Anda di halaman 1dari 11

1

Tantangan Ekklesiologis GKST1


Pdt. Dr. Tertius Y. Lantigimo, MTh2

I. PENGANTAR

Berbicara mengenai ekklesiology berarti berbicara mengenai apa dan bagaimana gereja. Dengan
kata lain berbicara tentang gereja berarti berbicara mengenai defenisi, hakekat, bentuk dan
persoalan-persoalan praksis eklesiologis. Apalagi beberapa tahun terakhir ini GKST sedang
diperhadapkan dengan berbagai tantangan eklesiologis, baik yang sifatnya teologis, doktrinal
maupun organisatoris. Dalam berbagai tantangan ini GKST berupaya untuk tetap eksis dan
memperlihatkan identitasnya yang unik.

Pada pertemuan ini kita tidak akan membahas pandangan eklesiologis tokoh-tokoh tertentu
seperti Karl Marx (atheist), Ferdinand Freud (sekular psikolog), Paul Tillich (teolog liberal), dan
lain-lain. Kita tidak akan mengadakan kajian teologis terhadap suatu “teologi” yang
membingungkan atau kurang jelas apalagi menyesatkan. Kita lebih fokus pada apa yang menjadi
pergumulan nyata dalam pelayanan kita dan bukan di awang-awang. Dengan kata lain diskusi ini
akan lebih fokus pada hal-hal praksis dan praktis yang mengandung aspek teologis dan aspek
organisatoris.

Dalam pelayanan GKST ada kecenderungan mengkaburkan hubungan teologis dan organisatoris
gereja sehingga menimbulkan masalah dalam memahami dan menghidupi makna gereja dan
bergereja. Ini yang menjadi tantangan yang perlu dipikirkan bersama oleh GKST, dan perlu kita
diskusikan pada konven ini. Namun perlu diingat bahwa materi di bawah ini sifatnya adalah
“out-line” atau garis-garis besar yang memerlukan elaborasi lebih lanjut.

II. Terminologi Gereja

Kata “Gereja” berasal dari kata evkklhsia yang merupakan terjemahan dari kata Ibrani lhq`
(qahal)3 yang artinya dasarnya adalah “berkumpul bersama” dalam hal ini diartikan “umat
Allah”4 (LAI: “jemaah TUHAN”; Ingg. “assembly of the LORD”). Kata ekklesia ini kemudia
diserap oleh beberapa bahasa Eropa seperti Spanyol menjadi “iglesia” dan bahasa Portugis
“igreja”. Bahasa Portugis inilah yang menjadi kata “Gereja” dalam bahasa Indonesia. Kata
Yunani ini diartikan dengan “perkumpulan, persekutuan” orang-orang percaya kepada Yesus
Kristus, yaitu mereka yang dipanggil keluar dari kegelapan untuk masuk ke dalam terang Kristus
(band. Roma 1:7).5 Mereka adalah orang-orang yang telah ditebus oleh Kristus melalui
kematian-Nya di kayu salib.
Karena itu gereja gereja adalah milik Kristus, milik Allah. Gereja ada karena kasih karunia Allah
melalui pengorbanan Yesus Kristus. Itulah sebabnya istilah lain yang dipakai untuk
menggambarkan gereja adalah kuriakwn, “milik Tuhan”.

Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat
kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari

1
Disampaikan pada konven para pendeta se-GKST pada tanggal 24-26 Juli 2018 di Tentena.
2
Angkatan 1990: 1990-1993 Akademi Theologia GKST Tentena, melanjutkan Study S1 1993-1995/96 di
UKI Tomohon (STh); 1996-1999 Study S2 Program Master of Theology di Trinity Theological College (TTC),
Singapore (MTh); Agustus 1999 Vikaris di Jemaat GKST Sion Tentena, diurapai menjadi Pendeta GKST pada tgl 3
September 2000; Melanjutkan Study S3 di TTC, Singapore tahun 2001. Melayani Jemaat Chinese Methodist Church
(English Service) tahun 2001-2006. Biblical Research di Tyndale House, Cambridge, Inggris 2003-2004. Wisuda
Doctor of Theology di TTC, Singapore, 13 Mei 2006 (DTh).
3
Biasanya ada juga yang menambahkan kata hdu(edah) “jamaah/jemaat” (Kel. 13:2)
4
Ul. 23:3 (LXX) οὐκ εἰσελεύσεται ἐκ πόρνης εἰς ἐκκλησίαν κυρίου. Bold is mine.
5
Secara teologis kata itu dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu: “ek” (keluar) dan “kaleo” (memanggil).
2

Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib
(1Pet 2:9).

Seperti apakah gereja itu? Paulus mengumpamakan gereja sebagai tubuh jasmaniah dengan
banyak anggota tubuh yang berbeda namun selaras dan bekerjasama dengan baik:

“Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota
itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus” (1Cor 12:12).

“Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua
anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah
satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang
terhadap yang lain.” (Roma 12:4-5).

Itu sebabnya gereja juga disebut Tubuh Kristus. Kristus adalah kepala tubuh dan umatNya
(gerejaNya) sebagai anggota-anggotanya. Jila Perjanjian Lama dan Baru digabungkan, maka
akan didapat pengertian bahwa gereja adalah tubuh Kristus yang berdiri dari umatNya yang
dikumpulkan bersama untuk mendengarkan firmanNya, menaati dan bertindak sesuai
firmanNya.

III. Gereja sebagai Organisasi

Gereja juga dipahami sebagai suatu organisasi atau institusi. Kata “organisasi” diambil dari
bahasa Inggris “organise” yang berarti “mengatur” atau “menata”. Persekutuan orang-orang
percaya perlu ditata dan diatur supaya hidup tertib dan teratur. Karena itu diperlukan pimpinan
atau orang-orang yang bertanggung jawab untuk mengatur jalannya suatu organisasi. Tanpa
organisasi maka kehidupan suatu perkumpulan yang besar akan “chaos”. Ada aturan-aturan yang
disepakati bersama untuk ditaati yang disebut “Tata Gereja”, di mana berbagai aturan dan
ketentuan dimuat, dan termasuk sanksi untuk suatu pelanggar diatur.

Dalam kehidupan bergereja ada beberapa bentuk organisasi yang dikenal, antara lain: Episkopal,
Presbyterian, dan Konggregasional (Enklaar; Van den End) Sistem episkopal6 (dari kata
evpiskopoj, “penilik”) adalah sistem organisasi gereja yang menekankan hierarky (“top down”).
Contoh gereja yang menganut sistem ini adalah gereja Katholik, Anglikan, dan lain-lain. Sistem
presbyterian7 (dari kata presbuteroj, “tua-tua” atau “penatua”) yang menekankan aspek
keterlibatan kaum awam dalam menata organisasi gereja.8 Perlu diketahui bahwa ada bentuk
Presbyterian murni dan Presbyterian Sinodal, dan GKST menganut sistem Presbyterian Sinodal
dengan membentuk suatu Sinode.9

IV. Gereja Menurut Orientasi Teologi

Secara umum gereja di dunia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian atau kelompok, yaitu:
- Gereja Katolik10
- Gereja Ortodox11
6
Dari kata evpiskopoj , “penilik”.
7
Dari kata presbuteroj , “tua-tua, penatua” ()
8
Sistem ini diciptakan oleh Calvin sebagai reaksi terhadap sistem episkopal yang berlakuk pada gereja
Katolik pada masanya. Sehingga gereja-gereja yang menganut sistem Presbyterian biasanya juga disebut gereja
Calvinis. Dalam perkembangan Sejarah Gereja sistem Presbyterian ini mengalami “modifikasi” menurut konteks
gereja masing-masing.
9
Kata “Sinode” berasal dari bahasa Yunani sun (“bersama”) dan o`doj (“jalan”). Sehingga Sinode berarti
“bersama jalan” atau “jalan bersama dan bersama-sama”.
10
Katolik artinya universal atau am.
3

- Gereja Protestan12

Perlu diketahui bahwa gereja protestan13 telah melahirkan banyak cabang atau aliran (stream)
setelah reformasi. Ada aliran besar (main stream) dan juga aliran-aliran yang kecil dan cabang-
cabangnya (Aritonang; Van then End.) Aliran-aliran besar biasanya diidentikan dengan gereja-
gereja Lutheran dan gereja-gereja Calvinis karena jumlahnya yang besar.

Dari sekian banyak aliran, ada beberapa aliran utama yang perlu kita ketahui antara lain:

- Lutheran

Gereja Lutheran adalah gereja yang mengikuti ajaran-ajaran atau teologi Martin Luther terutama
teologi anugerah. Pusat gereja Lutheran adalah German karena Luther adalah orang German dan
tinggal di German. Di Indonesia gereja-gereja Lutheran, antara lain, adalah: HKBP, HKI, dan
lain-lain.

- Calvinis

Gereja yang beraliran Calvinis adalah gereja-gereja yang mengikuti atau dipengaruhi oleh
ajaran John Calvin (antara lain: predestinasi) dan Gereja Calvinis berpusat di Genewa (Swiss)
tempat tinggal John Calvin pada masa lampau. Di Indonesia gereja-gereja beraliran Calvinis
cukup banyak, antara lain: GPIB, GKI, GKJ, GKJW, GKE, KGPM, GMIM, GKST, GT, GMIH,
dan lain-lain.

- Armenian
Gereja-gereja Armenian adalah gereja-gereja yang mengikuti ajaran Yakobus Armenius,
seorang murid Calvin yang menentang ajaran predestinasi Calvin, dengan mengemukakan
teologi “kehendak bebas” (Erwin W. Lutzer: 1989) Padangan Armenian ditolak di Belanda dan
sekitarnya, tetapi diterima dan berkembang di Inggris, seperti Gereja Anglican, Methodist, Bala
Keselamatan, dan kemudian menyebar di beberapa negara.

- Pantekosta

Gereja Pantekosta menghubungkan diri dengan fenomana Pentakosta yang dikisahkan dalam
Kisah Rasul 2, yang hadir melalui kebangunan-kebangunan rohani dan fenomena glosolalia yang
muncul di Amerika Serikat pada abad ke-19 dan abad ke-20. Gereja pentakostal ini menekankan
peran Roh Kudus dalam kehidupan pribadi melalui hidup lahir baru atau kesalehan hidup.

- Kharismatik

Gereja ini lebih menguntamaka kharisma-kharisma individu dalam pelayanan. Mereka lebih
expresif dalam beribadah. Pandangan teologinya tergantung pada pimpinan gerejanya. Gereja
kharismatik lebih menekankan kepemimpinan kharismatik individu dari pada kepemimpinan
organisasi.

11
Dari kata “ortho” (lurus) “doxa” (ajaran)
12
Pada awalnya istilah ini adalah kata sindiran dari pihak Katolik terhadap gereja-gereja yang lahir karena
reformasi, yang mana kelahiran gereja-gereja itu dipandang sebagai suatu bentuk protes terhadap gereja Katolik
pada masa reformasi.
13
Istilah “Protestan” sebenarnya adalah suatu kategori gereja-gereja yang lahir setelah reformasi oleh
Martin Luther. Jadi, gereja Lutheran, Calvinis, Pantekosta, Kharismatik dll masuk dalam kategori Protestan. Di
Kemenag, Bimas Kristen hanya ada 2 (dua), yaitu: Bimas Katholik dan Bimas Protestan.
4

V. Fungsi dan Tugas Gereja

Fungsi dan Tugas Gereja

Pada dasar fungsi gereja adalah apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus untuk dilaksanakan, antara
lain:

1) Memuliakan Allah melalui ibadah dan perilaku. Yesus selalu memuliakan Bapa di sorga.
Paulus dalam surat-suratnya selalu dimulai dengan ucapan syukur atau memuliakan
Allah.
2) Menghadirkan Kerajaan Allah dalam kehidupan melalui pengajaran, menyembuhkan
orang sakit, membebaskan yang terbelenggu, menghadirkan damai sejahtera, keadilan,
dll.
3) Menjadi seperti gembala mencari dan menyelamatkan yang sesat atau hilang.
4) Memberitakan Injil kepada dunia supaya percaya kepada Allah melalui Yesus Kristus
(Amanat Agung)
5) Melayani orang-orang yang terpinggirkan, miskin, dan tak berdaya.
6) Membina iman, membentuk karakter.

Semua hal di atas biasanya dirangkum dalam tri-tugas gereja: koinonia, marturia, dan diakonia.

VI. Pergeseran Eklesiologis: “Neo-Eklesiologis”

Ada fenomena-fenomena bergereja yang agak berbeda dari pemahaman teologis yang standar.
Saya mengistilahkan “pergeseran” walaupun sebenarnya apa yang terjadi adalah
“penyimpangan” ekklesiologis, dan karena itu saya menyebutnya “Neo-Eklesiologis” atau
“eklesiologi baru” yang sebenarnya menyesatkan. Secara sepintas, kalau tidak
memperhatikannya dengan saksama, maka akan kelihatan baik-baik saja dan tidak ada masalah.
Tetapi kalau kita melihatnya lebih dekat dengan kaca mata Firman Tuhan maka kita akan melihat
kesesatan fenomena tersebut, karena hanya menekankan salah satu aspek dan mengabaikan
aspek-aspek lain.

Saya menggunakan beberapa istilah atau kategori untuk menggambarkan fenomena ekklesiologis
tersebut, antara lain:

1. Gereja Perusahaan

Yang dimaksud dengan kategori ini bukanlah gereja-gereja yang ada di perusahaan-perusahaan.
Melainkan gereja yang diatur atau ditata berdasarkan management perusahaan, di mana pendeta
gereja tersebut berfungsi seperti direktur di perusahaan. Pendeta tersebut menjadi pemimpin
tertinggi dan pendeta-pendeta lain yang berada di bawah pengaturannya bersifat “anak buah”
yang harus mengikutinya kemauan sang direktur.

Orientasi dari pada gereja model perusahaan ini adalah profit perusahaan. Oleh karena itu dia
akan buka cabang di mana-mana. Pendeta-pendeta yang ditempatkan akan menjadi “manager”
atau “CEO” dari cabang tersebut. Cabang yang menghasilkan profit akan terus dikembangkan
dan buka cabang baru. Cabang yang tidak menghasilkan profit akan ditutup. Cara
pengembangan gereja ini adalah menggunakan metode periklanan, dengan promosi yang agresif
yang masif. Anggota jemaat tidak lihat sebagai “domba” tetapi sebagai “client” atau “pelanggan”
yang mendatangkan profit. Metode yang paling kelihatan adalah “KKR” dengan promosi yang
bombastis sehingga menarik banyak peminat untuk menghadirinya.
5

Gereja mall/supermarket

Ada juga gereja yang dapat disebut dengan “gereja mall” atau “super market” dengan sistem
franchize. Bak sebuah mall atau supermarket di gereja tersebut akan menawarkan berbagai
“jualan” yang menarik, bahkan ada “bonus” dan “diskon” kepada “sales” yang berhasil.
Bandingkan dengan toko MATAHARI yang menjual segala macam jenis pakaian, yang ada di
hampir semua mall.

Metode “franchise” atau MLM akan dipakai untuk membuka cabang. Franchise ada sistem bisnis
yang menggunakan metode “reseller”. Pemilik bisnis ini akan menerima sekian persen dari
penjualan tanpa harus bekerja. Contoh KFC yang ada di mall-mall, produk yang dijual sama
semua, dari bentuk, warna, cara masak, kemasan, penjualan, sistem pemasaran, dan lain-lain
sama semua, tidak boleh berbeda.
Tahukah saudara bahwa KFC itu bisnis franchise yang pusatnya di Kentucky, Amerika Serikat?
Cabang-cabang yang membeli license KFC, akan membayar presentasi profit kepada KFC pusat
sesuai dengan kesepakatan.

Perhatikan gereja-gereja model ini, mereka akan memiliki tema yang sama di mana, cara
beribadah yang sama, teologi yang sama, membayar perpuluhan berjenjang, sangat
mengutamakan profit atau keuntungan.

Gereja model ini, sama seperti mall atau supermarket, tidak peduli apakah sudah ada gereja lain
sebelumnya di situ, yang penting dia juga akan buka cabang dan menjadi pesaing. Kalau perlu
gereja yang sudah ada itu dibujuk dengan teknik marketing moderen masuk atau bergabung
dengan mereka.
Itulah sebabnya, tidak mengherankan kalau ada warga GKST yang berhasil mereka bujuk karena
strategi “pemasaran” mereka yang cukup bombastis dan berhasil menarik warga GKST untuk
pindah gereja.

2. Gereja Kios

Model Gereja ini seperti orang yang buka kios menjual barang yang sama dengan kios lain yang
sudah ada, dengan berharap ada pembeli yang nyasar ke kiosnya. Mungkin karena kios sebelah
sedang tutup sehingga dia lagi beruntung dapat pembeli. Tetapi belum tentu pembeli itu akan
datang lagi.

Kita melihat fenomena itu di GKST, ada gereja-gereja yang kecil masuk di wilayah GKST
dengan harapan ada jiwa yang nyasar dan masuk gereja mereka. Kalau ada masalah yang
dihadapi oleh gereja lain mereka berharap akan masuk ke gereja mereka. Seperti seorang
pembeli yang tidak mendapat pelayanan yang baik di kios sebelah, demikian juga gereja kios ini
berharap akan dapat anggota dari gereja yang bermasalah. Ada warga GKST, yang karena
masalah intern jemaat, masuk ke gereja-gereja kios yang ada di wilayah GKST.

3. Gereja Entertainment

Gereja ini lebih menekankan pada bentuk dan content ibadah liturgis. Orientasi gereja model ini
adalah anggota jemaat terhibur. Pendeta atau pengkhotbah harus mampu mengentertaint pada
pendengarnya. Tidak peduli apakah khotbahnya sesuai dengan Firman Tuhan atau tidak yang
penting menghibur. Oleh sebab itu gereja ini akan berusaha mengundang pembicara-pembicara
yang dapat memberikan entertainment yang cukup menghibur, walaupun harus mengeluar dana
yang tidak sedikit. Kalau boleh khotbah itu bisa seperti “stand up comedy” yang membuat
6

pendengar tertawa terpingkal-pingkal dan terhibur sehingga mereka akan betah dan tetap
menjadi anggota tersebut. Itulah sebabnya, kadang-kadang para pendeta GKST suka mencari
cerita-cerita lucu untuk memberikan “entertainment” kepada jemaat supaya tertawa walaupun
kadang-kadang cerita itu tidak berhubungan dengan tema khotbah. Dia akan merasa bangga
ketika jemaat ketawa karena melucu, walaupun tidak berbobot karena tidak membangun iman
jemaat.

4. Gereja Dukun

Kedengaran aneh dan menyeramkan jika mendengar nomenklatur “gereja dukun” seolah-olah
gereja itu mempraktekan perdukunan. Bukan itu yang dimaksud. Ada gereja-gereja tertentu yang
mengutamakan mujizat-mujizat penyembuhan penyakit, pengusiran setan atau eksorsism dengan
“doa-doa sakti” dan “ritus-ritus rohani” tertentu.
Karena itu pendetanya mengharus seorang pendeta yang mampu menyembuhkan orang sakit dan
mengusir roh jahat dengan “doa saktinya”, dan sanggup memberikan kekayaan dengan doa dan
“ritus-ritus rohani” tertentu. Gereja-gereja seperti ini akan mengadakan “penyembuhan ilahi” dan
eksorsisme atau pengusiran setan, dan mengadakan doa atau “ritus” untuk mendatangkan
kekayaan dalam ibadah-ibadah mereka.
Itulah sebabnya kita mendengar ada gereja yang sangat mempromosikan “Perjamuan Kudus”
dan “minyak urapan” sebagai sarana kesembuhan ilahi, pengusiran roh jahat, dan mendatangkan
kekayaan atau kemakmuran. Pendeta dipandang seperti dukun sakti.
Ada beberapa anggota jemaat GKST yang terpengaruh dengan model gereja seperti ini, sehingga
ikut terlibat dalam ibadah-ibadah mereka, dan bahkan pindah keanggotaan gereja karena
menganggap gereja seperti itu yang benar.

5. Gereja Nabi dan Rasul

Ada juga gereja yang menekankan aspek kenabian dan kerasulan gereja. Namun pemahamannya
agak berbede bahkan bergeser dari pemahaman yang benar. Ada gereja-gereja tertentu yang
mengatakan bahwa seorang pendeta harus mampu bernubuat dalam arti meramal atau
mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan seperti nabi-nabi dalam PL, supaya dapat
dilakukan tindakan antisipatif.
Bersamaan dengan itu hamba Tuhan harus menjadi rasul, memiliki kuasa-kuasa seperti yang
dimiliki oleh murid-murid Tuhan Yesus pada masa lampau. Itulah sebabnya ada gereja-gereja
tertentu yang menggunakan gelar rasul untuk pendetanya.

VII. Tantangan Eklesiologis GKST

Dengan banyaknya aliran gereja dan teologinya maka baik secara langsung maupun tidak
langsung memberikan dampak pada eksistensi GKST. Dampak itu terlihat pada pandangan
teologis dan perilaku bergereja (secara orgnisatoris) warga GKST. Misalnya, ada yang
terpengaruh dengan ajaran-ajaran teologis yang bertentangan dengan doktrin GKST, seperti
baptisan, dan

Saya membagi tantangan itu dalam dua kategori besar, yaitu tantangan Eksternal dan tantangan
Internal.

1. Tantangan Eksternal
7

Tantangan ini berasal dari luar GKST atau yang disebabkan oleh faktor di luar GKST.

1) Masalah doktrinal

Salah satu yang menjadi pergumulan GKST adalah adanya golongan tertentu yang mengganggu
ketentraman GKST dengan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran GKST. Persoalannya
bukanlah masalah ajaran itu per se tetapi cara ajaran itu seolah-olah dipaksakan oleh pihak non-
GKST. Misalnya, ajaran tentang baptisan. Tantangan ini bukan hal yang baru, tetapi ketika
tantangan ini tidak diantisipasi maka akan menimbulkan keresahan dalam jemaat.

Doktrin baptisan adalah ajaran yang umum dan dimiliki oleh semua gereja. Walaupun kita
sepakat bahwa baptisan tidak mempersoalkan caranya, tetapi masih saja ada kelompok Kristen
lain yang terus menerus mengeritik dan mempermasalahkan cara baptisan yang dianut oleh
GKST. Sebagai akibat dari kondisi ini, ada sebagian warga GKST yang dibaptis ulang karena
berasumsi cara membaptis yang diterima saat masih kecil tidak benar. Dengan cara menafsir
yang bias dan “invalid” mereka berhasil mempengaruhi warga GKST. Sehingga ada warga
GKST yang mau dibaptis ulang dengan cara selam karena dianggap yang benar dan alkitabiah.
Akibatnya timbul permasalahan, perpecahan, dan biasanya berakhir yang bersangkutan pindah
aliran.

Contoh lain adalah persoalan penggunaan nama Tuhan, YAHWEH. Katanya penggunaan kata
YAHWEH yang benar dan penggunaan nama ALLAH itu tidak benar. Ada gereja tertentu yang
tidak lagi menggunakan kata ALLAH dalam doa, khotbah atau ungkapan-ungkapan liturgis,
tetapi menggunakan nama YAHWEH. Sebagian warga GKST sudah terpengaruh dengan
mengikuti ajaran tersebut dan meneruskan promosi tersebut kepada anggota jemaat yang lain dan
sebagai akibat menimbulkan keresahan dan kebingunan.

Belum lagi ajaran tentang teologi kemakmuran yang diminati banyak orang Kristen termasuk
sebagian warga GKST. Menurut ajaran ini bahwa orang Kristen yang benar harus hidup sukses
dan kaya sebagai bukti keberkatan dalam hidup. Sakit penyakit dan kemiskinan adalah bentuk
kutuk atau tanda bahwa hidup tidak diberkati.
Ajaran-ajaran seperti ini cukup mengganggu dan meresahkan. Banyak warga gereja yang
menjadi bingung dan menimbulkan pertengkaran sampai berujung perpecahan. Ada juga yang
tetap mempertahankan keanggotaan sebagai warga GKST dengan cara yang “cerdik” dengan
menggunakan metode “keanggotaan ganda”. Dia tetap setia menjadi anggota GKST, tetapi juga
tetap giat mengikuti ibadah di denominasi yang lain. Biasanya mereka mengeluarkan ungkapan
yang sifatnya mendiskreditkan GKST, seperti “kalau ibadah di GKST itu hanya sarapan, nanti
makan kenyang di gereja Pantekosta atau Kharismatik”. Itulah sebabnya setelah ibadah di jemaat
GKST mereka akan mengajak teman yang lain untuk beribadah di tempat lain karena, kata
mereka, “kami lebih merasa dilayani di sana, dan khotbahnya begitu menyentuh kami.”

Sebagai pendeta GKST sakit hati saya mendengarnya. Tetapi di lain pihak kenyataan ini adalah
tantangan untuk memperbaiki apa yang kurang, dan terus berupaya belajar, dan dengan tulus
mencari tahu akar permasalahan mengapa ada ungkapan-ungkapan seperti itu.

2) Tantangan Oikumenis

Sebagai tubuh Kristus gereja dituntut terbuka dan terus membuka diri. Tetapi keadaan ini
dimanfaatkan oleh denominasi lain untuk mengobok-obok GKST. Karena GKST diminta untuk
terbuka, dan kenyataannya sebagian warga jemaat terbuka, sehingga mereka menerima kegiatan
apa saja yang dianggap pelayanan. Misalnya, diadakannnya KKR-KKR oleh denominasi yang
lain dengan menggundang seluruh warga GKST untuk turut hadir. Bahkan pimpinan tertinggi,
8

seperti Majelis Sinode GKST, diminta untuk meng-endorse (mendukung, menyetujui) kegiatan-
kegiatan yang dianggap oikumenis tersebut. Tetapi kenyataannya KKR telah menjadi salah satu
strategi untuk mempengaruhi iman GKST dan mendapatkan “profit” melalui persembahan dari
warga GKST. Banyak yang tidak menyadari bahwa gereja-gereja yang datang mempromosikan
KKR atau “seminar doa” adalah mereka yang berasalah dari “gereja perusahaan” atau “gereja
mall/supermarket” yang disebutkan di atas.
Karena itu pimpinan Jemaat atau para pendeta di jemaat-jemaat GKST harus peka dan waspada.
Jika ada panitia suatu kegiatan kerohanian ingin mengadakan KKR pimpinan jemaat harus
melakukan fungsi kontrol dengan ketat. Kadang-kadang gereja kecolongan ketika menerima
pembicara dari denominasi lain atau ketika mengikuti kegiatan-kegiatan oikumenis. Sering kita
tidak menyadari bahwa ibadah KKR sering menjadi strategi untuk masuk dan mempengaruhi
anggota GKST.

2. Tantangan Internal

Tantangan yang tidak kalah pengaruhnya adalah tantangan dari dalam jemaat GKST sendiri. Ada
beberapa hal perlu mendapat perhatian di sini, antara lain:

1) Teologi “gereja kami”


Sadar atau tidak anggota jemaat kadang-kadang berpikir bahwa gereja atau jemaat itu adalah
milik mereka, seolah-olah bukan milik Tuhan. Karena itu gereja kami maka kamilah yang berhak
mengaturnya, bukan pendeta yang hanya datang sementara waktu. Konsep “gereja kami”
kadang-kadang menimbulkan tindakan semena-mena tanpa ikut aturan. Kadang-kadang Tata
Gereja tidak lagi dipakai karena “gereja itu punya kami, dan kami yang mengatur”. Pandangan
ini lupa bahwa gereja itu “milik Kristus”, “milik Tuhan” dan tidak dapat diatur seenaknya saja.
Ada aturan yang mengikat dan mengatur pelayanan dalam gereja.

2) Teologi “Uang Jemaat”

Pandangan “gereja kami” berdampak pada hal keuangan. Karena gereja atau jemaat adalah
punya kami maka persembahan itu juga adalah “uang kami,” atau “persembahan itu adalah uang
jemaat”. Karena pandangan ini sehingga ada bendahara jemaat tertentu yang berani
“meminjamkan” uang jemaat itu kepada orang lain dengan bunga tertentu. Ketika uang tersebut
akan dipergunakan untuk pelayanan uang jemaat itu belum dikembalikan sehingga muncullah
masalah keuangan, bahkan tidak jarang ditemukan penyalahgunaan keuangan oleh bendahara
jemaat, karena konsep “uang jemaat”.
Pemahaman “uang jemaat” ini juga berdampak pada setoran ke Klasis dan Sinode. Jika jemaat
menyadari bahwa persembahan itu adalah “uang Tuhan” yang dikelolah oleh jemaat, maka tidak
akan ada perilaku seperti disebutkan di atas. Karena itu adalah uang Tuhan maka jemaat tidak
punya hak lagi atas uang itu, karena sudah menjadi haknya Tuhan.

3) Teologi “pendeta kami”

Karena padangan “gereja kami” maka pendeta atau gembala juga “pendeta kami”. Pandangan ini
menimbulkan persepsi bahwa pendeta harus mengikuti kemauan jemaat, karena gembala atau
pendeta “kami yang gaji.” Jemaat tidak menyadari bahwa gembala atau pendeta jemaat itu
adalah “hamba Tuhan” yang melakukan pekerjaan Tuhan di jemaat tersebut. Seorang pendeta
ditempatkan di suatu jemaat bukan karena kemauannya tetapi karena panggilan Tuhan. Dia
berada di suatu jemaat karena pekerjaan Tuhan, dan karena itu pendeta jemaat adalah wakil
Tuhan dalam jemaat. Karena itu ketika seorang pendeta ditolak, bukanlah pribadinya yang
9

ditolak, tetapi atas Nama siapa dia datanglah yang ditolak. Jika jemaat menolak pendeta sebagai
hamba Tuhan, maka itu sama dengan menolak Tuhan sendiri. Jemaat perlu diberikan pencerahan
mengenai hal ini.

4) Krisis “Sense of Belonging”

Salah satu faktor yang memperkuat suatu bangsa, organisasi atau persekutuan adalah sense of
belonging atau semangat kepemilikan dan kebersamaan. Ungkapan “I belong to GKST” yang
artinya “saya adalah milik GKST” adalah suatu ungkapan kita semua adalah milik GKST. Ketika
kita berpandangan bahwa “ I am GKST” atau “saya adalah GKST” maka disitulah akan terlihat
semangat kebersamaan. Maka dia akan merasa bagian yang tidak terpisahkan dari GKST, dan
semangat bahkan fanatisme GKST akan bangkit.
Semangat ini yang kurang bahkan mengalami krisis dalam GKST. Hal ini terbukti ada sebagian
warga GKST yang ingin mengambil atau mengkleim aset GKST sebagai milik pribadi. Ada yang
secara diam-diam mencaplok atau menerobos aset, bahkan ada yang mempengadilankan GKST
untuk merebut aset itu. Hal ini menunjukan ketiadaan sense of belonging sebagai warga GKST.

Kurangnya sense of belonging juga terlihat dalam fenomena warga jemaat yang keluar atau
memisahkan diri dari GKST hanya karena masalah intern jemaat. Dalam sejarah perjalanan
GKST sudah banyak warga GKST yang keluar dari keanggotaan GKST karena masalah intern
yang sebenarnya sepele. Bahkan, yang lebih disayangkan, ada upaya dari pihak-pihak tertentu
untuk membentuk Sinode sendiri atau memisahkan diri dari Sinode GKST.
Kita bertanya apa yang sedang terjadi? Di mana sense of belonging warga GKST.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Kita perlu menggumulinya bersama dan mengatasinya dengan
bijak.

Seperti sudah dikatakan di atas, sebagian warga jemaat, memahami bahwa gereja dapat didirikan
seperti mendirikan suatu yayasan atau rukun, dan dapat diatur sendiri. Jika mereka benar-benar
memahami bahwa gereja itu adalah milik Tuhan, yang diatur berdasarkan kehendak Tuhan dan
bukan kehendak sendiri, maka mereka akan berpikir panjang sebelum mengambil keputusan.

Jika kita melihat akar penyebab sebagian warga GKST adalah karena permintaan mereka tidak
dipenuhi atau pengaturan pelayanan tidak sesuai dengan keinginan sebagian anggota jemaat.
Karena mereka berpikir bahwa gereja bisa mereka atur, tetapi dalam kenyataan kemauan mereka
tidak dipenuhi, maka muncullah kekecewaan, dan mempersalahkan pimpinan gereja (gembala,
majelis Klasis, Majelis Sinode).

5) Masalah “soliditas”, “solidaritas”, dan “komitment”

Kesolidan (dari kata “solid”- “utuh, keras” ) dalam suatu organisasi sangat penting. Para pendeta
harus menjaga “korps”, menjaga kesatuan bahwa kita semua adalah hamba Tuhan yang saling
menghargai, saling menopang, mendukung dan saling melindungi. Tetapi sering terjadi
ketidakharmonisan dalam pelayanan. Mengapa?
Ada beberapa kondisi yang terjadi, antara lain:
- Di jemaat besar di mana ada beberapa pendeta yang melayani, sering terjadi
ketidakharmonisan karena hanya satu pendeta yang menjadi “gembala” atau ketua
jemaat. Istilah pedeta 1, 2, dst kedengaran diskriminatif, karena seolah-olah ada hierarkhi.
Di satu pihak pendeta yang menjadi ketua majelis jemaat merasa “lebih berkuasa”
sehingga yang lain harus “dengar dan taat” pada pengaturan ketua. Di pihak lain, yang
10

non-ketua akan merasa tidak bertanggung jawab jika ada suatu masalah muncul. Selain
itu, persaingan-persaingan tidak sehat muncul dan terjadilah ketegangan.
- Ada kecenderungan mengumbar kelemahan dan kekurangan rekan pendeta kepada orang
lain, sehingga akan memunculkan suatu opini negatif mengenai seorang pendeta. Sering
muncul persaingan tidak sehat, kecemburuan, dan hal-hal serupa di atara para pendeta.
Para pendeta, sama-sama pelayan, adalah satu “korps” yang harus saling menjaga, saling
melindungi, dan saling menegur jika ada kekeliruan. Solidaritas sebagai sesama pelayan
harus dijaga dan ditingkatkan.
-

6) Tantangan organisatoris

Seperti sudah disebutkan di atas bahwa ekklesiologi dapat dilihat dari berbagai sisi, ada sisi
teologis, sosiologis, dan organisatoris. Supaya pelayanan dan pelayan gereja tertib dan dapat
melaksanakan fungsinya, maka ada sistem yang mengatur. Ada Tata Gereja yang mengatur
kehidupan pelayanan dan perilaku pelayan. Secara organisasi GKST menganut sistem
Presbyterian Sinodal, sehingga ada aras-aras pelayanan yang harus berjalan secara sinkron demi
pelayanan yang solid. Walaupun secara teologis dalam gereja tidak ada hierarkhy, namun harus
dipahami bahwa sebagai organisasi ada jenjang-jenjang tanggung jawab, atau ada “atasan” dan
“bawahan” secara struktur.
Sudah menjadi aturan semua organisasi di dunia bahwa “bawahan” taat kepada “atasan”. Dalam
gereja, yang masih hidup di bumi, juga ada jenjang-jenjang organisatoris yang disebut struktur,
dan hal ini diatur dalam Tata Gereja yang sudah disepakati bersama. Namun dalam pelaksanaan
Tata Gereja, masih ada pelayan GKST yang menolak atau “membangkang” mengikuti
pengaturan dalam Tata Gereja. Secara struktur masih ada “bawahan” yang “melawan” atasan
bahkan “menyerang” atasan.
Seperti sudah disebutkan di atas, bahwa secara teologis semua pelayan/pendeta memiliki
kedudukan yang sama. Tetapi harus diingat bahwa gereja juga adalah organisasi yang harus
mengikuti peraturan organisasi. Sehingga jika pelayanan yang melawan aturan organisasi maka
hal itu sangat disayangkan, dan harus mendapat sanski organisasi berdasarkan aturan dalam Tata
Gereja.

VIII. Mencari Solusi

Memperhatikan tantangan-tangan yang disebutkan di atas GKST harus mencari solusi terhadapa
permasalahan dan tantangan ekklesiologis yang disebutkan di atas. Ada beberapa hal yang perlu
dilakukan.
1) Pergeseran paradigma. Sudah saatnya GKST memikirkan kembali paradigmanya atau
pola serta konsep berpikir. Apa orientasi pelayanan kita? Apa yang ingin dicapai? Apa
visi dan misi kita? Perlu dikaji kembali.
2) Edukasi. Para pelayan dan jemaat perlu diberikan edukasi atau pendidikan tentang
pandangan-pandangan ekklesiologis yang benar.
3) Pembinaan. Para pendeta dan warga jemaat perlu mendapat pembinaan spiritualitas
sesuai dengan konteks masing-masing.
4) Keterbukaan yang cerdas. Terbuka terhadap yang baru adalah baik. Tetapi tidak semua
yang baru itu baik atau cocok untuk GKST. Karena dibutuhkan kecerdasan teologis
akademis untuk menyingkapi fenomena-fenomena yang disebutkan di atas.
5) Inovatif dan kreatif. Melihat perkembangan ekklesiologis GKST perlu memikirkan dan
berinovasi terhadap bentuk-bentuk ekklesiologis dan bentuk liturgi GKST. Kita tidak
11

boleh menutup diri dari perkembangan-perkembangan yang baru yang selalu muncul
dalam kehidupan gereja.
6) Membangun hubungan oikumenis dan kemitraan. Salah satu faktor yang menentukan
kemajuan sebuah gereja adalah hubungan oikumenis dan kemitraan. Gereja yang
membangun banyak hubungan oikumenis dan kemintraan, baik dengan gereja atau
organisasi/instnasi dalam negeri maupun luar negeri adalah gereja yang terbuka, maju
dan akan mendapat banyak “keuntungan” dari relasi tersebut.

IX. Kesimpulan

Tidak dapat dipungkiri bahwa GKST menghadapi tantangan ekklesiologis yang


kompleks. Ada tantangan eksternal dan ada tantangan internal. Karena itu GKST harus jeli dan
bijak dalam menyingkapi fenomena yang disebutkan di atas. Kesatuan hati dan kebersama-
samaan para pelayan GKST sangat dibutuhkan untuk membangun suatu konsep ekklesiologis
GKST yang solid, sehingga pelayanan dapat berjalan dengan baik, meningkatkan dedikasi dan
GKST dapat mencapai visi dan misinya.
Kemandirian teologi, daya, dan dana sudah menjadi slogan GKST sejak lama. Namun
semua itu hanya akan tetap slogan jika tidak ada upaya-upaya serius, solidaritas, dan soliditas
serta komintment GKST.

Semoga bermanfaat!

Anda mungkin juga menyukai