Bab Ii Tinjauan Pustaka PDF
Bab Ii Tinjauan Pustaka PDF
TINJAUAN PUSTAKA
13
mengandung senyawa lignin, minyak, lemak, dan resin yang umumnya ditemui
pada jaringan tumbuh-tumbuhan. Kemudahan dekomposisi bahan organik
ditunjukkan oleh Brady (1990) dengan urutan semakin ke bawah maka bahan
organik semakin mudah terdekomposisi dan sebaliknya, semakin ke atas maka
bahan organik semakin sulit terdekomposisi. Urutan kemudahan dekomposisi
bahan organik adalah sebagai berikut :
1. Gula, zat pati, protein sederhana mudah terdekomposisi
2. Protein kasar
3. Hemiselulosa
4. Selulosa
5. Lemak
6. Lignin, lemak, lilin dan lain-lain. Sangat lambat terdekomposisi
2.2. Kompos
Kompos merupakan bahan organik yang terdiri dari sisa-sisa tanaman,
hewan, ataupun sampah-sampah kota yang telah mengalami pelapukan sebelum
bahan tersebut ditambahkan ke dalam tanah. Menurut kamus Webster’s New
International Dictionary dalam Rodale, et al. (1975) kompos merupakan suatu
campuran untuk pemupukan atau perbaikan lahan, berupa campuran pupuk dari
beberapa bahan seperti gambut, jamur daun, rabuk, kapur, dan lain-lain yang
kemudian ditumpuk dan didekomposisikan. Selain itu, menurut Djajakirana
(2002) kompos didefinisikan sebagai campuran pupuk dari bahan organik yang
berasal dari tanaman atau hewan atau campuran keduanya yang telah terlapuk
sebagian dan dapat berisi senyawa-senyawa lain seperti abu, kapur dan bahan
kimia lainnya sebagai bahan tambahan.
Gaur (1981) menyatakan bahwa pengomposan merupakan metode yang
aman bagi daur ulang bahan organik menjadi pupuk. Unsur-unsur yang
14
terkandung dalam bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan diubah
dalam bentuk yang dapat digunakan tanaman (menjadi tersedia) hanya melalui
pelapukan (Millar et al., 1958).
Dekomposisi bahan organik merupakan proses biokimia, sehingga setiap
faktor yang mempengaruhi mikroorganisme tanah juga mempengaruhi laju
dekomposisi bahan organik. Beberapa faktor tersebut adalah 1) sifat bahan
tanaman (jenis tanaman, umur tanaman, dan komposisi kimia tanaman); 2) sifat
tanah (termasuk aerasi, suhu, kelembaban, kemasaman dan tingkat kesuburan);
dan 3) faktor-faktor iklim terutama pengaruh dari suhu dan kelembaban (Millar et
al., 1958). Sedangkan Gaur (1981) menyebutkan seluruh faktor yang
mempengaruhi pengomposan antara lain : nisbah C/N, ukuran bahan, campuran
atau proporsi bahan, kelembaban dan aerasi, suhu, reaksi, mikroorganisme yang
terlibat, penggunaan inokulan, pemberian kalsium fosfat dan penghancuran
organisme patogen.
Nisbah C / N
Nisbah C/N bahan organik merupakan faktor terpenting dalam
pengomposan, nisbah C/N optimum untuk bahan pengomposan berkisar antara
30-40, semakin rendah nisbah C/N bahan maka waktu pengomposan semakin
singkat (Gaur, 1981). Sedangkan Miller (1959) menyebutkan bahwa nilai C/N
ratio 9-12 dapat dianggap sebagai acuan dalam pembuatan kompos yang baik,
karena pada C/N ratio tersebut proses dekomposisi sudah selesai dan aktivitas
mikroorganisme menurun sehingga unsur-unsur menjadi lebih tersedia.
Ukuran Bahan
Pada umumnya makin muda tanaman makin cepat laju dekomposisinya, hal
ini disebabkan karena tingginya kadar air, kadar N yang tinggi, nisbah C/N yang
sempit, rendahnya lignin dan bahan lain yang tahan pelapukan (Millar et al.,
1958). Makin kecil ukuran partikel bahan sampai ukuran lebih kurang 5 cm,
perombakan dapat berjalan makin cepat karena terjadi penambahan luas
permukaan untuk diserang mikroorganisme (Gaur, 1981; Rodale et al., 1975).
15
Kelembaban
Pengomposan aerobik dapat berlangsung pada kisaran kelembaban 30-100
persen, nilai kelembaban optimum pengomposan aerobik berkisar antara 50-60
persen, dekomposisi akan berlangsung lambat pada kelembaban di bawah 40%
bobot (Gaur, 1981).
Temperatur
Suhu yang tinggi merupakan keadaan yang baik bagi perombakan untuk
membunuh organisme patogen dan biji-biji gulma, secara umum suhu akan tinggi
pada 2-7 hari pertama dengan kisaran 55-70 ºC seterusnya menurun secara
perlahan mendekati suhu kamar (Gaur, 1981). Suhu yang optimum bagi
pengomposan menurut Wiley dan pierce (1955) dalam Gaur (1981) adalah 60 ºC
dan suhu maksimum adalah 71ºC (Wiley, 1957 dan Schulz, 1961 dalam Gaur
1981). Di bawah kondisi suhu yang optimum dan kelembaban yang cukup, sisa-
sisa tanaman menjadi sasaran serangan bermacam-macam kelompok
mikroorganisme (Kononova, 1966).
Reaksi
Pada awal pengomposan reaksi cenderung asam sampai netral sekitar 6-7
karena bahan yang dirombak menghasilkan asam-asam organik, suasana yang
alkalin dapat meningkatkan volatilisasi amonia (Gaur, 1981). Pada pengomposan
aerobik oksigen merupakan faktor penting di samping mikroorganisme, reaksi
yang terjadi pada pengomposan aerobik adalah :
• Gula (CH2O)x
Selulosa + xO2 xCO2 + xH2O + E
Hemiselulosa
• Protein On On
(N organik) NH4 + NO2 NO3 + E
• Sulfur organik, S + xO SO4- + E
• Posfor organik H3PO4 + Ca (HPO4)2
Fitin, Lesitin
• Reaksi keseluruhan :
Aktivitas Mikroba
Bahan Organik + On CO2 + H2O + Unsur Hara + Humus + E
16
Starter
Kecepatan dan kualitas kompos dapat ditingkatkan melalui sistem
pengomposan, dan penambahan aktivator serta unsur-unsur C, N, P, K, dan Ca
yang berasal dari bahan organik seperti darah hewan dan kotoran ternak (Gaur,
1981). Berdasarkan laporan organik Experimental farm (Rodale et al., 1975)
direkomendasikan beberapa rumusan dalam membuat kompos, di mana
diterangkan bahwa jumlah kapur yang ditambahkan adalah satu bagian untuk 80
bagian jerami. Menurut Ramdani (1985) dan Tridarmanto (1985) pemberian dosis
kotoran 33% dari jumlah jerami memberikan kecepatan dekomposisi, produksi
dan kualitas kompos yang paling baik.
Kematangan kompos
Kompos yang sudah matang secara fisik digambarkan sebagai struktur
remah, agak lepas dan tidak gumpal, berwarna coklat kegelapan, baunya mirip
humus atau tanah dan reaksi agak masam sampai netral, tidak larut dalam air,
bukan dalam bentuk biokimia yang stabil tetapi berubah komposisinya melalui
aktivitas mikroorganisme, kapasitas tukar kation yang tinggi dan daya absorpsi air
tinggi, jika dicampurkan ke tanah akan menghasilkan akibat yang menguntungkan
bagi tanah dan pertumbuhan tanaman (Gaur, 1981). Kematangan kompos dapat
ditentukan berdasarkan nisbah C/N kompos, sedangkan kandungan hara kompos
berhubungan dengan kualitas bahan asli yang dikomposkan.
Untuk mendapatkan nilai C/N ratio tertentu, sangat tergantung pada bahan
yang digunakan serta cara pengomposannya. Teknik pengomposan dan jumlah
bahan yang berbeda akan membutuhkan waktu yang berbeda dan mendapatkan
nilai C/N ratio yang berbeda pula. Hal tersebut dibuktikan oleh beberapa
penelitian yang dilakukan oleh : (1) Yustiningsih (1981) melakukan pengomposan
jerami padi dengan jumlah yang cukup kecil (hanya 30 kg bahan) membutuhkan
waktu pengomposan selama 16 minggu untuk C/N sekitar 18-20, karena selain
volume tumpukan bahan organik yang relatif kecil juga disebabkan oleh
pembalikan yang hanya dilakukan setiap satu bulan sekali sehingga hanya
mencapai suhu maksimum 40 ºC dan mendapatkan nisbah C/N sekitar 18-20; (2)
Azieza (1981) melakukan pengomposan di inkubator yang dipertahankan dengan
suhu 35ºC membutuhkan waktu 6 minggu untuk menghasilkan nisbah C/N sekitar
17
12; dan (3) Indriyati, (2006) melakukan pengomposan dengan volume tumpukan
bahan sebesar 2 m3 (2 x 1 x 1)m membutuhkan waktu selama 8 bulan untuk
mencapai nisbah C/N sekitar 14. Waktu pengomposan yang lama tersebut
disebabkan oleh pembalikan kompos yang terlalu sering yaitu 2-3 kali dalam
sehari, hal ini jelas mengakibatkan suhu optimum pengomposan tidak akan
tercapai sehingga waktu pengomposan dan penurunan C/N ratio menjadi sangat
lambat.
18
dan fulvat) perlu dijadikan sebagai salah satu acuan dan standar untuk
menentukan kualitas kompos.
19
asam humat. Sedangkan Wahjudin, (2003) menunjukkan manfaat pemberian
kompos pada tanah (Vertic Hapludult) yang diberikan tambahan (2%) kompos
dari jerami padi yang masih mentah (C/N>45) akan meningkatkan kandungan
asam humat pada bahan campuran sampai hampir 50 kali lipat lebih besar dari
kandungan asam humat pada bahan kompos itu sendiri dan meningkatkan
produksi tanamanan uji. Walaupun terdapat keraguan dari mana terjadinya
peningkatan asam humat sebesar itu, tetapi informasi tersebut paling tidak
menunjukkan bahwa asam humat dan asam fulvat merupakan salah satu sifat
penting pada kompos.
Pemisahan asam humat didasarkan atas kelarutannya dalam asam dan
alkali. Diagram alur untuk pemisahan senyawa-senyawa humat ke dalam fraksi-
fraksi humat yang berbeda dapat terlihat pada Gambar 1.
dengan alkali
dengan alkali
dengan asam
Prosedur yang paling umum digunakan untuk ekstraksi asam humat adalah
dengan NaOH (Stevenson, 1982) dan menurut Pierce dan feldbeck (1975) dalam
Tan (1993) mengemukakan bahwa larutan NaOH 0.1 N lebih disukai oleh sifat
ekstraknya yang tidak terlalu kuat dibanding NaOH 0.5 N.
21
Kaliandra dapat tumbuh dengan baik pada berbagai macam tipe tanah dan
cocok untuk tanah asam yang berasal dari batuan vulkanik, tingkat toleransi
terhadap kekeringan dikategorikan sedang (1-7 bulan kering per tahun) dan dapat
tumbuh baik pada daerah dengan rata-rata curah hujan tahunan antara 700-4000
mm, tetapi tidak tahan tergenang air (Tangendjaja et al., 1992). Daun kaliandra
mengandung protein di atas 20%, kadar lemaknya tidak tinggi dan tidak melebihi
5%, begitu pula kadar abunya rendah.
Tabel 2. Komposisi Kimia Sereal dan Jerami Padi serta Kayu Keras (www.
Fiberfutures.org dalam Indriyati, 2006).
Sifat kimia Sereal (%) Jerami padi (%) Kayu keras (%)
Selulosa 45-55 43-49 57
Hemiselulosa 26-32 23-28 23
Lignin 16-21 12-16 25
Abu 2-9 15-20 1
Silika 2-8 9-4 0.5
22
2.5.3. Sampah Sayuran Pasar
Pada umumnya sampah pasar sebagian besar terdiri dari sisa-sisa sayuran
dan buah yang kadar airnya tinggi sehingga cepat membusuk. Jumlah yang besar
dikeluarkan dari pasar setiap harinya merupakan potensi yang pantas
diperhitungkan. Dengan mengolah sampah pasar menjadi kompos berarti
melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu membuat kompos dan mengurangi
beban lingkungan (Yudha, 2008). Berdasarkan informasi dari Dinas Kebersihan
dan Pertamanan Kota Bogor 2003 dalam Murniwati (2006) menerangkan bahwa
jumlah sampah yang dihasilkan dari tujuh pasar tradisional di Kota Bogor adalah
sebanyak 262 m3 setiap hari dan yang terangkut sekitar 233 m3, sedangkan 29 m3
lagi tidak terangkut dan menumpuk di lingkungan pasar sehingga menimbulkan
pencemaran dan bau busuk pada lingkungan. Proses pembusukan sampah pasar
dapat terjadi secara aerobik dan anaerobik secara bersamaan pada satu tumpukan,
proses aerobik terjadi pada bagian dalam tumpukkan yang tidak berongga dan
proses anaerobik terjadi pada bagian luar yang memiliki kadar udara yang cukup.
Akan tetapi, bila kita melihat pada cara yang harus dilakukan dan
perhitungan ekonomi terhadap penanganan sampah sayuran pasar, pengomposan
sampah pasar sungguh sangat mahal sekali dan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit sehingga diperlukan peningkatan “willingness to pay” untuk
penanganannya (Murniwati, 2006). Oleh karena itu, Apakah solusi pengomposan
terhadap sampah sayuran merupakan suatu langkah yang tepat dan akan
menguntungkan dilihat dari segi jumlah kompos yang akan dihasilkan.
23