Anda di halaman 1dari 10

BAPTISAN Percik atau Selam:

Suatu uraian teologis singkat mengenai arti dan makna baptisan


Oleh Pdt. Dr. Tertius Lantigimo

1. Pendahuluan
Topik tentang baptisan masih saja menjadi salah satu pokok perdebatan di kalangan gereja-gereja.
Gereja yang satu mengatakan bahwa baptisan selamlah yang benar dan karena itu baptisan percik
itu salah. Penganut baptisan selam mengatakan bahwa cara selamlah yang alkitabiah1 atau diajarkan
oleh Tuhan Yesus. Benarkah? Sementara katanya baptisan percik tidak memiliki dasar alkitabiah
yang jelas. Akibatnya para penganut baptisan percik kebingungan, dan malah ada yang dibaptis dua
kali dan pada akhirnya pindah aliran. Bahkan ada beberapa pendeta GKST yang dibaptis ulang
dengan cara selam dan beralih. Manakah baptisan yang benar? Selamkah? Percikah? Atau kedua-
duanya? Diskusi berikut ini akan membahas isu baptisan dengan maksud memberikan penerangan
yang benar tentang arti dan makna baptisan.

2. Pendekatan
Untuk mendapatkan penjelasan yang baik, benar dan seimbang mengenai suatu topik pendekatan
atau metodologi sangatlah penting. Demikian halnya dengan topik baptisan metode pendekatan
sangatlah penting. Dalam kaitannya dengan topik ini ada dua pendekatan yang sering dipakai oleh
pendukung baptisan selam dan percik, yaitu, pendekatan dogmatis atau doktrinal dan pendekatan
teologis-historis. Di satu pihak, kaum Pantekosta secara sadar atau tidak menggunakan metode atau
pendekatan dogmatis dalam menjelaskan isu baptisan. Dengan demikian argumen-argumen untuk
membenarkan bahwa hanya baptisan selam yang benar dilandasi oleh dogma atau doktrin bahwa
baptisan selam adalah baptisan yang benar. Karena itu apapun argument dari pihak yang berbeda
akan tetap dianggap salah karena sudah ditanamkan (diindoktrinasi) bahwa cara baptis selamlah
yang benar. Di pihak lain, penganut baptis percik agak kesulitan untuk menjelaskan praktek
mengapa cara percik yang dipraktekan. Karena katanya tidak ada ayat pendukung baptisan percik.
Perlu dicamkan bahwa pendekatan doktrinal atau dogmatis untuk memahami isu teologis secara
metodologis terbalik. Kita harus ingat bahwa dogma adalah produk akhir atau kesimpulan dari
kajian teologis. Dengan demikian untuk memahami arti dan makna baptisan kita harus mengkajinya
secara teologis2 dengan memperhatikan aspek historis atau latar belakang. Kita tidak dapat
berargumen dengan hanya main kutip ayat sana sini tanpa memahami latar belakang dan konteks
historis. Pendekatan dogmatis cenderung mengabaikan aspek historis atau sejarah. Dengan kata lain
pendekatan yang akan diambil dalam tulisan ini adalah pendekatan historis teologis kritis.
Maksudnya kajian-kajian teologis mengenai baptisan akan didasarkan pada penelitian sejarah
(history) dan kemudian dikaji secara kritis. Sejarah yang dimaksudkan di sini adalah kajian asal
usul dan praktek baptisan. Kita akan melihat mengapa muncul baptisan dan untuk apa baptisan itu
dalam konteks asli. Untuk memahami baptisan menurut pemahaman Kristen kita akan mengkaji
ayat-ayat Alkitab yang berhubungan dengan baptisan.

3. Etimology (asal-usul kata) dan Makna


Untuk memahami arti dan makna baptisan menelusuri asal usul istilah sangatlah penting. Kata dasar
baptisan berasal dari bahasa Yunani ba,ptw (bapto) yang hanya muncul tiga kali dalam PB (Lk.
16:24; Yoh. 13:26; Why 19:13). Kata ini secara harafiah memiliki banyak arti antara lain:
1
Alkitabiah artinya menurut ajaran Alkitab.
2
Kata “teologis” adalah kata sifat dari kata benda “teologi” yang diambil dari kata Yunani (qeoj), theos (Allah) dan (logoj)
logos (pengajaran). Sehingga yang dimaksud dengan makna teologis di atas adalah bagaimana suatu ajaran atau praktek
keagamaan, misalnya baptisan, berhubungan dengan keyakinan dan iman kepada Allah. Apa alasan iman atau kepercayaan
sehingga suatu kegiatan dilakukan adalah makna teologis dari kegiatan itu. Atau apa hubungan suatu kata atau kalimat dengan
keyakinan atau iman kepada Allah adalah makna teologis.
1
mencelupkan, menenggelamkan, menyiram, memercik. Istilah yang lebih lazim adalah baptizw
(baptizo= saya membaptis) dipakai tujuh puluh tujuh kali. Penggunaan istilah ini lebih sering
dalam konteks ritus pembasuhan Yahudi (mis. Mk 7:4), baptisan Yohanes (Mk. 1:4), baptisan yang
dilakukan oleh Yesus atau murid-murid-Nya selama pelayanan-Nya di atas bumi (Yoh. 3:22, 26),
dan baptisan dengan atau di dalam Roh Kudus dan api (mis. Mt. 3:11, 14). Akan tetapi baptisan
dapat dipahami secara metaforis atau simbolis. Maksudnya, kita dapat berasumsi bahwa pada
awalnya baptisan itu dilakukan dengan mencelupkan atau menenggelamkan seseorang ke dalam air.
Seperti yang tergambar dalam istilah bapti,zw evn u[dati (Mat. 3:11; Yoh 1:26 [baptizw en hudati,
saya membaptis dalam air ]). Kata evn dalam evn u[dati (diikuti bentuk datif3) menunjuk berada di
dalam air. Secara metaforis juga dapat dipahami sebagai masuk ke dalam sesuatu yang lain.
Misalnya, Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat. 28:19). Contoh lain, Atau tidak tahukah kamu, bahwa
kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan
demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya,
sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga
kita akan hidup dalam hidup yang baru (Roma 6:3-4). Justru dalam ayat-ayat ini pergerakan masuk
ke dalam lebih ditekankan, karena istilah yang dipakai adalah eivj (eis) masuk ke dalam
(bapti,smatoj eivj to.n atau bapti,zontej auvtou.j eivj to. ). Dengan kata lain yang penting di sini
adalah peristiwa masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus. Topik ini akan dilanjutkan dibawah
(9).
Selajutnya, kata benda baptisma (baptisma baptisan) tidak ditemukan di luar PB dan hanya dalam
bentuk singular (tunggal). Istilah ini tidak hanya menunjuk pada tindakan baptisan secara harafiah
(bentuk external), tetapi juga menunjuk pada makna rohani. Istilah ini dapat dipakai untuk
menunjuk pada baptisan Roh dan baptisan air.

4. Latar Belakang dan Konteks


4.1. Baptisan di luar Alkitab
Harus dipahami bahwa praktek baptisan dengan air tidak dimulai oleh orang Yahudi atau Kristen
dan bukan milik Kristen semata, karena praktek baptisan telah dilakukan oleh bangsa-bangsa lain
jauh sebelum kekristenan. Misalnya penyelaman dalam ritus agama Hindu di sungai Gangga, ritus
pembahasuhan orang-orang Babilon dalam kultus Enki, praktek-praktek penyucian bayi-bayi yang
baru lahir dan ritus membangkitkan orang mati mati oleh orang Mesir. Praktek membunuh orang
dengan cara menenggelamkan di dunia Timur tengah kuno juga masuk dalam praktek membaptis.
Istilah Baptizo dan istilah-istilah lain yang berhubungan juga dipakai untuk ritus-ritus agama Kreta
mula-mula, agama Trasi, dan kultus-kultus agama misteri.

Dalam praktek-praktek ini baptisan dilakukan untuk menghapus kesalahan, penyucian dan memulai
hidup baru. Dalam hal ini ada kemiripan dengan praktek dalam kekristenan. Akan tetapi hal ini
tidak berarti bahwa baptisan Kristen dipengaruhi oleh latar belakang agama-agama kuno ini.
Baptisan Kristen dipengaruhi oleh ritus-ritus baptisan dalam agama Yahudi yang adalah akar
kekristenan, yang juga dipraktekan oleh Yohanes Pembaptis dan komunitas Qumran, yang akan
dibahas berikut ini.

4.2. Baptisan dalam agama Yahudi


Mengenai asal-usul baptisan dalam agama Yahudi kurang begitu jelas selain ritus-ritus
pembasuhan. Dalam PL ada upacara pembasuhan yang dilakukan oleh anak-anak Harun sebelum
memasuki Kemah Pertemuan supaya mereka jangan mati (Kel. 30:19-21; 40:31-32). Orang yang
akan ditahirkan dari kusta harus dipercik sebanyak tujuh kali dan orang yang ditahirkan itu harus

3
Dalam bahasa Yunani ada empat konstruksi/bentuk kata/kalimat yang disebut kasus yang lazim dipakai
yaitu: nominative, akusatif, genetif dan datif.
2
membasuh tubuhnya (Im. 14:7-8). Orang-orang yang menjadi najis karena lelehan di tempat tidur
atau orang yang bersentuhan dengan orang najis itu diharuskan membasuh (membaptis) diri untuk
menjadi tahir (Im. 15:5-33), orang yang membakar lembu korban bakaran termasuk imam harus
membasuh diri setelah melakukan hal itu (Bil. 19:1-22), dan masih ada contoh-contoh lain.
Pembasuhan dengan air dalam konteks ini adalah untuk menjadi bersih secara seremonial.
Pembasuhan dapat juga dipahami sebagai metafor pengampuan dan pemulihan seperti dalam
Yehezkiel di mana orang Israel diumpamakan sebagai anak perempuan yang terbuang dan
berlumuran darah tetapi Tuhan memungutnya dan membasuhnya (Yeh. 16:1-9). Makna serupa juga
terdapat dalam Yesaya 4:4.

Pembasuhan dalam bentuk selam terjadi pada saat Naaman menyelamkan dirinya sebanyak tujuh
kali dalam sungai Yordan supaya dia mendapat kesembuhan dari penyakit kustanya (2 Rj. 5:10).
Naaman melakukannya sendiri. Hal ini lebih menjelaskan bahwa pembaptisan dalam konteks ini
sangat berkaitan dengan upacara pembasuhan untuk pentahiran. Karena penyakit kusta yang
diderita oleh Naaman dihubungkan dengan kenajisan.
Dalam agama Yahudi ada yang disebut baptisan atau pembasuhan proselit (orang bukan Yahudi
tetapi tertarik pada agama Yahudi dan percaya kepada YHWH dan kemudian masuk agama
Yahudi). Orang-orang non-Yahudi yang akan memeluk agama Yahudi selain menerima sunat juga
harus mengikuti ritus pembasuhan (mandi) untuk membersihkan mereka dari kenajisan kafir
mereka. Peralihan/pertobatan dari agama kafir ke agama Yahudi dipandang sebagai peralihan dari
kematian kepada kehidupan, atau dari hidup lama ke hidup baru. Kelihatannya, konsep inilah yang
diambil alih oleh kekristenan bahwa baptisan itu adalah suatu peralihan dari hidup lama tanpa
Kristus ke kehidupan baru bersama Kristus.

4.3. Baptisan di Qumran4


Komunitas Qumran terdiri dari orang-orang Yahudi yang menyendiri di Qumran, suatu tempat di
tepi laut mati (150/140 s.M 68 M). Mereka menyendiri karena menganggap orang-orang Yahudi
bersama imam-imam di Yerusalem najis. Mereka menyendiri dan mempraktekan baptisan atau
ritus pembasuhan dengan tekun untuk menjaga kesucian mereka. Terdapat banyak bak-bak mandi
untuk melakukan ritus itu. Alat-alat makan dan minum jugapun akan di basuh atau dipercik untuk
menghilangkan kenajisan. Setiap orang yang akan menjadi anggota (orang Yahudi) perkumpulan
Qumran harus melalui ujian moral dan setelah itu akan dibaptis sebagai tanda bahwa mereka sudah
bertobat dan bertekad untuk hidup baru menurut pemahaman Qumran. Perlu diingat bahwa baptisan
itu dipahami secara eskatologis5. Mereka percaya bahwa mereka adalah orang-orang benar di akhir
zaman di mana Yahweh akan memulihkan bangsa mereka dan mendirikan kerajaan eskatologis di
mana Allah adalah Raja. Tetapi syaratnya adalah hidup benar melalui taat kepada Taurat Musa dan
hidup benar itu ditandai dengan baptisan sebagai tanda pertobatan (Manual of Discipline, 1QS 3:4-
9; 6:14-23). Kelihatannya konsep inilah yang mempengaruhi Yohanes Pembaptis dan kemudian
kekristenan.

5. Baptisan Yohanes
Seperti sudah disinggung di atas bahwa baptisan Yohanes mirip dengan baptisan di Qumran, yaitu,
baptisan pertobatan. Perbedaannya adalah baptisan di Qumran dilakukan berulang-ulang dan
dilakukan sendiri sementara baptisan Yohanes hanya dilakukan sekali dan dilaksanakan oleh
Yohanes. Dengan demikian baptisan Qurman adalah ritus pembasuhan yang biasa dilakukan oleh

4
Para ahli berpendapat bahwa persekutuan Qumran berasal dari kelompok Esseni yang kemudian hidup
menyendiri di Qumran, sebuah tempat di tepi laut mati antara tahun kira-kira 150/140 s.M – 68 M. Mereka menyendiri
karena menganggap orang-orang Yahudi bersama imam-imam di Yerusalem najis, dan komunitas Qumran menganggap
bahwa merekalah yang kudus dan benar, dan mereka berharap untuk mewujudkan hadirnya masa eskatologi di mana Allah
akan memuligkan bangsa Israel melalui kekudusan dan praktek-praktek keagamaan mereka.
5
Eskatology adalah ajaran tentang akhir zaman.
3
orang Yahudi, sedangkan baptisan Yohanes adalah ritus untuk menjadi anggota baru (initiation
rite), yang mirip dengan baptisan proselit yang disebutkan di atas.
Dan jangan dilupa bahwa baptisan Yohanes sangat berhubungan dengan persiapan kedatang
Kerajaan Allah yang diberitakan oleh Yohanes, bahwa persiapan itu dilakukan melalui pertobatan
yang ditandai dengan baptisan (Mk. 1:4). Orang-orang dari daerah Yudea dan Yerusalem datang
mengaku dosa mereka dan dibaptis di sungai Yordan. Di sini sangat jelas bahwa baptisan Yohanes
didahului oleh pertobatan. Karena itu baptisan Yohanes adalah tanda dari pertobatan itu. Istilah
tertobatan (metanoia) yang dimaksudkan di sini adalah idiom untuk kembali kepada Tuhan (Yes.
19:22; 55:7; Yeh. 33:11; Hos. 14:1; Yoel 2:13). Berbalik kepada Tuhan (Ingg. conversion)
menyatakan sifat tobat itu sendiri, dan makna sesungguhnya pertobatan (Ingg. repentance) itu
adalah berduka karena dosa. Istilah Yunani metanoia menunjuk pada perubahan pola pikir, yang
dalam konsep Ibrani mencakup berbaliknya seseorang secara total kepada Allah. Hal ini sama
dengan konsep dalam persekutuan Qumran yang menekankan kesucian seremonial dan pertobatan
hati (CD 6:5; 8:16). Konsep ini harus dipahami dalam konteks penantian kedatangan Kerajaan
Allah. Orang-orang Yahudi pada zaman itu percaya bahwa Allah akan mendirikan kerajaan-Nya di
Palestina di mana orang-orang Yahudi akan menikmati kehidupan eskatologis atau keselamatan
mesianis. Syarat kehadiran kerajaan Allah itu adalah pertobatan yang ditandai dengan baptisan.
Dalam hal ini baptisan Yohanes sangat berkaitan erat dengan pemahaman eskatologis umat Yahudi.

6. Baptisan Yesus
Hal yang penting untuk diketahui adalah bagaimana Yesus dibaptis dan apa maknanya. Apakah
baptisan Yesus sama dengan orang-orang yang datang kepada Yohanes?

6.1. Baptisan Yesus oleh Yohanes


Laporan mengenai peristiwa Yohanes membaptis Yesus lebih rinci dilaporkan oleh Matius 3:13-17
(juga lihat Lk. 3:21-22; band. 1:29-34). Peristiwa ini sangat menarik, karena pertanyaan ini berikut
ini akan muncul: Apakah Yesus perlu bertobat? Bukankah seperti yang diuraikan di atas bahwa
orang yang dibaptis oleh Yohanes adalah orang-orang yang perlu bertobat? Matius melaporkan
bahwa Yohanes justru berusaha untuk mencegah Yesus supaya tidak dibaptis olehnya.
Kelihatannya Yohanes menyadari bahwa ia tidak layak membaptis Yesus, dan Yesuslah yang
seharusnya membaptis Yohanes. Tetapi Yesus tetap meminta untuk dibaptis untuk menggenapi
kehendak Allah (ay. 15). Dengan demikian alasan Yesus untuk dibaptis bukanlah karena pertobatan
seperti orang-orang yang datang kepada Yohanes.
Secara teologis baptisan Yesus mau memperlihatkan solidaritas Yesus sebagai Mesias hamba
terhadap umat-Nya. Sebagai wakil mereka Yesus menggenapi seluruh kebenaran (dikaiosu,nh
dikaiosune) Allah (ay. 15). Dikaiosune dalam Matius menunjuk pada hidup benar (rigtheousness)
dan ketaatan kepada hukum-hukum Allah.

Pada saat pembaptisan Yesus, setelah Yesus keluar dari air langit terbuka dan Roh Allah seperti
burung merpati turun ke atas Yesus (ay. 16), yang diikuti oleh suara yang mengatakan: Inilah Anak-
Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan (ay. 17). Dengan peristiwa ini, kelihatannya
baptisan Yesus adalah inagurasi atau petahbisan Yesus untuk masuk ke dalam pelayanan, yang
dimulai dengan pencobaan di padang gurun. Dengan kata lain, baptisan Yesus sangat berkaitan erat
dengan misi Allah yang diemban oleh Yesus.

6.2. Baptisan oleh Yesus


Menarik untuk disimak bahwa Yohanes mengatakan bahwa ia membaptis dengan air sebagai tanda
pertobatan, tetapi di antara orang banyak berdiri Seseorang (Yesus) yang akan membaptis dengan
Roh Kudus dan api (Mat. 3:11). Dengan kata lain Yesus tidak membaptis dengan air. Baptisan Roh
Kudus dalam konteks ini menunjuk pada penggenapan pencurahan Roh Allah kepada setiap orang
4
percaya untuk mentransformasi setiap hati manusia untuk menjadi taat kepada Allah seperti yang
dinubuatkan oleh Yesaya 44:3-5; Yehezkiel 36:27; 37:14. Baptisan api menunjuk pada
penghakiman eskatologis yang akan menimpa orang-orang yang tidak taat kepada Allah.

7. Cara Membaptis: Selam atau Percik


Ada yang beranggapan bahwa cara membaptis yang benar hanya satu, yaitu, dengan cara selam,
karena katanya Yesus diselam. Benarkah? Kalimat keluar dari air dan sungai Yordan membuat
orang menafsirkan bahwa tindakan itu menandakan bahwa Yesus diselam. Benarkah? Perhatikan
kalimat berikut ini baik-baik: Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga
langit terbuka . . . (Mat. 3:16). Menyimak kalimat ini dengan saksama, kita akan dapati dua
kemungkinan. Pertama, Yesus mungkin diselam. Akan tetapi hal ini tidak jelas karena baptisan itu
tidak selamanya dengan menyelam. Kedua, kalimat di atas menunjukkan bahwa baptisan dapat juga
dilakukan dengan penyiraman setelah itu Yesus keluar dari air dan kemudian berdiri di tepi sungai.
Maksudnya di sini adalah kita dapat berasumsi bahwa Yesus diselam, tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa Yesus juga hanya menerima siraman air. Pendapat ini didukung oleh beberapa
kenyataan pembaptisan yang tidak mungkin dilakukan dengan menyelam:
1) Kisah Para Rasul 2:41 menyebutkan bahwa setelah mendengar kotbah Petrus pada hari
Pentakosta tiga ribu orang memberi diri dibaptis. Khotbah itu terjadi di suatu rumah (Kis 2:1-2).
Kalau tiga ribu orang dibaptis pada hari itu juga mungkinkah mereka dicelupkan dalam bak-bak di
rumah? Untuk pergi ke sungai Yordan jaraknya terlalu jauh. Menurut penelitian saya di Yerusalem,
orang-orang banyak itu datang ke Bait Allah di mana ada banyak air untuk membaptis. Tetapi
mereka tidak dibenamkan karena tidak memungkinkan, dan karena itu mereka disiram dengan
memakai air untuk ritus pembasuhan di Bait Allah.

2) Kisah Para Rasul 8:34-38 mengisahkan bagaimana seorang sida-sida dari Etiopia setelah menjadi
percaya kepada Yesus dia meminta untuk dibaptis dalam perjalanan ketika melihat ada air.
Pertanyaan di sini adalah: air yang seperti apakah yang dimaksudkan di sini? Menarik untuk
diperhatikan bahwa kata untuk air yang dipakai di sini adalah u[dwr (hudor - air) dan bukan potamo,j
(potamos - sungai). Dengan melihat penggunaan istilah hudor dapat dikatakan bahwa kemungkinan
besar tempat itu adalah sejenis sumur atau mata air yang ke dalamannya tidak memungkinkan untuk
menyelam. Sehingga kemungkinan besar Filipus menyiram air ke atas sida-sida itu.

3) Injil Yohanes 3:23 mengatakan bahwa Yohanes membaptis di Ainon dekat Salim, karena di sana
ada banyak air. Sepertinya tempat ini adalah mata air di mana orang-orang sekitar datang menimba
air dan mencuci. Dengan demikian baptisan tidak dapat dilakukan dengan penyelaman tetapi
dengan penyiraman.

Contoh-contoh ini tidak dimaksudkan untuk menyanggah baptisan selam karena tidak dapat
dipungkiri bahwa membenamkan diri juga adalah salah satu cara membaptis. Maksudnya,
membaptis tidak selamanya dengan cara selam, tergantung situasi dan kondisi. Dengan kata lain,
baptisan pada mulanya memang menggunakan air banyak tetapi tidak dipaksakan. Dalam Didache,
sebuah buku pedoman pelayanan bagi gereja mula-mula (100-110 M), misalnya, menyebutkan
bahwa untuk membaptis hendaklah dipakai air yang mengalir; jika tidak ada pakailah air yang
tergenang. Jika tidak cukup untuk membenamkan, maka air dituangkan ke atas kepala calon baptis
tiga kali dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Jelas di sini tidak ada pemaksaan atau keharusan
untuk menyelamkan calon baptis. Karena yang paling penting bukan air tetapi arti dan makna dari
baptisan itu, yang akan diuraikan lebih lanjut dibawah (lihat teologi baptisan)
Harus dipahami bahwa konsep mengenai baptisan tidak selamanya berhubungan dengan air. Ada
beberapa contoh dalam PB di mana baptisan dihubungkan dengan hal yang lain:

1) Markus 10:38-40 menyebutkan:


5
Tetapi kata Yesus kepada mereka: Kamu tidak tahu apa yang kamu minta. Dapatkah kamu
meminum cawan yang harus Kuminum dan dibaptis dengan baptisan yang harus Kuterima?"
Jawab mereka: "Kami dapat." Yesus berkata kepada mereka: "Memang, kamu akan meminum
cawan yang harus Kuminum dan akan dibaptis dengan baptisan yang harus Kuterima. Tetapi hal
duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan
diberikan kepada orang-orang bagi siapa itu telah disediakan.

Baptisan dalam konteks ini diawali dengan permintaan Yakobus dan Yohanes untuk duduk bersama
Yesus dalam perintahan-Nya kelak, dan permintaan ini adalah permintaan yang keliru. Merespon
kesalahpahaman ini Yesus menyampaikan hal di atas. Bahwa Dia tidak akan menjadi raja mesianis
seperti yang mereka bayangkan. Yesus akan menderita. Dengan kata lain dalam konteks ini
baptisan tidak ada hubungannya dengan air, tetapi penderitaan yang akan dialami Yesus.

2) Dalam 1 Korintus 10:2 Paulus berbicara mengenai baptisan dalam awan dan dalam laut. Ayat ini
disampaikan dalam konteks Paulus memberikan nasihat kepada Jemaat di Korintus untuk tidak
meniru orang Israel pada masa lampau yang walaupun telah melihat pemerliharaan Tuhan tetap saja
menyembah berhala. Paulus mengatakan bahwa semua orang Israel yang keluar dari tanah Mesir
adalah pengikut Musa yang dibaptis dalam awan dan laut, yang mengingat kita tentang tiang awan
yang menemani atau menjaga orang Israel sepanjang perjalanan di padang gurun dan
penyeberangan laut Teberau secara ajaib itu. Paulus hendak menyampaikan bahwa orang-orang
Israel telah mengalami kemuliaan YHWH tetapi hati mereka tetap degil. Jadi, baptisan yang
dimaksud dalam konteks ini adalah pengalaman rohani. Dalam kedua contoh di atas baptis
berhubungan dengan pengalaman spiritual. Yesus mengalami penderitaan dan orang Israel
kemuliaan Allah.
Dengan demikian dengan melihat baptisan itu sendiri, tidak ada alasan untuk memaksakan salah
satu bentuk baptisan selam atau percik. Yang paling penting di sini bukanlah apa yang kelihatan
tetapi yang tidak kelihatan. Apa yang disimbolkan oleh batisan itu yang penting dan bukan bentuk
luarnya. Dengan kata lain cara dan wadah bukanlah hal yang prinsipil, tetapi pelaksanaan dan arti
dan makna baptisan itu. Pokok akan dilanjutkan di bawah.

8. Pentingnya Baptisan
Baptisan sangat penting dalam kehidupan orang percaya, dan karena itu ia menjadi salah satu
sakramen dalam Gereka Protestan. Pentingnya baptisan ini lebih gamblang disampaikan dalam
beberapa ayat dalam PB:
1) Matius 28:19: Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
(bapti,zontej baca: baptizontes) mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Ayat ini
merupakan perintah Tuhan Yesus yang harus dilakukan. Akan tetapi perintah ini harus dipahami
dalam konteks pemberitaan Injil. Baptisan diberikan kepada mereka yang telah percaya atau telah
menjadi murid Tuhan Yesus. Jadi, percaya dulu baru dibaptis.
2) Markus 16:16 menyampaikan hal yang sama, Siapa yang percaya dan dibaptis (baptisqei.j baca:
baptistheis) akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. Seperti dalam
konteks Matius di atas, baptisan didahului oleh hal percaya. Baptisan diterima setelah seseorang
menjadi percaya.
Kedua ayat Alkitab ini hendak menekankan bahwa baptisan adalah suatu keharusan bagi setiap
orang yang mengaku percaya kepada Yesus Kristus. Dengan kata lain baptisan adalah bukti dan
pengukuhan hal percaya. Dengan demikian orang yang percaya tetapi menolak untuk dibaptis, itu
berarti bahwa orang tersebut belum percaya. Kita tidak dapat mengatakan bahwa sudah cukup kalau
percaya dalam hati saja tetapi tidak dibaptis. Dalam hal ini baptisan adalah pengakuan formal dan
resmi di depan umum bahwa seseorang telah menjadi pengikut Kristus, dan dia diterima dalam
persekutuan jemaat secara formal dan resmi juga. Seseorang yang sudah mengikuti kebaktian dan
mengatakan percaya tetapi belum dibaptis dia tidak dapat dianggap sebagai anggota suatu gereja
6
secara resmi. Paling tinggi dia dianggap simpatisan saja. Di sini jelas bahwa yang paling
menentukan dalam baptisan adalah hal percaya. Kalau ada yang mengatakan bahwa dia telah
dibaptis walaupun tidak begitu kepada Tuhan, maka sia-sialah baptisan itu. Karena itu baptisan
tidak dapat dipakai untuk hanya dipakai sebagai syarat untuk menjadi anggota persekutuan kalau
tidak dilandasi oleh iman kepada Yesus Kristus. Karena itu pelaksanaan harus didahului oleh proses
katekisasi untuk meyakinkan bahwa seseorang itu telah percaya sebelum dia menerima baptisan.

9. Uraian Teologis-Kritis Tentang Baptisan


Seperti yang sudah disampaikan di atas bahwa yang paling prinsip dalam baptisan baik selam
ataupun percik bukanlah bentuk luarnya tetapi arti dan makna teologis yang dikandung oleh praktek
baptisan itu. Baptisan tidak dilaksanakan hanya karena tradisi atau kebiasaan, tetapi karena alasan
teologis atau iman.
Dari percakapan di atas ada dua jenis baptisan yang sering diperdebatkan, yaitu baptisan dengan
cara selam dan cara percik. Untuk itu kita perlu melihat teologi yang terkandung dalam masing-
masing bentuk baptisan untuk melihat prinsip-prinsip dan dasar-dasar teologis yang mempersatukan
keduanya, bahwa baik selam maupun percik sama keabsahannya.

Baptisan Selam

Baptisan selam menekankan masuknya seluruh tubuh ke dalam air sebagai tanda penyucian atau
penghapusan dosa atau sebagai tanda pertobatan. Hal ini jelas merujuk pada baptisan Yohanes.
Menurut paham ini Yesus dibaptis dengan cara selam oleh Yohanes Pembaptis. Mengenai hal ini
sudah dibahas di atas. Para penganut baptis selam mengatakan bahwa cara selamlah yang diajarkan
oleh Tuhan Yesus. Dengan menyelam dosa-dosa atau hidup lama dibasuh dan keluar dari air
dengan hidup baru. Pemahaman ini lebih jelas diungkapkan dalam Surat Barnabas (bukan Injil
Barnabas ya . .), salah satu tulisan Kristen pada abad ke-2 (sekitar tahun 120-130) yang berbunyi:
Kami turun ke dalam air penuh dengan dosa dan kecemaran, dan kami keluar dengan membawa
buah dalam hati kami, ketakutan dan pengharapan dalam Yesus di dalam Roh.
Sehubungan dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1) Simbol yang terkandung dalam masuk dan keluar dari air. Memang tidak salah kalau baptisan itu
menandakan perubahan dari hidup lama kepada hidup baru. Tetapi perlu diperhatikan bahwa
tindakan itu hanyalah simbol. Pertanyaan penting dalam hal ini adalah apakah yang disimbolkan itu
benar-benar sama dengan kenyataan. Apakah simbol itu lebih penting dari pada kehidupan nyata
yang disimbolkan? Apakah yang kelihatan itu lebih penting dari yang tidak kelihatan? Penekanan
yang berlebihan pada simbol akan menghilangkan bentuk nyata dari simbol itu. Seharusnya bentuk
nyata dari pertobatan itu yang lebih penting dari pada simbol itu sendiri. Dalam kenyataan baptisan
selam dilakukan dengan harapan bahwa orang yang dibaptis itu akan mengalami hidup baru.
Siapakah yang benar-benar mengetahui bahwa seseorang telah bertobat dengan sungguh-sungguh?
Tidak ada, hanya Tuhan sendiri.

Selanjutnya, hal lain yang sering ditekankan dalam kaitannya dengan baptisan selam adalah bahwa
baptisan itu menyelamatkan tanpa didukung oleh ayat-ayat alkitab atau uraian teologis yang benar.
1 Petrus 3:20-21 dijadikan rujukan bahwa baptisan itu menyelamatkan. Dalam bagian PB ini
penulis mengiaskan air bah yang menyelamatkan delapan anggota keluarga Nuh. Ayat 21
menyebutkan, Juga kamu sekarang diselamatkan oleh kiasannya, yaitu baptisan maksudnya bukan
untuk membersihkan kenajisan jasmani, melainkan untuk memohon hati nurani yang baik kepada
Allah oleh kebangkitan Yesus Kristus. Apakah baptisan yang dimaksudkan di sini dengan cara
selam? Pertama, kalau kita melihat konteks, bahtera Nuh yang berisi delapan orang itu
diselamatkan dari air bah itu dengan naik bahtera, karena dengan demikian mereka tidak
ditenggelamkan di dalam air bah itu. Nuh dan keluarganya tidak diselamkan dalam air bah itu. Perlu
7
dipahami bahwa air bah itu dipakai oleh Allah untuk memusnahkan segala sesuatu yang ada di
muka bumi karena dosa manusia yang telah melampaui batas. Kedua, peristiwa selamatnya
keluarga Nuh dalam bahtera ini menjadi kiasan (avnti,tupoj baca: antitupos) baptisan. Apa
maksudnya? Dengan melihat konteks dari text di atas, keselamatan yang dimaksudkan berhubungan
memohon hati nurani yang baik kepada Allah oleh kebangkitan Yesus Kristus. Orang-orang sudah
berada dalam persekutuan dengan Kristus. Sehingga dapat dikatakan bahwa Petrus menyebutkan
baptisan di sini dalam hubungannya dengan iman kepada Yesus Kristus. Mereka yang dibaptis di
sini adalah mereka yang mendapat bagian dalam Injil keselamatan Yesus Kristus (ay. 19), sehingga
baptis dalam konteks ini adalah masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus melalui baptisan,
seperti masuk dalam bahtera Nuh.

2) Baptisan Yesus oleh Yohanes, seperti sudah disinggung di atas, tidak sama dengan baptisan
Yohanes terhadap orang banyak karena alasannya berbeda. Kedatangan Yesus untuk dibaptis
bukanlah untuk pertobatan tetapi untuk menggenapi semua kebenaran Allah. Baptisan Yesus oleh
Yohanes sangat berkaitan erat dengan inagurasi pelayanan Yesus. Dengan demikian masuk dan
keluarnya Yesus dari dalam air tidak ada sangkut pautnya dengan pertobatan karena Yesus tidak
berdosa, tetapi karena solidaritas-Nya untuk umat yang Dia datang selamatkan. Yesus mewakili
seluruh umat manusia memenuhi segala kebenaran Allah.

3) Baptisan Yohanes terjadi sebelum kematian dan kebangkitan Yesus. Dengan demikian baptisan
tobat menurut Yohanes hanya berlaku sebelum kematian dan kebangkitan Yesus. Yohanes begitu
jelas menyampaikan bahwa dia membaptis dengan air, tetapi Yesus tidak dengan air lagi, tetapi
dengan Roh dan api seperti sudah dijelaskan di atas. Dengan kata lain, zaman sebelum dan sesudah
Kristus tidak sama. Dengan demikian makna baptisan pun berubah. Hal ini dapat dibandingkan,
misalnya, dengan Perjamuan Kudus yang berakar pada Perjamuan Paskah Yahudi, maknanya
berubah menurut waktu dan konteks, sebelum dan susudah Kristus. Zaman Yohanes keselamatan
belum melibatkan Kristus, tetapi setelah Kristus keselamatan tergantung pada Kristus. Demikian
halnya dengan arti dan makna baptisan berubah karena Kristus.

Baptisan Percik/Anak-Anak
Baptisan selam atau dewasa menurut para penganutnya dilakukan karena seseorang hanya dapat
mengerti apa makna pertobatan dengan baptisan itu kalau sudah dewasa. Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa pada mulanya orang-orang yang dibaptis adalah orang dewasa. Tetapi hal ini
harus dipahami menurut konteks pada waktu itu ketika orang baru pertama kali mendengar Injil,
dan yang mendengar Injil itu adalah orang dewasa. Tetapi hal ini tidak seharusnya berarti bahwa
semuanya diselam. Mungkin saja pada awalnya baptisan pada umumnya dilakukan secara selam,
karena hal itu mengikuti praktek pembasuhan atau baptis proselit Yahudi. Tetapi jangan dilupa
bahwa ada juga insident, walaupun tidak disebutkan secara gamblang, di mana anak-anak turut
dalam baptisan itu. Dalam Kisah Para Rasul 16:32 dikatakan bahwa kepala penjara, setelah
pertobatannya, dan seisi rumahnya menerima baptisan dari Paulus. Penganut selam berargumen
bahwa semua yang dibaptis itu adalah orang sudah dewasa dan karena itu mereka diselam. Pendapat
ini adalah suatu asumsi dan tidak didukung oleh bukti-bukti jelas. Lagi pula tidak jelas dikatakan
bahwa mereka diselam. Seandainya ada anak kecil atau bayi dalam keluarga itu, apakah mereka
tidak turut dibaptis? Kalau dikatakan tidak maka hal ini bertentangan dengan prinsip alkitabiah
yang mengutamakan keselamatan kolektif. Budaya barat bersifat individualistis, itupun nanti jaman
moderen. Dalam masyarakat tradisional kolektifitas sangatlah penting. Apalagi kalau kepala
keluarga yang menentukan. Maksudnya, kalau hanya perempuan yang percaya lalu dibaptis kita
dapat berasumsi bahwa hal itu bersifat individual. Tetapi dalam budaya patriakhal, kalau kepala
keluarga memutuskan sesuatu maka semua anggota keluarga akan ikut. Demikian pula halnya
dengan baptisan. Kalau dikatakan bahwa kepala penjara bersama seluruh keluarganya dibaptis

8
berarti termasuk anak-anak. Hal yang serupa dapat juga terjadi pada keluarga Kornelius yang
dibaptis oleh Petrus (Kis 10:47-48).

Baptisan anak muncul ketika keluarga-keluarga yang menjadi percaya tadi ingin memasukan anak-
anak mereka ke dalam persekutuan anugerah. Bapa gereja Origenes yang hidup pada abad ketiga
menulis tentang pentingnya baptisan anak-anak pada tahun 240. Kemudian bapa Gereja Cyprianus
dari Afrika Utara menyebutkan bahwa pada tahun 251 pada suatu konsili para uskup yang
berjumlah enam puluh enam mengatakan bahwa baptisan tidak boleh ditunda-tunda jangan sampai
oleh perbuatan itu kita membuka jiwa si anak terhadap resiko kebinasaan kekal. Pentingnya
baptisan anak-anak terus dipegang dan dipraktekan bahkan sampai pada zaman reformasi. Bapa-
bapa reformasi seperti Zwingli dan Calvin terus mendukung baptisan anak-anak.
Memang benar bahwa anak kecil belum mengerti apa-apa pada saat dibaptis tetapi orang tua
mereka telah mengerti. Bukankah anak-anak juga mendapat bagian dalam anugerah Allah melalui
Yesus Kristus? Sehingga baptisan anak-anak diberikan sebagai tanda bahwa anak-anak itu adalah
bagian dari perjanjian antara Allah dan orang percaya. Baptisan adalah tanda lahiriah dari
kasih karunia yang diterima seorang anak jika ia percaya ketika ia sudah cukup umur.

Baptisan tidak harus lagi dipahami sebagai tanda pertobatan seperti yang dilakukan oleh Yohanes
pembaptis karena: 1) Konteks Yohanes pembaptis berbeda dengan konteks sesudah Yesus. Baptisan
tobat Yohanes adalah untuk menyambut datangnya Kerajaan Allah yang sudah lama dinanti-
nantikan oleh orang Yahudi. 2) Sebagai konsekuensi logis, baptisan setelah kematian dan
kebangkitan Yesus dilakukan dalam anugerah Tuhan Yesus yang belum ada pada zaman Yohanes.
Baptisan anak dilakukan sebagai response iman atas anugerah keselamatan dalam Yesus Kristus.

Itulah sebabnya untuk memahami baptisan masa kini kita harus memahami makna teologis baptisan
itu dengan baik dan benar. Untuk memahami makna baptisan yang sesungguhnya kita perlu
kembali melihat etimology dan sintaks kata baptisan itu. Suatu kata akan mendapat makna
sesungguhnya kalau kata itu dipahami dalam konteks keseluruhan kalimat. Misalnya kata “makan”
akan berubah arti kalau diikuti oleh obyek lain. Arti dan makna yang terkandung dalam kalimat
“makan nasi” tidak sama dengan yang terdapat dalam kalimat “makan hati,” “makan waktu”,
“makan uang”, dll. Kalimat pertama mengandung arti harafiah, sedangkan kalimat berikutnya
mengandung arti kiasan atau arti lain. Dengan demikian dengan istilah baptisan, maknanya harus
dipahami dalam konteks kalimat. Sangat keliru kalau kita mencabut suatu kata keluar dari
konteksnya dan menafsirnya tanpa konteks. Ada beberapa contoh kalimat dimana kata baptisan
dipakai. Misalnya bapti,zw evn u[dati baptizw en hudati (LAI: saya membaptis dengan air - Mat.
3:11; Yoh. 1:26). Terjemahan harafiahnya seperti ini saya membaptis di dalam air . Itulah sebabnya
banyak yang memahami kalimat ini menunjuk pada baptisan selam. Inti pembicaraan di sini bukan
masalah diselam atau tidak, tetapi dengan apa seseorang dibaptis. Hal ini jelas dalam keseluruhan
konteks kalimat “Aku membaptis kamu dengan air . . . tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku
lebih berkuasa dari padaku . . . Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api
(auvto.j u`ma/j bapti,sei evn pneu,mati a`gi,w| kai. puri,). Dalam kalimat sebelumnya membaptis di
dalam/dengan air dalam kalimat berikutnya menggunakan di dalam/dengan Roh Kudus dan api.
Perhatikan istilah membaptis sama tetapi dengan apa seseorang dibaptis berbeda, yang pertama
dengan air, dan yang berikutnya dengan Roh Kudus dan api. Hal serupa juga terlihat dalam kalimat
evbapti,sqhsan evn th/| nefe,lh| kai. evn th/| qala,ssh| (ebaptisthesan en tei nefelei kai en tei thalassei - 1
Kor. 10:12), dibaptis di dalam awan dan di dalam laut.

Pentingnya konsep tentang dibaptis “di dalam” atau “dengan” sesuatu juga dikemukakan oleh
Paulus dalam surat-suratnya ke Roma. Misalnya dalam Roma 6:3 dia menyebutkan evbapti,sqhmen
eivj Cristo.n VIhsou/n (ebaptisthemen eis Kriston Iesun, “kita telah dibaptis dalam Kristus Yesus”).

9
Itulah sebabnya perintah Tuhan Yesus untuk membaptis dalam Matius 28:19 sangat penting untuk
dihayati dan direnungkan, karena berbicara mengenai baptisan dalam Nama Bapa, Anak dan Roh
Kudus (bapti,zontej auvtou.j eivj to. o;noma tou/ patro.j kai. tou/ ui`ou/ kai. tou/ a`gi,ou pneu, matoj -
baptizontes autus eis to onoma tu patros kai tu huiu kai tu hagiu pneumatos). Sangat jelas ayat ini
tidak berbicara mengenai baptisan di dalam air tetapi “di dalam nama”. Artinya kalau
sebelumnya menggunakan “air”, sekarang Yesus mengadakan baptisan baru dengan menggunakan
“nama” dan bukan air lagi. Pentingnya seseorang dibaptis dalam nama juga disebut dalam 1
Korintus 1:13-17. Jadi yang penting di sini adalah dengan atau di dalam apa atau siapa seseorang
dibaptis.

Hal berada di dalam “apa” dan “siapa” inilah yang perlu mendapat perhatian serius dalam
memahami baptisan, karena hal ini berbicara mengenai kepemilikan. Kalau seseorang dibaptis
dalam nama Kristus berarti dia adalah milik Kristus dan mendapat bagian dalam Kristus. Sehingga
baptisan di dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus menunjuk pada persekutuan dengan atau
menjadi milik Allah Tritunggal. Status menjadi milik Allah Tritunggal inilah yang menjadi inti
perintah Tuhan Yesus, karena berada dalam kepemilikan Allah berarti berada dalam keselamatan.
Seseorang yang percaya dan dibaptis berada dalam keselamatan Allah melalui karya Yesus Kristus.
Setiap orang yang dibaptis dalam nama Tritunggal juga dibaptis dalam kematian dan kebangkitan
Yesus. Berarti seseorang yang percaya kepada Yesus dan dibuktikan melalui baptisan sudah
menerima keselamatan dari Allah. Dengan demikian cara membaptis bukanlah hal yang utama
tetapi nama Allah Tritunggal itu. Kita semua yang percaya kepada Yesus Kristus, baik orang tua
maupun anak-anak yang baru lahir, telah dimasukkan (dibaptiskan) ke dalam persekutuan dengan
Allah Tritunggal.

10. Kesimpulan
Kami menyadari bahwa uraian di atas masih perlu pengembangan atau telaah lebih lebih lanjut.
Tetapi untuk saat ini kami merasa uraian di atas dapat membantu para hamba Tuhan dan jemaat
khususnya di GKST untuk memahami lebih dalam arti dan makna baptisan.

Dari uraian di atas kita dapati bahwa untuk memahami arti dan makna baptisan bagi kehidupan
orang percaya pertama kita harus memahami latar belakang historis dan teologis dari baptisan itu
sendiri. Dari uraian di atas kita melihat bahwa cara membaptis tidak selamanya dengan cara selam,
tetapi tergantung pada konteks historis-teologis pada saat itu. Dari penelitian etimologis dan
sintaksis juga terlihat bahwa makna dari kata baptisan itu ditentukan oleh konteks kalimat, dan juga
kita dapati bahwa baptisan itu tidak selamanya berhubungan dengan air. Air memang penting
sebagai simbol kehidupan, tetapi kita harus pahami bahwa makna teologis jauh lebih penting dari
pada simbol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baptisan baik cara selam maupun percik
memiliki keabsahan yang sama. Dengan demikian kita harus menerima kedua cara membaptis yang
berlaku sekarang ini. Baptisan tidak menyelamatkan. Keselamatan hanya datang melalui iman
kepada Yesus Kristus yang dibuktikan melalui baptisan baik secara selam maupun percik. Dengan
kata lain percik atau selam kedua-duanya benar dan sah. Oleh karena itu cara membaptis tidak perlu
dipermasalahkan karena yang paling penting adalah pemahaman makna baptisan itu. Dan karena itu
masih kita hidup dalam damai sebagai umat Tuhan Yesus Kristus apapun latar belakang dan
denominasi kita masing-masing. Kita semua adalah anak-anak Allah yang telah diselamatkan
melalui pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib. Marilah kita hidup saling menghargai dan saling
menerima. Semoga bermanfaat. Terpujilah Yesus.

Selamat menjalani hidup dalam iman!

Pdt. Dr. Tertius Y. Lantigimo


10

Anda mungkin juga menyukai