KERATOKONUS
Oleh
Pembimbing
2016
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh:
Amirah Adillah
0405
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 21 Maret 2016 s.d 25
April 2016
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr.Hj. Ani, SpM(K) atas
bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Gambar Halaman
1. Anatomi Kornea .......................................................................................... 2
2. Lapisan Kornea ............................................................................................ 4
3. Kornea pada Keratokonus ........................................................................... 5
4. Nipple cones ................................................................................................ 7
5. Oval cones ................................................................................................... 7
6. Globus cones................................................................................................ 8
7. Rizutti’s sign dan Munson’s sign .............................................................. 10
8. Fleischer’s ring dan vogt striae .................................................................. 11
9. Oil droplet “Charleux”............................................................................... 11
10. Topografi Kornea ...................................................................................... 12
11. Degenerasi Pelucid Marginal..................................................................... 17
12. Keratoglobus .............................................................................................. 13
13. Penetrating keratoplasty ............................................................................ 14
14. Deep Anterior Lumelar Keratoplasty ........................................................ 15
DAFTAR TABEL
Gambar Halaman
1. Penyakit-Penyakit yang Berhubungan dengan Keratokonus....................... 6
2. Tanda dan Gejala pada Keratokonus ........................................................... 8
BAB I
PENDAHULUAN
Keratokonus adalah penyakit degeneratif bilateral non inflamasi yang ditandai dengan
kornea yang menipis dan melengkung abnormal secara progresif sehingga bentuk kornea terlihat
seperti kerucut. Prevalensi kejadian keratokonus sebesar 50-230/100.000 kasus gangguan pada
kornea, kira-kira 1 per 2000 populasi, namun hal ini berbeda-beda dalam tiap penelitian.
Dilaporkan bahwa kejadian keratokonus sering pada daerah tertentu seperti, Asia Selatan,
Mediterania Timur dan Afrika Utara. Keratokonus merupakan penyakit kronik yang biasanya
dimulai dari masa pubertas sampai dekade ke tiga dan ke empat. Progresivitas pada keratokonus
berbeda-beda pada setiap inidividu, tidak semua individu akan mengalami keratokonus berat.
Diperkirakan sekitar 10-15% penderita akan mengalami keratokonus berat dan memerlukan
transplantasi kornea untuk memperbaiki fungsi penglihatan.
Pada fase awal, pasien biasanya mengeluh penglihatan yang kabur dengan gejala mirip
seperti kelainan refraksi (myopia dan astigmatisme). Semakin lama penyakit ini berlangsung,
maka penglihatan akan semakin buruk. pada fese pertengahan keratokonus akan mudah
didiagnosis, penderita akan mengalami kesulitan penglihatan pada malam hari, fotofobia, mata
perih dan gatal. Pada fase yang lebih lanjut, keratokonus akan merusak kornea dan bisa
menyebabkan hilang penglihatan sehingga diperlukan transplantasi kornea.
Pengobatan pada keratokonus dilakukan sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada tahap
awal biasanya digunakan kontak lensa. Tipe kontak lensa yang digunakan biasanya soft tonic
lense untuk mengkoreksi myopia dan reguler astigmatisme, seiring berjalanya penyakit maka
rigid gas permeable (RGP) lensa yang digunakan. Selain itu, jika keratokonus bertambah buruk
maka pengobatan yang dipilih bisa berupa Corneal Collagen Cross Linking with Riboflavin
(CXL), intacs, dan transplantasi kornea.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Kornea
Kornea adalah jaringan transparan, yang ukurannya sebanding dengan kristal sebuah jam
tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus, lengkung melingkar pada persambungan
ini disebut sulkus skelaris. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar
0,65 di tepi, dan diameternya sekitar 11,5 mm dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima
lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel (yang bersambung dengan epitel konjungtiva bulbaris),
lapisan Bowman, stroma, membran Descement, dan lapisan endotel. Batas antara sclera dan
kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi
sebesar + 43 dioptri. Kalau kornea udem karena suatu sebab, maka kornea juga bertindak sebagai
prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo.
Lapisan Epitel
Tebalnya 50µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu sel lapis basal, sel polygonal, dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel basal
beriatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel polygonal didepannya
melalui desmosome dan macula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membrane erat yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren.
Epitel berasal dari ectoderm permukaan.
Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
Jaringan Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
yang lainya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak diantara serat
kolagen stroma. Diduga keratosit merupakan fibroblast terletak diantara serat
kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
Membran Descement
Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.
Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40
µm.
Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 m.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemidosom dan zonula
okluden.
Gambar 2. Lapisan kornea
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus berjalan supra koroid, masuk ke dalam stroma kornea,
menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi
dingin ditemukan diantara. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi
dalam waktu 3 bulan.
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquous, dan air
mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir. Transparansi
kornea dipertahankan oleh strukturnya seragam, avaskularitasnya dan deturgensinya.
2.2 Keratokonus
Definisi
Keratokonus berasal dari bahasa Yunani (kerato: kornea, konos: cone).Keratokonus
pertama kali dijelaskan oleh seorang dokter Inggris bernama John Nottingham di naskahnya
yang berjudul “Pengamatan praktis di korne berbentuk kerucut dan penglihatan pendek serta
cacat lain pada mata” pada tahun 1854.
Keratokonus adalah penyakit degeneratif bilateral non inflamasi yang ditandai dengan
kornea yang menipis dan melengkung abnormal secara progresif sehingga bentuk kornea terlihat
seperti kerucut. Keratokonus biasanya mengakibatkan gangguan ketajaman penglihatan seperti
astigmatisme iregular dengan atau tanpa miopi.
Keratokonus dapat terjadi pada semua ras dan tidak ada perbedaan angka kejadian pada
laki=laki dan perempuan. Namun beberapa penelitian menyatakan bahwa laki-laki lebih beresiko
dibandingkan perempuan. Berdasarkan penelitian 6-15% kasus keratokonus terjadi pada keluarga
dengan riwayat keratokonus. Perbedaan angka kejadian ini dihubungkan dengan berbagai faktor,
seperti genetik dan lingkungan.
Histopatologi Keratokonus
Adapun faktor yang terkait dengan proses terbentuknya keratokonus, terjadinya proses
abnormal dari radial bebas dan peroksida, terjadinya apoptosis pada sel-sel rusak yang
irreversibel, daerah fokus pada kornea menipis dan fibrosis pada daerah penyembuhan luka.
Keratokonus melibatkan setiap lapisan kornea. Sel-sel epitel kornea dapat membesar dan
memanjang. Degenerasi dini sel-sel epitel basal dapat diikuti oleh gangguan membran basalis.
Hasil gangguan ini mempengaruhi pertumbuhan epitel posterior dan kolagen pada lapisan
bowman, tipikal robekan pada lapisan bowman.
Sering ditemukan adanya jaringan parut pada lapisan bowman dan stroma anterior. Pada
histopatologi ditemukan fragmentasi kolagen, fibrilasi dan aktifitas fibrolastik. Stroma memiliki
serat kolagen berukuran normal tetapi sedikit kolagen lamellae, yang menyebabkan stroma
menipis. Dengan meningkatnya keparahan dan durasi, perubahan besar dan kerusakan terjadi di
dasar kerucut daripada puncak kornea.
Klasifikasi
Secara keratometri, keratokonus dibagi menjadi 3 yaitu ringan (<48 D), sedang (48-54 D)
dan berat (>54 D). Secara morfologi, keratokonus dibagi menjadi sebagai berikut:
1. Nipple Cones
Ditandai dengan ukuran yang kecil (<5mm). Pusat dari apeks kornea biasanya terletak
pada bagian sentral kornea.
2. Oval Cones
Oval Cones merupakan bentuk keratokonus yang paling banyak dijumpai. Ditandai
dengan letak apeks kornea yang tidak sesuai, apeks berada dibawah garis tengah kornea
menimbulkan penonjolan pada kornea. Oval cones memiliki ukuran sekitar 5-6 mm.
Gambar 5. Oval cones
3. Globus Cones
Bentuk globus ditandai dengan penonjolan kornea mencakup hampir ¾ dari permukaan
kornea sehingga bagian tengah kornea terlihat sangat datar dan bagian perifer terlihat
sangat tajam. Globus cones memiliki ukuran lebih dari 6mm.
Diagnosis
1. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Pasien biasanya datang ke dokter untuk meminta lensa korektif diakibatkan mata
kabur. Selain itu pasien juga bisa datang dengan keluhan penglihatan pada objek
seakan-akan bergoyang dan berlipat ganda.
b. Keluhan Tambahan
Apakah pasien sering mengalami silau jika melihat cahaya, terutama di malam
hari? Apakah pasien sering melihat lingkaran cahaya disekitar lampu? Apakah
pasien sering berganti-ganti kacamata? Apakah pasien mengalami distorsi
penglihatan?
c. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang dengan keluhan mata kabur. Dalam beberapa bulan terakhir pasien
sering datang berobat dan berganti-ganti kacamata dikarenakan mata yang selalu
bertambah kabur.
d. Riwayat
Apakah ada riwayat keluarga dengan kelainan mata?
Apakah ada riwayat alergi?
Apakah ada riwayat penggunaan kacamata?
Apakah ada riwayat penyakit mata?
Apakah ada riwayat penggunann obat sebelumnya?
Pemeriksaan Ophtalmoogy
Pada pemeriksaan eksternal biasanya ditemukan munson’s sign dan rizutti’s sign.
Munson’s sign adalah penonjolan berbentuk huruf V pada kelopak mata bagian bawah yang
disebabkan oleh ectasi kornea saat mata melihat kebawah. Rizutti sign adalah seberkas sinar
yang tefrokus didekat limbus nasal yang diakibatkan karena iluminasi lateral di kornea pada
pasien dengan keratokonus lanjut.
3. Pemeriksaan Ophtalmoscopy
Pada pemeriksaan olftalmoskopi didapatkan gambaran oil droplet “Charleux”.
5. Keratometri
Keratometri adalah alat yang digunakan untuk melihat kelengkungan kornea. Gambaran
kurvatura kornea penting dalam fitting lensa kontak.
Diagnosis Banding
1. Degenerasi Pellucid Marginal
Terjadi penipisan kornea bagian inferior. Onset pada dekade ketiga sampai kelima
kehidupan, bersifat progresif dan tidak mempunyai predileksi pada jenis kelamin tertentu.
Penyebab degenerasi pellucid marginal belum diketahui.
Penatalaksanaan
1. Kontak Lensa
Pada tahap awal dari keratokonus, kacamata merupakan ilihan untuk koreksi
penglihatan, namun kacamata tidak dapat mengkoreksi astigmatisme yang irreguler.
Sehingga ibutuhkan kontak lensa yang sesuai untuk beberapa kasus. Tipe kontak lensa
yang digunakan tergantung pada tahapan dari keratokonus. Pada tahap awal digunakan
soft tonic lense untuk mengkoreksi myopia dan reguler astigmatisme, seiring
perkembangan penyakit maka rigid gas permeable (RGP) lensa yang digunakan.
4. Transplantasi Kornea
Merupakan tindakan bedah untuk kasus lanjutan dari keratokonus. Bagian sentral
dari kornea diangkat dan diganti dngan donor kornea ukuran yang sama.
Penetrating Keratoplasty (PKP)
Diindikasikan pada pasien keratokonus yang timbul jaringan parut pada apeks
dari kornea dan pasien yang tidak bisa dikoreksi atau tidak toleran terhadap lensa kontak.
5. Epikeratoplasty
Epikeratoplasti bertujuan membuat kornea berubah bentuk dengan cara
menambahkan jaringak kornea donor yang telah dipahat. Walaupun visus paska
keratoplasti penetrans lebih baik daripada epikeratoplasti, namun epikeratoplasti tetap
direkomendasikan sebagai altenatif bedah untuk pasien yang tidak dianjurkan dilakukan
keratoplasti penetrans, seperti asien dengan sindroma down atau atlet profesional
6. Excimer Laser Phototheraupetic Keratectomy
Tujuan dilakukan excimer laser pada keratokonus adalah
1. Sebagai terapi pasien keratokonus yang tidak toleran terhadap lensa kontak karena
adanya nebula. Pengambilan jaringan parut tersebut dapat meningkatkan toleransi
pasien keratokonus terhadap penggunaan lensa kontak.
2. Sebagai prosedur yang dapat meningkatkan refraksi dan menunda kebutuhan akan
penggunaan keratoplasti penetrans.
Prognosis
Keratokonus adalah suatu bentuk dari kelainan kornea mata berupa penipisan pada
kornea didaerah sentral dan parasentral yang berakibat kornea menjadi tipis dan menonjol seperti
kerucut. Penyakit ini merupakan penyakit non inflamasi, bersifat kronis dan progresif. Bila
terjadi jaringan parut ada kornea bagian sentral akan menyebabkan penurunan visus yang
bermakna dan tidak dapat dikoreksi dengan lensa kontak. Sekitar 20% pasien keratokonus
memerlukan transplantasi kornea. Transplantasi kornea memiliki tingkat keberhasilan yang
tinggi dan sebagian besar pasien yang telah menjalani transplantasi kornea mendapatkan
penglihatan yang sempurna kembali. Pemulihan penuh ini bisa memakan waktu yang cukup
lama hingga 1 tahun.
BAB III
KESIMPULAN
Keratokonus merupakan penyakit kronik yang biasanya dimulai dari masa pubertas
sampai dekade ke tiga dan ke empat. Prevalensi kejadian keratokonus sebesar 50-230/100.000
kasus gangguan pada kornea, kira-kira 1 per 2000 populasi, namun hal ini berbeda-beda dalam
tiap penelitian. Dilaporkan bahwa kejadian keratokonus sering pada daerah tertentu seperti, Asia
Selatan, Mediterania Timur dan Afrika Utara.
Terapi keratokonus bergantung pada tahapan penyakit. Pada fase awal biasanya
digunakan lensa kontak dan RGP. Sedangkan, pada fase dimana kontak lensa tidak mampu
memperbaiki kelainan refraksi, biasanya dilakukan transplantasi kornea.selain itu terdapat
penetalaksanaan lain yang bisa dilakukan seperti, CXL, INTACS, Epikeratoplsty,Excimer laser,
dan lain-lain. Penyebab keratokonus belum diketahui secara pasti dan penatalaksanaanya masih
terus berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Basic and Clinical Science Course 2014-2015: External Disease and Cornea; American
Academy of Oftalmology; hal.9-312
2. Basic and Clinical Science Course .2012. Fundamentals dan principles of
opthalmology.American Academy of Oftalmology. hal.6-9.
3. Biswell, R., Vaughan., Asbury.2009. Oftalmologi Umum : Kornea, edisi ke
17.Jakarta:Badan penerbit EGC.Hal 8-12.
4. Illahi, Waheeda.2008.Keratoconus:Diagnosis, Contact Lense Fitting and
Management.Hal 27-34. (http://www.otcet.co.uk. Diakses pada 1 April 2015).
5. Ilyas SH dan Sri, RY. 2012. Anatomi dan fisiologi mata, Dalam: Ilmu Penyakit Mata.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 1-12
6. Karamichos, D.,J. Hjortdal.2014.Keratokoconus Tissue Enginering and Biomaterial.
Journal of Functional Biomaterials. Hal. 111-134.
7. Rabinowitz, 2009. Keratoconus: major review. Suerv of Opthalmology. 42(4):297-319.
8. Riordan-Eva Paul. 2007. Anatomi dan embriologi mata, Dalam: Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta. EGC. Hal. 8-19.
9. Sinjab, M.M.2012.Quick Guide to The Management of
Keratoconus.Berlin,German:Springer. Hal 13-38.
10.Surphin JE, Chodosh J, Dana MR et all, 2003. BSCS 2003-2004 Section 8: External
disease and cornea. San Fransisco: The Foundation of The American Academy of
Opthamlmology: 9, 311-316, 425-444,456,496,-497.