Anda di halaman 1dari 51

3

BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Rumah Sakit


2.1.1 Pengertian Rumah Sakit
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit,
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
(1)
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat . Pelayanan
kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif (2).
2.1.2 Landasan Hukum
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Rumah Sakit
dan kegiatannya adalah :
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
3. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2015 Tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi
dan Perizinan Rumah Sakit
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika dan Psikotropika.
2.1.3 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit (3)
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit menyebutkan bahwa, Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan
4

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Adapun fungsi Rumah


Sakit adalah sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui
pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai
kebutuhan medis.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan
kesehatan.
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan
teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan
kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang
kesehatan.
2.1.4 Persyaratan Rumah Sakit (3)
Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan,
prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan. Rumah sakit
dapat didirikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Swasta. Rumah
Sakit yang didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus
berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di bidang
kesehatan, Instansi tertentu, atau Lembaga Teknis Daerah dengan
pengelolaan Badan Layanan umum atau Badan Layanan Umum Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan lokasi didirikannya Rumah Sakit harus memenuhi
ketentuan mengenai kesehatan, keselamatan lingkungan, dan tata ruang,
serta sesuai dengan hasil kajian kebutuhan dan kelayakan penyelenggaraan
Rumah Sakit yang meliputi upaya pemantauan lingkungan, upaya
pengelolaan lingkungan dan/atau dengan analisis mengenai dampak
lingkungan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bangunan Rumah Sakit sebagaimana dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit harus dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang
5

paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan


ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Bangunan yang harusnya ada di
Rumah Sakit adalah sebagai berikut :
a. Rawat jalan
b. Ruang rawat inap
c. Ruang gawat darurat
d. Ruang operasi
e. Ruang tenaga kesehatan
f. Ruang radiologi
g. Ruang laboratorium
h. Ruang sterilisasi
i. Ruang farmasi
j. Ruang pendidikan dan latihan
k. Ruang kantor dan administrasi
l. Ruang ibadah, ruang tunggu
m. Ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit
n. Ruang menyusui
o. Ruang mekanik
p. Ruang dapur
q. Laundry
r. Kamar jenazah
s. Taman
t. Pengolahan sampah
u. Pelataran parkir yang mencukupi
Prasarana Rumah Sakit menurut Undang-Undang Republik
Indonesia No 44 Tahun 2009 dapat meliputi :
a. Instalasi air
b. Instalasi mekanikal dan elektrikal
c. Instalasi gas medik
d. Instalasi uap
e. Instalasi pengelolaan limbah
f. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran
6

g. Petunjuk, standar dan sarana evakuasi saat terjadi keadaan darurat


h. Instalasi tata udara
i. Sistem informasi dan komunikasi
j. Ambulan
Persyaratan sumber daya Rumah Sakit harus memiliki tenaga tetap
yang meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan,
tenaga kefarmasian, tenaga manajemen Rumah Sakit, dan tenaga non
kesehatan. Jumlah dan jenis sumber daya mansia haruslah sesuai dengan
jenis dan klasifikasi Rumah Sakit.
Persyaratan kefarmasian harus menjamin ketersediaan sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau.
Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan medis habis pakai
di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi system satu pintu.
Adapun persyaratan peralatan meliputi peralatan medis dan
nonmedis. Peralatan ini haruslah memenuhi standar pelayanan, persyaratan
mutu, keamanan, keselamatan dan laik pakai. Untuk pesyaratan medis harus
diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh Balai Pengujian Fasilitas Kesehatan
dan/atau institusi pengujian fasilitas kesehatan yang berwenang.
Penggunaan peralatan medis dan nonmedis di Rumah Sakit harus dilakukan
sesuai dengan indikasi medis pasien.
2.1.5 Bentuk dan Klasifikasi Rumah Sakit (4)
2.1.5.1 Bentuk Rumah Sakit
Berdasarkan bentuknya, Rumah Sakit dibedakan menjadi :
a. Rumah Sakit menetap, merupakan rumah sakit yang didirikan secara
permanen untuk jangka waktu yang lama untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
b. Rumah Sakit bergerak, merupakan Rumah Sakit yang siap guna dan
bersifat sementara dalam jangka waktu tertentu dan dapat diipindahkan
dari satu lokasi ke lokasi lain. Rumah sakit bergerak dapat berbentuk
bus, kapal laut, caravan, gerbong kereta api, atau container.
7

c. Rumah Sakit lapangan, merupakan Rumah Sakit yang didirikan di


lokasi tertentu selama kondisi darurat dalam pelaksanaan kegiatan
tertentu yang berpotensi bencana atau selama masa tanggap darurat
bencana. Dapat berbentuk tenda di ruang terbuka, container, atau
bangunan permanen yang difungsikan sementara sebagai Rumah Sakit.
2.5.1.2 Klasifikasi Rumah Sakit
Penetapan klasifikasi Rumah Sakit berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014, didasarkan pada :
a. Pelayanan
b. Sumber daya manusia
c. Peralatan
d. Bangunan dan prasarana
Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit
dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Untuk
Rumah sakit umum diklasifikasikan menjadi :
a. Rumah Sakit Umum Kelas A
b. Rumah Sakit Umum Kelas B
c. Rumah Sakit Umum Kelas C
d. Rumah Sakit Umum Kelas D. Untuk Rumah Sakit Umum Kelas D
diklasifikasikan menjadi :
a) Rumah Sakit Umum Kelas D
b) Rumah Sakit Umum Kelas D Pratama
Untuk Rumah Sakit Khusus diklasifikasikan menjadi :
a. Rumah Sakit Khusus kelas A
b. Rumah Sakit Khusus Kelas B
c. Rumah Sakit Khusus Kelas C
Klasifikasi Rumah Sakit Umum
1. Rumah Sakit Umum Kelas A
a) Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit meliputi 4 (empat)
pelayanan medik spesialis dasar, 5 (lima) pelayanan medik spesialis
penunjang, 11 (sebelas) pelayanan medik spesialis lain, 16 (enam
8

belas) pelayanan medik subspesialis, 7 (tujuh) pelayanan medik


spesialis gigi dan mulut.
b) Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas A
meliputi Pelayanan Medik, Pelayanan Kefarmasian, Pelayanan
Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik,
Pelayanan Penunjang Non Klinik, Pelayanan Rawat Inap.
c) Jumlah tempat tidur > 500 bed dengan dilengkapi 15 Apoteker.
2. Rumah Sakit Umum Kelas B
a) Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit meliputi 4 (empat)
pelayanan medik spesialis dasar, 5 (lima) pelayanan medik spesialis
penunjang, 8 (delapan) dari 13 (tiga belas) pelayanan medik
spesialis lain, 2 (dua) dari 4 (empat) pelayanan medik subspesialis,
3 (tiga) pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.
b) Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas B
meliputi Pelayanan Medik, Pelayanan Kefarmasian, Pelayanan
Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik,
Pelayanan Penunjang Non Klinik, Pelayanan Rawat Inap.
c) Jumlah tempat tidur 200-500 bed dengan dilengkapi 13 Apoteker.
3. Rumah Sakit Kelas C
a) Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit meliputi 4 (empat)
pelayanan medik spesialis dasar, 3 (tiga) pelayanan medik spesialis
penunjang, 1 (satu) pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.
b) Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas C
meliputi Pelayanan Medik, Pelayanan Kefarmasian, Pelayanan
Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik,
Pelayanan Penunjang Non Klinik, Pelayanan Rawat Inap.
c) Jumlah tempat tidur 100-200 bed dengan dilengkapi 8 Apoteker.
9

4. Rumah Sakit Kelas D


a) Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit meliputi 2 (dua) dari 4
(empat), pelayanan medik spesialis dasar, 2 (dua) pelayanan medik
spesialis penunjang.
b) Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas D
meliputi Pelayanan Medik, Pelayanan Kefarmasian, Pelayanan
Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik,
Pelayanan Penunjang Non Klinik, Pelayanan Rawat Inap.
c) Jumlah tempat tidur 50-100 bed dengan dilengkapi 3 Apoteker.
Untuk Rumah Sakit Kelas D Pratama hanya dapat didirikn dan
diselenggarakan di daerah tertinggal, perbatasan, atau kepulauan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah Sakit Kelas D
Pratama dapat juga didirikan di kabupaten/kota, apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut :
a. Belum tersedia Rumah Sakit di Kabupaten/Kota yang bersangkutan
b. Rumah Sakit yang telah beroperasi di Kabupaten/Kota yang
bersangkutan kapasitasnya belum mencukupi; atau
c. Lokasi Rumah Sakit yang beroperasi sulit dijagkau secara geografis oleh
sebagian penduduk di Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Klasifikasi Rumah Sakit Khusus
Adapun Rumah Sakit Khusus meliputi : Ibu dan Anak, Mata, Otak,
Gigi dan Mulut, Kanker, Jantung dan Pembuluh Darah, Jiwa, Infeksi, Paru,
Telinga-Hidung-Tenggorokan, Bedah, Ketergantungan Obat, dan Ginjal.
Rumah Sakit Jhusus juga harus mempunyai fasilitas dan kemampuan paling
seidkit meliputi pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan
keperawatan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan penunjang non klinik.
Untuk pelayanan medik, paling sedikit terdiri dari pelayanan gawat
darurat 24 (dua puluh) empat jam, pelayanan medik umum, pelayanan
medik spesialis dasar sesuai kekhususan, pelayanan medik spesialis
dan/atau subspesialis sesuai kekhususan, pelayanan medik spesialis
penunjang.
10

2.1.6 Perizinan Rumah Sakit (4)


Setiap Rumah Sakit wajib memiliki izin. Izin ini terdiri atas izin
mendirikan dan izin operasional. Izin mendirikan diajukan oleh pemilik
Rumah Sakit, sedangkan untuk izin operasional diajukan oleh pengelola
Rumah Sakit.
Izin mendirikan dan izin operasional untuk Rumah Sakit kelas A dan
Rumah Sakit penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri
diberikan oleh Menteri bidang Kesehatan pada pemerintah propinsi.
Menteri mendelegasikan kepada Direktur Jenderal di lingkungan
Kementerian Kesehatan yang bertugas di bidang pembinaan
perumahsakitan.
Untuk rumah sakit kelas B penanaman modal dalam negeri, Menteri
mendelegasikan pemberian izin mendirikan dan izin operasional kepada
pemerintah daerah propinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat
yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Pemberian izin mendirikan dan izin operasional untuk rumah sakit
kelas C dan D penanaman modal dalam negeri, Menteri mendelegasikan
kepada pemerintah daerah kabupaten/kota setelah mendapatkan
rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada
Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Pemilik atau pengelola yang akan mendirikan Rumah Sakit
mengajukan permohonan izin mendirikan kepada pemberi izin sesuai
dengan klasifikasi rumah sakit yang akan didirikan secara tertulis dengan
melampirkan :
a. Fotokopi akta pendirian badan hokum yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecuali instansi Pemerintah atau
Pemerintah Daerah
b. Studi kelayakan
c. Master plan
d. Detail engineering design
e. Dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan
11

f. Fotokopi sertifikat tanah/bukti kepemilikan tanah atas nama badan


hukum pemilik rumah sakit
g. Izin undang-undang gangguan (Hinder Ordonantie/HO)
h. Surat izin tempat usaha (SITU)
i. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
j. Rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada
Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan klasifikasi
Rumah Sakit.
Studi kelayakan merupakan gambaran kegiatan perencanaan Rumah
Sakit secara fisik dan non fisik yang terdiri atas :
a. Kajian kebutuhan pelayanan Rumah Sakit yang meliputi :
1) Kajian demografi yang mempertimbangkan luas wilayah dan
kepadatan penduudk serta karakteristik penduduk yang terdiri dari
umur, jenis kelamin, dan status perkawinan.
2) Kajian sosio-ekonomi yang mempertimbangkan kultur/kebudayaan,
tingkat pendidikan, angkatan kerja, lapangan pekerjaan, pendapatan
domestic rata-rata bruto.
3) Kajian morbiditas dan mortalitas, yang mempertimbangkan
sekurang-kurangnya sepuluh penyakit utama, angka kematian
(GDR-NDR), dan angka persalinan.
4) Kajian kebijakan dan regulasi, yang mempertimbangkan kebijakan
dan regulasi pengembangan wilayah pembangunan sector non
kesehatan, kesehatan, dan perumahsakitan.
5) Kajian aspek internal rumah sakit merupakan rancangan sistem-
sistem yang akan dilaksanakan atau dioperasionalkan, yang terdiri
dari sistem manajemn organisasi termasuk sistem manajemen unit-
unit pelayanan, sistem unggulan pelayanan, tarif teknologi
peralatan, sistem tarif, serta rencana kinerja dan keuangan.
b. Kajian kebutuhan lahan, bangunan, prasarana, sumber daya manusia,
dan peralatan sesuai kriteria klasifikasi Rumah Sakit yang akan
didirikan yang meliputi:
12

1) Lahan dan bangunan Rumah Sakit harus dalam satu kesatuan lokasi
yang saling berhubungan dengan ukuran, luas dan bentuk lahan serta
bangunan/ruang mengikuti ketentuan tata ruang daerah setempat
yang berlaku.
2) Persyaratan lokasi meliputi :
a) Tidak berada di lokasi area berbahaya (di tepi lereng, dekat kaki
gunung yang rawan terhadap longsor, dekat anak sungai atau
badan air yang dpt mengikis pondasi, dekat dengan jalur patahan
aktif/gempa, rawan tsunami, rawan banjir, berada dalam zona
topan/badai, dan lain-lain).
b) Harus tersedia infrastruktur aksesibilitas untuk jalur transportasi.
c) Ketersediaan utilitas publik mencukupi seperti air bersih,
jaringan air kotor, listrik, jalur komunikasi/telepon.
d) Ketersediaan lahan parkir.
e) Tidak berada di bawah pengaruh SUTT dan SUTET.
3) Rencana cakupan, jenis pelayanan kesehatan, dan fasilitas lain
4) Jumlah, spesialisasi, dan kualifikasi sumber daya manusia; dan
5) Jumlah, jenis, dan spesifikasi peralatan mulai dari peralatan
sederhana hingga peralatan canggih.
c. Kajian kemampuan pendanaan/pembiayaan yang meliputi:
1) Prakiraan jumlah kebutuhan dana investasi dan sumber pendanaan
2) Prakiraan pendapatan atau proyeksi pendapatan terhadap prakiraan
jumlah kunjungan dan pengisian tempat tidur
3) Prakiraan biaya atau proyeksi biaya tetap dan biaya tidak tetap
terhadap prakiraan sumber daya manusia
4) Proyeksi arus kas 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun; dan
5) Proyeksi laba atau rugi 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun.
Master plan sebagaimana yang dimaksud memuat strategi
pengembangan aset untuk sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun kedepan
dalam pemberian pelayanan kesehatan secara optimal yang meliputi
identifikasi proyek perencanaan, demografis, tren masa depan, fasilitas yang
ada, modal dan pembiayaan.
13

Detail Engineering merupakan gambar perencanaan lengkap Rumah


Sakit yang akan dibangun yang meliputi gambar arsitektur, struktur dan
mekanikal elektrikal sesuai dengan persyaratan teknis yang ditetapkan oleh
Menteri. Izin Undang-Undang gangguan (hinder ordonantie/HO) dan/atau
surat izin tempat usaha (SITU), dan izin mendirikan bangunan (IMB)
diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.1.7 Komite/Tim Farmasi dan Terapi (2)
Menurut Permenkes Nomer 72 tahun 2016 Dalam pengorganisasian
Rumah Sakit dibentuk Komite/Tim Farmasi dan Terapi yang merupakan
unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit
mengenai kebijakan penggunaan Obat di Rumah Sakit yang anggotanya
terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah
Sakit, Apoteker Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila
diperlukan. Panitia Farmasi dan Terapi harus dapat membina hubungan
kerja dengan komite lain di dalam Rumah Sakit yang
berhubungan/berkaitan dengan penggunaan Obat.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat diketuai oleh seorang dokter
atau seorang Apoteker, apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya
adalah Apoteker, namun apabila diketuai oleh Apoteker, maka sekretarisnya
adalah dokter. Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat
secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk Rumah Sakit besar
rapat diadakan sekali dalam satu bulan. Rapat Komite/Tim Farmasi dan
Terapi dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar Rumah Sakit
yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan Komite/Tim Farmasi
dan Terapi, memiliki pengetahuan khusus, keahlian-keahlian atau pendapat
tertentu yang bermanfaat bagi Panitia Farmasi dan Terapi.
2.1.7.1 Susunan Organisasi dan Kegiatan Komite/Tim Farmasi dan Terapi (2)
Dalam pengorganisasian Rumah Sakit dibentuk Komite/Tim
Farmasi dan Terapi yang merupakan unit kerja dalam memberikan
rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit mengenai kebijakan
penggunaan Obat di Rumah Sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang
mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, Apoteker Instalasi
14

Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan. Komite/Tim


Farmasi dan Terapi harus dapat membina hubungan kerja dengan komite
lain di dalam Rumah Sakit yang berhubungan/berkaitan dengan penggunaan
Obat.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat diketuai oleh seorang dokter
atau seorang Apoteker, apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya
adalah Apoteker, namun apabila diketuai oleh Apoteker, maka sekretarisnya
adalah dokter.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara
teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk Rumah Sakit besar rapat
diadakan sekali dalam satu bulan. Rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi
dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar Rumah Sakit yang
dapat memberikan masukan bagi pengelolaan Komite/Tim Farmasi dan
Terapi, memiliki pengetahuan khusus, keahlian-keahlian atau pendapat
tertentu yang bermanfaat bagi Komite/Tim Farmasi dan Terapi.
2.1.7.2 Tugas Komite/Tim Farmasi dan Terapi (2)
a. Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan Obat di Rumah Sakit;
b. Melakukan seleksi dan evaluasi Obat yang akan masuk dalam
formularium Rumah Sakit;
c. Mengembangkan standar terapi;
d. mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan Obat;
e. melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan Obat yang
rasional;
f. mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki;
g. mengkoordinir penatalaksanaan medication error;
h. menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan Obat di
Rumah Sakit.
2.1.7.3 Peran Komite/Tim Lain yang Terkait (2)
Peran Apoteker dalam Komite/Tim lain yang terkait penggunaan
Obat di Rumah Sakit antara lain:
1. Pengendalian Infeksi Rumah Sakit

2. Keselamatan Pasien Rumah Sakit


15

3. Mutu Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit

4. Perawatan paliatif dan bebas nyeri

5. Penanggulangan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndromes);

6. Direct Observed Treatment Shortcourse (DOTS);

7. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA)

8. Transplantasi

9. PKMRS; atau
10. Terapi Rumatan Metadon
2.1.8 Susunan Organisasi Rumah Sakit Budhi Asih (5)
Adapun susunan organisasi Rumah Sakit Umum Daerah Budhi
Asih, sebagai berikut :
a. Direktur
b. Wakil Direktur Keuangan dan Umum, terdiri dari :
1. Bagian Umum dan Pemasaran
2. Bagian Sumber Daya Manusia
3. Bagian keuangan dan Perencanaan
c. Wakil Direktur Pelayanan, terdiri dari :
1. Bidang Pelayanan Medis
2. Bidang Pelayanan Penunjang Medis
3. Bidang Pelayanan Keperawatan
d. SPI
e. Komite Medik
f. Komite Keperawatan
g. Komite Mutu
h. Komite Jabatan Fungsional
2.1.9 Instalasi Farmasi Rumah Sakit
2.1.9.1 Definisi (2)
Menurut permenkes nomer 72 tahun 2016. Instalasi Farmasi adalah
unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Pengorganisasian Instalasi Farmasi
harus mencakup penyelenggaraan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
16

Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, pelayanan farmasi klinik dan
manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan
dengan tetap menjaga mutu.
2.1.9.2 Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Menurut Permenkes No 72 Tahun 2016:
a. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi
seluruh kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang optimal dan profesional
serta sesuai prosedur dan etik profesi;
b. Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien;
c. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna
memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko;
d. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta
memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;
e. Berperan aktif dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi;
f. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan Pelayanan
Kefarmasian; memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar
pengobatan dan formularium Rumah Sakit.
2.1.9.3 Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Menurut Permenkes No. 72 Tahun 2016;
a) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis
Pakai
1. Memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
2. Merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai secara efektif, efisien dan optimal;
3. Mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai
ketentuan yang berlaku
17

4. Memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis


Habis Pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit;
5. Menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku;
6. Menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian;
7. Mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah Sakit;
8. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;
9. Melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari;
10. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila sudah
memungkinkan);
11. mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait
dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai;
b) Pelayanan Farmasi Klinik
1. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau permintaan
Obat;
2. Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat
3. Melaksanakan rekonsiliasi Obat;
4. Memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik
berdasarkan Resep maupun Obat non Resep kepada pasien/keluarga
pasien;
5. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait
dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai;
6. Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan
lain;
7. Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
8. Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
18

Kegiatan Pemantauan Terapi obat terdiri dari:


1) Pemantauan efek terapi Obat;
2) Pemantauan efek samping Obat;
3) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
9. Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
10. Melaksanakan dispensing sediaan steril
1) Melakukan pencampuran Obat suntik
2) Menyiapkan nutrisi parenteral
3) Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik
4) Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak stabil
11. Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga
kesehatan lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar
Rumah Sakit;
12. Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).
2.1.10 Kegiatan Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai (2)
Menurut Permenkes Nomor 72 tahun 2016;
a. Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan
kebutuhan. Pemilihan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai ini berdasarkan:
1. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi;
2. Standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai yang telah ditetapkan;
3. Pola penyakit;
4. Efektifitas dan keamanan;
5. Pengobatan berbasis bukti;
6. Mutu;
7. Harga; dan
8. Ketersediaan di pasaran.
19

Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada


Formularium Nasional. Formularium Rumah Sakit merupakan daftar
Obat yang disepakati staf medis, disusun oleh Komite/Tim Farmasi dan
Terapi yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit.
Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis
Resep, pemberi Obat, dan penyedia Obat di Rumah Sakit. Evaluasi
terhadap Formularium Rumah Sakit harus secara rutin dan dilakukan
revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan Rumah Sakit.
Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit
dikembangkan berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari
penggunaan Obat agar dihasilkan Formularium Rumah Sakit yang
selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang
rasional. Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit:
1. Membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf Medik
Fungsional (SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan
medik
2. Mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi
3. Membahas usulan tersebut dalam rapat Komite/Tim Farmasi dan
Terapi, jika diperlukan dapat meminta masukan dari pakar
4. Mengembalikan rancangan hasil pembahasan Komite/Tim Farmasi
dan Terapi, dikembalikan ke masing-masing SMF untuk
mendapatkan umpan balik;
5. Membahas hasil umpan balik dari masing- masing SMF;
6. Menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah
Sakit;
7. Menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi; dan
8. Melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit kepada
staf dan melakukan monitoring.
Kriteria pemilihan Obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit :
1. Mengutamakan penggunaan Obat generik;
2. Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling
menguntungkan penderita;
20

3. Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas;


4. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan;
5. Praktis dalam penggunaan dan penyerahan;
6. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien;
7. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak lansung; dan Obat lain yang
terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence based
medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga
yang terjangkau.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap
formularium Rumah Sakit, maka Rumah Sakit harus mempunyai
kebijakan terkait dengan penambahan atau pengurangan Obat dalam
Formularium Rumah Sakit dengan mempertimbangkan indikasi
penggunaaan, efektivitas, risiko, dan biaya.
b. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan
jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk
menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu
dan efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan
dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi,
epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan
harus mempertimbangkan:
a) Anggaran yang tersedia;
b) Penetapan prioritas;
c) Sisa persediaan;
d) Data pemakaian periode yang lalu;
e) Waktu tunggu pemesanan; dan
f) Rencana pengembangan.
21

c. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus
menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga
yang terjangkau dan sesuai standar mutu.
Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan
dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan,
penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan,
pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses
pengadaan, dan pembayaran.
Untuk memastikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang
dipersyaratkan maka jika proses pengadaan dilaksanakan oleh bagian
lain di luar instalasi farmasi harus melibatkan tenaga kefarmasian. Hal-
hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai antara lain:
1) Bahan baku obat harus disertai sertifikat analisa.
2) Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet
(MSDS).
3) Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai harus
mempunyai nomor izin edar.
4) Masa kadaluarsa (expired date) minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai tertentu
(vaksin, reagensia, dan lain-lain), atau pada kondisi tertentu yang
dapat dipertanggung jawabkan.
Rumah sakit harus memiliki mekanisme yang mencegah
kekosongan stok obat yang secara normal tersedia di rumah sakit dan
mendapatkan obat saat instalasi farmasi tutup.
Pengadaan dapat dilakukan melalui:
a. Pembelian
Untuk rumah sakit pemerintah pembelian sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai harus sesuai dengan
22

ketentuan pengadaan barang dan jasa yang berlaku. Hal-hal yang


perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:
 Kriteria sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai, yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu obat.
 Persyaratan pemasok.
 Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
 Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
b. Produksi sediaan farmasi
Instalasi farmasi dapat memproduksi sediaan tertentu apabila:
 Sediaan farmasi tidak ada di pasaran;
 Sediaan farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri;
 Sediaan farmasi dengan formula khusus;
 Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking;
 Sediaan farmasi untuk penelitian; dan
 Sediaan farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus
dibuat baru (recenter paratus).
Sediaan yang dibuat di rumah sakit harus memenuhi
persyaratan mutu dan terbatas hanya untuk memenuhi
kebutuhan pelayanan di rumah sakit tersebut.
c. Sumbangan /dropping/hibah
Instalasi farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan
terhadap penerimaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai sumbangan/dropping/
hibah.
Seluruh kegiatan penerimaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan cara
sumbangan/dropping/hibah harus disertai dokumen administrasi
yang lengkap dan jelas. Agar penyediaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai dapat membantu pelayanan
kesehatan, maka jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai harus sesuai dengan kebutuhan pasien di rumah
23

sakit. Instalasi farmasi dapat memberikan rekomendasi kepada


pimpinan rumah sakit untuk mengembalikan/menolak
sumbangan/dropping/hibah sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai yang tidak bermanfaat bagi kepentingan
pasien rumah sakit.
d. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang
tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang
diterima. Semua dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan
dengan baik.
e. Penyimpanan
Setelah barang diterima di instalasi farmasi perlu dilakukan
penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus
dapat menjamin kualitas dan keamanan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian.
Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas
dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan
penggolongan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai. Komponen yang harus diperhatikan antara lain:
a) Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat
diberi label yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama
kemasan dibuka, tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus.
b) Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali
untuk kebutuhan klinis yang penting.
c) Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan
pasien dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas
dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted) untuk
mencegah penatalaksanaan yang kurang hati-hati.
d) Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang
dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat
diidentifikasi.
24

e) Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan


barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.
Instalasi farmasi harus dapat memastikan bahwa obat disimpan
secara benar dan diinspeksi secara periodik. Sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang harus disimpan terpisah
yaitu:

Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan
diberi tanda khusus bahan berbahaya.

Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi
penandaaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas
medis. Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung
gas medis yang ada isinya. Penyimpanan tabung gas medis di
ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas
terapi, bentuk sediaan, dan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai dan disusun secara alfabetis dengan
menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First In First
Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen. Penyimpanan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang penampilan
dan penamaan yang mirip (lasa, look alike sound alike) tidak
ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk
mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat.
Rumah sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan obat
emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus
mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian.
Pengelolaan obat emergensi harus menjamin:

Jumlah dan jenis obat sesuai dengan daftar obat emergensi
yang telah ditetapkan;

Tidak boleh bercampur dengan persediaan obat untuk
kebutuhan lain;

Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera
diganti;
25


Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan

Dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain
f. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit
pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah,
dan ketepatan waktu. Rumah sakit harus menentukan sistem distribusi
yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di unit
pelayanan.
Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara:
a. Sistem persediaan lengkap di ruangan (floor stock)

Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan
dikelola oleh instalasi farmasi.

Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang disimpan di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang
sangat dibutuhkan.

Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang
mengelola (di atas jam kerja) maka pendistribusiannya
didelegasikan kepada penanggung jawab ruangan.

Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat
floor stock kepada petugas farmasi dari penanggung jawab
ruangan.

Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan
kemungkinan interaksi obat pada setiap jenis obat yang
disediakan di floor stock.
b. Sistem resep perorangan
Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai berdasarkan resep perorangan/pasien rawat jalan
dan rawat inap melalui instalasi farmasi.
26

c. Sistem unit dosis


Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai berdasarkan resep perorangan yang disiapkan
dalam unit dosis tunggal atau ganda, untuk penggunaan satu kali
dosis/pasien. Sistem unit dosis ini digunakan untuk pasien rawat
inap.
d. Sistem kombinasi
Sistem pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai bagi pasien rawat inap dengan
menggunakan kombinasi a + b atau b + c atau a + c.
Sistem distribusi unit dose dispensing (udd) sangat dianjurkan
untuk pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan
pemberian obat dapat diminimalkan sampai kurang dari 5%
dibandingkan dengan sistem floor stock atau resep individu yang
mencapai 18%.
Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk
dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan:

Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada; dan

Metode sentralisasi atau desentralisasi.
g. Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan
dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
h. Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan
dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai.
Pengendalian penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai dapat dilakukan oleh instalasi farmasi harus
bersama dengan komite/tim farmasi dan terapi di rumah sakit.
27

Tujuan pengendalian persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan,


dan bahan medis habis pakai adalah untuk:
a. Penggunaan obat sesuai dengan formularium rumah sakit
b. Penggunaan obat sesuai dengan diagnosis dan terapi; dan
c. Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi
kelebihan dan kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa,
dan kehilangan serta pengembalian pesanan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
Cara untuk mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai adalah:
 Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow
moving);
 Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam
waktu tiga bulan berturut-turut (death stock);
 Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.
i. Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan
berkesinambungan untuk memudahkan penelusuran kegiatan yang
sudah berlalu. Kegiatan administrasi terdiri dari:
a. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang
meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan,
pendistribusian, pengendalian persediaan, pengembalian,
pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai. Pelaporan dibuat secara periodik yang
dilakukan instalasi farmasi dalam periode waktu tertentu (bulanan,
triwulanan, semester atau pertahun).
Pelaporan narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi
terdapat pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015
pasal 45. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat wajib membuat,
menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan
28

penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam


bentuk obat jadi kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala
Badan.
Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah wajib membuat,
menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan
penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau
Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Balai
setempat.
Pelaporan sebagaimana dimaksud paling sedikit terdiri atas:
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika
dan/atau Prekursor Farmasi;
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan;
d. Jumlah yang diterima;
e. Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran;
f. Jumlah yang disalurkan; dan
g. Nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran
dan persediaan awal dan akhir.
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan
wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan
pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan
Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat.
Pelaporan sebagaimana dimaksud paling sedikit terdiri atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. jumlah yang diterima; dan
d. jumlah yang diserahkan
29

Laporan sebagaimana dimaksud dapat menggunakan sistem


pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi
secara elektronik. Laporan sebagaimana dimaksud disampaikan
paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya. Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur Jenderal.
b. Administrasi keuangan
Apabila instalasi farmasi harus mengelola keuangan maka
perlu menyelenggarakan administrasi keuangan. Administrasi
keuangan merupakan pengaturan anggaran, pengendalian dan
analisa biaya, pengumpulan informasi keuangan, penyiapan laporan,
penggunaan laporan yang berkaitan dengan semua kegiatan
pelayanan kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam periode
bulanan, triwulanan, semesteran atau tahunan.
c. Administrasi penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan
penyelesaian terhadap sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai yang tidak terpakai karena kadaluwarsa, rusak,
mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan
penghapusan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang berlaku.
2.1.11 Pelayanan Farmasi Klinik
Menurut Permenkes No 72 tahun 2016 Pelayanan Farmasi Klinik
merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien
dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko
terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien
(patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi :
1. Pengkajian dan pelayanan resep
Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah
terkait Obat, bila ditemukan masalah terkait Obat harus dikonsultasikan
kepada dokter penulis Resep. Apoteker harus melakukan pengkajian
30

Resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan


persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi :
a. Nama, umur, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan pasien
b. Nama, nomer ijin, alamat dan paraf dokter
c. Tanggal resep
d. Ruangan/unit asal resep
Persyaratan farmasetik meliputi :
a. Nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan
b. Dosis dan jumlah obat
c. Stabilitas
d. Aturan dan cara penggunaan
Persyaratan klinis meliputi :
a. Ketepatan indikasi, dosis, dan penggunaan obat
b. Duplikasi pengobatan
c. Alergi dan reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)
d. Kontraindikasi dan
e. Interaksi obat
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan
ketersediaan, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan
disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep
dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat
(medication error).
2. Penelusuran riwayat penggunaan obat
Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain
yang pernah dansedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh
dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat
pasien.
31

Tahapan penelusuran riwayat penggunaan Obat:


 Membandingkan riwayat penggunaan Obat dengan data rekam
medik/pencatatan penggunaan Obat untuk mengetahui perbedaan
informasi penggunaan Obat
 Melakukan verifikasi riwayat penggunaan Obat yang diberikan oleh
tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika
diperlukan
 Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD)
 Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi Obat
 Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam
menggunakan Obat
 Melakukan penilaian rasionalitas Obat yang diresepkan
 Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat
yang digunakan
 Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan Obat
 Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan Obat
 Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap Obat dan alat bantu
 Kepatuhan minum Obat (concordance aids)
3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi
dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication
error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau
interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi pada
pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar
ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke
layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
Tujuan dilakukannya rekonsiliasi Obat adalah:
 Memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan
pasien
32

 Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya


instruksi dokter; dan mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak
terbacanya instruksi dokter.
Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu:
a. Pengumpulan data
Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang dan akan
digunakan pasien, meliputi nama Obat, dosis, frekuensi, rute, Obat
mulai diberikan, diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi
pasien serta efek samping Obat yang pernah terjadi. Khusus untuk
data alergi dan efek samping Obat, dicatat tanggal kejadian, Obat
yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek
yang terjadi, dan tingkat keparahan.
b. Komparasi
Petugas kesehatan membandingkan data Obat yang pernah, sedang
dan akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah
bilamana ditemukan ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data
tersebut. Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada Obat yang
hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang
didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini
dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan
Resep maupun tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak
tahu adanya perbedaan pada saat menuliskan Resep.
c. Melakukan Konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidak
sesuaian dokumentasi
Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang dari
24 jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah:
 menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau
tidak disengaja
 mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau
pengganti; dan
 memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya
rekonsilliasi Obat.
33

d. Komunikasi
Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien
atau perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker
bertanggung jawab terhadap informasi Obat yang diberikan.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat,
tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker
kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta
pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit.
PIO bertujuan untuk:
a) menyediakan informasi mengenai Obat kepada pasien dan tenaga
kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah
Sakit
b) menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang
berhubungan dengan Obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai, terutama bagi Komite/Tim Farmasi dan
Terapi
c) menunjang penggunaan Obat yang rasional.
Kegiatan PIO meliputi :
a) Menjawab Pertanyaan
b) Menerbitkan bulletin, poster, newsletter
c) Menyediakan informasi bagi Tim Farmasi dan Terapi sehubungan
dengan penyusunan Formularium Rumah Sakit
d) Bersama dengan Tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat
inap
e) Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan
tenaga keehatan lainnya
f) Melakukan penelitian
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam PIO :
a) Sumber daya manusia
34

b) Tempat perlengkapan
5. Konseling
Koseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau
saran terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien
dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat
inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif
Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya.
Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien
dan/atau keluarga terhadap Apoteker.
Pemberian konseling Obat bertujuan untuk mengoptimalkan
hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi Obat yang tidak dikehendaki
(ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya
meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien (patient safety).
Secara khusus konseling Obat ditujukan untuk:
1) Meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien
2) Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien
3) Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat
4) Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan
Obat dengan penyakitnya
5) Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan
6) Mencegah atau meminimalkan masalah terkait Obat
7) Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam
hal terapi
8) Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan
9) Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan Obat
sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan
mutu pengobatan pasien.
Kegiatan dalam konseling Obat meliputi:
1) Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
2) Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan
Obat melalui Three Prime Questions;
35

3) Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan


kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat;
4) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah pengunaan Obat
5) Melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman
pasien; dan
6) Dokumentasi
Faktor yang perlu di perhatikan dalam konseling Obat :
a) Kriteria Pasien
 pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi
ginjal, ibu hamil dan menyusui)
 pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB,
DM, epilepsi, dan lain-lain)
 pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi
khusus (penggunaan kortiksteroid dengan tappering
down/off);
 pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi
sempit (digoksin, phenytoin)
 pasien yang menggunakan banyak Obat (polifarmasi); dan
pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
 Sarana dan Peralatan
b) Sarana dan Peralatan
 Ruangan atau tempat konseling
 Alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling)
6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan
untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji
masalah terkait Obat, memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang
Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan
menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional
kesehatan lainnya.
36

Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar


Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan
program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan Pelayanan
Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker harus
mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi mengenai
kondisi pasien dan memeriksa terapi Obat dari rekam medik atau
sumber lain.
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang
mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif
dan rasional bagi pasien.
Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan
meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi
 Pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons
terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
 pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat; dan
 pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.
Tahapan PTO:
 Pengumpulan data pasien
 Identifikasi masalah terkait obat
 Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
 Pemantauan; dan
 Tindak lanjut
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang
terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi Obat
yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
Meso Bertujuan :
37

 Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama


yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang
 Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan
yang baru saja ditemukan
 Mengenal semua faktor yang mungkin dapat
menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO;
 Meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang idak dikehendaki;
dan
 Mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.
Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:
a) Mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki
(ESO)
b) Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko
tinggi mengalami ESO
c) Mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo
d) Mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub
Komite/Tim Farmasi dan Terapi
e) melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi
penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara
kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan EPO yaitu:
➢ mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan Obat;
➢ membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu tertentu;
➢ memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat; dan
➢ menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
Kegiatan praktek EPO:
1) mengevaluasi pengggunaan Obat secara kualitatif; dan
2) mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
a) indikator peresepan
38

b) indikator pelayanan; dan


c) indikator fasilitas.
10. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan
teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari
terjadinya kesalahan pemberian Obat.
Dispensing sediaan steril bertujuan:
 menjamin agar pasien menerima Obat sesuai dengan dosis yang
dibutuhkan
 menjamin sterilitas dan stabilitas produk;
 melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
 menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi
 Pencampuran Obat Suntik
Melakukan pencampuran Obat steril sesuai kebutuhan pasien yang
menjamin kompatibilitas dan stabilitas Obat maupun wadah sesuai
dengan dosis yang ditetapkan.
 Penyiapan Nutrisi Parenteral
Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan
oleh tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien
dengan menjaga stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan
terhadap prosedur yang menyertai.
 Penanganan Sediaan Sitostatik
Penanganan sediaan sitostatik merupakan penanganan Obat kanker
secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien
oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada
keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya
dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat
pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi,
maupun proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan
limbahnya.
39

Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus


sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang
memadai.
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi
hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang
merawat karena indeks terapi. PKOD bertujuan
 Mengetahui Kadar Obat dalam Darah
 Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat
2.2 Central Sterile Supply Departement (CSSD) (6)
Menurut buku pedoman instalasi pusat sterilisasi tahun 2009
Sterilisasi adalah suatu proses pengolahan alat atau bahan yang bertujuan
untuk menghancurkan semua bentuk kehidupan mikroba termasuk endospore
dan dapat di lakukan dengan proses kimia atau fisika. Instalasi pusat sterilisasi
memberikan pelayanan yang sebaik – baiknya untuk melayani dan membantu
semua unit di rumah sakit yang membutuhkan barang dan alat medik dalam
kondisi steril.
2.2.1 Tujuan CSSD
a. Membantu unit lain di RS yang membutuhkan kondisi steril, untuk
mencegah terjadinya infeksi
b. Menurunkan angka kejadian infeksi dan membantu mencegah serta
menganggulangi infeksi nososkomial
c. Efisiensi tenaga medis/paramedik untuk kegiatan yang berorientasi pada
pelayanan terhadap pasien
d. Menyediakan dan menjamin kualitas hasil sterilisasi terhadap produk
yang dihasilkan
2.2.2 Tugas CSSD
Tanggung jawab pusat sterilisasi bervariasi tergantung dari besar
kecilnya rumah sakit, struktur organisasi dalam proses sterilisasi. Adapun
yang menjadi tugas CSSD, antara lain :
a. Menyiapakn peralatan medis untuk perawatan pasien
b. Melakukan proses sterilisasi alat/bahan
40

c. Mendistribusikan alat-alat yang dibuthkan oleh ruaagn perawata, kamar


operasi maupun ruangan lainnya
d. Berpartisipasi dalam pemilihan peralatan dan abbhan yang aman dan
efektif serta bermutu
e. Mempertahankan stock inventory yang memadai untuk keperluan
perawatan pasien
f. Mempertahankan standar yang telah ditetapkan
g. Mendokumentasikan setiap aktivitas pembersihan, disinfektan maupun
sterilisasi sebagai bagian dari program upaya pengendalian mutu
h. Melakukan penelitian terhadap hasil sterilisiasi dalam rangka pencegahan
dan pengendalian infeksi nosocomial
i. Memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah
sterilisasi
j. Menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan staf instalasi pusat
sterilisasi baik yang bersifat intern maupun ekstern
k. Mengevaluasi hasil sterlisasi.
2.2.3 Alur Fungsional CSSD
Alur fungsional dari pusat sterilisasi secara umum :
1. Pembilasan : Pembilasan alat-alat yang telah digunakan
tidak dilakukan di ruang perawatan
2. Pembersihan : Semua peralatan pakai ulang harus
dibersihkan secara baik sebelum dilakukan
proses disinfeksi dan sterilisasi
3. Pengeringan : Dilakukan sampai kering
4. Inspeksi dan Pengemasan : Setiap alat bongkar pasang harus diperiksa
kelengkapannya, sementara untuk bahan
linen harus di perhatikan densitas
maksimumnya
5. Memberi Label : Setiap kemasan harus mempunyai label
yang menjelaskan isi dari kemasan, cara
sterilisasi, tanggal sterilisasi dan
kadaluwarsa proses sterilisasi
41

6. Pembuatan : Membuat dan mempersiapkan kapas serta kasa balut,


yang kemudian akan disterilkan
7. Sterilisasi : Sebaiknya diberikan tanggung jawab kepada staf yang
terlatih
8. Penyimpanan : Harus diatur secara baik dengan memperhatikan kondisi
penyimpanan yang baik
9. Distribusi : Dapat dilakukan berbagai sistim distribusi sesuai dengan
Rumah Sakit masing-masing.

Gambar 1. Alur CSSD


2.3 Limbah (7)
Limbah rumah sakit adalah semua sampah dan limbah yang dihasilkan
oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Secara umum
sampah dan limbah rumah sakit dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu
limbah medis klinis dan non klinis baik itu limbah padat maupun limbah cair.
1. Limbah Medis Padat
Penggolongan kategori limbah medis padat dapat diklasifikasikan
berdasarkan potensi bahaya yang tergantung di dalamnya, serta volume
dan sifat persistensinya yang menimbulkan masalah:
42

a) Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut
tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau
menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena,
pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini
memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui
sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin
terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan
beracun atau radio aktif. Limbah benda tajam mempunyai potensi
bahaya tambahan yang dapat menyebabkan infeksi atau cidera karena
mengandung bahan kimia beracun atau radio aktif.
Potensi untuk menularkan penyakit akan sangat besar bila benda tajam
tadi digunakan untuk pengobatan pasien infeksi atau penyakit infeksi.
b) Limbah infeksius, memiliki pengertian sebagai limbah yang berkaitan
dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan
intensif) dan limbah laboratorium. Limbah infeksius mencakup
pengertian sebagai berikut:
1) Limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi
penyakit menular (perawatan intensif).
2) Limbah laboratorium yang berkaitan dengan mikrobiologi dari
rumah sakit atau ruang perawatan/isolasi penyakit menular.
Namun beberapa institusi memasukkan juga bangkai hewan
percobaan yang terkontaminasi atau yang diduga terkontaminasi
oleh organisme pathogen ke dalam kelompok limbah infeksius.
c) Limbah patologi (jaringan tubuh) adalah jaringan tubuh yang terbuang
dari proses bedah atau autopsi.
d) Limbah sitotoksis adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin
terkontaminasi dengan obat sitotoksis selama peracikan,
pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksis dan harus dimusnahkan
melalui incinerator pada suhu lebih dari 1.000ºC. Tempat pengumpul
sampah sitotoksis setelah dikosongkan lalu dibersihkan dan
didesinfeksi.
43

e) Limbah farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-


obat yang terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau
kemasan yang terkontaminasi, obat- obat yang dibuang oleh pasien
atau dibuang oleh masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan
oleh institusi bersangkutan dan limbah yang dihasilkan selama
produksi obat- obatan.
f) Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan
kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboratorium, proses
sterilisasi, dan riset. Pembuangan limbah kimia kedalam saluran air
kotor dapat menimbulkan korosi. Sementara bahan kimia lainnya
dapat menimbulkan ledakan. Limbah kimia yang tidak berbahaya
dapat dibuang bersama-sama dengan limbah umum.
g) Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio
isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukleida.
Limbah ini dapat berasal dari antara lain :
1) Tindakan kedokteran nuklir, radioimmunoassay dan bacterilogis
dapat berbentuk cair, padat atau gas.
2) Penanganan, penyimpanan dan pembuangan bahan radioaktif
harus memenuhi peraturan yang berlaku.
Setelah dihasilkan dan penyimpanan merupakan prioritas akhir
bila limbah benar-benar tidak dapat langsung diolah. faktor penting dalam
penyimpanan melengkapi tempat penyimpanan dengan cover atau
penutup, menjaga agar areal penyimpanan limbah medis tidak tercampur
dengan limbah non-medis, membatasi akses sehingga hanya orang
tertentu yang dapat memasuki area serta, lebeling dan pemilihan tempat
penyimpanan yang tepat dalam strategi.
2. Limbah Medis Cair
Limbah cair rumah sakit umumnya mengandung senyawa polutan
organik yang cukup tinggi dan dapat diolah dengan proses pengelolaan
secara biologis, baik yang berasal dari buangan domestik maupun
buangan limbah medis klinis. Sementara itu, untuk limbah yang berasal
dari laboratorium biasanya banyak mengandung logam berat dan bila
44

dialirkan ke dalam pengolahan secara biologis akan menganggu proses


pengelolaan. Limbah ini harus dipisahkan dan ditampung kemudian
diolah secara kimia-fisika baru dialirkan bersama-sama dengan limbah
cairan lainnya dan diolah dengan pengelolaan biologis.
Pengelolaan air limbah dapat menggunakan teknologi pengelolaan
secara biologis atau gabungan antara proses biologis dengan proses kimia-
fisika. Proses secara biologis dapat dilakukan secara aerobik (dengan
udara) dan anaerobik (tanpa udara) atau kombinasi antara aerobik dan
anaerobik. Proses biologis biasanya digunakan untuk pengelolaan air
limbah dengan BOD yang tidak terlalu besar. Pengelolaan limbah secara
aerobik dapat dibagi menjadi 3 yaitu: rosesbiologis dengan biakan
tersuspensi (suspended culture), biologis dengan biakan melekat
(attached culture) dan proses pengelolaan dengan sistem lagoon atau
kolam. Salah satu contoh proses pengelolaan menggunakan sistem lagoon
adalah dengan kolam aerasi kolam atau kolam stabilisasi (stabilization
pond).
Contoh proses pengelolaan limbah cair proses biologis dengan
biakan tersuspensi yaitu proses lumpur aktif standar/konversional
(standar activated sludge), step aeration, oxidation, ditch (kolam oksidasi
sistem parit). Untuk proses biologis dengan biakan melekat dapat
dilakukan dengan trickling filter atau biofilter, Rotating Biological
Contactor (RBC), Contactor Aeration (CA). Teknologi pengelolaan
limbah cair yang sering digunakan di rumah sakit yaitu proses lumpur
aktif (activated sludge process), reaktor putar biologis (rotating biological
contactor/RBC), proses aerasi kontak (contact aeration process), proses
pengolahan dengan biofilter “Up Flow” dan pengelolaan dengan sistem
biofilter anerobik-aerobik.
3. Dampak Positif Pengelolaan Limbah Medis
a) Pengaruh baik dari pengelolaan limbah rumah sakit akan memberikan
dampak postif terhadap kesehatan masyarakat, lingkungan dan rumah
sakit itu sendiri.
45

b) Meningkatkan pemeliharaan kondisi yang bersih dan rapi, juga


meningkatkan pengawasan pemantauan dan peningkatan mutu rumah
sakit sekaligus akan dapat mencegah penyebaran penyakit (infeksi
nosokomial).
c) Keadaan lingkungan yang saniter serta esetetika yang baik akan
menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, petugas dan pengunjung
rumah sakit tersebut.
d) Keadaan lingkungan yang bersih juga mencerminkan keberadaan
sosial budaya masyarakat disekitar rumah sakit.
e) Dengan adanya pengelolaan limbah yang baik maka akan berkurang
juga tempat berkembang biaknya serangga dan tikus sehingga
populasi kepadatan vektor sebagai mata rantai penularan penyakit
dapat dikurangi.
4. Dampak Negatif Pengelolaan Limbah Medis
Kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat di rumah sakit
disamping memberikan kesembuhan atau peningkatan derajat kesehatan
masyarakat juga menghasilkan sejumlah hasil sampingan. Hasil
sampingan tersebut berupa cairan, dan gas yang banyak mengandung
kuman phatogen, zat kimia, yang beracun,zat radioaktif dan zat lain.
Apabila pengelolaan bahan buangan tidak dilaksanakan dengan baik
secara sanitasi, maka akan menyebabkan gangguan terhadap kelompok
masyarakat disekitar rumah sakit serta lingkungan didalam dan di luar
rumah sakit.
Agen penyakit yang dihasilkan oleh kegiatan pelayanan kesehatan
di RS memasuki media lingkungan melalui air, (air kotor dan air minum),
udara, makanan, alat atau benda, serangga, tenaga kesehatan, dan media
lainnya. Melalui media ini agen penyakit tersebut akan dapat ditularkan
kepada kelompok masyarakat. RS yang rentan, misalnya penderita yang
dirawat, atau yang berobat jalan, karyawan RS, pengunjung, atau
pengantar orang sakit, serta masyarakat di sekitar RS.
Oleh karena itu, pengawasan terhadap mutu media lingkungan ini
terhadap kemungkinan akan adanya kontaminasi oleh agen penyakit yang
46

dihasilkan oleh kegiatan pelayanan kesehtan di RS, hendaknya dipantau


dengan cermat sehingga media tersebut bebas dari kontaminasi. Dengan
demikian, kelompok masyarakat di RS terhindar dari kemungkinan untuk
mendapatkan gangguan atau penyakit akibat buangan agen dari
masyarakat tersebut.
2.3.1 Tinjauan Umum Tentang Pengelolaan Limbah Medis
Dalam pengelolaan limbah betul-betul memperhatikan dari segala
aspek misalnya dari segi kesehatan khususnya lingkungan sekitar, fasilitas
yang di gunakan, tenaga kesehatan yang bertugas dalam hal ini serta
meminimalisir resiko terjadinya penyebaran penyakit dan kecelakaan kerja.
Pada umumnya pengelolaan limbah medis akan memiliki penerapan
pelaksanaan yang berbeda-beda antara fasilitas-fasilitas kesehatan, yang
umumnya terdiri dari Pemilahan, Pewadahan, Pengangkutan, Tempat
Penampungan Sementara dan pemusnahan.
1) Pemilahan
Proses pemilahan dan reduksi sampah hendaknya merupakan
proses yang kontinyu yang pelaksanaannya harus mempertimbangkan
kelancaran penanganan dan penampungan sampah, pengurangan volume
dengan perlakuan pemisahan limbah B3 dan non B3 serta menghindari
penggunaan bahan kimia B3, pengemasan dan pemberian label yang jelas
dari berbagai jenis limbah untuk efisiensi biaya, petugas dan pembuangan.
Kunci minimisasi dan pengelolaan limbah layanan kesehatan
secara efektif adalah pemilihan (Segregasi) dan identifikasi limbah.
Penanganan, pengolahan dan pembuangan akhir limbah berdasarkan
manfaat yang lebih banyak dalam melindungi kesehatan masyarakat.
Pemilahan merupakan tanggung jawab yang di bebankan pada produsen
limbah dan harus dilakukan sedekat mungkin dengan tempat
dihasilkannya limbah. Kondisi yang telah terpilah itu tetap harus
dipertahankan di area penampungan dan selama pengangkutan.
47

2) Pewadahan
Sesuai dengan permenkes 1204/Menkes/SK/X/2004. Adapun syarat
kesehatan menurut permenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 yaitu memenuhi
syarat jika :
a. Tempat sampah anti bocor dan anti tusuk.
b. Memiliki tutup dan tidak mudah dibuka orang.
c. Sampah medis padat yang akan dimanfaatkan harus melalui sterilisasi.
d. Pewadahan sampah medis menggunakan label (warna kantong
plastik/kontainer).
e. Sampah radioaktif menggunakan warna merah.
f. Sampah sangat infeksius menggunakan warna kuning.
g. Sampah/ limbah infeksius, patologi dan anatomi menggunakan warna
kuning.
h. Sampah sitotoksis menggunakan warna ungu.
i. Sampah/limbah kimia dan farmasi menggunakan warna cokelat.
Penanganan sampah dari masing-masing sumber dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1) Wadah tidak boleh penuh, bila wadah sudah terisi ¾ bagian, maka
segera ketempat pembuangan akhir.
2) Wadah berupa kantongan plastik dapat diikat rapat pada saat akan
diangkut dan dibuang berikut wadahnya.
3) Pengumpulan limbah dari ruang perawatan atau pengobatan harus
tetap pada wadahnya dan jangan dituangkan pada gerobak yang
terbuka. Hal ini dimaksud untuk menghindari terjadinya kontaminasi
disekitarnya dan mengurangi resiko kecelakaan terhadap petugas,
pasien dan pengunjung.
4) Petugas yang menangani harus selalu menggunakan sarung tangan
dan sepatu, serta harus mencuci tangan dengan sabun setiap selesai
mengambil limbah. Berikut ini kategori pewadahan limbah sesuai
dengan karesteristiknya.
48

Tabel 1. Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Padat Sesuai


Kategori

Agar kebijakan kodifikasikan menggunakan warna dapat di


laksanakan dengan baik, tempat limbah diseluruh rumah sakit harus
memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan di
tempat sumbernya.
a) Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna,
satu untuk limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik.
b) Semua limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis dianggap
sebagai limbah klinik.
c) Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai
limbah klinik dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang.
3) Pengangkutan
Pengangkutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan internal
dan eksternal. Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan
awal ke tempat pembuangan atau ke incinerator (pengolahan on-site).
Dalam pengangkutan internal biasanya digunakan kereta dorong sebagai
yang sudah diberi label, dan dibersihkan secara berkala serta petugas
pelaksana dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja khusus.
Pengangkutan eksternal yaitu pengangkutan sampah medis ke tempat
pembuangan di luar (off-site). Pengangkutan eksternal memerlukan
prosedur pelaksanaan yang tepat dan harus dipatuhi petugas yang terlibat.
49

Prosedur tersebut termasuk memenuhi peraturan angkutan lokal. Limbah


medis diangkut dalam kontainer khusus, harus kuat dan tidak bocor.
4) Tempat Penampungan Sementara (TPS)
Penampungan limbah ini wadah yang memiliki sifat kuat, tidak
mudah bocor atau berlumut, terhindar dari sobek atau pecah, mempunyai
tutup dan tidak overload. Penampungan dalam pengelolaan sampah medis
sesuai standarisasi kantong dan kontainer seperti dengan menggunakan
kantong yang bermacam warna seperti telah ditetapkan dalam
PERMENKES RI No 1204/MENKES/SK/X/2004 dimana kantong
berwarna kuning dengan lambang biohazard untuk sampah infeksius,
kantong berwarna ungu dengan simbol sitotoksis untuk limbah sitotoksis,
kantong berwarna merah dengan simbol radioaktif untuk limbah
radioaktif dan kantong berwarna hitam dengan tulisan “domestik”.
Adapun bentuk penanganan limbah yang di lakukan adalah :
a. Kantong-kantong dengan warna harus dibuang jika telah terisi 2/3
bagian
b. Kemudian diikat bagian atasnya dan diberikan label yang jelas
c. Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga jika
dibawa mengayun menjauhi badan, dan diletakkan ditempat-tempat
tertentu untuk dikumpulkan
d. Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantong-kantong
plastik dengan warna yang sama telah dijadikan satu dan di kirimkan
ketempat yang sesuai
e. Kantong harus di simpan pada kotak-kotak yang kedap terhadap kutu
dan hewan perusak sebelum diangkut ketempat pembuangan
5) Tempat Pembuangan Akhir ( TPA)
Sebagian besar limbah dan sejenisnya itu dimusnahkan dengan
incinerator atau dengan menggunakan metode sanitari landfill. Metode ini
digunakan tergantung pada faktor-faktor khusus yang sesuai dengan
institusi, peraturan yang berlaku, aspek lingkungan yang berpengaruh
terhadap masyarakat.
50

Incinerator adalah istilah yang di gunakan untuk menjelaskan


semua sistem pembakaran, walau hanya satu yang biasa dipandang
efektif. Dalam pedoman ini incinerator digunakan untuk menjelaskan
proses pembakaran yang dilaksanakan dalam ruang ganda incinerator
yang mempunyai mekanisme pemantauan secara ketat dan pengendalian
parameter pembakaran.
6) Hal-hal Yang Perlu di Perhatikan Dalam Pengelolaan Limbah Medis
Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam pengelolaan limbah klinis
atau limbah medis sebagai berikut :
a. Penghasilan limbah klinis dan yang sejenisnya harus menjamin
keamanan dalam memilah-milah jenis limbah, pengemasan,
pemberian label, penyimpanan, pengangkutan, pengelolaan,
pembuangan.
b. Penghasil limbah klinis hendaknya mengembangkan dan secara
periodik meninjau kembali strategi pengelolaan limbah secara
menyeluruh
c. Menekan produksi limbah hendaknya menjadi bagian integral dari
strategi pengelolaan.
d. Pemisahan limbah sesuai sifat dan jenis (kategori) adalah langkah
awal prosedur pembuangan yang benar.
e. Limbah radioaktif harus diamankan dan dibuang sesuai dengan
peraturan yang berlaku oleh instansi yang berwenang.
f. Incinerator adalah metode pembuangan yang disarankan untuk limbah
tajam, infeksius dan jaringan tubuh.
2.3.2 Tujuan Pengelolaan Limbah Medis
Menurut Linda Tiejen, dkk (2004) dalam bukunya “Panduan
Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dengan Sumber
Daya Terbatas” adalah sebagai berikut:
a. Mencegah terjadinya penularan infeksi pada masyarakat sekitarnya.
b. Melindungi terjadinya penyebaran infeksi terhadap para petugas
kesehatan.
c. Membuang bahan-bahan berbahaya (bahaya toksik dan radioaktif)
51

d. Melindungi petugas terhadap kecelakaan kerja.


2.3.3 Syarat-Syarat Pengelolaan Limbah Medis
Pengelolaan limbah medis rumah sakit harus dilakukan dengan benar
dan efektif serta memenuhi syarat sanitarian. Adapun syarat sanitasi yang
harus memenuhi syarat adalah sebagai berikut:
a) Limbah tidak boleh dihinggapi lalat, tikus, dan binatang sejenisnya yang
dapat menyebarkan penyakit.
b) Limbah tidak menimbulkan bau yang busuk, dan suasana yang baik.
c) Limbah tidak boleh mencemari tanah, air, udara.
d) Limbah cair yang beracun harus dipisahkan dari limbah cair dan harus
memiliki tempat penampungan sendiri/dipisahkan.
2.4 Gas Medik dan Vakum Medik
2.4.1 Pengertian
Gas Medik adalah gas dengan spesifikasi khusus yang dipergunakan
untuk pelayanan medis pada fasilitas pelayanan kesehatan. Vakum Medik
adalah alat dengan spesifikasi khusus yang dipergunakan untuk menghisap
cairan tubuh pada pelayanan medis di fasilitas pelayanan kesehatan. Sistem
Instlasi Gas Medik dan Vakum Medik adalah seperangkat sentral gas medic
dan vakum medic, instalasi pipa, katup penutup dan alarm gas medic sampai
ke titik outlet medik dan inlet medik. (8)
2.4.2 Jenis-Jenis Gas Medik dan Vakum Medik
Gas medik terdiri atas Gas Medik murni dan Gas Medik campuran.
Gas Medik murni meliputi (8) :
a. Oxygen (O2)
b. Dinitrogen oksida/nitrous oxide (N2O)
c. Nitrogen (N2)
d. Karbon dioksida (CO2)
e. Helium (He)
f. Argon (Ar)
g. Udara tekan medik (Medical Compressed Air)
h. Udara tekan alat (Instrument Air)
52

Jenis gas medis yang biasa dipergunakan untuk keperluan rumah sakit
adalah sebagai baerikut (9) :
a. Oxygen (O2)
b. Nitrous Oxide (N2O)
c. Nitrogen (N2)
d. Karbon dioksida (CO2)
e. Cyclopropane (C3H6)
f. Helium (He)
g. Mixture gas
h. Medical Compressed Air (Breathing Air)
i. Vaccum (Suction)
Vakum medik meliputi sebuah rakitan dari peralatan vaku secara
sentral dan jaringan pemipaan untuk pemakaian penghisapan cairan tubuh
pada pasien medik, bedah medik, dan buangan sisa gas anestesi. Buangan sisa
gas anestesi merupanan proses penangkapan dan penyaluran gas yang
dibuang dari sirkit pernapasan pasien selama operasi normal gas anastesi atau
peralata analgesi. (8)
2.4.3 Penggunaan Gas Medik dan Vakum Medik (8)
Penggunaan Gas Medik dan Vakum Medik di fasilitas pelayanan
kesehatan dilakukan melalui :
a. Sistem Instalasi Gas Medik dan Vakum Medik
b. Tabung Gas Medik
c. Oksigen Konsentrator portabel; dan/atau
d. Alat Vakum Medik portabel
Dalam hal penggunaan Gas Medik dan Vakum Medik pada fasilitas
pelayanan kesehatan di ruag operasi, ruang intensif, dan ruang gawat darurat
harus dilakukan melalui penyaluran pada Sistem Instalasi Gas Medik dan
Vakum Medik.
Dalam penggunaan Gas Medik dan Vakum Medik wajib dioperasikan
oleh petugas fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki kompetensi di
bidang Gas Medik dan Vakum Medik atau menunjuk pihak yang
berkompeten.
53

2.5 Akreditasi
Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib
dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali. Akreditasi
Rumah Sakit dilakukan oleh suatu lembaga independen baik dari dalam
maupun dari luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku.(10)
Setiap Rumah Sakit yang telah mendapatkan Izin Operasional harus
diregistrasi dan diakreditasi. Registrasi dan akreditasi merupakan persyaratan
untuk perpanjangan Izin Operasional dan perubahan kelas.(4)
2.6 Audit
Dalam penyelenggaraannya, Rumah Sakit harus dilakukan audit.
Audit sebagaimana yang dimaksud berupa audit kinerja dan audit medis.
Audit kinerja dan audit medis dapat dilakukan secara internal dan eksternal.
Audit kinerja eksternal dapat dilakukan oleh tenaga pengawas. Pelaksanaan
audit medis berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.(10)
Audit kinerja adalah pengukuran kinerja yang berkala yang meliputi
pelayanan dan kinerja keuangan. Audit medis adalah upaya evaluasi secara
professional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien
dengan menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis.
Audit Medis dapat dilakukan oleh Komite Medik Rumah Sakit, sedangkan
Audit Kinerja Internal dapat dilakukan oleh Satuan Pemeriksa Internal.(10)

Anda mungkin juga menyukai