Anda di halaman 1dari 17

PENGADILAN HAM DI INDONESIA:

PROSEDUR DAN PRAKTEK1

Agung Yudhawiranata

1. Latar belakang pembentukan

Kondisi penegakan dan perlindungan hak asasi manusia semakin memprihatinkan terutama
semakin maraknya pelanggaran HAM berat yang terjadi. Penyelesaian kasus tanjung priok,
DOM Aceh, Irian dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur pra dan pasca jajak
pendapat belum ada yang terselesaikan dan ini disebabkan tidak adanya instrumen dan
perlindungan hukum yang memadai untuk dapat mengadili para pelaku kejahatan hak asasi
manusia tersebut.

Kasus pembumihangusan di Timor-timur telah mendorong dunia internasional agar dibentuk


peradilan internasional (internasional tribunal) bagi para pelakunya. Pembentukan ini juga
didasarkan atas ketidakpercayaan dunia internasional pada sistem peradilan Indonesia jika
dilihat antara keterkaitan antara pelaku kejahatan yang merupakan alat negara. Pelanggaran
HAM di Timor-timur mempunyai nuansa khusus karena adanya penyalahgunaan kekuasaan
dalam arti pelaku berbuat dalam konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh kekuasaan
pemerintah sehingga akan sulit untuk diadakan pengadilan bagi pelaku kejahatan secara fair
dan tidak memihak.

Dalam prakteknya jika melihat bekerjanya sistem peradilan pidana di negara hukum Indonesia
ini, belum mampu memberikan keadilan yang subtansial. Keterkaitan dengan kebijakan yang
formal/legalistik seringkali dijadikan alasan. Peradilan seringkali memberikan toleransi terhadap
kejahatan-kejahatan tertentu, dengan konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya harus
dibebaskan. Termasuk terhadap kejahatan atau pelanggaran HAM berat ini.2

Jika melihat KUHP Indonesia yang berkaitan dengan pelanggaran HAM yang berat juga
mengatur tentang jenis kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan,
penyiksaan/penganiayaan, dan perkosaan. Jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut
adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary crimes) yang jika dibandingkan dengan
pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang
sesuai dengan statura roma 1999 untuk bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang
berat. Pelanggaran HAM berat itu sendiri merupakan extraordinary crimes yang mempunyai
perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana
umum. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakukan dalam
menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP tidak dapat untuk menjerat secara efektif para
pelaku pelanggaran HAM yang berat.

Sesuai dengan prinsip hukum internasional, khususnya prinsip universal dimana tidak mungkin
memperlakukan pelanggaran HAM berat sebagai ordinary crimes dan adanya kwalifikasi
universal tentang crimes against humanity masyarakat mengharuskan didayagunakannya
pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula acara pidana yang bersifat
1
Disampaikan dalam Training, “Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas
Hukum pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusat Suti HAM
UII bekerjasama dengan NCHR University of Oslo Norway, di Yogyakarta tanggal 22-24 September 2005
2
Krist L. Kleden, Peradilan Pidana Sebagai Pendidikan Hukum, Komnas, 11 September 2000.

1
khusus.3 Pengertian tentang perlunya peradilan yang secara khusus dengan aturan yang
bersifat khusus pula inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus
yang dikenal dengan pengadilan HAM.

2. Landasan yuridis berdirinya pengadilan

Berdasarkan kondisi tentang perlunya intrumen hukum untuk berdirinya sebuah pengadilan
HAM secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan
HAM. Perpu ini sempat menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran
HAM berat di Timor-timur oleh komnas HAM.

Karena berbagai alasan Perpu No. 1 ini yang kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi
undang-undang. Alasan mengenai ditolaknya perpu adalah sebagai berikut :
1. secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan HAM dengan
mendasarkan pada pasal 22 ayat 1 undang-undang dasar 1945 yang berbunyi “dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan
adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat.
2. subtansi yang diatur dalam perpu tentang pengadilan HAM masih terdapat kekurangan
atau kelemahan antara lain, sebagai berikut :
- kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut
tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran HAM yang berat yang
dilakukan sebelum perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak tercakup
pengaturannya.
- Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur
dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genocida
tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku.
- Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada
KUHP yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu
menjangkau tuntutan secara lembaga.
- Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan atau
overlapping dengan hukum positif.

Setelah adanya penolakan perpu tersebut diatas oleh DPR maka pemerintah mengajukan
rancangan undang-undang tentang pengadilan HAM. Dalam penjelasannya pengajuan RUU
tentang Pengadilan HAM adalah pertama, merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa
indonesia sebagai salah satu anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang
mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan
melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh perserikatan bangsa-bangsa, serta yang
terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah
dan atau diterima oleh negara Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari pasal 104 ayat 1 Undang-undang
No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu dibidang keamanan
dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini
sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional
terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di
Indonesia.

3
Muladi, Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, 2000, Jurnal Demokrasi dan HAM,
Jakarta, hlm. 54.

2
Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan Komnas HAM
menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM
dilingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat
dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak
sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang pengadilan HAM adalah
undang-undang Nomor 26 tahun 2000.4

3. Pengaturan tentang pengadilan HAM : UU No. 26 Tahun 2000

Konsideran dari UU No. 26 Tahun 2000 ini menyatakan bahwa untuk ikut serta memelihara
perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan,
kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera
dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas maka
pengadilan HAM perlu dibentuk.

Undang-undang No. 26 tahun 2000 ini memberikan 3 cara alternatif untuk penyelesaian kasus-
kasus pelanggaran HAM yang berat. Pertama adalah mekanisme pengadilan HAM ad hoc
untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini, pengadilan HAM yang
sifatnya permanen dan menggunakan mekansime komisi kebenaran dan rekonsiliasi.

Pembentukan pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
genocida ini dianggap tidak tepat dan banyak dikritik sebagai pengaturan yang salah secara
konseptual. Kesalahan ini yang terutama adalah memasukkan kejahatan terhadap kemanusian
dan kejahatan genocida dalam yurisdiksi pengadilan HAM. Pelanggaran HAM yang berat
dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum
pidana karena merupakan begian dari international crimes sehingga yang digunakan adalah
seharusnya terminologi “peradilan pidana.” Secara yuridis seharusnya pengklasifikasian
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida diintegrasikan kedalam kitab undang-
undang hukum pidana melalui amandemen. Dengan memasukkan jenis kejahatan ini kedalam
kitab undang-undang hukum pidana maka tidak akan melampauai asas legalitas. Sedangkan
pelanggaran HAM yang dilakukan sebelum adanya amandemen tersebut seharusnya dibentuk
mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk kasus tertentu. Pandangan ini sejalan dengan
pemahaman bahwa pelanggaran HAM yang berat termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan
dan kejahatan genocida secara yuridis seharusnya mengalami transformasi menjadi tindak
pidana dan peradilan yang berwenang adalah peradilan pidana. Kritik atas keadaan ini adalah
bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai upaya praktis dari pemerintah untuk secara
cepat mengakomodir dan menghentikan upaya-upaya kearah peradilan internasional dan
melupakan aspek-aspek yuridis.

4
UU No. 26 Tahun 2000 ini disyahkan pada tanggal 6 November 2000

3
Dari argumen tentang kesalahan secara konseptual ini menjadikan ada 2 lembaga yang
mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadilai perkara pidana yaitu peradilan pidana
dan pengadilan HAM. Atas kesalahan konsep ini maka UU No. 26 Tahun 2000 dianggap
sebagai undang-undang yang sifatnya transisional sehingga untuk masa yang akan datang
harus dirubah dan diintegrasikan kedalam ketentuan pidana atau masuk peradilan pidana.

UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM ini juga dianggap mempunyai banyak
kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya. Kelamahan-kelemahan ini karena proses
pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak
kesalahan. Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik
tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam
aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus
dan masih banyak menggunkan ketentuan yang berdasarkan kitab undang-undang hukum
pidana (KUHAP).

Pengaturan tentang pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 adalah sebagai
berikut :

a. Kedudukan

Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum.
Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti pengadilan umum atau pengadilan negeri
termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan
HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut.
Dukungan administratif itu adalah :
1. Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan
tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan ham. Hal ini membawa konsekuensi
bahwa jadual persidangan akan sangat bergantung dengan jadual persidangan kasus-
kasus lainnya yang juga ditangani oleh pengadilan negeri tempat pengadilan ham ini
digelar.
2. Dukungan staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani perkara
pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang
mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat.
3. Dukungan panitera yang juga diambilkan dari pengadilan negeri setempat. Panitera ini
adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus
pelanggaran ham yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya.
4. Ruangan hakim : ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri namun
untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka
mempunyai ruangan tersendiri.

b. Jenis kejahatan yang dapat diadili

Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa
atau diputus oleh pengadilan HAM adalah :
1. Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
a. membunuh anggota kelompok

4
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-
anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok atau;
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa :
a. Pembunuhan, dengan rumusan delik sebagaimana pasal 340 KUHP. 5
b. Pemusnahan, yaitu meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang
dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat
pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan
pemusnahan pada sebagian penduduk.
c. Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia,
khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.
d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, yaitu pemindahan
orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan
pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secar
sah, tanpa disadari alasan yang diijinkan oleh hukum international.
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional.
f. Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau
penderitaan yang berat baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan
atau seorag yang berada dibawah pengawasan.
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara.
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional.
i. Penghilangan orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan, atau
penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan
dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui
perampasan kemerdekaan tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari
perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
j. Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang
sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang dilakukan dalam
konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh

5
Pasal 340 KUHP menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu
menghilangkan nyawa orang lain, karena salah telah melakukan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu,
dihukum dengan hukuman mati atau dengan hukuman penjara seumur hidup atau dengan hukuman penjara
sementara selama-lamanya 20 tahun. Ketentuan yang digunakan sebagai acuan adalah ketentuan deliknya dan bukan
termasuk ancaman hukumannya karena ancaman hukuman dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dalan UU No. 26
Tahun 2000 diatur tersendiri.

5
suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain
dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan regim itu.

Definisi bahwa serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
menurut UU No. 26 Tahun 2000 adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan
terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang
berhubungan dengan organisasi. Jenis-jenis kejahatan yang termasuk genocida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah jenis kejahatan yang diadopsi dari ketentuan
Statuta Roma 1998 ( Rome Statute of The International Criminal Court). Dari
penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur kejahatan dalam UU No. 26 Tahun
2000 ini dipersamakan dengan pengaturan dalam Statuta Roma termasuk mengenai
unsur meluas dan sistematik.

Dari proses adopsi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida
dari Statuta Roma kedalam UU No. 26 Tahun 2000 ini terdapat distorsi yang secara
teoritis melemahkan konsep kejahatan tersebut terutama konsep tentang kejahatan
terhadap kemanusiaan yaitu tidak ada parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur
“meluas”, “sistematik” dan “intensi” yang menjadi unsur utama bentuk kejahatan ini.
Ketidakjelasan defenisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan
(pembuktian) pemidanaan terhadap kejahatan-kejahatan yang dimaksud akan menjadi
sulit.6

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya terdapat


dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000 berbunyi sebagai berikut:

“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b


adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, …”

Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi
kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas
(widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi
ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai
perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana “intension” didefinisikan
dengan tegas.7) Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan-
kejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama8 menjadi sulit sehingga dakwaan
menjadi sumir.

Kedua, adanya problematika yang timbul dari penerjemahan yang keliru dalam pasal
ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population (bahasa
Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma pasal 7) yang seharusnya diartikan:

6
akan dijelaskan di bagian berikutnya dalam bab ini
7
Lihat Pasal 30 ayat 2 & 3, Statuta Roma, yang mengatur mengenai mental element: “For the purposes of ths
article, a person has intent where: (2) (a) In relation to conduct, that person means to engage in the conduct; (b) In
relation to a consequence that person means to cause that consequence or is aware that it will occur ordinary course
of events. (3) For the purposes of this article,”knowledge” means awareness that a circumstance exists or
consequence will occur in thw ondinary course of events. “Know” and “knowingly” shall be construed accordingly.”
8
Pasal 9 UU no.26/2000

6
ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini diartikan: ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi bahwa seolah-
olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini
sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini.
Penggunaan kata “penduduk” dan bukannya “populasi” sendiri telah menyempitkan
subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal ini secara
signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap
kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut berlangsung.

Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di bawah
definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan
penerjemahan “persecution” menjadi “penganiayaan” dalam UU No 26 tahun 2000 juga
merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena tidak ada
penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada definisi
“penganiayaan” dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP).
Padahal, persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif
yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun ekonomis. Artinya tidak
mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan pada fisik seseorang.9 Dengan
digunakannya kata “penganiayaan” maka tindakan teror dan intimidasi yang sifatnya
non-fisik atas seseorang atau kelompok sipil tertentu atas dasar kepercayaan politik
menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa harus membuktikan adanya
tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat yang ditimbulkan.

c. Hukum acara yang digunakan & Due Process of Law

Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah
hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan
dipengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang
- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM diluar ketentuan KUHAP
untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM
yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah :
1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc,
dan hakim ad hoc.
2. Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak
asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan
sebagai mana diatur dalam KUHAP.
3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.
4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
5. Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa pelanggaran ham yang berat.

9
Bandingkan pengertian “persecution” dalam ICC atau ICTY Statute dengan pengertian “penganiayaan” dalam UU
No 26/2000 pasal 9(h). Penganiayaan sebagaimana pengertian dalam KUHP dalam bahasa Inggris setara (bukan
sama secara definitif) dengan pengertian “assault” yang menunjuk pada penyerangan secara langsung terhadap fisik
seseorang. Lihat juga Bassiouni, Crimes Against Humanity in the International Law, Kluwer Law International ,
1999, hal 247.

7
Kekhususan ini kemudian dijabarkan dalam pasa demi pasal dalam uu No. 26/2000 yang
merupakan pengecualian dari pengaturan dalam KUHAP yaitu :

Penangkapan

Kewenangan untuk melakukan penangkapan di tingkat penyidikan dalam pengadilan HAM


ini adalah Jaksa Agung terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran
HAM berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup10. Prosedur untuk pelaksanaan
penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan
menunjukkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan
menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat
perkara pelanggaran HAM yang berat yang dipersangkakan. Keluarga harus mendapatkan
tembusan untuk adanya pengangkapan tersebut segera setelah penangkapan dilakukan.

Pelaku pelanggaran HAM berat yang tertangkap tangan, penangkapannya dilakukan tanpa
surat perintah tetapi dengan segera bahwa orang yang menangkap harus segera
menyerahkannya kepada penyidik. Lama penangkapan paling lama 1 hari dan masa
penagkapan ini dapat dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

Ketentuan khusus mengenai penagkapan ini jika dikomparasikan dengan KUHAP tidak jauh
berbeda. Yang membedakan adalah yang melakukan/pelaksanaan tugas penangkapan
adalah Jaksa Agung sedangkan dalam KUHAP yang melakukan penangkapan adalah
petugas kepolisian Republik Indonesia.11

Penahanan

Selama proses penyidikan dan penuntutan, penahanan atau penahan lanjutan dapat
dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan yang berwenang melakukan penahanan adalah hakim dengan mengeluarkan
penetapan. Perintah penahanan ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang disyaratkan
yaitu adanya dugaan keras melakukan pelanggaran HAM berat dengan bukti yang cukup,
adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti, atau mengulangi pelanggaran HAM berat. Alasan penahanan
ini adalah alasan yang berdasarkan atas alasan subyektif dari penyidik atas kondisi yang
disyaratkan tersebut, artinya pertimbangan atas adanya bukti yang cukup, kekhawatiran
akan menghilangkan barang bukti atau akan melakukan pelanggaran HAM yang berat
adalah alasan atas penilaian dari pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan atau
hakim yang memeriksa terdakwa. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP yang
juga mensyaratkan adanya unsur obyektif untuk dapat dilakukan penahanan kepada
tersangka maupun terdakwa. 12

Jangka waktu penahanan untuk penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat
diperpanjang selama 90 hari oleh ketua pengadilan HAM dan jika waktu penahanan telah
selesai tapi penyidikan belum dapat diselesaikan, maka dapat diperpanjang selama 60 hari

10
Penjelasan tentang bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana
bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permualaan patut diduga sebagai
pelaku pelanggaran HAM yang berat.
11
Lihat pasal 18 KUHAP.
12
Lihat pasal 21 KUHAP tentang alasan dapat ditahannya tersangka maupun terdakwa.

8
oleh ketua pengadilan HAM yang bersangkutan. Jangka waktu penahanan untuk
penuntutan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang 20 hari, tetapi jika belum selesai
maka dapat diperpanjang selama 20 hari lagi oleh ketua pengadilan sesuai dengan daerah
hukumnya.

Ketentuan mengenai lamanya penahanan ini tidak disertai dengan konsekuensi mengenai
hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahnanan jika selama waktu penahanan itu proses
penyidikan dan penuntutan belum dapat diselesaikan. KUHAP disamping mengatur tentang
lamanya panahanan juga mengatur tentang hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan
jika tidak telah selesai masa penahanannya tetapi proses penyidikan dan penuntutan belum
selesai. 13

Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan dapat dilakukan selama


90 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan HAM selama 30 hari. Dalam
pemeriksaan tingkat banding di pengadilan tinggi dapat dilakukan paling lama 60 hari dan
dapat diperpanjang paling lama 30 hari oleh ketua pengadilan tinggi. Sedangkan untuk
tingkat kasasi di Mahkamah Agung penahanan dapat dilakukan selama 60 hari dan dapat
diperpanjang selama 30 hari oleh ketua MA.

Dalam KUHAP perpanjangan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan dapat dilakukan


berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindari yaitu bahwa tersangka atau
terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter dan perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara
selama sembilan tahun atau lebih. Perpanjangan penahanan ini dapat dilakukan untuk
paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari berikutnya. Selama total 60 hari
tersebut, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan demi hukum meskipun
perkaranya belum selesai diperiksa maupun belum diputus.14

Penyelidikan

Huruf 5 ketentuan umum UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa penyelidikan


diartikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada
tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang ini.15

UU No 26 Tahun 2000 mengatur secara berbeda tentang siapa yang berhak melakukan
penyelidikan. Dalam penjelasan umumnya undang-undang ini menegaskan bahwa
diperlukan langkah-langkah yang bersifat khusus, diantaranya penyelidikan yang bersifat

13
Lihat pasal 24 dan 25 KUHAP. Pasal 24 menyatakan bahwa lama penahanan untuk proses penyidikan adalah
paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari, jika dalam waktu 60 hari sudah terpenuhi penyidik
harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Pasal 25 menyatakan bahwa lama penahanan 20
hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari, jika dalam wakti 50 hari telah terpenuhi maka tersangka harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Kedua pasal diatas juga menyatakan bahwa tersangka dapat dilepaskan dari
tahanan jika pemeriksaan sudah selesai meskipun waktu penahanan belum berakhir.
14
Lihat pasal 29 KUHAP.
15
Bandingkan dengan definisi penyelidikan seperti ketentuan dalam KUHAP. Penyelidikan adalah serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

9
khusus, dimana diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc. Penyelidikan hanya
dilakukan oleh Komnas HAM sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau
pengaduan. Kewenangan penyelidikan yang berbeda dengan pengaturan dalam KUHAP
inilah yang dianggap sebagai kekhususan mengenai penyelidikan dalam kasus pelanggaran
HAM yang berat.16

Penyelidikan untuk pelanggaran HAM yang berat merupakan kewenangan dari Komnas
HAM dan penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM ini merupakan penyelidikan yang
sifatnya pro justitia.17 Kewenangan penyelidikan ini dimaksudkan untuk menjaga objektivitas
hasil penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah lembaga yang bersifat independen
baik dari segi institusi maupun anggotanya. Secara kelembagaan Komnas HAM dianggap
tidak memiliki kepantingan kecuali terhadap perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia
sedangkan anggota Komnas HAM dianggap juga memiliki integrasi yang tinggi dan
kemampuan teknis untuk melakukan penyelidikan. Dalam melakukan penyelidikan Komnas
HAM membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat.18

Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka


melaksanakan penyelidikan yaitu memeriksa peristiwa yang berdasarkan sifat atau
lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM berat, menerima laporan19 atau
pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti, memanggil pihak
pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya,
memanggil saksi untuk didengar kesaksiannya, meninjau dan mengumpulkan keterangan
ditempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu, memanggil pihak terkait untuk
memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai
dengan aslinya. Disamping tindakan-tindakan diatas, atas perintah penyidik20 dapat
melakukan tindakan berupa : pemeriksaan surat, penggeledahan21 dan penyitaan,
pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya
yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu, mendatangkan ahli dalam hubungan dengan
penyelidikan.

Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM
yang berat maka harus memberitahukan aktivitas ini kepada penyidik. Setelah penyelidik
menyimpulkan bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup maka atas adanya
pelanggaran HAM yang berat maka hasil kesimpulan diserahkan ke penyidik. Paling lambat
7 hari kerja diserahkan selanjutnya Komnas HAM menyerahkan seluruh hasil penyelidikan.

16
Dalam KUHAP penyelidik adalah pejabat polisi negara republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penyelidikan.
17
Penjelasan pasal 19 UU No. 26 Tahun 2000 .
18
unsur masyarakat disini adalah tokoh dan anggota masyarakat yang professional, berdedikasi, berintegrasi tinggi,
dan menghayati bidang hak asasi manusia.
19
Arti “menerima” adalah menerima, mendaftar, dan mencatat laporan atau pengaduan tentang terjadinya
pelanggaran HAM yang berat, dan dapat dilengkapi dengan barang bukti.
20
Penjelasan mengenai perintah penyidik adalah perintah tertulis yang dikeluarkan penyidik atas permintaan
penyelidik dan penyidik segera mengeluarkan surat perintah setelah menerima permintaan dari penyidik.
21
Penggeledehan dalam ketentuan ini meliputi penggeledehan badan atau rumah. Hal ini sama dengan ketentuan
pasal 32 KUHAP.

10
Jika penyidik menganggap bahwa penyelidikan kurang lengkap22 maka penyidik
mengembalikan hasil penyelidikan disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30
hari penyelidik wajib melengkapi.

Disamping mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dalam kasus


pelanggaran HAM yang berat, Komnas HAM juga mempunyai kewenangan untuk meminta
keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan
penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat.23

Penyidikan

Definisi tentang penyidikan tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000.24 Pihak yang
berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat adalah
Jaksa Agung. Penyelidikan ini tidak termasuk untuk menerima pengaduan dan laporan
karena pengaduan dan laporan tersebut merupakan kewenangan Komnas HAM. Dalam
upaya penyidikan ini Jaksa Agung dapat25 mengangkat penyelidik ad hoc dari unsur
masyarakat26 dan pemerintah.

Penyidikan yang dilakukan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitumg sejak tanggal
hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Perpanjangan dapat
dilakukuan selama 90 hari berikutnya jika selama 90 hari pertama penyidikan belum dapat
diselesaikan. Perpanjangan yang kedua selama 60 hari, baik perpanjangan yang pertama
maupun kedua dilakukan oleh ketua pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya
masing-masing.

Jaksa Agung wajib mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) jika dalam
waktu yang telah ditentukan tidak diperoleh bukti yang cukup. Adanya SP3 ini, penyidikan
atas kasus dapat dibuka kembali dan dilanjutkan jika terdapat alasan dan bukti lain yang
melengkapi hasil penyidikan. Atas penghentian penyidikan ini, jika tidak dapat diterima oleh
korban dan keluarganya, maka ada hak untuk mengajukan praperadilan bagi korban dan
keluarganya atas penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung kepada ketua pengadilan HAM
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini sesuai dengan
KUHAP.

Penuntutan

22
Arti dari “kurang lengkap” adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat untuk dilanjutkan
ke tahap penyidikan.
23
Lihat pasal 25 UU No. 26 Tahun 2000.
24
Definisi penyidikan dalpat dilihat dalam huruf 2 ketentuan umum KUHAP yang menjelaskan bahwa penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.
25
Penjelasan mengenai kata “dapat” adalah bahwa dimaksudkan agar Jaksa Agung dalam mengangkat penyidik ad
hoc dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
26
Penjelasan tentang unsur masyarakat adalah dari organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan yang lain seperti perguruan tinggi.

11
UU No. 26 Tahun 2000 mengatur tentang ketentuan penuntutan dalam pasal 23 dan 24.
Pasal 23 menyatakan Penuntutan mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh
Jaksa Agung dan dalam melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat menganggat jaksa
penuntut umum ad hoc.27 Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus
memenuhi syarat tertentu.28
Pasal 24 mengatur tentang jangka waktu penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung sejak
tanggal hasil penyelidikan diterima. Ketentuan mengenai jangka waktu ini berbeda dengan
ketentuan dalam KUHAP dimana tidak diatur mengenai adanya jangka waktu penuntutan.

Pemeriksaan di sidang pengadilan

1. Komposisi hakim dan hakim ad hoc

Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang
berat diperiksa oleh majelis hakim yang jumlahnya 5 orang yang terdiri dari 2 orang
hakim pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim HAM ad hoc. Majelis
hakim tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang bersangkutan. Pada
tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim dari
pengadilan setempat dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian juga komposisi mengenai
majelis hakim dalam tingkat kasasi.

Dari ketentuan diatas, pengaturan tentang hakim ad hoc hanya sampai pada tingkat
kasasi. Tidak ada kejelasan mengenai hakim yang dapat mengadili di tingkat Peninjauan
Kembali (PK), mengingat bahwa dalam hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) proses
bahwa peninjuan kembali atas suatu perkara pidana juga dimungkinkan dan itu
merupakan hak terdakwa atau ahli warisnya tetapi dalam ketentuan UU No. 26 Tahun
2000 ini tidak diatur tentang hakim ad hoc untuk pemeriksaan upaya hukum luar biasa
dengan cara peninjauan kembali. Apakah masih menggunakan komposisi hakim ad hoc
atau tidak. Hal ini pun tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini.29

Pengertian hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat diluar hakim karir yang memenuhi
persyaratan professional, berdedikasi dan berintegrasi tinggi, menghayati cita-cita
negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan
menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.

Jumlah hakim ad hoc di pengadilan HAM yang harus diangkat adalah sekurang-
kurangnya 12 orang dan masa jabatannya adalah 5 tahun yang dapat diangkat untuk 1
kali masa jabatan lagi. Hakim ad hoc ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku
kepala negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Ketentuan ini sama untuk hakim ad

27
Dalam penjelasannya penuntut umum ad hoc dari unsur masyarakat diutamakan diambil dari mantan penuntut
umum diperadilan umum atau oditur di peradilan militer.
28
Pasal 23 ayat 4 mengatur tentang syarat untuk menjadi penuntut umum ad hoc yaitu warga negara Republik
Indonesia, berumur sekurang-kurangnya 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun, berpendidikan sarjana hukum dan
berpengalaman sebagai penuntut umum, sehat jasmani dan rohani, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak
tercela, setia kepada pancasila dan UUD 1945 dan memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi
manusia.
29
Mengingat hakim yang mengadili pelanggaran HAM yang berat ini selalu mensyaratkan adanya hakim ad hoc
maka tidak adanya pengaturan mengenai hakim ad hoc di tingkat peninjauan kembali tidak bisa diserahkan
mekanismenya dengan menggunakan ketentuan KUHAP.

12
hoc pada pengadilan tinggi, sedangkan untuk hakim ad hoc tingkat kasasi di Mahkamah
Agung diangkat oleh presiden selaku kepala negara atas usulan dewan perwakilan
rakyat RI dan lama jabatan hanya satu periode yaitu selama 5 tahun.

Hakim ad hoc ini dalam pemilihannya memerlukan syarat-syarat tertentu yang tertuang
dalam pasal 29.30 Hakim ad hoc juga wajib mengucapkan sumpah. Syarat untuk
menjadi hakim ad hoc ini berlaku untuk hakim tingkat banding dan hakim ad hoc tingkat
kasasi. Perkecualian khusus untuk hakim ad hoc tingkat kasasi berumur sekurang-
kurangnya 50 tahun dan tidak ada batasan maksimal umurnya.

Perkara pelanggaran HAM berat diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan dalam jangka
waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan HAM.
Pada tingkat banding maka perkara diperiksa dan diputus paling lama 90 hari. Jika
perkara dimintakan kasasi maka perkara pelanggaran HAM berat ini di periksa dan
diputus paling lama 90 hari atau selama 3 bulan.

Ketentuan yang perlu diperhatikan adalah mengenai proses pelimpahan berkas perkara
dalam tingkat pertama ke tingkat banding dan dari tingkat pertama ke kasasi ketika jaksa
mengajukan kasasi saat terdakwa dinyatakan bebas. Ketentuan mengenai mekanisme
pelinpahan berkas dalam ke tingkat banding dan kasasi menggunakan mekanisme
KUHAP.

2. Prosedur Pembuktian

Prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM tidak diatur tersendiri yang berarti bahwa
mekanisme pembuktian di sidang pengadilan HAM menggunakan mekanisme yang
diatur dalam KUHAP. Pengecualian terhadap mekanisme KUHAP untuk prosedur
pembuktian adalah mengenai proses kesaksian di pengadilan. Dalam rangka melindungi
saksi dan korban pelanggaran HAM yang berat proses pemeriksaan saksi dapat
dilakukan dengan tanpa hadirnya terdakwa.31 Ketentuan ini terdapat dalam PP No. 2
Tahun 2002 tentang perlindungan terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM yang
berat.

Berkenaan dengan alat bukti yang dapat diterima juga mengacu pada alat bukti yang
sesuai dengan KUHAP yaitu pasal 184.32 Hal-hal yang dapat dijadikan alat bukti dalam

30
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat: warga negara Republik Indonesia,bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65
(enam puluh lima) tahun, berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum
(sarjana syariah atau sarjana lulusan perguruan tinggi ilmu kepolisian), sehat jasmani dan rohani, berwibawa, jujur,
adil, dan berkelakuan tidak tercela, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan memiliki
pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.

31
Proses kesaksian tanpa hadirya terdakwa ini sebenarnya sudah diatur dalam pasal 173 KUHAP yang menyatakan
bahwa hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk
itu ia minta terdakwa ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan
sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal pada waktu tidak hadir. Hal ini berbeda dengan PP No. 2 Tahun
2002 yang tidak mengatur tentang tata cara tanpa adirnya terdakwa untuk pemeriksaan kesaksian.
32
Alat bukti menurut pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa.

13
KUHAP ini dianggap tidak memadai jika dikomparasikan dengan praktek peradilan
internasional. Pengalaman-pengalaman internasional yang menyidangkan kasus
pelanggaran HAM berat justru lebih banyak menggunakan alat-alat bukti diluar yang
diatur oleh KUHAP. Misalnya rekaman, baik itu yang berbentuk film atau kaset yang
berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi keadaan
tempat kejadian dan sebagainya. Kemudian alat bukti yang dipakai juga diperbolehkan
berbentuk dokumen-dokumen salinan, kliping koran, artikel lepas, sampai suatu opini
yang terkait dengan kasus yang disidangkan.33

d. Ketentuan Pemidanaan (Penal Codes)

Ketentuan pidana diatur dalam Bab VII dari pasal 36 sampai dengan pasal 42 UU No. 26
Tahun 2000 . Ketentuan pidana dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini menggunakan ketentuan
pidana minimal yang dianggap sebagai ketentuan yang sangat progresif untuk menjamin
bahwa pelaku pelanggaran HAM yang berat ini tidak akan mendapatkan hukuman yang
ringan.34

Pasal 36 mengatur tentang ketentuan pidana untuk kejahatan genosida yakni dengan
ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama
25 tahun dan pidana paling singkat 10 tahun. Ketentuan pidana ini sama dengan kejahatan
yang diatur dalam pasal 9 (tentang kejahatan terhadap kemanusiaan) huruf a
(pembunuhan), b (pemusnahan), d (pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa),
atau j (kejahatan apartheid).

Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yaitu perbudakan diancam dengan pidana
selama-lamanya 15 tahun dan paling singkat 5 tahun (ps 38). Demikian pula dengan
kejahatan kemanusiaan yang berupa dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yang
berupa penyiksaan diancan hukuman paling lama 15 tahun dan peling rendah 5 tahun (ps
39). Kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa perkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran paksa, pemaksaan kehamilan, kemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara diancam pidana selama-lamanya 20
tahun dan serendah-rendahnya selama 10 tahun (ps 40).

Pasal 41 mengatur khusus mengenai pihak-pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat
berupa percobaan dan ikut serta berupa permufakatan jahat atau pembantuan terhadap
terlaksanya pelanggaran HAM berat, ancaman hukumannya dipersamakan dengan
ketentuan pasal 36, 37, 38, 39 dan 40. ketentuan ini mengindikasikan bahwa apapun
peranan pelaku baik karena percobaan pelanggaran HAM berat, ikut serta dalam
permufakatan jahat untuk melakukan pelanggaran HAM berat maupun pembantuan
terhadap terlaksananya pelanggaran HAM berat tidak ada pengaturan pengecualian
terhadap mereka karena ancamannya dipersamakan.

33
Lihat progress report pemantauan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 Januari 2003.
34
Mengenai hukuman minimal ini ternyata dalam prakteknya di pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran
HAM yang berat di Tim-tim tidak dapat diaplikasikan. Hal ini terbukti dengan lama hukuman yang dijatuhkan untuk
terdakwa yang dibawah hukuman 10 tahun (terdakwa Soejarwo 5 tahun, M. Noer Muis 5 tahun, Hulman Gultom 3
Tahun dan Abilio Soares selama 3 tahun) kecuali terhadap terdakwa Eurico Guterres yang dijatuhi hukuman 10
tahun. Hakim dalam hal ini melakukan terobosan hukum.

14
Ketentuan pemidaan yang dipersamakan dengan ketentuan pasal 36, 37, 38 , 39 dan 40
adalah untuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang komandan dari militer, polisi
maupun sipil seperti yang diatur dalam pasal 42 ayat 3 UU No. 26 Tahun 2000.

e. Delik tanggung jawab komando

Delik tanggung jawab komando ini diatur dalam pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 yang
membagi dalam 2 kategori pihak yang dapat terkena delik tanggung jawab komando yaitu :
1. unsur militer :
diatur dalam ayat 1 yang menentukan Komandan militer atau seseorang yang
secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan
terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang
dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya
yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan
tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian
pasukan secara patut, yaitu:
i. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar
keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut
sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat; dan
ii. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang
layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk
mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan
pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan.

2. unsur polisi atau sipil


dalam ayat 2 yang menentukan Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya,
bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan
pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:
i. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi
yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau
baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
ii. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan
dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada
pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.

Konsep tentang tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan
terhadap kemanusiaan juga mengalami distorsi dalam perumusan di UU No. 26 Tahun
2000 ini. pengertian tanggung jawab komando dalam pasal 42 ayat 1 menyatakan :

“komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer
dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi
pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan
pengendaliannya yang efektif, …”

15
Pengertian di atas, yang menggunakan kata “dapat” (could) dan bukannya “akan” (shall)
atau “harus” (should), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando
dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang diatur melalui UU ini bukanlah
sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan
pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan
pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus
dapat menunjukkan dan membuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk mengadili
para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja.

Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk
“seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal, sumber dari pasal
spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan
bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan
atau hendak melakukan kejahatan…”35

Distorsi ini berarti mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab
komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat 1 (b)
pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat “komando militer tersebut tidak melakukan
tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah
dan menghentikan perbuatan tersebut, …” namun tidak ada definisi dan batasan yang
tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggung jawab
komando.36

4. Pengadilan Ham Ad Hoc

Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26
Tahun 2000. Hal inilah yang membedakan dengan pengadilan HAM permanen yang dapat
memutus dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah
diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di
Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat
diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc ini.

Sampai saat ini sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang
berat yang terjadi di Timor-timur. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc menunjukkan bahwa
penerapan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tidak dapat diaplikasikan secara
konsekuen karena pengaturan yang lemah. Disamping itu terobosan hukum juga banyak
dilakukan oleh majelis hakim yang menangani perkara pelanggaran HAM di Timor-timur ini.

Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun
2000. Ayat 1 menyatakan bahwa pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum diundangkannya
undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. Ayat 2 menyatakan

35
Pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma: “That military commander or person either knew or, owing to the
circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes;”
(garis bawah dari penulis)
36
Batasan definitif tanggung jawab komando yang kabur ini juga diulangi pada pasal 42 ayat 2 yang mengatur
tentang tanggung jawab atasan (polisi dan pejabat sipil).

16
bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul dewan
perwakilan rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ayat 3
menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berada dalam pengadilan
umum. Dalam penjelasannya, dewan perwakilan rakyat yang juga sebagai pihak yang
mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan
terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti
tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.

Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap untuk diadakannya pengadilan HAM ad hoc
terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa.
Hal-hal yang merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :
1. adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan Komnas HAM.
2. adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung.
3. adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM
ad hoc dengan tempus dan locus delicti tertentu.
4. adanya keputusan presiden (keppres) untuk berdirinya pengadilan HAM ad hoc.

Ketentuan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau
mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc
setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM yang berat.
Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di timor-timor
menjelaskan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya
diserahkan ke kejaksaan agung, kejaksaan agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan
diserahkan ke presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan
rekomendasi. Presiden mengeluarkan keppres maka digelar pengadilan HAM ad hoc.

Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah adanya
kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai
lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya
pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu karena pelanggaran
HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik sehingga lembaga politik yang paling
cocok adalah DPR. Adanya ketentuan ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kontrol
atas adanya pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus
pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya usulan dari
DPR. Meskipun masih diperdebatkan, sebagian kalangan praktisi dan akademisi hukum
menganggap hal ini secara implisit sama halnya dengan memberikan kewenangan kepada
DPR memandang pelanggaran HAM berat ini dalam konteks politik dan dapat menyatakan ada
tidaknya pelanggaran HAM yang berat.37

37
Adanya kewenangan DPR untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc inilai yang banyak menghambat
proses kearah adanya pengadilan HAM ad hoc karena DPR menganggap tidak ada pelanggaran HAM berat dari
hasil penyelidikan komnas HAM. Contohnya adalah kasus trisaksi dan semanggi yang sampai sekarang belum dapat
dibawa ke pengadilan HAM ad hoc.

17

Anda mungkin juga menyukai