Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pertambangan Emas


Emas adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki simbol
Au (aurum) dengan nomor atom 79. Sebuah logam transisi (trivalen dan
univalen) yang mengkilap dan berwarna kuning. Emas tidak bereaksi
dengan zat kimia lainnya dan melebur pada suhu 1000 (Klein,1985:25).

Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa,


kekerasannya berkisar antara 2,5-3 (skala Mohs), serta berat jenisnya
tergantung pada jenis dan kandungan logam lain yang berpadu dengannya.
Mineral pembawa emas biasanya berasosiasi dengan mineral ikutan (gangue
minerals). Mineral ikutan tersebut umumnya kuarsa, karbonat, turmalin,
flourpar, dan sejumlah kecil mineral non logam. Mineral pembawa emas
juga berasosiasi dengan endapan sulfida yang telah teroksidasi
(Sutardi,2006:99).

Di bumi, umumnya emas ditemukan dalam bentuk logam yang


terdapat dalam retakan-retakan batuan kuarsa dan dalam bentuk mineral.
Emas juga ditemukan dalam bentuk alluvial yang terbentuk karena proses
pelapukan batuan yang mengandung emas (gold bearing rocks)
(Huheey,1993:106).

Emas terbentuk dari proses magmatisme atau pengkonsentrasian di


permukaan. Beberapa endapan terbentuk karena proses metasomatisme,
sedangkan pengkonsentrasian secara mekanis menghasilkan endapan
letakan (placer). Genesa emas dikategorikan menjadi dua yaitu endapan
primer dan endapan plaser (Smith,1990:79).

Bijih emas mengandung perak (10-15%), sedikit tembaga, besi,


logam Bi, Pb, Sn, Zn, dan platinum dalam jumlah kecil. Dalam bijih emas
mensona, kandungan emas sekitar 1,20 gram per ton bijih, tembaga sekitar
0,99% per ton bijih, dan perak 2,32 gram per ton bijih (Adam,2005:90).

3
4

Pada industri, emas diperoleh dengan cara mengisolasi batuan bijih


emas. Batuan bijih emas yang layak dieksploitasi sebagai industri tambang
emas mengandung 25 gram/ton emas. Metode isolasi emas yang saat ini
banyak digunakan untuk keperluan eksploitasi emas skala industri adalah
metode sianida dan metode amalgamasi (Adamson,1997:89).

Pertambangan emas pertama kali dilakukan di daerah alluvial,


dengan metode pengolahan emas cara gravitasi atau cara amalgamasi
dengan air raksa. Sejak tahun 1860 kegiatan pertambangan bawah tanah
dilakukan untuk endapan primer dengan metode sianida. Perkembangan
selanjutnya dengan menggunakan metode flotasi yang dilakukan pada tahun
1930. Sementara pada tahun 1960 diterapkan metode heap leaching untuk
mengolah bijih emas dengan kadar rendah. Metode yang sering dilakukan
untuk ekstraksi (pemisahan) emas adalah metode sianida dan metode
amalgamasi (Lee,1994:386).

Proses sianida terdiri dari dua tahap penting, yaitu proses pelarutan
dan proses pemisahan emas dari larutannya. Pelarut yang biasa digunakan
dalam proses sianidasi adalah NaCN, KCN, Ca(CN)2, atau campuran
ketiganya. Pelarut yang paling sederhana digunakan adalah NaCN, karena
mampu melarutkan emas lebih baik dari pelarut lainnya. Pada tahap kedua
yakni pemisahan logam emas dari larutannya, yang dilakukan dengan
pengendapan dengan menggunakan serbuk Zn (zinc precipitation).
Penggunaan serbuk Zn merupakan salah satu cara yang efektif untuk larutan
yang mengandung konsentrasi emas kecil. Serbuk Zn yang ditambahkan
kedalam larutan akan mengendapkan logam emas dan perak
(Greenwood,1989:245).

Prinsip pengendapan ini berdasarkan deret Clenel, yang disusun


berdasarkan perbedaan urutan aktivitas elektrokimia dari logam-logam
dalam larutan sianida yaitu Mg, Al, Zn, Cu, Au, Ag, Hg, Pb, Fe, dan Pt.
Setiap logam yang berada di sebelah kiri dari ikatan kompleks sianida dapat
mengendapkan logam. Jadi tidak hanya Zn yang dapat mendesak Au dan
Ag, tetapi juga Cu dan Al dapat dipakai. Karena harga logam Cu dan Al
5

lebih mahal sehingga untuk mengekstraksi Au digunakan logam Zn. Proses


pengambilan emas-perak dari larutan dengan menggunakan serbuk Zn
disebut “Proses Merill Crowe” (Bertrand,1985:290).

Sedangkan amalgamasi adalah proses penyelaputan partikel emas


oleh air raksa dan membentuk amalgam (Au-Hg). Amalgam masih
merupakan proses ekstraksi emas yang paling sederhana dan murah.
Amalgamasi merupakan proses yang paling efektif untuk mengekstraksi
bijih emas dengan kadar tinggi dan berukuran > 74 mikron dalam
mendapatkan emas murni yang bebas (free native gold). Proses amalgamasi
merupakan proses kimia fisika, apabila amalgamnya dipanaskan maka akan
terurai menjadi air raksa dan bullion emas. Amalgam dapat terurai dengan
pemanasan di dalam sebuah retort, air raksa akan menguap dan Au-Ag tetap
tertinggal di dalam retort (Kurnia,2011:26).

2.2 Cara Pengolahan Emas


Berbagai cara bisa dilakukan dalam pengolahan emas, mulai dari
cara yang sangat tradisional dengan menggunakan dulang atau alat seperti
kuali yang nantinya akan diisikan tanah atau bebatuan yang berisikan logam
emas lalu digoyang-goyang sehingga nantinya logam emas akan tertinggal
di dasar dulang. Proses ini sangat dipengaruhi oleh massa jenis logam
tersebut. Cara ini biasanya digunakan untuk mengolah emas yang bersifat
aluvial.
Selain itu ada juga yang menggunakan metode sluice box atau
dompeng. Alat ini juga memanfaatkan massa jenis dari logam emas itu
sendiri. Cara kerja dari alat ini yaitu dengan menyedot pasir dan bebatuan
yang ada di dasar sungai lalu mengalirkannya pada jalur yang telah di
lengkapi dengan serat atau karpet, sehingga emas akan mengendap pada
serat atau karpet tersebut.
Adapun metode pengolahan emas yang menggunakan zat kimia
yaitu metode amalgamasi dan metode sianidasi. Dalam penelitian ini akan
dibahas pengolahan emas atau ekstraksi emas dengan metode amalgamasi.
6

Amalgamasi merupakan proses ekstraksi emas dengan cara


mencampurkan bijih emas dengan raksa (Hg). Dalam proses ini akan
terbentuk ikatan senyawa antara emas, perak, dan raksa yang biasa dikenal
sebagai amalgam (Au-Hg). Raksa akan membentuk amalgam dengan logam
lain selain besi dan platina.
Teknik penambangan ini memanfaatkan putaran yang diberikan oleh
drum sehingga batuan akan hancur dan raksa akan mengikat senyawa emas
yang terkandung dalam batuan tersebut. Proses amalgamasi biasanya
digunakan untuk mengekstraksi emas dalam butiran kasar.
Pada proses penambangan dibutuhkan peralatan sederhana seperti
cangkul, sekop, pahat, linggis, palu, genset, ember, timba (golen), tali
tambang, pompa air, blower, kayu penyangga, sepatu tambang, helm
tambang, dan peralatan lainnya. Namun, dalam pengolahan bijih emas
primer dibutuhkan beberapa peralatan penting, yaitu :
1. Tabung amalgamasi (gelundung), sebagai tempat menggerus batuan
sekaligus berfungsi sebagai tempat amalgamasi.
2. Kincir air atau genset yang berfungsi sebagai penggerak tabung
amalgamasi.
3. Batang besi baja atau rod sebagai alat penggerus batuan.
4. Larutan raksa berfungsi untuk mengikat emas.
5. Kapur berfungsi untuk mengatur pH.
6. Air untuk mendapatkan persentase padatan antara 30-60%.
7. Dulang berfungsi sebagai tempat untuk memisahkan larutan raksa yang
telah mengikat emas dan perak (amalgam) dengan sisa hasil pengolahan
(tailing).
8. Emposan yaitu alat untuk membakar amalgam sehingga didapatkan
paduan (alloy) emas dan perak.
Dengan bahan tersebut, proses amalgamasi (ekstraksi) emas dapat
dilakukan. Dalam proses ini dilakukan beberapa tahap untuk mendapatkan
paduan emas dan perak, tahapannya antara lain :
7

1. Sebelum dilakukan amalgamasi hendaknya dilakukan proses kominusi


dan gravitasi konsentrasi, agar mencapai derajat liberasi yang baik
sehingga permukaan emas tersingkap.
2. Pada hasil konsentrat akhir yang diperoleh ditambah raksa (amalgamasi)
yang dilakukan selama + 1 jam.
3. Hasil dari proses ini berupa amalgam basah (pasta) dan tailing. Amalgam
basah kemudian ditampung di dalam suatu tempat yang selanjutnya
didulang untuk pemisahan raksa dengan amalgam.
4. Amalgam yang diperoleh selanjutnya dilakukan pemerasan (squeezing)
dengan menggunakan kain untuk memisahkan raksa dari amalgam
(filtrasi). Raksa yang diperoleh dapat dipakai untuk proses amalgamasi
selanjutnya. Jumlah raksa yang tersisa dalam amalgam tergantung pada
seberapa kuat pemerasan yang dilakukan. Amalgam dengan pemerasan
manual akan mengandung 60-70% emas, sedangkan amalgam yang
disaring dengan alat sntrifugal mengandung emas sampai >80%.
5. Retorting yaitu pembakaran amalgam untuk menguapkan raksa, sehingga
yang tertinggal berupa alloy emas dan perak.
Setelah mendapatkan alloy emas dan perak, selanjutnya dilakukan
pemurnian emas untuk mendapatkan emas murni, langkah ini disebut
dengan tahap refining. tahap refining adalah proses memisahkan emas dan
perak dengan melarutkannya dalam larutan HNO3 atau larutan H2SO4.
Tahap refining ini dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode cepat
dan metode lambat. Pada metode cepat, dilakukan secara hidrometallurgy
yaitu dengan cara melarutkan paduan alloy dalam larutan HNO3 yang
kemudian ditambahkan garam dapur untuk mendapatkan perak, sedangkan
emas yang masih tercampur dengan HNO3 bisa dipisahkan dengan
menyaring larutan karena tidak larut dalam HNO3. Pada metode lambat,
dilakukan secara hidrometallurgy dan electrometallurgy yaitu dengan
menggunakan larutan H2SO4 dan plat tembaga dimasukkan ke dalam
larutan. Paduan alloy juga dimasukkan ke dalam campuran larutan
H2SO4 dan plat tembaga, selanjutnya akan terjadi proses hidrolisis dimana
perak akan larut dan menempel pada plat tembaga (menempel tidak begitu
8

keras/mudah lepas), sedangkan emas mengendap di dasar larutan sehingga


bisa disaring dan dibakar untuk mendapatkan logam emas murni. Langkah
terakhir yaitu dilakukan tahap smelting yaitu peleburan emas dan perak,
sehingga diperoleh logam emas murni berupa padatan.

2.3 Dampak Dari Pertambangan Emas


dampak dari pertambangan emas adalah menghasilkan limbah yang
mengandung merkuri, yang banyak digunakan penambang emas tradisional
atau penambang emas tanpa izin, untuk memproses bijih emas. Biasanya
mereka membuang dan mengalirkan limbah bekas proses pengolahan
pengolahan ke selokan, parit, kolam atau sungai. Merkuri tersebut
selanjutnya berubah menjadi metil merkuri karena proses alamiah. Bila
senyawa metil merkuri masuk ke dalam tubuh manusiamelalui media air,
akan menyebabkan keracunan seperti yang dialami para korban Tragedi
Minamata.
1. Rusaknya batuan permukaan atas yang dikupas untuk mendapatkan
batuan bijih emas
2. Limbah B3 tersebar diarea tambang
Limbah yang mengandung logam berat seperti Merkuri dan Sianida
termasuk dalam kelompok Limbah B3, bercampur dgn lumpur setempat,
ini sangat berbahaya karena dapat memicu berbagai penyakit berat.
3. Rusaknya lingkungan alam akibat Air asam tambang
Air asam tambang - adalah limbah yang menyebabkan kondisi keasaman
tanah, yang berpotensi melarutkan unsur mikro berbahaya dalam tanah –
sehingga berpotensi
meracuni tanaman dan mahluk hidup sekitarnya.
4. Terjadi sengketa sumber air dgn penduduk setempat
Luar biasa tingginya kebutuhan air untuk operasi industri tambang
menyebabkan kebutuhan n air warga setempat dikalahkan, sering mereka
harus rela mencari mata air baru atau harus berhadapan dengan kekerasan
untuk mempertahankan sumber air mereka.
9

Ada 3 jenis limbah utama pertambangan emas :


1. Batuan limbah (overburden) adalah batuan permukaan atas yang dikupas
untuk mendapatkan batuan bijih atau batuan yang mengandung emas.
2. Tailing - bijih emas yang sudah diambil emasnya menggunakan bahan
kimia - diantaranya Merkuri atau Sianida. Tailing berbentuk lumpur yang
mengandung logam berat. Limbah yang mengandung logam berat seperti
Merkuri dan Sianida termasuk dalam kelompok Limbah B3.
3. Air asam tambang - limbah yang menyebabkan kondisi keasaman tanah,
yang berpotensi melarutkan unsur mikro berbahaya dalam tanah -
sehingga berpotensi meracuni tanaman dan mahluk hidup sekitarnya.

2.4 Solusi Dampak Pertambangan Emas


Salah satu dampak negatif pencemaran lingkungan yang paling
ditakutkan dari penambangan emas adalah rembesan limbah cair yang
mengandung logam berat raksa (Hg). Pada proses penambangan emas,
merkury digunakan untuk meningkatan laju pengendapan emas dari lumpur.
Partikel merkury akan membentuk anglomerasi dengan emas sehingga
meningkatkan perolehan emas. Sebenarnya peraturran internasional sudah
tidak lagi memperbolehkan penggunaan merkury untuk pertambangan pada
skala besar.
Logam berat ini sangat berbahaya meskipun pada konsentrasi
rendah. Hg larut dalam air dan ketika terakumulasi di perairan baik sungai
atau laut dapat berdampak langsung membahayakan masyarakat. Studi
kasus menunjukkan pengaruh buruk mercury seperti tremor, kehilangan
kemampuan kognitif, dan gangguan tidur dengan gejala kronis yg jelas
bahkan pada konsentrasi uap mercury yang rendah 0.7–42 μg/m3. Penelitian
menujukkan bahwa jika menghirup langsung mercury selama 4-8 jam pada
konsentrasi 1.1 to 44 mg/m3 menyebabkan sakit dada, batuk, hemoptysis,
pelemahan dan pneumonitis. Pencemaran akut mercury menunjukkan akibat
parah seperti terganggunya system syaraf, seperti halusinasi, insomnia, dan
kecenderungan bunuh diri. Yang lebih membahayakan adalah bahaya laten
10

mercury. Jika masuk ke perairan, mercury akan terakumulasi pada ikan dan
akan memberikan efek langsung seperti yang dijelaskan diatas jika ikan
tersebut dikonsumsi. Oleh karena itu upaya penanganan limbah cair ini
sangat mendesak untuk dilakukan.
Untuk menanggulangi pencemaran lingkungan di kawasan
penambangan harus digunakan teknologi yang telah terbukti dan teruji,
mudah dibuat dan tersedia secara lokal seluruh bahan baku dan material
pembuatannya. Salah satu teknologi klasik yang mumpuni digunakan adalah
menggunakan bioabsorber. Teknik ini salah satunya digunakan untuk
konservasi sungai yang tercemar logam berat pasca revolusi industri di
inggris dan eropa daratan. Teknik biosorpsi ini menggunakann tumbuhan
air-eceng gondok untuk menyerap logam berat yang larut pada air.
Eceng gondok memiliki kapasitas biosorbsi yang besar untuk
berbagai macam logam berat terutama Hg. Logam berat tersebut diabsorbsi
dan dikonversi menjadi building block sehingga tidah lagi membahayakan
lingkungan. Namun demikian proses biosorbsi sangat sulit untuk
menghasilkan air yang bebar logam berat. Selain laju biosorbsi yang lambat,
distribusi eceng gondok juga hanya mengapung dipermukaan sehingga
menyulitkan pengolahan yang homogen. Hal ini bisa diantisipasi dengan
desain embung yang luas namun dangkal atau dengan melibatkan proses
pengolahan lanjut dengqn pengolahan tambahan.

Secara teknis dapat dilakukan dengan membuat embung/waduk kecil


sebelum pembuangan akhir (sungai atau laut). Embung tersebut harud
dijadikan sebagai muara buangan air limbah pertambangan rakyat sehingga
terkonsentrasi pada satu tempat. Pada embung tersebut ditumbuhkan eceng
gondok yang akan mengadsorpsi logam berat yang terlarut didalamnya.
Tentu saja aspek teknis untuk desain detail mengenai waktu tinggal dan
lain-lain mesti disesuaikan dengan keadaan real lapangan dan spesifikasi
desainnya dengan mudah didapatkan di jurnal-jurnal penelitian. Sebagai
pengolahan akhir sebelum dibuang ke pembuangan air dapat digunakan
saringan karbon aktif untuk mengadsorbsi kandungan sisa yang belum dapat
diikat/di absorbsi oleh eceng gondok. Saringan karbon aktif memiliki
11

resolusi/derajat pemisahan yang sangat tinggi sehingga menjamin


kandungan logam berat keluaran nihil atau sangat rendah. Karbon aktif
secara sederhana dapat dengan mudah dibuat dari arang melalui proses
aktifasi. Arang komersial (karbon) dapat dijadikan karbon aktif melalui
aktifasi fisik dengan pemanasan pada temperatur 600-800 °C selama 3-6
jam.

Anda mungkin juga menyukai