Anda di halaman 1dari 9

TUGAS DISASTER PLAN

RENCANA PENANGGULANGAN
BENCANA RUNTUHNYA TANGGUL SITU GINTUNG TANGERANG

DISUSUN OLEH :
AZAHRAH PURNAMALADI
030.12.044

PEMBIMBING :
Dr. Gita Tarigan, MPH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 6 NOVEMBER 2017 – 13 JANUARI 2018
JAKARTA
A. Pendahuluan
Jumat tanggal 27 Maret 2009, sekitar jam 04.30 WIB terjadi banjir bandang di
daerah Situ Gintung Kelurahan Cireundeu, Kecamatan Ciputat, Kabupaten
Tangerang, Provinsi Banten, yang disebabkan jebolnya tanggul Situ Gintung.
Kejadian tersebut telah mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia, dan
menghancurkan ratusan rumah penduduk.
Jika dianalisis, terdapat 3 faktor penyebab utama dari bencana tersebut, yaitu
faktor alam, fisik dan manusia. Hujan lebat yang mengguyur Bogor sejak pukul 16.00
hingga 21.00 WIIB Kamis, 26 Maret 2009 mengakibatkan penambahan debit air pada
Situ Gintung yang ketinggiannya mencapai 5-7 meter, sehingga tanggul tidak kuat
menahan debit air yang tertampung. Tanggul tersebut telah mulai retak semenjak
tahun 2006, akan tetapi pemerintah daerah kurang tanggap terhadap retaknya dinding
tanggul tersebut, ditambah lagi tanggul tersebut terbuat dari tanah urug yang belum
pernah diturap untuk memperkuat daya dukungnya.
Dibutuhkan rancangan “Rencana Penanganan Bencana Situ Gintung” yang
terpadu, yang dapat dijadikan acuan pemerintah daerah dalam menangani bencana
Situ gintung tersebut. Secara umum ada 2 langkah penanganan yang harus dilakukan,
yaitu penanganan jangka pendek, yaitu dengan terapi obat dan psikis para korban
yang selamat, relokasi warga, pembersihan sisa-sisa material banjir, pembuatan
drainase, dan memperbaiki tanggul yang jebol. Sedangkan penanganan jangka
panjang yaitu dengan pengembalian fungsi daerah hulu sebagai daerah resapan air,
mengurangi limpasan air permukaan yang terkonsentrasi di Situ Gintung dengan
membuat sumur resapan dibagian hulu Sungai Pesanggrahan, manajemen
permukiman penduduk.
Dari rancangan tersebut, pemerintah daerah diharapkan lebih memperhatikan
konsep tata ruang kota yang baik, seperti izin mendirikan bangunan hanya diberikan
kepada rumah dengan jarak minimal 50 meter dari badan tanggul. Sumur resapan
merupakan salah satu teknologi tepat guna yang dapat dilakukan, sehingga diharapkan
pemerintah membuat kebijakan untuk mewajibkan membuat sumur resapan bagi
penduduk yang mendirikan bangunan minimal seluas 50 m2 wajib membuat sumur
resapan seluas 2 m2.

1
B. Geografi

Situ Gintung adalah sebuah danau


kecil buatan yang terletak di
Kecamatan Ciputat Timur, Kota
Tangerang Selatan (pemekaran
dari Kabupaten Tangerang),
Provinsi Banten. Situ tersebut
dibangun pada jaman Belanda
sekitar tahun 1932 – 1933. Semula
situ ditujukan sebagai sumber air
irigasi untuk persawahan,,
yaitu untuk mengairi 2 (dua)
daerah irigasi yang berada di
bagian hilir situ tersebut, yakni DI
Gintung I seluas 20 Ha dan DI
Gintung II seluas 25 Ha.
Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, kawasan hilir Situ Gintung sampai dengan
tahun 80-an masih berupa sawah. Namun demikian, areal persawahan tersebut secara
bertahap berubah fungsi menjadi perumahan. Pada tahun 1982 berdiri pula Universitas
Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Sudah tidak ada lagi lahan sawah di bagian hilir, dan
sebaliknya berkembang kawasan perumahan baik perumahan yang kumuh dan padat maupun
perumahan elit. Kondisi di bagian hilir Situ Gintung tersebut adalah seperti yang ditunjukan
dalam Peta 1. Tidak mengherankan jika kawasan Situ Gintung tersebut berkembang dengan
pesat, karena kawasan tersebut mempunyai aksesibilitas yang baik ke Jakarta. Di sekitar
kawasan tersebut juga berkembang fasilitas pendidikan tinggi selain UMJ, seperti STIE
Achmad Dahlan dan juga UIN Syarifhidayatullah. Fungsi situ pun berubah, tidak lagi
berfungsi sebagai sumber air irigasi, tetapi sekarang ini (sampai dengan sebelum bencana)
lebih berfungsi sebagai pengendali banjir, sebagai tempat wisata, dan juga sebagai tempat
menanam ikan bagi penduduk setempat. Begitupun luasnya yang semakin berkurang dan
semakin menyempit. Pada \awalnya areal situ gintung mempunyai luas 31 Ha, namun saat ini
hanya tinggal 21 Ha.

2
Pada waktu Belanda membangun Situ Gintung, tentunya diyakini bahwa kalau seandainya
tanggul situ tersebut jebol pasti tidak akan menimbulkan kerugian yang besar apalagi
kerugian jiwa, karena pada saat itu di bagian hilir Situ Gintung terhampar sawah yang
pengairannya diambil dari situ tersebut. Namun sekarang ini bagian hilir tersebut telah
berubah menjadi tempat hunian penduduk yang padat. Timbul pertanyaan mengapa hal
tersebut terjadi ? sebenarnya ini sudah menjadi fenomena yang umum. Banyak terjadi alih
fungsi lahan tanpa adanya kontrol yang kuat dan tegas dan tanpa adanya sanksi terhadap
pelanggaran-pelanggaran.

Selain kondisi di bagian hilir yang sudah sangat berubah, kondisi di bagian hulu pun
demikian. Catchment area Situ Gintung juga merupakan kawasan hunian yang padat. Selain
itu, di tepi Situ Gintung berkembang tempat rekreasi, restoran, perumahan, dan juga fasilitas
pendidikan. Namun demikian, yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa di areal
sempadan situ (selebar 50 meter dari tepi situ), yang berdasarkan Peraturan Menteri PU No.
63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan
Sungai dan Bekas Sungai, dilarang mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat
usaha, namun di daerah sempadan situ tersebut berkembang bangunan permanen seperti
sebagian komplek dosen UI, fasilitas pendidikan (gedung UIN), dan juga rumah masyarakat
umum.

C. Analisis Penyebab Runtuhnya Tanggul Situ Gintung


Secara umum runtuhnya tanggul Situ Gintung disebabkan oleh 3 faktor, yaitu faktor alam,
bangunan tanggul dan human error.

1. Faktor Alam
Terjadi hujan lebat yang mengguyur bagian hulu di Bogor sejak pukul 16.00 hingga 21.00
WIIB Kamis, 26 Maret 2009. Akibatnya, air terkonsentrasi dan berkumpul di Pesanggrahan
dan tidak tertampung pada saluran pelimpahan (spill way) di tanggul Situ Gintung.
Tangerang hanya mampu menampung air setinggi 2 – 3 meter. Namun, pada Jumat dini hari,
27 Maret 2009, air meluap dengan ketinggian mencapai 5 – 7 meter sehingga melewati
tanggul.

2. Faktor Fisik
Tanggul tersebut terbuat dari tanah urugan, karena pada awalnya tanggul tersebut dibuat oleh
3
belanda diperuntukkan bagi irigasi air. Air tersebut akan digunakan untuk mengairi sawah-
sawah penduduk yang ada dibawah Situ Gintung, namun sekarang Situ tersebut telah beralih
fungsi menjadi daerah konservasi air, sawah-sawah tersebut sudah berganti dengan
perumahan penduduk.
Karena tanggul tersebut dibuat dari tanah urug, maka debit air yang melimpas sampai ke
permukaan tanggul akan meresap ke dalam tanah urug tadi dan membuat tanah urug tersebut
menjadi jenuh air sehingga tanah menjadi gembur dan tahan geser berkurang.

3. Faktor human error


Pada tahun 2006 sampai 2007 terjadi beberapa kali retakan pada baadn tanggul Situ Gintung,
akan tetapi tidak ada tindakan berarti yang dilakukan. Curah hujan yang meningkat
seharusnya bisa memperingatkan pemerintah setempat akan bahaya retakan dinding tanggul
Situ Gintung tersebut.
Izin mendirikan bangunan pada daerah sekitar tanggul seharusnya tidak dilakukan. Selain itu
masyarakat, yang sudah terlanjur menempati daerah rawan tersebut harus diberikan
sosialisasi tentang bahaya yang terjadi jika tanggul jebol, sehingga korban jiwa dapat
diminimalisir.

D. Management Bencana
Pra Bencana
A. Pencegahan
Pencegahan dengan cara memberikan peringatan kepada warga agar dapat
waspada terhadap suatu bencana yang akan menyebabkan runtuhnya tanggul
tersebut.
B. Mitigasi
Pada fase ini dilakukan usaha-usaha untuk meredam dan mengurangi bencana
dan juga meredam atau mengurangi dampak bencana. Pada fase ini bidang
kesehatan lebih cenderung pasif, dengan melakukan pengobatan dan upaya
kesehatan yang insidentil dan screening penduduk yang terkena musibah
tersebut melalui pengobatan mssal. Fase ini lebih banyak diperankan oleh
institusi lainnya dengan,
a) Pengenalan faktor resiko/Hazard, penyebab-penyebab harus dikenali
b) Rencana mereduksi faktor resiko, jika penyebab dikenali makan faktor
resiko diturunkan atau dihilangkan
4
c) Rencana mengurangi dampak bencana (Mitigation Plan), jika bencana
tidak dapat dihindari maka dilakukan rencana pengurangan dampak
bencana
C. Kesiapsiagaan
a) Penyusunan dan uji coba bencana penanggulangan kedaruratan
bencana
b) Pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini
c) Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan
dasar
d) Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme
tanggap darurat
e) Penyiapan lokasi evakuasi
f) Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap
tanggap darurat bencana, dan penyediaan dan penyiapan bahan,
barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan
sarana.

Puskesmas melakukan fase kesiapsiagaan seperti :


1. Revitalisasi sarana dan pra sarana PPPK (Ambulance, Peralatan, Obat-
obatan).
2. Menyiagakan Brigada siaga Bencana (BSB).
3. Merlaksanakan rencana kontingensi (pendelegasia tugas) dengan
membentuk Gugus Tugas untuk menempati Pos-Pos tertentu yang
sudah ditentukan melalui kesepakatan rapat evaluasi bencana.

e. Penanganan Pasca Bencana


Dalam rencana pemulihan Situ Gintung tersebut termasuk didalamnya rencana
pembuatan saluran (sungai) untuk mengalirkan air limpahan situ dari spillway sampai
ke Kali Pesanggrahan. Sungai tersebut direncanakan akan dibuat dengan lebar 6 meter
agar cukup untuk menampung aliran air dari Situ Gintung.
Dalam upaya penanganan pasca bencana, kembali panataan ruang menjadi alat
yang sangat vital. Sebelum areal yang terkena bencana (area terdampak) dibangun

5
kembali, terlebih dahulu perlu direncanakan dengan baik bagaimana ruang tersebut
sebaiknya dikembangkan.
Dengan sudah banyaknya penduduk yang tinggal di kawasan hilir Situ
Gintung yang merupakan areal terdampak, bahkan beberapa sudah memiliki serifikat
tanah dan juga IMB, tentunya akan sangat tidak mudah untuk menata kembali
kawasan situ Gintung. Terdapat beberapa opsi yang dapat diterapkan untuk menata
kembali Kawasan Situ Gintung, yaitu :

1. Memindahkan penduduk yang terkena bencana ke tempat lain yang lebih aman,
membongkar bangunan-bangunan yang masih ada, dan menjadikan areal terdampak
menjadi ruang terbuka hijau, serta dapat pula dikembangkan fasilitas umum seperti
lapangan olah raga, dsb.
2. Mengijinkan kembali masyarakat korban bencana untuk membangun kembali di tanah
milik mereka semula di area terdampak, dengan harapan bencana tidak akan terjadi
lagi karena tanggul akan diperbaiki dan diperkuat strukturnya. Namun demikian tetap
diperlukan building code tertentu agar bangunan yang dibangun kembali aman bila
seandainya terjadi kembali bencana. Untuk lebih menjamin keamanan masyarakat
yang kembali ke area yang beresiko bencana tersebut perlu dilakukan pengawasan
secara rutin terhadap tanggul bendungan agar bila terjadi kerusakan bisa ditangani
segera. Masyarakat yang tanahnya terpakai oleh alur sungai dan sempadan sungai
perlu dipindahkan ke tempat lain, atau diberi ganti rugi yang wajar.
3. Menata kembali kawasan dengan metoda land consolidation agar semua masyarakat
yang memiliki tanah dapat kembali ketempat semula, dengan kavling tanah yang lebih
teratur walaupun lebih kecil. Dalam hal ini juga diperlukan building codetertentu agar
bangunan yang dibangun kembali aman bila seandainya terjadi kembali bencana.
Selain itu juga perlu dilakukan pengawasan rutin terhadap tanggul situ, agar
keamanan masyarakat yang tinggal di area yang berisiko dapat tetap terjaga.

F. Rencana Penanganan Bencana Situ Gintung

6
Secara umum, ada 2 penanganan bencana yang harus dilakukan, yaitu penanganan bencana
jangka pendek dan penanganan bencana jangka panjang. Kemudian dari penanganan bencana
tersebut, akan dihasilkan rencana penanganan bencana Situ Gintung, sehingga dapat
dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan penanganan bencana
Situ Gintung.

Penanganan Jangka Pendek


Penanganan ini dilakukan dalam waktu singkat sesaat setelah terjadinya bencana, sehingga
kekacauan tidak berlangsung terlalu lama. Ada 2 faktor yang harus diperhatiakan, yaitu faktor
manusia dan tanggul Situ Gintung.
Dari sisi manusia, trauma pada korban selamat yang memiliki pengalaman langsung dan
menyaksikan kejadian yang mengancam kematian, sehingga dibutuhkan terapi psikis dan
terapi obat dalam hal mengurangi trauma pada korban yang selamat. Selain itu pembersihan
lingkungan harus segera dilakukan agar para korban selamat terhindar dari wabah penyakit.
Dari sisi fisik, khususnya penanganan tanggul Situ Gintung, maka ada beberapa hal yang
dapat dilakukan, yaitu pembuatan drainase untuk menyalurkan air yang tumpah dari situ ke
Sungai Pesanggrahan, segera memperbaiki pintu air agar bisa berfungsi dengan baik.
Penanganan Jangka Panjang
Penanganan ini dilakukan beberapa waktu setelah terjadinya bencana dan setelah kondisi
wilayah bencana sudah mulai normal. Ada 2 faktor yang harus diperhatikan, yaitu faktor
alam dan tata ruang.
Dari sisi pengelolaan alam, maka yang harus dilakukan adalah dengan mengembalikan fungsi
daerah tersebut sebagai daerah resapan. Yang menjadi salah satu penyebab jebolnya tanggul
Situ Gintung adalah tanggul tersebut tidak dapat menahan debit air lebih dari 2 juta meter
kubik, sehingga diperlukan rekayasa geologi agar debit air yang masuk ke Situ Gintung tidak
melimpah.
Penanganan bencana alam harus dilakukan secara terpadu. Untuk menahan debit air berlebih
yang ditampung Situ Gintung, maka revitalisasi harus dilakukan dibagian hulu sungai. Dalam
menghadapi permasalahan tersebut, yang harus dilakukan adalah dengan menahan debit air
berlebih yang turun ke wilayah Situ gintung. Solusinya yaitu dengan pembuatan sumur-
sumur resapan di daerah bagian hulu sungai.
Keunggulan dari pembuatan sumur-sumur resapan ini adalah, biayanya yang murah, tidak
membutuhkan lahan yang luas, dan pembuatan sumur-sumur resapan ini juga dapat

7
meningkatkan peran serta masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan wilayahnya
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai