Klasifikasi virus
Famili: Retroviridae
Genus: Lentivirus
Spesies
Human immunodeficiency virus 1
Human immunodeficiency virus 2
ICD-10 B20-B24
ICD-9 042-044
Sejarah
Pada tahun 1983, Jean Claude Chermann dan Françoise Barré-Sinoussi dari Perancis berhasil
mengisolasi HIV untuk pertama kalinya dari seorang penderita sindrom limfadenopati.[4] Pada
awalnya, virus itu disebut ALV (lymphadenopathy-associated virus)[5] Bersama dengan Luc
Montagnier, mereka membuktikan bahwa virus tersebut merupakan penyebab AIDS.[5] Pada awal
tahun 1984, Robert Gallo dari Amerika Serikat juga meneliti tentang virus penyebab AIDS yang
disebut HTLV-III.[4][6] Setelah diteliti lebih lanjut, terbukti bahwa ALV dan HTLV-III merupakan
virus yang sama dan pada tahun 1986, istilah yang digunakan untuk menyebut virus tersebut adalah
HIV, atau lebih spesifik lagi disebut HIV-1.[7]
Tidak lama setelah HIV-1 ditemukan, suatu subtipe baru ditemukan di Portugal dari pasien
yang berasal dari Afrika Barat dan kemudian disebut HIV-2.[4] Melalui kloning dan analisis sekuens
(susunan genetik), HIV-2 memiliki perbedaan sebesar 55% dari HIV-1 dan secara antigenik
berbeda.[4] Perbedaan terbesar lainnya antara kedua strain (galur) virus tersebut terletak pada
glikoprotein selubung.[4] Penelitian lanjutan memperkirakan bahwa HIV-2 berasal dari SIV
(retrovirus yang menginfeksi primata) karena adanya kemiripan sekuens dan reaksi silang antara
antibodi terhadap kedua jenis virus tersebut.[4]
Klasifikasi
Kedua spesies HIV yang menginfeksi manusia (HIV-1 dan -2) pada mulanya berasal dari
Afrika barat dan tengah, berpindah dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal
sebagai zoonosis.[8] HIV-1 merupakan hasil evolusi dari simian immunodeficiency virus (SIVcpz)
yang ditemukan dalam subspesies simpanse, Pan troglodyte troglodyte. Sedangkan, HIV-2
merupakan spesies virus hasil evolusi strain SIV yang berbeda (SIVsmm), ditemukan pada Sooty
mangabey, monyet dunia lama Guinea-Bissau.[8] Sebagian besar infeksi HIV di dunia disebabkan
oleh HIV-1 karena spesies virus ini lebih virulen dan lebih mudah menular dibandingkan HIV-2.[8]
Sedangkan, HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika barat.[8]
Berdasarkan susunan genetiknya, HIV-1 dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu M, N,
dan O.[9] Kelompok HIV-1 M terdiri dari 16 subtipe yang berbeda.[9] Sementara pada kelompok N
dan O belum diketahui secara jelas jumlah subtipe virus yang tergabung di dalamnya.[9] Namun,
kedua kelompok tersebut memiliki kekerabatan dengan SIV dari simpanse.[9] HIV-2 memiliki 8
jenis subtipe yang diduga berasal dari Sooty mangabey yang berbeda-beda.[9]
Apabila beberapa virus HIV dengan subtipe yang berbeda menginfeksi satu individu yang sama,
maka akan terjadi bentuk rekombinan sirkulasi (circulating recombinant forms - CRF)[10] (bahasa
Inggris: circulating recombinant form, CRF). Bagian dari genom beberapa subtipe HIV yang
berbeda akan bergabung dan membentuk satu genom utuh yang baru.[11] Bentuk rekombinan yang
pertama kali ditemukan adalah rekombinan AG dari Afrika tengah dan barat, kemudian rekombinan
AGI dari Yunani dan Siprus, kemudian rekombinan AB dari Rusia dan AE dari Asia tenggara.[11]
Dari seluruh infeksi HIV yang terjadi di dunia, sebanyak 47% kasus disebabkan oleh subtipe C, 27%
berupa CRF02_AG, 12,3% berupa subtipe B, 5.3% adalah subtipe D dan 3.2% merupakan CRF AE,
sedangkan sisanya berasal dari subtipe dan CRF lain.[11]
Siklus Hidup
Struktur HIV.
Seperti virus lain pada umumnya, HIV hanya dapat bereplikasi dengan memanfaatkan sel
inang. Siklus hidup HIV diawali dengan penempelan partikel virus (virion) dengan reseptor pada
permukaan sel inang, di antaranya adalah CD4, CXCR5, dan CXCR5. Sel-sel yang menjadi target
HIV adalah sel dendritik, sel T, dan makrofaga.[13] Sel-sel tersebut terdapat pada permukaan lapisan
kulit dalam (mukosa) penis, vagina, dan oral yang biasanya menjadi tempat awal infeksi HIV.[13]
Selain itu, HIV juga dapat langsung masuk ke aliran darah dan masuk serta bereplikasi di noda
limpa.[13]
Setelah menempel, selubung virus akan melebur (fusi) dengan membran sel sehingga isi
partikel virus akan terlepas di dalam sel.[15] Selanjutnya, enzim transkriptase balik yang dimiliki
HIV akan mengubah genom virus yang berupa RNA menjadi DNA.[15] Kemudian, DNA virus akan
dibawa ke inti sel manusia sehingga dapat menyisip atau terintegrasi dengan DNA manusia.[15] DNA
virus yang menyisip di DNA manusia disebut sebagai provirus dan dapat bertahan cukup lama di
dalam sel.[15] Saat sel teraktivasi, enzim-enzim tertentu yang dimiliki sel inang akan memproses
provirus sama dengan DNA manusia, yaitu diubah menjadi mRNA.[15] Kemudian, mRNA akan
dibawa keluar dari inti sel dan menjadi cetakan untuk membuat protein dan enzim HIV.[15] Sebagian
RNA dari provirus yang merupakan genom RNA virus.[15] Bagian genom RNA tersebut akan dirakit
dengan protein dan enzim hingga menjadi virus utuh.[15] Pada tahap perakitan ini, enzim protease
virus berperan penting untuk memotong protein panjang menjadi bagian pendek yang menyusun inti
virus.[15] Apabila HIV utuh telah matang, maka virus tersebut dapat keluar dari sel inang dan
menginfeksi sel berikutnya.[16] Proses pengeluaran virus tersebut melalui pertunasan (budding), di
mana virus akan mendapatkan selubung dari membran permukaan sel inang.[16]
Deteksi HIV
Umumnya, ada tiga tipe deteksi HIV, yaitu tes PCR, tes antibodi HIV, dan tes antigen
HIV.[17] Tes reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat
(DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh manusia.[18]
Tes ini sering pula dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat (HIV
NAAT).[17] PCR DNA biasa merupakan metode kualitatif yang hanya bisa mendeteksi ada atau
tidaknya DNA virus.[19] Sedangkan, untuk deteksi RNA virus dapat dilakukan dengan metode real-
time PCR yang merupakan metode kuantitatif.[19] Deteksi asam nukleat ini dapat mendeteksi
keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak awal infeksi terjadi.[9] Tes ini biasanya digunakan untuk
mendeteksi HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang digunakan pada individu dewasa karena
biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan mengelola dan menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi
bila dibandingkan tes lainnya.[17]
Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV yang
murah dan akurat.[17] Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk melawan
infeksi tersebut.[17] Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di darah, saliva (liur),
dan urin.[17] Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk
mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia.[20] Sampel dari
tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat uji (test strip)
dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul dua pita berwarna ungu
kemerahan.[20] Tingkat akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua hasil positif harus
dikonfirmasi kembali dengan ELISA.[20] Selain ELISA, tes antibodi HIV lain yang dapat digunakan
untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot.[18]
Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon antibodi.[17]
Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat ditemukan dalam serum
darah.[17] Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara berkesinambungan untuk memberikan hasil
deteksi yang lebih akurat dan lebih awal.[17] Tes ini jarang digunakan sendiri karena sensitivitasnya
yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum antibodi terhadap HIV terbentuk.[17]
Hubungan seksual
Menurut data WHO, pada tahun 1983-1995, sebanyak 70-80% penularan HIV dilakukan
melalui hubungan heteroseksual, sedangkan 5-10% terjadi melalui hubungan homoseksual. Kontak
seksual melalui vagina dan anal memiliki resiko yang lebih besar untuk menularkan HIV
dibandingkan dengan kontak seks secara oral.[23] Beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan
resiko penularan melalui hubungan seksual adalah kehadiran penyakit menular seksual, kuantitas
beban virus, penggunaan douche. Seseorang yang menderita penyakit menular seksual lain
(contohnya: sifilis, herpes genitali, kencing nanah, dsb.) akan lebih mudah menerima dan
menularkan HIV kepada orang lain yang berhubungan seksual dengannya.[24] [25]
Beban virus
merupakan jumlah virus aktif yang ada di dalam tubuh. Penularah HIV tertinggi terjadi selama masa
awal dan akhir infeksi HIV karena beban virus paling tinggi pada waku tersebut.[25] Pada rentan
waktu tersebut, beberapa orang hanya menimbulkan sedikit gejala atau bahkan tidak sama sekali. [25]
Penggunaan douche dapat meningkatkan resiko penularan HIV karena menghancurkan bakteri baik
di sekitar vagina dan anus yang memiliki fungsi proteksi.[25] Selain itu, penggunaan douche setelah
berhubungan seksual dapat menekan bakteri penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh dan
mengakibatkan infeksi.[25]
Pencegahan HIV melalui hubungan seksual dapat dilakukan dengan tidak berganti-ganti
pasangan dan menggunakan kondom.[22] Cara pencegahan lainnya adalah dengan melakukan
hubungan seks tanpa menimbulkan paparan cairan tubuh.[24] Untuk menurunkan beban virus di
dalam saluran kelamin dan darah, dapat digunakan terapi anti-retroviral.[25]
Lain-lain
Cara efektif lain untuk penyebaran virus ini adalah melalui penggunaan jarum atau alat
suntik yang terkontaminasi, terutama di negara-negara yang kesulitan dalam sterilisasi alat
kesehatan.[22] Bagi pengguna obat intravena (dimasukkan melalui pembuluh darah), HIV dapat
dicegah dengan menggunakan jarum dan alat suntik yang bersih.[22] Penularan HIV melalui
transplantasi dan transfusi hanya menjadi penyebab sebagian kecil kasus HIV di dunia (3-5%).[22]
Hal ini pun dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan produk darah dan transplan sebelum
didonorkan dan menghindari donor yang memiliki resiko tinggi terinfeksi HIV.[22]
Penularan dari pasien ke petugas kesehatan yang merawatnya juga sangat jarang terjadi (< 0.0001%
dari keseluruhan kasus di dunia).[22] Hal ini dicegah dengan memeberikan pengajaran atau edukasi
kepada petugas kesehatan, pemakaian pakaian pelindung, sarung tangan, dan pembuangan alat dan
bahan yang telah terkontaminasi sesuai dengan prosedur.[22] Pada tahun 2005, sempat diusulkan
untuk melakukan sunat dalam rangka pencegahan HIV. Namun menurut WHO, tindakan
pencegahan tersebut masih terlalu awal untuk direkomendasikan.[27]
Ada beberapa jalur penularan yang ditakutkan dapat menyebarkan HIV, yaitu melalui ludah, gigitan
nyamuk, dan kontak sehari-hari (berjabat tangan, terekspos batuk dan bersin dari penderita HIV,
menggunakan toilet dan alat makan bersama, berpelukan).[21] Namun, CDC (Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit) menyatakan bahwa aktivitas tersebut tidak mengakibatkan penularan HIV.[21]
Beberapa aktivitas lain yang sangat jarang menyebabkan penularan HIV adalah melalui gigitan
manusia dan beberapa tipe ciuman tertentu.[21]
Sub-Sahara Afrika tetap merupakan daerah yang paling parah terkena HIV di antara kaum
perempuan hamil pada usia 15-24 tahun di sejumlah negara di sana. Ini diduga disebabkan oleh
banyaknya penyakit kelamin, praktik menoreh tubuh, transfusi darah, dan buruknya tingkat
kesehatan dan gizi di sana.[28]
AIDS disebabkan salah satu kelompok virus yang disebuat dengan retroviruses yang sering
disebut dengan HIV. Seseorang yang terkena atau terinfeksi HIV AIDS sistejm kekebalan
tubuhnya akan menurun drastic. Virus AiDS menyerang sel darah putih khusus yang disebut
dengan T-lymphocytes. Tanda pertama penderita HIV biasanya akan mengalami demam selama 3
sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh. Setelah kondisi membaik orang yang terinfeksi HIV
akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan secara perlahan kekebalan tubuhnya akan menurun
karena serangan demam yang berulang.
Gejala berupa:
• Pembengkakan kelenjar getah bening
• Penurunan berat badan
• Demam yang hilang-timbul
• Perasaan tidak enak badan
• Lelah
• Diare berulang
• Anemia
• Thrush (Infeksi jamur dimulut)
Gejala-gejala dari AIDS berasal dari infeksi HIVnya sendiri serta infeksi oportunistik
dan kanker. Tetapi hanya sedikit penderita AIDS yang meninggal karena efek langsung dari infeksi
HIV. Biasanya kematian terjadi karena efek kumulatif dari berbagai infeksi oportuinistik atau tumor.
Terhadap orang yang tidak menderita AIDS, organisme dan penyakit normal mungkin hanya
menimbulkan pengaruh yang kecil. Pada kesehatn seseorang. Tapi ketika limfosit CD4+ si penderita
terus menurun, terlebih jika sampai mencapai 50 sel/Ml, penyakit nomal tersebut bisa segera
menyebabkan kematian.
Penderita
POSTER HIV