DOSEN PENGAMPU :
Disusun Oleh :
SEMARANG
2018
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................. 2
A. Itsbat Nikah dalam Perkawinan .................................................................................. 2
B. Kewenangan Pengadilan Agama di Bidang Perkawinan.......................................... 4
C. Proses Pengajuan Permohonan Itsbat Nikah ............................................................. 9
D. Urgensi Itsbat Nikah dan Pencatatan Nikah ............................................................ 10
BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 13
KESIMPULAN...................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 14
ii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat
perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.[1]
Perkawinan telah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Pada
dasarnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sumber hukum
materiil dalam lingkungan peradilan. Namun saat ini dalam perkara peradilan
tidak sepenuhnya merujuk pada UU tersebut. Sebagai contoh dalam masalah
Itsbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d)
dijelaskan bahwa Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas ketika
adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.[2]
Artinya jika mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal
7 (ayat 3d) & UU No. 1 Tahun 1974 ketika seseorang menikah sebelum adanya
UU Perkawinan, maka diperkenankan untuk melakukan Itsbath nikah, karena
pada saat itu tidak ada aturan tentang pencatatan Nikah. Akan tetapi fakta yang
terjadi saat ini banyak sekali perkara Itsbath nikah yang masuk dalam lingkungan
Peradilan Agama walaupun pernikahan Sirri tersebut terjadi setelah adanya UU
No. 1 Tahun 1974.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan itsbat Nikah?
2. Bagaimana proses pengajuan permohonan itsbat nikah?
3. Bagaimana urgensi itsbat nikah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini yaitu untuk mendeskripsikan mengenai proses
pengajuan itsbat nikah di Pengadilan Agama serta urgrnnya itsbat nikah bagi
masyarakat.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Itsbat Nikah dalam Perkawinan
1. Pengertian Itsbat Nikah
Itsbat berasal dari bahasa Arab atsbata-yutsbitu-itsbatan yang artinya
adalah penguatan. Sedang dalam kamus ilmiah populer kata itsbat diartikan
sebagai memutuskan atau menetapkan.[3] Sedang Nikah dalam kamus hukum
diartikan sebagai akad yang memberikan faedah untuk melakukan mut’ah secara
sengaja, kehalalan seorang laki laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita
selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara
syar’i.[4]
2. Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan
Pada dasarnya memang tidak kita temui dalam ayat-ayat al-Qur’an
yangmembahas secara khusus tentang perintah pencatatan nikah, dan hal ini tidak
pernahdicontohkan oleh baginda Rasulullah Muhammad SAW. Pencatatan nikah
yang dilakukan saat ini sebenarnya sebagai upaya pemerintah untuk
menertibkan pelaksanaan perkawinan. Dengan adanya pencatatan nikah maka
pemerintah akan lebih mudah mensensus penduduk. Terutama terhadap jumlah
penduduk yang sudah menikah.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merupakan
Undang-undang yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan segala
permasalahan yang terkait dengan perkawinan atau nikah, talak, cerai dan rujuk
(NTCR), yang ditandatangani pengesahannya pada tanggal 2 Januari 1974 oleh
Presiden Soeharto, agar Undang-undang perkawinan dapat dilaksanakan dengan
seksama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun
1975. Undang-undang ini merupakan hasil Usaha untuk menciptakan hukum
nasional dan merupakan hasil unifikasi hukum yang menghormati adanya variasi.
Itsbat Nikah adalah sebuah proses Pencatatan Nikah terhadap pernikahan
Sirriyang telah dilakukan, untuk mendapatkan akta nikah sebagai bukti
keabsahan pernikahan yang telah dilakukan. Seperti yang telah dijelaskan dalam
UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) bahwa Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam, serta dijelaskan pula dalam UU No. 1 Tahun
1974 pasal 2 ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3
7. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak
dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut pada angka 1 dan 5, dapat
melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama setelah mengetahui ada
penetapan itsbat nikah;
8. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak
dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4 dapat
mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama selama perkara belum diputus;
9. Jika pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak
dalam perkara itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4, sedang permohonan
tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama.
D. Urgensi Itsbat Nikah dan Pencatatan Nikah
Menyadari bahwa Itsbat nikah sangat urgen dan sangat dibutuhkan oleh
pasangan suami istri yang tidak memiliki Buku Nikah untuk melindungi hak-hak
sipilnya dan untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap perkawinan
mereka serta untuk melindungi akibat hukum yang timbul kemudian, seperti status
anak dan harta bersama (gono-gini).
Pengadilan agama satu-satunya institusi yang diberikan kewenangan untuk
mengitsbatkan nikah, namun sayangnya, kewenangan Pengadilan Agama
tersebut, dibatasi oleh Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah
dirubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 terakhir dirubah dengan
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan penjelasannya,
hanya diberi kewenangan melakukan itsbat nikah terhadap perkawinan yang
dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dan, faktanya perkawinan yang dimohonkan itsbat pada umumnya
perkawinan yang dilaksanakan pasca Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perwakinna berlaku.
Untuk mengakomodir kepentingan umat Islam terhadap itsbat nikah, maka
ketentuan tersebut harus direvisi, atau dibuat Peraturan Pemerintah atau
Mahkamah Agung RI dan Kementerian Agama menerbitkan SKB (Surat
Keputusan Bersama) sebagai payung hukum bagi Pengadilan Agama untuk
11
melakukan itsbat nikah terhadap perkawinan umat Islam yang tidak tercatat atau
tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama.
Ketentuan pencatatan[14] perkawinan atau pernikahan yang diatur di
dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, merupakan hal yang sangat penting dan urgen karena dapat
memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi setiap pasangan
suami isteri, anak-anak yang lahir dari perkawina itu serta harta benda yang
diperoleh selama ikatan perkawinan itu berlangsung.
Penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama antara lain bertujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan yang
tidak tercatat/dicatatkan.
Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa Pengadilan Agama dengan itsbat
nikahmempunyai andil dan kontribusi yang sangat besar dan penting dalam upaya
memberikan rasa keadilan dan kepastinan serta perlindungan hukum bagi
masyarakat.
Ketentuan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam (Pasal 5 Ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam) dan untuk menjamin ketertiban hukum (legal order)
sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, di samping sebagai bukti
otentik adanya perkawinan.
Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi
pemerintah atau negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak
sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang
lahir dari perkawinan itu. Dengan terpenuhinya hak-hak sosial itu, akan
melahirkan tertib sosial sehingga akan tercipta keserasian dan keselarasan hidup
bermasyarakat.
Berkaitan dengan itu, pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
merupakan salah satu produk politik sosial sebagai deposit politik sosial modern.
Oleh karena itu, pasangan suami istri yang telah melakukan perkawinan menurut
hukum agama (Islam), tetapi tidak tercatat atau dicatatkan, cukup dilakukan
12
pencatatan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dengan terlebih
dahulu mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, tanpa harus
melakukan nikah ulang atau nikah baru (tajdid an-nikah) karena hal itu
bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Memang hukum seharusnya demikianlah bekerja, yaitu mengatur
pergaulan manusia secara damai dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat.
Soebekti sebagaimana dikutip oleh Esmi Warassih, berpendapat bahwa hukum itu
mengabdi kepada tujuan negara untuk mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan.
13
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Pisafat Hukum, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Kartaapoetra, Rien G. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Bina Aksara,1988.
M. Zein, Satria Efendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta:
Kencana, 2005.
Manan, Bagir, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan Antar Orang Islam Menurut
UU No.1 Tahun 1974, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional
“Problematika Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional Antara Realitas
dan Kepastian Hukum” di Jakarta 1 Agustus 2009.
Menteri Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan,
Waris Perwakafan, Impres No. 1 TH 1991 berikut penjelasan, Surabaya: Karya
Anda, 1991.
Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Akola,
1994.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perih Kaidah Hukum, Bandung:
Alumini, 1978.
Rasyid, Chatib dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009.
Salim, Nashruddin. “Itsbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (tinjauan yuridis,
filosofis, dan sosiologis),” Mimbar Hukum, September-Oktober, 2003.
Siswosoediro, Henry S. Pintar Pengurusan Perizinan & Dokumen (Panduan untuk
Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum), Jakarta: Visimedia, 2008.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan (i) ekonomi syari’ah. Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama.
[9] Nashruddin Salim, “Itsbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam
(tinjauan yuridis, filosofis, dansosiologis),” Mimbar Hukum, 62 (September-
Oktober, 2003), 70.
[10] Pasal 7 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
[11] Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktik pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 21.
[12] Henry S. Siswosoediro, Pintar Pengurusan Perizinan & Dokumen
(Panduan untuk Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum), (Jakarta: Visimedia,
2008), h. 146.
[13] Pasal tersebut berbunyi “ Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang
tidak mempunyai hangan perkawinan menurut menurut Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974.
[14] Berkaitan dengan pentingnya pencatatan nikah ini, Prof. Dr. H. Satria
Effendi M. Zein, membagi ketentuan yang mengatur tentang pernikahan dalam 2
(dua) kategori, yaitu : 1) peraturan syara’, dan 2) peraturantawsiq, yaitu peraturan
tambahan yang bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar,
tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan
oleh pihak yang berwenang. Secara administratif, ada peraturan yang
mengharuskan agar suatu pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang kegunaannya agar lembaga perkawinan mempunyai
tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam, dapat
dilindungi dari upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab. Lihat: Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. II, h. 29.