Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT


UNIVERSITAS ALKHAIRAAT 12 April 2017
PALU

KELAINAN KULIT PADA GERIATRI

Disusun Oleh :

Fathurrahman, S.Ked (121677714148)


Mei Andani, S.Ked (111677714129)

Pembimbing :
dr. Sukma Anjayani, M.Kes, Sp.KK

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RSU. ANUTAPURA
PALU
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Nama dan stambuk : 1. Fathurrahman, S.Ked (121677714148)

2. Mei Andani, S.Ked (111677714129)

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Universitas : Alkhairaat

Judul Referat : Kelainan Kulit Pada Geriatri

Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

RSU ANUTAPURA PALU

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, 12 April 2017


Pembimbing

dr. Sukma Anjayani, M.Kes, Sp.KK

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ 1

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................... 3

I. PENDAHULUAN ......................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 5
1. PERUBAHAN FISIOLOGI KULIT PADA GERIATRI ............. 5
2. GANGGUAN KULIT PADA GERIATRI ................................... 7
A. PSORIASIS .................................................................................... 12
B. KERATOSIS SEBOROIK ............................................................. 14
C. PEMFIGOID BULLOSA............................................................... 17
D. ULKUS DEKUBITUS ................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 26

3
BAB I

PENDAHULUAN

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serat
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis
dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung
pada lokasi tubuh.1
Warna kulit berbada-beda, dari kulit yang berwarna terang (fair skin),
pirang dan hitam, serta warna hitam kecoklatan pada genitalia orang dewasa.
Demikian pula kulit bervariasi mengenai lembut, tipis dan tebalnya; kulit yang
elastis dan longgar terdapat pada palpebra, bibir dan preputium, kulit yang tebal
dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan orang dewasa. Kulit yang tipis
terdapat pada muka, yang lembut pada leher dan badan, dan yang berambut kasar
terdapat pada kepala.1
Di Amerika Serikat, diperkirakan sejumlah 660 dari 1000 orang usia lanjut
diatas 65 tahun, mempunyai paling tidak satu dermatosis yang cukup serius,
sehingga memerlukan bantuan medis. Lesi kulit yang secara medik tidak
bermakna, namun pada kelompok usia lanjut akan menjadi masalah yang akan
mengurangi kualitas hidup. Kelainan yang bersifat kronis, misalnya pruritus
senilis, ulkus, psoriasis, penyakit kulit berlepuh (pemfigus bulosa),
dermatitis/eksema, disamping infeksi maupun keganasan, merupakan hal-hal yang
akan menjadi beban baik bagi penderita maupun keluarganya. Kondisi usia lanjut
yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk berobat secara rutin ke rumah sakit
atau tempat pelayanan kesehatan yang lain, meyebabkan banyak penyakit kulit
yang tidak dapat dimonitor, yang pada gilirannya akan menjadikan kelainan
tersebut semakin parah, ataupun berubah menjadi suatu keganasan. 1
Meskipun kelompok usia lanjut relatif kurang memperhatikan estetika
penampilan, khususnya kulit, namun perhatian terhadap perawatan, termasuk
perawatan rambut dan kuku tetap diperlukan. 1

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. PERUBAHAN FISIOLOGI KULIT PADA GERIATRI


a. Stratum Korneum
Lapisan paling luar dari epidermis, stratum korneum terutama terdiri dari
timbunan korneosit. Dengan peningkatan usia, jumlah keseluruhan sel-sel dan
lapisan sel secara esensial tetap tidak berubah, tetapi kohesi sel mengalami
penurunan. Waktu perbaikan lapisan sel menjadi lambat, menghasilkan waktu
penyembuhan yang lebih lama. Penurunan kekohesivan sel dalam
hubungannya dengan penggantian sel beresiko terhadap lansia. Pelembab pada
stratum korneum berkurang, tetapi status barier air tampaknya tetap
terpelihara, yang berakibat pada penampilan kulit yang kasar dan kering.
Kekasaran ini menyebabkan pemantulan cahaya menjadi tidak seimbang, yang
menyebabkan kulit kurang bercahaya yang sering dihubungkan dengan
kemudahan dan kesehatan yang baik.1,2

b. Epidermis
Epidermis mengalami perubahan ketebalan sangat sedikit seiring penuaan
sesorang. Namun, terdapat perlambatan dalam proses perbaikan sel, jumlah sel
basal yang lebih sedikit, dan penurunan jumlah dan kedalaman rete ridge. Rete
ritge dibentuk oleh penonjolan epidermal dari lapisan basal yang mengarah
kebawah kedalam dermis. Pendataran dari rete ridge tersebut mengurangi area
kontak antara epidermis dan dermis, menyebabkan mudah terjadi pemisahan
antara lapisan-lapisan kulit ini. Akibatnya adalah proses penyembuhan kulit
yang rusak ini lambat dan merupakan predisposisi infeksi bagi individu
tersebut. Kulit dapat mengelupas akibat penggunaan plester atau zat lain yang
dapat menimbulkan gesekan. Oleh karena itu, penting untuk menggunakan
suatu perekat yang tidak lebih kuat dari taut epidermal-dermal itu sendiri
untuk mencegah atau meminimalkan cedera akibat penggunaan plester.1,2

5
Terjadi penurunan jumlah melanosit seiring penuaan, dan sel yang tersisa
mungkin tidak dapat berfungsi secara normal. Rambut mungkin menjadi
beruban, kulit mungkin mengalami pigmentasi yang tidak merata, dan
perlindungan pigmen dari sinar ultraviolet (UV) mungkin menurun.1

c. Dermis
Pada saat individu mengalami penuaan, volume dermal mengalami
penurunan, dermis menjadi tipis, dan jumlah sel biasanya menurun.
Konsekuensi fisiologis dari perubahan ini termasuk penundaan atau
penekanan timbulnya penyakit pada kulit, penutupan dan penyembuhan luka
lambat, penurunan termoregulasi, penurunan respon inflamasi, dan penurunan
absorbsi kulit terhadap zat-zat topikal.1
Perubahan degeneratif dalam jaringan elastis dimulai sekitar usia 30 tahun.
Serabut elastis dan jaringan kolagen secara bertahap dihancurkan oleh enzim-
enzim, menghasilkan perubahan dalam penglihatan karena adanya kantung
dan pengeriputan pada daerah sekitar mata. Pada saat elastisitas menurun,
dermis meningkatkan kekuatan peregangannya; hasilnya adalah lebih sedikit
‘’melentur’’ ketika kulit mengalami tekanan. Organisasi kolagen menjadi
tidak teratur, dan turgor kulit hilang.1
Vaskularitas juga menurun, dengan lebih sedikit pembuluh darah kecil
yang umumnya terdapat pada dermis yang memiliki vaskuler sangat tinggi.
Dermis berisi lebih sedikit fibroblast, makrofag, dan sel batang. Secara visual
kulit tampak pucat dan kurang mampu untuk melakukan termoregulasi. Lansia
oleh karena hal tersebut beresiko tinggi untuk mengalami hipertermia atau
hipotermia.1

d. Subkutis
Secara umum, lapisan jaringan subkutan mengalami penipisan seiring
dengan peningkatan usia. Hal ini turut berperan lebih lanjut terhadap
kelemahan kulit dan penampilan kulit yang kendur/menggantung diatas tulang
rangka. Penurunan lapisan lemak terutama dapat dilihat secara jelas pada

6
wajah,tangan, kaki, dan betis, pembuluh darah menjadi lebih cenderung untuk
mengalami trauma. Deposit lemak cenderung untuk meningkatkan pada
abdomen baik pada wanita dan pria, seperti halnya bagian paha pada wanita.
Distribusi kembali dan penurunan lemak tubuh lebih lanjut menimbulkan
gangguan fungsi perlindungan dari kulit tersebut.1

2. KELAINAN KULIT PADA GERIATRI

Proses penuaan menyebabkan penurunan fungsi organ, termasuk kulit,


dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan pada usia lanjut. Pruritus
adalah keluhan yang sering ditemukan pada usia lanjut. Pada suatu studi
terhadap 4099 pasien geriatri di Turki, pruritus termasuk dalam lima penyakit
kulit terbanyak dan sering dihubungkan dengan kulit kering. Di Divisi
Geriatri Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta tahun 2008- 2013, xerosis cutis dan pruritus termasuk dalam
sepuluh penyakit terbanyak.1,2,3
Insidens dan keparahan kulit kering meningkat dengan bertambahnya
usia. Predileksi tersering adalah di ekstremitas, tetapi juga dapat ditemukan di
batang tubuh dan wajah. Gambaran klinisnya adalah kulit tampak kasar
dengan tekstur kulit lebih jelas serta tampak bersisik, disertai keluhan gatal.
Jika memberat, dapat pula tampak kemerahan dan terjadi fisura. Sebagai
respons terhadap gatal, pasien melakukan garukan yang dapat menyebabkan
komplikasi berupa infeksi sekunder, ulserasi, dan luka kronik. Pruritus kronik
juga menyebabkan gangguan tidur yang dapat menyebabkan depresi dan
penurunan kualitas hidup.1,2,3
Kulit berperan sebagai sawar antara lingkungan internal dan eksternal.
Fungsi lain kulit antara lain menjaga homeostasis, menjaga keseimbangan air,
elektrolit, dan protein, pengaturan panas tubuh, persepsi sensorik, serta
perlindungan imunologi.1,2,3
Kulit manusia adalah indikator penuaan yang paling mudah diamati.
Pada kulit usia lanjut terjadi penipisan epidermis, penurunan suplai darah,

7
cairan, dan nutrisi ke kulit, melambatnya penyembuhan luka dan respons
imun, terganggunya termoregulasi dan berkurangnya jumlah kelenjar minyak
dan keringat. Di tingkat seluler, terjadi penurunan produksi lipid dan natural
oisturizing factor di stratum korneum. Selain perubahan tersebut, pada usia
lanjut sering terdapat penyakit-penyakit komorbid yang mempengaruhi fungsi
kulit.1,2,3

Gambar : Perbandingan kulit pada dewasa muda dan usia lanjut3

Kulit kering merupakan keadaan stratum korneum yang kurang lembap


akibat penurunan kandungan air. Kulit tampak kasar, pecah-pecah, bersisik,
dan gatal. Penyebab kulit kering tidak dipahami dengan paripurna, sedangkan
perubahan fisiologis kulit dan pengaruh lingkungan diyakini menyebabkan
kulit kering pada usia lanjut.1,2,3
Perubahan penting di epidermis terjadi pada lapisan paling superfisial,
yaitu stratum korneum. Stratum korneum terdiri atas korneosit dan substansi
interseluler yang tersusun seperti “batu bata dan semen”. Lipid interseluler
yang berperan pada pembentukan intercellular lamellar bilayer antara lain
sfingolipid, sterol bebas, dan fosfolipid. Lipid ini penting untuk
memerangkap air dan mencegah kehilangan air berlebih. Pada usia lanjut,

8
lipid interseluler berkurang, mengakibatkan fungsi sawar terganggu sehingga
meningkatkan kerentanan usia lanjut terhadap bahan-bahan seperti pelarut
dan deterjen.1,2,3
Perubahan lain pada stratum korneum antara lain bertambahnya ukuran
dan akumulasi korneosit, berkurangnya kadar natural moisturizing factor
(NMF) yang cukup signifikan, serta terganggunya proses deskuamasi akibat
melambatnya turnover sel. NMF terbentuk dari asam amino, turunan asam
amino, dan berbagai garam yang memungkinkan stratum korneum mengikat
dan mempertahankan kadar air yang cukup. Pada deskuamasi terjadi
korneodesmolisis, yaitu lepas atau rusaknya korneodesmosom; proses ini
memerlukan air bebas, sedangkan lipid interseluler berfungsi menahan air.
Bila hidrasi kulit dan lipid interseluler tidak cukup, proses deskuamasi akan
terhambat karena komponen yang berperan pada proses deskuamasi adalah
korneodesmosom dan lipid, sehingga akan menyebabkan kulit kering.1,2,3
Di lapisan kulit dermis pada usia lanjut, baik jumlah maupun
kemampuan fibroblas untuk menghasilkan kolagen berkurang. Dermis
menipis 20% dan kulit kehilangan kemampuannya untuk meregang. Ukuran
dan produksi kelenjar keringat dan kelenjar minyak menurun, jumlah
pembuluh darah juga berkurang, sehingga perpindahan air dari dermis ke
epidermis pun berkurang.1,2,3
Faktor internal lain adalah penyakit komorbid seperti diabetes melitus,
gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik, hipotiroidisme, keganasan, dan
infeksi human immunode_ciency virus (HIV). Riwayat konsumsi obat juga
perlu diperhatikan; obat-obatan seperti agen antihipertensi, diuretik, obat
hiperkolesterol, antiandrogen, antiepilepsi, bleomisin, dan simetidin dapat
berkontribusi pada kulit kering. 1,2,3
Selain faktor internal, faktor lingkungan dan gaya hidup juga
mempengaruhi kerusakan kulit; antara lain paparan sinar matahari,
penggunaan air conditioner, perubahan musim, kebiasaan mandi atau
berendam air hangat, penggunaan sabun yang iritatif, dan asupan makanan
dan minuman yang kurang.1,2,3

9
Kulit kering cenderung mudah meradang, pecah-pecah (fisura), dan
dermatitis. Lebih lanjut, rasa gatal membuat penderitanya menggaruk. Akibat
garukan, terjadi kerusakan kulit yang lebih berat berupa erosi, ekskoriasi,
serta inflamasi yang berpotensi mencetuskan infeksi bakteri sekunder. Rasa
gatal juga menurunkan kualitas hidup karena mengganggu tidur dan dapat
menimbulkan depresi.1

Patofisiologi Kelainan Kulit Pada Geriatri


Kelainan Patofisiologi

Benign neoplasma

Keratosis seboroik Hilangnya fokal epidermal homeostasis yang


mengarah ke peningkatan endothelin-1

Karsinoma sel Squamous Kerusakan DNA yang diinduksi oleh


dan keratosis aktinik Ultraviolet

Karsinoma sel basal Penurunan kapasitas memperbaiki DNA


yang kerusakan

Melanoma malignan Kerusakan DNA terkait usia kumulatif

Karsinoma sel merkel Penurunan kapasitas memperbaiki kerusakan


DNA akibat virus polyoma

Psoriasis Perubahan lingkungan pasien

Dermatitis asteatotik Gangguan maturasi epidermal (penurunan


produksi filaggrin dan / atau profil lipid
diubah)
Penurunan kadar air di lapisan stratum
korneum dan melambatnya transit
corneocyte

10
Pruritus Penetrasi iritasi melalui kerusakan stratum
korneum

Perubahan ambang sensorik (neuropati)

gangguan metabolisme

gangguan endokrin

neoplasma ganas

reaksi obat yang merugikan

infestasi parasit

Infeksi Dikompromikan kesehatan kulit lokal


predisposisi untuk pertumbuhan infeksi
organisme
Umur-terkait penurunan fungsi kekebalan
tubuh
gangguan sistemik yang mendasari terkait
dengan fungsi kekebalan tubuh menurun

Ulkus Gangguan kemampuan penyembuhan luka


(penurunan kadar faktor pertumbuhan,
penurunan kapasitas proliferasi seluler,
peningkatan fibrin perivaskular deposisi)

Penurunan mobilitas

Gangguan sistemik yang mendasari

Dikompromikan kesehatan kulit lokal (stasis


vena, arteriosklerosis, hipertensi)

Pemfigoid Bulosa Penebalan epidermal junction, peningkatan


sirkulasi autoantibodi

Reaksi fotosensitivitas Pengobatan cicin yang tidak tersaturasi

11
A. PSORIASIS
Psoriasis adalah penyakit autoimun, bersifat kronik dan residif, ditandai
dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang
kasar, berlapis-lapis dan transparan serta adanya keluhan gatal juga nyeri
terutama jika mengenai telapak tangan, telapak kaki dan daerah
intertriginosa.4,5
Penyebab penyakit psoriasis belum diketahui meskipun telah dilakukan
penelitian dasar dan klinis secara intensif. Diduga merupakan interaksi antara
faktor genetik, sistem imunitas, dan lingkungan. Sedangkan tiga komponen
patogenesis dari psoriasis adalah infiltrasi sel-sel radang pada dermis,
hiperplasia epidermis, dan diferensiasi keratinosit yang abnormal. 4,5
Gambaran klinis psoriasis adalah plak eritematosa sirkumskrip dengan
skuama putih keperakan diatasnya dan tanda Auspitz. Warna plak dapat
bervariasi dari kemerahan dengan skuama minimal, plak putih dengan
skuama tebal hingga putih keabuan tergantung pada ketebalan skuama. Pada
umumnya lesi psoriasis adalah simetris. 4,5

Psoriasis Vulgaris Merupakan bentuk yang paling umum dari psoriasis dan
sering ditemukan (80%). Psoriasis ini tampak berupa plak yang berbentuk
sirkumskrip. Jumlah lesi pada psoriasis vulgaris dapat bervariasi dari satu
hingga beberapa dengan ukuran mulai 0,5 cm hingga 30 cm atau lebih.
Lokasi psoriasis vulgaris yang paling sering dijumpai adalah ekstensor siku,
lutut, sakrum dan scalp. Selain lokasi tersebut diatas, psoriasis ini dapat juga
timbul di lokasi lain. 4,5

12
Gambar: Lokasi predileksi pada psoriasis4

13
Diketahui bahwa pada psoriasis terjadi peradangan kronis akibat aktivasi
sel T. Bila terjadi lesi plak yang tebal dipilih kortikosteroid dengan potensi
kuat seperti: Fluorinate, triamcinolone 0,1% dan flucinolone topikal efektif
untuk kebanyakan kasus psoriasis pada orang tua. Preparat hidrokortison
1%-2,5% digunakan bila lesi sudah menipis. 4,5
Bila keadaan berat dan terjadi eritrodermi serta kelainan sendi,
sitostatik yang biasa digunakan ialah metotreksat (MTX). Obat ini sering
digunakan Psoriasis Artritis dengan lesi kulit, dan Psoriasis Eritroderma
yang sukar terkontrol. Bila lesi membaik dosis diturunkan secara perlahan.
Kerja metotreksat adalah menghambat sintesis DNA dengan cara
menghambat dihidrofolat reduktase dan juga hepatotoksik maka perlu
dimonitor fungsi hatinya. Karena bersifat menekan mitosis secara umum,
hati-hati juga terhadap efek supresi terhadap sumsum tulang. 4,5
Pemberian kortikosteroid sistemik masih kontroversial kecuali yang
bentuk eritrodermi, psoriasis artritis dan psoriasis pustulosa Tipe
Zumbusch. Dimulai dengan prednison dosis rendah 30-60 mg (1-2
mg/kgBB/hari), atau steroid lain dengan dosis ekivalen. Setelah membaik,
dosis diturunkan perlahan-lahan, kemudian diberi dosis pemeliharaan.
Penghentian obat secara mendadak akan menyebabkan kekambuhan. 4,5

B. KERATOSIS SEBOROIK
Keratosis seboroik adalah suatu tumor jinak, berpigmen, lebih sering
ditemukan pada orang tua yang berusia 50 tahun ke atas dan terdiri dari
keratinosit epidermis. Keratosis seboroik umumnya berbentuk papul
verukosa, stuck-on, asimtomatik atau keluhan gatal. 1,6
Ada beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya keratosis seboroik
yaitu disebutkan bahwa penyakit ini berhubungan dengan faktor genetik
dengan pola penurunan secara dominan autosomal.1,6
Paparan sinar matahari (sinar ultraviolet) secara kronis yang menjadi
penyebabnya, karena keratosis seboroik biasanya terdapat pada bagian kulit

14
yang paling sering terpajan sinar matahari, dan sebagian tipe keratosis
seboroik dapat terbentuk akibat radiasi sinar matahari pada kulit manusia.1,6
Ada pula yang mengatakan diduga infeksi virus berdasarkan gambaran
klinis kutilnya. DNA dari human papiloma virus didapat pada 40 kasus
keratosis seboroik genital dan 42 dari 55 kasus keratosis seboroik non genital
(76%).1,6
Munculnya keratosis seboroik biasanya di mulai dengan lesi datar,
berwarna coklat muda, berbatas tegas, dengan permukaan seperti beludru
sampai verukosa halus, diameter lesi bervariasi antara beberapa mm sampai 3
cm. Lama kelamaan lesi akan menebal, dan member gambaran yang khas
yaitu menempel (stuck on) pada permukaan kulit. Lesi yang telah
berkembang akan mengalami pigmentasi yang gelap dan tertutup oleh
skuama berminyak. Predileksi tumor terutama pada daerah seboroika yaitu :
dada, punggung, perut, wajah dan leher. 1,6

Gambar 6 : Gambaran keratosis seboroik pada pemeriksaan fisis

15
Gambar 7 : Gambaran keratosis seboroik pada pemeriksaan fisis

Pengobatan ammonium laktat dan asam alfa hidroksi telah dilaporkan


dapat mengurangi bertambah beratnya penyakit. Lesi superficial dapat
ditangani dengan baik menggunakan asam triklorasetik. Pemberian obat
topical krim tazarotene 0,1% selama 16 minggu memberikan hasil yang
baik pada 50% pasien.1,6
Keratosis seboroik yang simptomatis dan mengganggu secara
kosmetik membutuhkan penanganan. Destruksi metode krioterapi,
elektrodesisasi, yang diikuti kuret, lalu desisi atau terapi laser telah
menghasilan terapi yang efektif. Menghilangkan lesi yang kecil melalui
kuret menghasilkan permukaan yang rata yang akan tertutupi oleh
epidermis disekitarnya dalam seminggu. Bedah listrik (electrosurgery)
adalah suatu cara pembedahan atau tindakandengan perantaraan panas
yang ditimbulkan arus listrik bolak-balik berfrekuensi tinggi yang
terkontrol untuk menghasilkan destruksi jaringan secara selektif agar
jaringan parut yang terbentuk cukup estetis den aman baik bagi dokter
maupun penderita. Tehnik yang dapat dilakukan dalam bedah listrik
adalah : elektrofulgurasi, elektrodesikasi, elektrokoagulasi, elektroseksi
atau elektrotomi, elektrolisis den elektrokauter.1,6

16
C. PEMFIGOID BULLOSA

Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai
oleh adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada
orang tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang
melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi. Namun
presentasinya dapat polimorfik dan dapat terjadi kesalahan diagnosa, terutama
pada tahap awal penyakit atau di varian atipikal, di mana bula biasanya tidak
ada. 1,7
PB adalah contoh dari penyakit yang dimediasi imun yang dikaitkan
dengan respon humoral dan seluler yang ditandai oleh dua self-antigen:
antigen PB 180 (PB180, PBAG2 atau tipe kolagen XVII) dan antigen PB 230
(PB230 atau PBAG1.1,7
Etiologi PB adalah autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi produksi
autoantibodi pada Pemfigoid Bulosa masih belum diketahui, namun beberapa
faktor dikaitkan dengan terjadinya PB. Sebagian kecil kasus mungkin dipicu
obat seperti furosemide, sulphasalazine, penicillamine dan captopril.1,7
Fase Non Bulosa merupakan manifestasi kulit PB bisa polimorfik. Dalam
fase prodromal penyakit nonbulosa, tanda dan gejala sering tidak spesifik,
dengan rasa gatal ringan sampai parah atau dalam hubungannya dengan
eksema, papul dan atau urtikaria, ekskoriasi yang dapat bertahan selama
beberapa minggu atau bulan. Gejala nonspesifik ini bisa ditetapkan sebagai
satu-satunya tanda-tanda penyakit.1,7
Fase Bulosa Tahap bulosa dari PB ditandai oleh perkembangan vesikel
dan bula pada kulit normal ataupun eritematosa yang tampak bersama-sama
dengan urtikaria dan infiltrat papul dan plak yang kadang-kadang membentuk
pola melingkar. Bula tampak tegang, diameter 1 – 4 cm, berisi cairan bening,
dan dapat bertahan selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan
berkrusta. Lesi seringkali memiliki pola distribusi simetris, dan dominan pada
aspek lentur anggota badan dan tungkai bawah, termasuk perut. Perubahan
post inflamasi memberi gambaran hiper- dan hipopigmentasi serta, yang lebih

17
jarang, miliar. Keterlibatan mukosa mulut diamati pada 10-30% pasien.
Daerah mukosa hidung mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih
jarang terpengaruh. Pada sekitar 50% pasien, didapatkan eosinofilia darah
perifer.1,7
Lesi kulit eritem, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului
pembentukan bula. Bula besar, tegang, oval atau bulat; mungkin timbul dalam
kulit normal atau yang eritema dan mengandung cairan serosa atau hemoragik.
Erupsi dapat bersifat lokal maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga
berkelompok dalam pola serpiginosa dan arciform.1,7
Tempat Predileksi aksila; paha bagian medial, perut, fleksor lengan
bawah, tungkai bawah.1,7

Gambar 8 : Pemfigoid Bulosa. Bula tegang diatas kulit yang eritema.

18
Gambar 9 : Pemfigoid Bulosa.
Pengobatan terdiri dari prednisone sistemik, sendiri atau dalam kombinasi
dengan agen lain yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil atau tetracycline.
Obat-obat ini biasanya dimulai secara bersamaan, mengikuti penurunan secara
bertahap dari prednison dan agen steroid setelah remisi klinis tercapai. Kasus
ringan mungkin hanya memerlukan kortikosteroid topikal. Methrotrexate
mungkin digunakan pada pasien dengan penyakit berat yang tidak dapat
bertoleransi terhadap prednison. Dosis prednisolon 40-60 mg sehari, jika telah
tampak perbaikan dosis di turunkan perlahan-lahan. Sebagian kasus dapat
disembuhkan dengan kortikosteroid saja. 1,7
Terapi steroid sistemik biasanya diperlukan, tetapi tidak seperti Pemfigus,
dimungkinkan untuk menghentikan terapi ini setelah 2 sampai 3 tahun. Dosis
awal 60-100 mg prednisolon atau setara harus secara bertahap dikurangi ke
jumlah minimum yang akan mengendalikan penyakit ini. Azatioprine juga
berpotensi memberikan efek samping yang buruk seperti prednison. Suatu
kajian menjelaskan jika glukokortikoid sistemik diberikan pada penderita
dengan dosis tinggi tanpa dilakukan tapering selama 4 minggu, kombinasi
dengan azatioprine kurang memberi manfaat tetapi sebaliknya penderita harus
menanggung efek samping obat tersebut. 1,7
Pada penderita lanjut usia dengan gejala yang tidak progresif, obat
imunosupresif ini bisa digunakan pada terapi awal tanpa dikombinasikan

19
dengan prednison. Glukokortikoid sistemik biasanya diperlukan pada
penderita dengan gejala yang berat dan progresif supaya penderita bisa
ditangani dengan cepat. Efek pemakaian glukokortikoid sistemik sangat cepat
yaitu hanya beberapa hari.1,7

D. ULKUS DEKUBITUS

Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan


aliran darah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol,
dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips,
pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka panjang. 1,8,9
Terbentuknya ulkus dekubitus dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi
tekanan yang menyebabkan iskemik adalah penyebab utama. Setiap jaringan
mempunyai kemampuan untuk mengatasi terjadinya iskemik akibat tekanan,
tetapi tekanan yang lama dan melewati batas pengisian kapiler akan
menyebakan kerusakan jaringan yang menetap. 1,8,9
Setiap bagian tubuh dapat terkena ulkus dekubitus, tetapi bagian tubuh
yang paling sering terjadi ulkus dekubitus adalah daerah tekanan dan
penonjolan tulang. Bagian tubuh yang sering terkena ulkus dekubitus adalah
tuberositas ischi (30%)i, trochanter mayor (20%), sacrum (15%), tumit
(10%), lutut, maleolus, siku, jari kaki, scapulae dan processus spinosus
vertebrae. Tingginya frekuensi tersebut tergantung pada posisi penderita.1,8,9

20
Gambar . Area terbentuknya Ulkus Dekubitus pada Posisi Telentang

Gejala klinik yang tampak oleh penderita, biasanya berupa kulit yang
kemerahan sampai terbentuknya suatu ulkus. Kerusakan yang terjadi dapat
meliputi dermis, epidermis, jaringan otot sampai tulang. Berdasarkan gejala
klinis, National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) mengklasifikasikan
ulkus dekubitus menjadi empat stadium, yakni : 1,8,9

21
1. Stadium 1
Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema pada kulit.
Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri. Stadium ini umumnya
reversibel dan dapat sembuh dalam 5 - 10 hari.

2. Stadium 2
Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke jaringan
adiposa.Terlihat eritema dan indurasi. Stadium ini dapat sembuh dalam 10 - 15
hari.

3. Stadium 3
Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis, dan otot sudah mulai
terganggu dengan adanya edema, inflamasi, infeksi dan hilangnya struktur
fibril. Tepi ulkus tidak teratur dan terlihat hiper atau hipopigmentasi dengan
fibrosis. Kadang-kadang terdapat anemia dan infeksi sistemik. Biasanya
sembuh dalam 3-8 minggu.

22
4. Stadium 4
Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang serta sendi.
Dapat terjadi artritis septik atau osteomielitis dan sering disertai anemia. Dapat
sembuh dalam 3 - 6 bulan.

Penatalaksanaan ulkus dekubitus dengan nonmedikamentosa adalah


meliputi pengaturan diet dan rehabilitasi medik. Seperti telah disebutkan di
atas, nutrisi adalah faktor risiko untuk terjadinya ulkus dekubitus.1,8,9
Pemberian diet yang tinggi kalori, protein, vitamin dan mineral akan
meningkatkan status gizi penderita ulkus dekubitus. Meningkatnya status gizi
penderita ini akan memperbaik sistem imun penderita sehingga mempercepat
penyembuha ulkus dekubitus. 1,8,9
Penatalaksanaan ulkus dekubitus dengan metode medikamentosa meliputi:
1. Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus dan sekitarnya
Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan luka lebih cepat
dan baik. Untuk hal tersebut dapat dilakukan kompres, pencucian, pembilasan,
pengeringan dan pemberian bahan-bahan topikal seperti larutan NaC1 0,9%,
larutan H202 3% dan NaC10,9%, larutan plasma dan larutan Burowi serta
larutan antiseptik lainnya. 1,8,9
Beberapa kategori untuk kompres dan topikal yang dapat digunakan
adalah antimikrobial, moisturizer, emollient, topical circulatory stimulant,
kompres semipermiabel, kompres kalsium alginate, kompres hidrokoloid dan
hidrogel, penyerap eksudat, kompres dari basah/lembab ke kering dan ezim
dan cairan atau gel pembentuk film.

23
2. Mengangkat jaringan nekrotik.

Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat aliran bebas dari
bahan yang terinfeksi dan karenanya juga menghambat pembentukan jaringan
granulasi dan epitelisasi. Oleh karena itu pengangkatan jaringan nekrotik akan
mempercepat proses penyembuhan ulkus.1,8,9

3. Menurunkan dan mengatasi infeksi.

Perlu pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Antibiotika sistemik dapat


diberikan bila penderita mengalami sepsis dan selulitis. Ulkus yang terinfeksi
harus dibersihkan beberapa kali sehari dengan larutan antiseptik seperti larutan
H202 3%, povidon iodin 1%, seng sulfat 0,5%. Radiasi ultraviolet (terutama
UVB) mempunyai efek bakterisidal.1,8,9
Antibiotik sistemik kurang dianjurkan untuk pengobatan ulkus dekubitus
karena akan menimbulkan resistensi. Antibiotik sistemik yang dapat
diberikan meliputi gologan penicillins, cephalosporins, aminoglycosides,
fluoroquinolones, dan sulfonamides. Antibiotik lainnya yang dapat
digunakan adalah clindamycin, metronidazole dan trimethoprim.1,8,9

4. Merangsang dan membantu pembentukan jaringan granulasi dan


epitelisasi. 1,8,9

Untuk mempercepat pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi pada


ulkus dekubitus sehingga mempercepat penyembuhan dapat diberikan :
Bahan-bahan topikal misalnya: salep asam salisilat 2%, preparat seng (ZnO,
ZnSO4). Oksigen hiperbarik; selain mempunyai efek bakteriostatik terhadap
sejumlah bakteri, juga mempunyai efek proliferatif epitel, menambah jaringan
granulasi dan memperbaiki keadaan vaskular. 1,8,9

5. Tindakan bedah
Tindakan bedah bertujuan untuk membersihkan ulkus dan mempercepat
penyembuhan dan penutupan ulkus, terutama ulkus dekubitus stadium III &

24
IV dan karenanya sering dilakukan tandur kulit, myocutaneous flap, skin graft
serta intervensi lainnya terhadap ulkus.1,8,9
Intervensi terbaru terhadap ulkus dekubitus adalah Negative Pressure
Wound Therapy, yang merupakan aplikasi tekanan negatif topikal pada luka.
Teknik ini menggunakan busa yang ditempatkan pada rongga ulkus yang
dibungkus oleh sebuah lapisan yang kedap udara. Dengan demikian, eksudat
dapat dikeluarkan dan material infeksi ditambahkan untuk membantu tubuh
membentuk jaringan granulasi dan membentuk kulit baru. Terapi ini harus
dievaluasi setiap dua minggu untuk menetukan terapi selanjutnya. 1,8,9

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff K, Goldsmith L.A, Katz S.I, Gilchrest B.A, Paller A.S , Leffel D.J.
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th Ed. MCgraw-hill Medical
Aging of Skin: USA; 2013.
2. Bianti M. Kulit Kering Pada Usia Lanjut. Journal IDI Akreditasi PB IDI-2
SKP. CDK-245/Vol. 43 no. 10 : 2016 Bianti M. Kulit Kering Pada Usia
Lanjut. Journal IDI Akreditasi PB IDI-2 SKP. CDK-245/Vol. 43 no. 10 :
2016
3. Wey S.J, Chen D.Y. Common Cutaneous Disorders in the Elderly. Journal of
Clinical Gerontology & Geriatrics. Taiwan ; 2010.
4. Wolff K, Goldsmith L.A, Katz S.I, Gilchrest B.A, Paller A.S , Leffel D.J.
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th Ed. MCgraw-hill Medical
Psoriasis: USA; 2013
5. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology. 3thEd. Blackwell
Publishing. USA ; 2002
6. Wolff K, Goldsmith L.A, Katz S.I, Gilchrest B.A, Paller A.S , Leffel D.J.
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th Ed. MCgraw-hill Medical
Seborrheic Keratosis: USA; 2013
7. Wolff K, Goldsmith L.A, Katz S.I, Gilchrest B.A, Paller A.S , Leffel D.J.
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th Ed. MCgraw-hill Medical
Bullous Pemphigoid: USA; 2013
8. Wolff K, Goldsmith L.A, Katz S.I, Gilchrest B.A, Paller A.S , Leffel D.J.
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th Ed. MCgraw-hill Medical
Decubitus (Pressure) Ulcers: USA; 2013
9. Wolff K, Goldsmith L.A, Katz S.I, Gilchrest B.A, Paller A.S , Leffel D.J.
Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis Of Clinical Dermatology. 7th Ed.
MCgraw-hill Medical : USA; 2009.
10. Buxton PK. ABC of Dermatology. 4thEd. BMJ Books : London ; 2003.
11. Waller Richard et all. Clinical Dermatology. 5 Edition. UK. 2015.

26

Anda mungkin juga menyukai