Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kerusakan lingkungan telah menjadi keprihatinan banyak pihak, hal
ini disebabkan oleh timbulnya bencana yang dirasakan seperti bencana alam
banjir, tanah longsor dan kekeringan yang semakin meningkat. Rusaknya
wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai daerah tangkapan air
diduga sebagai salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam tersebut.
Kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam
sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi,
konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor, antar wilayah
hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah. Pada era otonomi
daerah, sumber daya alam ditempatkan sebagai sumber Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
Melihat kondisi fisik Kabupaten Pesawaran Pemetaan daerah rawan
bencana sangat diperlukan dalam rangka memberikan sebuah ”early
warning system” bagi masyarakat mengenai lokasi-lokasi yang dianggap
beresiko tinggi terhadap bencana dan lokasi-lokasi yang aman dari bencana.
Sehingga, diharapkan dari informasi tersebut dapat dilakukan langkah-
langkah yang tepat bagi perencanaan tata ruang untuk memperbaiki
lingkungan serta meminimalisir efek bencana secara efektif.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Pemetaan Rawan Bencana?
2. Bagaimana Pembuatan Peta Rawan Banjir?
3. Bagaimana Pembuatan Peta Rawan Longsor?
4. Bagaimana Pembuatan Peta Potensi Dan Rawan Tsunami?
5. Apa itu Peta Resiko Gempa Bumi?
6. Apa itu Pemetaan Kerawanan Kebakaran Hutan?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Pemetaan Rawan Bencana
2. Untuk mengetahui Pembuatan Peta Rawan Banjir
3. Untuk mengetahui Pembuatan Peta Rawan Longsor
4. Untuk mengetahui Pembuatan Peta Potensi Dan Rawan Tsunami
5. Untuk mengetahui Peta Resiko Gempa Bumi
6. Untuk mengetahui Pemetaan Kerawanan Kebakaran Hutan

1.4 Manfaat

Dalam pembahasan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam


memahami lebih lanjut mengenai pemetaan daerah bencana.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pemetaan Rawan Bencana

Bencana (hazard) adalah suatu peristiwa di alam atau di lingkungan


buatan manusia yang berpotensi merugikan kehidupan manusia, harta,
benda atau aktivitas bila meningkat menjadi bencana. Banyak definisi
tentang bencana (Lundgren, 1986; Carter, 1992; UNDP/UNDRO, 1992;
Sutikno, 1994; Bakornas PBP, 1998).
Lundgren (1986) mendefinisikan bencana sebagai peristiwa/kejadian
potensial yang merupakan ancaman terhadap kesehatan, keamanan, atau
kesejahteraan masyarakat atau fungsi ekonomi masyarakat atau kesatuan
organisasi pemerintahan yang lebih luas. Bencana alam oleh Carrara (1984)
dikatakan sebagai bencana yang disebabkan oleh proses alam yang dipicu
oleh aktivitas manusia, dan merupakan salah satu unsur dalam penilaian
risiko bencana.
Sementara menurut UNDP/UNDRO (1992) yang dimaksud dengan
bencana adalah semua fenomena atau situasi yang berpotensi menimbulkan
kerusakan atau kehancuran pada manusia, jasa, dan lingkungan.
Menanggapi banyaknya definisi tentang bencana Carter (1992)
menyimpulkan bahwa sebagian besar definisi bencana (hazard)
mencerminkan karakteristik yaitu : gangguan terhadap kehidupan normal,
efek terhadap manusia, seperti menjadi korban, luka/cacat, gangguan
kesehatan, efek terhadap struktur sosial, dan kebutuhan masyarakat.
Kerawanan (vulnerability) adalah tingkat kemungkinan suatu objek
bencana yang terdiri dari masyarakat, struktur, pelayanan atau daerah
geografis mengalami kerusakan atau gangguan akibat dampak bencana atau
kecenderungan sesuatu benda atau mahluk rusak akibat bencana (Sutikno,
1994; UNDP/UNDRO, 1992). Pada elemen kerentanan terdapat elemen
intangibles, pada umumnya tidak diperhitungkan karena sulit
perhitungannya, dan kebanyakan elemen tangible. Tingkat kerentanan

3
bencana dapat dinilai secara relatif berdasarkan macam dan besaran elemen
bencana yang besarnya dinyatakan dengan skala numerik.
Risiko (Risk) merupakan perkiraan kerugian atau kehilangan akibat
suatu bencana terhadap elemen yang menghadapi risiko di masa depan
dalam suatu periode waktu tertentu (UNDP/UNDRO, 1992). Risiko suatu
daerah atau suatu objek terhadap suatu jenis dapat diperhitungkan
tingkatannya. Perhitungan risiko umumnya mempertimbangkan jenis dan
besaran kehilangan atau kerugian. Parameter umum yang digunakan adalah
biaya ekonomi, karena semua tipe kerugian dapat dikonversikan ke dalam
biaya ekonomi. Efek yang dianggap sebagai biaya ekonomi disebut
kerugian tangible (dapat diperhitungkan/dinilai), sedang yang tidak dapat
dikonversikan ke dalam nilai uang disebut kerugian intangible.
Pemetaan daerah rawan bencana dilakukan dengan Metode non
sistematik yaitu dengan menggunakan data-data dan informasi yang telah
tersedia dari survei-survei terdahulu dan dilengkapi dengan peta-peta
pendukung.

2.1.1 Pembuatan Peta Rawan Banjir

Karakteristik DAS sangat dipengaruhi pula oleh letaknya di


dalam DAS itu sendiri. Untuk daerah hulu dengan alur sungai yang
relatif curam dan bukit-bukit terjal, maka banjir dengan waktu datang
sangat singkat sering terjadi. Namun di daerah ini banjir akan datang
dengan waktu yang singkat, demikian pula dengan waktu berakhirnya,
karena elevasi daerah yang relatif lebih tinggi sehingga air banjir
dengan mudah mencari alur keluar. Untuk daerah tengah banjir yang
terjadi datangnya tidak secepat pada daerah hulu, demikian pula air
banjir biasanya masih mudah untuk diatuskan keluar daerah dengan
gaya beratnya sendiri. Pada derah hilir, kemiringan dasar sungai
maupun kemiringan tanah di kawasan ini biasanya sangat kecil dan
relatif datar. Biasanya waktu datang banjir cukup lama, namun
pengatusan air genangan juga mengalami kesulitan. Hal ini biasanya
disebabkan oleh energi air yang sudah kecil, sehingga air genangan

4
tidak mungkin diatuskan dengan gaya berat. Jika kondisi ini dibarengi
dengan pasang surut air laut pada kondisi tinggi, maka pengatusan air
tanpa bantuan pompa, hampir tidak mungkin. Pada daerah ini,
penanganan banjir harus mengintegrasikan pengaruh aliran banjir di
sungai dengan hidrodinamika gerakan pasang surut di laut (Luknanto,
2002).

a. Metoda Pemetaan Daerah Rawan Banjir di Sungai Yang


Dangkal
Metoda pemetaan banjir di pedesaan maupun perkotaan
daerah hulu maupun hilir yang relatif dangkal, menggunakan data
sekunder peta geologi skala 1 : 100.000 sebagai dasar pengenalan
jenis batuan secara regional. Selanjutnya dengan analisis peta
topografi skala 1 : 25.000 di studio untuk memperkirakan zona
banjir dari sebuah sungai berstadia dewasa (berkelok-kelok)
berdasarkan sebaran dataran banjirnya. Dengan bekal peta dasar
minimal skala 1 : 25.000 dilakukan survai geologi lapangan untuk
mencari data primer berupa : tebal endapan aluvial di tebing, jenis
endapan aluvial di tebing, bentuk fragmen batuan, lebar dan
sebaran dataran banjir, jenis sedimen di dalam alur sungai,
kelerengan sungai.
b. Metoda Pemetaan Daerah Rawan Banjir di Sungai yang
Dalam
Pada lembah sungai yang dalam apalagi kelerengan dasar
sungai masih cukup besar umumnya tidak mempunyai dataran
banjir, karena air sungai tidak pernah melimpas ari bibir sungai,
tetapi yang ada adalah teras-teras sungai yang terjadi secara alami
atau buatan manusia untuk pemukiman. Endapan teras secara
geologi adalah sedimen yang diendapkan di kiri-kanan sungai, di
dalam bantaran dan prosesnya terjadi saat muka air sungai tinggi
ketika ada kenaikan debit.

5
Untuk memetakan posisi dan koordinat pemukiman yang
ada di bantaran sungai secara cepat, lebih efektif menggunakan
interpretasi citra IKONOS / QUICKBIRD atau FOTO UDARA
dengan skala 1 : 1000 – 1 : 10.000. Daerah pemukiman yang
diperkirakan terkena banjir ditumpang tindihkan dengan kontur
tinggi banjir tertentu yang di dapat dari perhitungan hidrologi
dengan kala ulang tertentu. Kontur tinggi banjir tertentu harus di
cek di lapangan karena akurasi kontur dari citra belum tentu
benar.
Metoda pemetaan banjir yang efektif adalah hasil
perhitungan hidrologi di uji silang dengan survey geologi
lapangan terhadap teras sungai, yang di amati adalah : ketinggian
endapan teras, tebal endapan, jenis endapan diplot pada peta dasar
1 : 1000 sampai 1 : 10.000. Pada banjir yang masih baru terjadi,
yaitu kejadiannya 1-3 tahun yang lalu biasanya indikator sampah
yang tersangkut di bambu/tebing masih bisa terlihat sebagai data
pengontrol bagi hasil wawancara dengan masyarakat.
Data yang dibutuhkan adalah data peta kontur dari peta rupa
bumi indonesia skala 1 : 25.000 dan peta DAS mencakup seluruh
daerah Kabupaten Kutai Kertanegara.
Model data yang digunakan adalah data Digital Elevation
Model (DEM). DEM ini dibuat dengan interpolasi data digital
kontur. DEM merupakan data raster atau grid yang
merepresentasikan ketinggian diatas permukaan laut.
Dari data tersebut, dapat diturunkan berbagai macam data.
Yaitu, slope (kelerengan), flow direction (arah aliran), flow
accumulation (akumulasi aliran), stream power index (index
kekuatan aliran) dan wetness index (index kebasahan).
Topographic Wetness index (index kebasahan) yang telah
dibuat diklasifikasi menjadi tingkat kerawanan banjir. Klasifikasi
yang dilakukan menjadi 5 kelas dengan, yaitu kelas sangat rawan,
rawan, agak rawan, potensial rawan dan tidak rawan.

6
Tingkat Kerawanan Banjir Nilai Indek Kebasahan
Tidak Rawan 5.01-7.37
Potensi Rawan 7.37-9.73
Agak Rawan 9.37-12.091
Rawan 12.091-14.451
Sangat Rawan 14.451-16.812

2.1.2 Pembuatan Peta Rawan Longsor


Berdasarkan analisis Peta Rupa Bumi Indonesia dari
Bakosurtanal dengan skala 1 : 25.000 kondisi Topografi suatu wilayah
dapat dikelompokkan kelerengannya menjadi 15 o – 30 o , 30 o – 45 o
dan >45o , semakin besar sudut kelerengan maka kondisi tanah
semakin tidak stabil dari segi mekanika batuan tetapi belum tentu
rawan longsor. Untuk menduga suatu daerah rawan longsor peta
kelerengan tersebut di tumpang-tindihkan dengan tata guna lahan, jika
daerah tersebut tanahnya kritis/gundul maka peluang longsor semakin
tinggi. Hasil peta selanjutnya ditumpang-tindihkan dengan kondisi
batuan dan struktur geologi, jika batuan lapuk atau lunak atau adanya
struktur sesar/patahan maka peluang longsor makin besar. Hasil peta
selanjutnya di tumpang-tindihkan dengan peta hujan / Isohyet jika
curah hujan > 2000 mm/tahun maka pemicu terjadinya longsor
semakin jelas di depan mata, tinggal cek di peta apakah zonasi
tersebut dekat pemukiman / infrastruktur atau jika longsor berada
pada jalur longsor. Sebagai mekanisme ricek dilakukan pemetaan
lapangan untuk memastikan kondisi sebenarnya apakah kondisi
sebenarnya sangat rawan longsor atau baru berpotensi longsor.

7
Peta yang digunakan adalah :

a. Peta Geologi dan Potensi Bahan Galian


b. Peta Landsystem
c. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000
d. Peta Jenis Tanah
e. Peta curah hujan
f. Peta Penggunaan Lahan.

Informasi yang diperlukan berupa peta kontur, peta geologi, peta


landsystem, peta penggunaan lahan, peta tanah, peta iklim (curah
hujan). Dari peta-peta tersebut dilakukan teknik overlay dan skoring
dengan bantuan software GIS. Dalam kegiatan ini, dilakukan analisa
data berdasarkan data yang tersedia dengan memperhatikan faktor-
faktor pemicu terjadinya bencana. Faktor-faktor yang diperhitungkan
disini adalah :

1. Faktor kelerengan
2. Faktor Hidrologi dan DAS
3. Faktor geologis
4. Faktor litologis
5. Faktor curah hujan
6. Faktor patahan
7. Faktor jalan
8. Faktor pemukiman
9. Faktor penggunaan lahan
10. Faktor tekstur tanah menggunakan pendekatan jenis tanah

Model perhitungan dalam estimasi daerah rawan bencana


dilakukan dengan menggunakan raster based processing pada software
ArcView 3.3, dengan ekstension 3d Analyst, Spatial Analyst, Grid
Analyst. Model estimasi daerah rawan bencana dibangun dengan
Model Builder menggunakan metode Arithmatic Overlay Analysis.

8
Hasil dari estimasi longsor ini diklasifikasikan menjadi 5 kelas.
Yaitu kelas longsor sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, sangat
tinggi. Pembagian kelas ini dengan melihat sebaran nilai yang
dihasilkan dari perhitungan kemudian dibagi secara merata menjadi 5
bagian, nilai dapat dilihat pada Tabel berikut.

Klasifikasi daerah rawan longsor Nilai


Sangat rendah 5 – 12.6
Rendah 12.6 – 20.2
Sedang 20.2 – 27.8
Tinggi 27.8 – 35.4
Sangat tinggi 35.4 – 43

2.1.3 Pembuatan Peta Potensi Dan Rawan Tsunami

a. Peta Potensi Tsunami


Peta potensi tsunami adalah peta bahaya tsunami pada daerah
tersebut berdasarkan peristiwa tsunami yang pernah terjadi. Data
dasar yang dipakai dalam pembuatan peta ini adalah ketinggian
“run up” (limpasan gelombang tsunami di pantai) yang terukur di
lapangan. Ketinggian diukur dengan titik dasar pada garis pantai.
“Run up” dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu : tidak bahaya,
dengan tinggi run up 0–2 m; bahaya, dengan tinggi run up 2–5 m;
dan sangat bahaya, dengan tinggi run up lebih dari 5m.

b. Peta Rawan Tsunami


Peta rawan tsunami menggambarkan pantai yang rawan
terhadap bahaya tsunami. Kerawanan terhadap tsunami disusun
berdasarkan peta tektonik, dimana zona-zona subduksi dan zona
busur dalam (back arc thrust) merupakan sumber gempabumi
dangkal di laut. Dengan demikian pantai yang menghadap kedua
kondisi tektonik tersebut merupakan pantai yang rawan tsunami.

9
2.1.4 Peta Resiko Gempa Bumi

Peta resiko gempa bumi yang dihasilkan dari integrasi dua peta
yaitu peta yang menampilkan dampak gempa bumi di lokasi tertentu.
Penampilan peta ini bisa dari integrasi percepatan maksimum tanah
dengan Tsunami dan distribusi energi gempa dengan tsunami. Untuk
integrasi ini perlu didefinisikan tingkat resiko gempa bumi. Definisi
yang kita pakai sangat subjektif, karena banyak parameter yang tidak
tersedia. Definisi ini sangat mudah diubah-ubah dalam aplikasi SIG,
sesuai dengan tingkat resiko dan parameter yang tersedia. Parameter
yang dimaksud sangat dipengaruhi oleh kondisi lokal seperti ketebalan
lapisan sedimen dan perioda dominan lapisan tanah.

2.1.5 Pemetaan Kerawanan Kebakaran Hutan


Berbagai model dikembangkan untuk pemetaan kerawanan
kebakaran hutan (Chuvico dan Salas, 1996; Darmawan dkk, 2001).
Secara ringkas terbagi tiga yaitu: model berdasarkan pemilihan senstif
index atau pembobotan dan skoring atas faktor penyebab kebakaran
hutan, berdasarkan regresi analysis, dan berdasarkan standard index.
Pemetaan resiko kebakaran hutan
Kajian risiko kebakaran hutan sebetulnya mirip dengan kajian
bencana yang lain, yang membedakan adalah faktor penyebab, tingkat
bencana dan elemen yang terkena menghadapi risiko. Analisa resiko
kebakaran tergantung pada lokasinya apakah di hutan lindung atau di
areal perkebunan.
Risiko = nilai indikator x nilai faktor x nilai komponen ekonomi dan
atau lingkungan.
R=ixfxk
Keterangan :
R = risiko
i = indikator
f = faktor
k = komponen

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Bencana (hazard) adalah suatu peristiwa di alam atau di lingkungan


buatan manusia yang berpotensi merugikan kehidupan manusia, harta,
benda atau aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

Kerawanan (vulnerability) adalah tingkat kemungkinan suatu objek


bencana yang terdiri dari masyarakat, struktur, pelayanan atau daerah
geografis mengalami kerusakan atau gangguan akibat dampak bencana atau
kecenderungan sesuatu benda atau mahluk rusak akibat bencana.

Risiko (Risk) merupakan perkiraan kerugian atau kehilangan akibat


suatu bencana terhadap elemen yang menghadapi risiko di masa depan
dalam suatu periode waktu tertentu.

Pemetaan daerah rawan bencana dilakukan dengan Metode non


sistematik yaitu dengan menggunakan data-data dan informasi yang telah
tersedia dari survei-survei terdahulu dan dilengkapi dengan peta-peta
pendukung.

3.2 Saran

Disadari oleh kelompok bahwa makalah yang telah disusun oleh


kelompok yang berjudul “Pemetaan Daerah Bencana” masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kelompok mengharapkan saran terhadap
makalah yang bersifat membangun agar makalah yang dibuat dapat menjadi
lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain masyarakat pada umumnya.

11

Anda mungkin juga menyukai