تدل على سوء الظن فال حرج‬

“Maka yang menjadi kewajiban seorang Muslim adalah hendaknya tidak berprasangka buruk
kepada saudaranya sesama Muslim kecuali dengan bukti. Tidak boleh meragukan kebaikan
saudaranya atau berprasangka buruk kepada saudaranya kecuali jika ia melihat pertanda-pertanda
yang menguatkan prasangka buruk tersebut, jika demikian maka tidak mengapa” (Sumber:
http://www.binbaz.org.sa/node/9619).

Beliau juga mengatakan:


‫ ال‬،‫ وإال فالواجب ترك الظن السيئ‬،‫ إال بأسباب واضحة‬،‫ الواجب الحذر من سوء الظن‬،‫ رجل أو امرأة‬،‫فالواجب على كل مسلم‬
‫ وحسن الظن بأخيك‬،‫ الواجب حسن الظن باهلل‬،‫ وال بغير ذلك‬،‫ وال بأخي الزوج وال بأبيه‬،‫بالمرأة وال بالزوج وال باألوالد‬
‫ وإال فاألصل البراءة والسالمة‬،‫ إال بأسباب واضحة توجب التهمة‬،‫ وأال تسيء الظن‬،‫ أو بأختك المسلمة‬،‫المسلم‬

“Maka yang menjadi kewajiban seorang Muslim, baik lelaki atau perempuan, wajib untuk
menjauhi prasangka buruk. Kecuali ada sebab-sebab yang jelas (yang menunjukkan keburukan
tersebut). Jika tidak ada, maka wajib meninggalkan prasangka buruk. Tidak boleh berprasangka
buruk kepada istri, kepada suami, kepada anak, kepada saudara suami, kepada ayahnya atau
kepada saudara Muslim yang lain. Dan wajib berprasangka baik kepada Allah, serta kepada
sesama saudara dan saudari semuslim. Kecuali jika ada sebab-sebab yang jelas yang
membuktikan tuduhannya. Jika tidak ada, maka hukum asalanya adalah bara’ah (tidak ada
tuntutan) dan salamah (tidak memiliki kesalahan)” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 21/147-148,
http://bit.ly/1K2eJBN).

Maka prasangka yang didasari oleh bukti-bukti, atau pertanda, atau sebab-sebab yang
menguatkan tuduhan itu dibolehkan. Semisal jika kita melihat seorang yang datang ke parkiran
motor lalu membuka paksa kunci salah satu motor dengan terburu-buru, kita boleh berprasangka
bahwa ia ingin mencuri. Atau kita melihat orang-orang berkumpul di pinggir jalan disertai botol-
botol khamr dengan wajah kuyu dan mata sayu, kita boleh berprasangka bahwa mereka sedang
mabuk-mabukan.

Macam-macam prasangka buruk

Jika telah kita pahami penjelasan di atas, ketahuilah bahwa para ulama membagi prasangka
buruk atau suuzhan menjadi 4 macam:

1. Suuzhan yang haram, yaitu suuzhan kepada Allah dan suuzhan kepada sesama Mukmin
tanpa bukti atau pertanda yang nyata.
2. Suuzhan yang dibolehkan, yaitu suuzhan kepada sesama manusia yang memang dikenal
penuh keraguan, sering melakukan maksiat. Juga termasuk suuzhan kepada orang kafir.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

‫ فال‬،‫ وأما من عرف بالفسوق والفجور‬،‫ أما الكافر فال يحرم سوء الظن فيه؛ ألنه أهل لذلك‬،‫يحرم سوء الظن بمسلم‬
‫ ويبحث عنها؛ ألنَّه قد‬،‫ ومع هذا ال ينبغي لإلنسان أن يتتبع عورات الناس‬،‫حرج أن نسيء الظن به؛ ألنه أهل لذلك‬
‫سا بهذا العمل‬ ً ‫يكون متجس‬

“diharamkan suuzhan kepada sesama Muslim. Adapun kafir, maka tidak haram
berprasangka buruk kepada mereka, karena mereka memang ahli keburukan. Adapun
orang yang dikenal sering melakukan kefasikan dan maksiat, maka tidak mengapa kita
berprasangka buruk kepadanya. Karena mereka memang gandrung dalam hal itu.
Walaupun demikian, tidak selayaknya seorang Muslim itu mencari-cari dan menyelidiki
keburukan orang lain. Karena sikap demikian kadang termasuk tajassus“.

3. Suuzhan yang dianjurkan, yaitu suuzhan kepada musuh dalam suatu pertarungan. Abu
Hatim Al Busti menyatakan:
‫ فحينئذ يلزمه سوء الظن بمكائده ومكره؛ لئال‬،‫ مكره‬،‫ يخاف على نفسه‬،‫من بينه وبينه عداوة أو شحناء في دين أو دنيا‬
‫يصادفه على غرة بمكره فيهلكه‬

“orang yang memiliki permusuhan dan pertarungan dengan seseorang dalam masalah
agama atau masalah dunia, yang hal tersebut menganjam keselamatan jiwanya, karena
makar dari musuhnya. Maka ketika itu dianjurkan berprasangka buruk dengan tipu daya
dan makar musuh. Karena jika tidak, ia akan dikejutkan dengan tipu daya musuhnya
sehingga bisa binasa”

4. Suuzhan yang wajib, yaitu suuzhan yang dibutuhkan dalam rangka kemaslahatan
syariat. Seperti suuzhan terhadap perawi hadits yang di-jarh. (diringkas dari Mausu’atul
Akhlak Durar Saniyyah, http://www.dorar.net/enc/akhlaq/2283)

Siapa yang diberi udzur?

Dari penjelasan di atas juga kita ketahui bahwa, perkataan salaf semisal:

ْ َ‫ْال ُمؤْ ِمنُ ي‬


َ ‫طلُبُ َم َعاذ‬
‫ِير ِإ ْخ َوانِ ِه‬

“Seorang mu’min itu mencari udzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya”

Tidak berlaku bagi mu’min yang dikenal gemar dengan kemaksiatan atau kefasikan. Adapun
Mu’min yang tidak dikenal dengan kemaksiatan dan kefasikan, maka haram dinodai
kehormatannya dan haram bersuuzhan kepadanya. Dan inilah hukum asal seorang Mu’min.

Terutama orang-orang Mu’min yang dikenal dengan kebaikan, maka hendaknya mencari lebih
banyak alasan untuk berprasangka baik kepadanya. Bahkan, jika ia salah, hendaknya kita
maafkan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ِ ‫أَقِيلُوا ذَ ِوي ْال َه ْيئ َا‬


‫ت زَ َّالتِ ِه ْم‬

“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban 94).

dalam riwayat lain:

‫ إال الحدود‬، ‫أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم‬

“Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kecuali jika
terkena hadd” (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah, 638).

Jauhkan diri dari tuduhan dan hal yang bisa menimbulkan prasangka

Jika telah dipahami penjelasan di atas, yaitu boleh berprasangka buruk kepada seseorang jika
disertai bukti atau pertanda yang jelas. Maka, konsekuensinya seorang Mukmin hendaknya
menjauhkan diri dari hal. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ُ‫َو ِإيَّاكَ َو َما يُ ْعتَذَ ُر ِم ْنه‬

“Tinggalkanlah hal-hal yang membuatmu perlu meminta udzur setelahnya” (HR. Dhiya Al
Maqdisi dalam Ahadits Al Mukhtarah, 1/131; Ar Ruyani dalam Al Musnad, 2/504; Ad Dulabi
dalam Al Kuna Wal Asma’; Dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah,
1/689).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

‫ يُو ِشكُ أَ ْن‬،‫َالرا ِعي َي ْر َعى َح ْو َل ْال ِح َمى‬ َّ ‫ ك‬،‫ت َوقَ َع ِفي ْال َح َر ِام‬ ِ ‫ َو ِع ْر‬،‫ت ا ْستَب َْرأ َ ِلدِي ِن ِه‬
ُّ ‫ َو َم ْن َوقَ َع ِفي ال‬،‫ض ِه‬
ِ ‫شبُ َها‬ ُّ ‫فَ َم ِن اتَّقَى ال‬
ِ ‫شبُ َها‬
َ َ
ِ ‫ أ َال َوإِ َّن ِح َمى هللاِ َم َح‬،‫ أ َال َوإِ َّن ِل ُك ِل َملِكٍ ِح ًمى‬،‫يَ ْرت َ َع فِي ِه‬
ُ‫ار ُمه‬

“Siapa yang menjauhkan diri dari syubhat, sungguh ia telah menjaga agama dan
kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam syubhat, ia akan terjerumus dalam keharaman.
Sebagaimana pengembala yang mengembalakan hewannya di dekat perbatasan sampai ia
hampir saja melewati batasnya. Ketahuilah batas-batas Allah adalah hal-hal yang
diharamkan-Nya” (Muttafaqun ‘alaih).

Misalnya, tidak layak seorang Mukmin berada di dekat-dekat tempat perzinaan (walaupun tidak
berzina) tanpa ada hajat, tidak layak seorang Mukmin sengaja menenteng botol khamr (walaupun
tidak diminum) untuk bercanda atau iseng saja, tidak layak seorang Mukmin berada di restoran
makanan haram (walaupun tidak dimakan) tanpa hajat, dan hal-hal lain yang bisa menimbulkan
tuduhan lainnya.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id
Etika Berbusana Yang Benar

http://artikelasli.blogspot.com/2014/01/etika-berbusana-yang-benarn.html

Ditulis Oleh Didin Sunariyanto di Tuesday, 28 January 2014 | 14:46

Berbusana yang benar merupakan salah satu hal yang tidak dipisahkan dari etika itu sendiri.
Pengertian mengenai Etika adalah salah satu bentuk moral, budaya, bentuk tatanan suatu sifat,
dan tatanan perilaku setiap daerah yang ditempati. Hal ini mempengaruhi tentang nilai berbusana
pada suatu daerah tertentu. Anda dapat mengatur posisi dari pakaian yang anda kenakan untuk
perbaikan diri, sehingga menghasilkan etika yang bagus dalam keseharian anda. Tidak lupa
untuk tetap berperilaku sopan kepada orang lain, itu akan menambah nilai busana yang anda
kenakan.

Setiap Tempat memiliki busana yang tidak melanggar norma, aturan, dan kepatutan dalam
lingkungan. Semisal di daerah sekolahan, bila mengenakan pakaian terbuka maka sebaiknya
ditutupi. Hal ini akan menjadikan nilai tersendiri bagi yang melihatnya. Ketika seseorang
bertatap muka dengan anda maka hal yang paling utama dilihat oleh seseorang adalah cara
berpakaian anda. Jika anda menarik perhatian lawan jenis, maka hal tersebut akan memiliki
makna dalam kehidupan anda. Sehingga untuk membuat orang lain suka kepada anda semakin
mudah.

Mengikuti mode tetap sebaiknya sesuai dengan acara waktu dan tempat masing - masing daerah.
Hindarilah menggunakan pakaian yang mencolok atau menarik perhatian, terutama ditempat
umum. Hal ini dikarenakan untuk menghindari hal - hal yang tidak diinginkan seperti kejahatan
yang sering terjadi. Hindari berbusana yang menyulitkan bergerak atau melangkah, hindari
aksesoris yang menimbulkan bunyi - bunyian, Hindarilah sepatu yang kurang nyaman atau
bersuara keras. Pastikan busana sudah rapi dan jangan merapikan di tempat sembarangan.

Beretika memang sangat diperlukan dalam bersosialisasi dengan lingkungan. Bila bersosialisasi
dengan sesama manusia maka diperlukan tatakrama yang memulai dari etika berkomunikasi.
Etika dirumah, sekolah, tempat umum, perjalanan, dalam berbusana serta dalam pergaulan. Anda
dapat juga membaca artikel mengenai :"Cara Berpikir Positif Dengan Benar" untuk lebih
jelasnya. Karena didalam artikel tersebut membahas mengenai cara orang berpikir, sehingga
pergaulan atau tatanan dari pemikiran anda tercapai dengan baik.

Etika berpakaian sendiri dalam bersosialisasi dengan segala lapisan harus mengedepankan etika
tersebut bila ingin dihargai. Tampilan berbusana adalah tampilan kualitas budaya kepribadian
dan norma manusia. Sehingga etika itu tergantung juga pada faktor kondisi budaya, adat, agama,
dan lingkungan. Terkadang etika tersebut tidak bersifat keseluruhan bila dalam kondisi yuang
berbeda.

Etika itu sendiri ada beberapa macam yang tergabung dari beberapa sudut pandang norma dan
kebiasaan. Antara Lain sebagai berikut ini :

Di tempat Umum
Sebaiknya berpakaian sopan, tidak mengumbar anggota tubuh tertentu yang membuat orang lain
terus melihat. Berpakaian bersih rapi dan tidak berbau, harus sesuai dengan kondisi. Celana jins
sebaiknya dipakai hanya dalam keadaan nonformal, dalam keadaan tidak formal maka sebaiknya
mengkombinasikan dengan jas. Namun dalam keadaan formal sebaiknya tidak memakai jins.

Untuk memilih aksesories seperti gelang, topi, kaling, kacamata sebaiknya digunakan pasa saan
kondisi dan suasana baik. Siasana formal seperti perkawinan memang harus berpakaian resmi
atau baju formal. Memilih warna dan modek sepatu dan topi juga harus disesuaikan dengan
keadaan dan waktu tertentu. Semua menyesuaikan kondisi demikian juga baju formal dan semi
formal harus sesuai dengan keadaan umum.

Sebaiknya bila anda mengenakan pakaian di tempat umum jangan terlihat mencolok,
menghindari orang yang mencurigakan, selalu waspada terhadap barang anda, dan jangan terlalu
berlebihan mengenakan asesories yang dapat menarik perhatian orang lain. Sehingga hal inilah
yang perlu anda perhatikan supaya selamat dalam berpakaian di tempat umum.

Di Sekolahan

Sebaiknya menggunakan baju atasan biasanya dimasikan, tidak dikeluarkan, dan agar lebih rapi
maka siswa maupun siswi menggunakan sabuk agar terlihat sempurna. Siswa dan siswi
diwajibkan menggunakan atribut sekolah lengkat seperti nama, bet, lokasi, logo dan sebagainya.
Pakaian seragam yang dikapai hendaknya tidak transparan, tidak terlalu ketat dan longgar.

Jika anda berada disekolahan atau di tempak kuliah anda, maka hal yang perlu anda perhatikan
adalah pendidikan formal. Yaitu berpakaian rapi, memakai baju dan bukan kaos, bersepatu,
celana panjang dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan dosen atau guru yang akan mengajar
dapat anda hargai dengan busana yang anda kenakan. Sehingga guru atau dosen dapat
memberikan pengalamannya dalam belajar kepada anda semakin baik dan dapat dimengerti
secara detail.

Di Tempat Kerja

Jika anda berada ditempat kerja maka kenakanlah busana yang rapi. Jika anda pegawai maka
sebaiknya menggunakan baju yang baik dan enak dipandang, serta dapat menarik pandangan
orang lain yang berada ditempat kerja anda. Sehingga pekerjaan anda semakin ringan untuk
dikerjakan. Ketertarikan anda dalam membangun karier terletak dari busana yang anda kenakan.
Memang belum banyak orang yang memperhatikan busananya namun hal tersebut pasti akan
merubah kehidupan anda dalam bekerja dengan baik serta menghasilkan perubahan yang baik.

Pekerjaan itu memang harus dilakukan demi terciptanya suatu kehidupan yang mapan, baik dan
sejahtera. Namun hal yang paling utama adalah bagaimana untuk dapat memberikan suasana
yang lebih harmoni, yaitu dengan berbusana yang pantas dan enak dilihat. Orang akan menilai
anda dari segi busana bawah dan atas. Terlebih dari cara anda memakainya, itu akan sangat
diperhatikan oleh orang lain bawasanya anda memperhatikan seluruh tatanan dari busana yang
anda kenakan.

Anda mungkin juga menyukai