Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

HUKUM ITSBAT NIKAH

DOSEN PENGAMPU :

Zulfa Fahmy S.pd., M.Pd

Disusun Oleh :

Zidan Ardyansyah 8111418302 /2018

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

SEMARANG

2018

i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................. 2
A. Itsbat Nikah dalam Perkawinan .................................................................................. 2
B. Kewenangan Pengadilan Agama di Bidang Perkawinan.......................................... 4
C. Proses Pengajuan Permohonan Itsbat Nikah ............................................................. 9
D. Urgensi Itsbat Nikah dan Pencatatan Nikah ............................................................ 10
BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 13
KESIMPULAN...................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 14

ii
1

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat
perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.[1]
Perkawinan telah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Pada
dasarnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sumber hukum
materiil dalam lingkungan peradilan. Namun saat ini dalam perkara peradilan
tidak sepenuhnya merujuk pada UU tersebut. Sebagai contoh dalam masalah
Itsbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d)
dijelaskan bahwa Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas ketika
adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.[2]
Artinya jika mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal
7 (ayat 3d) & UU No. 1 Tahun 1974 ketika seseorang menikah sebelum adanya
UU Perkawinan, maka diperkenankan untuk melakukan Itsbath nikah, karena
pada saat itu tidak ada aturan tentang pencatatan Nikah. Akan tetapi fakta yang
terjadi saat ini banyak sekali perkara Itsbath nikah yang masuk dalam lingkungan
Peradilan Agama walaupun pernikahan Sirri tersebut terjadi setelah adanya UU
No. 1 Tahun 1974.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan itsbat Nikah?
2. Bagaimana proses pengajuan permohonan itsbat nikah?
3. Bagaimana urgensi itsbat nikah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini yaitu untuk mendeskripsikan mengenai proses
pengajuan itsbat nikah di Pengadilan Agama serta urgrnnya itsbat nikah bagi
masyarakat.
2

BAB II PEMBAHASAN
A. Itsbat Nikah dalam Perkawinan
1. Pengertian Itsbat Nikah
Itsbat berasal dari bahasa Arab atsbata-yutsbitu-itsbatan yang artinya
adalah penguatan. Sedang dalam kamus ilmiah populer kata itsbat diartikan
sebagai memutuskan atau menetapkan.[3] Sedang Nikah dalam kamus hukum
diartikan sebagai akad yang memberikan faedah untuk melakukan mut’ah secara
sengaja, kehalalan seorang laki laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita
selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara
syar’i.[4]
2. Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan
Pada dasarnya memang tidak kita temui dalam ayat-ayat al-Qur’an
yangmembahas secara khusus tentang perintah pencatatan nikah, dan hal ini tidak
pernahdicontohkan oleh baginda Rasulullah Muhammad SAW. Pencatatan nikah
yang dilakukan saat ini sebenarnya sebagai upaya pemerintah untuk
menertibkan pelaksanaan perkawinan. Dengan adanya pencatatan nikah maka
pemerintah akan lebih mudah mensensus penduduk. Terutama terhadap jumlah
penduduk yang sudah menikah.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merupakan
Undang-undang yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan segala
permasalahan yang terkait dengan perkawinan atau nikah, talak, cerai dan rujuk
(NTCR), yang ditandatangani pengesahannya pada tanggal 2 Januari 1974 oleh
Presiden Soeharto, agar Undang-undang perkawinan dapat dilaksanakan dengan
seksama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun
1975. Undang-undang ini merupakan hasil Usaha untuk menciptakan hukum
nasional dan merupakan hasil unifikasi hukum yang menghormati adanya variasi.
Itsbat Nikah adalah sebuah proses Pencatatan Nikah terhadap pernikahan
Sirriyang telah dilakukan, untuk mendapatkan akta nikah sebagai bukti
keabsahan pernikahan yang telah dilakukan. Seperti yang telah dijelaskan dalam
UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) bahwa Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam, serta dijelaskan pula dalam UU No. 1 Tahun
1974 pasal 2 ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3

Pencatatan Perkawinan dalam pelaksanaanya diatur dengan PP No. 9


Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975 bab II pasal
2 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, pencatatan Perkawinan dari mereka yang
melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat,
sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang No. 3 Tahun 1954, tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor
Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah
merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan) perkawinan. Tanpa akta
perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada perkawinan.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Akta Nikah dan pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat bukti keberadaan
atau keabsahan perkawinan, karena itu, walaupun sebagai alat bukti tetapi bukan
sebagai alat bukti yang menentukan sahnya perkawinan, karena hukum
perkawinan agamalah yang menentukan keberadaan dan keabsahan
perkawinan[5] Kalau demikian, fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan
pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (bagi pasangan suami istri
yang beragama Islam) adalah untuk menjamin ketertiban hukum[6] (legal order).
Tidak ada yang meragukan pentingnya ketertiban hukum sebagai
instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, di samping sebagai salah satu
alat bukti adanya perkawinan. Karena itu, bagi pasangan suami istri yang telah
melangsungkan perkawinan menurut hukum agamanya8[7], tetapi belum dicatat,
cukup dilakukan pencatatan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan
Agama Kecamatan dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan itsbat
nikah ke Pengadilan Agama.
Dari uraian di atas, jelas bahwa perkawinan yang diitsbatkan oleh
Pengadilan Agama adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama
(syariat Islam), akan tetapi tidak tercatat atau dicatatkan. Dengan kata lain,
Pengadilan Agama hanya akan mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang
perkawinan yang telah dilangsungkan itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan
secara syariat Islam dan tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur di
4

dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi


Hukum Islam.
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dinyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pasal 4 Kompilasi Hukum
Islam, menyatakan : “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
Islam sesuai denngan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, jelas bahwa bagi orang Islam,
sahnya perkawinan yang dilakukan harus memenuhi ketentuan hukum
perkawinan dalam Islam, yaitu terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya serta tidak
melanggar larangan-larangan perkawinan.

B. Kewenangan Pengadilan Agama di Bidang Perkawinan


1. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Itsbat Nikah
Pengadilan Agama memang merupakan lembaga peradilan khusus yang
ditujukan bagi orang-orang Islam dengan lingkup kewenangan[8] (kompetensi)
yang khusus pula, baik mengenai perkara yang ditanganinya maupun para pencari
keadilannya (justiciabel).
Khusus kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan, dalam
penjelasan Pasal 49 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 terakhir dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dirinci menjadi
22 (dua puluh dua) jenis perkara. Dari 22 jenis perkara itu ada yang berupa
gugatan (kontentius) ada pula yang berupa permohonan (voluntair). Salah satu
perkara permohonan (voluntair) yang menjadi kewenangan pengadilan agama
adalah itsbat nikah .
Pada dasarnya kewenangan perkara itsbat nikah bagi pengadilan agama
dalamsejarahnya diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pernikahan
dibawah tangansebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.,
jo. Peraturan Pemerintah tentang Nomor 9 Tahun 1975; penjelasan pasal 49 ayat
(2) yang berbunyi: “Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan
5

pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan” , serta dalam Pasal 64 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi
: “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut
peraturan-peraturan lama, adalah sah”.
Namun kemudian kewenangan ini berkembang dan diperluas
dengan dipakainya ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat (2) dan
(3). Dalam ayat (2) disebutkan : ”Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agamanya”.
Pada ayat (3) disebutkan : Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama
terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan ; a. Adanya perkawinan dalam
rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya akta nikah; c. Adanya keraguan
tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; dan e. Perkawinan yang
dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-undang nomor 1 Tahun 1974.[9]
Dengan melihat uraian dari pasal 7 ayat (2) dan (3) KHI tersebut,
berarti bahwa KHI Telah memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh
Undang-undang, baik oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun
Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 14 Tahun 1970 beserta
penjelasannya menentukan bahwa adanya kewenangan suatu Peradilan untuk
menyelesaikan perkara yang tidak mengandung unsur sengketa (voluntair) adalah
dengan syarat apabila dikehendaki (adanya ketentuan/penunjukan) oleh Undang-
undang. Mengenai itsbat nikah ini ada PERMENAG Nomor 3 Tahun 1975 yang
dalam pasal 39 ayat (4) menentukan jika KUA tidak bisa
membuatkan duplikat akta nikah karena catatannya telah rusak atau hilang atau
karena sebab lain, maka untuk menetapkan adanya nikah, talak, cerai, maupun
rujuk, harus dibuktikan dengan keputusan (dalam arti penetapan) Pengadilan
Agama; akan tetapi hal ini berkaitan dengan pernikahan yang dilaksanakan
sebelum Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bukan terhadap perkawinan yang
terjadi sesudahnya.
6

Permohonan itsbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama oleh mereka


yang tidak dapat membuktikan perkawinannya dengan Akta Nikah yang
dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah[10] karena tidak tercatat.
Permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh Pemohon, oleh Pengadilan Agama
akan diproses sesuai ketentuan hukum acara. Dalam buku Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Agama 2008 yang diterbitkan oleh Mahkamah
Agung RI disebutkan “Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan
permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan
memenuhi syarat dan rukun nikah secara syariat Islam dan perkawinan tersebut
tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam Pasal 8 s/d Pasal 10
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 s/d Pasal 44 Kompilasi Hukum
Islam”.
Atas dasar pengesahan atau penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan
Agama itu, selanjutnya oleh pemohon akan digunakan atau dijadikan dasar untuk
mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan, dan atas dasar penetapan itu pula Pegawai Pencatat Nikah
akan mengeluarkan Buku Nikah atau Kutipan Akta Nikah.
Menurut penjelasan Pasal 49 Ayat (2) angka 22 Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 yang telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2003
dan terakhir di rumah dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama bahwa salah satu kewenangan atau kompetensi absolut
Pengadilan Agama di bidang perkawinan adalah pernyataan sahnya perkawinan
yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Dan Pasal 7 Ayat (3) huruf d
Kompilasi Hukum Islam menegaskan, itsbat nikah yang dapat diajukan ke
Pengadilan Agama terbatas pada adanya perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Berdasarkan penjelasan pasal undang-undang tersebut dan ketentuan Pasal
7 Ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI), dapat dipahami bahwa
permohonan itsbat nikah yang dapat dimohonkan ke Pengadilan Agama pada
dasarnya hanya terhadap perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga secara a
7

contrario (mafhum mukhalafah) perkawinan yang dilaksanakan pasca Undang-


Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengadilan agama tidak
berwenang untuk mengitsbatkannya.
Kenyataan di masyarakat masih banyak ditemukan perkawinan yang
dilakukan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang tidak
dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dengan berbagai
sebab dan alasan sehingga mereka tidak mempunyai Buku Nikah, yang kemudian
dimohonkan itsbat nikahke Pengadilan Agama.
Dari kenyataan tersebut, jelas bahwa pasangan suami istri yang tidak
mempunyai Buku Nikah karena perkawinannya tidak tercatat atau dicatatkan,
tidak dapat memperoleh hak-haknya untuk mendapatkan dokumen pribadi yang
dibutuhkan, termasuk anak-anak mereka tidak akan memperoleh Akta Kelahiran
dari Kantor Catatan Sipil. Kalaupun kemudian Kantor Catatan Sipil menerbitkan
Akta Kelahiran, akan tetapi nama ayahnya tidak dicantumkan. Solusi yang dapat
ditempuh oleh mereka adalah mengajukan permohoan itsbat nikah ke Pengadilan
Agama[11].
Penetapan itsbat nikah yang dikeluarkan oleh pengadilan agama itu,
kemudian digunakan atau akan dijadikan dasar untuk mencatatkan perkawinan
mereka pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama, dan selanjutnya
Kantor Urusan Agama akan menerbitkan Buku Nikah atau Kutipan Akta Nikah.
Kendala utama bagi Pengadilan Agama untuk dapat menjalankan
fungsinya secara optimal melakukan itsbat nikah terhadap perkawinan yang tidak
tercatat atau dicatatkan adalah tidak adanya payung hukum yang kuat.
2. Landasan Yuridis Pengadilan Agama terkait Itsbat Nikah
Ketentuan pasal undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi
Pengadilan Agama untuk melakukan itsbat nikah adalah penjelasan Pasal 49 Ayat
(2) angka 22 dan Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam.
Sedangkan kedua ketentuan tersebut membatasi perkawinan yang dapat
dimohonkan itsbat ke Pengadilan Agama hanya perkawinan yang dilangsungkan
sebelum berlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
8

Dengan pembatasan tersebut, maka Pengadilan Agama tidak mempunyai


payung hukum untuk menjalankan fungsinya secara optimal melakukan itsbat
nikah. Sedangkan animo masyarakat untuk mengajukan permohonan itsbat
nikah ke Pengadilan Agama terus meningkat seiring dengan adanya persyaratan
administrasi dari sekolah-sekolah yang mewajibkan setiap anak yang akan masuk
sekolah melampirkan foto kopi Akta Kelahiran, dan salah satu syarat adminsitrasi
yang harus dipenuhi untuk mendapatkan Akta Nikah adalah Buku Nikah orang
tua yang bersangkutan[12].
Namun oleh karena itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka
hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi tersebut,
kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan ketentuan Pasal 7
Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam[13], Apabila perkawinan yang
dimohonkan untuk diitsbatkan itu tidak ada halangan perkawinan sebagaimana
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
Pengadilan Agama akan mengabulkan permohonan itsbat nikah meskipun
perkawinan itu dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Padahal, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak
termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang disebutkan dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Oleh karena itu, penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan
Agama tersebut, tidak lebih hanya sebagai kebijakan untuk mengisi kekosongan
hukum yang mengatur tentang itsbat nikah terhadap perkawinan yang
dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Kebijakan tersebut diambil karena ternyata itsbat nikah oleh Pengadilan
Agama itu, karena pertimbangan mashlahah bagi umat Islam. Itsbat nikah sangat
bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang
berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang
berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap
masing-masing pasangan suami istri, termasuk perlindungan terhadap status anak
yang lahir dari perkawinan itu, dan perlindungan terhadap akibat hukum yang
akan muncul kemudian.
9

Dari kenyataan tersebut itu pula, Dirjen Badilag kemudian menjadikannya


sebagai salah satu justice for all, khususnya bagi masyarakat Muslim yang miskin
dan mereka yang termarjinalkan dalam bentuk sidang keliling di dalam maupun
di luar negeri.
C. Proses Pengajuan Permohonan Itsbat Nikah
Perkara pengesahan (itsbat) nikah adalah adanya perkawinan yang
dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) yang berwenang yang diajukan oleh suami istri atau salah satu dari suami
atau istri, anak, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan
tersebut yang diajukan kepada pengadilan tempat tinggal Pemohon dengan
menyebutkan alasan dan kepentingan yang jelas;
Tata cara proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah:
1. Jika permohonan itsbat nikah diajukan oleh suami istri, maka permohonan
bersifat voluntair, produknya berupa penetapan, apabila isi penetapan tersebut
menolak permohonan itsbat nikah, maka suami dan istri bersama-sama atau
suami, istri masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi;
2. Jika permohonan itsbat nikah diajukan oleh salah seorang suami atau istri, maka
permohonan bersifat kontensius dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak
mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan
dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi;
3. Jika itsbat nikah dalam angka 1 dan 2 tersebut di atas, diketahui suami masih
terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu
tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara, apabila istri terdahulu tidak
dimasukkan, maka permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima;
4. Jika permohonan itsbat nikah diajukan oleh anak, wali nikah, dan pihak yang
berkepentingan harus bersifat kontensius dengan mendudukkan suami dan istri
dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon;
5. Jika suami atau istri yang telah meninggal dunia, maka suami atau istri dapat
mengajukan itsbat nikah dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak
Termohon, produknya berupa putusan;
6. Jika suami atau istri tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka
permohonan itsbat nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan;
10

7. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak
dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut pada angka 1 dan 5, dapat
melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama setelah mengetahui ada
penetapan itsbat nikah;
8. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak
dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4 dapat
mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama selama perkara belum diputus;
9. Jika pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak
dalam perkara itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4, sedang permohonan
tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama.
D. Urgensi Itsbat Nikah dan Pencatatan Nikah
Menyadari bahwa Itsbat nikah sangat urgen dan sangat dibutuhkan oleh
pasangan suami istri yang tidak memiliki Buku Nikah untuk melindungi hak-hak
sipilnya dan untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap perkawinan
mereka serta untuk melindungi akibat hukum yang timbul kemudian, seperti status
anak dan harta bersama (gono-gini).
Pengadilan agama satu-satunya institusi yang diberikan kewenangan untuk
mengitsbatkan nikah, namun sayangnya, kewenangan Pengadilan Agama
tersebut, dibatasi oleh Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah
dirubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 terakhir dirubah dengan
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan penjelasannya,
hanya diberi kewenangan melakukan itsbat nikah terhadap perkawinan yang
dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dan, faktanya perkawinan yang dimohonkan itsbat pada umumnya
perkawinan yang dilaksanakan pasca Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perwakinna berlaku.
Untuk mengakomodir kepentingan umat Islam terhadap itsbat nikah, maka
ketentuan tersebut harus direvisi, atau dibuat Peraturan Pemerintah atau
Mahkamah Agung RI dan Kementerian Agama menerbitkan SKB (Surat
Keputusan Bersama) sebagai payung hukum bagi Pengadilan Agama untuk
11

melakukan itsbat nikah terhadap perkawinan umat Islam yang tidak tercatat atau
tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama.
Ketentuan pencatatan[14] perkawinan atau pernikahan yang diatur di
dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, merupakan hal yang sangat penting dan urgen karena dapat
memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi setiap pasangan
suami isteri, anak-anak yang lahir dari perkawina itu serta harta benda yang
diperoleh selama ikatan perkawinan itu berlangsung.
Penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama antara lain bertujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan yang
tidak tercatat/dicatatkan.
Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa Pengadilan Agama dengan itsbat
nikahmempunyai andil dan kontribusi yang sangat besar dan penting dalam upaya
memberikan rasa keadilan dan kepastinan serta perlindungan hukum bagi
masyarakat.
Ketentuan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam (Pasal 5 Ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam) dan untuk menjamin ketertiban hukum (legal order)
sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, di samping sebagai bukti
otentik adanya perkawinan.
Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi
pemerintah atau negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak
sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang
lahir dari perkawinan itu. Dengan terpenuhinya hak-hak sosial itu, akan
melahirkan tertib sosial sehingga akan tercipta keserasian dan keselarasan hidup
bermasyarakat.
Berkaitan dengan itu, pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
merupakan salah satu produk politik sosial sebagai deposit politik sosial modern.
Oleh karena itu, pasangan suami istri yang telah melakukan perkawinan menurut
hukum agama (Islam), tetapi tidak tercatat atau dicatatkan, cukup dilakukan
12

pencatatan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dengan terlebih
dahulu mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, tanpa harus
melakukan nikah ulang atau nikah baru (tajdid an-nikah) karena hal itu
bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Memang hukum seharusnya demikianlah bekerja, yaitu mengatur
pergaulan manusia secara damai dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat.
Soebekti sebagaimana dikutip oleh Esmi Warassih, berpendapat bahwa hukum itu
mengabdi kepada tujuan negara untuk mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan.
13

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Perkawinan telah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Pada


dasarnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sumber hukum
materiil dalam lingkungan peradilan. Namun saat ini dalam perkara peradilan
tidak sepenuhnya merujuk pada UU tersebut. Sebagai contoh dalam masalah
Itsbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d)
dijelaskan bahwa Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas ketika
adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.
Perkawinan telah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Pada
dasarnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sumber hukum
materiil dalam lingkungan peradilan. Namun saat ini dalam perkara peradilan
tidak sepenuhnya merujuk pada UU tersebut. Sebagai contoh dalam masalah
Itsbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d)
dijelaskan bahwa Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas ketika
adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.
Namun oleh karena itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka
hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi tersebut,
kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan ketentuan Pasal 7
Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam.
Penetapan itsbat nikah yang dikeluarkan oleh pengadilan agama itu,
kemudian digunakan atau akan dijadikan dasar untuk mencatatkan perkawinan
mereka pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama, dan selanjutnya
Kantor Urusan Agama akan menerbitkan Buku Nikah atau Kutipan Akta Nikah.
14

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Pisafat Hukum, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Kartaapoetra, Rien G. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Bina Aksara,1988.
M. Zein, Satria Efendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta:
Kencana, 2005.
Manan, Bagir, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan Antar Orang Islam Menurut
UU No.1 Tahun 1974, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional
“Problematika Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional Antara Realitas
dan Kepastian Hukum” di Jakarta 1 Agustus 2009.
Menteri Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan,
Waris Perwakafan, Impres No. 1 TH 1991 berikut penjelasan, Surabaya: Karya
Anda, 1991.
Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Akola,
1994.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perih Kaidah Hukum, Bandung:
Alumini, 1978.
Rasyid, Chatib dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009.
Salim, Nashruddin. “Itsbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (tinjauan yuridis,
filosofis, dan sosiologis),” Mimbar Hukum, September-Oktober, 2003.
Siswosoediro, Henry S. Pintar Pengurusan Perizinan & Dokumen (Panduan untuk
Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum), Jakarta: Visimedia, 2008.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

[1] Rien G. Kartaapoetra, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Bina


Aksara,1988), Cetakan I h. 9
15

[2] Menteri Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum


Perkawinan, Waris
Perwakafan, Impres No. 1 TH 1991 berikut penjelasan, (Surabaya: Karya Anda,
1991)
[3] Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah
Populer (Surabaya: Akola, 1994), h. 273.
[4] Kamus Hukum (Bandung: Citra Umbara, 2008), h. 271.
[5] Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan Antar Orang
Islam Menurut UU No.1 Tahun 1974, makalah yang disampaikan dalam Seminar
Nasional “Problematika Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional Antara
Realitas dan Kepastian Hukum” di Jakarta 1 Agustus 2009 : 5-6.
[6] Sedangkan menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,
hukum bertujuan untuk memberikan kedamaian hidup antarpribadi yang meliputi
ketertiban eksternal antarpribadi dan ketenangan inter pribadi. Lihat: Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perih Kaidah Hukum, (Bandung: Alumini,
1978), h. 67. Sedangkan menurut Roscoe Pound, salah seorang
pendukungSociological Jurisprudence yang dikutip pendapatnya oleh Prof. Darji
Darmodiharjo, SH., bahwa hukum berfungsi sebagai alat untuk merekayasa
masyarakat dan menjadi instrumen untuk mengarahkan masyarakat menuju tujuan
yang diinginkan, bahkan kalau perlu menurutnya, menghilangkan kebiasaan
masyarakat yang dipandang negatif. Lihat Pula: Darji Darmodiharjo, dan
Shidarta, Pokok-Pokok Pisafat Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2006), h. 197.
[7] Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan keperc ayaannya itu”.
[8] Setelah undang-undang Peradilan Agama diamandemen dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kewenangan atau kompetensi
absolut Pengadilan Agama bertambah menjadi meliputi bidang : (a) perkawinan,
(b). Waris, (c). Wasiat, (d). Hibah, (e). Wakaf, (f). Zakat, (g). Infaq, (h). Shadaqah,
16

dan (i) ekonomi syari’ah. Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama.
[9] Nashruddin Salim, “Itsbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam
(tinjauan yuridis, filosofis, dansosiologis),” Mimbar Hukum, 62 (September-
Oktober, 2003), 70.
[10] Pasal 7 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
[11] Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktik pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 21.
[12] Henry S. Siswosoediro, Pintar Pengurusan Perizinan & Dokumen
(Panduan untuk Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum), (Jakarta: Visimedia,
2008), h. 146.
[13] Pasal tersebut berbunyi “ Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang
tidak mempunyai hangan perkawinan menurut menurut Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974.
[14] Berkaitan dengan pentingnya pencatatan nikah ini, Prof. Dr. H. Satria
Effendi M. Zein, membagi ketentuan yang mengatur tentang pernikahan dalam 2
(dua) kategori, yaitu : 1) peraturan syara’, dan 2) peraturantawsiq, yaitu peraturan
tambahan yang bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar,
tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan
oleh pihak yang berwenang. Secara administratif, ada peraturan yang
mengharuskan agar suatu pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang kegunaannya agar lembaga perkawinan mempunyai
tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam, dapat
dilindungi dari upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab. Lihat: Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. II, h. 29.

Anda mungkin juga menyukai