Anda di halaman 1dari 11

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bahan Organik


Bahan organik adalah semua bahan yang berasal dari jaringan tanaman dan
hewan baik yang masih hidup maupun yang telah mati, pada berbagai tahap
dekomposisi. Menurut Kononova (1966) Bahan organik tanah adalah suatu bahan
yang kompleks dan dinamis, berasal dari sisa tanaman dan hewan yang terdapat di
dalam tanah dan mengalami perombakan secara terus menerus.
Bahan organik mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan dan
kesuburan tanah, peranan bahan organik tersebut antara lain : berperan dalam
pelapukan dan proses dekomposisi mineral tanah, sumber hara tanaman,
pembentukan struktur tanah stabil dan pengaruh langsung pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman di bawah kondisi tertentu (Kononova, 1966). Djajakirana
(2002) juga mengemukakan bahwa bahan organik memiliki peran dan fungsi yang
sangat vital di dalam tanah, ia berperan sangat penting dalam mempengaruhi
ketiga sifat tanah. Stevenson (1982) mengemukakan bahwa pengaruh bahan
organik terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah, yaitu sebagai penyedia unsur
hara seperti N, P dan S bagi tanaman, sebagai sumber energi bagi organisme
tanah, sebagai penyangga (buffer) terhadap perubahan pH, dapat mengkelat
logam-logam, berkombinasi dengan mineral liat memperbaiki struktur tanah, dan
meningkatkan kapasitas tukar kation.
Bahan organik akan mengalami degradasi dan dekomposisi sebagian
ataupun keseluruhan, baik secara biologi maupun secara kimia di dalam tanah.
Gaur (1981) mendefinisikan dekomposisi sebagai proses biokimia yang di
dalamnya terdapat bermacam-macam kelompok mikroorganisme yang
menghancurkan bahan organik ke dalam bentuk humus.
Bahan organik secara umum dapat dibedakan atas bahan organik yang
mudah terdekomposisi karena disusun oleh senyawa sederhana yang terdiri dari C,
O dan H, yang termasuk di dalamnya adalah senyawa selulosa, pati, gula dan
senyawa protein; dan bahan organik yang sukar terdekomposisi karena disusun
oleh senyawa siklik yang sukar diputus atau dirombak menjadi senyawa yang
lebih sederhana, termasuk di dalamnya adalah bahan organik yang banyak

13
mengandung senyawa lignin, minyak, lemak, dan resin yang umumnya ditemui
pada jaringan tumbuh-tumbuhan. Kemudahan dekomposisi bahan organik
ditunjukkan oleh Brady (1990) dengan urutan semakin ke bawah maka bahan
organik semakin mudah terdekomposisi dan sebaliknya, semakin ke atas maka
bahan organik semakin sulit terdekomposisi. Urutan kemudahan dekomposisi
bahan organik adalah sebagai berikut :
1. Gula, zat pati, protein sederhana mudah terdekomposisi
2. Protein kasar
3. Hemiselulosa
4. Selulosa
5. Lemak
6. Lignin, lemak, lilin dan lain-lain. Sangat lambat terdekomposisi

Kemudahan dekomposisi bahan organik berkaitan erat dengan kadar C dan


N pada bahan, secara umum makin rendah nisbah C dan N dalam bahan organik
maka akan semakin mudah dan cepat mengalami dekomposisi. Selain itu,
karakteristik bahan yang akan dikomposkan juga akan mempengaruhi proses
pengomposan.

2.2. Kompos
Kompos merupakan bahan organik yang terdiri dari sisa-sisa tanaman,
hewan, ataupun sampah-sampah kota yang telah mengalami pelapukan sebelum
bahan tersebut ditambahkan ke dalam tanah. Menurut kamus Webster’s New
International Dictionary dalam Rodale, et al. (1975) kompos merupakan suatu
campuran untuk pemupukan atau perbaikan lahan, berupa campuran pupuk dari
beberapa bahan seperti gambut, jamur daun, rabuk, kapur, dan lain-lain yang
kemudian ditumpuk dan didekomposisikan. Selain itu, menurut Djajakirana
(2002) kompos didefinisikan sebagai campuran pupuk dari bahan organik yang
berasal dari tanaman atau hewan atau campuran keduanya yang telah terlapuk
sebagian dan dapat berisi senyawa-senyawa lain seperti abu, kapur dan bahan
kimia lainnya sebagai bahan tambahan.
Gaur (1981) menyatakan bahwa pengomposan merupakan metode yang
aman bagi daur ulang bahan organik menjadi pupuk. Unsur-unsur yang
14
terkandung dalam bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan diubah
dalam bentuk yang dapat digunakan tanaman (menjadi tersedia) hanya melalui
pelapukan (Millar et al., 1958).
Dekomposisi bahan organik merupakan proses biokimia, sehingga setiap
faktor yang mempengaruhi mikroorganisme tanah juga mempengaruhi laju
dekomposisi bahan organik. Beberapa faktor tersebut adalah 1) sifat bahan
tanaman (jenis tanaman, umur tanaman, dan komposisi kimia tanaman); 2) sifat
tanah (termasuk aerasi, suhu, kelembaban, kemasaman dan tingkat kesuburan);
dan 3) faktor-faktor iklim terutama pengaruh dari suhu dan kelembaban (Millar et
al., 1958). Sedangkan Gaur (1981) menyebutkan seluruh faktor yang
mempengaruhi pengomposan antara lain : nisbah C/N, ukuran bahan, campuran
atau proporsi bahan, kelembaban dan aerasi, suhu, reaksi, mikroorganisme yang
terlibat, penggunaan inokulan, pemberian kalsium fosfat dan penghancuran
organisme patogen.

Nisbah C / N
Nisbah C/N bahan organik merupakan faktor terpenting dalam
pengomposan, nisbah C/N optimum untuk bahan pengomposan berkisar antara
30-40, semakin rendah nisbah C/N bahan maka waktu pengomposan semakin
singkat (Gaur, 1981). Sedangkan Miller (1959) menyebutkan bahwa nilai C/N
ratio 9-12 dapat dianggap sebagai acuan dalam pembuatan kompos yang baik,
karena pada C/N ratio tersebut proses dekomposisi sudah selesai dan aktivitas
mikroorganisme menurun sehingga unsur-unsur menjadi lebih tersedia.

Ukuran Bahan
Pada umumnya makin muda tanaman makin cepat laju dekomposisinya, hal
ini disebabkan karena tingginya kadar air, kadar N yang tinggi, nisbah C/N yang
sempit, rendahnya lignin dan bahan lain yang tahan pelapukan (Millar et al.,
1958). Makin kecil ukuran partikel bahan sampai ukuran lebih kurang 5 cm,
perombakan dapat berjalan makin cepat karena terjadi penambahan luas
permukaan untuk diserang mikroorganisme (Gaur, 1981; Rodale et al., 1975).

15
Kelembaban
Pengomposan aerobik dapat berlangsung pada kisaran kelembaban 30-100
persen, nilai kelembaban optimum pengomposan aerobik berkisar antara 50-60
persen, dekomposisi akan berlangsung lambat pada kelembaban di bawah 40%
bobot (Gaur, 1981).

Temperatur
Suhu yang tinggi merupakan keadaan yang baik bagi perombakan untuk
membunuh organisme patogen dan biji-biji gulma, secara umum suhu akan tinggi
pada 2-7 hari pertama dengan kisaran 55-70 ºC seterusnya menurun secara
perlahan mendekati suhu kamar (Gaur, 1981). Suhu yang optimum bagi
pengomposan menurut Wiley dan pierce (1955) dalam Gaur (1981) adalah 60 ºC
dan suhu maksimum adalah 71ºC (Wiley, 1957 dan Schulz, 1961 dalam Gaur
1981). Di bawah kondisi suhu yang optimum dan kelembaban yang cukup, sisa-
sisa tanaman menjadi sasaran serangan bermacam-macam kelompok
mikroorganisme (Kononova, 1966).

Reaksi
Pada awal pengomposan reaksi cenderung asam sampai netral sekitar 6-7
karena bahan yang dirombak menghasilkan asam-asam organik, suasana yang
alkalin dapat meningkatkan volatilisasi amonia (Gaur, 1981). Pada pengomposan
aerobik oksigen merupakan faktor penting di samping mikroorganisme, reaksi
yang terjadi pada pengomposan aerobik adalah :
• Gula (CH2O)x
Selulosa + xO2  xCO2 + xH2O + E
Hemiselulosa
• Protein On On
(N organik)  NH4 + NO2 NO3 + E
• Sulfur organik, S + xO SO4- + E
• Posfor organik  H3PO4 + Ca (HPO4)2
Fitin, Lesitin
• Reaksi keseluruhan :
Aktivitas Mikroba
Bahan Organik + On CO2 + H2O + Unsur Hara + Humus + E

16
Starter
Kecepatan dan kualitas kompos dapat ditingkatkan melalui sistem
pengomposan, dan penambahan aktivator serta unsur-unsur C, N, P, K, dan Ca
yang berasal dari bahan organik seperti darah hewan dan kotoran ternak (Gaur,
1981). Berdasarkan laporan organik Experimental farm (Rodale et al., 1975)
direkomendasikan beberapa rumusan dalam membuat kompos, di mana
diterangkan bahwa jumlah kapur yang ditambahkan adalah satu bagian untuk 80
bagian jerami. Menurut Ramdani (1985) dan Tridarmanto (1985) pemberian dosis
kotoran 33% dari jumlah jerami memberikan kecepatan dekomposisi, produksi
dan kualitas kompos yang paling baik.

Kematangan kompos
Kompos yang sudah matang secara fisik digambarkan sebagai struktur
remah, agak lepas dan tidak gumpal, berwarna coklat kegelapan, baunya mirip
humus atau tanah dan reaksi agak masam sampai netral, tidak larut dalam air,
bukan dalam bentuk biokimia yang stabil tetapi berubah komposisinya melalui
aktivitas mikroorganisme, kapasitas tukar kation yang tinggi dan daya absorpsi air
tinggi, jika dicampurkan ke tanah akan menghasilkan akibat yang menguntungkan
bagi tanah dan pertumbuhan tanaman (Gaur, 1981). Kematangan kompos dapat
ditentukan berdasarkan nisbah C/N kompos, sedangkan kandungan hara kompos
berhubungan dengan kualitas bahan asli yang dikomposkan.
Untuk mendapatkan nilai C/N ratio tertentu, sangat tergantung pada bahan
yang digunakan serta cara pengomposannya. Teknik pengomposan dan jumlah
bahan yang berbeda akan membutuhkan waktu yang berbeda dan mendapatkan
nilai C/N ratio yang berbeda pula. Hal tersebut dibuktikan oleh beberapa
penelitian yang dilakukan oleh : (1) Yustiningsih (1981) melakukan pengomposan
jerami padi dengan jumlah yang cukup kecil (hanya 30 kg bahan) membutuhkan
waktu pengomposan selama 16 minggu untuk C/N sekitar 18-20, karena selain
volume tumpukan bahan organik yang relatif kecil juga disebabkan oleh
pembalikan yang hanya dilakukan setiap satu bulan sekali sehingga hanya
mencapai suhu maksimum 40 ºC dan mendapatkan nisbah C/N sekitar 18-20; (2)
Azieza (1981) melakukan pengomposan di inkubator yang dipertahankan dengan
suhu 35ºC membutuhkan waktu 6 minggu untuk menghasilkan nisbah C/N sekitar
17
12; dan (3) Indriyati, (2006) melakukan pengomposan dengan volume tumpukan
bahan sebesar 2 m3 (2 x 1 x 1)m membutuhkan waktu selama 8 bulan untuk
mencapai nisbah C/N sekitar 14. Waktu pengomposan yang lama tersebut
disebabkan oleh pembalikan kompos yang terlalu sering yaitu 2-3 kali dalam
sehari, hal ini jelas mengakibatkan suhu optimum pengomposan tidak akan
tercapai sehingga waktu pengomposan dan penurunan C/N ratio menjadi sangat
lambat.

2.3. Kualitas kompos


Sampai saat ini, penilaian kualitas kompos selain dilihat dari sifat fisik
sering dilihat hanya dari nilai C/N ratio dan kandungan unsur hara saja. Dimana
kompos dengan C/N ratio rendah dan memiliki kandungan hara yang tinggi
dianggap sebagai ciri kompos yang baik, tanpa memperhitungkan kandungan
asam-asam organik khususnya asam humat dan asam fulvat yang memiliki
peranan besar dalam memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Kompos yang baik
untuk ditambahkan ke dalam tanah dapat dilihat dari segi fungsi dan peranannya
dalam mempengaruhi (memperbaiki) sifat-sifat tanah.
Humus merupakan produk akhir dekomposisi bahan organik dan sintesis
mikroba yang relatif stabil dan resisten, fraksi terhumifikasi dari humus disebut
sebagai senyawa humat (Brady, 1990). Senyawa humat mempunyai peranan yang
sangat menguntungkan terhadap perkembangan tanah dan juga pertumbuhan
tanaman. Senyawa tersebut dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman melalui
peranannya dalam mempercepat proses respirasi, meningkatkan permeabilitas sel,
serta meningkatkan penyerapan air dan hara (Tan, 1993) dan Tan (1993) juga
menjelaskan bahwa bersama dengan liat tanah bahan-bahan humat memegang
peranan penting dalam sejumlah aktivitas kimia dalam tanah, asam humat
mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi dan kemasaman yang lebih rendah
dibanding asam fulvat, oleh karena itu asam humat dapat memperbaiki sifat dan
kualitas tanah.
Berdasarkan peranannya di dalam tanah, maka keberadaan asam-asam
organik (humat dan fulvat) menjadi sangat penting untuk diketahui karakteristik
dan jumlahnya pada kompos. Sehingga, kandungan asam-asam organik (humat

18
dan fulvat) perlu dijadikan sebagai salah satu acuan dan standar untuk
menentukan kualitas kompos.

2.4. Asam-Asam Organik


Untuk menjadikan asam-asam organik (humat dan fulvat) sebagai salah satu
standar penentu kualitas kompos, maka cara pemisahan (ekstraksi) asam-asam
organik (humat dan fulvat) menjadi sangat penting untuk diketahui dan dipahami.
Istilah asam humat dikemukakan oleh Berzelius pada tahun 1830 yang
menggolongkan fraksi humat ke dalam : 1) Asam humat, yakni fraksi yang larut
dalam basa, 2) Asam krenik dan apokrenik, yakni fraksi yang larut dalam asam,
dan 3) Humin, yakni bagian yang tidak larut dalam air dan basa. Asam humat juga
disebut sebagai ulmat dan humin sebagai ulmin oleh Mulder pada tahun 1840.
Tahun 1912, Olden mengusulkan penggunaan nama asam fulvat untuk
menggantikan istilah asam krenik dan apokrenik. Sekarang senyawa humat
didefinisikan sebagai bahan koloidal terdispersi bersifat amorf, berwarna kuning
hingga coklat-hitam dan mempunyai berat molekul relatif tinggi (Tan, 1993;
Millar, 1959; Stevenson, 1982).
Berdasarkan hasil penelitian, secara kimia ketiga fraksi senyawa humat baik
asam humat, asam fulvat dan humin mempunyai komposisi yang hampir sama,
tetapi berbeda dalam hal bobot molekul dan kandungan gugus fungsionalnya.
Asam fulvat mempunyai bobot molekul rendah, tetapi kandungan gugus
fungsional yang mengandung O, yaitu COOH (karboksil), -OH (fenolik) dan -
C=O (karbonil) lebih tinggi per satuan bobot dibanding dengan asam humat dan
humin (Kononova, 1966).
Kandungan asam-asam organik dari bahan kompos telah dipelajari oleh
Rahmawati (2003) dengan melihat karakterisasi asam humat yang dihasilkan dari
hasil ekstraksi kompos gambut dan kompos daun karet menunjukkan bahwa
kualitas bahan sangat menentukan kandungan asam humat dan asam fulvat yang
dihasilkan serta sifat kimia lainnya. Rahmawati (2003) juga menerangkan bahwa
kemasaman total dari gugus karboksil (COOH) dan gugus fenol (-OH) meningkat
(7.84 – 12.17) me/g setelah gambut dikomposkan, kemasaman total yang tinggi
merefleksikan kompleksasi yang tinggi ataupun kapasitas khelat yang tinggi dari

19
asam humat. Sedangkan Wahjudin, (2003) menunjukkan manfaat pemberian
kompos pada tanah (Vertic Hapludult) yang diberikan tambahan (2%) kompos
dari jerami padi yang masih mentah (C/N>45) akan meningkatkan kandungan
asam humat pada bahan campuran sampai hampir 50 kali lipat lebih besar dari
kandungan asam humat pada bahan kompos itu sendiri dan meningkatkan
produksi tanamanan uji. Walaupun terdapat keraguan dari mana terjadinya
peningkatan asam humat sebesar itu, tetapi informasi tersebut paling tidak
menunjukkan bahwa asam humat dan asam fulvat merupakan salah satu sifat
penting pada kompos.
Pemisahan asam humat didasarkan atas kelarutannya dalam asam dan
alkali. Diagram alur untuk pemisahan senyawa-senyawa humat ke dalam fraksi-
fraksi humat yang berbeda dapat terlihat pada Gambar 1.

Bahan Organik Tanah

dengan alkali

Bahan Humat Bahan Bukan Humat


(larut) (tidak larut)

dengan alkali
dengan asam

Asam Fulvat Asam Humat Humin


(larut) (tidak larut) (tidak larut)
disesuaikan
ke pH 4.8 dengan alkohol

Asam Fulvat Humus ß Asam humat Asam


(larut) (tidak larut) (tidak larut) Himatomelanat
(larut)
dengan garam netral

Humat coklat Humat kelabu


(Larut) (tidak larut)

Gambar 1. Diagram Alur Pemisahan Senyawa Humat Menjadi Berbagai Fraksi


Humat (Tan, 1993; Stevenson, 1982) dengan Modifikasi.
20
Pemisahan asam humat menjadi sangat penting untuk diketahui dan
dipahami supaya memudahkan dalam penentuan kualitas kompos, Tan (1993)
mengemukakan bahwa pemilihan ekstrakan yang cocok didasarkan pada dua
pertimbangan yaitu : 1) pengekstrak seharusnya tidak mempunyai pengaruh
merubah sifat fisik dan kimia bahan yang diekstrak; dan 2) pengekstrak harus
dapat secara kuantitatif memisahkan bahan humat dari tanah. Schnitzer dan Khan
(1972) dalam Tan (1991) mengemukakan bahwa pelarut yang digunakan untuk
ekstrakan bahan-bahan humat adalah asam oksalat, asam format, asetil aseton,
heksametil entetramina, deoksilsulfat, dan urea. Akan tetapi, sejauh ini tidak
satupun di antara pelarut-pelarut tersebut yang memuaskan.

Prosedur yang paling umum digunakan untuk ekstraksi asam humat adalah
dengan NaOH (Stevenson, 1982) dan menurut Pierce dan feldbeck (1975) dalam
Tan (1993) mengemukakan bahwa larutan NaOH 0.1 N lebih disukai oleh sifat
ekstraknya yang tidak terlalu kuat dibanding NaOH 0.5 N.

2.5. Karakteristik Bahan Dasar


2.5.1. Tanaman Kaliandra
Kaliandra adalah tanaman leguminosa semak (shrub) yang banyak ditanam
di daerah-daerah hutan atau lereng-lereng di Indonesia. Tanamn kaliandra dikenal
sebagai tanaman serbaguna karena manfaatnya untuk penghijauan, pencegahan
erosi, sumber kayu bakar, peternakan lebah madu dan makanan ternak.
(Tangendjaja et al., 1992). Sistematika dari pohon kaliandra adalah:
Divisio : Spermatophyta
Classis : Dycotyledon
Ordo : Rosales
Famili : Leguminoseae
Sub- Famili : Mimosoidae
Genus : Calliandra
Species : Calliandra calothyrsus
Nama lokal : Ki Madu
Gambar 2. Tanaman Kaliandra Bunga Merah
(Calliandra calothyrsus)

21
Kaliandra dapat tumbuh dengan baik pada berbagai macam tipe tanah dan
cocok untuk tanah asam yang berasal dari batuan vulkanik, tingkat toleransi
terhadap kekeringan dikategorikan sedang (1-7 bulan kering per tahun) dan dapat
tumbuh baik pada daerah dengan rata-rata curah hujan tahunan antara 700-4000
mm, tetapi tidak tahan tergenang air (Tangendjaja et al., 1992). Daun kaliandra
mengandung protein di atas 20%, kadar lemaknya tidak tinggi dan tidak melebihi
5%, begitu pula kadar abunya rendah.

2.5.2. Jerami Padi


Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang berpotensi sebagai
penambah unsur hara apabila dikembalikan ke dalam tanah. Sampai saat ini,
penanganan limbah jerami padi oleh petani sebagian besar dilakukan dengan cara
dibakar dan abunya digunakan sebagai pupuk. Penanganan limbah dengan cara
dibakar mengakibatkan beberapa unsur hara seperti C dan S menjadi hilang dan
apabila dilakukan secara terus-menerus dapat menimbulkan pencemaran terhadap
lingkungan sekitarnya.
Nilai jerami padi sebagai pupuk umumnya terlupakan. Pembakaran jerami
merupakan kegiatan yang umum dilakukan di banyak negara, disebabkan sulitnya
mencampur jerami dalam jumlah besar ke dalam tanah (Miller, 1968 dalam Grist,
1975). jerami padi memiliki dinding sel yang terdiri dari 39.7 % selulosa dalam
berat kering, 25.2% hemiselulosa dan 4.8% lignin (Rexen et al., 1976 dalam
Panagan, 2003). Pada sekam padi mengandung mineral silika (SiO2) sebesar
23.96% (Sardi, 2006) dan pada bagian jerami mengandung 4-9% silika (Tabel 1.)

Tabel 2. Komposisi Kimia Sereal dan Jerami Padi serta Kayu Keras (www.
Fiberfutures.org dalam Indriyati, 2006).

Sifat kimia Sereal (%) Jerami padi (%) Kayu keras (%)
Selulosa 45-55 43-49 57
Hemiselulosa 26-32 23-28 23
Lignin 16-21 12-16 25
Abu 2-9 15-20 1
Silika 2-8 9-4 0.5

22
2.5.3. Sampah Sayuran Pasar
Pada umumnya sampah pasar sebagian besar terdiri dari sisa-sisa sayuran
dan buah yang kadar airnya tinggi sehingga cepat membusuk. Jumlah yang besar
dikeluarkan dari pasar setiap harinya merupakan potensi yang pantas
diperhitungkan. Dengan mengolah sampah pasar menjadi kompos berarti
melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu membuat kompos dan mengurangi
beban lingkungan (Yudha, 2008). Berdasarkan informasi dari Dinas Kebersihan
dan Pertamanan Kota Bogor 2003 dalam Murniwati (2006) menerangkan bahwa
jumlah sampah yang dihasilkan dari tujuh pasar tradisional di Kota Bogor adalah
sebanyak 262 m3 setiap hari dan yang terangkut sekitar 233 m3, sedangkan 29 m3
lagi tidak terangkut dan menumpuk di lingkungan pasar sehingga menimbulkan
pencemaran dan bau busuk pada lingkungan. Proses pembusukan sampah pasar
dapat terjadi secara aerobik dan anaerobik secara bersamaan pada satu tumpukan,
proses aerobik terjadi pada bagian dalam tumpukkan yang tidak berongga dan
proses anaerobik terjadi pada bagian luar yang memiliki kadar udara yang cukup.
Akan tetapi, bila kita melihat pada cara yang harus dilakukan dan
perhitungan ekonomi terhadap penanganan sampah sayuran pasar, pengomposan
sampah pasar sungguh sangat mahal sekali dan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit sehingga diperlukan peningkatan “willingness to pay” untuk
penanganannya (Murniwati, 2006). Oleh karena itu, Apakah solusi pengomposan
terhadap sampah sayuran merupakan suatu langkah yang tepat dan akan
menguntungkan dilihat dari segi jumlah kompos yang akan dihasilkan.

23

Anda mungkin juga menyukai