Anda di halaman 1dari 16

Perubahan Konstitusi Melalui Tafsir Hakim

Oleh
Saldi Isra & Feri Amsari1

Abstraksi
Kasus Marbury vs. Madison dalam peradilan di Supreme Court Amerika Serikat menjadi
titik awal penafsiran konstitusional yang dikenal pada banyak teori-teori ketatanegaraan
dunia. Indonesia melalui perubahan UUD 1945 dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang
salah satu tugasnya tugasnya melakukan konstitusional. Kehadiran MK yang demikian
menimbulkan pelbagai polemik karena dapat mengubah konstitusi secara onbewust,
berlahan-lahan. Tulisan ini menggali beberapa kasus yang dimohonkan di MK yang
putusannya kemudian menyebabkan perubahan makna teks dari UUD 1945. Kondisi
tersebut dapat disimpulkan telah terjadi perubahan informal konstitusi oleh putusan MK.

Model Perubahan Konstitusi


Bagi George Jellinek2, perubahan konstitusi pada dasarnyadibagi menjadi dua, yaitu; pertama,
melalui prosedur formal (verfassungsanderung) dan kedua, melalui cara-cara informal
(verfassungswandlung).3 Perubahan formal4 adalah perubahan yang mekanismenya telah diatur
di dalam konstitusi suatu negara sedangkan perubahan diluar ketentuan konstitusi disebut
sebagai perubahan informal atau melalui kondisi yang disebut Djokosutono secara onbewust
(lambat-laun).5 Dalam bahasa Soehardjo Sastrosoehardjo, verfassungsanderung dimaknai sebagai
bentuk perubahan yang sesungguhnya, dimana terjadi perubahan terhadap pokok-pokok pikiran,
asas-asas, bentuk negara, sistem pemerintahan dan lainnya.6 Sedangkan verfassungswandlung
menurut Soehardjo adalah perubahan makna ataupun penafsiran ketentuan dalam konstitusi
yang tidak menyimpang dari ketentuan pokok serta asas-asas yang termaktub di dalamnya. 7
C.F. Strong adalah salah satu pakar terkemuka yang membagi verfassunganderung ke
dalam beberapa cara yang umumnya ditentukan dalam konstitusi di pelbagai sistim
ketatanegaraan. Cara-cara perubahan konstitusi secara formal ‘ala’ Strong tersebut ialah8; (a) by
the ordinary legislature but under certain restrictions; Perubahan melalui lembaga legislatif biasa
tetapi melalui aturan-aturan tertentu, dilakukan misalnya oleh Indonesia. (b) by the people
through a referendum; Perubahan konstitusi yang dilakukan dengan persetujuan rakyat
(referendum) melalui pemungutan suara terjadi misalnya pada masa peralihan republik ke-
empat Prancis menuju konstitusi republik ke-lima dibawah pimpinan Jenderal Charles de Gaulle.
1 Penulis adalah Disen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas Andalas.
2 Bandingkan dalam Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Penerbit YAPEMDO, Bandung, 2000, h.581.
3 Bandingkan mengenai perubahan konstitusi dengan; Djoko Soetono, Kuliah Hukum Tata Negara, Penerbit
In-Hill-Co, Jakarta, 2006, h. 131. dan Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara-Jilid I, Sekjen
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006..
4 Menurut Djokosoetono terdapat istilah lain yang digunakan oleh Logemann dalam membagi bentuk
perubahan konstitusi; yaitu (1) functieverandering atau functiewijziging yang maknanya sama dengan
verfassungsanderung, dan (2) functieverschuiving yang sama pengertiannya dengan verfassungswandlung.
5 Opcit. Djokosoetono.
6 Opcit, Astim Riyanto, Teori Konstitusi,.., h.564.
7 Ibid.
8 Bandingkan dengan Abu Daud Busroh, Intisari Hukum Tatanegara Perbandingan, Konstitusi Sembilan
Negara, Penerbit P.T. Bina Aksara, Jakarta, 1987, h. 15. kemudian dalam Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-
asas Hukum Tatanegara, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, h. 47. Lihat juga pada Moh. Kusnardi dan Hermaily
Ibrahim, Pengantar Hukum Tatanegara Indonesia, Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dan C.V. Sinar Bakti, Jakarta, 1988, h. 85. yang kesemuanya mengutip pandangan C.F. Strong.
1|Page
(c) by a majority for all units of a federal state; Sistim yang menentukan perubahan konstitusi-nya
melalui suara-suara pada negara-negara bagian pada sebuah negara federal terjadi misalnya
pada Amerika Serikat. (d) by special convention; Konvensi yang dimaksudkan dalam bagian ini
bukanlah sebuah kebiasaan (convention) ketatanegaraan, melainkan adalah sebuah lembaga
khusus (special convention).
Dalam literatur ketatanegaraan modern pembahasan mengenai proses perubahan formal
dari konstitusi begitu banyak diketemukan. Secara teori hukum tata negara, posisi perubahan
konstitusi melalui cara formal pun tidak menimbulkan banyak perbedaan pendapat. Selama
implementasi proses perubahan berkesesuaian dengan aturan di dalam konstitusi, maka pasal-
pasal perubahan konstitusi berlaku tanpa banyak perdebatan. Walaupun, bisa saja isi dari
perubahan konstitusi tersebut menjadi perdebatan, namun keabsahan perubahan konstitusi
nilainya tetap legal. Suasana berbeda akan ditemui dalam pembahasan perubahan konstitusi
secara informal, dikarenakan sifatnya yang accidental.
K.C. Wheare menentukan perubahan konstitisi melalui 4 (empat) metode yang berbeda
dengan metode Strong, yaitu9; (a) some primary forces; (b) formal amendment; (c) judicial
interpretation; (d) usage and convention; Perbedaan cara perubahan konstitusi yang
dikemukakan antara Strong dan Wheare tersebut terletak dari dua sudut pandang. Strong
melihat terjadinya perubahan konstitusi melalui proses yang ditentukan oleh konstitusi itu
sendiri, sedangkan Wheare membagi perubahan konstitusi berdasarkan kondisi atau situasi yang
menyebabkan terjadinya perubahan konstitusi. Strong juga membatasi perubahan konstitusi
tersebut kepada proses formal, namun tidak melihat kondisi luar biasa yang mungkin saja dapat
terjadi dalam perkembangan ketatanegaraan.
Dalam membahas mengenai perubahan konstitusi secara informal, K.C. Wheare
menjelaskan mengenai terdapatnya kekuatan-kekuatan yang mampu menimbulkan perubahan
konstitusi itu sendiri. Kekuatan itu sendiri oleh Wheare dibagi menjadi dua, yaitu; pertama,
kekuatan yang dapat menciptakan berubahnya kondisi di suatu negara. Kekuatan itu memang
tidak merubah kalimat-kalimat dalam konstitusi secara explicit, namun kekuatan tersebut
mampu menciptakan kondisi yang dapat merubah makna atau kestabilan supremasi konstitusi.
Kedua, kekuatan yang mampu menciptakan kondisi sehingga terlaksananya perubahan konstitusi
secara formal, melalui interpretasi hakim atau melalui konvensi ataupun kebiasaan
ketatanegaraan.
Wheare juga menjelaskan mengenai beberapa kekuatan-kekuatan yang dapat merubah
konstitusi tersebut. Misalnya, dalam kondisi perang berkecamuk yang melibatkan negara federal
maka cenderung akan menjadi negara kesatuan. Kewenangan-kewenangan negara bagian dalam
masa damai bisa berubah menjadi kewenangan negara federal dalam kondisi tersebut.
Akibatnya, kekuasaan menjadi sangat sentralistik yang merupakan ciri pokok negara kesatuan.
Hal itu menurut Wheare bukan dikarenakan berubahnya ketentuan dalam konstitusi, melainkan
kondisi tersebut menyebabkan pemerintah mengabaikan konstitusi demi kepentingan yang lebih
tinggi yaitu perlindungan negara.10 Pengabaian konstitusi dalam kondisi tersebutlah yang
menyebabkan konstitusi telah berubah secara informal.
Peristiwa lainnya yang dapat memaksa terjadinya perubahan konstitusi secara informal
adalah melalui social force adalah revolusi, coup d’etat, putsch, convention, dan ditambahkan
Djokosoetono melalui interpretasi. Perubahan UUD 1945 melalui interpretasi tersebut juga
pernah terjadi pada masa Orde Baru bahkan Orde Lama. Harun Alrasid mengemukakan bahwa
hal itu terjadi akibat terdapatnya aturan lain, seperti Ketetapan (TAP) MPR, yang mengatur
mengenai hal-hal yang tidak jelas dipaparkan dalam Pasal-Pasal UUD 1945. Bahkan sependapat
dengan Harun Alrasid, Mohammad Fajrul Falaakh memberikan gambaran mengenai perubahan
konstitusi melalui praktek di luar ketentuan pasal-pasal konstitusi namun dapat diterima secara

9 K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2005, h. 23-50.


10 Ibid.
2|Page
luas pemberlakuannya. Fajrul Falaakh mencontohkan kondisi tersebut ketika terjadinya
perubahan sistim pemerintahaan presidensiil menjadi parlementer ketika di awal kemerdekaan
Indonesia.11
Fajrul Falaakh juga menganggap MPR ketika pada masa Orde Baru dapat dengan mudah
melakukan perubahan konstitusi, baik melalui penafsiran maupun penambahan ketentuan asli. 12
Perubahan konstitusi melalui tindakan hukum MPR tersebut menurut Harun Alrasid dapat
dilihat dari contoh-contoh sebagai berikut13;
(1) Penambahan syarat umur pada calon Presiden pada TAP MPR 14, sehingga terjadi
perubahan terhadap Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen), sehingga bunyinya
menjadi; “Presiden dan Wakil Presiden ialah orang Indonesia asli yang berumur sekurang-
kurangnya 40 tahun”;
(2) MPR melalui TAP MPR No. I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib yang juga
mengatur mengenai proses pengambilan keputusan telah menyebabkan terjadinya perubahan
makna teks Pasal 2 ayat (3) UUD 1945 (sebelum amandemen) menjadi; “Segala putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan cara musyawarah untuk mufakat atau pemungutan
suara dengan mengutamakan cara pertama”;
(3) Dalam hal berkaitan dengan kewenangan MPR untuk memberhentikan Presiden telah
pula merubah Pasal 8 UUD 1945 (sebelum perubahan) menjadi berbunyi sebagai berikut; “Jika
Presiden mangkat, berhenti, tidak dapat melakukan kewajiban, atau diberhentikan, maka ia
digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”;
(4) Dalam hal kekosongan hukum mengenai pengisian jabatan Wakil Presiden telah
menyebabkan terjadinya perubahan UUD 1945 menjadi berbunyi seperti berikut ini; “Jika Wakil
Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibanya, atas permintaan Presiden
dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, MPR mengadakan sidang istimewa untuk memilih Wakil
Presiden baru yang memegang jabatannya selama sisa masa jabatan Wakil Presiden yang
digantikannya”;
(5) Kemudian Harun Alrasid memberikan contoh telah terjadinya perubahan konstitusi
pada masa Orde Lama yang berkaitan dengan masuknya Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
yang sebelumnya bernama Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) ke dalam Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sebelumnya bernama Angkatan Perang Republik
Indonesia (APRI) sehinga perubahan tersebut menyebabkan Pasal 10 UUD menjadi berbunyi
sebagai berikut; “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan Darat, Angkatan
Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara”.
Menurut Harun Alrasid sesungguhnya masih terdapat beberapa perubahan lain namun
kelima (5) contoh tersebut telah cukup membuktikan bahwa telah terjadi perubahan UUD diluar
ketentuan perubahan yang diatur oleh UUD 1945 itu sendiri. 15 Dari kesimpulan Harun Alrasid
tersebut diatas, nyatalah bahwa perubahan konstitusi tidak dapat tidak pasti akan terjadi.
Pensakralan UUD 1945 selama masa Orde Lama maupun Orde Baru mengakibatkan
dilakukannya perubahan secara ‘sembunyi-sembunyi’ demi perkembangan kondisi ataupun
kepentingan penguasa ketika itu melalui pelbagai cara (contohnya, melalui TAP MPR).
Jika ditinjau suasana ketatanegaraan Indonesia pasca perubahan UUD 1945, maka
terdapat juga beberapa kemungkinan terjadinya perubahan informal konstitusi, terutama

11 Mohammad Fajrul Falaakh, Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat dalam Perubahan UUD 1945, Jurnal
Analisa CSIS Tahun XXXI/2002 No.2, Penerbit Centre for Strategic and International Studies, h. 194.
12 Ibid, h. 190.
13 Harun Alrasid, Penetapan UUD dan Perubahan UUD dalam Teori dan Praktek, Merupakan Pidato Purna
Bakti Harun Alrasid sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada hari Sabtu, 20
Juli 1996 di Auditorium Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia, Depok-Jawa Barat, h.28.
14 Ibid, Harun Alrasid tidak menyebutkan secara jelas Nomor TAP MPR yang ia contohkan.
15 Ibid. h. 29.
3|Page
sebagaimana telah dikemukakan oleh Djokosoetono dan Wheare diatas, yaitu melalui
interpretasi hakim. Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) membuka ruang terjadi interpretasi
konstitusi oleh para hakim. Penafsiran oleh lembaga judicial tersebut diberikan melalui
kewenangan pengujian produk hukum (toetsingrecht). Toetsingrecht oleh lembaga peradilan
(judicial review) sendiri memiliki perdebatan yang sangat melelahkan diantara pakar ilmu
hukum tata negara dipelbagai pelosok dunia.

Judicial Review sebagai Kekuasaan Peradilan


Setelah kasus Marbury Vs. Madison16, pelbagai perdebatan mengenai judicial review dan lembaga
apakah yang patut melakukan review terus terjadi. Michel Allen dan Brian Thompson
memberikan pemahaman mengenai kekuasaan pengujian (review) tidak hanya dimiliki oleh
lembaga peradilan tetapi juga lembaga legislatif (misalnya house of lord di Inggris) dalam upaya
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan pembentukan produk perundang-undangan.
Selengkapnya Allen dan Thompson berpendapat sebagai berikut 17;
This power of judicial review may be defined as the jurisdiction of the superior courts (the
high court, the court of appeal and the house of lord) to review the acts, decisions and
omissions of public authorities in order to establish whether they have exceeded or abused
their powers.

Dalam istilah hukum di Indonesia kewenangan pengujian tersebut dikenal dengan istilah
toetsingrecht yang dimasyhurkan oleh Sri Soemantri. 18 Dari pandangan Allen dan Thompson
diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis toetsingrecht, yaitu; (a) toetsingrecht
yang merupakan kewenangan peradilan atau dikenal dengan judicial review; (b) toetsingrecht
yang merupakan kewenangan legislatif atau legislative review; dan (c) toetsingrecht yang
merupakan kewenangan eksekutif atau eksekutive review.
Di Amerika perdebatan ide mengenai judicial review tidak hanya terletak kepada
lembaga pelaksana kewenangan judicial review undang-undang semata tetapi terhadap substansi
ide bahkan sejarah lahirnya itu sendiri. Menurut Leonard W. Levy, persoalan legitimasi tentu saja
bermula dari fakta bahwa para penyusun Konstitusi (Amerika) lupa menentukan agar Mahkamah
Agung (Supreme Court Amerika) diberi wewenang untuk menjalankan judicial review semenjak
awal pembentukan konstitusi. Jika mereka memang ingin agar Pengadilan memiliki wewenang
itu, mengapa wewenang itu tidak diberikan (sejak 1787-ketika konstitusi Amerika disusun). 19
Hal yang berbeda terjadi di Indonesia, ketika para penyusun konstitusi (framers of
constitution) Indonesia menyusun sendi-sendi bernegara dalam Undang-Undang Dasar 1945, ide
pengujian konstitusional telah pernah diperdebatkan dalam sidang BPUPKI (Badan Pekerja
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Mr. Moh. Yamin mengusulkan agar terdapat
sebuah mekanisme pengujian keabsahan isi UU terhadap konstitusi, adat dan syari’ah oleh
lembaga tertinggi kehakiman.20 Mr. Yamin mengemukakan mengenai lembaga tersebut sebagai
berikut21;

16 Mengenai kasus Marbury Vs. Madison dapat dibaca salah satunya pada buku Jimly Asshiddiqie, Model-model
Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
17 Michael Allen dan Brian Thompson, Cases and Materials on Constitutional and Administrative Law, Oxford
University Press, United Kingdom, 2002, h.568.
18 Lihat Sri Soemantri, M., Hak Menguji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, h.5.
19 Leonard W. Levy, Judicial Review, Sejarah, dan Demokrasi: Sebuah Pengantar, dalam Ibid, Leonard W. Levy
(Editor), Judicial Review, Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Penerbit
Nusamedia dan Penerbit Nuansa, bandung, 2005, h. 2.
20 Bandingkan dengan RM. A.B. Kusuma, Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004, h. 389
21 M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, h. 234
4|Page
“Mahkamah inilah (Mahkamah Agung-pen) yang setinggi-tingginya, sehingga dalam
membanding undang-undang, maka balai Agung inilah yang akan memutuskan apakah
sejalan dengan hukum adat, syariah dan undang-undang dasar”

Namun ide Yamin tersebut dibantah oleh Soepomo yang menganggap bahwa belum
pernah ada konsesus di antara ahli-ahli Tata Negara tentang judicial review, disamping para ahli
hukum Indonesia belum memiliki pengalaman mengenai proses judicial review.22 Todung Mulya
Lubis berhipotesa bahwa pandangan Soepomo tersebut dikarenakan anggota framers of
constitusion itu tidak membaca mengenai perdebatan sengit kasus Marbury Vs. Madison pada the
Supreme Court Amerika Serikat.23 Namun sesungguhnya Soepomo bukannya tidak mengetahui
tentang konsep review by the judicial body tersebut, berikut selengkapnya ungkapan Soepomo24
pada rapat BPUPKI:
“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa para
ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan
tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan Jerman waktu
Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan special, constitutioneelhof,
-sesuatu pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus
mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah
tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum
waktunya mengerjakan persoalan itu.”

Dari uraian tersebut Soepomo menyadari betul keberadaan lembaga peradilan yang
memiliki kewenangan uji konstitusionalitas, nampaknya dari perdebatan yang ada sepertinya
Soepomo masih meragukan efektifitas uji konstitusionalitas oleh sebuah lembaga peradilan,
sedangkan ketika itu terdapat lembaga MPR sebagai representasi tertinggi dari rakyat.
Pernyataan eksplisit Soepomo tentang keterbatasan ahli pada waktu itu terkesan tidak masuk
akal, dikarenakan pada masa itu banyak founding fathers yang ahli hukum, misalnya Mr. M. Yamin
yang ahli konstitusi dan ketatanegaraan Asia serta Soepomo sendiri yang juga bergelar
‘misteerunderrechten’. Kemungkinannya adalah Soepomo khawatir jika kedepan terjadi
pertikaian pemahaman konstitusi antara MPR dan MA sebagai penafsir konstitusi. Pada
perspektif tersebut Soepomo mungkin terpengaruh diskusi mengenai kewenangan lembaga
peradilan dalam menentukan keabsahan sebuah perundang-undangan.
Ide yang menempatkan lembaga yudikatif sebagai lembaga yang menentukan apakah
sebuah produk perundang-undangan layak diberlakukan atau tidak memang masih
menimbulkan pelbagai perdebatan. H.L.A. Hart mengemukakan bahwa paham “A supreme
tribunal has the last word in saying what the law is” akan menjadi terbantahkan jika putusan
pengadilan tersebut adalah putusan yang salah. Putusan salah yang menghapuskan kekuatan
legal dari produk perundang-undangan legislatif tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara
hukum dikarenakan tidak terdapat hak dan kewajiban sebagai konsekuensi dari kesalahan
tersebut.
Charles L. Black bahkan menganggap bahwa keputusan Supreme Court Amerika Serikat
dalam kasus Marbury Vs. Madison adalah kesalahpahaman dalam melihat fungsi lembaga
yudikatif. Black menyatakan bahwa fungsi utama dari pengadilan adalah memberikan keabsahan
(validation), bukan membatalkan keabsahan (invalidation) UU yang dibuat kekuasaan negara.
Black memahami bahwa antara legislatif sebagai pembuat UU dan pemerintah sebagai pelaksana

22 Todung Mulya Lubis, Judicial Review dalam Perspektif Hukum Tata Negara, dalam Beny K Harman dan
Hendardi (edt), Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial Review, Penerbit YLBHI dan JARIM, Jakarta, 1991, h. 106.
23 Ibid.
24 Harun Alrasid, Hak Menguji Dalam Teori dan Praktek, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 1 No.1, Juli 2004,
Penerbit Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 94.
5|Page
UU akan menimbulkan perbedaan pemahaman menafsirkan makna dari UU. Sehingga kedua
lembaga (legislatif dan eksekutif) membutuhkan suatu interpretasi UU yang memiliki ukuran
baku dan absah. Disinilah letak fungsi pengadilan (yudikatif) yang mampu memberikan
keabsahan interpretasi UU, bukan membatalkan keabsahan itu sendiri. Hal itu sesuai dengan
pandangan Montesquieu bahwa kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sejajar (horizontal)
dan masing-masing wajib merujuk kepada ketentuan yang lebih tinggi, yaitu konstitusi
(vertikal).25 Bahkan Jaakko Husa mengkritik perspektif Amerika yang beranggapan bahwa
judicial review adalah cara yang paling dibutuhkan untuk menegakkan paham
konstitusionalisme.26 Padahal akibat pemahaman seperti itu, menurut Husa, menimbulkan
persoalan terhadap legitimasi politik27 (legislatif maupun eksekutif). Kritik yang lebih tajam telah
lebih dulu dikemukakan oleh Montesquieu dan Immanual Kant, bahwa hakim bukanlah subjek
hukum yang mandiri dan dapat menentukan hukum sesuka hatinya, melainkan hakim hanyalah
corong atau perpanjangan lidah dari undang-undang (bouche de la loi)28. Logeman juga
mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak para pembuat undang-undang 29
walaupun penafsiran hukum adalah kewajiban hukum dari hakim. Oleh karena itu, sebagai
corong/pelaksana undang-undang adalah mustahil hakim dapat menghapuskan sebuah undang-
undang. Lino A. Graglia mengemukakan bahwa fungsi hakim hanyalah menjalankan hukum (to
apply the law) bukan membuat hukum30 (not to make the law). Charles L. Black memaparkan
mengenai hal itu sebagai berikut31 :
"The prime and most necessary function of the Court has been that of validation, not that of
invalidation. What a government of limited powers needs, at the beginning and forever, is
some means of satisfying the people that it has taken all steps humanly possible to stay
within its powers."

Pandangan-pandangan mengenai kewenangan lembaga peradilan untuk ‘menilai’ cacat


hukum produk legislasi atau peraturan perundang-undangan lainnya tetap saja masih
menimbulkan perdebatan dan tanda tanya. Pertanyaan ilmiah seringkali mengemuka pasca
putusan Marshall dalam kasus Maarbury Vs. Madison. Pertanyaan tersebut mengemuka dalam
keilmuan hukum di Amerika, berikut beberapa pertanyaan tersebut 32;
a. apakah memang ide judicial review itu tepat untuk dipraktekan ? haruskan 9
hakim yang tidak dipilih rakyat (sebagai pemegang kedaulatan) memiliki wewenang
untuk menyatakan apa yang harus dilakukan oleh lembaga perwakilan yang dipilih
langsung oleh rakyat?
b. Apakah peradilan akan lebih mudah untuk menghalangi setiap consensus dengan
prinsip-prinsip kuno yang mereka anut atau untuk mencegah kelemahan politik dari
kekuasaan mayoritas yang seringkali bertindak oppresif (menekan)?
c. Apakah hakim, terlindungi dengan jabatan seumur hidup (prinsip ‘during good
behavior’ yang dianut untuk masa jabatan hakim di Amerika) dan digambarkan secara

25 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0611/06/opi01.html. akses pada tanggal 4/03/08.


26 Bandingkan dengan; Joachim Sanden, Methods of Interpreting The Constitution; Estonia’s Way in an
Increasingly Integrated Europe, dalam Juridica International VIII/2003, h. 130.
27 Ibid.
28 Bandingkan dalam; Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty,
Yogyajarta, 2001, h. 39.
29 Bandingkan dalam; Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, 2000,
h. 8.
30 Lino A Graglia, How the Constitution Disappeared, dalam Jack N. Rakove (edt), Interpreting the
Constitution, Northeastern University Press, Boston, Amerika Serikat, 1990, h.35.
31 http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw/judicialrev.html. diakses pada tanggal 5/03/08.
32 http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw/judicialrev.htm. diakses pada tanggal 5/03/08.
6|Page
umum berasal dari golongan terdidik, lebih mudah untuk merefleksi dan lebih mampu
menghilangkan antusiasme dibandingkan dengan jalannya kewenangan legislatif?
d. Apakah Marbury beranggapan bahwa anggota legislatif ataupun pejabat lembaga
eksekutif tidak memiliki pertanggungjawaban untuk menilai konstitusionalitas dari
tindakan mereka sendiri?
e. Bisakah kita memiliki sebuah sistim pemerintahan yang dapat berjalan dengan
baik tanpa adanya proses judicial review?

Pandangan yang mempertanyakan kewenangan judicial review tersebut dijawab oleh


pakar lain dengan memberikan logika pentingnya fungsi review oleh lembaga peradilan itu
sendiri. Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay memaparkan bahwa independensi
lembaga peradilan dari intervensi pelbagai kepentingan dan kekuasaan hanya dapat terlaksana
apabila lembaga yudikatif tersebut memiliki kewenangan judicial review. Hal itu dianggap
berguna bagi yudikatif dalam menjalankan hubungan dengan lembaga-lembaga yang sejajar.
Friedman menjelaskan selengkapnya sebagai berikut33;
Judicial independence requires the exercise of judicial review to protect the court system
against interference from states, military tribunals, plaintiffs, lawyers, and the mass media
of communication, especially the press. Self restraint may be practiced by the judiciary in
relation to states and localities as well as in relation to the President, Congress and
administrative bodies.

Lebih penting lagi menurut Friedman, pelaksanaan judicial review akan melindungi
sistim peradilan dari campur-tangan atau tekanan-tekanan (misalnya; politik) dari luar lembaga
peradilan. Jika indepensi adalah norma atau atribut penting dalam dunia peradilan maka
penggunaan judicial review untuk pencapaian tersebut jelas diperlukan. Friedman
menjelaskannya seperti berikut ini34;
More importantly, it is through its exercise of judicial review that the Court can protect the
judicial system from undue external pressures. Thus, structural factors would seem to make
this a “pivotal” norm. If judicial independence is a pivotal role attribute, we should expect to
find it, and the necessary use of judicial review included in philosophies of both Justice
Jackson and Douglas.

Terhadap paham Tyipis Logicisitis yang menganggap hakim adalah corong undang-
undang dibantah oleh beberapa pakar. Soedikno Mertokusumo menjelaskan bahwa pandangan
tersebut telah ‘ditinggalkan’ semenjak tahun 1850. 35 Perhatian setelah dekade tersebut ditujukan
kepada penemuan hukum yang lebih mandiri oleh hakim. Hakim tidak lagi dianggap sebagai
corong undang-undang. Pandangan baru tersebut disebut sebagai paham materiil yuridis atau
otonom dengan tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendel Holmes dan Paul Scholten. 36 Pandangan
Holmes dan Scholten didasari kepada pemahaman bahwa undang-undang tidak mungkin
lengkap sebagai sebuah tahap dalam pembentukan hukum sehingga harus dicari pelengkapnya
dalam dunia praktis melalui penemuan hukum oleh hakim. 37 Penguatan terhadap wilayah
peradilan tersebut bukan berarti hakim dapat bertindak sesuka hatinya. Peradilan tetap harus
menjadi corong keadilan rakyat dengan meletakan supremacy kebenaran dan keadilan di puncak
pemikiran para hakim. Henry Steele Commager memberikan sebuah perbandingan sederhana

33 Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay (edt), Law and the Behavioral Sciences, The Bobbs-Merrill
Company, Inc. New York, USA, 1969, h.834.
34 Ibid, h.841.
35 Bandingkan, Opcit; Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum,…, h.42.
36 Bandingkan dalam; Ibid.
37 Bandingkan dalam; Ibid.
7|Page
kenapa seorang hakim layak menghapuskan sebuah produk perundang-undangan buatan
legislatif. Menurut Commager adalah tidak dapat dipungkiri bahwa para hakim lebih
berpengetahuan dalam bidang hukum dibandingkan para anggota legislatif apalagi eksekutif. 38
Kekuasaan kehakiman yang bertindak sebagai negative legislator membuat para
pembentuk undang-undang saat ini cenderung lebih suka membentuk produk perundang-
undangan yang tidak kasuistis dan bersifat umum (flucht in die generalklausel).39 Sehingga terjadi
pergeseran dari hakim yang hanya corong undang-undang (normgerechtigkeit) kearah hakim
bebas (einzelfallgerechtigkeit). Pergerakan paham ini merubah arah cara berpikir yang pada
mulanya mengacu kepada sistim (systeemdenken) kemudian beralih menjadi cara berpikir yang
mengacu kepada masalahnya (problemdenken). Artinya hakim tidak lagi semata-mata harus
mengacu kepada peraturan perundang-undangan namun lebih kepada bagaimana masalah
pencari keadilan dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Alasan lain adalah rasionalisasi yang
dikemukakan oleh James Bradley Thayer, jika seandainya lembaga legislatif mengesahkan sebuah
RUU yang inkonstitusional40 apakah harus memutuskan sah ketidak-konstitusionalannya
tersebut yang jelas-jelas meragukan. 41 Oleh karena itu, harus dipahami bahwa tugas lembaga
legislatif dan yudikatif berbeda namun saling bertugas mengawasi dan mengahargai sesuai
dengan semangat mekanisme check and balances system. Perbedaan tugas itu dikemukakan
dengan jelas oleh Kusumadi Pudjosewojo bahwa hakim menentukan hukum itu secara konkrit
(in concreto) dengan peristiwa yang ada sedangkan para pembuat undang-undang (legislatif)
menentukan norma abstraknya (in abstracto).42 Pandangan Pudjosewojo tersebut bermakna
hukum abstrak hanyalah alat yang mengantarkan hakim mempertimbangkan sebuah bentuk
hukum yang diterapkan secara konkrit, bisa jadi putusan hakim akan berkesesuai dengan norma
abstrak bisa pula tidak. Tentu saja itu berarti hakim dapat merubah ataupun mengabaikan
ketentuan yang ada dalam perundang-undangan demi menciptakan keadilan (hukum) yang
konkrit.
Lepas dari pelbagai pandangan tersebut diatas, peristiwa Marbury Vs. Madison
setidaknya dalam catatan sejarah terhadap upaya penegakkan hukum yang berkeadilan, oleh
Bernard Schwartz telah ditempatkan sebagai putusan hakim terbaik sepanjang sejarah
penegakkan hukum di Amerika.43

Penafsiran Konstitusi oleh Hakim (Judicial Interpretation)


Dari kewenangan judicial review tersebut menimbulkan sebuah kewenangan yang samar atau
dengan kata lain menciptakan kewenangan baru, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Oleh
karena itu sering dinyatakan bahwa constitutional court itu adalah “the guardian of constitution
and the sole interpreting of constitution.” Disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan
kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan
konstitusi atau tidak. Sedangkan disebut sebagai satu-satunya lembaga yang dapat menafsirkan
konstitusi dikarenakan kewenangan judicial review menciptakan kewenangan tersebut.
Kewenangan menafsirkan itu timbul dari sebuah tafsir pula bahwa bagaimana bisa melakukan

38 Bandingkan dengan Henry Steele Commager, Judicial Review dan Demokrasi, dalam Opcit, Leonard W. Levy
(Editor), Judicial Review…h. 89.
39 Bandingkan dalam; Ibid. h.44.
40 Thayer mencontohkan sebuah kasus di Amerika, kasus Charles River Bridge yang didasari sebuah undang-
undang yang jelas-jelas inkonstitusional namun disahkan oleh legislatif.
41 Bandingkan dalam James Bradley Thayer, Sumber dan Ruang Lingkup Doktrin Hukum Konstitusional
Ameirka, dalam Opcit, Leonard W Levy, Judicial Review…h.75.
42 Bandingkan dalam Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Penerbit Aksara
Baru, Jakarta, 1976, h. 29.
43 Bernard Schwartz, A Book of Legal Lists- The Best and Worst in American Law, Oxford University Press,
New York, 1997, h.5.
8|Page
review terhadap sebuah undang-undang agar berkesesuaian dengan konstitusi apabila tidak
diberi kewenangan memaknai, menafsirkan konstitusi itu sendiri. Artinya kewenangan tafsir
konstitusi itu lahir juga dari sebuah penafsiran.
Teori atau mode dari cara berpikir hakim dalam menafsirkan hukum terutama konstitusi
maupun produk legislasi disebut sebagai penafsiran hakim. 44 Penafsiran oleh hakim tersebut
dapat dibedakan menjadi dua yaitu judicial review dan constitutional review. Pembedaan itu
dilakukan dengan beberapa alasan; pertama, constitutional review bukanlah hak tunggal dari
lembaga peradilan,45 wewenang uji konstitusional tersebut bergantung kepada ketentuan
konstitusi masing-masing negara. Terdapat konstitusi yang memberikan uji konstitusionalitas
kepada sebuah Dewan Konstitusi seperti Prancis atau oleh lembaga legislatif (MPR) yang pernah
dianut Indonesia sebelum perubahan UUD 1945. Kedua, istilah judicial review dapat pula
mengarah kepada uji terhadap produk perundang-undangan di bawah undang-undang (Judicial
review refers to the ultimate authority of the Supreme Court to judge whether [a] a state law or [b]
a national law46) sedangkan penggunaan istilah constitutional review hanya sesuai dengan proses
uji konstitusionalitas terhadap produk hukum di bawah konstitusi. 47 Berdasarkan argumentasi
diatas dapat pula digunakan istilah yang lebih tepat sebagaimana yang dikemukakan oleh Vicki C.
Jackson dan Mark Tushnet yaitu constitutional judicial review, pengujian konstitusional yang
dilakukan lembaga peradilan.48
Hak untuk memberikan tafsir terhadap konstitusi maupun produk hukum lainnya
memang bukanlah kewenangan monopoli dari lembaga peradilan. 49 Namun agar penafsiran
terhadap text konstitusi memiliki kekuatan hukum yang dapat diakui seluruh elemen negara,
maka peradilan diberikan kewenangan untuk memberikan tafsir tersebut. Beberapa pakar
memiliki landasan penting kenapa hanya peradilan yang berhak melakukan tafsir terhadapa
produk hukum.
Teori penafsiran hukum diperkenalkan oleh Carl Von Savigny, seorang pakar hukum
Jerman yang mengajarkan tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam
undang-undang. Menurut Savigny lebih lanjut, penafsiran hukum bukanlah metode yang dapat
digunakan semaunya melainkan harus terpusat kepada penafsiran undang-undang. 50
Interpretasi atau menafsir undang-undang (wetsuitleg) menurut ajaran hukum sebenarnya
adalah alat pembantu dalam memberi arti, maksud atau ratio terhadap suatu ketentuan undang-
undang51. Hal itu disebabkan ketentuan hukum tidak dapat memberikan penyelesaian hukum
terhadap permasalahan yang ada pada dunia nyata. Oleh karena itu dibutuhkan penafsir undang-
undang yang memahami tujuan hukum sesungguhnya dan keputusannya memiliki legitimasi
yang mengikat, maka diserahkan wewenang tersebut kepada lembaga peradilan. Apalagi
dikarenakan lembaga peradilan adalah tempat terakhir mencari keadilan dan tempat
penyelesaian pelbagai perkara hukum.

44 Bandingkan dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Judicial_interpretation.


45 Bandingkan dalam Luthfi Widagdo Eddyono, Catatan Eksplorative Perkembangan Constitutional Review,
dalam Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume 2, Nomor 1, Juli 2005. tulisan ini merupakan
resensi terhadap buku karangan Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Penerbit Konstitusi Press, Jakarta.
46 http://www.historyofsupremecourt.org/history/defines/overview.htm
47 Bandingkan dalam Ibid.
48 Vicki C. Jackson dan Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, New York Foundation Press, 1999, h.
456.
49 Bandingkan dalam; Walter Murphy, Constitutional Interpretation as Constitutional Creation: The 1999-
2000 Harry Eckstein Lecture, University of California, Irvine, 2000, h. 5. paper ini juga dapat diakses pada website;
http://repositories.cdlib.org/csd/00-05. akses pada 02/02/08.
50 Bandingkan dengan Opcit, Soedikno Mertokusumo, Penemuan…h.56-57.
51 John Z. Loundoe, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1985, h. 82.
9|Page
Penafsiran melalui sebuah proses peradilan (judicial interpretation) dimaknai sebagai
sebuah teori atau metode cara berpikir yang menjelaskan bagaimana peradilan harusnya
memberikan tafsir hukum terhadap sebuah undang-undang terutama undang-undang dasar. 52
Metode menafsirkan tersebut bukanlah sesuatu ketentuan berdasarkan metode baku
sebagaimana dipahami dalam keilmuan bidang eksakta. Penafsiran hukum bahkan disebut
sebagai sebuah seni (Interpretation is an art).53 Disebut seni dikarenakan melakukan penafsiran
hukum tidak bisa melihat suatu masalah “A”, maka ditafsirkan “A”. Penafsiran hukum suatu saat
bisa sangat spesifik namun pada saat yang lain penafsiran bisa menjadi sangat-sangat abstrak
bahkan “bermuka dua”.54 Diperlukan banyak metode pemikiran dan alat untuk melakukan sebuah
penafsiran. Upaya merangkai seluruh elemen untuk membantu sebuah penafsiran hukum yang
baik itulah yang disebut seni.
Ada hal yang menarik untuk dipahami dalam masalah melakukan interpretasi konstitusi.
Pada amandemen ke-14 (empat belas) Konstitusi Amerika dijamin mengenai kesamaan setiap
warga negara dihadapan hukum (equality before the law). Poin tersebut sangat sulit diberikan
tafsirnya, apalagi pemahaman umum dari masyarakat awam bahwa persamaan dihadapan
hukum tersebut adalah perlakuan yang serupa tanpa beda. Dalam hal kejadian di Amerika
tersebut, terdapat beberapa tanda-tanya; apakah dalam memberlakukan setiap orang sama
dihadapan hukum itu berarti memperlakukannya dengan sama (identik)? atau perlakuan yang
sama itu berarti diperlukan tindakan yang berbeda pada masing-masing kasus? 55 Dalam sejarah
peradilan Amerika pemahaman equal tersebut menyebabkan peradilan memberikan keputusan
yang berbeda-beda pula pada setiap kasus. Hal tersebut memperlihatkan bahwa di dalam
konstitusi bisa saja terdapat kalimat-kalimat ambigu. Berdasarkan teori Amerika, maka hakim
memiliki peran penting ‘menghilangkan’ keragu-raguan terhadap ketentuan konstitusi. Oleh
karena itu, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh H.L.A. Hart, Chief Justice Hughes dari
Supreme Court Amerika menyatakan bahwa “the Constitution is what the judge say it is!”.56

Pendekatan dalam Penafsiran Konstitusi


Metode-metode dalam menafsirkan konstitusi atau disebut juga constitutional construction
sangatlah beragam. Para ahli juga mengemukakan banyak pandangan mengenai metode ini. John
H. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff mengemukakan beberapa metode utama dalam melakukan
penafsiran konstitusi, yaitu; Interpretivism/Non-intepretivism; Textualism; Original Intent; Stare
Decisis; Neutral principles; dan Balancing57 atau kombinasi dari beberapa metode tersebut.58
Para hakim menggunakan pandangan atau kemampuan mereka berdasarkan pemahaman
mereka terhadap hukum itu sendiri. Artinya, Hakim-hakim berbeda pula dalam melakukan
penafsiran konstitusi, sehingga suatu saat para hakim akan saling bertentangan dalam
menafsirkan konstitusi terhadap sebuah perkara tertentu. 59 Namun terdapat enam60 metode
interpretasi konstitusi yang diterima luas oleh para pakar sebagaimana dikemukakan oleh

52 Bandingkan dalam; http://en.wikipedia.org/wiki/Judicial_interpretation. dijelaskan dalam website ini


bahwa judicial interpretation adalah; a theory or mode of thought that explains how the judiciary should interpret the
law, particularly constitutional documents and legislation.
53 Lihat; http://www.usconstitution.net/consttop_intr.
54 Lihat; http://www.usconstitution.net/consttop_intr. diakses pada tanggal 4/03/08.
55 Bandingkan http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html. diakses pada tanggal 10/03/08.
56 Opcit, Joachim Sanden, Methods of Interpreting…
57 John H. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, Modern Constitutional Theory, third Edition, West Publishing Co.
St. Paul, Minn, 1994, h.94-96.
58 Bandingkan dengan; http://en.wikipedia.org/wiki/Constitution_interpretation, aksek pada tanggal
02/02/08.
59 Bandingkan http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html, akses pada tanggal 03/02/08.
60 Bandingkan http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html. akses pada tanggal 03/02/08.
10 | P a g e
Garvey dan Aleinikoff diatas. Soedikno Mertokusumo juga mengemukakan bahwa terdapat
metode penemuan hukum melalui penafsiran oleh hakim, yaitu; Interpretasi Gramatikal;
Interpretasi sitematis atau logis; Interpretasi Historis; Interpretasi Teleologis atau Sosiologis. 61
Pandangan Soedikno Mertokusumo tersebut umum digunakan dalam kaidah tafsir hukum secara
umum. Namun dalam metode tafsir konstitusi metode interpretasi yang digunakan sedikit
berbeda walaupun pada intinya penafsiran hukum tersebut dapat pula digunakan untuk
menafsirkan konstitusi.
Walaupun banyak metode yang berbeda-beda dalam menafsirkan Konstitusi namun
terdapat 5 (lima) sumber yang menjadi landasan dalam menafsirkan Konstitusi, yaitu 62: (1) the
text and structure of the Constitution, yang diperhatikan disini adalah ‘bunyi’ dari ketentuan di
dalam konstitusi atau juga disebut sebagai the literal approach; (2) intentions of those who
drafted, voted to propose, or voted to ratify the provision in question, dalam hal ini yang dilihat
dalam menafsirkan konstitusi adalah maksud dibentuknya konstitusi dan pandangan penyusun
konstitusi. Sehingga perlu dipahami sejarah pembentukan sebuah konstitusi, dalam situasi
seperti apa konstitusi dibentuk dan pandangan atau ideology apa yang dianut oleh para framers
of constitution. Sumber ini juga dikenal dengan sebutan the broad and purposive approach; (3)
prior precedents, disini yang diperhatikan adalah kasus-kasus terdahulu yang merupakan
yurisprudensi dalam menafsirkan konstitusi terhadap kasus-kasus tertentu atau disebut juga
dengan the doctrine of “harmonious interpretation”; (4) the social, political, and economic
consequences of alternative interpretations, hakim dalam menafsirkan konstitusi juga
memertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kondisi bernegara, seperti kondisi
politik dan ekonomi; (5) natural law, Penafsiran yang bersumber pada natural law diarahkan
kepada ketentuan-ketentuan agama, nilai-nilai moral yang dianut masyarakat. Penafsiran hakim
atas konstitusi sesungguhnya didasari pula pada pandangan hakim terhadap konstitusi itu
sendiri, apakah hakim melihat konstitusi tersebut sebagai the living constitution atau sebagai the
moral constitution.63
Tiga poin pertama dianggap oleh beberapa pakar sebagai sumber yang sangat sesuai
untuk menjadi koridor dalam menafsirkan konstitusi. 64 Namun, dalam melihat poin yang akan
dijadikan kerangka utama dalam menafsirkan diantara ketiga sumber tersebut sangat tergantung
dengan kasus dan kondisi yang berbeda pula. Para penafsir konstitusi menyadari konsekuensi
dari pilihan menafsirkan konstitusi bahwa tidak akan pernah ditemukan keseragaman dari
seluruh sumber65, metode maupun teori, walaupun setiap sumber pertimbangan tafsir tersebut
memiliki kedudukan yang seimbang. Pada praktek penafsiran yang terjadi sering terdapat
pengabaian terhadap beberapa sumber tafsir.
Sumber interpretasi yang berasal dari natural law (hukum agama, ketentuan-ketentuan
kitab-kitab suci) dalam penafsiran konstitusi jarang sekali digunakan walaupun para penyusun
konstitusi biasanya beranggapan bahwa sumber hukum tersebut layak menjadi pertimbangan. 66
Bagi hakim atau kalangan lain (akademisi maupun masyarakat umum) yang menafsirkan
konstitusi lebih cenderung menggunakan sumber-sumber original yang berupa pendekatan text
dan intention biasanya disebut sebagai kalangan originalist. Sedangkan hakim yang
menggunakan pendekatan di luar pendekatan kalangan originalist disebut kelompok non-
originalist.67 Dalam praktis, pertentangan antara kalangan originalis dan non-priginalis
61 Bandingkan dengan Opcit, Soedikno Mertokusumo, Penemuan…h.57-61.
62 Bandingkan;http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw, akses pada tanggal 03/02/08.
63 Bandingkan dengan; http://en.wikipedia.org/wiki/Constitution_interpretation, akses pada tanggal
02/02/08.
64 http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw.htm. diakses pada tanggal 7/02/08.
65 http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw.htm. diakses pada tanggal 7/02/08.
66 Bandingkan;http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw, akses pada tanggal 02/02/08.
67 Bandingkan;http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw, akses pada tanggal 02/02/08.
11 | P a g e
seringkali mengarah kepada tema; apakah dapat digunakan kecermatan peradilan untuk
memastikan “fundamental rights” yang secara explicit tidak dilindungi dalam text Konstitusi.68

Perubahan UUD 1945 Melalui Tafsir MK


Kasus Madison vs Marbury (1803) dalam ilmu hukum, khususnya Hukum Tata Negara juga
dipahami sebagai formula awal dari ide perubahan konstitusi melalui penafsiran oleh lembaga
peradilan/hakim. Perkara tersebut juga menunjukan bahwa perubahan konstitusi juga terjadi
tanpa prosedur formal. K.C. Wheare memaparkan; “many important change in the working of a
constitution occur without any alteration in the rules which regulate a government, whether they
strictly legal or rules of custom and convention 69”. Berdasarkan pernyataan Wheare tersebut,
Ismail Suny mencoba mengkaitkannya dengan posisi UUD 1945 bahwa memang telah terjadi
perubahan radikal tanpa suatu amandemen pada teks dari Undang-Undang Dasar itu sendiri 70.
Perubahan yang terjadi di luar ketentuan formal konstitusi yang melibatkan lembaga
peradilan juga terjadi dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia pasca perubahan
(amandemen) UUD 1945. Perkara-perkara uji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945 di MK
mengakibatkan terjadinya perubahan UUD 1945 sebagaimana yang dijelaskan Ismail Suny di
atas. Perubahan jenis ini juga dijelaskan oleh Wheare sebagai perubahan melalui judicial
interpretation.
Pada perkara Nomor: 008/PUU-II/2004 mengenai uji konstitusional UU No. 23 Tahun
2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 terdapat
penafsiran MK yang merubah secara tidak langsung text UUD 1945 itu sendiri. Pasal 6 ayat (1)
UUD 1945 menyatakan bahwa :
“Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena hendaknya
sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, ‘serta mampu secara rohani dan jasmani’
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”

Kalimat ‘mampu secara rohani dan jasmani’ didefenisikan oleh MK dengan tafsir;
’bahwasanya calon Presiden dan Wakil Presiden harus dalam kondisi sehat secara rohani dan
jasmani dalam melaksanakan tugas dan kewajiban kenegaraan dimaksud’ (halaman 28 Putusan
008/PUU-II/2004). Secara textual tentu saja terdapat perbedaan yang sangat jauh antara kata
‘mampu secara rohani dan jasmani dengan ‘harus dalam kondisi sehat’ secara rohani dan
jasmani. Melalui Putusan ini MK telah melakukan perubahan secara textual meaning dari pasal 6
ayat (1) UUD 1945.
Dalam perkara No. 005/PUU-IV/2006 mengenai uji konstitusionalitas UU No. 22 Tahun
2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Hakim Konstitusi memberikan penafsiran
terhadap makna hakim yang dicantumkan Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945. MK dalam amarnya
tidak memasukkan Hakim Konstitusi sebagai bagian dari kata ‘hakim’ dalam ketentuan Pasal 24
B UUD 1945. Sebaliknya menurut putusan MK tersebut Hakim Agung merupakan bagian dari
Pasal 24 B UUD 1945.
Putusan MK tersebut secara tidak langsung telah merubah bunyi Pasal 24 B ayat (1) UUD
1945 dari berbunyi (original meaning): ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, menjadi bermakna
(textual meaning) : “Komisi Yudisial bersifa mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
68 Bandingkan;http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw, akses pada tanggal 02/02/08.
69 Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, 1986, h. 31.
70 Ibid.
12 | P a g e
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, kecuali Hakim Konstitusi ”.
Perkara yang menjadi pertentangan saat ini adalah pada putusan MK dengan Nomor
Registrasi : 2 -3/PUU-V/2007 mengenai uji konstitusionalitas Pasal 80 ayat (1), Pasal 80 ayat (2)
huruf (a), Pasal 80 ayat (3) huruf (a), Pasal 81 ayat (3) huruf (a), Pasal 82 ayat (10) huruf (a),
Pasal 82 ayat (2) huruf (a) dan Pasal 82 ayat (3) huruf (a) dari UU No. 22 Tahun 1997 Tentang
Narkotika yang mengatur mengenai Tindak Pidana Mati (death penalty / capital punishment).
Pada perkara ini MK menafsirkan text Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945 dengan memberikan
pengertian lain dari original intent Pasal-pasal tersebut.

Pasal 28 A berbunyi sebagai berikut:


“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”

Pasal 28 I ayat (1) berbunyi sebagai berikut :


“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”

Terhadap ‘hak untuk hidup’ yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun tersebut
MK memberikan tafsiran berdasarkan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi :
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”

Sehingga MK berpendapat bahwa hukuman mati merupakan pembatasan yang


ditetapkan UU No. 22/1997 demi menegakkan ketertiban umum. MK memberikan textual
meaning terhadap ketentuan Pasal 28 A dan 28 I tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 28J UUD
1945.
Putusan-putusan tersebut juga memiliki permasalahan jika dilihat dari sudut Hukum Tata
Negara, yaitu pertama, bagaimana kedudukan putusan tersebut dalam hierarki perundang-
undangan Indonesia dan kedua, bagaimana kekuatan hukum putusan-putusan yang merubah
UUD 1945 oleh MK, serta bagaimana pula kedudukan MK sebagai sebuah lembaga negara dalam
ketatanegaraan Indonesia.
Penafsiran terhadap UUD 1945 sebenarnya juga dilakukan oleh DPR melalui
pembentukan undang-undang (UU) sebagai aturan pelaksana dari konstitusi. Hal itu
menimbulkan masalah dikarenakan kedudukan DPR sebagai lembaga yang ‘mentafsirkan’ UUD
1945 melalui produk legislasinya akan mengalami pertentangan dengan interpretasi konstitusi
oleh MK. Masalah tersebut merupakan sebuah kajian Hukum Tata Negara karena perlu dipahami
sejauhmana kedudukan putusan MK tersebut, baik terhadap UUD 1945 maupun terhadap UU
yang diundangkan oleh lembaga legislatif.
Pada perkara dengan nomor registrasi 066/PUU II/2004 yang menguji konstitusionalitas
Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1987
Tentang Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dinyatakan bahwa Pasal 50 UU No.24/2003 tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menolak permohonan pengujian terhadap Pasal 4 UU

13 | P a g e
No.1/1987. Putusan yang menyebabkan Pasal 50 71 UU No. 24/2003 tidak memiliki kekuatan
mengikat tersebut merupakan sebuah penafsiran yang berbeda dari para pembuat UU
(wetgever). Wetgever menginginkan MK hanya menguji konstitusionalitas UU yang diundangkan
setelah perubahan UUD 1945, yaitu setelah 19 Oktober 1999 (amandemen pertama). Putusan
tersebut menimbulkan perbedaan panafsiran konstitusi antara wetgever (DPR) dan MK.
Sedangkan menurut Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk UU. UU
sendiri menurut teori Ilmu Perundang-Undangan adalah penjabaran dari pasal-pasal UUD
1945.72 Oleh karenanya, UU merupakan dokumentasi legal yang menafsirkan maksud dari pasal-
pasal UUD 1945.
Dari beberapa putusan MK di atas, dapat dikelompokkan dua jenis putusan dalam proses
uji konstitusional. Pertama, putusan yang menimbulkan makna baru terhadap text UUD 1945.
Kedua, putusan yang menyebabkan batalnya pasal-pasal atau seluruh ketentuan UU itu sendiri.
Menurut Refly Harun posisi tafsir konstitusi yang memberi makna pada UUD pada dasarnya lebih
tinggi dari UU karenanya fungsi tafsir tersebut hampir sama dengan penjelasan dari UUD. Deny
Indrayana berpendapat bahwa dalam hal tafsir MK memberikan makna baru terhadap UUD maka
putusan tersebut tidak dapat disamakan dengan penjelasan UUD 1945, fungsinya hanyalah
sebagai sebuah tafsir semata. Senada dengan Denny Indrayana, Zainal Arifin Mochtar juga tidak
‘berani’ terlalu jauh mengklasifikasikan putusan MK dalam hal memberikan makna yang berbeda
dengan UUD. Walaupun Denny dan Zainal juga mengakui bahwa tafsir MK tersebut berlaku
mengikat kepada seluruh elemen dibawah ketentuan konstitusi. Sedangkan dalam hal putusan
MK merubah atau membatalkan suatu bagian atau keseluruhan dari UU, maka Refly Harun, Deny
Indrayana, dan Zainal Arifin Mochtar sepakat bahwa putusan itu berlaku sebagaimana UU.
Putusan MK tersebut juga harus diketahui nilai kemanfaatannya bagi generasi masa
depan bangsa Indonesia. Dalam kondisi Amerika, C. Herman Pritchett mengatakan bahwa : “
Marshall had defended the notion that constitutional meaning may legitimately change over time
and that, within limits, each generation may adapt the constitution to its own needs 73” Penafsiran
konstitusi diperlukan oleh masyarakat suatu bangsa dalam menghadapi perubahan zaman.
Walaupun sebuah konstitusi itu terlihat lengkap, namun akan selalu timbul konflik, dari konflik
hak asasi sampai sengketa kewenangan lembaga. Ketika konflik tersebut timbul, maka menjadi
kewenangan lembaga peradilan untuk menyelesaikannya. 74
Kata-kata konstitusi yang menurut Wheare75 tidak begitu jelas (vague) atau bermakna
ganda, bermanfaat untuk ditafsirkan sesuai kebutuhan dan keinginan bangsa pada saat itu.
Hanya saja kemanfaatan tersebut perlu diatur dengan mekanisme yang jelas dan sesuai dengan
teori-teori konstitusi yang dipahami secara luas.

Daftar Pustaka

A. Buku
 Abu Daud Busroh, Intisari Hukum Tatanegara Perbandingan, Konstitusi
Sembilan Negara, Penerbit P.T. Bina Aksara, Jakarta, 1987.

71 Pasal 50 UU No. 24/2003 berbunyi : “ Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk di uji adalah undang-
undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ”.
72 Bandingkan dengan H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Sekretariat MK-RI,
Jakarta, 2006, h. 181.
73 Sotiros A. Barber, The Constitutional Judicial Power, The John Hopkins University Press, Baltimore and
London, 1993, h. 74.
74 Bandingkan dalam; http://www.usconstitution.net/consttop_intr.html.
75 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit P.T. Alumni, bandung, 2006, h. 264.
14 | P a g e
 Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-asas Hukum Tatanegara, Penerbit
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
 Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Penerbit YAPEMDO, Bandung, 2000.
 Beny K Harman dan Hendardi (edt), Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial
Review, Penerbit YLBHI dan JARIM, Jakarta, 1991.
 Bernard Schwartz, A Book of Legal Lists- The Best and Worst in American Law,
Oxford University Press, New York, 1997.
 Djoko Soetono, Kuliah Hukum Tata Negara, Penerbit In-Hill-Co, Jakarta, 2006.
 H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Sekretariat
MK-RI, Jakarta, 2006.
 Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Penerbit Aksara Baru, Jakarta,
1986.
 Jack N. Rakove (edt), Interpreting the Constitution, Northeastern University
Press, Boston, Amerika Serikat, 1990.
 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara-Jilid I, Sekjen
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
 ------------------------, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
 John H. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, Modern Constitutional Theory, third
Edition, West Publishing Co. St. Paul, Minn, 1994.
 John Z. Loundoe, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Penerbit Bina
Aksara, Jakarta, 1985.
 K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2005.
 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Penerbit
Aksara Baru, Jakarta, 1976.
 Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay (edt), Law and the Behavioral
Sciences, The Bobbs-Merrill Company, Inc. New York, USA, 1969.
 Leonard W. Levy (Editor), Judicial Review, Sejarah Kelahiran, Wewenang dan
Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa,
bandung, 2005.
 Michael Allen dan Brian Thompson, Cases and Materials on Constitutional and
Administrative Law, Oxford University Press, United Kingdom, 2002.
 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tatanegara Indonesia,
Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan C.V.
Sinar Bakti, Jakarta, 1988.
 M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.
 RM. A.B. Kusuma, Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004.
 Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Penerbit
Liberty, Yogyajarta, 2001.
 Sotiros A. Barber, The Constitutional Judicial Power, The John Hopkins
University Press, Baltimore and London, 1993.
 Sri Soemantri, M., Hak Menguji Material di Indonesia, Penerbit Alumni,
Bandung, 1986.
 -------------------, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit P.T.
Alumni, bandung, 2006.
 Walter Murphy, Constitutional Interpretation as Constitutional Creation: The
1999-2000 Harry Eckstein Lecture, University of California, Irvine, 2000.
 Vicki C. Jackson dan Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, New York
Foundation Press, 1999.

15 | P a g e
 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit
Alumni, 2000.

B. Jurnal/Pidato Ilmiah
 Jurnal Analisa CSIS Tahun XXXI/2002 No.2, Penerbit Centre for Strategic and
International Studies.
 Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Vol. 1 No.1, Juli 2004, Penerbit
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
 Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume 2, Nomor
1, Juli 2005.
 Juridica International VIII/2003, Joachim Sanden, Methods of Interpreting The
Constitution; Estonia’s Way in an Increasingly Integrated Europe
 Harun Alrasid, Penetapan UUD dan Perubahan UUD dalam Teori dan Praktek,
Merupakan Pidato Purna Bakti Harun Alrasid sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, diucapkan pada hari Sabtu, 20 Juli 1996 di Auditorium
Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia, Depok-Jawa Barat.

C. Website
 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0611/06/opi01.html.
 http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw/judicialrev.html.
 Bandingkan dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Judicial_interpretation.
 http://www.historyofsupremecourt.org/history/defines/overview.htm
 http://repositories.cdlib.org/csd/00-05.
 http://en.wikipedia.org/wiki/Judicial_interpretation.
 Lihat; http://www.usconstitution.net/consttop_intr.
 Lihat; http://www.usconstitution.net/consttop_intr..
 http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html.
 http://en.wikipedia.org/wiki/Constitution_interpretation,
 http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html,
 http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html.
 http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw,
 http://en.wikipedia.org/wiki/Constitution_interpretation,
 http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw.htm.
 http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw.htm.
 http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw,
 http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw,
 http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw,
 http://www.usconstitution.net/consttop_intr.html.

16 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai