Oleh
Saldi Isra & Feri Amsari1
Abstraksi
Kasus Marbury vs. Madison dalam peradilan di Supreme Court Amerika Serikat menjadi
titik awal penafsiran konstitusional yang dikenal pada banyak teori-teori ketatanegaraan
dunia. Indonesia melalui perubahan UUD 1945 dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang
salah satu tugasnya tugasnya melakukan konstitusional. Kehadiran MK yang demikian
menimbulkan pelbagai polemik karena dapat mengubah konstitusi secara onbewust,
berlahan-lahan. Tulisan ini menggali beberapa kasus yang dimohonkan di MK yang
putusannya kemudian menyebabkan perubahan makna teks dari UUD 1945. Kondisi
tersebut dapat disimpulkan telah terjadi perubahan informal konstitusi oleh putusan MK.
11 Mohammad Fajrul Falaakh, Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat dalam Perubahan UUD 1945, Jurnal
Analisa CSIS Tahun XXXI/2002 No.2, Penerbit Centre for Strategic and International Studies, h. 194.
12 Ibid, h. 190.
13 Harun Alrasid, Penetapan UUD dan Perubahan UUD dalam Teori dan Praktek, Merupakan Pidato Purna
Bakti Harun Alrasid sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada hari Sabtu, 20
Juli 1996 di Auditorium Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia, Depok-Jawa Barat, h.28.
14 Ibid, Harun Alrasid tidak menyebutkan secara jelas Nomor TAP MPR yang ia contohkan.
15 Ibid. h. 29.
3|Page
sebagaimana telah dikemukakan oleh Djokosoetono dan Wheare diatas, yaitu melalui
interpretasi hakim. Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) membuka ruang terjadi interpretasi
konstitusi oleh para hakim. Penafsiran oleh lembaga judicial tersebut diberikan melalui
kewenangan pengujian produk hukum (toetsingrecht). Toetsingrecht oleh lembaga peradilan
(judicial review) sendiri memiliki perdebatan yang sangat melelahkan diantara pakar ilmu
hukum tata negara dipelbagai pelosok dunia.
Dalam istilah hukum di Indonesia kewenangan pengujian tersebut dikenal dengan istilah
toetsingrecht yang dimasyhurkan oleh Sri Soemantri. 18 Dari pandangan Allen dan Thompson
diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis toetsingrecht, yaitu; (a) toetsingrecht
yang merupakan kewenangan peradilan atau dikenal dengan judicial review; (b) toetsingrecht
yang merupakan kewenangan legislatif atau legislative review; dan (c) toetsingrecht yang
merupakan kewenangan eksekutif atau eksekutive review.
Di Amerika perdebatan ide mengenai judicial review tidak hanya terletak kepada
lembaga pelaksana kewenangan judicial review undang-undang semata tetapi terhadap substansi
ide bahkan sejarah lahirnya itu sendiri. Menurut Leonard W. Levy, persoalan legitimasi tentu saja
bermula dari fakta bahwa para penyusun Konstitusi (Amerika) lupa menentukan agar Mahkamah
Agung (Supreme Court Amerika) diberi wewenang untuk menjalankan judicial review semenjak
awal pembentukan konstitusi. Jika mereka memang ingin agar Pengadilan memiliki wewenang
itu, mengapa wewenang itu tidak diberikan (sejak 1787-ketika konstitusi Amerika disusun). 19
Hal yang berbeda terjadi di Indonesia, ketika para penyusun konstitusi (framers of
constitution) Indonesia menyusun sendi-sendi bernegara dalam Undang-Undang Dasar 1945, ide
pengujian konstitusional telah pernah diperdebatkan dalam sidang BPUPKI (Badan Pekerja
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Mr. Moh. Yamin mengusulkan agar terdapat
sebuah mekanisme pengujian keabsahan isi UU terhadap konstitusi, adat dan syari’ah oleh
lembaga tertinggi kehakiman.20 Mr. Yamin mengemukakan mengenai lembaga tersebut sebagai
berikut21;
16 Mengenai kasus Marbury Vs. Madison dapat dibaca salah satunya pada buku Jimly Asshiddiqie, Model-model
Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
17 Michael Allen dan Brian Thompson, Cases and Materials on Constitutional and Administrative Law, Oxford
University Press, United Kingdom, 2002, h.568.
18 Lihat Sri Soemantri, M., Hak Menguji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, h.5.
19 Leonard W. Levy, Judicial Review, Sejarah, dan Demokrasi: Sebuah Pengantar, dalam Ibid, Leonard W. Levy
(Editor), Judicial Review, Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Penerbit
Nusamedia dan Penerbit Nuansa, bandung, 2005, h. 2.
20 Bandingkan dengan RM. A.B. Kusuma, Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004, h. 389
21 M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, h. 234
4|Page
“Mahkamah inilah (Mahkamah Agung-pen) yang setinggi-tingginya, sehingga dalam
membanding undang-undang, maka balai Agung inilah yang akan memutuskan apakah
sejalan dengan hukum adat, syariah dan undang-undang dasar”
Namun ide Yamin tersebut dibantah oleh Soepomo yang menganggap bahwa belum
pernah ada konsesus di antara ahli-ahli Tata Negara tentang judicial review, disamping para ahli
hukum Indonesia belum memiliki pengalaman mengenai proses judicial review.22 Todung Mulya
Lubis berhipotesa bahwa pandangan Soepomo tersebut dikarenakan anggota framers of
constitusion itu tidak membaca mengenai perdebatan sengit kasus Marbury Vs. Madison pada the
Supreme Court Amerika Serikat.23 Namun sesungguhnya Soepomo bukannya tidak mengetahui
tentang konsep review by the judicial body tersebut, berikut selengkapnya ungkapan Soepomo24
pada rapat BPUPKI:
“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa para
ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan
tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan Jerman waktu
Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan special, constitutioneelhof,
-sesuatu pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus
mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah
tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum
waktunya mengerjakan persoalan itu.”
Dari uraian tersebut Soepomo menyadari betul keberadaan lembaga peradilan yang
memiliki kewenangan uji konstitusionalitas, nampaknya dari perdebatan yang ada sepertinya
Soepomo masih meragukan efektifitas uji konstitusionalitas oleh sebuah lembaga peradilan,
sedangkan ketika itu terdapat lembaga MPR sebagai representasi tertinggi dari rakyat.
Pernyataan eksplisit Soepomo tentang keterbatasan ahli pada waktu itu terkesan tidak masuk
akal, dikarenakan pada masa itu banyak founding fathers yang ahli hukum, misalnya Mr. M. Yamin
yang ahli konstitusi dan ketatanegaraan Asia serta Soepomo sendiri yang juga bergelar
‘misteerunderrechten’. Kemungkinannya adalah Soepomo khawatir jika kedepan terjadi
pertikaian pemahaman konstitusi antara MPR dan MA sebagai penafsir konstitusi. Pada
perspektif tersebut Soepomo mungkin terpengaruh diskusi mengenai kewenangan lembaga
peradilan dalam menentukan keabsahan sebuah perundang-undangan.
Ide yang menempatkan lembaga yudikatif sebagai lembaga yang menentukan apakah
sebuah produk perundang-undangan layak diberlakukan atau tidak memang masih
menimbulkan pelbagai perdebatan. H.L.A. Hart mengemukakan bahwa paham “A supreme
tribunal has the last word in saying what the law is” akan menjadi terbantahkan jika putusan
pengadilan tersebut adalah putusan yang salah. Putusan salah yang menghapuskan kekuatan
legal dari produk perundang-undangan legislatif tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara
hukum dikarenakan tidak terdapat hak dan kewajiban sebagai konsekuensi dari kesalahan
tersebut.
Charles L. Black bahkan menganggap bahwa keputusan Supreme Court Amerika Serikat
dalam kasus Marbury Vs. Madison adalah kesalahpahaman dalam melihat fungsi lembaga
yudikatif. Black menyatakan bahwa fungsi utama dari pengadilan adalah memberikan keabsahan
(validation), bukan membatalkan keabsahan (invalidation) UU yang dibuat kekuasaan negara.
Black memahami bahwa antara legislatif sebagai pembuat UU dan pemerintah sebagai pelaksana
22 Todung Mulya Lubis, Judicial Review dalam Perspektif Hukum Tata Negara, dalam Beny K Harman dan
Hendardi (edt), Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial Review, Penerbit YLBHI dan JARIM, Jakarta, 1991, h. 106.
23 Ibid.
24 Harun Alrasid, Hak Menguji Dalam Teori dan Praktek, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 1 No.1, Juli 2004,
Penerbit Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 94.
5|Page
UU akan menimbulkan perbedaan pemahaman menafsirkan makna dari UU. Sehingga kedua
lembaga (legislatif dan eksekutif) membutuhkan suatu interpretasi UU yang memiliki ukuran
baku dan absah. Disinilah letak fungsi pengadilan (yudikatif) yang mampu memberikan
keabsahan interpretasi UU, bukan membatalkan keabsahan itu sendiri. Hal itu sesuai dengan
pandangan Montesquieu bahwa kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sejajar (horizontal)
dan masing-masing wajib merujuk kepada ketentuan yang lebih tinggi, yaitu konstitusi
(vertikal).25 Bahkan Jaakko Husa mengkritik perspektif Amerika yang beranggapan bahwa
judicial review adalah cara yang paling dibutuhkan untuk menegakkan paham
konstitusionalisme.26 Padahal akibat pemahaman seperti itu, menurut Husa, menimbulkan
persoalan terhadap legitimasi politik27 (legislatif maupun eksekutif). Kritik yang lebih tajam telah
lebih dulu dikemukakan oleh Montesquieu dan Immanual Kant, bahwa hakim bukanlah subjek
hukum yang mandiri dan dapat menentukan hukum sesuka hatinya, melainkan hakim hanyalah
corong atau perpanjangan lidah dari undang-undang (bouche de la loi)28. Logeman juga
mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak para pembuat undang-undang 29
walaupun penafsiran hukum adalah kewajiban hukum dari hakim. Oleh karena itu, sebagai
corong/pelaksana undang-undang adalah mustahil hakim dapat menghapuskan sebuah undang-
undang. Lino A. Graglia mengemukakan bahwa fungsi hakim hanyalah menjalankan hukum (to
apply the law) bukan membuat hukum30 (not to make the law). Charles L. Black memaparkan
mengenai hal itu sebagai berikut31 :
"The prime and most necessary function of the Court has been that of validation, not that of
invalidation. What a government of limited powers needs, at the beginning and forever, is
some means of satisfying the people that it has taken all steps humanly possible to stay
within its powers."
Lebih penting lagi menurut Friedman, pelaksanaan judicial review akan melindungi
sistim peradilan dari campur-tangan atau tekanan-tekanan (misalnya; politik) dari luar lembaga
peradilan. Jika indepensi adalah norma atau atribut penting dalam dunia peradilan maka
penggunaan judicial review untuk pencapaian tersebut jelas diperlukan. Friedman
menjelaskannya seperti berikut ini34;
More importantly, it is through its exercise of judicial review that the Court can protect the
judicial system from undue external pressures. Thus, structural factors would seem to make
this a “pivotal” norm. If judicial independence is a pivotal role attribute, we should expect to
find it, and the necessary use of judicial review included in philosophies of both Justice
Jackson and Douglas.
Terhadap paham Tyipis Logicisitis yang menganggap hakim adalah corong undang-
undang dibantah oleh beberapa pakar. Soedikno Mertokusumo menjelaskan bahwa pandangan
tersebut telah ‘ditinggalkan’ semenjak tahun 1850. 35 Perhatian setelah dekade tersebut ditujukan
kepada penemuan hukum yang lebih mandiri oleh hakim. Hakim tidak lagi dianggap sebagai
corong undang-undang. Pandangan baru tersebut disebut sebagai paham materiil yuridis atau
otonom dengan tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendel Holmes dan Paul Scholten. 36 Pandangan
Holmes dan Scholten didasari kepada pemahaman bahwa undang-undang tidak mungkin
lengkap sebagai sebuah tahap dalam pembentukan hukum sehingga harus dicari pelengkapnya
dalam dunia praktis melalui penemuan hukum oleh hakim. 37 Penguatan terhadap wilayah
peradilan tersebut bukan berarti hakim dapat bertindak sesuka hatinya. Peradilan tetap harus
menjadi corong keadilan rakyat dengan meletakan supremacy kebenaran dan keadilan di puncak
pemikiran para hakim. Henry Steele Commager memberikan sebuah perbandingan sederhana
33 Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay (edt), Law and the Behavioral Sciences, The Bobbs-Merrill
Company, Inc. New York, USA, 1969, h.834.
34 Ibid, h.841.
35 Bandingkan, Opcit; Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum,…, h.42.
36 Bandingkan dalam; Ibid.
37 Bandingkan dalam; Ibid.
7|Page
kenapa seorang hakim layak menghapuskan sebuah produk perundang-undangan buatan
legislatif. Menurut Commager adalah tidak dapat dipungkiri bahwa para hakim lebih
berpengetahuan dalam bidang hukum dibandingkan para anggota legislatif apalagi eksekutif. 38
Kekuasaan kehakiman yang bertindak sebagai negative legislator membuat para
pembentuk undang-undang saat ini cenderung lebih suka membentuk produk perundang-
undangan yang tidak kasuistis dan bersifat umum (flucht in die generalklausel).39 Sehingga terjadi
pergeseran dari hakim yang hanya corong undang-undang (normgerechtigkeit) kearah hakim
bebas (einzelfallgerechtigkeit). Pergerakan paham ini merubah arah cara berpikir yang pada
mulanya mengacu kepada sistim (systeemdenken) kemudian beralih menjadi cara berpikir yang
mengacu kepada masalahnya (problemdenken). Artinya hakim tidak lagi semata-mata harus
mengacu kepada peraturan perundang-undangan namun lebih kepada bagaimana masalah
pencari keadilan dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Alasan lain adalah rasionalisasi yang
dikemukakan oleh James Bradley Thayer, jika seandainya lembaga legislatif mengesahkan sebuah
RUU yang inkonstitusional40 apakah harus memutuskan sah ketidak-konstitusionalannya
tersebut yang jelas-jelas meragukan. 41 Oleh karena itu, harus dipahami bahwa tugas lembaga
legislatif dan yudikatif berbeda namun saling bertugas mengawasi dan mengahargai sesuai
dengan semangat mekanisme check and balances system. Perbedaan tugas itu dikemukakan
dengan jelas oleh Kusumadi Pudjosewojo bahwa hakim menentukan hukum itu secara konkrit
(in concreto) dengan peristiwa yang ada sedangkan para pembuat undang-undang (legislatif)
menentukan norma abstraknya (in abstracto).42 Pandangan Pudjosewojo tersebut bermakna
hukum abstrak hanyalah alat yang mengantarkan hakim mempertimbangkan sebuah bentuk
hukum yang diterapkan secara konkrit, bisa jadi putusan hakim akan berkesesuai dengan norma
abstrak bisa pula tidak. Tentu saja itu berarti hakim dapat merubah ataupun mengabaikan
ketentuan yang ada dalam perundang-undangan demi menciptakan keadilan (hukum) yang
konkrit.
Lepas dari pelbagai pandangan tersebut diatas, peristiwa Marbury Vs. Madison
setidaknya dalam catatan sejarah terhadap upaya penegakkan hukum yang berkeadilan, oleh
Bernard Schwartz telah ditempatkan sebagai putusan hakim terbaik sepanjang sejarah
penegakkan hukum di Amerika.43
38 Bandingkan dengan Henry Steele Commager, Judicial Review dan Demokrasi, dalam Opcit, Leonard W. Levy
(Editor), Judicial Review…h. 89.
39 Bandingkan dalam; Ibid. h.44.
40 Thayer mencontohkan sebuah kasus di Amerika, kasus Charles River Bridge yang didasari sebuah undang-
undang yang jelas-jelas inkonstitusional namun disahkan oleh legislatif.
41 Bandingkan dalam James Bradley Thayer, Sumber dan Ruang Lingkup Doktrin Hukum Konstitusional
Ameirka, dalam Opcit, Leonard W Levy, Judicial Review…h.75.
42 Bandingkan dalam Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Penerbit Aksara
Baru, Jakarta, 1976, h. 29.
43 Bernard Schwartz, A Book of Legal Lists- The Best and Worst in American Law, Oxford University Press,
New York, 1997, h.5.
8|Page
review terhadap sebuah undang-undang agar berkesesuaian dengan konstitusi apabila tidak
diberi kewenangan memaknai, menafsirkan konstitusi itu sendiri. Artinya kewenangan tafsir
konstitusi itu lahir juga dari sebuah penafsiran.
Teori atau mode dari cara berpikir hakim dalam menafsirkan hukum terutama konstitusi
maupun produk legislasi disebut sebagai penafsiran hakim. 44 Penafsiran oleh hakim tersebut
dapat dibedakan menjadi dua yaitu judicial review dan constitutional review. Pembedaan itu
dilakukan dengan beberapa alasan; pertama, constitutional review bukanlah hak tunggal dari
lembaga peradilan,45 wewenang uji konstitusional tersebut bergantung kepada ketentuan
konstitusi masing-masing negara. Terdapat konstitusi yang memberikan uji konstitusionalitas
kepada sebuah Dewan Konstitusi seperti Prancis atau oleh lembaga legislatif (MPR) yang pernah
dianut Indonesia sebelum perubahan UUD 1945. Kedua, istilah judicial review dapat pula
mengarah kepada uji terhadap produk perundang-undangan di bawah undang-undang (Judicial
review refers to the ultimate authority of the Supreme Court to judge whether [a] a state law or [b]
a national law46) sedangkan penggunaan istilah constitutional review hanya sesuai dengan proses
uji konstitusionalitas terhadap produk hukum di bawah konstitusi. 47 Berdasarkan argumentasi
diatas dapat pula digunakan istilah yang lebih tepat sebagaimana yang dikemukakan oleh Vicki C.
Jackson dan Mark Tushnet yaitu constitutional judicial review, pengujian konstitusional yang
dilakukan lembaga peradilan.48
Hak untuk memberikan tafsir terhadap konstitusi maupun produk hukum lainnya
memang bukanlah kewenangan monopoli dari lembaga peradilan. 49 Namun agar penafsiran
terhadap text konstitusi memiliki kekuatan hukum yang dapat diakui seluruh elemen negara,
maka peradilan diberikan kewenangan untuk memberikan tafsir tersebut. Beberapa pakar
memiliki landasan penting kenapa hanya peradilan yang berhak melakukan tafsir terhadapa
produk hukum.
Teori penafsiran hukum diperkenalkan oleh Carl Von Savigny, seorang pakar hukum
Jerman yang mengajarkan tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam
undang-undang. Menurut Savigny lebih lanjut, penafsiran hukum bukanlah metode yang dapat
digunakan semaunya melainkan harus terpusat kepada penafsiran undang-undang. 50
Interpretasi atau menafsir undang-undang (wetsuitleg) menurut ajaran hukum sebenarnya
adalah alat pembantu dalam memberi arti, maksud atau ratio terhadap suatu ketentuan undang-
undang51. Hal itu disebabkan ketentuan hukum tidak dapat memberikan penyelesaian hukum
terhadap permasalahan yang ada pada dunia nyata. Oleh karena itu dibutuhkan penafsir undang-
undang yang memahami tujuan hukum sesungguhnya dan keputusannya memiliki legitimasi
yang mengikat, maka diserahkan wewenang tersebut kepada lembaga peradilan. Apalagi
dikarenakan lembaga peradilan adalah tempat terakhir mencari keadilan dan tempat
penyelesaian pelbagai perkara hukum.
Kalimat ‘mampu secara rohani dan jasmani’ didefenisikan oleh MK dengan tafsir;
’bahwasanya calon Presiden dan Wakil Presiden harus dalam kondisi sehat secara rohani dan
jasmani dalam melaksanakan tugas dan kewajiban kenegaraan dimaksud’ (halaman 28 Putusan
008/PUU-II/2004). Secara textual tentu saja terdapat perbedaan yang sangat jauh antara kata
‘mampu secara rohani dan jasmani dengan ‘harus dalam kondisi sehat’ secara rohani dan
jasmani. Melalui Putusan ini MK telah melakukan perubahan secara textual meaning dari pasal 6
ayat (1) UUD 1945.
Dalam perkara No. 005/PUU-IV/2006 mengenai uji konstitusionalitas UU No. 22 Tahun
2004 Tentang Komisi Yudisial terhadap UUD 1945, Hakim Konstitusi memberikan penafsiran
terhadap makna hakim yang dicantumkan Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945. MK dalam amarnya
tidak memasukkan Hakim Konstitusi sebagai bagian dari kata ‘hakim’ dalam ketentuan Pasal 24
B UUD 1945. Sebaliknya menurut putusan MK tersebut Hakim Agung merupakan bagian dari
Pasal 24 B UUD 1945.
Putusan MK tersebut secara tidak langsung telah merubah bunyi Pasal 24 B ayat (1) UUD
1945 dari berbunyi (original meaning): ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, menjadi bermakna
(textual meaning) : “Komisi Yudisial bersifa mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
68 Bandingkan;http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw, akses pada tanggal 02/02/08.
69 Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, 1986, h. 31.
70 Ibid.
12 | P a g e
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, kecuali Hakim Konstitusi ”.
Perkara yang menjadi pertentangan saat ini adalah pada putusan MK dengan Nomor
Registrasi : 2 -3/PUU-V/2007 mengenai uji konstitusionalitas Pasal 80 ayat (1), Pasal 80 ayat (2)
huruf (a), Pasal 80 ayat (3) huruf (a), Pasal 81 ayat (3) huruf (a), Pasal 82 ayat (10) huruf (a),
Pasal 82 ayat (2) huruf (a) dan Pasal 82 ayat (3) huruf (a) dari UU No. 22 Tahun 1997 Tentang
Narkotika yang mengatur mengenai Tindak Pidana Mati (death penalty / capital punishment).
Pada perkara ini MK menafsirkan text Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945 dengan memberikan
pengertian lain dari original intent Pasal-pasal tersebut.
Terhadap ‘hak untuk hidup’ yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun tersebut
MK memberikan tafsiran berdasarkan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi :
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”
13 | P a g e
No.1/1987. Putusan yang menyebabkan Pasal 50 71 UU No. 24/2003 tidak memiliki kekuatan
mengikat tersebut merupakan sebuah penafsiran yang berbeda dari para pembuat UU
(wetgever). Wetgever menginginkan MK hanya menguji konstitusionalitas UU yang diundangkan
setelah perubahan UUD 1945, yaitu setelah 19 Oktober 1999 (amandemen pertama). Putusan
tersebut menimbulkan perbedaan panafsiran konstitusi antara wetgever (DPR) dan MK.
Sedangkan menurut Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk UU. UU
sendiri menurut teori Ilmu Perundang-Undangan adalah penjabaran dari pasal-pasal UUD
1945.72 Oleh karenanya, UU merupakan dokumentasi legal yang menafsirkan maksud dari pasal-
pasal UUD 1945.
Dari beberapa putusan MK di atas, dapat dikelompokkan dua jenis putusan dalam proses
uji konstitusional. Pertama, putusan yang menimbulkan makna baru terhadap text UUD 1945.
Kedua, putusan yang menyebabkan batalnya pasal-pasal atau seluruh ketentuan UU itu sendiri.
Menurut Refly Harun posisi tafsir konstitusi yang memberi makna pada UUD pada dasarnya lebih
tinggi dari UU karenanya fungsi tafsir tersebut hampir sama dengan penjelasan dari UUD. Deny
Indrayana berpendapat bahwa dalam hal tafsir MK memberikan makna baru terhadap UUD maka
putusan tersebut tidak dapat disamakan dengan penjelasan UUD 1945, fungsinya hanyalah
sebagai sebuah tafsir semata. Senada dengan Denny Indrayana, Zainal Arifin Mochtar juga tidak
‘berani’ terlalu jauh mengklasifikasikan putusan MK dalam hal memberikan makna yang berbeda
dengan UUD. Walaupun Denny dan Zainal juga mengakui bahwa tafsir MK tersebut berlaku
mengikat kepada seluruh elemen dibawah ketentuan konstitusi. Sedangkan dalam hal putusan
MK merubah atau membatalkan suatu bagian atau keseluruhan dari UU, maka Refly Harun, Deny
Indrayana, dan Zainal Arifin Mochtar sepakat bahwa putusan itu berlaku sebagaimana UU.
Putusan MK tersebut juga harus diketahui nilai kemanfaatannya bagi generasi masa
depan bangsa Indonesia. Dalam kondisi Amerika, C. Herman Pritchett mengatakan bahwa : “
Marshall had defended the notion that constitutional meaning may legitimately change over time
and that, within limits, each generation may adapt the constitution to its own needs 73” Penafsiran
konstitusi diperlukan oleh masyarakat suatu bangsa dalam menghadapi perubahan zaman.
Walaupun sebuah konstitusi itu terlihat lengkap, namun akan selalu timbul konflik, dari konflik
hak asasi sampai sengketa kewenangan lembaga. Ketika konflik tersebut timbul, maka menjadi
kewenangan lembaga peradilan untuk menyelesaikannya. 74
Kata-kata konstitusi yang menurut Wheare75 tidak begitu jelas (vague) atau bermakna
ganda, bermanfaat untuk ditafsirkan sesuai kebutuhan dan keinginan bangsa pada saat itu.
Hanya saja kemanfaatan tersebut perlu diatur dengan mekanisme yang jelas dan sesuai dengan
teori-teori konstitusi yang dipahami secara luas.
Daftar Pustaka
A. Buku
Abu Daud Busroh, Intisari Hukum Tatanegara Perbandingan, Konstitusi
Sembilan Negara, Penerbit P.T. Bina Aksara, Jakarta, 1987.
71 Pasal 50 UU No. 24/2003 berbunyi : “ Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk di uji adalah undang-
undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ”.
72 Bandingkan dengan H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Sekretariat MK-RI,
Jakarta, 2006, h. 181.
73 Sotiros A. Barber, The Constitutional Judicial Power, The John Hopkins University Press, Baltimore and
London, 1993, h. 74.
74 Bandingkan dalam; http://www.usconstitution.net/consttop_intr.html.
75 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit P.T. Alumni, bandung, 2006, h. 264.
14 | P a g e
Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-asas Hukum Tatanegara, Penerbit
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Penerbit YAPEMDO, Bandung, 2000.
Beny K Harman dan Hendardi (edt), Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial
Review, Penerbit YLBHI dan JARIM, Jakarta, 1991.
Bernard Schwartz, A Book of Legal Lists- The Best and Worst in American Law,
Oxford University Press, New York, 1997.
Djoko Soetono, Kuliah Hukum Tata Negara, Penerbit In-Hill-Co, Jakarta, 2006.
H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Sekretariat
MK-RI, Jakarta, 2006.
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Penerbit Aksara Baru, Jakarta,
1986.
Jack N. Rakove (edt), Interpreting the Constitution, Northeastern University
Press, Boston, Amerika Serikat, 1990.
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara-Jilid I, Sekjen
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
------------------------, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
John H. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, Modern Constitutional Theory, third
Edition, West Publishing Co. St. Paul, Minn, 1994.
John Z. Loundoe, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Penerbit Bina
Aksara, Jakarta, 1985.
K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2005.
Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Penerbit
Aksara Baru, Jakarta, 1976.
Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay (edt), Law and the Behavioral
Sciences, The Bobbs-Merrill Company, Inc. New York, USA, 1969.
Leonard W. Levy (Editor), Judicial Review, Sejarah Kelahiran, Wewenang dan
Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa,
bandung, 2005.
Michael Allen dan Brian Thompson, Cases and Materials on Constitutional and
Administrative Law, Oxford University Press, United Kingdom, 2002.
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tatanegara Indonesia,
Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan C.V.
Sinar Bakti, Jakarta, 1988.
M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004.
Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Penerbit
Liberty, Yogyajarta, 2001.
Sotiros A. Barber, The Constitutional Judicial Power, The John Hopkins
University Press, Baltimore and London, 1993.
Sri Soemantri, M., Hak Menguji Material di Indonesia, Penerbit Alumni,
Bandung, 1986.
-------------------, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit P.T.
Alumni, bandung, 2006.
Walter Murphy, Constitutional Interpretation as Constitutional Creation: The
1999-2000 Harry Eckstein Lecture, University of California, Irvine, 2000.
Vicki C. Jackson dan Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, New York
Foundation Press, 1999.
15 | P a g e
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit
Alumni, 2000.
B. Jurnal/Pidato Ilmiah
Jurnal Analisa CSIS Tahun XXXI/2002 No.2, Penerbit Centre for Strategic and
International Studies.
Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Vol. 1 No.1, Juli 2004, Penerbit
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Volume 2, Nomor
1, Juli 2005.
Juridica International VIII/2003, Joachim Sanden, Methods of Interpreting The
Constitution; Estonia’s Way in an Increasingly Integrated Europe
Harun Alrasid, Penetapan UUD dan Perubahan UUD dalam Teori dan Praktek,
Merupakan Pidato Purna Bakti Harun Alrasid sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, diucapkan pada hari Sabtu, 20 Juli 1996 di Auditorium
Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia, Depok-Jawa Barat.
C. Website
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0611/06/opi01.html.
http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw/judicialrev.html.
Bandingkan dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Judicial_interpretation.
http://www.historyofsupremecourt.org/history/defines/overview.htm
http://repositories.cdlib.org/csd/00-05.
http://en.wikipedia.org/wiki/Judicial_interpretation.
Lihat; http://www.usconstitution.net/consttop_intr.
Lihat; http://www.usconstitution.net/consttop_intr..
http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html.
http://en.wikipedia.org/wiki/Constitution_interpretation,
http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html,
http://www.landmarkcases.org/plessy/const_interp.html.
http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw,
http://en.wikipedia.org/wiki/Constitution_interpretation,
http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw.htm.
http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw.htm.
http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw,
http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw,
http://www.law.umkc.edu/faculty/projects/ftrials/conlaw,
http://www.usconstitution.net/consttop_intr.html.
16 | P a g e