Pada tugas khusus ini, penulis akan melakukan studi terhadap HC di Pabrik Tonasa
IV dan melakukan evaluasi dari faktor – faktor yang berpengaruh terhadap nilai HC pada
pabrik tersebut. Hasil yang didapatkan nantinya diharapkan dapat menjadi evaluasi dan
Fraksi
Komponen BM
%
C 12,00 35,00
H 1,00 5,30
O 16,00 39,96
N 14,00 0,38
S 32,00 0,12
Abu (ash) 18,57
H2O 18,00 0,67
Nilai Kalor Sekam 2650
Nilai kalori dari batubara yang digunakan dalam proses pembakaran minimal
4237 kcal/kg batubara yang disupply ke kiln dan calsiner. Dengan kehalusan
batubara maksimum 20% untuk ayakan 90 µm dan maksimum 1% untuk
ayakan 200 µm serta kandungan air dalam batubara maksimum 8.5%.
Kandungan chlorine yang masuk dalam proses pembakaran ≤ 0.023% dari basis
clinker, sedangkan untuk kandungan sulfur ≤ 300 g/100 kg clinker.
Dalam hal ini, kiln feed yang perlu dikontrol dari segi jumlah dan
karakteristik kiln feed yang berpengaruh terhadap proses pembakaran. Adapun
parameter yang perlu diperhatikan pada kiln feed yaitu :
Rating
Pada prinsipnya untuk menaikkan atau menurunkan kiln feed
didasarkan pada kondisi temperatur dikiln maupun di suspension preheater
serta torque dari kiln main drive. Temperatur di suspension preheater yang
perlu diperhatikan pada waktu akan melakukan perubahan feeding adalah :
1. Temperatur top cyclone dijaga pada temperatur < 400 oC.
o
2. Temperatur raw mix inlet dijaga pada temperatur 820 C, apabila
temperatur dibawah tersebut maka dilakukan pengurangan feeding atau
bila masih mungkin ditambah bahan bakar.
3. Temperatur gas sesudah precalsiner, untuk kondisi kiln yang
menggunakan precalsiner maka harus dijaga range temperaturnya.
Tingkat kehalusan
Raw mix makin halus, artinya luas permukaan juga makin besar. Akan tetapi,
ada efek negatif yang lain bila raw mix terlalu halus yaitu :
1. Perlu power yang lebih tinggi di raw mill untuk menggiling sampai raw
mix menjadi lebih halus.
2. Banyak material yang kembali ke top cyclone.
Jurusan Teknik Kimia – Fakultas Teknologi Industri 12
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
2. Kualitas Bahan bakar
Jenis bahan bakar yang digunakan serta kualitasnya mempunyai pengaruh
terhadap specific heat consumption. Pengaruh dari kualitas bahan bakar yang
perlu diperhatikan yaitu:
Jenis bahan bakar
Besarnya jumlah gas pembakaran dan komposisi kimia dari gas buang
mempunyai perbedaan ketika menggunakan bahan bakar batubara, minyak
(solar) atau gas. Perbedaan lainnya yaitu dari jumlah dari ash yang
dimasukkan kedalam clinker dari bahan bakar. Karena perbedaan tersebut,
maka specific heat consumption akan bervariasi ketika menggunakan bahan
bakar yang berbeda. Sehingga perlu dipertimbangkan untuk menentukan
jenis bahan bakar apa yang menguntungkan untuk spesifik dari proses di
pabrik.
Nilai kalori dari bahan bakar
Nilai kalor bersih dari bahan bakar adalah jumlah penggunaan panas
yang dilepaskan selama proses pembakaran. Nilai kalor bersih ini diketahui
mempunyai pengaruh terhadap heat consumption pada sistem kiln.
Pengaruhnya nilai kalor bersih terhadap heat consumption yaitu semakin
rendah nilai kalor bersih maka semakin tinggi heat consumption di dalam
kiln. Sedangkan nilai kalor bersih untuk jenis bahan bakar minyak relatif
konstan, tetapi sedikit tergantung pada rasio hidrogen / karbon dan
kandungan sulfur dalam minyak. Oleh karena itu konsumsi panas dan
parameter lainnya tidak akan berubah signifikan untuk jenis bahan bakar
minyak yang lainnya.
Bahan bakar batubara memiliki perbedaan yang jauh lebih besar
dalam nilai kalori bersih dan heat consumption di kiln dapat bervariasi
tergantung pada jenis batubara dan kadar abu yang digunakan. Batubara
dengan nilai kalor rendah cenderung lebih murah secara kalori dibandingkan
batubara bermutu tinggi. Karena itu, bahan bakar ini banyak menarik minat
untuk pabrik semen dan dalam kenyataannya batubara dengan kelas rendah
banyak digunakan oleh pabrik semen. Namun, penggunaan dari batubara
kelas rendah tergantung pada heat consumption yang dihasilkan pada operasi
kiln.
Jumlah uap air dalam batubara
Jurusan Teknik Kimia – Fakultas Teknologi Industri 13
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Sebagian dari uap air dibiarkan tetap didalam batubara untuk
mencegah terjadinya pembakaran otomatis dari batubara, sementara terlalu
banyak uap air didalam batubara juga harus dihindari karena akan
mengurangi kemampuan transportasi batubara. Selain itu semakin tinggi
kandungan air dibatubara makan nilai kalor akan semakin turun.
Uap air yang terkandung dalam fine coal akan masuk didalam kiln dan
preheater sebagai uap aktif, yang akan meningkatkan volume gas buang dan
meningkatkan panas yang hilang bersama dengan gas yang keluar.
Tabel V.4 Pengaruh kualitas bahan bakar terhadap heat consumption
Kualitas bahan bakar Pengaruh terhadap heat consumption
Jenis bahan bakar :
Basis pembakaran menggunakan bahan bakar
minyak pada sistem kiln
Ketika dikonversi ke pembakaran dengan gas Menambah 12 kcal/kg clinker
Ketika dikonversi ke pembakaran dengan
batubara Menambah 12 kcal/kg clinker
3. Distribusi udara
Distribusi udara dalam sistem kiln memiliki pengaruh yang besar terhadap heat
consumption. Untuk jenis udara pada sistem kiln terdiri dari :
Udara primer
Udara primer adalah udara yang dialirkan langsung melalui pipa ke gun
burner didalam kiln sebagai salah satu sumber oksigen untuk pembakaran.
Udara primer harus selalu diminimalkan karena akan merugikan kebutuhan
1.3. Metodologi
Kerja Praktek ini dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2014 sampai dengan 25
Juli 2014 di Pabrik Semen PT. Semen Tonasa unit IV Kabupaten Pangkep,
Sulawesi Selatan, pada Biro Perencanaan Operasi dan Evaluasi Proses.
Dari data diatas dapat diketahui bahwa Heat consumption pada Pabrik Tonasa IV
untuk per kg clinker adalah sebesar 873 kcal. Kebutuhan panas yang paling besar di supply
dari bahan bakar batu bara yaitu sebesar 850,7 kcal/kg clinker, sehingga ada beberapa
aspek yang berpengaruh terhadap Heat consumption.
Perbandingan Pabrik
Udara Semen Cibinong Semen Padang Semen Padang Semen Semen Semen Tonasa
Narogong Indarung V Indarung III Baturaja Bosowa Tonasa IV 2014
Tertiary air 0,36 0,55 0,00 0,61 0,75 0,23
% 16,84 28,09 0,00 24,92 33,50 8,44
Secondary air 0,30 0,30 0,77 0,33 0,34 0,76
% 14,08 15,17 88,34 13,45 14,98 27,89
Quartenary air 0,09 0,02 0,05 0,35 0,04 0,32
% 4,29 1,11 6,16 14,23 1,60 11,67
Excess 1,38 1,09 0,05 0,85 1,12 1,41
% 64,79 55,63 5,50 34,80 49,92 51,85
Total air from
cooler fan 2,13 1,96 0,87 2,43 2,24 2,73
Dengan perbandingan ini terlihat bahwa udara tersier Tonasa IV terukur hanya 0,23 kg/kg-
clinker atau hanya 8,44% dari total udara cooler digunakan sebagai udara tersier menuju ke
kalsiner dimana untuk pabrik lain berkisar antara 16,84% sampai 33,5% dari total udara
cooler. Untuk udara sekunder Tonasa IV terukur 0,76 kg/kg-clinker atau 27,89% dari total
udara cooler sedangkan untuk pabrik lain sekitar 13,45% sampai 14,98% dari total udara
cooler ( untuk Semen Padang pabrik Indarung III tidak menggunakan udara tersier untuk
pembakaran kalsiner ). Dari sini terlihat bahwa adanya indikasi awal udara untuk
pembakaran bahan bakar di kalsiner di bawah standar yang seharusnya.
Perbandingan antara teoritis dan hasil pengukuran menunjukkan bahwa minimal kebutuhan
udara tersier untuk pembakaran di kalsiner sebanyak 0,76 kg/kg-ck. Setelah dibandingkan
dengan hasil pengukuran dapat terlihat bahwa supply udara tersier adalah 0,231 kg/kg-ck
jauh lebih kecil daripada jumlah udara yang dibutuhkan untuk terjadinya pembakaran
sempurna di kalsiner. Hal ini mengindikasikan bahwa karbon (C) pada bahan bakar batu
bara dan sekam tidak bereaksi sempurna dengan oksigen (O 2) membentuk CO2 dan adanya
CO yang terbentuk. Akibat dari tidak terbentuknya CO 2 adalah kehilangan panas yang
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar menurut reaksi sebagai berikut:
1. Reaksi Pembakaran Sempurna
C + O2 = CO2 + 97600 cal
12g C + 32g O2 = 44g CO2 + 97600 cal
1 kg C + 2,666 kg O2 = 3,666 kg CO2 + 8100 kcal
2. Reaksi Pembakaran Tidak Sempurna
C + O2 = CO
Untuk reaksi pembakaran sempurna, setiap 1 kg karbon terbakar menghasilkan panas 8100
kcal. Sedangkan untuk reaksi pembakaran tidak sempurna hanya menghasilkan 2400 kcal
untuk setiap 1kg karbon terbakar sehingga panas hilang akibat pembakaran tidak sempurna
sebanyak 5700 kcal/kg-karbon. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab heat
consumption akan naik untuk menggantikan kehilangan panas akibat pembakaran tidak
sempurna. Untuk pembuktian lebih lanjut dapat dilakukan pengukuran dengan gas
analyzer pada outlet gas dari kalsiner menuju preheater. Apabila komposisi CO yang
terbaca rendah mengindikasikan bahwa bahan bakar terbakar dengan oksigen yang cukup.
LOI STRING 1
Calc degree (%) 91,341
LOI STRING 2
Calc degree (%) 91,717
Calc.deg. Avrge. 91,529
Dari data pengukuran LOI raw meal pada siklon 5 dan 10 dan dengan LOI pada kiln feed
hasil kalsinasi didapatkan persentase kalsinasi yang terjadi sebesar 91,529 %. Panas untuk
proses kalsinasi yang tercukupi ini mengindikasikan bahwa panas disupply dari bahan
bakar yang ditambahkan atau dipaksakan berlebih akibat heat consumption yang
dibutuhkan naik untuk memenuhi panas yang hilang akibat adanya pembakaran tidak
sempurna karena oksigen dari udara tersier tidak tercukupi.
6. Faktor penyebab dan hubungan indikasi antara udara sekunder berlebih dan
kenaikan temperatur exit gas preheater
CO yang terbentuk di dalam kalsiner membutuhkan oksigen untuk membentuk
CO2. Akibat dari terlalu banyaknya udara sekunder yang masuk ke kiln maka banyak
oksigen berlebih yang tidak digunakan pada reaksi pembakaran bahan bakar pada kiln.
Oksigen berlebih dari udara sekunder ini akan bereaksi dengan CO yang berasal dari
pembakaran di kalsiner untuk membentuk CO2. Reaksi pembakaran lanjutan ini akan
terjadi di sepanjang siklon preheater. Hal ini dapat menyebabkan panas hasil reaksi
pembentukan CO2 dihasilkan di sepanjang siklon yang mengakibatkan naiknya temperatur
sepanjang siklon yang berujung pada naiknya temperatur dari exit gas preheater. Untuk
mengendalikan pembagian proporsi udara sekunder dan tersier seharusnya dapat diatur
Dari hasil tabel diatas dapat dilihat bahwa sebanyak 6,89718 ton/h tidak terbakar dalam
rotary kiln dan calsiner dalam bentuk serbuk atau free carbon sehingga material ini
terbawa oleh udara panas ke cyclone yang ada di preheater sehingga carbon ini terbakar
disepanjang bottom preheater sampai top preheater, hal ini yang menyebabkan suhu exit
gas top preheater naik karena pembakaran carbon yang terjadi pada cyclone preheater dan
panas yang dihasilkan dari hasil pembakaran ini menaikkan temperatur gas buang pada top
preheater.
Kadar air fine coal berpengaruh terhadap mudah / tidaknya batubara terbakar. Semakin
tinggi kadar fine coal maka semakin sulit batubara untuk terbakar.
8. Hubungan kenaikan temperatur exit gas preheater dengan inner tube siklon
1 Kesimpulan
1. Heat consumption Tonasa IV terhitung berdasarkan data hasil pengukuran adalah 873
kcal/kg-clinker.
2. Faktor yang berpengaruh terhadap heat consumption Tonasa IV adalah sebagai
berikut:
Kebutuhan udara tersier minimal untuk pembakaran sempurna adalah 249.825
kg/jam sedangkan dari pengukuran hanya 75.434 kg/jam
Pembakaran di kalsiner tidak sempurna mengakibatkan hilangnya 5.700
kcal/kg-karbon sehingga heat consumption tinggi/penambahan bahan bakar di
kalsiner untuk menggantikan panas yang hilang, dimana kadar air batubara
yang masih tinggi ikut berperan terhadap mudah tidaknya batubara terbakar.
Kalsinasi yang terjadi 91,5% mengindikasikan kalor yang dibutuhkan material
untuk terkalsinasi terpenuhi dari penambahan bahan bakar untuk menggantikan
kalor hilang akibat pembakaran tidak sempurna
Oksigen dari udara sekunder berlebih akibat restrictor gate yang tidak
berfungsi, digunakan oleh CO untuk reaksi pembakaran lanjutan di sepanjang
siklon sehingga temperatur exit gas preheater naik
Unburnt coal terhitung sebanyak 6.897 kg/jam sehingga heat consumption
meningkat untuk menggantikan panas yang hilang dari unburnt coal.
Indikasi tidak adanya inner tube pada siklon 5 dan 10 menyebabkan transfer
panas gas dan material tidak optimal dan banyak panas terbuang melalui exit
gas preheater sehingga temperatur naik.
2 Saran
1. Pengukuran seharusnya dilakukan dengan probe yang lebih panjang agar dapat
mengukur keseluruhan daerah pada tiap-tiap duct dengan diameter yang besar. Agar
didapat data dengan distribusi yang merata dan hasil pengukuran yang lebih akurat