Anda di halaman 1dari 24

Laporan Referat

KEJANG

Oleh :
Bayu Prasetyo P.
Divia Oktari K.
Fani Santika

Pembimbing :
dr. Toni Prasetya, Sp.PD, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RS PERTAMINA BINTANG AMIN
BANDAR LAMPUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kejang atau bangkitan adalah gangguan neurologi yang sering pada anak. Hal ini
terlihat bahwa sekitar 10% anak menderita paling tidak satu kali kejadian kejang dalam
16 tahun pertama hidupnya. Penderita tertinggi ditempati oleh anak yang berusia kurang
dari tiga tahun. Data epidemiologi menunjukkan sekitar 150.000 anak mendapatkan
kejang dan 30.000 diantaranya berkembang menjadi status epilepsi.1
Kejang atau bangkitan didefinisikan sebagai kejadian mendadak yang berupa
kesadaran terganggu, binggung, gerakan otot abnormal yang sifatmya involunter.2
Definisi klasik dari epilepsi mengacu pada kejang terus menerus atau berulang yang
berlangsung lebih dari 30 menit tanpa pemulihan kesadaran. Selama kejang, aliran darah
otak, oksigen, konsumsi glukosa, karbon dioksida dan produksi asam laktat meningkat.
Kejang singkat jarang menghasilkan efek yang berlangsung pada otak. Kejang yang
berkepanjangan dapat menyebabkan asidosis metabolik, hiperkalemia, hipertermia,
hipoglikemia, dan kondisi inin dapat menyebabkan kerusakan neurologis permanen.3
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, epilepsi, kejang demam,
hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis, ketidakseimbangan elektrolit,
dan overdosis obat.4 Meskipun penyebab dari kejang beragam namun pada fase awal tidak
perlu untuk melabelnya masuk pada kelompok mana, karena manajemen jalan nafas dan
penghentian kejang adalah prioritas awal pada pasien dengan kejang aktif.2
Salah satu bentuk kejang yang sering dijumpai pada anak adalah kejang demam.
Kejang demam adalah kejang disertai demam (suhu ≥ 100.4° F atau 38°C), tanpa infeksi
sistem saraf, yang terjadi pada bayi dan anak-anak 6 sampai 60 bulan. Kejang demam
terjadi pada 2% sampai 5% dari semua anak-anak, dengan demikian menjadi bentuk yang
paling umum terjadi. Pada tahun 1976, Nelson dan Ellenberg, menggunakan data dari
National Collaborative Perinatal Project dan ditetapkan bahwa kejang demam
diklasifikasikan sebagai simpleks atau kompleks. Kejang demam simpleks didefinisikan
sebagai kejang yang terjadi setelah demam, yang berlangsung selama kurang dari 15
menit dan tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam kompleks didefinisikan
sebagai kejang fokal, berlangsung lebih dari 15 menit, dan atau berulang dalam waktu
24 jam. Anak-anak yang mengalami kejang demam simpleks tidak terbukti meningkat
risiko kematiannya, hemiplegia, atau keterbelakangan mental. Sebuah konsensus pada
tahun 1980 dari National Institutes of Health menyimpulkan bahwa kejang demam
simpleks memiliki prognosis yang sangat baik.3

1.2.Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui tatalaksana kejang pada anak
1.2.2. Tujuan Khusus
Mengetahui definisi dan klasifikasi kejang
Mengetahui etiologi kejang
Mengetahui pendekatan diagnosis kejang pada anak
Mengetahui diagnosis banding kejang pada anak
Mengetahui tatalaksana kejang pada anak

1.3.Manfaat Penulisan
1.3.1. Manfaat akademik
Mengetahui tatalaksana yang sesuai untuk kasus kejang pada anak
1.3.2. Manfaat bagi masyarakat
Memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat mengenai
pentingnya mengetahui tanda – tanda kejang dan tatalaksana yang tepat untuk
kejang pada anak
1.3.3. Manfaat bagi pengembangan penelitian
Menambah data dan referensi untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau disertai
dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan akibat
perubahan aktivitas elektrik di otak5. Epilepsi adalah kondisi dimana terjadi kejang
berulang karena ada proses yang mendasari6. Sedangkan intractable seizure adalah
kejang dimana penggunaan obat - obatan tidak cukup kuat untuk menangani kejang7.

2.2. Klasifikasi Kejang


Menurut International League against Epilepsy, kejang dapat diklasifikasikan
menjadi6 :
1. Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan satu
hemisfer serebri. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum pada
30% anak yang mengalami kejang. Pada umumnya kejang ini ditemukan pada
anak berusia 3 hingga 13 tahun8. Kejang parsial dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kejang parsial simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa disertai
dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan perubahan
aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat pola aktivitas motorik yang
tetap pada wajah dan ekstremitas atas saat episode kejang terjadi. Walaupun
kejang parsial simpleks sering ditandai dengan perubahan abnormal dari
aktivitas motorik, perubahan abnormal dari sensorik, autonom, dan psikis
2. Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari
persepsi dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Pada saat
kejang, pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti mengecap
– ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan seringkali disertai mual dan
muntah.
3. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan menimbulkan
gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
biasanya menimbulkan gejala seperti kejang tonik klonik. Hal ini sulit
dibedakan dengan kejang tonik – klonik.

2. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibata kedua
hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang
umum dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering terjadi
pada anak. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba – tiba, namun
pada beberapa anak kejang ini didahului oleh aura (motorik atau sensorik).
Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat, terdapat dilatasi kedua pupil, dan
kontraksi otot – otot yang disertai dengan rigiditas otot yang progresif. Sering
juga disertai dengan inkontinensia urin atau inkontinensia tinja. Kemudian
pada fase klonik, terjadi gerakan menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi
yang disertai spasme pada ekstremitas. Terjadi perubahan kesadaran pada
anak selama episode kejang berlangsung dan bisa berlanjut hingga beberapa
saat setelah kejang berhenti.
2. Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik. Anak
tiba – tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat rigiditas otot
yang progresif.
3. Kejang mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh secara
tiba – tiba dan disertai dengan fleksi lengan. Kejang tipe ini dapat terjadi
hingga ratusan kali per hari.
4. Kejang atonik
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba – tiba.
5. Kejang absens
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau
disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens
tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik anak secara tiba – tiba,
kehilangan kesadaran sementara secara singkat, yang disertai dengan tatapan
kosong. Sering tampak kedipan mata berulang saat episode kejang terjadi.
Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik. Kejang ini jarang dijumpai pada
anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang absens atipikal ditandai dengan
gerakan seperti hentakan berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan
ekstremitas, dan disertai dengan perubahan kesadaran7.
3. Kejang tak terklasifikasi
Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang tidak
dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial. Kejang ini
termasuk kejang yang terjadi pada neonatus dan anak hingga usia 1 tahun6.

2.3. Etiologi
Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan
ekstrakranial.
1. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan
sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan
sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial, kelainan kongenital
seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan ensefalitis, dan trauma kepala.
2. Ekstrakranial
Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan metabolisme
seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati, uremia,
hiperproteinemia, hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia. Penyebab
ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis keganasan ke otak9.

2.4. Diagnosis
2.4.1. Anamnesa
1. Kejadian Pre-Iktal
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai
kejadian sebelum episode kejang terjadi :
 Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang seperti
keadaan stres, rangsangan nyeri, dan sebagainya?
 Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau
– bauan, melihat cahaya yang sangat terang, mendengar suara –
suara, mual, merasa ketakutan dan sebagainya?
 Apa yang dilakukan anak sesaat sebelum kejang terjadi?
 Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang anak
mengkonsumsi obat – obatan tertentu?
 Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah anak
sedang demam sebelum kejang terjadi?
 Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya?
 Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang terdahulu
sama seperti bentuk kejang yang baru saja terjadi?
 Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat rutin dan
mengkonsumsi obat anti kejang secara teratur?
 Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala,
beberapa jam atau hari sebelum kejang?
2. Kejadian saat kejang
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai
kejadian saat episode kejang terjadi :
 Berapa lama kejang berlangsung?
 Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?
 Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang?
 Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode kejang
terjadi?
 Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap sadar
atau tidak sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi?
3. Kejadian post – iktal
 Apakah anak langsung sadar setelah kejang berhenti?
 Apakah anak merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti
atau anak tampak seperti tidak terjadi apa – apa?
 Apakah anak mengingat kejadian saat kejang berlangsung?

2.4.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda –
tanda vital meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu
tubuh harus diperiksa, karena demam merupakan penyebab utama kejang
pada anak – anak. Periksa kepala apakah ada kelainan bentuk, tanda –
tanda trauma kepala, serta tanda – tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Periksa leher apakah terdapat kaku kuduk. Pemeriksaan
neurologis secara menyeluruh juga penting dilakukan.

2.4.3. Pemeriksaan Penunjang


Penentuan ada tidaknya kejang ditentukan oleh kondisi klinis
pasien yang tepat sesuai klinis, tetapi pemeriksaan penunjang juga dapat
membantu dalam mempertajam diagnosis dari kejang tersebut.
Pemeriksaan penunjang yang dapat di lakukan adalah :
1. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal tidak dianjurkan pada anak-anak dengan
hemodinamik yang tidak stabil. Sangat dipertimbangkan untuk
melakukan pungsi lumbal pada anak kurang dari 12 bulan dan anak
kurang dari 18 bulan. Pungsi lumbal dianjurkan pada :
- Anak yang telah menerima antibiotik sebelum kejang dan
didiagnosa sebagai meningitis, dalam kasus ini dilakukan pungsi
lumbal tanpa memandang usia. Bahkan jika pungsi lumbal
dilakukan dan hasilnya negatif, dapat dipertimbangkan untuk
pemberian pengobatan meningitis, karena cairan cerebrospinal
(CSF) mungkin normal pada fase awal perjalanan penyakit
meningitis.1
- Iritasi meningens didefinisikan sebagai adanya Brudzinski sign
(fleksi leher menyebabkan fleksi dari pinggul pasien dan lutut),
Kernig sign (nyeri muncul ketika adanya fleksi 90◦ dari fleksi
sendi pinggul dan ekstensi sendi lutut), kaku kuduk yaitu
kekakuan leher pada anak yang lebih tua dari usia 1 tahun. Pada
anak-anak berusia kurang dari 1 tahun, tanda-tanda iritasi
meningens adalah tanda-tanda di atas atau rasa gelisah atau rewel
selama manipulasi kepala atau kaki oleh dokter dan atau
menggembungnya fontanel. Perlu ditekankan bahwa tanda-tanda
klinis meningitis tidak sensitif dan jika klinisi curiga bahwa
meningitis positif, pungsi lumbal tidak boleh ditunda sampai
tanda-tanda ini muncul.1
2. Pencitraan
Neuroimaging tidak diindikasikan setelah episode kejang
demam sederhana, tapi bisa dipertimbangkan ketika ada fitur klinis
dari gangguan neurologis, misalnya mikrosefali atau makrosefali,
defisit neurologis yang sudah ada, defisit neurologis post-iktal
bertahan selama lebih dari beberapa jam, atau ketika ada kejang
demam berulang yang kompleks, atau kejang yang dicurigai bukan
kejang demam Magnetic Resonance Imaging lebih sensitif
dibandingkan Computed Tomography untuk mendeteksi proses
intrakranial yang dapat menyebabkan kejang.1
3. Electroencephalography (EEG)
Kelainan epileptiform relatif umum didapatkan pada anak-
anak dengan kejang demam. EEG sendiri memiliki sensitivitas
yang rendah pada anak di bawah usia tiga tahun dengan kejang dan
peran yang terbatas dalam diagnosis gangguan ensefalopatik akut.1

2.5. Diagnosis Banding


Ketika anak menampakkan gejala klinis seperti kejang, maka pemeriksa harus
segera menentukkan sebab dari kejang tersebut. Penting untuk mengetahui apakah
yang dialami seorang anak benar adalah kejang atau bukan kejang. Berikut adalah
beberapa kondisi pediatrik yang dapat disalahartikan sebagai kejang :
1. Sinkop
Sinkop biasanya didahului oleh dizziness, pandangan yang kabur,
penderita tahu jika sebentar lagi akan kehilangan kesadaran, dan pucat. Sinkop
biasanya terjadi pada siang hari dan posisi penderita sedang berdiri. Sedangkan
kejang terjadi secara tiba – tiba, kapan saja, dan dimana saja.
2. Breath holding spells
Breath holding spells merupakam salah satu episode apnea pada anak –
anak, biasanya berkaitan dengan penurunan kesadaran. Breath holding spells
terjadi pada 5% anak – anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Ada beberapa tipe
dari Breath holding spells yang menyerupai episode kejang, yaitu cyanotic spell
dan pallid spell. Pada cyanotic spell, anak menangis kuat diikuti dengan menahan
napas, sianosis, rigiditas otot dan pincang, serta seringkali disertai dengan gerakan
seperti kejang pada ekstremitas. Pallid spell terjadi dengan rangsangan nyeri,
diikuti dengan penderita tampak pucat dan kehilangan kesadaran yang singkat.
3. Migrain
Pada anak dengan migrain, anak dapat kehilangan kesadaran, yang sering
diawali dengan pandangan kabur, dizziness, dan kehilangan postur tubuh.
4. Paroxysmal movement disorders
Paroxysmal movement disorders melibatkan aktivitas motorik yang
abnormal dan dapat menyerupai kejang dan penurunan kesadaran jarang terjadi.
Tics adalah gerakan berulang dan singkat dan dapat terjadi pada bagian tubuh
manapun. Tics muncul terutama pada keadaan stres dan biasanya dapat ditekan
kemunculannya. Shuddering attacks adalah tremor pada seluruh tubuh yang
berlangsung selama beberapa detik dan setelah itu kembali ke aktivitas normal.
Distonia akut ditandai dengan kontraksi wajah dan batang tubuh secara involunter
dengan postur yang abnormal dan wajah yang meringis.
6. Pseudoseizures
Pseudoseizures dapat muncul dengan gerakan seperti pada paroxysmal movement
disorders. Pseudoseizures sulit dibedakan dengan kejang yang sebenarnya dan
sering terjadi pada anak – anak dengan riwayat epilepsi.
7. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat dibedakan dengan kejang dengan melihat
karaterisktik perubahan perilaku yang terjadi. Night terrors terjadi pada anak usia
sebelum masuk sekolah. Anak tiba – tiba terbangun dari tidurnya, diikuti dengan
menangis, berteriak dan tidak bisa didiamkan. Lalu anak kembali ke tidurnya dan
tidak dapat mengingat kejadian tersebut. Sleepwalking atau somnabulisme dapat
ditemukan pada anak usia sekolah yang terbangun dari tidurnya dan berjalan tanpa
tujuan dan disertai dengan pandangan kosong lalu anak tersebut kembali ke
tidurnya. Narcolepsy sering ditemukan pada anak usia remaja dengan perubahan
kesadaran disertai rasa kantuk tak tertahan. Narcolepsy sering disertai dengan
katapleksi, yaitu kehilangan tonus otot secara tiba – tiba7.

2.6. Tatalaksana
2.6.1. Penilaian Awal
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang
adalah untuk menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dan
sirkulasi. Ini akan memastikan bahwa kejang tidak membahayakan pasokan
darah beroksigen ke otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap
hipoksia dan atau iskemia.2,4 Penilaian awal terdiri dari :
1. Airway
Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan
penilaian patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel. Jika
jalan napas tidak bebas, maka kita harus membuka dan menjaganya
dengan cara head tilt- chin lift atau jaw thrust manuver dan memberikan
ventilasi dengan bag-valve-mask jika perlu. Jika jalan napas terganggu
karena kejang, mengendalikan kejang dengan antikonvulsan umumnya
akan mengontrol jalan napas. Bahkan jika jalan napas telah bebas,
orofaring mungkin perlu dibersihkan dari sekret oleh suction. 2,4
2. Breathing
Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju pernapasan,
suara napas yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna
kulit. Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan
pulse oksimetry. Jika anak menderita hipoventilasi, respirasi harus
didukung dengan oksigen melalui perangkat bag-valve - mask. 2,4
3. Circulation
Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut
nadi. Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta
akral yang dingin menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat. Jika
perlu, lakukan pemberian cairan intravena. Jika akses pembuluh darah
tidak dapat diperoleh, pemberian antikonvulsan harus diberikan melalui
rektal, intramuskular atau rute bukal. Intraosseous acces (IO)
dipergunakan pada anak-anak dengan tanda-tanda syok jika akses
intravena tidak dapat diperoleh. Akses IO mungkin dibutuhkan untuk
administrasi long acting antikonvulsan jika tidak ada akses intravena
setelah dua dosis benzodiazepin. Berikan 20 mL/kg BB bolus cepat
normal saline untuk setiap pasien dengan tanda-tanda syok, lalu periksa
tekanan darah segera setelah pemberian normal saline atau setelah
kejang selesai. Pengambilan tes glukosa darah dan uji laboratorium tetap
diperlukan. Jika terdapat hipoglikemi berikan dextrose 10% sebanyak 5
mL/kg untuk pasien yang hipoglikemi tersebut. 2,4
4. Disability
Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice, Pain,
Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang
disertai dengan penurunan kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil harus
diperhatikan. Perubahan pupil dapat terjadi selama kejang tetapi
mungkin juga hasil dari keracunan opiat, amfetamin, atropin dan trisiklik
atau peningkatan tekanan intrakranial.2,4 Perhatikan tanda-tanda defisit
neurologis fokal, baik selama atau setelah kejang dan perhatikan postur
anak, apakah terdapat dekortikasi atau deserebrasi sikap dimana
sebelumnya postur anak normal. Hal ini menunjukan bahwa terdapat
peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur ini kadang dapat keliru
untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk pada anak dan fontanelle
yang membubung pada bayi, yang dapat menunjukkan tanda – tanda
meningitis. Perlu diingat bahwa penggunaan berkepanjangan atau
berulang-ulang dari obat anti konvulsan dapat menyebabkan depresi
kesadaran. 2,4
5. Exposure
Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera. 2,4
2.6.2. Menilai kembali ABC
Tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15 menit sementara kejang
berlangsung atau setiap 30 menit setelah kejang sampai tingkat kesadaran
kembali ke normal atau setelah setiap pemberian dosis obat anti – epilepsi.
Jika memungkinkan beri pula pemantauan dengan ECG dan pulse-oksimetri.
2,4

2.6.3. Medikasi pada kejadian akut (first dan second line anticonvulsant)
Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di stabilisasi.
Dahulu di tahun 1960an obat antiepilepsiyang digunakan dalam pengelolaan
kejang telah berkembang karena ketersediaan obat diazepam intravena.
Sekarang obat anti kejang yang menjadi pilihan pertama adalah
benzodiazepin. Hal ini dikarenakan benzodiazepin dapat dengan cepat
mengkontrol kejang dengan efek samping yang minimal. Selain itu
benzodiazepin dapat diberikan dari beberapa rute dan dapat diberikan
kembali dalam waktu singkat.2
Obat anti kejang yang menjadi pilihan kedua, untuk kejang refrakter harus
kompatibel dengan obat pilihan pertama. Idealnya bekerja secara sinergis
tanpa efek samping dan menjadi lebih efektif dalam mencegah berkelanjutan
kejang. Pilihan obat lini kedua tersebut adalah fenitoin dan fenobarbital.2
Dalam pemilihan obat anti konvulsan, hasil yang diinginkan adalah yang
paling cepat menghentikan kejang akut dengan efek samping terkecil dan
biaya yang minimal. Persyaratan obat tersebut belumlah cukup karena harus
pula meliputi kemudahan pemberian dan tersedianya obat tersebut di pasaran.
Pengobatan dini sangat penting,karena setelah kejangditetapkan selama lebih
dari 15 menit, penangannanya akan lebih sulit. Protokol penanganan kejang
berbasis lini ini digunakan di tiga rumah sakit anak-anakdi New South Wales.
Protokol inipun telah di akui oleh Advance Paediatric Life Support (APLS)
di Inggris pada tahun 2000.2
2.6.3.1. Terapi lini pertama:
1. Diazepam
Digunakan secara intravena dan rectal sejak 1965. Pemberian
intravena menghasilkan kontrol kejang yang cepat pada sekitar 80%
pasien. Setelah pemberian rektal, kadar serum terapeutik terlihat
dalam lima menit dan kontrol kejang yang cepat terjadi pada hingga
80%. Sementara mungkin ada manfaat dari diazepam intravena
berikutnya di pasien yang tidak responsif terhadap terapi, kejang
menetap terhadapdosis rektal tunggal (kejang resisten) maka pasien
tersebut membutuhkan pengobatan lini kedua 2

2. Midazolam
Midazolam sekarang telah menggantikan diazepam sebagai obat
pilihan pertama sebelum akses vena dapat diperoleh, karena rute
pemberian yang lebih disukai yaitu melalui bukal tidak seperti
diazepam yang melalui rektal. Midazolam sangat efektif sebagai lini
pertama antikonvulsan karena menghentikan sebagian besar kejang
dalam satu menit setelah injeksi intravena dari 0,1-0,3 mg/kg dan
secara intramuskular dalam waktu 5-10 menit. Dosis tunggal
midazolam bukal 0,5mg /kg telah terbukti meminimalisir risiko
depresi pernapasan.2
3. Paraldehyde
Paraldehyde telah digunakan sebagai supposituria untuk
pengobatan kejang sejak awal 1930. Paraldehyde sekarang
diberikan secara rektal Administrasi dubur dapat ditoleransi dengan
baik dan menghasilkan onset kontrol kejang yang cepat dan efek
depresi pernafasan yang kurang minimal.2
2.6.3.2. Terapi lini kedua (epilepsi status refraktori) :
1. Fenitoin
Fenitoin dikenal sebagai non sedating anti - convulsant pertama.
Dalam dosis intravena 20 mg/kg untuk anak-anak, kejang terkontrol
dengan baik di 60-80% pasien dalam 20 menit. Fenitoin memiliki
efek depresi pernapasan yang lebih kecil daripada fenobarbital.
Fenitoin telah diakui sebagai pilihan pertama anti konvulsan lini
kedua oleh British Working Party.2
2. Fenobarbital
Fenobarbital telah digunakan dalam kontrol kejang sejak tahun
1912 dan digunakan di seluruh dunia. Jika dibandingkan dengan anti
konvulsan yang lainnya, fenobarbital dianggap lebih murah dan
sangat efektif. Setelah pemberian intravena terdapat distribusi
bifasik dan sangat menyebar melalui seluruh pembuluh darah
termasuk pembuluih darah otak. Meskipun penetrasi ke otak telah
dilaporkan terjadi 12-60 menit setelah pemberian, penetrasi ini
terjadi lebih cepat dalam status epileptikus karenapeningkatan aliran
darah otak. Fenibarbital digunakan sebagai anti konvulsan lini kedua
pada periode neonatal. Dosis pemberian adalah 5-10 mg/kg.2
Gambar 1. Assesment and Initial Management of Seizures in Children2

2.6.4. Tatalaksana Kejang Demam


Kecenderungan sifat kejang demam adalah singkat dan kejang biasanya
telah berhenti saat sampai diruang UGD. Penatalaksanaan kejang demam
pada anak mencakup tiga hal yaitu :
1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau
fungsi vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat
pilihan utama, oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak
ada diazepam, dapat digunakan luminal suntikan intramuskular ataupun
yang lebih praktis midazolam intranasal.10 Jika kejang masih terlihat
maka penanganan dengan intra vena diazepam dan lorazepam adalah
mutlak.1
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi
lumbal pada saat pertama kali terjadinya kejang demam. Pungsi lumbal
dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena gejala neurologis
sulit ditemukan.10
3. Pengobatan profilaksis
 Intermittent : anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien
demam (suhu rektal lebih dari 38◦C) dengan menggunakan diazepam
oral atau rektal, klonazepam atau kloralhidrat supositoria.10
 Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam valproat
tiap hari untuk mencegah berulangnya kejang demam10
Diazepam rektal (0,5 mg /kg) atau lorazepam (0,1 mg/kg) harus
diberikan jika akses intravena tidak dapat diberikan. Midazolam yang
diberikan secara bukal (0,5 mg/kg; dosis maksimal 10 mg/kg) lebih
efektif daripada diazepam rektal untuk anak.1 Pemberian midazolam
secara bukal dicapai dengan mengalirkan sesuai dosis antara pipi dan
gusi dari rahang bawah dengan pasien dalam posisi pemulihan dari fase
kejang. Penyerapan teknik ini secara langsung melalui mukosa bukal,
memberikan hasil yang lebih cepat daripada midazolam yang ditelan.2
Lorazepam yang diberikan secara intravena setidaknya sama efektifnya
dengan diazepam intravena dan berhubungan dengan efek samping yang
lebih sedikit (termasuk depresi pernafasan) dalam pengobatan kejang
tonik klonik akut.1
Gambar 2. Alur Penangan Kejang Demam1

2.6.5. Tatalaksana Intractable Seizures


Pada penanganan intractable seizure, terdapat beberapa obat yang masih
digunakan. Penggunaan obat – obatan tersebut hanya dipakai pada beberapa
kasus penyakit dengan kondisi intactable seizure, obat – obatan tersebut
adalah :
1. Valproate (Depacote)
Asam valproat dapat digunakan pada penanganan kasus kejang
Lennox – Gustaut Syndrome. Dosis maintenance yang dipakai sekitar 10-
60 mg/kg/hari, diberikan sebanyak 2 hingga 4 kali sehari. Dosis harian
harus dimulai pada dosis 10 mg/kg/hari dan ditingkatkan sebanyak 10
mg/kg/hari setiap minggunya sampai level serum terapeutik tercapai yaitu
50-100 µg/ml. Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan traktus
gastrointestinal, kenaikan berat badan, mengantuk, dan alopesia. Tremor
dan trombositopenia merupakan dose related effect. Untuk anak dibawah
usia 2 tahun dapat meningkatkan resiko toksisitas hepar dan pankreatik.
Asam valproat juga mengganggu metabolisme dari obat antikonvulsan lain
yaitu meningkatkan jumlah obat fenobarbital, fenitoin, karbamazepin,
diazepam, clonazepam, dan ethosuksamid di dalam darah.7
2. Lamotrigine (Lamictal)
Obat ini juga dapat digunakan untuk pengobatan kejang pada
Lennox – Gustaut syndrome. Dosis maintenance yang digunakan sekitar
5-15 mg/kg/hari, tetapi dikarenakan obat ini mengganggu kerja
antikonvulsan lainnya, penetapan dosis harus dilakukan ketika diberikan
bersamaan dengan antikonvulsan lainnya. Lamictal harus diberikan dosis
rendah pada awal pemberian jika diberikan pada pasien yang
mengkonsumsi asam valproat dan pada dosis tinggi jika diberikan pada
pasien yang juga meminum fenitoin, karbamezepin, fenobarbital, atau
pirimidon. Efek samping dari obat ini adalah gangguan traktus
gastrointestinal, somnolen, pusing, sakit kepala, dan diplopia. Efek yang
paling mengkhawatirkan adalah munculnya ruam kemerahan di kulit
yang dapat merupakan tanda – tanda dari Stevens – Johnson syndrome7.
Pada studi yang dilakukan pada Shahid Sadoughi Hospital di Iran yang
dilakukan oleh Fallah R, et al, meneliti 22 anak laki – laki dan 18 anak
perempuan yang mengalami intractable epilepsy dengan Lennox –
Gastaut syndrome didapatkan hasil nilai rata – rata angka kejadian kejang
selama penelitian yang dihitung setiap minggu dan dilakukan sebelum
dan sesudah pemberian lamotrigin mengindikasikan bahwa penggunaan
lamotrigin efektif dalam mengurangi kejang dan disarankan menjadi
terapi tambahan pada penanganan intractable epilepsi pada kasus Lennox
–Gastaut syndrome.11
3. Felbamate (Felbatole)
Obat ini dipakai untuk refractory seizure yang tidak dapat
ditangani dengan pengobatan lain. Penggunaan obat ini sebagian besar
dipakai untuk Lennox – Gustaut syndrome. Dosis yang diberikan sekitar
15-45 mg/kg, diberikan 3 sampai 4 kali sehari. Pemberian harus dimulai
dengan dosis yang paling rendah berdasarkan kisaran dosis terapeutik
dan harus digunakan sebagai terapi tunggal dikarenakan resiko terjadinya
efek samping lebih tinggi jika diberikan bersamaan dengan
antikonvulsan lain. Pada interaksi obat, felbamat meningkatkan kadar
serum fenobarbital, fenitoin, asam valproat, dan menurunkan kadar
karbamazepin. Efek samping yang dapat disebabkan obat ini adalah
anoreksia, nausea, vomiting, insomnia, dan letargi dengan efek samping
yang dikhawatirkan yaitu anemia aplastik dan hepatotoksisitas berat.
Semua anak yang mendapatkan obat ini disarankan untuk selalu dipantau
dengan pemeriksaan laboratorium darah rutin dan fungsi hati.7
4. Vigabatrin (Sabril)
Obat ini efektif digunakan pada kasus refractory partial seizure.
Dosis maintenance yang dipakai adalah 30-150 mg/kg/hari dan diberikan
sehari atau dua hari sekali. Jika setelah pemberian, kondisi kejang pasien
tidak terdapat kemajuan, hal tersebut berarti obat tersebut resisten.7
5. Topiramate (Topamax)
Obat ini efektif digunakan pada pengobatan Lennox – Gustaut
syndrome dan refractory complex partial seizure. Dosis yang diberikan
pertama kali yaitu 1 mg/kg/hari dengan dosis target maintenance sebesar
3-9 mg/kg/hari. Interaksi dengan obat antikonvulsan lainnya sangat
sedikit. Topiramat memiliki beberapa efek samping yang sangat
mengkhawatirkan yaitu masalah kepribadian yang paling umum terjadi
pada anak – anak. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah anoreksia,
penurunan berat badan, masalah dalam tidur, kelelahan, sakit kepala,
diplopia, gangguan bicara. Efek samping yang serius dari topiramat
adalah nefrolitiasis dan harus hati – hati pada pemberian topiramat
kepada pasien yang memiliki riwayat batu ginjal atau sedang dalam
ketogenic diet.7
6. Tiagabine (Gabitril)
Obat ini dipakai untuk terapi tambahan pada kasus refractory
partial seizure. Dosis pemberian diawali dengan 0,1 mg/kg/hari dan
dinaikkan hingga mencapai dosis target yaitu 0,5-1 mg/kg/hari sampai
dapat mengontrol kejang secara adekuat. Efek samping yang disebabkan
oleh obat ini adalah kelelahan, pusing, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, dan mood depresi.7
7. Levetiracetam (Keppra)
Obat ini efektif sebagai terapi tambahan pada refractory partial
seizures pada anak – anak usia 6 sampai 12 tahun. Dosis maintenance
sekitar 10 sampai 60 mg/kg/hari. Efek samping pada anak – anak adalah
sakit kepala, anoreksia, kelelahan, dan infeksi termasuk rinitis, otitis
media, gastroenteritis, dan faringitis. Pemakaian pada orang dewasa
dilaporkan dapat mengakibatkan leukopenia tetapi tidak pernah
didapatkan pada pasien anak.7
8. Oxcarbazepine (Trileptal)
Pada suatu studi yang dilakukan di Iran University of Medical
Science dan Shahid Beheshti of Medical Science di Iran yang dilakukan
oleh Azita Tavassoli, et al, menyimpulkan oxcarbazepin efektif untuk
mengontrol intractable seizure pada anak – anak. Respon yang paling
baik ditunjukkan oleh pasien dengan partial epilepsy dan pasien dengan
mixed type seizure memberikan respon yang paling sedikit. Dosis rata –
rata untuk mengontrol kejang adalah 45 mg/kg/hari. Pada studi ini
didapatkan efek samping kemerahan pada kulit dan didapatkan riwayat
reaksi kulit terhadap karbamazepin pada pasien tersebut sehingga harus
dikeluarkan dari studi. Dan efek samping lain yang ditunjukkan adalah
pada pemberian dosis yang tinggi menyebabkan diplopia dan pusing
kepala yang langsung menghilang jika dosis obatnya diturunkan. Efek
samping lain yang terlihat yaitu asimptomatik transient hyponatremia,
mengantuk, sakit kepala, nausea dan muntah, ataksia dan agitasi. Semua
efek samping tersebut terlihat pada pemberian awal dan menghilang
setelah beberapa hari. Pada studi ini, komplikasi serius seperti depresi
sumsum tulang dan gangguan pada hepar maupun ginjal ntidak
ditemukan.12
Jika pada pemakaian obat – obatan tersebut tidak terdapat adanya
kemajuan berarti penanganan dengan menggunakan obat sudah gagal dalam
mengendalikan kejang dan harus disarankan untuk dilakukan penanganan
dengan cara lain. Salah satunya adalah dengan cara diet ketogenik.7
Diet ini juga efektif sebagai penanganan infantile spasm dan Lennox –
Gastaut syndrome. Hasil studi yang dilakukan menyatakan terjadi
pengurangan sekitar 50% sampai 70% kejang pada anak – anak dengan
penanganan diet ketogenik ini. Inti dari terapi ini adalah puasa. Dimana
kondisi puasa dalam jangka waktu panjang akan menciptakan kondisi ketosis
yang mengurangi kejang pada anak. Terapi dengan cara ini dilakukan sekitar
5 hingga 7 hari dengan dirawat di rumah sakit hingga kondisi ketosis dicapai.
Terapi ini dapat menyebabkan hipoglikemia selama fase puasa dan kadar gula
darah pasien harus selalu dipantau selama dilakukannya terapi ini. Muntah
dan dehidrasi terkadang juga terjadi selama fase terapi ini. Lalu diet dengan
3 atau 4 porsi lemak dan 1 porsi karbohidrat dalam sehari diberikan dan
pemberian suplemen diberikan untuk menghindari defisiensi vitamin. Pada
terapi ini, abnormalitas metabolik dapat terjadi yaitu renal tubular asidosis,
hypoproteinemia, dan elevasi kadar enzim hati dan pankreas. Efek lain yang
dapat terjadi yaitu infeksi dan QT interval yang memanjang. Oleh karena itu,
pemeriksaan EKG dan evaluasi kondisi metabolik pasien harus diperhatikan
sebelum diet ini dimulai. Evaluasi laboratorium harus dilakukan sepanjang
diet ini dilakukan.7
Selain penanganan dengan diet ketogenik ini dapat juga dilakukan
penanganan lain. Ketika seseorang mengalami kondisi intractable seizure dan
tidak memberi respon terhadap pemberian obat terdapat pendekatan lain yang
harus dilakukan untuk menangani kejang tersebut. Salah satu caranya dengan
stimulasi nervus vagus.13
Nervus vagus berjalan mulai dari leher ke dada hingga ke abdomen dan
serat tambahan menghubungkan nervus vagus ke otak. Stimulasi nervus
vagus mengganggu kerentangan otak untuk mengalami serangan kejang.
Beberapa studi ilmiah, yang hasilnya disetujui oleh US Food and Drug
Administration, menunjukkan penurunan kejang ketika nervus vagus di
stimulasi oleh listrik. Stimulasi listrik dilakukan melalui battery – powered
metal stimulator yang ditanam di bawah kulit dada pasien lalu dihubungkan
dengan kabel yang menghubungkan kabel ke nervus vagus sinistra dan lalu
dialiri listrik sebagai stimulasi pada siklus yang diprogram. Biasanya
stimulasi dilakukan selama 30 detik dan diistirahatkan selama 5 menit.
Beberapa orang terkadang mendapatkan hasil yang memuaskan tetapi
terkadang terdapat beberapa orang yang tidak merasakan perubahan apapun.
Hasil terapi stimulasi nervus vagus tidak dapat diprediksi. Kejang yang
dialami pasien bisa berkurang secara drastis tetapi tidak dapat menghilangkan
kejang tersebut secara total. Efek samping penggunaan cara ini adalah batuk
dan suara nafas deperti mendengkur dan terjadi biasanya pada saat stimulasi
dilakukan.13
Selain penanganan dengan stimulasi nervus vagus, yang dapat dilakukan
pada intractable seizure yaitu operasi pada area otak yang mencetuskan
terjadinya kejang.13
Operasi biasanya menjadi pilihan terakhir dalam penanganan kejang.
Rasio kesuksesan unruk menghentikan kejang sekitar 50– 90% tergantung
penyebab dari kejang tersebut dan lokasi dari kelainan yang terdapat di otak.13

2.6.6. Edukasi keluarga perjalanan penyakit dan rekurensi


Edukasi pasien dan pendidikan keluarga merupakan bagian integral dari
pengelolaan kejang demam. Langkah – langkah yang perlu dilakukan antara
lain:
1. Membantu keluarga untuk mengatasi pengalaman yang menakutkan dan
menyingkirkan asumsi bahwa anak mereka akan meninggal saat kejang
demam pertama dengan kesepakatan keluarga untuk memahami
prognosis dari kejang.
2. Memastikan keluarga mengerti bahwa tidak ada peningkatan risiko
keterlambatan intelektual jika kejang kurang dari 30 menit.
3. Memberikan keluarga informasi tentang risiko kekambuhan kejang
berikutnya.1

2.6.7. Rekurensi
Risiko untuk terjadinya kekambuhan setelah kejang pertama adalah
sekitar 33%. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan
kekambuhan meliputi kejang demam pertama pada usia muda, riwayat
keluarga kejang demam, durasi pendek demam sebelum kejang atau demam
yang relatif rendah pada saat kejang awal. Terdapat faktor genetik yang
mempengaruhi terjadinya kejang. Hal ini terlihat dari risiko saudara kandung
untuk menderita kejang adalah sekitar 10-20% dan dapat lebih tinggi jika
orang tua juga memiliki riwayat kejang. Profilaksis terus menerus dengan
obat antiepilepsi tidak dianjurkan.1
2.6.8. Penanganan pertama saat di rumah
Hal yang harus dilakukan pertama saat dirumah dan berhadapan dengan
anak yang sedang kejang adalah tetap tenang dan jangan panik, jangan
memaksa atau memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Pastikan pasien aman
dengan menempatkan mereka pada lantai dan menyingkirkan benda-benda
yang bisa melukai mereka. Perhatikan waktu saat mulai dan berhentinya
kejang, karena hal ini penting untuk diketahui dokter. Setelah kejang berhenti,
tempatkan pasien dalam posisi tidur pada salah satu sisinya dan membuat
mereka nyaman. Jangan mengguncang pasien untuk membangunkan mereka
atau menahan pasien saat pasien mengalami kejang aktif. Bawalah pasien ke
dokter atau instansi kesehatan setempat sesegera mungkin.14
DAFTAR PUSTAKA

1. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British Columbia


Medical Association. 2010.
2. Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical Guidelines. NSW
Department of Health. 2009.
3. Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child With
a Simple Febrile Seizure. Pediatrics. 2011 Feb:2(127);390-394
4. Convulsions in Children. Pediatric Guidelines. 2006. October;1-3
5. Sampson HA dan Leung D. Seizures in Childhood. Di dalam: Kliegman et al.
Nelson Textbook of Pediatrics, 18th edition. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.
6. Fauci A, Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al. Epilepsy.
Di Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition: McGraw Hill.
2008.
7. Friedman M.J, Sharrieff G. Q. Seizures in Children. Pediatric Clin N Am.
2006;53:257-277
8. Major P, Thiele E.A. Seizures in Children: Determining the Variation. Pediatrics
in Review. 2007;28:363-371.
9. Breton A. N. Seizures: Stages, Types, and Care. 10th Emergency & Critical Care
UK Annual Congress. 2013
10. Deliana M. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri. 2002:2(4);59-
62.
11. Fallah R, Karbasi A.S, Golestan M. Efficacy and Safety of Lamotrigene in Lennox
– Gastaut Syndrome. Iran Journal Child Neurology. 2009 December;33-38.
12. Tavazolli A,Ghofrani M,Rouzrokh M,Eznollah A.Efficacy of Oxarbazepine Add
– On Therapy on Intractable Seizures in Children. Journal of Neuroscience and
Behavioural Health, 2010 September;3:30-34.
13. Rudolph C, Rudolph A, Lister G, First L, Gershon A. Rudolph’s Pediatrics 22nd
Edition. San Fransisco:McGraw-Hill. 2012.
14. Febrile Convulsions in Children. Victoria Departement of Health. December
2010.

Anda mungkin juga menyukai