Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman mycobacterium


tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ
tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer.1
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan
Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia
ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di
dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per
100.000 penduduk Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis
pada tahun 2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara
yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab
kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001
menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian.2
TB sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah
diterapkan di banyak Negara sejak tahun 1995. Dalam beberapa tahun terakhir
Indonesia termasuk dalam 5 negara dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia.
Tuberculosis pada anak merupakan komponen penting dalam pengendalian TB
oleh karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah
seluruh populasi dan terdapat sekitar 500.00 anak di dunia menderita TB setiap
tahun. 3.4
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
TB merupakan penyakit infeksi yang sudah lama dikenal manusia, setua
peradaban manusia. Pada awal penemuan obat antituberkulosis (OAT) ,
timbul harapan penyakit ini akan ditanggulangi. Namun dengan perjalanan
waktu terbukti penyakit ini tetap menjadi masalah kesehatan yang serius, baik
dari aspek gangguan tumbuh-kembang, morbiditas, mortalitas, dan kecacatan.1
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak
adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.4

B. EPIDEMIOLOGI
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun
anak yang menderita TB ada 6 % sampai 10 % dari semua kasus TB di seluruh
dunia. Di negara-negara dengan kasus penyakit TB yang tinggi, anak yang
menderita TB mencapai 40 % dari semua kasus TB baru, setengah juta anak-
anak di seluruh dunia menderita TB setiap tahun, dan lebih dari 74.000 anak
meninggal akibat penyakit TB setiap tahunnya. TB pada anak telah menjadi
"epidemi tersembunyi" selama bertahun-tahun. Anak dengan TB sangat sulit
untuk didiagnosa karena sedikitnya sumber daya dan sering tidak
dilaporkannya kepada petugas kesehatan. Banyak anak tidak bisa
mengeluarkan dahak saat batuk, sehingga sulit untuk dilakukan pengujian TB.
Bahkan ketika dahak dari anak tersedia sulit untuk didiagnosa, bahkan dengan
menggunakan tes paling mahalpun hanya sekitar 30 % dari kasus yang dapat
terdiagnosa.5
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di
antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5%

1
pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi,
menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan
kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus
TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun,
dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari
kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010
adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi
6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.4

C. MORFOLOGI DAN STRUKTUR BAKTERI


Morfologi dan Struktur Bakteri Mycobacterium tuberculosis berbentuk
batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul.
Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 µm dan panjang 1 – 4 µm. Dinding
M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi
(60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”,
dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat
merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan
dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh
jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada diniding sel bakteri
tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan.
Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri
M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam –
alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu
komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen
M.tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi
monoclonal.2
M.tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan
guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui
lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok.
Kelompok 1 gen yang merupakan sekwens DNA mikobakteria yang selalu ada
(conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sekwens DNA yang

2
menyandi antigen protein berjumlah, sedangkan kelompok III adalah sekwens
DNA ulangan seperti elemen sisipan. 2
Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan posfat
misalnya protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti
protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA
(rrs) menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen rpoB menyandi RNA
polimerase. 2

D. PATOGENESIS

Seseorang akan terinfeksi kuman TB kalau dia menghirup droplet yang


mengandung kuman TB yang masih hidup dan kuman tersebut mencapai
alveoli paru (catatan: Seseorang yang terinfeksi biasanya asymptomatic/tanpa
gejala). Sekali kuman tersebut mencapai paru maka kuman ini akan ditangkap
oleh makrofag dan selanjutnya dapat tersebar ke seluruh tubuh. Jika seorang
anak terinfeksi TB, dia pasti sudah mengalami kontak cukup lama dengan
orang yang menderita TB. Orang yang terinfeksi kuman TB dapat menjadi
sakit TB bila kondisi daya tahan tubuhnya menurun. Sebagian dari kuman TB
akan tetap tinggal dormant dan tetap hidup sampai bertahun-tahun dalam
tubuh manusia. Hal ini dikenal sebagai infeksi TB laten. Paru merupakan port
d’entrée dari 98% kasus infeksi TB. Seseorang dengan infeksi TB laten tidak
mempunyai gejala TB aktif dan tidak menular.Kuman TB dalam percik renik
(droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup dan dapat
mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi
respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.4.6

3
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis)
yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar
limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan
jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis
dinamakan kompleks primer (primary complex). 4.6
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu
waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala
penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya
berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup
untuk merangsang respons imunitas selular 4.6
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun
yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup
dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular
spesifik (cellular mediated immunity, CMI). 4.6
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional
juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya
biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat

4
tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi
tidak menimbulkan gejala sakit TB.4.6
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil
(ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit
pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis,
yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. 6
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer,
atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi
penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah
dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. 4
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati,
tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap

5
hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya.
Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari
dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.4
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke
seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis
penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis
diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi
infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah
dua tahun. 4
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread.4

6
E. DIAGNOSIS TB PADA ANAK
1. Penemuan Pasien TB
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang
paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa
gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa
gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.4
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:1.3.4.6.7.8
 Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
 Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
 Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan

7
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
 Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.
 Keluhan respiratorik berupa batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-
remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah)
dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan. Batuk dapat diikuti dengan
gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, disertai sesak nafas atau
nyeri dada.
 Pembesaran kelenjar superficial di daerah leher, aksila dan inguinal, atau
tempat lain.
 Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
 Gejala gastrointestinal seperti diare persisten/menetap (>2 minggu) yang
tidak sembuh dengan pengobatan baku diare atau perut membesar karena
cairan atau teraba masa dalam perut.
 Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa.
Namun demikian, sebenarnya gejala TB bersifat khas yaitu
keluhan menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah diberikan terapi
yang adekuat (misalnya antibiotika atau anti malaria untuk demam,
antibiotik atau obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang
adekuat untuk masalah berat badan.4

2. Pemeriksaan Penunjang
Uji tuberculin dengan cara Mantoux yaitu penyuntikkan 0,1 ml
tuberculin PPD secara intrakutan dibagian volar lengan arah suntikkan
memanjang lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam setelah
penyuntikkan. Indurasi transversal diukur dan dilaporkan dalam mm
berapapun ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tidak ada indurasi
sama sekali. Indurasi 10 mm keatas dinyatakan positif. Indurasi <5 mm
dinyatakan negative, sedangkan indurasi 5-9 mm meragukan den perlu
diulang, dengan jarak waktu minimal 2 minggu. Uji tuberculin positif
menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan TB aktif (sakit TB)
pada anak. Reaksi uji tuberculin positif biasanya bertahan lama hingga

8
bertahun-tahun walau pasiennya sudah sembuh, sehingga uji tuberculin
tidak digunakan untuk memantau pengobatan TB.1
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT 23 2
TU buatan Staten Serum Institut Denmark dan Biofarma. Komposisi dari
PPD RT 23 2 TU tersebut dalam tiap mL terdiri atas tuberkulin PPD 0,4
µg, natrium fosfat dihidrat 7,6 µg, kalium dihidrogen fosfat 1,5 µg,
natrium klorid 4,8 µg, kalium hidroksikinolin sulfat 100 µg, polisorben 80
50 µg, dan air 1 mL. Penambahan polisorben 80 (Twen 80) dalam PPD
RT 23 berfungsi untuk mencegah absorbsi tuberkulin oleh dinding gelas
atau plastik. Dosis PPD RT 23 2 TU setara dengan 0,1 mL larutan.4,6
Penggunaan PPD RT 23 ini telah direkomendasikan oleh WHO pada tahun
1963 sebagai alat uji kulit tuberkulin standar dengan akurasi dan stabilitas
yang tinggi.9
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi
yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan
langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan
biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering
digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai
sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah
menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan
penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan
mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan
spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau
pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas
tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan
gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran
granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.4

9
Perkembangan terkini diagnosa TB
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk
meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan
dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe
Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert MTB/RIF).
Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara karena membutuhkan biaya
mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah
mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert
MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan Xpert
MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak, dan dapat
digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi tertentu yaitu
tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF masih
terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis,
tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis
klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan
anak tidak sakit TB.4
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis
TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji
tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah
PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark produksi dari Biofarma.
Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan.4
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto
toraks. Gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada
penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum,
gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut:1
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya
selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier

10
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma

3. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring

Catatan:7
Parameter Sistem Skoring:
1. Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh
atau dari hasil laboratorium.
2. Penentuan status gizi:
a. Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment
opname).
b. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi
untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan
untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000 (lihat lampiran).
c. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1
bulan.

11
3. Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
4. Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis,
konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.4

Penegakan Diagnosis
1. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter,
pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada petugas kesehatan
terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB
anak mengacu pada Pedoman Nasional.
2. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)
3. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif
dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka
dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak
tersebutFoto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
4. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
5. Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala
klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat
didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan
selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi
OAT dilanjutkan sampai selesai.
6. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG
dicurigai telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring
TB anak
7. Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
8. Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji
tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan
sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat
skor ≥ 6 dari total skor 13.

12
9. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan
klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor
penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta,
gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari
pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang
dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang
ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.4

4. Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak


Lokasi atau organ tubuh yang terkena:4
1) Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput

13
jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak
dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita
TB Ekstra Paru.
Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan
sebagai TB paru.
Berat dan ringannya penyakit : 4
1) TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB
kelenjar dll
2) TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan
berat atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang
dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru
BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.

Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis


terhadap OAT terdiri dari: 4
1) Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
salah satu jenis OAT lini pertama.
2) Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
3) Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang
resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau
tanpa OAT lini pertama lainnya.
4) Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu
Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
5) Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT
lain yang dideteksi menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai,

14
pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk
dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin
dalam bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan
XDR.

PENGOBATAN TB ANAK
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis
primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).

1. Paduan OAT Anak


Prinsip pengobatan TB anak: 1.4.6.7
a. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler
b. Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan
c. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
1) Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan
minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis
dan berat ringannya penyakit.
2) Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
d. Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari
untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi
jika obat tidak diminum setiap hari.
e. Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.

15
f. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam
3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid
ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan
jaringan.
g. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
1) Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
2) Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
h. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
i. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping
OAT KDT.

Pengobatan TB Paru Berat pada anak


Pengobatan TB pada anak dibagi dua yaitu fase intensif (2 bulan pertama)
dan sidanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga
macam obat (RHZ) pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat
(RH) pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Berbeda dengan orang dewasa, OAT
pada anak diberikan tiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat
yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari.
Pada keadaan TB berat, baik TB pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti
TB milier, meningitis TB, TB system skeletal, dan lain – lain, pada fase intensif
diberikan empat macam obat (RHZ + etambutol atau streptomisin). Pada fase
lanjutan diberikan RH selama 10 bulan.

16
Streptomisin dipilih sebagai terapi keempat setelah RHZ dibanding
etambutol pada kasus ini dikarenakan toksisitas etambutol pada mata. Sedangkan
streptomisin sangat baik berdifusi pada jaringan dan cairan pleura, dan dieskresi
melalui ginjal.
Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB,
pericarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, maksimal 60 mg/hr.
lama pemberian kortikosteroid adalah 2 – 4 minggu dengan dosis penuh,
dilanjutkan tapering off selama 1 -2 minggu.

Efek samping OAT antara lain adalah gangguan gastrointestinal, ruam dan
gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang harus diperhatikan adalah
hepatotoksisitas. Oleh sebab itu pada pasien kasus ini kadar SGOT dan SGPT
harus dipantau berkala tiap 2 minggu selama 2 bulan pertama dan selanjutnya
dapat lebih jarang.

Skema Panduan OAT Anak

17
Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu
paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk
anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan
pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg

18
dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
a. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
b. Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
c. Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
d. OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
e. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
f. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
g. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat
tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

Efek Samping pengobatan TB Anak


Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan
asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka
dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH.
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/
hari direkomendasikan diberikan pada
a. bayi yang mendapat ASI eksklusif,

19
b. pasien gizi buruk,
c. anak dengan HIV positif.

Pengobatan ulang TB anak


Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali
dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-
benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan
dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih
cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak
menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak
dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK


Vaksinasi BCG pada Anak
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program
Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG
pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Secara umum
perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB
milier dan TB meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini
vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi
perlindungan tambahan.
Vaksinasi dengan Bacille Calmette-Guerin ( BCG ) mengurangi risiko
penyebaran penyakit TB dan meningitis pada anak-anak tetapi tidak menjamin
perlindungan yang konsisten terhadap orang dewasa.5

Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid


Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan
BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut
akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB

20
berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian
kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.
Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel
berikut:4

a. Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/ kgBB
(7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
b. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan
terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3,
ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan
jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi
TB anak dimulai dari awal
c. Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB
selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat
dihentikan.
d.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan
BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:


2010.
2. Konsensus TB. Pedoman Diagnosis dan penatatalaksana Tuberkulosis di
Indonesia.
3. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis .Jakarta. Kementerian Kesehatan RI
4. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Petunjuk Teknis Manajemen dan
Tatalaksana TB anak .Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
5. CDC. 2013. Core Curriculum on Tuberculosis : What the Clinician Should
Know. National Center for HIV AIDS, Viral Hepatitis, STD, and TB
prevention : devisi of tuberculosis Elimination
http://www.cdc.gov/tb/topic/populations/tbinchildren/global.htm (di akses
tanggal : 23-12-2018).
6. Rahajoe, Nastini N. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2010.
7. Latief A. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit standar WHO. Jakarta:
Depkes; 2009.
8. Werdhani RA. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis. FKUI
: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga.
9. Bakhtiar. Pendekatan Diagnosis Tuberkulosis pada Anak di Sarana
Pelayanan Kesehatan dengan Fasilitas Terbatas. Jurnal kedokteran Syiah
Kuala volume 16 nomor 2 agustus 2016. http://www.jurnal.unsyiah.ac.id
(diakses tanggal 15 Desember 2018)

22

Anda mungkin juga menyukai