DISUSUN OLEH
Dr. Fina Herlinda Nur
Dr. Muhammad Rheza
Dr. Steven Okta Chandra
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana kualitas air sungai di Kecamatan Sungai Kakap dan
kaitannya terhadap water associated disease pada masyarakat pengguna air
sungai?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui kualitas air sungai di Kecamatan Sungai Kakap dan
kaitannya terhadap water associated disease pada masyarakat pengguna air
sungai.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik fisika, kimia, dan mikrobiologi dari air sungai
di Kecamatan Sungai Kakap.
2. Mengetahui gambaran kejadian water associated disease terutama
diare dan eksim pada masyarakat Sungai Kakap.
1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Dokter internsip
Mengetahui masalah aktual yang terjadi pada masyarakat Sungai
Kakap dan lingkungannya, merumuskan penyebab masalah, dan membuat
alternatif pemecahan masalah.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
kelangsungan hidupnya manusia berupaya mendapatkan air yang cukup
bagi dirinya. Dalam menjalankan fungsi kehidupan sehari-hari manusia
sangat tergantung pada air, karena air dipergunakan pula untuk mencuci,
membersihkan peralatan, mandi dan lain sebagainya.
Air merupakan faktor penting dalam pemenuhan kebutuhan vital
bagi mahluk hidup diantaranya sebagai air minum atau keperluan rumah
tangga lainnya. Air yang digunakan harus bebas dari kuman penyakit dan
tidak mengandung bahan beracun. Ditinjau dari segi kualitas (Mutu) air
secara langsung atau tidak langsung pencemaran akan berpengaruh terhadap
kualitas air. Sesuai dengan dasar pertimbangan penetapan kualitas air
minum, usaha pengelolaan terhadap air yang digunakan oleh manusia
sebagai air minum berpedoman pada standar kualitas air terutama dalam
penilaian terhadap produk air minum yang dihasilkannya, maupun dalam
merencanakan system dan proses yang akan dilakukan terhadap sumber
daya air (Razif,2001).
5
mineral-mineral serta zat organic lebih tinggi dari jumlah yang
telah ditentukan oleh pemerintah.
3. Syarat Bakteriologis
Air tidak boleh mengandung kuman parasit, kuman patogen, dan
bakteri coliform. Persyaratan bakteriologi air bersih berdasarkan
kandungan jumlah total bakteri Coliform dalam air bersih 100
ml air, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 adalah sebagai
berikut :
i. Untuk air bersih bukan air perpipaan, total Coliform
maksimal 50 MPN atau APM per 100 ml air
ii. Untuk air bersih air perpipaan, total Coliform maksimal
10 MPN atau APM per 100 ml air.
Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan untuk media Air untuk
Keperluan Higiene Sanitasi meliputi parameter fisik, biologi, dan kimia
yang dapat berupa parameter wajib dan parameter tambahan. Parameter
wajib merupakan parameter yang harus diperiksa secara berkala sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan parameter
tambahan hanya diwajibkan untuk diperiksa jika kondisi geohidrologi
mengindikasikan adanya potensi pencemaran berkaitan dengan parameter
tambahan. Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi tersebut digunakan untuk
pemeliharaan kebersihan perorangan seperti mandi dan sikat gigi, serta
untuk keperluan cuci bahan pangan, peralatan makan, dan pakaian. Selain
itu Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi dapat digunakan sebagai air baku
air minum.
Tabel 1 berisi daftar parameter wajib untuk parameter fisik yang harus diperiksa
untuk keperluan higiene sanitasi.
6
Tabel 2 berisi daftar parameter wajib untuk parameter biologi yang harus
diperiksa untuk keperluan higiene sanitasi yang meliputi total Coliform dan
escherichia coli dengan satuan/unit colony forming unit dalam 100 ml sampel
air.
Tabel 3 berisi daftar parameter kimia yang harus diperiksa untuk keperluan
higiene sanitasi yang meliputi 10 parameter wajib dan 10 parameter tambahan.
Parameter tambahan ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan
otoritas pelabuhan/bandar udara.
7
2.3. Water Associated Disease
2.3.1. Diare
Escherichia coli adalah kuman oportunis yang banyak ditemukan di
dalam usus besar manusia sebagai flora normal. Sifatnya unik karena dapat
menyebabkan infeksi primer pada usus dan bisa menimbulkan infeksi lain
di luar usus (Staff Pengajar Kedokteran UI, 1993).
Escherichia coli menjadi patogen jika jumlahnya dalam saluran
pencernaan meningkat atau berada diluar usus. Escherichia coli
menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare
(Jawetz et al, 1995).
Escherichia coli merupakan salah satu kuman penyebab infeksi, baik
infeksi saluran cerna, saluran nafas, saluran kemih, luka didalam perut dan
juga meningitis. Escherichia colitidak saja menginfeksi pada orang dewasa
8
tapi juga pada bayi dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan
(Hardjoeno,2007).
Infeksi Escherichia colisering kali berupa diare yang disertai darah,
kejang perut, demam, sering kali gangguan pada ginjal. Infeksi Escherichia
colipada anak-anak dibawah 5 tahun dan pada orang tua dapat menyebabkan
komplikasi yang disebut dengan syndrome uremik hemolitik.Sekitar 2-7%
infeksi Escherichia coli menimbulkan komplikasi. Penularan dapat terjadi
secara langsung dan biasanya terjadi ditempat yang memiliki sanitasi dan
lingkungan yang kurang bersih.
9
penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap
bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik (Djuanda,2010).
10
dan leukotrin lain, sehingga memperkuat perubahan vaskular
(Djuanda,2010).
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik
ditempat terjadinya kontak di kulit yang berupa eritema, edema, panas,
nyeri, bila iritannya kuat. Apabila iritan lemah, akan menimbulkan kelainan
kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum
korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan
fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya
(Djuanda,2010).
11
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergik
adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated
immune respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi
hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed hypersensitivity),
umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua
fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi (Djuanda, 2010).
Fase sensitisasi dimulai saat adanya kontak dengan bahan kimia
sederhana yang disebut hapten (alergen yang memiliki berat molekul kecil
yang dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh jika terikat dengan protein
untuk membentuk antigen lengkap). Antigen ini kemudian berpenetrasi ke
epidermis dan ditangkap dan diproses oleh antigen presenting cells (APC),
yaitu makrofag, dendrisit, dan sel langerhans (Hogan, 2009).
Selanjutnya antigen ini dipresentasikan oleh antigen presenting cells
ke sel T. Setelah kontak dengan antigen yang telah diproses ini, sel T
menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan
berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik
dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh
tubuh, jugasistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas
12
yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-
3minggu (Djuanda, 2010).
Fase elisitasi terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang
sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen
dermis. Sel Langerhans akan mensekresi interleukin-1 yang akan
merangsang sel T untuk mensekresi interleukin-2. Selanjutnya interleukin-
2 akan merangsang interferon gamma. Interleukin-1 dan interferon gamma
akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion
molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan leukosit, serta
sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag
untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas
yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti
eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses
peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme
yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel
langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1,2 oleh sel
makrofag akibat stimulasi interferongamma. prostaglandin E-1,2 berfungsi
menekan produksi interleukin-2 dan sel T serta mencegah kontak sel T
dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan
memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga
histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik.
Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen
spesifik, dan akhirnya menekan atau mereda kan peradangan (Djuanda,
2010).
13
2.4. Kerangka Konsep
Kualitas Air
Water Associated
Disease
14
BAB III
METODE PENELITIAN
15
Sungai Kakap Kecamatan Sungai Kakap. Sampel air diambil
sebanyak dua liter. Banyaknya jumlah sampling yang diperlukan
adalah sebanyak 1 kasus berdasarkan pedoman untuk populasi
sekitar 5.000 populasi.
Tabel 6. Guidelines for drinking-water quality 2nd edition
(WHO, 1997)
Population served No. of monthly samples
<5.000 1
5.000 – 100.000 1 per 5.000 population
>100.000 1 per 10.000 population, plus
10 additional samples
b. Analisis sampel
Analisis sampel air dilakukan di Laboratorium Kesehatan
Dinas Kesehatan Kalimantan Barat. Parameter yang dianalisis pada
sampel meliputi, faktor fisika (kekeruhan, warna, residu terlarut),
faktor kimia (pH, total fosfat, kesadahan, nitrat, nitrit) dan faktor
biologi (total coliform)
3.5. Rencana pelaksanaan penelitian
Juli Agustus September
Agenda
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan
mini
project
Presentasi
proposal
mini
project
Melakukan
intervensi
Presentasi
hasil mini
project
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Hasil analisis sampel air sungai Kakap di Laboratorium Dinas Kesehatan
memerlukan waktu sekitar 28 hari, didapatkan hasil sebagai berikut:
Kadar
No Parameter Satuan Hasil
Maks
1 Residu Terlarut (TDS) mg/L 1500 5480
2 Turbidity Skala NTU 25 2
3 Warna Pt. Co 15 52
4 Nitrat (NO3) mg/L 10 0,27
5 Nitrit (NO2) mg/L 1,0 0,02
6 pH 6,5-9,0 7,35
7 Total Fosfat (PO4) mg/L - 0,16
8 Deterjen (MBAS) µg/L - 0,002
9 Total Coliform CFU/100ml 50
4.2. Pembahasan
17
menurunkan kadar mikrobakteria terutama koliform, dengan penggunaan 5
mg tiap 1000 liter air. Air yang diperoleh dari hasil penggunaan koagulan dan
antiseptik diharapkan dapat digunakan untuk keperluan seperti rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan mengairi pertamanan
(kategori air kelas II). Untuk memperoleh air kategori I dari air Sungai Kakap,
diperlukan metode tambahan reverse osmosis, agar air yang diolah dapat
diminum.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI, 1990. Peraturan Menteri Kesehatan RI No
416/Menkes/Per/IX/1990, Jakarta.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1405/MENKES/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja Perkantoran Dan Industri
3. Razif. 2001. Pengolahan Air Minum. Institut Teknologi Sepuluh Nopember:
Surabaya.
4. Departemen Kesehatan (1990). Peraturan Menteri Kesehatan No.
416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas
Air. Jakarta.
5. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara; 1993. hal. 10-
3.
6. Jawetz E, Melnick J, Adelberg E, 1995,Medical Microbiology, 20th ed.,
Appleton & Lange, Connecticut.
7. Hardjoeno UL. 2007. Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil
laboratorium. Makassar: Cahya Dinan Rucitra: hlm.5-14
8. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s. 2009.Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. Edisi ke-6.hlm. 20-33. New York: The Mc Graw-Hill
Companies
9. National Institute for Occupational Safety and Health, 2007. NIOSH Pocket
Guide To Chemical Hazards Third Print., Pittsburgh: US Government
Printing Office
10. Djuanda, A., 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
19