Anda di halaman 1dari 16

1. Jelaskan tentang Sindrom nefrotik anak dan sindrom nefritik anak ?

SINDROM NEFROTIK
Sindrom nefrotik merupakan sekumpulan gejala klinik meliputi proteinuria
masif, hipoalbuminemia, umumnya disertai edema dan hiperkolesterolnemia.
Kadang-kadang gejala disertai dengan hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi
ginjal. Angka kejadian bervariasi antara 2-7 per 100.000 anak, dan lebih banyak
pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 2:1.

Pada umumnya sebagian besar (±80%) sindrom nefrotik primer memberi


respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%
di antaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi respon lagi
dengan pengobatan steroid.

Diagnosis
 Gejala Klinik
1. Onset menahun dan sering kambuh
2. Biasanya pada anak dengan umur 2 – 7 tahun, lebih sering pada anak laki-
laki daripada anak perempuan.
3. Edema
Edema bersifat pitting, timbul perlahan-lahan dengan terlihat pertama kali
didaerah periorbital waktu bangun tidur. Dapat menetap atau menyebabkan
edema pretibial, asites, dan edema genitalia yang disebut anasarka.
4. Oligouria (urin ≤1 ml/KgBB/jam) dapat dijumpai selama fase edema.
5. Gejala lain seperti anorexia, malnutrisi, mual, muntah dan diare.
 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Proteinuria, merupakan tanda utama pertama SN, bersifat selektif
dengan rasio albumin/globulin urin tinggi. Menurut ISKDC, jumlah
proteinuria yang konsisten dengan diagnosis SNKM yaitu > 40 mg/m2/ jam
atau > 50 mg/kg berat badan /hari atau uji dipstix – SSA > 2+. Bila ada

1
mikrohematuria tidak menyingkirkan SN karena dapat dijumpai pada
2030% anak dengan SN pada onset awal penyakit tapi kemudian
menghilang. Hipoalbuminemia, dengan kadar albumin serum < 2.5 g/dL,
merupakan tanda utama kedua SN. Kadar Hb dan hematokrit meningkat
bila sudah terjadi hipoalbuminemia berat. Hiperkolesterolemia dengan
kadar > 250 mg/dl biasanya ditemukan dan dapat menetap 1-3 bulan
sesudah remisi. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat sedangkan
HDL menurun atau normal. Fungsi ginjal umumnya normal walaupun
kadar kreatinin serum sedikit meningkat pada 25-30% kasus SN pada onset
awal penyakit tapi normal kembali pada saat diuresis. Komplemen C3
serum umumnya normal.
2. Pencitraan
Pencitraan rutin tidak dianjurkan pada anak dengan SN. Foto toraks
biasanya menunjukkan efusi pleura yang berkorelasi langsung dengan
derajat edema dan tidak langsung dengan kadar albumin serum.
Pemeriksaan USG biasanya menunjukkan kedua ginjal normal atau sedikit
membesar dengan ekogenitas normal.

3. Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal tidak dilakukan pada anak dengan SN karena 93.1-97%
kasus sensitif terhadap steroid. Indikasi biopsi ginjal yaitu SN resisten
steroid, umur anak < 1 tahun atau >10 tahun pada saat onset penyakit atau
SNI dengan gejala klinis hematuria, hipertensi, dan azotemia persisten dan
hipokomplemenemia.

 Kriteria Diagnosis
Diagnosis SN dapat ditegakkan bila memenuhi kriteria berikut :
1. Anak umur 2-7 tahun dengan gejala klinis edema
2. Proteinuria masif yaitu uji dipstix / SSA > 2+ atau > 40mg/m2/jam/ > 50 mg/kg
BB/hari.

2
3. Hipoalbuminemia dengan kadar albumin serum < 2,5 g/dl Dapat disertai
hiperkolesterolemia dengan kadar > 250 mg/dl
4. Tidak ada hematuria
5. Tekanan darah normal
6. Kreatinin serum normal
7. Komplemen C3 serum normal

 Tatalaksana
1. Aktifitas bergantung keadaan umum anak, sedangkan tirah baring tidak
dianjurkan kecuali karena tirah baring potensial meningkatkan risiko trombosis
terdapat edema anasarka dan disertai komplikasi.
2. Asupan garam dibatasi untuk pencegahan dan pengobatan edema selain
mengurangi resiko hipertensi selama pengobatan prednison. Diet rendah garam
hanya pada kasus edema berat sedangkan kalori harus adekuat, karbohidrat
normal, dan relatif rendah lemak. Asupan protein diusahakan mencapai target
130-140% kebutuhan nomal harian sesuai usia atau 1-2 g/kg berat badan/hari.
Pembatasan cairan dianjurkan pada keadaan hiponatremia sedang - berat.
3. Pengobatan dengan prednison diberikan dengan dosis awal 60 mg/m2/hari atau
2 mg/KgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi tiga, selama 4
minggu, dilanjutkan dengan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari, maksimum 60
mg/hari) dosis tunggal pagi selang sehari (dosis alternating) selama 4-8 minggu.
Bila terjadi relaps, maka diberikan prednison 60 mg/m2/hari sampai terjadi
remisi (maksimal 4 minggu), dilanjutkan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari) secara
alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik resisten steroid atau toksis
steroid, diberikan obat imunosupresan lain seperti siklolofosfamid per oral
dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal dibawah pengawasan
dokter nefrologi anak. Dosis dihitung berdasarkan berat badan tanpa edema.
4. Diuretik. Pemberian diuretik umumnya tidak diperlukan pada SNKM karena
dapat memicu renjatan hipovolemik; namun pada kasus dengan edema berat
disertai kesulitan napas. boleh diberikan furosemid oral 1-2 mg/kg/hari sesudah

3
koreksi hipovolemia atau spironolakton 2-10 mg/kg BB/ hari bila kreatinin
serum normal.
5. Albumin Albumin meningkatkan tekanan onkotik dan membantu efek diuretik
furosemid. Hipovolemia, yang timbul dengan cepat akibat hilangnya protein
plasma dan dipicu oleh pemberian diuretik,7 potensial menyebabkan syok pada
anak dengan SNKM. Manifestasi syok meliputi nyeri perut, akral dingin,
volume nadi kurang, hipotensi, dan hemokonsentrasi. Untuk mencegah renjatan
diberikan infus albumin 0.5-1 g/kg/dosis per infus (5mg/kg berat badan albumin
20% atau 25%) selama 1 - 4 jam bersama dengan pemberian furosemid. Status
hidrasi anak harus monitoring karena pernah dilaporkan adanya edema paru dan
gagal jantung kongestif.7 Akibat pemberian albumin tidak rutin diberikan pada
semua anak dengan SNKM atau SNKM relaps.
6. Obat penyekat ACE seperti kaptopril sebagai pengobatan tambahan dapat
mengurangi ekskresi protein urin sebanyak 50%. Namun kegunaan jangka
panjang pada anak belum terbukti mencegah progresifitas penyakit. Obat ini
jangan diberikan selama pemberian dosis awal prednison karena dapat
menimbulkan hipotensi dan resiko trombosis.

SINDROM NEFRITIK AKUT

Sindrom nefritik akut adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis terhadap antigen tertentu
seperti bakteri, virus, parasit dan lain sebagainya. Bentuk SNA yang sering
ditemukan pada anak ialah glomerulonefritis yang didahului oleh infeksi
streptococcus β hemolitikus grup A sehingga disebuut glomerulonefritis akut pasca
streptokokkus (GNAPS).

Diagnosis
 Gejala Klinik
1. Onset akut : gejala kurang dari 7 hari

4
2. Umur : usia sekolah 5 – 15 tahun, laki-laki lebih banyak dibanding
perempuan 2:1.
3. Edema, mulai dari palpebra waktu bangun pagi, disusul tungkai, abdomen
(acites), dan genitalia.
4. Hematuria. Pada pemeriksaan makroskopik berupa urin coklat kemerahan
seperti teh tua/cocacola/air cucian daging, biasanya timbul saat minggu
pertama.
5. Hipertensi. Umumnya hipertensi ringan akan timbul dalam minggu
pertama. Penentuan hipertensi berdasarkan tekanan darah diastolik sebagai
berikut :
 Hipertensi ringan : 80 – 95 mmHg
 Hipertensi sedang : 95 - 115 mmHg
 Hipertensi berat : > 115 mmHg
6. Oligouria (urin ≤1 ml/KgBB/jam) dapat dijumpai selama fase edema.

 Pemeriksaan Laboratorium
1. Sedimen Urin :
 Eritrosit (+) sampai (++++)
 Torak eritrosit (+) (60 – 85% kasus)
2. Darah :
 Titer ASO meningkat (80 – 95% kasus)
 Kadar C3 (B1C globulin) turun (80 - 90% kasus).
 Pemeriksaan Penunjang
1. Darah
 LED dan hematokrit diperiksa pada saat masuk rumah sakit dan
diulangi tiap minggu
 Eiwit spektrum (albumin, globulin) dan kolesterol diperiksa waktu
masuk rumah sakit dan diulangi bila perlu
 Kadar ureum, kreatinin, klirens kreatinin diperiksa waktu masuk
rumah sakit.
2. Urin.

5
 Proteinuri diperiksa tiap hari
 Kualitatif (-) sampai (++), jarang yang sampai (+++)
 Kuantitatif ≤ 2 gram/m2/24 jam
 Volume ditampung 24 jam setiap hari 3.
3. Bakteriologi. Pada Throat swab atau skin swab dapat ditemukan
streptokokkus pada 10-15% kasus.
4. Pencitraan. Foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan.
Pemeriksaan foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat
ditemukan kelainan berupa kardiomegali, edema paru, kongesti paru,
dan efusi pleura (nephritic lung). Foto thorax diperiksa waktu masuk
rumah sakit dan diulang 7 hari kemudian bila ada kelainan.

 Diagnosis GNAPS ditegakkan :


Bila ada lebih dari atau dua dari empat gejala klinik kardinal (edema,
hematuri, hipertensi, oligouri) disertai meningkatnya kadar ASO dan
turunnya kadar C3. Juga dapat ditegakkan bila keempat gejala kardinal
muncul bersamaan (full blown case).

 Penatalaksanaan
1. Tirah baring
Terutama pada minggu pertama penyakit untuk mencegah
komplikasi. Sesudah fase akut istirahat tidak dibatasi lagi tetapi tidak
boleh kegiatan berlebihan. Penderita dipulangkan bila keadaan
umumnya baik, biasanya setelah 10-14 hari perawatan.
2. Diet
a. Protein: 1-2 gram/kg BB/ hari untuk kadar Ureum normal, dan 0,5-
1 gram/kg BB/hari untuk Ureum lebih dari atau sama dengan 40
mg%
b. Garam: 1-2 gram perhari untuk edema ringan, dan tanpa garam bila
anasarka.
c. Kalori: 100 kalori/kgBB/hari.

6
d. Intake cairan diperhitungkan bila oligouri atau anuri, yaitu: Intake
cairan = jumlah urin + insensible loss (20-25cc/kgBB/hari + jumlah
kebutuhan cairan setiap kenaikan suhu dari normal
[10cc/kgBB/hari])
3. Medikamentosa
a. Antibiotik Penisilin Prokain (PP) 50.000-100.000 SI/KgBB/hari
atau ampisilin/amoxicillin dosis 100mg/kgBB/hari atau eritromisin
oral 30-50 mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari untuk
eradikasi kuman. Pemberian antibiotik bila ada tonsilitis, piodermi
atau tanda-tanda infeksi lainnya.
b. Anti Hipertensi a. Hipertensi Ringan: Istirahat dan pembatasan
cairan. Tekanan darah akan normal dalam 1 minggu setelah
diuresis. b. Hipertensi sedang dan berat diberikan kaptopril 0,5-
3mg/kgBB/hari dan furosemide 1-2mg/kgBB/hari per oral.

 Tindakan Khusus
1. Edema Paru Akut: Bila disertai batuk, sesak napas, sianosis, dan
pemeriksaan fisis paru menunjukkan ronkhi basah. Tindakan yang
dilakukan adalah:
a. Stop Intake peroral.
b. IVFD dextrose 5%-10% sesuai kebutuhan per 24 jam 3.
c. Pemberian oksigen 2-5 L/menit 4.
d. Furosemide 2 mg/kgBB (IV) dan dinaikkan secara bertahap sampai
maksimal 10 mg/kgBB/hari. 5.
e. Bolus NB 2-4 mEq/kgBB/hari bila ada tanda asidosis metabolik
2. Hipertensi Ensefalopati: Hipertensi dengan tekanan darah sistolik ≥ 180
mmHg atau diastolik ≥ 120 mmHg, atau selain itu tetapi disertai gejala
serebral berupa sakit kepala, muntah, gangguan pengelihatan, kesadaran
menurun, dan kejang.
Tindakan yang dilakukan adalah:
a. Stop Intake peroral. 2.

7
b. IVFD dextrose 5%-10% sesuai kebutuhan per 24 jam 3.
c. Nifedipin sublingual 0,25mg/kgBB diulangi 30-60 menit bila perlu.
Atau klonidin 0,002mg/kgBB/kali (IV), dinaikkan dengan interval 2
sampai 3 jam, maksimal 0,05mg/kgBB/hari.
d. Furosemide 2 mg/kgBB (IV) dan dinaikkan secara bertahap sampai
maksimal 10 mg/kgBB/hari.
e. Bila tekanan darah telah turun, yaitu diastol kurang dari 100mmHg,
dilanjutkan dengan kaptopril 0,5-3mg/kgBB/hari + furosemide 1-
2mg/kgBB/hari.
f. Kejang diatasi dengan antikonvulsan.

2. Mengapa pada pasien dengan sindrom nefrotik diberikan terapi kortikosteroid


?
Karena salah satu gejala pasien dengan sindrom nefrotik yaitu edema. Nah
kostikosteroid ini (prednison maupun prednisolon) dapat diberikan pada pasien
sindrom nefrotik dengan edema menetap atau gejala berat pada onset awal.
Meskipun cara kerja spesifik tidak diketahui tetapi prednison dapat menekan
sistem imun. Sampai saat ini, prednison tetap merupakan pilihan pertama pada
anak dengan SN dan obat imunosupresif lain digunakan bila tidak respons
dengan pengobatan standar prednison atau pada relaps frekuen atau dependen
steroid.

3. Tuliskan nilai normal proteinuria ?


Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya protein dalam urin manusia
yang melebihi nilai normal yaitu lebih dari 150 mg/hari atau pada anak-anak
lebih dari 140 mg/m2. Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila
kadarnya melebihi 200 mg/hari pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu
yang berbeda.
Nilai proteinuria dengan dipstik adalah sebagai berikut:
( – ) : 10-20 mg/dl
(+1) : 50 mg/dl

8
(+2) : 100 mg/dl
(+3) : 300 mg/dl
(+4) : 1000-2000 mg/dl

4. Jelaskan mengenai imunisasi !


Definisi Imunisasi
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan antigen
lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap
penyakit tertentu.

Jenis - jenis Imunisasi


Imunisasi ada 2 macam, yaitu:
1) Imunisasi aktif merupakan suatu pemberian bibit penyakit yang telah
dilemahkan (vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan
memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi
tubuh dapat mengenali dan merespon.
2) Imunisasi pasif merupakan suatu proses peningkatan kekebalan tubuh dengan
cara pemberian zat immunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu
proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapat
bayi dari ibu melalui placenta) atau binatang yang digunakan untuk mengatasi
mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi.

Macam-Macam Imunisasi
A. Vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin)
 Pengertian
Bacillus Calmette Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari
Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga
didapatkan hasil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.
Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas terhadap tuberkulin, tidak
mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko terjadi tuberkulosis
berat seperti meningitis TB dan tuberkulosis milier.

9
 Cara pemberian dan dosis:
1. Sebelum disuntikkan vaksin BCG harus dilarutkan terlebih dahulu.
Melarutkan dengan mengggunakan alat suntik steril Auto Distruct
Scheering (ADS) 5 ml.
2. Dosisi pemberian: 0,05 ml.
3. Disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas (insertion
musculus deltoideus). Dengan menggunakan Auto Distruct Scheering
(ADS) 0,05 ml.
4. Vaksin yang sudah dilarutkan harus digunakan sebelum lewat 3 jam.
 Indikasi : Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tuberculosis.
 Kontra indikasi:
1. Adanya penyakit kulit yang berat/menahun seperti: eksim, furunkulosis
dan sebagainya.
2. Mereka yang sedang menderita TBC.
 Efek samping
Imunisasi BCG tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum
seperti deman. Setelah 1-2 minggu akan timbul indurasi dan kemerahan
ditempat suntikan yang berubah menjadi pustule, kemudian pecah menjadi
luka. Luka tidak perlu pengobatan, akan sembuh secara spontan dan
meninggalkan tanda parut. Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar
regional di ketiak dan atau leher, terasa padat, tidak sakit dan tidak
menimbulkan demam. Reaksi ini normal, tidak memerlukan pengobatan
dan akan menghilang dengan sendirinya

B. Vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus)


 Pengertian
Vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus) adalah vaksin yang terdiri dari toxoid
difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah
diinaktivasi .
 Dilaksanakan berdasarkan perkiraan lama waktu perlindungan sebagai
berikut:

10
a. Imunisasi DPT 3x akan memberikan imunitas 1-3 tahun. Dengan 3 dosis
toksoid tetanus pada bayi dihitung setara dengan 2 dosis pada anak yang
lebih besar atau dewasa.
b. Ulangan DPT pada umur 18-24 bulan (DPT 4) akan memperpanjang
imunitas 5 tahun yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun. Dengan 4 dosis
toksoid tetanus pada bayi dan anak dihitung setara dengan 3 dosis pada
dewasa (Sudarti,2010,pp.150-151).
 Cara pemberian dan dosis:
1. Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi
menjadi homogen.
2. Disuntik secara intramuskuler dengan dosis pemberian 0,5 ml sebanyak
3 dosis. Dosis pertama diberikan pada umur 2 bulan, dosis selanjutnya
diberikan dengan interval paling cepat 4 minggu (1 bulan)
 Cara memberikan vaksin ini, sebagai barikut:
1. Letakkan bayi dengan posisi miring diatas pangkuan ibu dengan seluruh
kaki terlentang
2. Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi
3. Pegang paha dengan ibu jari dan jari telunjuk
4. Masukkan jarum dengan sudut 90 derajat
5. Tekan seluruh jarum langsung ke bawah melalui kulit sehingga masuk
kedalam otot
 Indikasi : Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri,
pertusis, dan tetanus.
 Kontra indikasi : Gejala- gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru
lahir atau gejala serius keabnormalan pada syaraf merupakan kontraindikasi
pertusis. Anak-anak yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis
pertama, komponen pertusis harus dihindarkan pada dosis kedua, dan untuk
meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT.

11
 Efek samping Gejal-gejala yang bersifat sementara seperti: lemas, demam
tinggi, iritabilitas, dan meracau yang biasanya terjadi 24 jam setelah
imunisasi

C. Vaksin Hepatitis B
 Pengertian
Vaksin hepatitis B adalah vaksin virus rekombinan yang telah
diinaktivasikan dan bersifat in infectious, berasal dari HBsAg yang
dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula polymorph) menggunakan teknologi
DNA rekombinan.
 Cara pemberian dan dosis:
1. Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi
menjadi homogen.
2. Vaksin disuntikkan dengan dosis 0,5 ml, pemberian suntikan secara
intramuskuler sebaiknya pada anterolateral paha.
3. Pemberian sebanyak 3 dosis. d)Dosis pertama diberikan pada usia 0-7
hari, dosis berikutnya dengan interval minimum 4 minggu (1 bulan).
 Indikasi : Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang
disebabkan virus hepatitis B.
 Kontra indikasi : Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama halnya
seperti vaksin- vaksin lain, vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita
infeksi berat disertai kejang.
 Efek samping Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan
disekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan
biasanya hilang setelah 2 hari.

12
D. Vaksin Polio (Oral Polio Vaccine)
 Pengertian
Vaksin Oral Polio adalah vaksin yang terdiri dari suspense virus
poliomyelitis tipe 1,2,3 (Strain Sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat
dibiakkan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa.
 Cara pemberian dan dosis:
1. Diberikan secara oral (melalui mulut), 1 dosis ada 2 (dua) tetes sebanyak
4 kali (disis) pemberian dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.
2. Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dropper) yang
baru.
 Indikasi Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomielitis.
 Kontra indikasi Pada individu yang mnderita “immune deficiency” tidak
ada efek yang berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak
yang sedang sakit. Namun jika ada keraguan, misalnya sedang menderita
diare, maka dosis ulangan dapat diberikan setelah sembuh. 5)Efek samping
Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa paralisis
yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi.

E. Vaksin Campak
 Pengertian
Vaksin Campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap
dosis (0,5 ml) mengandung tidak kurang dari 1000 inektive unit virus strain
dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu
erithromycin.
 Cara pemberian dan dosis:
1. Sebelum disuntikkan vaksin campak terlebih dahulu harus dilarutlan
dengan pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut.
2. Dosis pemberian 0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan kiri
atas, pada usia 9-11 bulan. Dan ulangan

13
(booster) pada usia 6-7 tahun (kelas 1 SD) setelah catch-up campaign
campak pada anak Sekolah Dasar kelas 1-6.
 Indikasi Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak.
 Kontra indikasi Individu yang mengidap penyakit immune deficiency atau
individu yang diduga menderita gangguan respon imun karena leukemia,
limfoma.
6. Efek samping Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan
kemerahan selama 3 hari yang dapat terjadi 8-12 hari setelah vaksinasi.

Tujuan Imunisasi
Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada
seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat
(populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada
imunisasi cacar variola.

Jadwal Imunisasi

Umur Jenis Imunisasi


0 – 7 hari Hep 0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT/HB 1, Polio 2
3 bulan DPT/HB 2, Polio 3
4 bulan DPT/HB 3, polio 4
9 bulan Campak

KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)

 Pengertian
Menurut Komite Nasional Pengajian dan Penanggulangan KIPI (KN PP
KIPI), KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi ) dalah semua kejadian sakit
dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi.
Umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin merupakan reaksi simpang
(adverse events), merupakan kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek

14
langsung vaksin. Reaksi samping vaksin antara lain dapat berupa efek
farmakologi, efek samping, interaksi obat dan reaksi alergi.
 Penyebab
Komite Nasional Pengajian dan Penanggulangan KIPI (KN PP KIPI)
membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok fakor etiolog menurut
klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:
1. Kesalahan program atau teknik pelaksanaan. Kesalahan tersebut dapat
terjadi pada berbagai tingkat prosedur imunisasi, misalnya:
a. Dosisi antigen (terlalu banyak)
b. Lokasi dan cara penyuntikan
c. Sterilisasi semprit dan jarum suntik
d. Jarum bekas pakai
e. Tindakan aseptik dan antiseptik
f. Kontaminasi vaksin dengan peralatan suntik
g. Penyimpanan vaksin
h. Pemakaian sisa vaksin
i. Jenis dan jumlah pelarut vaksin
j. Tidak memperhatikan petunjuk prosedur.
2. Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila
terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama
3. Reaksi suntikan
4. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
5. Faktor kebetulan
6. Penyebab tidak diketahu.
7. Angka kejadian KIPI KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah
reaksi anafilaksis. Angka kejadian reaks anafilaksis dipekirakan 2 dalam
100.000 dosis DPT, tetapi yang benar-banar reaksi anafilksis hanya 1-3
kasus diantara 1 juta dosis

15
5. Mengapa imunisasi campak baru diberikan pada usia 9 bulan ke atas ?
Jawaban : Karena pada usia 9 bulan kebawah anak masih mempunyai kekebalan
maternal atau kekebalan yang diperoleh (bawaan) dari ibunya. Dan pada usia 9
bulan keatas, kekebalan bawaan ini sudah menghilang sehingga perlu diberikan
vaksin.

Referensi :

1. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:


2009.
2. Standar Pelayanan Medis, Departemen Ilmu Kesehatan Anaka FK Unhas RS
Dr.Wahidin Sudirohusodo. Makassar
3. Rachmadi D, Diagnosis dan Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad RS Dr.Hasan Sadikin.Bandung :
2010.http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_
Diagnosis_-Dan_-Penatalaksanaan_-Glomerulonefritis_-Akut.pdf.pdf (diakses
pada tanggal 11 Februari 2019)
4. Berikan Anak Imunisasi Rutin Lengkap. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 2019. http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=18043000011
(diakses pada tanggal 11 Februari 2019)
5. Wahyudi, Imunisasi. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/121/jtptunimus-gdl-
wahyuhiday-6038-2-babii.pdf (diakses pada tanggal 11 Februari 2019)

16

Anda mungkin juga menyukai