Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian tentang efek semprotan nosel pada cerobong evaporasi

terhadap profil kecepatan dan temperatur telah banyak diteliti

sebelumnya, baik secara eksperimen maupun pendekatan simulasi. Pada

bab ini dijelaskan beberapa penelitian terdahulu serta dasar teori yang

memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan yang akan diteliti.

2.1 Kajian Pustaka

Dalam laporan yang dibuat Gant (2006), tentang hasil semprotan

nosel tunggal dengan menggunakan metode CFD, dengan model yang

disimulasikan adalah proses pengabutan air, perpindahan energi thermal

dan momentum yang terjadi terhadap udara sekitar. Kemudian hasil

simulasi dibandingkan dengan hasil eksperimen yang dilakukan oleh

Georges dan Buchlin (1996), ternyata hasil simulasi identik dengan hasil

eksperimen. Gant melakukan pengamatan pada sebuah silinder vertikal

dengan diameter D = 1 meter dan panjang Lo = 1.5 meter, dengan

menggunakan nosel tunggal menghadap kebawah yang terletak dibagian

atas silinder, sedangkan model nosel yang digunakan yaitu sebuah

silinder kecil dengan diameter do = 0.00625 meter dan panjang 0.05

meter. Gambar 2.1 di bawah memberikan informasi tentang benda yang

dipakai oleh Gant.


Gambar 2.1 Dimensi cerobong dan nosel pada simulasi nosel tunggal
(Gant, 2006)

Hasil perbandingan profil kecepatan semprotan air hasil simulasi

yang dilakukan oleh Gant dengan hasil eksperimen yang dilakukan oleh

Georges dan Buchlin dapat dilihat pada gambar 2.2. Kedua gambar ini

memberikan informasi bahwa hasil simulasi dengan hasil ekperimen

identik.

Gambar 2.2 Perbandingan profil kecepatan antara hasil simulasi (kanan)


dengan profil kecepatan dari Georges dan Buchlin (kiri) (Gant, 2006)
Tambur dan Guetta (2006) melakukan penelitian dengan

menggunakan dua jenis nosel yaitu BETE PJ32 dan TF6. Dalam

penelitian ini untuk masing-masing jenis nosel diberikan variasi pada

diameter orifice, dengan jumlah variasi sebanyak 16 macam. Hasil dari

penelitian ini adalah nosel PJ32 menghasilkan hasil semprotan yang lebih

baik pada area permukaan per unit volume daripada nosel TF6.

Penelitian yang dilakukan Pearlmutter, dkk (1996) menjelaskan

bahwa sebagian besar penurunan temperatur pada percobaan dengan

menggunakan tower dengan ketinggian 10 meter dengan nosel

didalamnya pada ketinggian 2 meter. Studi lain yang berkaitan dengan ini

dilakukan oleh Bahadori, dkk (2008), melakukan eksperimen dan

perhitungan satu dimensi pada dua jenis desain baru wind tower dengan

pendingin evaporasi dan pada wind tower konvensional dengan dimensi

yang sama tanpa pendingin evaporasi yang digunakan sebagai

pembanding. Pada tower yang pertama pendingin evaporasi disusun

secara vertikal yang menyelimuti tabung dengan semprotan air.

Sedangkan pada tower yang lain pendinginan evaporasi dilakukan dengan

memberikan lapisan basah pada bagian masuk tower. Pada kedua jenis

tower dengan pendingin evaporasi, udara yang keluar mempunyai

temperatur yang lebih rendah dan kelembaban relatif yang lebih tinggi dari

udara sekitar, dengan hasil di bawah kondisi lingkungan yaitu 29 – 37 0C

dan 10 – 13% kelembaban relatif, temperatur udara keluar sekitar 20 -

240C dengan nilai kelembaban relatif (RH) 63 – 80%. Sistem yang


menggunakan pendingin dibagian selimut/dinding memberikan performa

yang lebih baik pada kecepatan angin yang tinggi daripada sistem yang

menggunakan pendingin lapisan basah. Pada kondisi kecepatan angin

rendah sistem pendingin dengan lapisan basah memberikan performa

yang lebih baik.

Sarjito (2012) meneliti tentang penggunaan jumlah nosel dan

penyusunan letak nosel yang paling optimal pada studi multi-nozzle array.

Dalam penelitan ini parameter yang diamati adalah jumlah aliran massa

(mass flow rate) yang dihasilkan, dan keseragaman profil kecepatan dan

temperatur yang dihasilkan oleh efek semprotan nosel. Penyusunan

nosel-nosel ini memiliki tekanan yang sama, jumlah aliran massa akan

sebanding dengan jumlah nosel yang digunakan, semakin banyak nosel

yang digunakan maka mass flow rate juga bertambah banyak dan

sebaliknya.

Penelitian yang dilakukan Sarjito (2012) ini menggunakan silinder

vertikal dengan penyusunan jumlah nosel lebih dari satu, ukuran silinder

berbeda dengan penelitian nosel tunggal, untuk diameter dan ketinggian

cerobong dimodifikasi menjadi 3 meter dan 4 meter. Model nosel yang

digunakan adalah TF6 dengan tekanan masuk sebesar 3.33 bar, massa

aliran udara 0.096 kg/s dan kecepatan spray 21.57 m/s.

Dua metode penyusunan dari nosel dapat dilakukan dengan cara

menggunakan radius konstan (r) = 0.75 meter disusun dengan posisi

melingkar, metode kedua adalah dengan menggunakan jarak konstan (ds)


= 0.75 meter yang disusun antar nosel. Konfigurasi dengan menggunakan

radius konstan disimulasikan dengan jumlah nosel 3 sampai 20 nosel,

sedangkan penyusunan dengan jarak konstan menggunakan jumlah nosel

3 sampai 12 nosel.

Gambar 2.3 Dimensi cerobong dan nosel pada simulasi multi nosel
(Sarjito, 2012)

Gambar 2.4 Distribusi temperatur pada bagian outlet dengan konfigurasi


radius konstan (Sarjito, 2012)
Gambar 2.5 Distribusi temperatur pada bagian outlet dengan konfigurasi
jarak konstan (Sarjito, 2012)
Penyusunan nosel dengan radius konstan menghasilkan efek

pendinginan yang lebih baik pada bagian pusat, tetapi kurang optimal

pada bagian tepi. Susunan nosel dengan jarak konstan memberikan efek

pendinginan yang lebih baik pada bagian tepi dan juga memberikan efek

yang baik pada bagian pusat dengan jumlah nosel yang lebih sedikit.

Susunan radius konstan memberikan penuruan temperatur yang paling

rendah dan jumlah aliran yang paling banyak, tetapi untuk menghasilkan

efek ini harus menggunakan jumlah nosel yang lebih banyak dari pada

menggunakan nosel dengan susunan jarak konstan. Penggunaan nosel

dengan jumlah antara 6 sampai 11 pada susunan jarak konstan lebih

efektif dalam penurunan temperatur dan penggunaan aliran udara.

Performa pendinginan terbaik tersusun dengan 9 nosel dan jumlah aliran

terbanyak dengan 10 nosel.

Gambar 2.6 Variasi temperatur keluar dan mass flow dengan konfigurasi
nosel yang berbeda (Sarjito, 2012)

Penelitian yang dilakukan oleh Sarjito (2012) memberikan informasi

bahwa susunan nosel yang paling optimal adalah menggunakan jarak


konstan (ds) antar nosel. Kemudian susunan jarak antar nosel divariasi

mulai jarak 0.35m sampai 0.85m, dari konvigurasi ini didapat hasil yang

paling optimal adalah dengan menggunakan konvigurasi nosel berjumlah

11 dengan posisi satu nosel dibagian tengah dan jarak antar nosel 0.65m.

Gambar 2.7 Variasi rata-rata temperatur dan mass flow rate dengan
susunan perbedaan jarak antar nosel (Sarjito 2012)

Gambar 2.8 Konfigurasi nosel yang digunakan (Sarjito 2012)

Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka di atas, maka dalam tugas

akhir ini akan dilakukan penelitian tentang penggunaan nosel dengan

jumlah 11 buah dan jarak antar nosel 0.65 meter. Kemudian dilakukan
penyusunan nosel dengan konfigurasi tertentu agar didapatkan hasil dari

jumlah nosel dan susunan nosel yang paling optimal terhadap efek

pendingian dengan parameter yang diamati adalah profil kecepatan dan

distribusi temperatur.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Computational Fluids Dynamics (CFD)

Merupakan analisis perhitungan dan simulasi proses aliran fluida

yang sesuai untuk permesinan, aerodinamika, otomotif, lingkungan,

kesehatan dan penerapan proses permesinan. Simulasi CFD digunakan

untuk mendesain, mengamati proses dari sebuah sistem, dan untuk

mengetahui performa dari sistem tersebut di bawah kondisi yang yang

berbeda (Yang, 2004).

Perhitungan dengan menggunakan CFD adalah sebuah

perhitungan diferensial kekekalan massa, momentum (Navier-Stokes

equations), energi, konsentrasi struktur kimia dan tingkat turbulensi. Hasil

dari simulasi CFD antara lain adalah distribusi tekanan udara, kecepatan

udara, temperatur udara, jumlah uap air, dan turbulensi baik di dalam

ruangan maupun di luar ruangan. CFD semakin banyak digunakan secara

luas untuk mempelajari kualitas udara di dalam ruangan, fire safety, dan

performa sistem HVAC pada macam-macam bangunan (perumahan,

sekolah, fasilitas kesehatan, pabrik dll.) (Qingyan, 2009).


Gambar 2.9 Jumlah paper yang diterbitkan dari tahun 2002 – 2007 yang
menggunakan CFD untuk memprediksi performa pendinginan pada
bangunan. (Qingyan, 2004)

2.2.2 Nosel

Nosel adalah komponen injeksi yang berfungsi untuk menghasilkan

spray atau semprotan suatu fluida pada bagian evaporasi. Fungsi dari

nosel ini adalah sebagai saluran fluida, sehingga ukuran dari nosel akan

sangat berpengaruh terhadap jumlah aliran massa fluida. Dua jenis nosel

yang umum digunakan adalah tipe BETE PJ32 dan TF6, kedua jenis nosel

ini mempunyai karakteristik masing-masing. Karakteristik semprotan yang

dihasilkan oleh nosel tipe PJ32 memberikan hasil pengabutan yang paling

bagus dengan nosel bertekanan langsung dengan pola semprotan kerucut

penuh. Penggunaan umum dari nosel PJ32 adalah untuk pendinginan

evaporasi, dan proses pelembaban, sedangkan jenis nosel TF6

memberikan efisiensi energi yang tinggi, tidak mudah tersumbat, dan

memiliki debit aliran yang tinggi (Tambur & Guetta, 2006).


Gambar 2.10 Nosel PJ32 dan pola semprotan yang dihasilkan.(Tambur &
Guetta, 2006).

Gambar 2.11 Nosel TF6 dan pola semprotan yang dihasilkan.(Tambur &
Guetta, 2006).

2.2.3 k-epsilon turbulence models

Model k-epsilon paling umum digunakan dalam CFD pada dunia

industri. Model ini mempunyai hasil yang stabil dan kemampuan

memprediksi yang bagus. Model ini nilai olakan viskositas μt ditetapkan

sebagai fungsi linier dari k2/ε dimana k adalah energi kinetik turbulen, dan

ε adalah energi kinetik yang hilang/terdisipasi. Anggapan dasar bahwa

olakan viskositas merupakan perbandingan antara tegangan Reynolds

dan angka rata-rata dari regangan sama pada semua arah hanya pada

saat energi kinetik turbulen yang dihasilkan hampir sama dengan jumlah
angka yang terdisipasi. Karena asumsi ini maka model k-epsilon pada

umumnya tidak bisa memberikan perkiraan yang akurat pada aliran yang

terjadi dibawah gradient tekanan (Chen 2008).

2.2.4 Droplet momentum transfer

Terjadi perubahan momentum pada hasil semprotan air yang

mempunyai kecepatan Up yang bergerak pada udara sekitar dengan

kecepatan Uf, terdapat beberapa gaya yang terjadi pada butiran air

tersebut. Gaya-gaya tersebut adalah gaya hambat, gaya apung,

perbedaan tekanan, dan gaya perubahan massa.

Gambar 2.12 Gaya yang terjadi pada semprotan air (Sarjito, 2012)

Perubahan momentum dari hasil semprotan dapat diselesaikan dengan

perhitungan vektor sebagai berikut :

...................................................(2.1)
Dimana :

mp = droplet mass (kg)

= vektor kecepatan semprotan (m/s)

= vektor gaya hambat (N)

= vektor gaya apung (N)

= vektor gaya perbedaan tekanan (N)

= vektor gaya perubahan massa (N)

Gaya hambat FD dapat dihitung dengan persamaan berikut :

.................................................................(2.2)

Dimana :

CD = koefisien hambatan butiran fluida

ρf = massa jenis butiran fluida (kg/m3)

Ap = luas butiran fluida (phi.d2/4) (m2)

= vector kecepatan slip (m/s)

Nilai dari vector kecepatan slip ( ) dapat ditentukan dengan persamaan

berikut:
.............................................................................(2.3)

dan koefisien gaya hambat dapat ditentukan dengan angka Reynolds

menggunakan korelasi Schiller Naumann sebagai berikut :

Untuk maka digunakan persamaan :

..........................................................(2.4)

Sedangkan untuk

..................................................................................(2.5)

Dimana angka Reynolds dapat dihitung dengan persamaan :

.......................................................................(2.6)

Besarnya gaya apung sama dengan perbedaan antara berat butiran air

dengan berat udara sekitar. Gaya apung didefinisikan sebagai vector

menggunakan vector gravitasi sebagai berikut :

...................................................................(2.7)
Besarnya gaya gradien tekanan ditentukan dari gradien tekanan lokal

disekitar volume droplet, dan di tentukan dengan persamaan berikut :

..........................................(2.8)

Jika proses semprotan air terjadi pada kecepatan aliran rendah, maka

gaya ini dapat diabaikan.

Besarnya gaya perubahan massa dapat ditentukan dengan persamaan

berikut :

............................................(2.9)

Sama dengan gaya gradien tekanan, jika proses semprotan air terjadi

pada pada kecepatan aliran rendah, maka gaya ini dapat diabaikan.

2.2.5 Droplet distribution models

Dalam CFX, distribusi diameter droplet dapat dispesifikasikan

secara langsung sebagai fungsi analisis dengan menggunakan fungsi

distribusi Rosin-Rammler atau Nukiyama-Tanasawa.

a. Model distribusi Rosin-Rammler dan Nukiyama-Tanasawa


Fungsi distribusi Rosin-Rammler R(d) menentukan mass fraction

pada droplet pada hasil semprotan yang berada di atas partikel yang

mempunyai diameter d. Fungsi ini ditetapkan dengan menggunakan

parameter de dan sebagai berikut :

...........................................................(2.10)

Dimana de adalah diameter yang mana R(d) sama dengan 1/e atau 0.368,

dan adalah Rosin-Rammler power, merupakan sebuah ukuran lebar dari

distribusi partikel (ANSYS CFX 15-Solver theory guide 2014).

Fungsi distribusi Nukiyama-Tanasawa P(d) didefinisikan dengan

menggunakan empat parameter berikut :

....................................................(2.11)

Dimana c adalah sebuah konstanta, q adalah Nukiyama-Tanasawa power,

dan de dan didefinisikan pada distribusi Rosin-Rammler (Mugele, 1951)

dan (Gonzalez-Tello dkk, 2008).

Fungsi Rosin-Rammler dan Nukiyama-Tanasawa hanya bisa

memberikan data tentang distribusi diameter yang bagus. Jika data yang
bagus tidak bisa diperoleh, data distribusi diameter dapat dimasukkan

sebagai rangkaian massa dan angka pecahan diameter.

b. Bilangan Reynolds (Re)

Bilangan Reynolds didefinisikan sebagai perbandingan antara gaya

inersia dengan gaya kekentalan, dan dinyatakan dalam persamaan :

.................................................................................(2.12)

...............................................................................(2.13)

Dimana :
Re = bilangan Reynolds
V = kecepatan aliran udara rata-rata (m/s)
D = diameter nosel saluran masuk (m)
ρ = rapat jenis fluida (kg/m3)
μ = viskositas dinamik udara (kg.m/s)
v = viskositas kinematik udara (m2/s)

c. Bilangan Nusselt (Nu)

Bilangan yang menyatakan perbandingan antara koefisien

perpindahan panas konveksi terhadap konduktifitas thermal fluida.

Bilangan Nusselt dapat dirumuskan sebagai berikut :

..............................................(2.14)

Dimana :
Nu = Nusselt number
Rep = droplet Reynolds number
Prf = Prandtl number

d. Debit Aliran Fluida


Debit adalah banyaknya aliran massa fluida yang masuk melalui

luasan permukaan tertentu. Debit dapat dirumuskan sebagai berikut :

....................................................................................(2.15)

Dimana :
Q = debit fluida (m3/s)
A = luas permukaan saluran (m2)
V = kecepatan fluida (m/s)

e. Massa Aliran Fluida

Yaitu banyaknya massa aliran fluida yang mengalir tiap satuan

waktu, dapat dirumuskan sebagai berikut :

..................................................................................(2.16)

Dimana :
ṁ = mass flow rate (kg/s)
ρ = massa jenis fluida (kg/m3)
v = volume fluida (m3)

f. Kelembaban relatif ( )

Kelembaban relatif adalah rasio dari tekanan parsial uap air dalam

campuran terhadap tekanan uap jenuh air pada temperatur tertentu.

Kelembaban relatif dapat dihitung dengan rumus:

..............................................................(2.17)
Dimana :

φ = relative humidity (%)

P(H20)= tekanan parsial uap air dalam campuran (Pa)

P’(H20)=tekanan uap jenuh air pada temperatur tertentu dalam

campuran. (Pa)

Agar bisa menampilkan contour plot RH percent pada ANSYS maka

digunakan rumus sebagai berikut :

...........................................................................................(2.18)

g. Humidity ratio (W)

Untuk udara lembab, humidity ratio (W) atau perbandingan massa

uap air dengan massa udara kering, yang dijelaskan oleh Stoeker dan

Jones (1982) sebagai berikut :

..........................................................(2.19)

Dimana :

R = konstanta gas udara kering (287 J/kg.K)

Rw = konstanta gas uap air (416.5 J/kg.K)

Patm = tekanan atmosphere (101325 Pa)


Pw = tekanan uap air (=ø.Psat) (Pa)

Ø = relative humidity udara (kg/kg)

Psat = tekanan jenuh air (Pa)

h. Tekanan Uap Jenuh (P sat)

Untuk menghitung tekanan uap jenuh air digunakan persamaan

Antoine:

................................................................(2.20)

Dimana :
T = temperatur (K)
A = 5.11564.ln(10)
B = 1687.54.ln(10)
C = -42.92

i. Humidity ratio pada suatu tempat i = 0, 1

...................................................................(2.21)

Dimana :
= aliran massa uap air (kg/s)
= aliran massa udara kering (kg/s)
= aliran massa udara basah (kg/s)

Dari persamaan di atas, maka didapatkan rumus untuk aliran massa uap

air sebagai berikut :

..............................................................................(2.22)
Aliran massa uap antara bagian masuk dengan bagian keluar

dapat dihitung dengan persamaan berikut :

.............................................................(2.23)

Dimana :
= aliran massa uap diantara bagian masuk dan keluar (kg/s)

= aliran massa uap bagian masuk (kg/s)

= aliran massa uap bagian keluar (kg/s)

Daya thermal penyerapan panas oleh semprotan air dapat dihitung

dengan menggunakan rumus :

(kW).......................(2.24)

Dimana :

P01 = daya termal penyerapan antara lokasi 0 dan 1 (W, kW)

Cpw = panas jenis air (kJ/kg.K)

Ti = temperatur udara basah pada lokasi i = 0, 1,2… (K, 0C)

Tw = temperatur semprotan air (K, 0C)

L = panas laten penguapan air (kJ/kg)

Anda mungkin juga menyukai