http://nad.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/info-teknologi/669-sistem-usaha-agribisnis-
sayur-sayuran-yang-menjanjikanPenulis : Cut Hilda Rahmi, S.P (Peneliti Pertama)
Manusia memerlukan konsumsi zat-zat gizi untuk menciptakan tubuh yang sehat. Zat-zat
gizi tersebut antara lain kalori, karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral yang
berfungsi untuk pertumbuhan dan kesehatan tubuh. Zat-zat gizi tersebut tidak diperoleh
dari satu macam bahan makanan saja melainkan dari beberapa bahan makanan yang
berupa makanan pokok, lauk pauk, buah, susu maupun sayuran.
Sayuran merupakan makanan pendamping makanan pokok yang kaya gizi. Didalam
sayuran terkandung protein, vitamin dan mineral. Sayuran dalam bidang hortikultura
dapat diartikan bagian dari tunas, daun, buah dan akar tanaman yang lunak dan dapat
dimakan secara utuh atau sebagian dalam keadaan segar atau mentah atau dimasak,
sebagai pelengkap pada makanan berpati dan daging.
Sayuran adalah salah satu kelompok hortikultura yang mempunyai arti dan kedudukan
tersendiri dalam proses pembangunan nasional di sub sektor pertanian, dimana sayuran
merupakan sumber vitamin dan mineral yang penting bagi pemenuhan gizi masyarakat.
Data berdasarkan Susenas 2002 menyatakan bahwa tingkat konsumsi sayuran pada tahun
2002 sebesar 47,5 kg/kapita/tahun atau lebih tinggi dibanding Susenas 1999 yang hanya
40,7 kg/kapita/tahun. Angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan
rekomendasi FAO yaitu 65,75 kg/kapita/tahun. Oleh karena itu pengembangan
hortikultura diharapkan selain dapat memenuhi konsumsi dalam negeri juga dapat
meningkatkan pendapatan petani.
Usaha agribisnis sayuran merupakan sumber pendapatan tunai bagi petani dipedesaan
sebagai sumber pendapatan keluarga oleh karena ditunjang oleh potensi lahan dan iklim,
potensi sumber daya manusia serta peluang pasar domestik dan internasional yang sangat
besar. Selain sebagai komoditas unggulan, komoditas sayuran juga berperan sebagai
sumber gizi masyarakat, penghasil devisa negara, penunjang kegiatan agrowisata dan
agroindustri (Soekartawi, 1996).
Secara nasional, produksi sayuran tahun 2003 sebesar 8,6 juta ton meningkat menjadi 9,6
juta ton pada tahun 2008, yang juga diikuti oleh peningkatan jumlah tenaga kerja pada
level usaha tani dari 2,3 juta orang pada tahun 2003 menjadi 3,0 juta orang pada tahun
2006. Volume ekspor sayuran pada tahun 2008 mencapai 176.000 ton dengan nilai 171,5
juta US$ (Direktorat jenderal hortikultura, 2009).
Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa usaha agribisnis sayuran merupakan sumber
pendapatan masyarakat di pedesaan melalui usaha-usaha agribisnis yang luas mulai dari
penyedia input produksi, usahatani, pengolahan hasil hingga pemasaran, sehingga
berpeluang dalam penyerapan tenaga kerja di pedesaan maupun dalam rangka
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena itu pengembangan komoditas
sayuran yang berbasis agribisnis sangat penting dilakukan melalui perubahan kebijakan
dan penajaman kearah perencanaan pembangunan agribisnis yang menguntungkan,
stabil, berkelanjutan, efisien dan efektif serta berkualitas (Saptana, dkk, 2005 ; Suprapto,
1997 ; McGregor, 1997).
Pendapatan petani sayuran di sentra produksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
modal, sumber daya manusia, harga, iklim dan infrastruktur. Modal dalam hal ini secara
langsung berdampak pada kemampuan meningkat atau tidaknya kapasitas lahan usaha
tani. Kemampuan peningkatan kapasitas lahan pada akhirnya akan berdampak pada
produksi komoditas, yang pada bagian lain juga dipengaruhi oleh sarana produksi dan
hama penyakit tanaman, dimana keduanya dipengaruhi oleh faktor modal.
Berikut contoh analisis usaha budidaya tanaman sayur-sayuran berupa sawi, adalah
sebagai berikut :
= Rp. 12.309.000,-
4. Dalam satu periode pemanenan, yaitu antara 40-50 hari akan dihasilkan 20-30
ton sawi atau rata-rata 25 ton (25.000 kg) sawi pada musim kemarau. Harga dari
petani berkisar antara Rp.1.000,-/kg
5. Pendapatan = Harga x Produksi
Hasil tersebut menandakan bahwa pada saat produksi mencapai 12,309 ton usaha
tersebut tidak mengalami kerugian maupun keuntungan.
Hasil tersebut menandakan bahwa pada saat harga mencapai Rp. 492,36 usaha
tersebut tidak mengalami kerugian maupun keuntungan.
Artinya dari setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan untuk usaha tani sawi, maka akan
diperoleh penerimaan sebesar Rp. 2,079. (Haryanto, 2007)
Berdasarkan penerimaan yang didapatkan petani lebih besar daripada pengeluaran atau
pengeluaran yang dikeluarkan setengah dari pendapatan atau penerimaan, maka dapat
disimpulkan bahwa usaha agribisnis komoditi sayuran jenis sawi ini layak untuk
diusahakan.
Subsistem Pemasaran
Proses kontak informasi timbal balik antara petani dan pedagang pengumpul mengawali
tahapan awal pemasaran sayuran. Petani akan menghubungi pedagang pengumpul
sebanyak mungkin secara personal untuk menegosiasikan harga. Berdasarkan informasi
harga dari pedagang pengumpul, maka petani akan memilih tingkat harga sesuai dengan
keuntungan maksimal. Para pedagang pengumpul umumnya adalah langganan tetap dari
para pedagang besar, bahkan ada yang berperan sebagai market informer dari pedagang
besar dan terikat kesepakatan.
Pedagang pengecer adalah pedagang yang berhubungan langsung dengan konsumen, baik
yang menjual sayuran dipasar sentral atau pasar tradisional maupun pedagang pengecer
keliling yang menjual sayuran dari desa ke desa. Para pedagang pengecer biasanya sudah
menjadi langganan tetap dari pedagang besar.
Petani mengungkapkan bahwa harga sayuran tidak stabil, dalam arti pasti terjadi kenaikan
dan penurunan harga. Peningkatan harga umumnya terjadi karena pengaruh musim hujan
yaitu pada saat intensitas curah hujan yang tinggi dan hampir merata selama 6 bulan atau
lebih mengakibatkan terjadinya penurunan hasil produksi sehingga pasokan sayuran ke
pusat pemasaran berkurang.
Rantai Pemasaran :
Salah satu perilaku khas petani sayuran adalah menanam sayuran secara bersamaan pada
saat harga tinggi. Akibatnya pada saat musim panen raya, harga sayuran turun secara
drastis sehingga petani akhirnya menjual sayuran dengan harga yang rendah dengan
resiko kerugian yang cukup besar. Permintaan pasar yang tinggi umumnya didorong oleh
kebutuhan pangan masyarakat yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah
penduduk dan pendapatan perkapita serta meningkatnya konsumsi sayuran perkapita
dapat menjadi tolok ukur peluang pasar sayuran. Nuhung (2007) mengungkapkan bahwa
menguasai 10% penduduk Indonesia yang berpendapatan tinggi sebagai pasar produk
pertanian, sama dengan menguasai pasar tiga negara tetangga Singapura, Malaysia dan
Brunai Darussalam.
Berdasarkan data statistik impor sayuran Singapura, terlihat bahwa mayoritas produk
ekspor Indonesia ke Singapura adalah kentang dengan pangsa pasar 53.3 %, kubis 34.8
% dan tomat 17.6 %. Indonesia adalah supplier sayuran segar kelima terbesar untuk
Singapura setelah Malaysia, Cina, Australia, dan India.
DAFTAR PUSTAKA
Haryanto Eko, dkk. 2007. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya. Jakarta.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/22803?show=full
http://jakarta.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id
=85:sistem-integrasi-pemeliharaan-itik-tiktok-dan-tanaman-padi-pada-lahan-
sawah&catid=37:tiktok
http://sigapbencana-bansos.info/bencana/77.html?start=3208
http://banten.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id
=547&Itemid=110
Buletin IKATAN BPTP Banten Vol 2 Tanun 2012. Minggu, 30 Desember 2012
http://pphp.deptan.go.id.
Copyright © 2016 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh
Jl. Panglima Nyak Makam No. 27 Lampineung, Banda Aceh - 23125, Indonesia Telp. (0651) 7551811
Fax. (0651) 7552077
Email : bptp-aceh@litbang.pertanian.go.id