Anda di halaman 1dari 36

Kasus 4

Bencana Merapi

Merapi sangat berbahaya karena mengalami erupsi setiap dua sampai lima tahun
sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat. Balai Penyelidikan dan
Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta
merekomendasikan peningkatan status dari “normal aktif” menjadi “waspada”
pada tanggal 20 September 2010. Setelah sekitar satu bulan, status berubah
menjadi “siaga”. Kemudian pada tanggal 25 Oktober status menjadi “awas”.
Walaupun berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak yang terkait,
termasuk sector kesehatan, rangkaian letusan Gunung Merapi pada November
2010 memakan korban nyawa 273 orang dan dievaluasi sebagai letusan terbesar.

Step I. Klarifikasi Istilah

1. Erupsi : keluarnya magma dari dalam bumi.


2. Normal aktif : gunung yang masih aktif memproduksi lahar dalam
batas normal.
3. Waspada : terjadi peningkatan kejadian berupa kel;ainan yang tampak
secara visual/hasil pemeriksaan kawah berupa gejala vulkanik.
4. Siaga : peningkatan aktifitas yang semakin nyata berupa letusan.
5. Awas : letusan awal/pertama terjadi semburan berupa abu/asap.

Step II. Daftar Masalah

1. Dampak yang terjadi ?


2. Penanggulangan bencana alam gunung meletus (siklus bencana) ?
3. Jenis-jenis bencana ?
4. Bantuan apa saja yang diperlukan dalam penanggulangan bencana ?
5. Management disaster planner?
6. Dasar hokum pada bencana (aspek ethic medicolegal) ?
Step III. Analisis Masalah

1. Dampak yang terjadi :


Psikologi Sosial ekonomi Medis
Depresi Kehilanang harta Trauma
benda
Anxietas Penurunan income Kecacatan
Paranoid Kehilangan pekerjaan Kematian
Phobia Kerusakan pangan Penurunan gizi
Waham Kerusakan alam Muncul penyakit
Halusinasi Kerusakan sarana baru sesuai
Ilusi prasarana kerakteristik bencana
Gangguan mood Kehilangan orang
Insomnia terdekat

2. Penanggulangan bencana alam gunung meletus (siklus bencana) :

Triase (merah,kuning,hijau,hitam) Surpey Primer

Evaluasi Resusitasi dan Stabilisasi

Transportase surpey sekunder

UGD RS, Rujukan Tindakan definitive

3. Jenis-jenis bencana :
A. Bencana alam
a. Tsunami
b. Gempa bumi
c. Banjir
d. Longsor
e. Kebakaran hutan
f. Angin putting beliung
g. Gunung meletus
B. Bencana non alam
a. Peperangan
b. Wabah penyakit
c. Kecelakaan
d. Kegagalan teknolig
e. Bom
f. Kebakaran

4. Bantuan apa saja yang diperlukan dalam penanggulangan bencana :


Psikologi Sosial ekonomi Medis
Support Dapur umum Ambulans
Berikan hiburan Sediakan MCK Obat-obatan
Pendekatan psikologi Tempat pengungsian Posko kesehatan
Tenda cinta yang layak
Pendekatan aspek Kebutuhan pangan Tandu dan kantung
keagamaan sandang mayat
Membuat Bantuan air bersih,
club/kelompok sosial tenda, pembalut,
makanan

5. Management disaster planner :


Sistem Nasional Penanggulangan Bencana Legislasi

Perencanaan Kelembagaan Pendanaan

Pengembangan Kapasitas

Penyelenggaraan
a. Prabencana
- Peringatan dini
- Kesiapsiagaan
- Pencegahan
b. Saat bencana
- Tanggap darurat
- Bantuan darurat
c. Pasca bencana
- Pemulihan
- Rehabilitas
- Rekonstruksi

6. Dasar hukum pada bencana (aspek ethic medicolegal) : SB

Step IV. Main Problem

Bencana medicolegal permasalahan

Tanggap Bencana

Disaster Management bantuan dampak

Step V. Sasaran Belajar

1. Dasar hukum ?
2. Penanganan tim kesehatan ?
3. disaaster planner ?

Step VI. Belajar Mandiri


Step VII. Kesimpulan

1. Dasar hukum :
A. Aspek medicolegal
Aspek medicolegal adalah pelayanan kedokteran untuk
memberikan bantuan profesional yang optimal dalam
memanfaatkan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan
hokum dan keadilan.
Ada 5 bidang medicolegal :
a. Pelayanan forensic medic
b. Pelayanan forensic patologi
c. Pelayanan laboraturium kedokteran forensic
d. Pelayanan konsultasi medicolegal
e. Pelayanan bank jaringan

B. Aspek hukum kesehatan lingkungan


UU hukum kesehatan dalam pasal 22 tentang kesehatan
lingkungan:
a. Kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan
kualitas lingkungan hidup.
b. Kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum,
lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan
lingkungan lainnya.
c. Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara,
pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan
kebisingan, pengendalian vector penyakit dan penyehatan atau
pengamatan lainnya.
d. Setiap tempat atau sarana pelayanan umum wajib memeliharan
dan menyehatkan lingkungan yang sehat sesuai dengan standar
dan pelayanan.

Sanksi hukum bagi yang melanggar ketentuan tentang kesehatan


lingkungan terdapat pada pasal 84, yaitu : menyelenggarakan
tempat atau sarana yang tidak memenuhi ketentuan standard an
atau persyaratan lingkungan yang sehat sebagaimana dimaksud
dalam pasal 23 ayat (4) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp
15.000.000,- (lima belas juta rupiah). (Hanafiah dan Amri, 1999)

C. UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Jawab melindungi


bahwa Negara segenap bangsa
Kesatuan Indonesia
Republik dan
Indonesia
Menimbang : a. seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk
bertanggung
memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan
penghidupan termasuk perlindungan atas bencana,
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang
berlandaskan ancasila, sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
b. Bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan
demografis yang memungkinkan terjadinya bencana,
baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor
nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang
dalam keadaan tertentu dapat menghambat
pembangunan nasional.
d. Bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai penanggulangan bencana yang ada belum
dapat dijadikan landasan hokum yang kuat dan
menyeluruh serta tidak sesuai dengan perkembangan
keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia
sehingga menghambat upaya penanggulangan bencana
secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu.
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
membentuk Undang-Undang tentang Penanggulangan
Bencana.

Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan Persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGGULANGAN
BENCANA

BAB I KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.
2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan
oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan
tanah longsor.
3. Bencana nonalam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
4. Bencana sosial adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat,
dan teror.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi.
6. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk
menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.
7. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna
dan berdaya guna.
8. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan
pemberian peringatan sesegera mungkin kepada
masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana
pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
9. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi
risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
10. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian
bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
11. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua
aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat
yang memadai pada wilayah pascabencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya
secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pascabencana.
12. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah
pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hokum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
13. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau
peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.

14. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik


geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis,
sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada
suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang
mengurangi kemampuan mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk
menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
15. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan
hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan
kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan
melakukan upaya rehabilitasi.
16. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan
risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman
bencana maupun kerentanan pihak yang terancam
bencana.
17. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan
kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian,
luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat.
18. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan
bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saat
keadaan darurat.
19. Status keadaan darurat bencana adalah suatu
keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk
jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi Badan
yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana.
20. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang
terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya
untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat
dampak buruk bencana.
21. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok
orang, dan/atau badan hukum.
22. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang
yang menderita atau meninggal dunia akibat bencana.
23. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
24. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota,
atau perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara
pemerintahan daerah.
25. Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat
berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang menjalankan jenis usaha tetap dan
terus menerus yang bekerja dan berkedudukan dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
26. Lembaga internasional adalah organisasi yang berada
dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi
internasional lainnya dan lembaga asing
nonpemerintah dari negara lain di luar Perserikatan
Bangsa-Bangsa.

BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2

Penanggulangan bencana berlandaskan Pancasila dan Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3

(1) Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal


2 berasaskan:
a. kemanusiaan
b. keadilan
c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan
d. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian
e. ketertiban dan kepastian hokum
f. kebersamaan
g. kelestarian lingkungan hidup
h. ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yaitu:
a. cepat dan tepat
b. prioritas
c. koordinasi dan keterpaduan
d. berdaya guna dan berhasil guna
e. transparansi dan akuntabilitas
f. kemitraan
g. pemberdayaan
h. nondiskriminatif
i. nonproletisi.

Pasal 4

Penanggulangan bencana bertujuan untuk:


a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman
bencana;
b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
d. menghargai budaya lokal;
e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan; dan
g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

BAB III
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG

Pasal 5

Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab


dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Pasal 6

Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan


penanggulangan bencana meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan
risiko bencana dengan program pembangunan;
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi
yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan
standar pelayanan minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana
dalam bentuk dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dankredibel dari
ancaman dan dampak bencana.

Pasal 7

(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan


penanggulangan bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras
dengan kebijakan pembangunan nasional;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang
memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan
bencana;
c. penetapan status dan tingkatan bencana
nasional dan daerah;
d. penentuan kebijakan kerja sama dalam
penanggulangan bencana dengan negara lain,
badan-badan, atau pihak-pihak internasional lain;
e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi
yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya
bencana;
f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan
pengurasan sumber daya alam yang melebihi
kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan
g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau
barang yang berskala nasional.
(2) Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
memuat indikator yang meliputi:
a. jumlah korban;
b. kerugian harta benda;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana;
e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan
tingkatan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 8

Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan


penanggulangan bencana meliputi:
a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang
terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan
risiko bencana dengan program pembangunan; dan
d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai.
Pasal 9

Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan


penanggulangan bencana meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada
wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah;
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan
unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
c. pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan
bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;
d. pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai
sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya;
e. perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan
pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan
alam pada wilayahnya; dan
f. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau
barang yang berskala provinsi, kabupaten/kota.

BAB IV
KELEMBAGAAN

Bagian Kesatu
Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Pasal 10

(1) Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5


membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
(2) Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan Lembaga Pemerintah
Nondepartemen setingkat menteri.
Pasal 11

Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 10 ayat (1) terdiri atas unsur:
a. pengarah penanggulangan bencana;
b. pelaksana penanggulangan bencana.

Pasal 12

Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas:


a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan
bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan
rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan;
c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana
kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi
normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan
sumbangan/bantuan nasional dan internasional;
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang
diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan; dan
h. menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah.
Pasal 13

Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai fungsi


meliputi:
a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak
cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan
b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Pasal 14

(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 11 huruf a mempunyai fungsi:
a. merumuskan konsep kebijakan penanggulangan
bencana nasional;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. pejabat pemerintah terkait;
b. anggota masyarakat profesional.
(3) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dipilih melalui uji kepatutan yang
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
Pasal 15

(1) Pembentukan unsure pelaksana penanggulangan bencana


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b
merupakan kewenangan Pemerintah.
(2) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai fungsi koordinasi, komando, dan pelaksana
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(3) Keanggotaan unsur pelaksana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas tenaga profesional dan ahli.

Pasal 16

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13


huruf b, unsure pelaksana penanggulangan bencana mempunyai
tugas secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat;
c. pascabencana.
Pasal 17

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas,


struktur organisasi, dan tata kerja Badan Nasional Penanggulangan
Bencana diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kedua
Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Pasal 18

(1) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 5 membentuk Badan Penanggulangan Bencana
Daerah.
(2) Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang
pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat
eselon Ib;dan
b. badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh
seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota
atau setingkat eselon IIa.

Pasal 19

(1) Badan Penanggulangan Bencana Daerah terdiri atas unsur:


a. pengarah penanggulangan bencana;
b. pelaksana penanggulangan bencana.
(2) Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Pasal 20

Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai fungsi:


a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak
cepat dan tepat, efektif dan efisien; serta
b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Pasal 21
Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas:
a. menetapka pedoman dan pengarahan sesuai dengan
kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan
bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta
rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan
penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan;
c. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta
rawan bencana;
d. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan
bencana;
e. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana
pada wilayahnya;
f. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana
kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi
normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
g. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan
barang;
h. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang
diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan.

Pasal 22

(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana daerah


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a
mempunyai fungsi:
a. menyusun konsep pelaksanaan kebijakan
penanggulangan bencana daerah;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana daerah.
(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. pejabat pemerintah daerah terkait; dan
b. anggota masyarakat profesional dan ahli.
(3) Keanggotaan unsure pengarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dipilih melalui uji kepatutan yang
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 23

(1) Pembentukan unsure pelaksana penanggulangan bencana


daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
huruf b merupakan kewenangan pemerintah daerah.
(2) Unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi:
a. koordinasi;
b. komando; dan
c. pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana pada wilayahnya.
(3) Keanggotaan unsure pelaksana penanggulangan bencana
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
tenaga profesional dan ahli.

Pasal 24

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 23 ayat (2), unsur pelaksana penanggulangan bencana
daerah mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat;dan
c. pascabencana.

Pasal 25

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas,


struktur organisasi, dan tata kerja Badan Penanggulangan Bencana
Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.

(UU RI No.24, 2007)

2. Penanganan tim kesehatan :

A. Prabencana
Perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan pada masa prabencana
menyangkut penempatan SDM Kesehatan dan pembentukan Tim
Penanggulangan Krisis akibat Bencana. Dalam perencanaan
penempatan SDM Kesehatan untuk perayanan kesehatan pada
kejadian bencana perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
a. Analisis risiko pada wilayah rawan bencana
b. Kondisi penduduk di daerah bencana (geografi, populasi,
ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya)
c. Ketersediaan fasilitas kesehatan
d. Kemampuan SDM Kesehatan setempat
e. Kebutuhan minimal pelayanan kesehatan di wilayah setempat

Sementara itu, dalam pembentukan Tim Penanggulangan Krisis


akibat Bencana perlu diperhatikan hal-hal berikut.
a. Waktu untuk bereaksi yang singkat dalam memberikan
pertolongan.
b. Kecepatan dan ketepatan dalam bertindak untuk
mengupayakan pertolongan terhadap korban bencana
sehingga jumlah korban dapat diminimalkan.
c. Kemampuan SDM Kesehatan setempat (jumlah dan
jenis serta kompetensi SDM Kesehatan setempat)
d. Kebutuhan minimal pelayanan kesehatan pada saat
bencana.

Disamping upaya pelayanan kesehatan (kegiatan teknis medis)


diperlukan ketersediaan SDM Kesehatan yang memiliki
kemampuan manajerial dalam upaya penanggulangan krisis
akibat bencana. Untuk mendukung kebutuhan tersebut, maka tim
tersebut harus menyusun rencana:
a. Kebutuhan anggaran (contingency budget).
b. Kebutuhan sarana dan prasarana pendukung.
c. Peningkatan kemampuan dalam penanggulangan krisis
akibat bencana.
d. Rapat koordinasi secara berkala.
e. Gladi posko dan gladi lapangan.

B. Saat dan pascabencana


Pada saat terjadi bencana perlu diadakan mobilisasi SDM
Kesehatan yang tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan
Krisis yang meliputi Tim Gerak Cepat, Tim Penilaian Cepat
Kesehatan (Tim RHA) dan Tim Bantuan Kesehatan. Koordinator
Tim dijabat oleh Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi/Kasbupaten/Kota (mengacu Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1653/Menkes/SK/XII/2005).

Kebutuhan minimal tenaga untuk masing-masing tim tersebut,


antara lain:
a. Tim Gerak Cepat, yaitu tim yang diharapkan dapat
segera bergerak dalam waktu 0-24 jam setelah ada
informasi kejadian bencana. Tim Gerak Cepat ini terdiri
atas:

1). Pelayanan Medis


a. Dokter umum/BSB : 1 orang
b. Dokter spesialis : 1 orang
c. Dokter spesialis anastesi : 1 orang
d. Perawat mahir (perawat bedah, gawat darurat) : 2 orang
e. Tenaga DVI : 1 orang
f. Apoteker : 1 orang
g. Supir ambulans : 1 orang
2). Surveilans : 1 orang
Ahli epidemiologi/Sanitarian
3). Petugas Komunikasi : 1 orang
Tenaga-tenaga di atas harus dibekali minimal
pengetahuan umum mengenai bencana yang dikaitkan
dengan bidang pekerjaannya masing- masing.
b. Tim RHA, yaitu tim yang bisa diberangkatkan bersamaan
dengan Tim Gerak Cepat atau menyusul dalam waktu kurang
dari 24 jam. Tim ini minimal terdiri atas:
1) Dokter umum : 1 orang
2) Ahli epidemiologi : 1 orang
3) Sanitarian : 1 orang
c. Tim Bantuan Kesehatan, yaitu tim yang diberangkatkan
berdasarkan kebutuhan setelah Tim Gerak Cepat dan Tim
RHA kembali dengan laporan dengan hasil kegiatan mereka
di lapangan. Tim Bantuan Kesehatan tersebut terdiri atas:
No. Jenis Tenaga Kompetensi Tenaga

1. Dokter Umum PPGD/ GELS/ATLS/ACLS

2. Apoteker dan Asisten Apoteker Pengelolaan Obat dan Alkes

Perawat (D3/Sarjana Emergency


3.
Keperawatan) Nursing/PPGD/BTLS/PO
4. Perawat Mahir NED/PONEK/ICU
Anestesi/Emergency Nursing

5. Bidan (D3 Kebidanan) APN dan PONED

Sanitarian (D3 Kesling/Sarjana Penanganan Kualitas Air


6.
( Kesmas) Bersih dan Kesling
D Ahli Gizi (D3/D4 Gizi/Sarjana
7. Penanganan Gizi Darurat
e Kesmas)
p Tenaga Surveilens (D3/D4
8. Surveilens Penyakit
a Kesehatan/Sarjana Kesmas)
9.
r Ahli Entomolog (D3/D4
Kesehatan/ Sarjana Pengendalian Vektor
Kesmas/Sarjana Biolog)

(Siti Fadilah S, 2006)


(Edy Sugiarto, 2012)

3. Disaster planner :
Bencana adalah rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam atau
manusia yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia,
kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana dan
prasarana umum serta menimbulkan gangguan tata kehidupan dan
penghidupan, yang memerlukan pertolongan dan bantuan secara
khusus.
Kategori Bencana / Disaster
Yang termasuk dalam kategori bencana / disaster di Rumah Sakit harus
di tetapkan oleh rumah sakit itu sendiri, sebagai contoh misalnya :
a. Intern
Bencana yang berasal dari intern rumah sakit dan menimpah rumah
sakit dengan segala obyek vitalnya yaitu pasien, pegawai, material,
dan dokumen. Contoh : Kebakara.
b. Ekstern
Bencana bersumber/berasal dari luar rumah sakit yang dalam
waktu singkat mendatangkan korban bencana dalam jumlah
melebih rata – rata / keadaan biasa sehingga memerlukan
penanganan khusus, dan mobilisasi tenaga pendukung lainnya.
Contoh : Korban keracunan massal, korban kecelakaan missal.
(Pusponegoro, 2011).

TIM Disaster
Pengorganisasian Tim Disaster Rumah Sakit, yang mana
anggotanya terdiri dari setiap unit kerja terkait dengan tugas, fungsi
dan wewenangnya masing – masing, sebagai berikut :
1. Pimpinan Disaster
Pada saat jam dinas kantor yang bertindak sebagai pimpinan
disaster adalah Wadir Umum rumah sakit, dan di luar jam
kantor yang bertindak sebagai pimpinan disaster adalah Kepala
Jaga yang bertugas saat itu sebagai pengganti direktur rumah
sakit.
Berwenang :
- Menentukan keadaan bencana
- Menentukan tingkat siaga
- Memobilisasi Tenaga
Bertugas :
- Mengkoordinasi segenap unsur di rumah sakit yang
bertugas menanggulangi bencana.
- Berkoordinasi dengan unsur dari luar rumah sakit bilamana
dipandang perlu, setelah berkonsultasi dengan direktur
Rumah Sakit.
2. Tim Evakuasi
Terdiri dari perawat, petugas kebersihan, petugas administrasi
dan keuangan.
Tugas :
- Membantu pasien dan keluarganya untuk keluar dari
gedung rumah sakit menyelamatkan diri.
- Menyelamatkan harta benda milik rumah sakit dan pasien.
3. Tim Keamanan
Adalah Satuan Pengamanan dari rumah sakit.
Tugas :
- Mengamankan lokasi bencana dari orang-orang yang tidak
bertanggung jawab
- Mengamankan jalur lalulintas ambulan, tenaga medis,
dokumen-dokumen, dan harta benda.
- Mengamankan jalur transportasi intern rumah sakit.
4. Tim Medis
Dipimpin oleh dokter IGD yang bertugas saat itu dan dibantu
oleh perawat IGD.
Berwenang :
- Menentukan kondisi kegawatdarurat korban
- Menentukan penanganan lanjut untuk para korban,
misalnya dirujuk atau tidak
- Menentukan tempat rujukan yang tepat buat korban

Bertugas :

Memberikan pertolongan medis pertama kepada korban


bencana
5. Tim Logistik Umum
Adalah petugas dapur dan laundry
Bertugas :
Melakukan perencanaan dan menyediakan logistik umum yang
dibutuhkan oleh petugas maupun korban bencana yang
dibutuhkan saat itu.
6. Tim penunjang
Tim Penunjang ini terdiri dari :
- Penunjang medik yaitu radiologi, farmasi, laboratorium,
ambulan, rekam medis yang bertugas memberikan bantuan
penunjang medis sesuai bidangnya.
- Penunjang Umum yaitu petugas tekhnik akan memberikan
bantuan penunjang yang sifatnya umum seperti
mengamanan kelistrikan agar tetap berfungsi dan dapat
memberikan tenaga listrik sesuai kebutuhan dan bantuan
komunikasi, serta bantuan umum yang lain yang
dibutuhkan saat bencana.
7. Tim khusus
Adalah petugas / perawat di Kamar Operasi

● Bila ada operasi yang sedang berlangsung dan operasi harus


diselasaikan maka operasi diselesaikan dan ditutup
sementara, maka petugas kamar operasi
Bertugas :
- Mengupayakan tenaga listrik tetap terjamin dengan
berkoordinasi petugas tekhnik.
- Berkoordinasi dengan pimpinan disaster untuk kondisi
dan situasi bencana
- Petugas Kamar Operasi berwenang menghentikan
kegiatan operasi dan mengevakuasi pasien bilamana
situasi bencana tidak memungkinkan lagi.
● Bila tidak ada operasi/operasi baru dimulai maka
operasi dihentikan dan dilakukan evakuasi pasien oleh
petugas kamar operasi sesuai ketentuan.
● Bila Korban bencana dari luar Rumah Sakit, maka
perawat Kamar Operasi berperan menyiapkan segala
sesuatu untuk persiapan operasi, baik kamar operasi
yang akan digunakan, tim oparasi yaitu dokter anastesi
dan dokter operator, dll, bagi korban yang memerlukan
tindakan operasi segera.
● Perawat OK dapat dalam keadaan stand by di tempat
atau bila diperlukan perawat OK dapat menjemput
korban yang telah tiba di IGD rumah sakit.
(Pusponegoro, 2011).

PENANGGULANGAN BENCANA DARI LUAR RUMAH SAKIT


I. Metodelogi
Bencana dari luar rumah sakit akan mendatangkan korban yang
bersifat massal, karenanya berdasarkan jumlah korban yang datang
bencana dengan korban missal dibagi menjadi 3 tingkat yaitu
- Siaga 3 : jumlah korban yang datang 3 – 4 orang saja
Dokter IGD dan Perawat IGD yang berdinas dibantu oleh perawat
poliklinik agar dapat memenuhi kebutuhan tenaga.
- Siaga 2 : jumlah korban yang datang 5 – 10 orang ,diperlukan
tambahan tenaga perawat dari Perawatan lantai II sesuai
kebutuhan.
- Siaga 1 : jumlah korban yang datang lebih dari 10 orang
Diperlukan tambahan tenaga dari unit pelayanan perawatan lantai
II dan lantai III, serta perawat yang sedang tidak berdinas (di
asrama maupun di rumah).
Keadaan siaga ini ditentukan oleh Dokter IGD yang
berdinas pada saat itu, yang selanjutnya dilaporkan kepada
Pimpinan Disaster (WadirUm). Triage dipimpin oleh dokter IGD
bersama perawat IGD. Penanggulangan awal penderita dilakukan
oleh dokter IGD, perawat IGD, tenaga perawat dari ruangan lain
yang dimobilisasikan.
Korban dikelompokkan dalam 5 kelompok korban dan
diberi label sebagai berikut :
- Label Merah : Penderita yang memerlukan tindakan cepat, live
saving sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian .
- Label Biru : Penderita yang trauma kepala berat dan
pendarahan dalam rongga perut.
- Label Kuning : Penderita dengan trauma ringan atau hanya
memerlukan tindakan bedah minor, yang selanjutnya korban
diperbolehkan pulang.
- Label Hijau : Penderita yang tidak mengalami luka dan bila
dibiarkan tidak berbahaya.
- Label Hitam : Penderita yang sudah meninggal dunia.
Pada label dituliskan : nama korban, umur, jenis kelamin, alamat
pasien Bila korban tidak dikenal ditulis “tidak dikenal”.
(Pusponegoro, 2011).
II. Organisasi
Dalam keadaan bencana / disaster plan seperti ini maka secara otomatis
pengorganisasian penanggulangan bencana yang telah ditetapkan menjadi
aktif. (Pusponegoro, 2011).

Triase
Triase berasal dari bahasa perancis trier artinya macam (bermacam –
macam) bermacam – macam dalam menilai gangguan. Triase adalah suatu
proses yang dinamik. Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar
beratnya cedera atau penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat
darurat serta transportasi. Triage adalah suatu sistem seleksi pasien yang
menjamin supaya tidak ada pasien yang tidak mendapatkan perawatan medis.
(Pusponegoro, 2011).
Prinsip Triage
Seleksi korban berdasarkan :
1. Ancaman jiwa yang dapat mematikan (dalam ukuran menit)
2. Dapat mati (dalam ukuran jam)
3. Ruda paksa ringan
4. Sudah meninggal

Macam – macam system triage yang dipakai pada korban masal yang
memudahkan personil medic dengan cepat dapat melakukan:
1. Menilai tanda vital dan keadaan pasien
2. Menilai kebutuhan medic dari pasien
3. Menilai kemungkin hidup pasien
4. Menilai sasaran kesehatan yang ada ditempat
5. Membuat prioritas penanggulangan pasien
6. Memasang colour tag sesuai dengan prioritas pasien.

Tipe triage
Single Patient Triage
Pada satu pasien pada fase pra RS maupun pada fase RS – UGD dalam Day to
Day Emergency dimana pasien dikategorikan kedalam True Emergency ( ada
masalah dengan Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure), (hipotermi
/ hipertermi), dan false Emergensy ( tidak ada masalah diatas).
Dasar dari cara triage ini adalah menanggulangi pasien dapat meninggal bila
tidak dilakuakan resusitasi.
Single patien triage dapat juga di bagi dalam 3 kategori :
1. Emergent/ immediate/ priority: pasien dalam kategori ini harus mendapatkan
prioritas pertama. Tindakan sudah dilakukan pada fase pra RS/ di dalam
ambulans, setiba di UGD. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah cedera
berat, infark miokard akut, gangguan airway, syok, anafilaksis.
2. Urgent/ prioritas pasien dalam kategori ini harsu sudah di tanggulangi dalam
beberapa jam. Termasuk yang secara fisiologik stabil tetapi dapat memburuk
bila tidak di tanggulangi dalam beberapa jam yaitu cedera spinal, stroke /
cereberal vascular accident, appendiksitis, cholesistitis.
3. Non urgent/ delayed/ priority, dalam kategori ini termasuk pasien – pasien
yang dapat jalan walking wounded. Meraka termasuk pasien yang secara
hemodinamik stabil tetapi dengan cedera yang nyata yaitu laserasi kulit,
kontusio, abrasi & lukan lain, fraktur tulang pendek serta sendi dan demam.
4. Mati/ nonsalvageable, sudah tidak bernafas meskipun telah dibebaskan jalan
nafas akut atau cedera berat, perdarahan massif, luka bakar >90%
dikategorikan merah. Area yang tidak jelas dapat bertahan hidup atau tidak
meskipun setelah di lakukan resusitasi dan tindakan maksimum.
(Pusponegoro, 2011).

Roution Multiple Casualty Triage


1. Simple triage & rapid treatment (STRAT).
START memungkinkan seseorang melakukan triase pada seorang pasien
dalam 60 detik atau lebih cepat dengan mengevaluasi respirasi, perfusi dan
status mental pasien.
2. Prinsip dari start adalah untuk mengatasi ancaman nyawa, jalan nafas yang
tersumbat dan perdarahan massif arteri. START dapat dengan cepat dan
akurat mengklasifikasi pasien ke dalam empat kelompok:
a. Hijau, penderita yang tidak mengalami luka dan bila di biarkan tidak
berbahaya
b. Label kuning / delayed penderita dengan trauma ringan / hanya
memerlukan tindakan bedah minor yang selanjutnya korban di
perbolehkan pulang
c. Biru, penderita yang trauma kepala berat dan perdarahan dalam rongga
perut
d. Merah/ immediate, penderita yang memerlukan tindakan cepat,
pernapasan >30/ menit, capillary refill >2 detik juga pasien yang keadaan
kesadaran menurun, live saving sehingga terhindar dari kecacatan/
kematian. (Pusponegoro, 2011).
Skema START (Pusponegoro, 2011).
Daftar Pustaka

Supari, Siti fadilah. 2006. Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia


(SDM) Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Sugiarto, Edy. 2012. Bahan Kuliah “ Manajemen Bencana IKM”. Cirebon


: FK UNSWAGATI

Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2008 tentang


Penanggulangan Bencana Daderah.2012

Hanafiah, M. Jusuf dan Amir, amri. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan. Jakarta : EGC

Pusponegoro, Aryono,,dkk.2011. Basic Trauma Life Support and Basic


Cardiac Life Support. Jakarta : Diklat Yayasan Ambulans
Gawat Darurat.

Syamsuhidayat, R. 2004. Buku Ajar ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC

Santri, Widyandara,,dkk. 2011. Modul Penelitian Manajemen Bencana


Dalam Perspektif Kedokteran. Yogyakarta : FK UGM

American College of Surgeons Committee on Trauma. 2004. Disasters


and mass casualities. Resources for optimal care of the injuri
patient.

Butler DL, Anderson PS. 1999. The use of wide area computer network in
disasters management and implications for hospital/medical
network, annuals of the new York academi of sciences.

Pendit, Brahm U. 1999. Manajemen Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta


: EGC.

Anda mungkin juga menyukai