Anda di halaman 1dari 28

PRE-PLANNING PELAKSANAAN KEGIATAN PENYULUHAN TENTANG

STIGMA DAN DISKRIMINASI PADA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWADI


RW 02 KELURAHAN TANGKERANG LABUAI KECAMATAN BUKIT RAYA
KOTA PEKANBARU TAHUN 2019

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan suatu hal yang kompleks, dimana keadaan ini harus
dimiliki seseorang sehingga seseorang tersebut dapatdikatakan sehat
jiwa.Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1996, yang dimaksud dengan
kesehatan jiwa adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai
unsur kesehatan, yang dalam penjelasanya disebutkan bahwa kesehatan jiwa
adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, dan
emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras
dengan keadaan orang lain (Efendy & Makhfudi, 2009).
Setiap tahun jumlah ODMK terus bertambah di seluruh dunia. Data World
Health Organization (WHO) pada 2001 menyebutkan jumlah ODMK di dunia
mencapai sekitar 450 juta orang. Di Indonesia, berdasarkan Data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan prevalensi gangguan mental
emosional, seperti gangguan kecemasan dan depresi, sebesar 11,6% dari populasi
orang dewasa. Artinya, dengan jumlah populasi orang dewasa di Indonesia lebih
kurang 150 juta, maka terdapat sekitar 17,4 juta penduduk dewasa menjadi
ODMK. Menurut data Kelompok Kerja Advokasi Kesehatan Jiwa Universitas
Indonesia, pada 2007 terdapat 12 persensekitar 24 juta dari total penduduk
Indonesia yang mencapai sekitar 200 jutadari total penduduk Indonesia
mengalami gangguan jiwa berat, sedang, dan ringan. Sedangkan menurut Profesor
Dadang Hawari, jumlah ODMK di Indonesia mencapai sekitar 50 juta
orang(Komnas HAM, Jurnal HAM vol. 5, 2009).
Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang sangat penting dan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh

1
dari seluruh jajaran lintas sektor Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah,
serta perhatian dari seluruh masyarakat. Beban penyakit atau burden of disease
penyakit jiwa di Tanah Air masih cukup besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental
emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah
sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan,
prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah 1,7 per 1000
penduduk atau sekitar 400.000 orang. Berdasarkan jumlah tersebut, ternyata
14,3% di antaranya atau sekira 57.000 orang pernah atau sedang dipasung. Angka
pemasungan di pedesaan adalah sebesar 18,2%. Angka ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan angka di perkotaan, yaitu sebesar 10,7% (Depkes.com)
Melihat buruknya dampak dari stigma masyarakat terhadap ODGJ sehingga membuat
pemerintah merasa perlu melakukan upaya-upaya untuk mengurangi stigma tersebut.
Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah yaitu dengan memberikan promosi
mengenai gangguan jiwa dan membuat Undang-undang Kesehatan Jiwa. Pada akhir
tahun 2014, Menteri Kesehatan Kabinet Bersatu II Nafsiah Mboi juga mulai
memublikasikan empat seruan stop stigma dan diskriminasi terhadap ODGJ. Salah
satu seruan stop stigma dan diskriminasi yaitu dengan memberikan akses kesehatan
pada ODGJ, seperti akses pemeriksaan, 3pengobatan, rehabilitasi, cara berinteraksi
dengan masyarakat pasca pengobatan, dan memberi pertolongan pertama saat
kambuh (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Sayangnya hingga saat
ini, bentuk seruan tersebut belum mendapatkan tanggapan yang sesuai dengan
harapan.ODGJ tidak hanya mendapatkan stigma dari orang lain, tetapi ODGJ juga
mendapatkan stigma dari dirinya sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh
kesalahpahaman orang yang memiliki potensi gangguan jiwa dan ODGJ terhadap
gangguan yang dialami. Biasanya diawali saat seseorang mulai menunjukkan gejala
gangguan jiwa cenderung akan menolak untuk berobat kepada tenaga medis,
sehingga terjadi keterlambatan penanganan. Setelah orang yang memiliki potensi
gangguan jiwa tersebut didiagnosa mengalami gangguan jiwa, maka orang tersebut

2
cenderung akan menolak bahwa dirinya mengalami gangguan jiwa. Dampaknya yaitu
tidak maunya ODGJ menjalani proses pengobatan (Lestari & Wardhani, 2014).

B. Tujuan Kegiatan
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti penyuluhan ini diharapkan sasaran mampu mengetahui dan
memahami tentang gangguan jiwa, stigma, dan diskriminasi.
2. Tujuan Khusus
a. Sasaran mampu mengetahui dan memahami pengertian gangguan jiwa.
b. Sasaran mampu mengetahui penyebab ganggguan jiwa
c. Sasaran mampu mengetahui dan memahami ciri-ciri gangguan jiwa
d. Sasaran mampu mengetahui dan memahami mengenai stigma.
e. Sasaran mampu mengetahui dan memahami mengenai diskriminasi.

C. Pelaksanaan Kegiatan
1. Judul Kegiatan
Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan tentang gangguan jiwa, stigma, dan
diskriminasi.

2. Sasaran
Sasaran dari kegiatan penyuluhan ini warga di RW 02 Kelurahan
Tangkerang Labuai Kecamatan Bukit Raya.
3. Metode
Ceramah, tanya jawab, diskusi
4. Media
Projector, laptop, leaflet, power point
5. Waktu dan Tempat
Waktu : Senin, 21 Mei 2018

3
Pukul : 13:00 – 13.30
Tempat : Masjis Masyithah Jl. Harapan Baru

6. Pengorganisasian
a. Penanggung Jawab : Seluruh Anggota RW 09
b. Ketua panitia : Sukma Rahmayanti , S. Kep
c. Moderator : Rizkya Nur Anisha, S. Kep
d. Persentator : Beni Sepila, S. Kep
e. Fasilitator : Ulfa Amalia, S.Kep
Riska Wildawati, S.Kep
Siti Masita, S.Kep
f. Observer : Estri Mailinda, S. Kep
g. Dokumentasi : Defryanti Saputri, S. Kep

7. Setting tempat

CI P

Audience

4
W W F W W

F F W W F
O

Keterangan:
CI : Pembimbing
M : Moderator
P : Presentator
W : Warga
F : Fasilitator
O : Observer

5
8. Kegiatan penyuluhan
No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Audience
1. 5 menit Pembukaan :
1. Mengucapkan salam. 1. Menjawab salam.
2. Perkenalkan diri. 2. Memperhatikan.
3. Menjelaskan tujuan penyuluhan.
4. Menyebutkan materi yang akan
diberikan.
2. 15 menit Proses :
1. Menjelaskan pengertian gangguan 1. Memperhatikan penjelasan.
jiwa. 2. Bertanya dan mendengarkan
2. Menjelaskan penyebab gangguan jawaban.
jiwa.
3. Menjelaskan ciri-ciri gangguan
jiwa
4. Menjelaskan stigma gangguan jiwa
5. Menjelaskan mengenai
diskriminasi pada gangguan jiwa
3 5 menit Evaluasi (feed back):
1. Meminta audience menjelaskan 1. Menjelaskan penyebab
penyebab gangguan jiwa. gangguan jiwa.
2. Meminta audience menjelaskan 2. Menjelaskan ciri-ciri
ciri-ciri gangguan jiwa gangguan jiwa
3. Meminta audience menjelaskan 3. Menjelaskan stigma pada
stigma gangguan jiwa gangguan jiwa
4. Meminta audience menjelaskan 4. Menjelaskan diskriminasi
diskriminasi pada gangguan jiwa gangguan jiwa
5. Membuka sesi tanya jawab untuk 1 5. Menanyakan mengenai
penanya materi yang tidak diketahui
4 5 menit Terminasi :
1. Menanyakan perasaan audience 1. Memperhatikan.
setelah penyuluhan. 2. Menjawab pertanyaan.
2. Memberikan reinforcement positif 3. Membalas salam.
3. Mengucapkan terima kasih atas
perhatian yang diberikan.
4. Mengucapkan salam penutup.

6
9. Kriteria Evaluasi
1. Moderator
a. Menjelaskan tujuan penyuluhan.
b. Mengarahkan proses kegiatan pada anggota kelompok.
c. Mengevaluasi pengetahuan, perasaan dan reinforcement setelah
penyuluhan terhadap audience.
2. Persentator
a. Mempresentasikan materi penyuluhan.
3. Fasilitator
a. Menyiapkan alat-alat penyuluhan.
b. Memberi motivasi kepada audience untuk mendengarkan apa yang
sedang dijelaskan.
c. Memberi kesempatan pada audience untuk bertanya.
4. Observer
a. Mencatat dan mengamati respon audience secara verbal dan non
verbal.
b. Mencatat seluruh proses yang dikaji dan semua perubahan perilaku.
c. Mencatat dan mengamati audience aktif dari penyuluhan.
5. Dokumenter
a. Mendokumentasikan kegiatan secara visual

10. Kriteria Evaluasi


1. Evaluasi Struktur
a. Kondisi lingkungan tenang, bersih dan dilakukan ditempat terbuka
dan memungkinkan audience untuk berkonsentrasi terhadap
kegiatan.
b. Posisi tempat di atas kursi.
c. Audience sepakat untuk menigkuti kegiatan.
d. Alat yang digunakan dalam kondisi baik.

7
e. Moderator, persentator, fasilitator, observer, dan dokumenter
berperan sebagaimana mestinya.
2. Evaluasi Proses
a. Moderator dapat mengkoordinasi seluruh kegiatan dari awal hingga
akhir.
b. Moderator mampu memimpin acara.
c. Fasilitator mampu memotivasi audience dalam kegiatan penyuluhan.
d. Fasilitator membantu moderator melaksanakan kegiatan dan
bertanggung jawab dalam antisipasi masalah.
e. Observer sebagai pengamat melaporkan hasil pengamatan kepada
kelompok yang berfungsi sebagai evaluator kelompok.
f. Audience mengikuti kegiatan yang dilakukan dari awal hingga akhir.
3. Evaluasi Hasil
a. Audience dapat meningkatkan pengetahuannya.
b. Audience akan kooperatif terhadap penyampaian materi yang
disampaikan
c. Audience mampu menyampaikan pertanyaan yang tidak diketahui

8
MATERI

A. Konsep gangguan jiwa


1. Definisi gangguan jiwa
Gangguan jiwa adalah suatu sindrom atau pola psikologis atau
perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan
dengan adanya distres atau disabilitas atau disertai peningkatan risiko
kematian yang menyakitkan, disabilitas atau sangat kehilangan kebebasan
(Videbeck, 2012).
Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak
normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental (Yosep,
2013). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa gangguan
jiwa adalah suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang tidak
normal secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya
distres atau disabilitas atau disertai peningkatan risiko kematian yang
menyakitkan, disabilitas atau sangat kehilangan kebebasan yang berhubungan
dengan fisik, maupun dengan mental.
2. Penyebab gangguan jiwa
Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh tiga unsur dari faktor-
faktor yang terus menerus saling mempengaruhi (Yosep, 2013), yaitu:
a. Faktor-faktor somatik (somatogenik) atau organobiologis
1) Neroanatomi
2) Nerofisiologi
3) Nerokimia
4) Tingkat kematangan dan perkembangan organic
b. Faktor-faktor psikologik (psikogenik) atau psikoedukatif
1) Interaksi ibu-anak: normal (rasa percaya dan rasa aman) atau
abnormal berdasarkan kekurangan, distorsi, dan keadaan yang
terputus (perasaan tidak percaya dan kebimbangan)

9
2) Peranan ayah
3) Persaingan antara saudara kandung
4) Inteligensi
5) Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat
6) Kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau
rasa salah
7) Konsep diri: pengertian identitas diri sendiri lawan peranan yang
tidak menentu.
8) Keterampilan, bakat, dan kreativitas.
9) Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya
10) Tingkat perkembangan emosi
c. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik) atau sosiokultural
1) Kestabilan keluarga
2) Pola mengasuh anak
3) Tingkat ekonomi
4) Perumahan: perkotaan lawan pedesaan.
5) Masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas
kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan yang tidak memadai.
6) Pengaruh rasial dan keagamaan
7) Nilai-nilai
3. Tanda dan gejala gangguan jiwa
Tanda dan gejala gangguan jiwa (Yosep, 2013), sebagai berikut:
a. Gangguan kognisi
Kognisi adalah proses mental yang dengannya seseorang individu
menyadari dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya baik
lingkunga dalam maupun lingkungan luar. Gangguan kognisi, meliput
gangguan sensasi (hiperestasia, anestesia, hipersormia) dan gangguan
persepsi (ilusi, halusinasi, depersonalisasi)

10
b. Gangguan perhatian
Perhatian adalah pemusatan dan konsentrasi energi menilai dalam suatu
proses kognitif yang timbul dari luar akibat rangsang, seperti
distraktibiliti, aproseksia dan hiperproseksia.
c. Gangguan ingatan
Ingatan (kenangan, memori) adalah kesanggupan untuk mencatat,
menyimpan, memproduksi isi dan tanda-tanda kesadaran, seperti
amnesia, hipernemsia dan paramnesia.
d. Gangguan asosiasi
Asosiasi adalah proses mental yang dengannya suatu perasaan, kesan
atau gambaran ingatan cenderung untuk menimbulkan kesan atau
gambaran ingatan respon atau konsep lain, yang memang sebelumnya
berkaitan dengannya, seperti retardasi, perseversi, flight of ideas,
inkohorensi dan blocking.
e. Gangguan pertimbangan
Pertimbangan (penilaian) adalah suatu proses mental untuk
membandingkan atau menilai beberapa pilihan dalam suatu kerangka
kerja dengan memberikan nilai-nilai untuk memutuskan maksud dan
tujuan dari suatu aktivitas, seperti aparat sensori dan aparat motorik.
f. Gangguan pikiran
Pikiran umum adalah meletakkan hubungan antara berbagai bagian dari
pengetahuan seseorang, beberapa bentuk proses pikir, yaitu gangguan
bentuk pikiran (pikiran deristik, autistik, obsesif), arus pikir (fligt of
ideas, persevarasi, circumstantiality, inkoheren, kogorea, neologisme),
dan gangguan isi pikiran (waham, fobi)
g. Gangguan kesadaran
Kesadaran adalah kemampuan seseorang untuk mengadakan hubungan
dengan lingkungan serta dirinya sendiri melalui panca indera dan

11
mengadakan pembatasan terhadap lingkungan serta dirinya sendiri,
seperti apatis, somnolen, sopor, dan koma.
h. Gangguan kemauan
Kemauan adalah suatu proses dimana keinginan-keinginan
dipertimbangkan untuk kemudian diputuskan untuk dilaksanakan
sampai mencapai tujuan, seperti abulia, negativisme dan kompulsi.
i. Gangguan emosi dan afek
Emosi adalah suatu pengalaman yang sadar dan memberikan pengaruh
pada aktivitas tubuh dan menghasilkan sensasi organis dan kinetis,
seperti euforia, elasi, apasti, cemas dan depresi.
j. Gangguan psikomotor
Psikomotor adalah gerakan badan yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa,
sehingga merupakan afek bersama yang mengenai badan dan jiwa,
seperti aktivitas yang meningkat seperti hiperaktivitas, gaduh gelisah
sampai agresif.

B. Definisi Stigma dan Diskriminasi


1. Stigma
Secara etimologi, stigma (stigmata) adalah kata Yunani kuno (Ancient Greek)
yang asalnya merujuk pada sejenis tanda atau bekas seperti tato yang dibuat
dengan cara disayat atau dibakar pada kulit para penjahat, budak, atau
pengkhianat sebagai cara agar mereka mudah untuk dikenali sebagai orang
yang bermoral kotor dan tercela. Individu-individu ini diajuhi dan dikucilkan,
terutama sekali ditempat-tempat umum.
Secara perkamusan, stigma diartikan sebagai suatu bentuk tanda dari rasa
malu (shame) atau aib (disgrace). Sementara International Index and
Dictionary of Rehabilitation and Social Intergration, menyebutkan bahwa
stigmatization is speech or action which brings about a transformation of an
impairmen, disability or handicap into a negative light the individual. Artinya

12
stigma adalah cara berbicara atau tindakan yang dari bentuk hendaya,
disabilitas atau kecacatan menjadi pandangan yang negatif terhadap seorang
individu.
Menurut Erving Goffman, di dalam term sosiologi, stigma merupakan
suatu atribut yang sangat mendiskreditkan, dan gangguan jiwa merupakan
satu dari atribut semacam ini. Definisi Goffman ini kemudian diperluas oleh
Link dan Phelan, yang membagi konsep stigma ke dalam empat komponen
yang berbeda, yakni pertama labeling (melabel seseorang karena suatu
kondisi, kedua sterotip, ketiga pemisahan (separation) yakni menciptakan
suatu pemisahan antar kelompok “kita” yang superior dan kelompok
“mereka” yang didevaluasi, dan keempat, diskriminasi dan kehilangan status
(loss status). Keempat komponen memiliki keterkaitan satu sama lain dalam
suatu pengalaman stigma seseorang.
Stigma berasal dari bahasa Inggris yang artinya noda atau cacat, sering
juga disebut sebagai pandangan yang negatif. Stigma juga berarti pencemaran,
perusakan yang memberikan pengaruh yang buruk pada penerimaan sosial
seorang individu yang terkena (Dadang, 2013). Menurut Busza (2014) secara
umum stigma merujuk pada persepsi yang negatif pada suatu keadaan yang
sebenarnya tidak terbukti. Stigma adalah suatu hal yang dipakai seseorang
atau kelompok dalam menganggap suatu keadaan yang negatif yang kemudian
akan dipakai menjadi suatu norma pada seseorang atau kelompok dalam
masyarakat.
Maman dalam Leslie Butt (2010), mendefenisikan stigma sebagai
perbedaan-perbedaan yang merendahkan yang secara sosial dianggap
mendiskreditkan, dan dikaitkan dengan berbagai stereotip negatif.Stigma
adalah suatu proses dinamis yang terbangun dari suatu persepsi yang telah ada
sebelumnya yang menimbulkan suatu pelanggaran terhadap sikap,
kepercayaan dan nilai. stigma ini dapat mendorong seseorang untuk
mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan oleh pihak

13
pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia pelayanan kesehatan, teman
sekerja, para teman, dan keluarga (Paryati, 2013).
2. Diskriminasi
Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Perbbedaan perlakuan tersebut
bisa disebabkan warna kulit, golongan atau suku, dan bisa pula karena
perbedaan jenis kelamin, ekonomi, agama, dan sebagainya. Menurut
Theodorson, diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap
perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat
kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan khas,
kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut
biasanya untuk melukiskan suatu tindakan dari pihak mayoritas dengan
minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilak mereka itu
bersifat tidak bermoral dan tidak demokratis (Aminah dkk, 2013). Kata
diskriminasi berasal dari bahasa latin yaitu discriminatus yang artinya
membagi atau membedakan. Perlakuan membedakan terhadap orang lain
berdasarkan kelompok tertentu merupakan diskriminasi yang dijabarkan oleh
Banton (Dalam Sunarto, 2016). Menurut Hudaniah (2010) diskriminasi adalah
prilaku yang diarahkan pada seseorang yangdidasarkan semata-mata pada
keanggotaan kelompok yang dimilikinya.

C. Tipe-tipe dari stigma dan diskriminasi


1. Tipe-Tipe Stigma
Para ahli sosio psikologi membedakan stigma kedalam tiga kelompok atau
kategori besar, yakni:
a. Keadaan cacat fisik, hal ini termasuk tinggi badan dan berat badan yang
ekstrim dan kondisi fisik seperti albino dan wajah yang cacat atau
kehilangan salah satu anggota badan. Di negara yang telah berkembang,

14
dalam kategori ini juga memasukan tanda-tanda penuaan seperti tumbuh
uban, keriput, dan sikap badan yang membungkuk.
b. Kekurangan atau kecacatan pada karakter. Kategori ini memasukan data
biografis yang dipegang sebagai bahan yang digunakan untuk
mengindikasikan pribadi yang cacat moral, seperti catatan kriminal,
kecanduan, perceraian, gangguan jiwa, pengangguran, percobaan bunuh
diri, dan lain-lain.
c. Stigma yang berkenaan dengan kesukuan. Jenis stigma ini merujuk pada
keanggotaan seseorang dalam satu suku, kelompok, etnis, agama, atau
(bagi perempuan) gender yang menimbulkan diskualifikasi terhadap
semua anggota kelompok lain.
Stigma berasal dari kecendrungan manusia untuk menilai (judge) orang
lain. Berdasarkan penilaian itu, kategori atau stereotip dilakukan tidak
berdasarkan keadaan yang sebenarnya atau berdasarkan fakta, tetapi pada apa
yang kita (masyarakat) anggap sebagai “tidak pantas”, “luar biasa”,
“memalukan”, dan “tak dapat diterima”. Stigmatisasi terjadi pada semua
aspek kehidupan manusia. Seseorang dapat dikenai stigma oleh karena segala
sesuatu yang berhubungan dengan penyakit, cacat sejak lahir, gangguan jiwa,
pekerjaan dan status konomi.
Stigma yang masih melekat pada gangguan jiwa di negara-negara
berkembang tidak mempresentasikan maslaah yang jelas dan sederhana. Para
ahli kesehatan masyarakat yang telah melakukan studi tentang stigmatimasi
terhadap gangguan jiwa dalam beberapa tahun belakangan ini telah mencatat
bahwa persepsi masyarakat umum mengenai gangguan jiwa sangatlah
bemacam-macam bergantung pada sifat dasar dari gangguan jiwa tersebut.
Sedangkan secara umum, stigma terhadap gangguan jiwa dalam masyarakat
kontemporer utamanya dihubungkan dengan kedua dari tiga kategori yang
telah disebutkan diatas. Stigma terhadap gangguan jiwa ini juga termasuk
didalam kategori pertama, yakni gangguan jiwa yang mempengaruhi

15
penampilan fisik seseorang adalah stigma yang lebih memberatkan dari pada
gangguan jiwa yang tidak berpengaruh pada penampilan fisik seseorang.
2. Tipe-Tipe Diskriminasi
Diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat biasanya diskriminasi individu
dan diskriminasi institusi.
a. Diskriminasi individu adalah tindakan seorang pelaku yang berprasangka.
b. Diskriminasi institusi merupakan diskriminasi yang tidak ada
hubungannya dengan prasangka individu melainkan dampak
kebijaksanaan atau praktik berbagai institusi dalam masyarakat (Sunarto,
2016: 161).
Selain diskriminasi individu dan institusi menurut Pettigrew (dalam Liliweri,
2010) diskriminasi dibagi menjadi diskriminasi langsung dan tidak langsung.
a. Diskriminasi Langsung adalah tindakan membatasi suatu wilayah
tertentu, seperti pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum dan
semacamnya dan juga terjadi manakala pengambil keputusan diarahkan
oleh prasangka-prasangka terhadap kelompok tertentu.
b. Diskriminasi Tidak Langsung dilaksanakan melalui penciptaan kebijakan-
kebijakan yang menghalangi ras/etnik tertentu untukberhubungan secara
bebas dengan kelompok ras/etnik lainnya yang mana aturan dan prosedur
yang mereka jalani mengandung bias diskriminasi yang tidak tampak dan
mengakibatkan kerugian sistematis bagi komunitas atau kelompok
masyarakat tertentu. Diskriminasi individu merupakan diskriminasi
langsung, sedangkan diskriminasi institusi merupakan diskriminasi tidak
langsung (Liliweri, 2010).

Berbagai jenis diskriminasi yang sering terjadi di masyarakat antara lain :


a. Diskriminasi berdasarkan suku/etnis, ras, dan agama/keyakinan
Menurut UU no. 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan
etnis, diskriminasi ras dan etnis diartikan sebagai segala bentuk

16
pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada
ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan
pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar dalam kesetaraan di bidang sipil, poliik, ekonomi, sosial, dan
budaya.
Ras sendiri adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan
garis keturunan, sedangkan etnis adalah penggolongan manusia
berdasarkan kepercayaan, nilai-nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma
bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan. Definisi tersebut
sesuai dengan pengertian dalam konvensi HAM Internasional tentang
penghapusan diskriminasi rasial dan etnis, yang diartikan sebagai “segala
bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, ata pengutamaan
berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau suku
bangsa, yang mempunyai maksud atau dampak meniadakan atau merusak
pengakuan, pencapaian, hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan
masyarakat yang lain.
b. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender
Diskriminasi gender masih berlangsung di berbagai aspek kehidpan di
seluruh dunia, walaupun ditemukan banyak sekali kemajuan dalam
kesetaraan gender. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat beragam,
diberbagai negara, kawasan, namun polanya sangat mengejutkan. Tak ada
satu kawasan pun di negara-negara berkembang berlaku kesetaraan laki-
laki dan perempuan dalam hak-hak hukum, sosial, dan ekonomi.
Kesenjangan gender terjadi begitu luas dalam hal akses terhadap dan
kendali atas sumber daya, slam kesempatan ekonomi, dalam kekuasaan,
dan dalam hak bersuara politik (Aminah dkk, 2013).
c. Diskriminasi terhadap penyandang cacat. Contoh: penyandang cacat
dianggap sakit dan tidak diterima bekerja di instansi pemerintahan

17
d. Diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS. Contohnya: penderita
HIV/AIDS dikucilkan dari masyarakat dan dianggap sampah masyarakat
e. Diskriminasi karena kasta sosial, contoh: di India, kasta paling rendah
dianggap sampah masyarakat dan dimiskinkan atau dimarjinalkan
sehingga kurang memiliki akses untuk menikmati hak asasinya.
Dari jenis-jenis diskriminasi di atas, maka seseorang bisa saja
mendapatkan dari satu tindakan diskriminasi. Misalkan seorang
perempuan, dari etnis tionghoa, beragama konghucu dan miskin, maka ia
mendapatkan perbedaan perlakuan atau diskriminasi karena jenis
kelamin, etnis, agama dan status ekonomis sekaligus.
(Aminah dkk, 2013).

D. Dampak dari stigma dan diskriminasi


1. Dampak Stigma
Bagi seseorang yang menderita gangguan jiwa, di dalam beberapa kasus
konsekuensinya terhadap stigma dapat menjadi faktor yang merusak bahka
jauh lebih buruk dari gangguan jiwa ditunjukkan dengan meningkatnya
kemungkinan timbulnya kembali kelainan pada penderita yang sudah pernah
disebutkan
a. Dampak pada harga diri gangguan jiwa
Guru besar departemen psikiatri FKUI, Sasanto Wibisono menyatakan
bahwa gangguan jiwa memang dihadapkan pada berbagai hal yang
menempatkannya dalam posisi kurang beruntung, baik yang terkait
dengan masalah kehidupan sosial, pelayanan sosial, maslaah hukum atau
aspek legal, maupun hal-hal lain yang menempatkan mereka dalam posisi
sulit.
Menurut ketua Departemen psikiatri FKUI, Irmansyah, penderita
gangguan jiwa di Indonesia adalah kelompok masyarakat yang rentan
untuk mengalami berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan

18
perlakuaan tidak adil. Pelanggaran HAM ini terjadi karena adanya stigma
dan diskriminasi, pemahaman yang salah serta tidak ada atau kurang
memadainya peraturan yang melindungi penderita.
b. Dampak pada upaya pencarian bantuan
Stigmatisasi terhadap ganguan jiwa adalah sebuah faktor penting yang
mencegah penderita gangguan jiwa untuk mendapatkan terapi dan
pengobatan. Banyak penderita gangguan jiwa yang tidak mendapatkan
penanganan sebagaimana mestinya atau mengalami pengobatan secara
tuntans. Hal ini terkait dengan tebal dan kuatnya stigma dari masyarakat
bahwa orang yang berobat ke RSJ selalu diartikan sebagai orang gila.

2. Dampak Diskriminasi
Seseorang/kelompok yang mendapatkan diskriminasi akan mengalami
pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
pemenuhan hak-hak dasarnya sebagai manusia. Sejarah telah menunjukkan
bahwa tindakan diskriminatif justru membuat tiap individu tidak lagi menjadi
manusia atau kehilangan kemanusiaannya, baik pelaku maupun korban
diskriminasi (Aminah dkk, 2013).

E. Penatalaksanaan
Tindakan lanjut terhadap penderita gangguan jiwa dan stigma yang muncul.
Salah satu upaya anti stigma yang cukup besar pada saat ini adalah kampanye
global yang dirintis oleh World Psychiatric Association pada tahun 1996 yang
bernama Open The Door (Baumann & Gaebel 2008 cit Szeto & Dobson 2011).
Kampanye ini memfokuskan pada memerangi stigma dan diskriminasi pada
skizofrenia dan sudah dimulai di 20 negara dengan tujuan khusus :
1. Meningkatkanpengetahuan dan kewaspadaan pada skizofrenia dan
penanganannya.

19
2. Mengembangkan kemapuan penderita skizofrenia dan keluarga mereka yang
mengalami skizofrenia, dan
3. Memulai aksi untuk menghilangkan penghakiman dan diskriminasi.

Di indonesia mantan menteri kesehatan dr. Nafsiah Mboi, Sp.A. MPH,


mengajak seluruh jajaran kesehatan untuk dapat melaksanakan Empat Seruan
Nasional Stop Stigma dan Diskriminasi terhadap ODGJ, yaitu:
1. Tidak melakukan stigmanisasi dan diskriminasi kepada siapapun juga dalam
pelayanan kesehatan.
2. Tidak melakukan penolakan atau menunjukkan kegunaan untuk memberikan
pelayanan kesehatan pada ODGJ.
3. Senantiasa memberikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, baik
akses pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi maupun reintegrasi ke masyarakat
pasca perawatan dirumah sakit jiwa atau panti sosial.
4. Melakukan berbagai upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya
masalah kejiwaan, mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa.,
meminimalisasi faktor resiko masalah kesehatan jiwa serta mencegah
timbulnya dampak pisikososial.

Selain itu dalam UU RI No. 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa ada upaya-
upaya kesehatan jiwa antara lain upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat.
1. Upaya promotif
Upaya promotif dilakukan dilingkungan keluarga, lembaga pendidikan,
tempat kerja, masyarakat, fasilitas pelayanan kesehatan, media masa, lembaga
keagamaan dan tempat ibadah, dan lembaga pemasyarakatan dan rumah
tahana.

20
a. Upaya promotif dilingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk pola
asuh dan pola komunikasi dalam keluarga yang mendukung pertumbuhan
dan perkembangan jiwa yang sehat.
b. Upaya promotif dilingkungan lembaga pendidikan dilakukan dalam
bentuk menciptakan suasana belajar mengajar yang kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan jiwa. Serta keterampilan hidup terkait
kesehatan jiwa bagi peserta didik sesuai dengan tahap perkembangannya.
c. Upaya promotif dilingkungan tempat kerja dilaksanakan dalam bentuk
komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kesehatan jiwa.
d. Upaya promotif dilingkungan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk
komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kesehatan jiwa. Serta
menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif untuk pertrumbuhan
dan perkembangan jiwa yang sehat.
e. Upaya promotif dilingkungan fasilitas pelayanan kesehatan dilaksanakan
dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kesehatan
jiwa dengan sasaran kelompok pasien, kelompok keluarga, atau
masyarakat disekitar pelayanan kesehatan.
f. Upaya promotif di media masa dilakukan dalam bentuk:
1) Penyebarluasan informasi bagi masyarakat mengenai kesehatan jiwa,
pencegahan, dan penanganan gangguan jiwa dimasyarakat dan
fasilitas pelayanan dibidan kesehatan jiwa.
2) Pemahaman yang positif mengenai gangguan jiwan dan ODGJ
dengan tidak membuat program pemberitaan, penyiaran, artikel, dan
materi yang mengarah pada stigmatiasis dan diskriminasi terhadap
ODGJ.
3) Pemberitahuan penyiaran program artikel dan materi yang kondusif
bagi pertumbuhan dan perkembangan kesehatan jiwa.
4) Upaya promotif dilingkungan lembaga keagamaan dan lembaga
ibadah dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan

21
edukasi mengenai kesehatan jiwa yang diintegrasikan dalam kegiatan
keagamaan.
5) Upaya promotif dilingkungan lembaga pemasyarakatan dan rumah
tahanan dilaksanakan dalam bentuk :
a) Peningkatan pengetahuan dan pemahaman warga binaan
pemasyarakatan tentang kesehatan jiwa.
b) Pelatihan kemampuan adaptasi dalam masyarakat.
c) Menciptakan suasana kehidupan yang kondusif untuk kesehatan
jiwa warga binaan pemasyarakatan.
2. Upaya preventif
Upaya preventif kesehatan jiwa dilaksanakan dilingkungan keluarga,
lembaga, dan masyarakat.
a. Upaya prefentif dikeluarga dilaksanakan dalam bentuk:
1) Pengembangan pola asuh yang mendukung pertumbuhan dan
perkembangan jiwa.
2) Komunikasi, informasi, dan edukasi dalam keluarga.
3) Kegiatan lain sesuai dengan perkembangan masyarakat.
b. Upaya prefentif dilingkungan lembaga dilaksanakan dalam bentuk:
1) Menciptakan lingkungan lembaga yang kondusif bagi perkembangan
kesehatan jiwa.
2) Memberi komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai mencegah
gangguan jiwa.
3) Menyediakan dukungan psikososial dan kesehatan jiwa di
lingkungan lembaga.
c. Upaya preventif dilingkungan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk:
1) Menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif.
2) Menyediakan dukungan psikososial dan kesehatan jiwa di
lingkungan lembaga.
3) Menyediakan konseling bagi masyarakat yang mebutuhkan.

22
3. Upaya kuratif
Upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayanan kesehatan terhadap
ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat
sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali secara wajar dilingkungan keluarga,
lembaga dan masyarakat.
4. Upaya rehabilitasi
Upaya rehabilitasi kesehatan jiwa merupakan kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pelayanan kesehatan jiwa yang ditujukan untuk:
a. Mencegah atau mengendalikan disabilitas.
b. Memulihkan fungsi otak.
c. Memulihkan fungsi okupasional.
d. Mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di
masyarakat
Upaya rehabilitasi ODGJ meliputi:
1) Rehabilitasi psikiater dan/atau psikososial
Rehabilitasi psikiater dan/atau psikososial dilaksanakan sejak
dimulainya pemberian pelayanankesehatan jiwa terhadap ODGJ.
2) Rehabilitasi sosial
Rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk:
a) Motifasi dan diagnosis psikososial
b) Perawatan dan pengasuhan
c) Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan
d) Bimbingan mental spiritual
e) Bimbingan fisik
f) Bimbingan sosial dan psikososial
g) Pelayanan aksebilitas
h) Bimbingan lanjut dan rujukan.

23
Diskriminasi seringkali diawali dengan prasangka. Dengan prasangka,
kita membuat pembedaan antara kita dengan orang lain. Dalam kehidpan
sehari-hari kita sering bilang “kita” dan “mereka”. Pembedaan ini terjadi
karena kita adalah makhluk sosial yang secara alami ingin berkumpul dengan
orang yang memiliki kemiripan dengan kita. Prasangka seringkali didasari
pada ketidakpahaman, ketidakpedulian pada kelompok “mereka”, atau
ketakutan atas perbedaan. Dengan ketidakpahaman inilah, kita sering
membuat generalisasi tentang ‘mereka’ dan membuat semua orang di
kelompok ‘mereka’ pasti sama (Aminah dkk, 2013).
Prasangka makin diperparah dengan cap buruk (stigma). Cap buruk ini
lebih didasarkan pada berbagai fakta yang menjurus pada kesamaan pola,
sehingga kemudian kita sering menggeneralisasi seseorang atas dasar
kelompoknya. Cap buruk ini sulit diubah, walaupun ada pola positif,
berkebalikan dari yang ditanamkan. Cap buruk ini dipelajari seseorang dari
pengaruh sosial seperti masyarakat, tetangga, keluarga, orangtua, sekolah,
media massa, dll. Diskriminasi terjadi ketika keyakinan atas cap buruk dan
prasangka itu sudah berubah menjadi aksi. Diskriminasi adalah tindakan
memperlakukan orang lain tidak adil hanya karena dia berasal dari kelompok
sosial tertentu (Aminah dkk, 2013).
Beberapa kegiatan atau programyang dapat dilakukan untuk mengurangi
stigma gangguan jiwa antara lain.
1. Masyarakat ikut berperan aktif dalam kampanye tentang nkesehatan jiwa.
Kampanye tersebut dapat dimasukan dalam kegiatan masyarakat melalui
program desa siaga. FKD (Forum Kesehatan Desa) pertemuan ditingkat
RT maupun RW perlu keaktifan masyarakat untuk mendapatkan
akses/kesempatan seluas-luasnya secara akurat dan terbaru tentang
kesehatan jiwa.

24
2. Perlu adanya pengetahuan tentang kesehatan jiwa sejak dini melalui
sekolah-sekolah. Pendidikan tersebut dapat dilakukan atau dimasukan
dalam kurikulum disekolah-sekolah atau kegiatan ekstrakuliluler.
3. Keluarga ataupun masyarakat ikut terlibat dalam pelaksanaan tindakan
terhadap pasien gangguan jiwa sehingga kesadaran keluarga dan
masyarakat tentang cara pandang pasien gangguan jiwa dapat berubah
dan dapat mewmbatu menanganinya.
4. Kepada individu tenaga kesehatan harus menunjukan atau memberi
contoh pada masyarakat bahwa kita tidak melakukan stigma tersebut,
harus menentang kesalahpahaman tentang gangguan jiwa dan
menjukukan fakta-fakta bahwa penyakit mental sangatlah umum dan
dapat disembuhkan dengan managemen yang tepat.
1) Pemerinta ataupun lembaga swasta perlu memberikan kesempatan
pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya kepada
orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ataupu orang-orang yang
telah sembuh dari gangguan jiwa (UU Kesehatan Jiwa no. 18 tahun
2014).

F. Perbedaan antara Stigma dan Diskriminasi


a. Pengertian Stigma
Menurut Lacko, Gronholm, Hankir, Pingani, dan Corrigan
dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016) stigma berhubungan
dengan kehidupan sosial yang biasanya ditujukan kepada orang-
orang yang dipandang berbeda, diantaranya seperti menjadi korban
kejahatan, kemiskinan, serta orang yang berpenyakitan salah
satunya orang HIV.Orang yang mendapat stigma dilabelkan atau
ditandai sebagai orang yang bersalah.

25
Stigma adalah suatu label buruk atau usaha untuk menjelekkan
orang yang diberi stigma, sehingga dapat memisahkan hubungan
sosial antara orang yang diberi stigma dengan orang lain (Byrne,
2000). Stigma juga sering terjadi pada ODMK. Stigma terhadap
ODMK, merupakan prasangka dan diskriminasi yang
digeneralisasikan kepada ODMK, sehingga memiliki dampak yang
menyebabkan terhalangnya akses mereka dalam mendapatkan
pekerjaan, peluang pendidikan, fasilitas kesehatan yang
memuaskan (Ciftci, Jones, & Corrigan, 2013), tempat tinggal yang
aman, dan kesempatan melakukan afiliasi dengan berbagai
kelompok. Bentuk yang lebih ekstrim seperti penghindaran atau
isolasi sosial untuk meminimalisir interaksi dengan ODMK,dan
juga keengganan masyarakat dalam membantu penyembuhan
gangguan jiwa yang diderita(Corrigan & Watson, 2012).
Contoh stigma sosial dapat terjadi pada orang yang berbentuk fisik
kurang atau cacat mental, dan juga anak lahir diluar nikah. Jika ada
seseorang ada yang menderita gangguan jiwa atau ada masalah
mengenai kejiwaan nya biasanya masyarakat akan menjauhi dan
mengejudge untuk tidak mendekati orang yang menderita
gangguan jiwa atau orang dengan gangguan kejiwaan.
b. Pengertian Deskriminasi
Deskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap
perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat
kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,
kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.
Istilah tersebut biasanya untuk melukiskan suatu tindakan dari
pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan
minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku

26
mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi.
(Theodorson dalam Danandjaja, 2003).
Contoh dari deskriminasi perbedaan suku dan ras, perbedaan kelas
sosial, perbedaan jenis kelamin atau gender, perbedaan agama dan
kepercayaan, perbedaan kondisi fisik,

27
DAFTAR PUSTAKA

Aminah, Siti., Arianingtyas, Renata., Fultoni., Parulian, Uli Sihombing. 2013. Buku
Saku untuk Kebebasan Beargama Memahami Diskriminasi. Jakarta: ILRC).
Busza, J. 2014. Stigma and Discimination.http://binkesmas Depkes
go.id/kesga/Sub_3.php
Dadang, H. 2013. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta:
Fak.Kedokteran UI.
Efendy, Ferry & Makhfudi. 2013. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Liliweri, Alo. 2010. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sunarto, Kamanto. 2016. Pengantar Sosiologi (edisi ketiga). Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Undang-Undang Keperawatan no. 18 Tentang Kesehatan Jiwa, 2014.
Komnas HAM, 2009. Mewujudkan Pemenuhan HAM ODMK. Vol 5. Jakarta:Komnas
HAM.
Paryati,Tri. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stigma dan Diskriminasi
kepada ODHA oleh Petugas Kesehatan: Kajian Literatur. Bandung: UNPAD.
Videbeck, S. L,. (2011). Psychiatric Mental Health Nursing five edition.Jakarta:
EGC.
Yosep, I. 2013. Keperawatan Jiwa. Edisi Revisi. Bandung : Revika Aditama
Yusuf, Ah., Rizky Fitryasari PK., & Hanik Endang Nihayati. 2015. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

28

Anda mungkin juga menyukai