Anda di halaman 1dari 34

Case Report Session

Status Epileptikus

Oleh :

Ayu Wulandari Utami 1840312440

Sulastri 1840312268

Joshua Roberto Pratama 1840312460

Annisa Badriyyah H 1840312629

Preseptor :

dr. Lidya Aswati, SpA

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2019
1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Status epileptikus merupakan kasus kegawatan tersering di bidang neurologi


anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orangtua, apalagi jika
kejang tersebut baru pertama kali dialami seorang anak. (rekomendasi tatalaksana SE)
Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status epileptikus (SE)
karena International League Againts Epilepsy(ILAE) hanyamenyatakan bahwa SE
adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau
berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi
menurut ILAE tersebut adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab
itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit
atau lebih. 1,2

Penanganan status epileptikus sampai saat ini tidak banyak mengalami


perubahan. Pada prinsipnya algoritme, pemilihan obat telah disesuaikan dengan bukti
ilmiah terbaru. Perubahan algoritma dilakukan karena terdapat permasalahan dilapangan
terkait keterbatasan obat maupun kesulitan pemberian obat. Setiap negara atau setiap
institusi pelayanan kesehatan mempunyai rekomendasi tersendiri, hal ini disesuaikan
1
dengan ketersediaan dan juga harga obat. SE berdasarkan semiologi dibagi atas: SE
konvulsivus (parsial / fokal motorik dan tonik-klonik umum) dan SE bukan konvulsivus
(absens dan parsial kompleks) SE konvulsivus terdiri atas kejang tonik atau klonik yang
berlangsung terus, mungkin asimetri, subtle, atau gerakan bilateral yang kadangkala
asimetri. 3

Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status


epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda. 1Berdasarkan gejala kejang yang
menyertainya, status epileptikus diklasifikasikan menjadi tiga yakni status epileptikus
3
konvulsif, status epileptikus non-konvulsif, dan status epileptikus refrakter. Kejang
dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu reaksi
inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan
2
GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Kejang juga menyebabkan
perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung,
1
atau aritmia) dan juga metabolisme otak. Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE
simtomatis; 37% menderita defisit neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual.
Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang lama
atau status epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun pertama. 1

1.2 Batasan Masalah


Penulisan case report session ini membahas mengenai tinjauan pustaka dan
laporan kasus mengenai kejang demam
1.3 Tujuan Penulisan
Case Report Session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Achmad Mochtar Bukittingi dan diharapkan dapat
menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca,
khususnya kalangan medis.
1.4 Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status
epileptikus (SE) karena International League Againts Epilepsy(ILAE) hanya
menyatakan bahwa SE adalah kejang yang berlangsung terus-menerusselama periode
waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang.
Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut adalah batasan lama kejang tersebut
berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya
adalah selama 30 menit atau lebih.1

2.2 Epidemiologi
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status
epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, dengan estimasi insidens 1 per
1000 bayi. 1,2
Angka kejadian SE pada anak berkisar 10 – 58 per 100.000 penduduk
pertahun. Adapun kejadian SE pada populasi pasien epilepsi anak berkisar antara 9,5 %
sampai 27 % dimana 80 % nya tanpa demam atau penyebab simtomatik akut.3

2.3 Etiologi
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi1:
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma
kepala, perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati hipoksik-
iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun
(contohnya vaskulitis)
d. Epilepsi
2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui
Penyebab SE sangat menentukan mortalitas dan morbiditas pasien, Penyebab
spesifik harus dicari dan diobati untuk mencegah terjadinya kerusakan neuron dan

4
kejang dapat terkontrol. Penyebab tersering adalah epilepsi simtomatik (33 %) dan
kejang demam lama (32 %).3 Penyebab SE pada anak dapat di lihat dalam Tabel 1.
di bawah ini.

2.4 Faktor risiko


Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status epileptikus:
1. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status
epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi
epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
2. Pasien sakit kritis
Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi
SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif ), dan
ensefalopati hipertensi.1

2.5 Patofisiologi
Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi
penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan dan
atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif.Neurotransmiter eksitasi utama
tersebut adalah neurotran dan asetilkolin,sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah
gamma-aminobutyric acid(GABA).1
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar

5
bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang.4
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi,
termasuk yang berikut:
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila
terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan
-Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selangwaktu dalam
polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihanasetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA).
Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atauelektrolit, yang
mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadikelainan pada depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter eksitatorik ataudeplesi neurotransmitter inhibitorik.4
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas neuron.
Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-
sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami
deplesi selama aktifitas kejang.4
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus
melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi
eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus
menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan
penghambatan yang tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus
lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama berlangsungnya status.5,6
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik
seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat
mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah, dan
pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai dan mungkin
akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan

6
asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang terjadi
terus menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat, yakni
hipoksia, hipoglikemia, hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output yang tidak
memadai.6
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak
(Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak efek di
antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan mikroglia -
yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor
yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja - yang kemudian
bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical. Aktifasi ini
menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat. Akibatnya,
berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh glutamat - glutamic-
mediated excitotoxicity-khususnya di hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium
ekstraseluler normal pada neuronneuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada
intraseluler. Selama kejang, receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti
stimulasi reseptor NMDA. Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan
semakin meningkatkan keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus
terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar.7

2.6 Manifestasi Klinis


Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-
Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari
survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74%, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
Berikut manifestasi klinis status epileptikus.
a. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi
dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan.Kejang didahului dengan tonik-
klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik
umum.Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang

7
tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan
peningkatan frekuensi.Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit,
dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan
yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti
oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan peningkatan tekanan
darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan
laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis
respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama
pada kasus yang tidak tertangani.

b. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status


Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
c. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati
kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

8
d. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari status epileptikus tidak biasanya
pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi
pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
e. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat
seperti menyerupai“slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu
periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang
absens pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.Respon terhadap
status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
f. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-
konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.Ketika sadar, dijumpai
perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional, cepat marah, halusinasi,
tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike
wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
g. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi
dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari

9
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian
march.

h.Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari
frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat
terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau
frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit
memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-
konvulsif pada beberapa kasus.

2.7. Diagnosis
A. Anamnesa
1. Kejadian Pre-Iktal
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian sebelum
episode kejang terjadi :
 Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang seperti keadaan stres,
rangsangan nyeri, dan sebagainya?
 Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau – bauan, melihat
cahaya yang sangat terang, mendengar suara – suara, mual, merasa ketakutan dan
sebagainya?
 Apa yang dilakukan anak sesaat sebelum kejang terjadi?
 Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang anak mengkonsumsi
obat – obatan tertentu?
 Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah anak sedang demam
sebelum kejang terjadi?
10
 Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya?
 Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang terdahulu sama seperti
bentuk kejang yang baru saja terjadi?
 Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat rutin dan mengkonsumsi
obat anti kejang secara teratur?
 Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala, beberapa jam
atau hari sebelum kejang?
2.Kejadian saat kejang
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian saat
episode kejang terjadi :
 Berapa lama kejang berlangsung?
 Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?
 Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang?
 Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode kejang terjadi?
 Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap sadar atau tidak sadar,
di antara epdisode kejang yang terjadi?
3. Kejadian post – iktal
 Apakah anak langsung sadar setelah kejang berhenti?
 Apakah anak merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti atau anak tampak
seperti tidak terjadi apa – apa?
 Apakah anak mengingat kejadian saat kejang berlangsung?
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda – tanda vital
meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu tubuh harus diperiksa, karena
demam merupakan penyebab utama kejang pada anak – anak. Periksa kepala apakah
ada kelainan bentuk, tanda – tanda trauma kepala, serta tanda – tanda peningkatan
tekanan intrakranial. Periksa leher apakah terdapat kaku kuduk. Pemeriksaan neurologis
secara menyeluruh juga penting dilakukan.
Yang juga perlu dipikirkan adalah kemungkunan epilepsi yang dicetuskan oleh
tumor otak. Tumor otak merup[akan penyebab yang tidak sering menyebabkan epilepsi,
namun tidak boleh disingkirkan tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut. Epilepsi yang

11
onsetnya dimulai pada umur dewasa, khususnya dengan tanda-tanda defisit neurologis
fokal dan terasosiasi, kemungkinan besar disebabkan oleh tumor.
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu dintanyakan kepada
pasien maupun saksi
-- Family history
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs
Pemeriksaan fisik sangat penting karena mungkin dapat mengungkapkan tanda
neurologis yang abnormal yang mengindikasikan temuan sebagai berikut:
- Patologi intrakranial di masa lalu
- Patologi intrakranial yang dialami sekarang
- Perkembangan patologi intrakranial yang dimaksud di atas

2.8. Pemeriksaan penunjang


a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang ditujukan selain untuk
mencari etiologi kejang, juga untuk mencari komplikasi akibat kejang yang lama. Jenis
pemeriksaan laboratorium ditentukan sesuai kebutuhan. Pemeriksaan yang dianjurkan
pada pasien dengan kejang pertama kali adalah kadar glukosa darah, elektrolit, hitung
jenis, dan protrombin time. Beberapa peneliti lain menganjurkan standar pemeriksaan
laboratorium yaitu darah tepi lengkap, elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin,
kalsium, dan magnesium. Pada kejang demam beberapa peneliti mendapatkan kadar
yang normal pada pemeriksaan laboratorium tersebut, oleh karenanya tidak
diindikasikan pada kejang demam, kecuali bila didapatkan kelainan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik.3 Bila dicurigai adanya meningitis bakterial, lalukan pemeriksaan
kultur darah, dan kultur cairan serebrospinal. Bila dicurigai adanya ensefalitis, lakukan
pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus herpes simpleks.3
b. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang disertai
penurunan status kesadaran / mental, perdarahan kulit, kuduk kaku, kejanglama, gejala
12
infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya faktor pencetus yang
jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam untuk memastikan
adanya infeksi SSP. Bila didapatkan kelainan neurologis fokal dan adanya peningkatan
tekanan intrakranial, dianjurkan memeriksakan CT scan kepala terlebih dahulu, untuk
mencegah terjadinya risiko herniasi.3
c. Neuroimaging
Pemeriksaan CT scan kepala dilakukan pada anak dengan kecurigaan trauma
kepala, infeksi susunan saraf pusat, tumor, perdarahan intrakranial pada kelainan
pembekuan darah (APCD – aquired prothrombine complexd eficiency). MRI dilakukan
bila kelainannya mengenai batang otak, atau dicurigai adanya adanya tumor otak atau
gangguan mielinisasi.3
d. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) segera setelah kejang dalam 24 – 48
jam, atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya
kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya manifestasi klinis. Gambaran
EEG akan memperlihatkan gelombang iktal epileptiform. Normal atau kelainan ringan
pada EEG merupakan indikasi baik terhadap kemungkinan bebasnya kejang setelah obat
antiepilepsi dihentikan.3

13
2.9 Tatalaksana
SE konvulsivus pada anak adalah kegawatan yang mengancam jiwa dengan risiko
terjadinya gejala sisa neurologis. Risiko ini tergantung dari penyebab dan lamanya
kejang berlangsung. Makin lama kejang berlangsung, makin sulit untuk
menghentikannya. Oleh karenanya, tata laksana kejang toniklonik umum lebih dari 5
menit, adalah menghentikan kejang dan mencegah terjadinya status epileptikus. 3
Penghentian kejang dibagi berdasarkan waktu: 0 – 5 menit, 5 – 10 menit, 10 – 30 menit
dan > 30 menit. Pembagian ini untuk membedakan tindakan yang dilakukan, pemberian
obat-obatan dan menilai apakah pasien masuk kedalam SE atau bahkan sudah menjadi
SE refrakter.3
Prinsip:
1 Stabilisasi pasien dengan prinsip kegawadaruratan umum (ABC)
2 Menghentikan bangkitan dan mencari etiologi simultan
3 Mecegah bangkitan ulang atau mengatasi penyulit
4 Mengatasi factor pencetus
5 Bila setelah menit ke 60 belum teratasi (refrakter), sebaiknya
perawatan dilakukan di ICU8

14
15
SE refrakter
SE refrakter terjadi bila kejang terus berlangsung walaupun telah diberikan pengobatan
yang adekwat. Pada keadaan ini, jalan napas dipertahankan lancar, ventilasi terkontrol
dengan intubasi, sirkulasi terpasang, dan pasien dipindahkan ke ruang perawatan
intensif. Umumnya kejang masih berlangsung dalam 30 – 60 menit pengobatan. Obat
yang sering digunakan adalah profopol dan pentobarbital.3 Propofol diberikan 3–5
mg/kg secara bolus perlahan dilanjutkan dengan pemberian per drip dengan pompa
infus 1 – 15 mg/kg/jam. Cairan obat dibuat dengan memasukkan propofol 200 mg
dalam 20 ml larutan. Larutan ini mengandung propofol untuk setiap 1 mL =1 0 mg,

16
Obat diberikan secara infus dengan kecepatan 1 mL per jam. Bila kejang masih
berlangsung dapat diberikan pentobarbital 2–10 mg/kg secara bolus sampai 20 mg/kg
dan dilanjutkan dengan pemberian per drip 0.5–5 mg/kg/jam.,3

Status Epileptikus Refrakter


- Terapi bedah epilepsy
- Stimulasi N.Vagus
- Modifikasi tingkah laku
- Relaksasi
- Mengurangi dosis OAE
- Kombinasi OAE8

Penghentian kejang
Pembagian waktu penghentian kejang dapat dilihat di bawah ini:
0-5 menit :
• Longgarkan pakaian pasien, dan miringkan. Letakkan kepala lebih rendah dari tungkai
untuk mencegah aspirasi bila pasien muntah
• Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik, berikan oksigen bila ada.
• Pada saat di rumah dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kg (berat badan < 10 kg =
5 mg; sedangkan bila berat badan > 10 kg =10 mg) dosis maksimal adalah 10 mg /
dosis.
• Maksimal dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit
• Bila keadaan pasien stabil, pasien dibawa ke rumah sakit terdekat.
5-10 menit
• Bila saat tiba di rumah sakit pasien kejang kembali. Dapat diberikan diazepam rektal 1
kali dengan dosis yang sama.

17
• Lakukan pemasangan akses intravena. Pengambilan darah untuk pemeriksaan : darah
rutin, glukosa, dan elektrolit
• Bila masih kejang berikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgbb secara intravena (kecepatan 5
mg/menit),
• Jika didapatkan hipogikemi, berikan glukosa 25% 2 mL/kg berat badan
10 – 30 menit
• Cenderung menjadi status konvulsifus
• Berikan fenitoin 20 mg/kg intravena dengan pengenceran setiap 10 mg fenitoin
diencerkan dengan 1 mL NaCl 0,9 % dan diberikan dengan kecepatan 50 mg/menit.
Dosis maksimal adalah 1000 mg fenitoin.
• Bila kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20 mg/kg intravena bolus perlahan–
lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dosis maksimal yang diberikan adalah 1000 mg
fenobarbital.3 Bila kejang masih berlangsung diberikan midazolam 0,2 mg/kg diberikan
bolus perlahan dilanjutkan dengan dosis 0,02 – 0,06 mg/kg/jam yang diberikan secara
drip. Cairan dibuat dengan cara 15 mg midazolam berupa 3 mL midazolam diencerkan
dengan 12 mL NaCl 0,9 % menjadi 15 mL larutan dan diberikan perdrip dengan
kecepatan 1 mL/jam (1 mg/jam). > 30 menit
• Bila kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan timbul kejang
kembali diberikan fenitoin tambahan dengan dosis 10 mg/ kg intravena dengan
pengenceran. Dosis rumatan fenitoin selanjutnya adalah 5 – 7 mg/kg intravena dengan
penegnceran diberikan 12 jam kemudian. .
• Bila kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul kejang kembali
diberikan fenobarbital tambahan dengan dosis 10 mg/kg intravena secara bolus
langsung. Dosis rumatan fenobarbital adalah 5 – 7 mg/kg intravena diberikan 12 jam
kemudian
• Bila kejang berhenti dengan midazolam, maka rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap
diberikan.
• Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan kebutuhan seperti analisis gas darah,
elektrolit, gula darah. Dilakukan koreksi terhadap kelainan yang ada dan awasi tanda-
tanda depresi pernapasan.3

18
Algoritma penatalaksanaan kejang

19
Keterangan:
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2
mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis
yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan
teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan
kelompok usia;
• 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
• 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
• 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
• 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap
dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.1
Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan
tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan
dengan pemberian rumatan bila diperlukan.1

2.10 Komplikasi
Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu
reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat
dan GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem
jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang
dapat menyebabkan komplikasi sistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi
pada SE konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan
gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan
memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi

20
jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun
terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40
menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang,
kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan memperberat
kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan
vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.1,2
Komplikasi sekunder
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi
napas serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping
propofol yang harus diwaspadai adalah propofol infusion syndrome yang ditandai
dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta
asidosis metabolik. Pada sebagian anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati
hepatik dan hiperamonia. Selain efek samping akibat obat antikonvulsan, efek samping
terkait perawatan intensif dan imobilisasi seperti emboli paru, trombosis vena dalam,
pneumonia, serta gangguan hemodinamik dan pernapasan harus diperhatikan.1,2

2.11 Mortalitas
Angka kematian terkait SE pada 30 hari perawatan dilaporkan kurang dari 10%.
Kematian tersebut lebih disebabkan oleh komorbiditas atau penyakit yang
mendasarinya, bukan akibat langsung dari status epileptikus.1

2.12 Prognosis
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita defisit
neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang
mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus yang
terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda,
ensefalopati progresif, etiologi simtomatis remote, sindrom epilepsi.1

21
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : AB
MR : 524123
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 8 tahun 1 bulan
Alamat : Kamang Hilir Agam
Tanggal pemeriksaan : 5 Agustus 2019

3.2 Alloanamnesis
Diberikan oleh : Ibu Kandung
Seorang pasien laki-laki usia 8 tahun dirawat di RSUD dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi sejak tanggal 30 Juli 2019 dengan :
Keluhan Utama
Kejang sejak ± 1 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
 Kejang sejak 1 jam SMRS, kejang selama lebih dari 30 menit. Kejang terjadi
selama lebih dari 5 kali dalam sehari. Kejang pada kedua lengan dan tungkai
dengan mata melihat keatas. Anak mengalami penurunan kesadaran setelah
kejang. Ini merupakan kejang kesekian kalinya.
 Demam sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit, saat kejang anak masih
demam. Demam tidak menggigil. Demam tidak selalu mengikuti episode kejang.
 Pasien mengalami kelemahan anggota gerak bawah sejak episode kejang
pertama kali (6 bulan sebelum masuk rumah sakit)
 Anak sulit berbicara sejak episode kejang yang pertama (6 bulan sebelum masuk
rumah sakit)
 Batuk tidak ada, pilek tidak ada.
 Sesak napas tidak ada, kebiruan tidak ada
 Penurunan berat badan ada, ibu tidak tahu berapa kg
 Mual muntah tidak ada
22
 Riwayat trauma kepala tidak ada
 BAK jumlah dan warna biasa
 BAB jumlah dan konsistensi biasa

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien sudah dikenal dengan riwayat kejang sebelumnya dan sudah 3 kali di
rawat di rumah sakit. Pasien mendapat obat pulang berupa Sodium Valproate
sirup dan obat racikan berupa puyer.
 Pasien pernah dirawat di rumah sakit Pekanbaru dengan keluhan kelemahan
tungkai setelah episode kejang pertama.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang serupa dengan pasien.

Riwayat Persalinan
Lama hamil : Cukup bulan
Cara lahir : Spontan Pervaginam
Ditolong oleh : Bidan
Berat lahir : 3500 gram
Panjang lahir : 50 cm
Keadaan saat lahir : langsung menangis kuat
Kesan : Riwayat kelahiran normal

Riwayat Makan dan Minuman


Makanan : Anak hampir setiap hari makan lontong,. Makan nasi 2x sehari,
menghabiskan ¼ porsi. Sayur dan buah jarang
Minuman : Susu 1x sehari sebanyak 200cc
Kesan : Kualitas dan kuantitas kurang
Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar/umur Booster/umur
BCG 1 Bulan (skars +)
DPT:

23
1. 2 bulan

2 3 bulan

3. 4 bulan
Polio:

0. 0 bulan

1. 2 bulan

2. 3 bulan

3. 4 bulan
Hepatitis B:

0. 0 bulan
1. 2 bulan

2. 3 bulan

3. 4 bulan

Haemofillus influenza 2 bulan


B:

1. 3 bulan

2. 4 bulan

3.
MR/Campak 9 bulan

Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Riwayat Umur Riwayat gangguan Umur
pertumbuhan dan perkembangan
Perkembangan mental
Ketawa 3 bulan Isap jempol -
Miring 3 bulan Gigit kuku -
Tengkurap 4 bulan Sering mimpi -

24
Duduk 6 bulan Mengompol -
Merangkak 7 bulan Aktif sekali -
Berdiri 9 bulan Apatik -
Lari 14 bulan Membangkang -
Gigi pertama 7 bulan Ketakutan -
Bicara 14 bulan Pergaulan jelek -
Membaca 6 tahun Kesukaran belajar -
Prestasi di sekolah -

Kesan : riwayat pertumbuhan dan perkambangan normal


Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Umur 60 tahun 45 tahun
Pendidikan SMP SMA
Pekerjaan Wiraswasta Ibu Rumah Tangga
Penhasilan 3.000.000/ bulan -
Perkawinan Pertama Pertama
Penyakit yang pernah Tidak ada Tidak ada
diderita

Saudara kandung
1. Laki-laki , 16 tahun, sehat
2. Perempuan, 14 tahun,sehat
3. Laki-laki, 8 tahun, pasien

Riwayat Perumahan dan Lingkungan


Rumah tempat tinggal : Permanen
Sumber air minum : Air sumur
Buang air besar : Jamban didalam rumah
Pekarangan : Cukup luas
Sampah : diangkut tukang sampah
Kesan : Higienitas dan sanitasi baik
25
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Berat
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan darah : 107/67 mmHg
Frekuensi nadi : 105 x/menit
Frekuensi nafas : 24x / menit
Suhu : 36,4 °C
Edema : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Kulit : Teraba hangat, turgor baik
BB : 18 kg
TB : 120 cm
LK : 52 cm
BB/U : 65 %
TB/U : 88 %
BB/TB : 85 %
Status gizi : gizi kurang
Anemia : tidak ada
Sianosis : tidak ada

Status Internus
KGB : Tidak ada pembesaran KGB
Kepala : Bulat, simetris, tidak ada deformitas, rambut hitam tidak
mudah rontok, lingkar kepala 52 cm (normocephal menurut
Nell Haus)
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor,
diameter 2 mm/ 2 mm, refleks cahaya +/+, refleks kornea+/+,
edema palpebra tidak ada
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Napas cuping hidung tidak ada
Gigi dan mulut : Tidak ada gigi berlubang, mukosa mulut dan bibir basah
Tenggorok : Tonsil T1-T1, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis

26
Leher : tidak ada kelainan
Torak
Paru
Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan kanan (statis dan dinamis),
retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Bronkovesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas atas; RIC 2, kanan; LSD, kiri; 1 jari medial LMCS RIC 5
Auskultasi : Irama teratur, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-),
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : Tidak ada kelainan
Genitalia : A1P1G1
Anggota gerak : Udem (-), akral hangat, CRT < 2 detik

Tanda rangsangan meningeal :


Kaku Kuduk : (-) Kernig : (-)
Laseque : (-) Brudzunski I : (-)
Brudinski II : (-)
Sistem Refleks
1. FISIOLOGIS Kanan Kiri
Biseps ++ ++
Triseps ++ ++
APR ++ ++
KPR ++ ++

27
2. PATOLOGIS -
Hofman-tromner + +
Babinski + +
Chaddoks + +
Oppenheimer + +
Gordon + +
Schaefner + +

Kesan : Hiperrefleks fisiologis, Refleks patologis (+)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
 Darah
(18-7-2019)
Hb : 11,2 gr/dl
Leukosit : 23.600/mm3
Trombosit : 577.000/mm3
Hematokrit : 33%
Na/K/Cl/Ca : 136/4,53/105,6/8,4
GDS : 119 mg/dl
Kesan : leukositosis
(26-8-2017)
Hb : 11,5 gr/dl
Leukosit : 25.690/mm3
Trombosit : 470.000/mm3
Hematokrit : 34%
GDS : 98 mg/dl
Ca : 9,6
Kesan : leukositosis

Diagnosa Kerja : Status Epileptikus


Diagnosa Banding : Ensefalitis, Neuroleptic malignant syndrome

28
Pemeriksaan anjuran :
- Lumbal pungsi
- EEG
- CT Scan kepala
Penatalaksanaan
1. Tatalaksana kegawatdaruratan (IGD)
 O2 2 liter/menit via nasal kanul
 Diazepam supp 10 mg
 PCT infus 200 mg iv
2. Nutrisi dan Medikamentosa
 IVFD KaEn 1 B 750 cc/24 jam (10 tpm)
 Karbamazepin 2x100 mg po
 Asam valproat 2x300 mg po
 Fenitoin 2x 35 mg iv
 Inj, meropenem 3x700 mg iv

FOLLOW UP:

Tanggal Hasil Pemeriksaan Terapi


6 Agustus S/ P/
2019 - Anak saat ini mash kejang, durasi + 1 menit - IVFD KaEn 1 B
- Anak masih sulit berbicara 750 cc/24 jam (10
- Demam (-) tpm)
O/ - Karbamazepin

KU KES TD Nadi RR T 2x100 mg po


- Asam valproat
Sakit CM 100/70 123x/i 27x/i 37,2
2x300 mg po
sedang mmHg
- Fenitoin 2x 35 mg
iv
Mata : konjungtiva tidak anesmis, sklera tidak ikterik - Inj, meropenem
Paru : suara napas bronkovesikular, rhonki dan weezing 3x700 mg iv
tidak ada
29
Jantung : irama jantung teratur, bising tidak ada - Fenobarbital
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) 2x35 mg im
Ekstremitas : akral hangat, udem (-), CRT< 2 detik - Luminal 2x35 mg
Kulit : turgor baik po
A/ Status epileptikus

30
BAB 4
ANALISIS KASUS
Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dengan berat badan 18 kg datang ke IGD RSUD
Achmad Moechtar dengan keluhan utama kejang sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit.
Kejang terjadi secara tiba-tiba dengan durasi lebih dari 30 menit. Kejang terjadi pada kedua
lengan dan tungkai disertai dengan mata yang melotot keatas. Anak mengalami penurunan
kesadaran setelah kejang.
Berdasarkan umurnya, anak berusia 8 tahun dapat dipikirkan kejang lain selain kejang
demam. Karena kejang demam sebagian besar terjadi pada umur 2 bulan - 5 tahun namun tidak
menutup kemungkinan terjadi lebih dari usia tersebut. Sehingga dapat dipikirkan bahwa kejang
yang terjadi tidak terjadi karena faktor pencetus demam.
Berdasarkan definisinya, status epileptikus adalah sebagai keadaan dimana terjadinya dua
atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas
kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Dari anamnesis didapatkan kejang yang terjadi
secara tiba-tiba. Kejang terjadi selama kurang lebih 30 menit. Sehingga hal ini sudah dapat
dikatakan sebagai status epileptikus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital berupa tekanan darah 107/67 mmHg, nadi
105x/menit, nafas 24x/menit, suhu 36,40C. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan hiperrefleks
pada pemeriksaan refleks fisiologis dan adanya refleks patologis. Rangsangan meningeal tidak
didapatkan pada pasien. Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 18 Juli dan 26 Juli 2019
didapatkan leukositosis dengan kadar masing-masing sebesar 23.600/mm3 dan 25.690/mm3.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, didapatkan
keluhan kejang mengarah pada status epileptikus. Status epileptikus dapat disebabkan oleh factor
primer ( idiopatik) atau faktor sekunder (simtomatik). Pada anak ini kemungkinan etiologi
kejang adalah akibat faktor sekunder dengan ditemukannya demam dan leukositosis yang
mengindikasikan adanya infeksi pada anak. Hal ini diperkuat dengan data dari DeLorenzo et al
(2009) yang melaporkan bahwa pada pasien dibawah usia 16 tahun, penyebab paling umum
adalah demam atau infeksi (36%). Hal ini dikonfirmasi dengan adanya demam dengan suhu
38,80C saat admisi dan adanya leukositosis pada hasil pemeriksaan laboratorium.

31
Pada anak tidak terdapat keluhan batuk dan pilek maupun tanda-tanda yang menunjukkan
gejala infeksi sehingga dapat dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan pungsi lumbal
sebagai konfirmasi etiologi kejang tersebut. Pungsi lumbal merupakan salah satu pemeriksaan
penunjang yang dianjurkan pada pasien kejang dengan penurunan kesadaran, perdarahan kulit,
kaku kuduk, infeksi, kejang lama, paresis, peningkatan leukosit.
Pada pemeriksan neurologis ditemukan adanya kelainan neurologis yang megindikasikan
adanya kerusakan pada jaringan otak. Untuk itu diperlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti EEG
untuk mengetahui lokasi kerusakan terjadi. Bila didapatkan kelainan neurologis fokal dan adanya
peningkatan tekanan intracranial dianjurkan pemeriksaan CT-Scan kepala untuk mencegah
terjadinya risiko herniasi.
Pasien sudah tidak kejang lagi karena sudah ditatalaksana kejang yaitu pemberian
diazepam perrektal saat di IGD. Pada 1 Jam SMRS, pasien mengalami demam dan sudah
ditatalaksana dengan pemberian paracetamol infus. Saat pemeriksaan pasien sudah kembali ke
kesadaran normalnya namun pasien merespon dengan lambat.
Setelah pasien stabil diberikan Asam Valproat, hal ini sudah sesuai dengan teori, bahwa
pasien dengan epilepsi ataupun kejang demam diberikan obat maintence. Obat maintence
diberikan dengan dosis rendah. Obat-obat yang dapat diberikan antara lain Karbamazepin, Asam
Valproat, Fenitoin dan Fenobarbital. Pemilihan Asam Valproat sudah benar, bukan hanya karena
asam valproat dapat menatalaksana seluruh jenis kejang namun juga efek samping obat yang
minimal pada anak. Pada obat selain asam valproat dapat mengakibatkan mengantuk pada pasien
yang akan berujung pada prestasi belajar yang menurun. Obat ini diberhentikan secara perlahan-
lahan setelah 2 tahun bebas kejang.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien ini dapat berupa komplikasi primer maupun
sekunder. Komplikasi primer seperti perubahan sistem jaringan neuron, gangguan metabolism
otak, fungsi saraf otonom, dan fungsi jantung seperti hipertensi, hipotensi, gagal jantung dan
aritmia. Seiring berlangsungnya kejang, kebutuhan oksigen tidak terpenuhi yang dapat
menyebabkan hipoksia dan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat
proses inflamasi dan peningkatan vaskularitas, namun pada pasien belum dapat dibuktikan
karena belum dilakukan pembacaan hasil CT-Scan.

32
Komplikasi sekunder yang dapat terjadi akibat penggunaan obat anti konvulsan seperti
golongan benzodiazepine dan fenobarbital dapat menyebabkan hipotensi dan depresi napas. Efek
samping terkait perawatan intensif dan imobilisasi dapat berupa thrombosis vena, pneumonia,
serta emboli paru.
Gejala sisa lebih sering terjadi pada status epileptikus simtomatis. Sekitar 37% menderita
defisit neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual, sekitar 3-56% akan mengalami kejang
yang lama atas status epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko status
epileptikus berulang adalah usia muda, ensefalopati progresif, simtomatis remote dan sindrom
epilepsi. Angka kematian terkait SE pada 30 hari rawatan dilaporkan <10%. Kematian tersebut
lebih disebabkan oleh komorbiditas atau penyakit yang mendasarinya dan bukan akibat langsung
dari status epileptikus.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Rekomendasi penatalaksaan status epileptikus. Unit Kerja dan Koordinasi Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta.2016
2. Goldstein JA, Chung MG. Pediatr Neurocrit care. 2013.
3. Tata Laksana Keadaan Gawat Darurat pada Anak. Universitas Indonesia. 2016
4. Lombardo MC. Gangguan kejang. In: Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi. 6 ed.
Jakarta: EGC; 2005. p. 1158-1161.
5. Standar Pelayanan Medik (SPM) Perdossi. Jakarta: Perdossi 2008
6. Davis LE, King MK, Schultz JL. Fundamentals of neurological disease an introductory
text. New york: Demos medical publishing; 2005.
7. Hughes R. Neurological emergencies. 4 ed. London: BMJ Publishing Group; 2003.
8. PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi. Ed: 3. Jakarta. 2008

34

Anda mungkin juga menyukai