Anda di halaman 1dari 3

Tujuh laki-laki mendatangi sebuah pondok di tengah sabana Sumba.

Penghuninya hanya Marlina


(Marsha Timothy) bersama mumi sang mendiang suami. Tujuh laki-laki bukan untuk menyelamatkan
sang perempuan kampung dari begundal. Merekalah begundal itu! Tapi Marlina menolak kalah. Sup
ayam dan sabetan parang memulai perlawanannya terhadap kungkungan. Dimulailah kisah Marlina Si
Pembunuh Dalam Empat Babak (Inggris: Marlina the Murderer in Four Acts).

Sehari setelah insiden yang terjadi di rumahnya, Marlina memutuskan untuk melaporkan kejahatan yang
menimpanya kepada polisi. Ia bertemu dengan Novi (Dea Panendra), temannya yang hamil 10 bulan dan
gelisah hendak bertemu sang suami. Bersama mereka menumpang sebuah angkutan umum yang lewat
hanya sejam sekali di kawasan terpencil di mana mereka menetap.

Para penumpang lain mendadak turun setelah mengetahui Marlina menenteng-nentang potongan
kepala. Saat ditanya Novi mengapa ia membawa kepala Markus (Egy Fedly), pimpinan begundal, Marlina
menyebutnya sebagai tahanan bagi dirinya. Namun dengan ilusi tubuh tanpa kepala Markus yang
senantiasa mengikutinya, bisa jadi Marlina juga tahanan atas rasa bersalahnya.

Sementara itu, dua begundal tersisa akhirnya mengetahui nasib kawanan mereka. Franz (Yoga Pratama) –
digambarkan paling cengeng – bersikeras mengejar Marlina. Pondok sunyi Marlina kembali menjadi saksi
dalam melengkapi simpul yang sempat terputus. Parang lagi-lagi berkelebat.

Berangkat dari ide cerita oleh sineas kenamaan Garin Nugroho atas pencermatannya atas kehidupan di
Sumba, Marlina (berikutnya ditulis begitu saja) merupakan buah karya salah satu sutradara terkemuka
Indonesia masa kini, Mouly Surya (fiksi., Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta). Dalam film
ketiganya ini Mouly tampak semakin terasah serta matang, baik dalam bercerita maupun penguasaan
teknis. Ia membuktikan jika sebuah kisah yang kompleks dan penuh lapisan juga bisa disampaikan
melalui sebuah premis sederhana.

Tentu saja utamanya Marlina berkisah tentang perempuan-perempuan terpinggirkan oleh sistem
patriarki. Baik Marlina dan Novi dipandang remeh oleh pelaku misoginis, tanpa disadari jika kelemahan
tersebut bisa menjadi kekuatan untuk melawan balik.

Entah disengaja atau tidak, tahun 2017 menandakan banyak sekali hadirnya kisah-kisah perempuan yang
mendobrak tekanan justru dengan feminitas mereka. Serial-serial seperti The Handmaid’s Tale dan Alias
Grace (kebetulan keduanya diangkat dari novel Margaret Atwood) adalah contoh paling menonjol. Kini
ada Marlina yang siap menjadi tandem.

Subjugasi, baik fisik atau verbal, membayangi di setiap sudut hidup mereka. Ketimpangan ini terpelihara
karena pihak penekan merasa tidak akan mendapatkan perlawanan berarti. Sampai para perempuan itu
mengambil sikap jika mereka bukan sekedar objek, melainkan manusia yang memiliki naluri dan tekad
untuk bertahan. Putus asa atau menerima nasib bukan lagi pilihan. Apalagi melimpahkan permasalahan
kepada yang berwenang.

Aspek politis dalam kisah-kisah ini tidak berapi-api, dihantarkan lembut, namun tetap berdampak kuat.
Begitu pula Marlina. Kekerasan mengambil diri di beberapa bagian. Relatif ekstrim, meski tidak
dieksekusi secara vulgar. Bisa jadi berbeda jika perspektif diambil dari sudut pandang pencerita maskulin.
Banjir darah seperti Kill Bill misalnya.

Alih-alih, Mouly memilih menghadirkan kisahnya secara merambat. Momen-momen sunyi kontemplatif
menjadi sajian utama. Adegan jenaka sesekali menjadi oase, walau sebenarnya turut bertugas menjadi
catatan sosial tersendiri. Mouly dengan cermat memilih untuk tidak menghadirkan filmnya dalam
atmosfer depresif berlebihan. Perpaduan pas antara ranah naturalistik dan hiperrealisme menjadikan
pesan dalam Marlina menjadi lebih mudah dicerna tanpa harus kehilangan bobot atau dimensinya.

Melalui Marlina Mouly menegaskan dirinya sebagai sosok pencerita thriller dalam balutan feminisme
kuat, walau tidaklah amat militan. Dibanding dua filmnya terdahulu, intensitas kini mungkin meningkat,
tapi tetap senantiasa tenang. Mouly juga terlihat lebih cakap dalam menjaga tensi dan membangun
momentum.

Babak I diakhiri dengan klimaks (harfiah dan metafora) memuaskan, sehingga menimbulkan sangsi
apakah dalam babak-babak berikutnya Mouly bisa menyusulnya. Saat kemudian alur bergulir, sangsi
tersebut lenyap tak membekas karena naskah tulisan Mouly bersama Rama Adi senantiasa
menghadirkan kelokan plot mengundang penasaran dan tak terduga.

Seperti yang disebut-sebut di luaran sana, Marlina terlihat seperti film Western dalam balutan lokal.
Satay Western katanya. Drama empat babaknya pun mengikuti pakem ala film-film koboi (yang biasanya
tiga babak saja). Perkenalan konflik. Perjalanan. Friksi. Duel akhir sebagai penutup.
Lanskap Sumba – tandus sekaligus membius – sempurna menjadi latarnya. Tabik untuk penata kamera
Yunus Pasolang yang memenuhi film melalui shot-shot lebar. Ia dengan brilian menangkap keindahan
sekaligus “keliaran” Sumba tadi. Sementara itu, ada dengung rona Ennio Morricone dalam iringan musik
gubahan Yudhi Arfani dan Zeke Khaseli.

Dengan meminjam Western, wilayah yang biasanya lekat dengan machoisme, Mouly kemudian
memutar-balikkan anggapan jika film aksi harus eksploitatif atau demonstratif berlebihan. Padahal jika
dihadirkan dengan lebih tertahan, efeknya juga sama. Yang penting bagaimana mengemas esensinya
agar tetap tersampaikan dengan efektif. Dan Mouly dengan piawai melakukan itu.

Oleh karenanya polesan Western dalam Marlina tidak mendistraksi dari fokus utama film; drama subtil.
Dengan demikian Marlina bukan dalam liga yang sama seperti film-film Sergio Leone. Lebih pas
didekatkan dengan film sejenis Once Upon a Time in Anatolia. Jangan gentar dulu, karena Marlina relatif
lebih mudah dicerna dibandingkan karya Nuri Bilge Ceylan tersebut.

Dialog-dialog dalam film mungkin terkesan superfisial. Sebagai gantinya Mouly mengedepankan gestur
dan mimik sebagai penyambung lidah. Beruntung ia didukung oleh barisan pemain dengan perfoma
solid. Marsha Timothy semakin menunjukkan kelasnya sebagai aktor watak masa kini. Sedangkan Dea
Panendra membuktikan jika ia bukan sekedar debutan biasa. Bosan dengan aktor film Indonesia yang itu
lagi-itu lagi? Yoga Pratama seharusnya bisa menjadi opsi utama.

Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak adalah sebuah perjalanan. Baik untuk mereka, para
karakternya, maupun kita, para penontonnya. Perjalanan yang tak selalu menyenangkan, namun di
penghujung mereka dan kita akan tercerahkan. An enchanting cinematic journey that you shouldn’t
miss!

Anda mungkin juga menyukai