Anda di halaman 1dari 14

Afifah Miftah El Jannah

160173

Mengajar anak dengan hambatan emosi dan perilaku

1. Prestasi akademik yang buruk seringkali dikaitkan dengan anak hambatan emosi
dan perilaku

2. Peningkatan keterampilan akademik dapat mengakibatkan keadaan sosial dan


emosional yang positif

3. Proses individualisasi tidak dimaksudkan bahwa siswa akan bekerja sendiri dan
terisolasi pada tugas. Sebaliknya, proses individualisasi merupakan proses yang
secara sistematis memberikan instruksi agar prestasi anak dapat meningkat.

4. Guru yang efektif memulai pelajaran dengan memberikan review dari


pengajaran sebelumnya. Lalu mereka secara eksplisit menyampaikan tujuan dan
harapan dari pelajaran yang akan dimulai.

5. Ketika menyampaikan materi, guru yang efektif mendemonstrasikan setiap


ketrampilan dalam satu langkah kecil, menyajikan berbagai macam contoh, dan
memeriksa pemahaman siswa

6. Selama fase praktik dipandu instruksi, guru yang efektif bertanya banyak
pertanyaan, mengajak siswa untuk memberikan respon yang benar, memberikan
masukan dan mendorong pengulangan yang sukses.

7. Pembelajaran berlebihan adalah tujuan utama fase pengajaran independen yang


dapat dilakukan setidaknya dalam tiga cara; melalui praktik yang dipimpin oleh
guru, melalui pekerjaan di kursi, oleh siswa yang saling membantu

8. Transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah menghadirkan tantangan kritis


menuju yang termuda dengan gangguan emosi atau perilaku / pengajaran
metakognitif muncul sebagai sarana untuk mengatasi tantangan ini secara efektif

Terinspirasi oleh sejumlah besar bukti yang menunjukkan bahwa keefektifan


pembelajaran yang terampil dapat meningkatkan prestasi akademik dan peningkatan
kualitas anak dengan hambatan emosi. Kurangnya ketrampilan dasar bagi anak
dengan hambatan emosi dapat beresiko terhadap kegagalan pendidikan dan sosial
Afifah Miftah El Jannah

160173

anak. Ada beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara
prestasi akademik yang rendah dalam kompetensi dasar dengan gangguan emosional.
Selain itu pula, terdapat temuan dimana anak dengan prestasi belajar/membaca yang
buruk pada tingkat awal dengan gangguan perilaku di tingkat selanjutnya. Tak hanya
dalam aspek membaca, anak dengan hambata emosi dan perilaku juga memiliki
kemungkinan untuk mengalami kesulitan dalam matematika, dan lain sebagainnya.

Namun, jika anak dengan hambatan emosi dan perilaku diberikan penguatan
sehingga prestasi belajarnya meningkat, maka akan berdampak positiv pada aspek
sosialnya. Siswa yang tadinya tidak dipandang dan ditolak karena memiliki perilaku
yang buru dan tidak dapat belajar dengan baik, akan berubah status sosialnya menjadi
siswa yang cukup dipandang oleh orang lain.

Meskipun secara umum diakui bahwa pengembangan kecakapan akademik harus


menjadi komponen penting dari setiap program intervensi total untuk siswa dengan
gangguan emosi, saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa sebagai kelompok
anak-anak dengan gangguan emosi dan / atau perilaku belajar berbeda dari anak-anak
lain. Namun, karakteristik individu, serta hasil yang diantisipasi khusus anak,
memerlukan perencanaan yang komprehensif, pengiriman, dan umpan balik untuk
memastikan pencapaian pendidikan maksimum untuk setiap siswa

Komponen penting dari pengajaran yang efektif untuk siswa dengan gangguan
perilaku adalah individualisasi. Sayangnya, komponen ini sudah sangat sering
kemudian dianggap sebagai praktik yang mengharuskan siswa untuk bekerja sendirian
terisolasi oleh tugas. Bertentangan dengan gagasan yang salah paham ini,
individualisasi merupakn proses pemberian instruksi langsung dengan melibatkan
organisasi pengajaran yang sedemikian rupa untuk diupayakan untuk memaksimalkan
pembelajaran oleh setiap siswa.

Agar proses individualisasi berjalan efektif, Stevens dan Rosenshine, mengatakan


bahwa "membantu setiap siswa untuk berhasil, untuk mencapai persentase tinggi agar
siswa menjadi percaya diri dengan kompetensinya”.

Sementara tidak ada metodologi khusus untuk mengajar anak-anak dengan


gangguan perilaku saat ini, beberapa praktik pengajaran, secara filosofis dan
metodologis terkait dengan instruksi langsung. Instruksi langsung semakin diakui
Afifah Miftah El Jannah

160173

sebagai metode yang efektif dalam meningkatkan keberhasilan siswa. Untuk dapat
memberikan instruksi langsung kepada siswa, maka dibutuhkan guru yang memiliki
kompetensi tinggi atau dapat disebut sebagai guru yang efektif. Agar terciptanya
pembelajaran yang efektif, guru yang efektif melakukan beberapa kegiatan,
diantaranya;

1. Mulai pelajaran dengan ulasan singkat tentang pembelajaran sebelumnya yang


dipersyaratkan.

2. Mulailah pelajaran dengan menyatakan tujuan pembelajaran secara singkat.

3. Sajikan materi baru dalam langkah-langkah kecil, dengan praktik siswa setelah
setiap langkah.

4. Berikan instruksi dan penjelasan yang jelas dan terperinci.

5. Memberikan praktik aktif tingkat tinggi untuk semua siswa.

6. Tanyakan sejumlah besar pertanyaan, periksa pemahaman siswa, dan dapatkan


tanggapan dari semua siswa.

7. Bimbing siswa selama latihan awal.

8. Memberikan umpan balik dan koreksi sistematis.

9. Berikan instruksi dan praktik yang jelas untuk latihan kerja di kursi

INFORMASI STRUKTUR

Berbeda dengan guru efektif, guru yang kurang efektif tidak mengulas kembali
materi yang telah disampaikan sebelumnya dan tidak menjelaskan materi secara jelas.
Dalam proses pembelajarn menjadi guru yang efektif, adalah dengan mengikuti
beberapa prosedur di bawah ini;

1. Ajukan pertanyaan tentang konsep atau keterampilan yang diajarkan dalam


pelajaran sebelumnya.
Afifah Miftah El Jannah

160173

2. Mintalah siswa bertemu dalam kelompok kecil (dua hingga empat siswa per
kelompok) untuk mengulas pekerjaan rumah.

3. Mintalah siswa mempersiapkan pertanyaan tentang pelajaran atau pekerjaan rumah


dan asthem sebelumnya satu sama lain, atau mintalah guru menanyakannya ke
kelas.

4. Mintalah siswa menyiapkan ringkasan tertulis dari pelajaran sebelumnya.

5. Mintalah siswa bertanya kepada guru tentang masalah pada pekerjaan rumah.

Guru yang sukses tahu tujuan apa yang mereka harapkan agar dicapai oleh
siswa mereka, mereka secara jelas mengomunikasikan harapan ini kepada semua
siswa mereka. Setelah memusatkan perhatian pada apa yang harus dicapai, para guru
menyadarkan siswa mereka untuk merasakan misi serta menegaskan pentingnya
upaya untuk memulai. Daripada melihat tujuan sebagai statis, Pendidik harus
menganggap mereka sebagai komponen katalis dari instruktur. Dengan
menghubungkan pembelajaran baru dengan instruksi sebelumnya dan menekankan
tujuan keseluruhan. guru dapat menghindari jebakan untuk mengajarkan keterampilan
yang terisolasi yang mungkin sangat membatasi jangkauan pengajaran. dengan
pengetahuan prasyarat yang relevan, guru dapat menciptakan kerangka kerja kognitif
dimana siswa mengatur dan memproses informasi.

PRESENTASI

Selama fase presentasi pengajaran, guru yang efektif menjelaskan materi baru
dalam langkah-langkah kecil yang berjalan cepat, secara sistematis menunjukkan
masing-masing keterampilan baru dan menjelaskan secara rinci semua informasi yang
disajikan. Guru menyediakan contoh konkret dan beragam dan memeriksa
pemahaman siswa (Rosenshine & Stevens, 1986).

Instruksi langkah pada dasarnya terkait dengan fase instruksional analisis tugas,
teknik yang biasa digunakan oleh khusus pendidik dalam mengurutkan pendekatan
berurutan menuju langkah-langkah objektif yang telah ditentukan dalam penyajian
informasi dan strategi baru: 1. Keterampilan pra strategi diajarkan sebelum strategi. 2.
Afifah Miftah El Jannah

160173

Keterampilan yang mudah diajarkan sebelum yang lebih sulit. 3. Strategi dan
informasi yang cenderung membingungkan tidak diperkenalkan secara berurutan.

DEMONSTRATION

Guru yang efektif menghabiskan lebih banyak waktu untuk memperagakan


ketrampilan baru dan memberikan lebih banyak contoh dibandingkan dengan guru
yang tidak efektif. Siswa yang gurunya mengembangkan konsep melalui ceramah dan
demonstrasi mencapai lebih dari rekan-rekan mereka yang menghabiskan sebagian
besar waktu mereka bekerja secara mandiri

Kelemahan desain utama dari banyak program pengajaran untuk pelajar


berkebutuhan khusus adalah bahwa siswa diharapkan untuk bekerja sendiri sebagian
besar waktu dan memiliki beberapa interaksi terkait instruksi dengan guru.

Dengan latihan, guru bisa menjadi mahir dalam memberikan penjelasan eksplisit
yang menghasilkan kesadaran siswa yang lebih besar tentang apa sedang dipelajari,
serta bagaimana dan kapan menggunakannya

GUIDED PRACTICE
Selama fase bimbingan pengajaran yang praktik dipandu, guru membimbing
siswa dalam praktik sampai semua siswa merespons dan guru meminta siswa untuk
berlatih. selama fase praktik dipandu instruksi, guru akan memberikan beberapa
pertanyaan pada anak. Mengecek pemahanan anak,membrtikan unpan balik, serta
memberitahukan ketika terjadi kesulitan.

QUESTIONING STRATEGIES

Pertanyaan yang efektif melibatkan keberhasilan integrasi beberapa faktor


variabel.Sub proses penting dari pertanyaan yang membutuhkan pertimbangan pada
bagian dari guru adalah sebagai berikut: frekuensi dan tingkat kesulitan pertanyaan;
Tunggu waktu antara pertanyaan dan respons yang diharapkan; peluang bagi individu
Afifah Miftah El Jannah

160173

siswa untuk merespons, persentase tanggapan yang benar, dan dimensi umpan balik.
Dengn alasantugas yang relemeninjau beberapa studi nyang relevan dengan masalah
ini, sekitar tiga perempat dari pertanyaan yang diajukan harus mendapatkan jawaban
yang benar segera. Umumnya kesulitan level harus bervariasi dengan konten.

RESPONSE AND FEEDBACK

Berdasarkan penelitian dari Brophy and Good, siswa akan mendapatkan prestasi
yang baik jika guru berhenti selama 3 detik setelah menanyakan sebuah pertanyaan,
memberikan kesempatan bagi siswanya untuk berfikir tentang jawaban yang benar
sebelum memanggil nama mereka ataupun memanggil kelompok untuk menjawab
pertanyaan. Guru harus memastikan aagar semua siswa dapat berpartisipasi dalam
menjawab pertanyaan yang guru ajukan.

INDEPENDET PRACTICE
Tujuan utama fase pengajaran independen adalah untuk menyediakan peluang
siswa agar rajin belajar namun tidak berlebihan, kecil kemungkinannya akan ada
retensi jangka panjang dari materi yang baru dipelajari. Praktik mandiri dapat
dilakukan setidaknya dalam tiga cara: guru memimpin praktiknya, siswa bekerja
sendiri, dan siswa saling membantu.

TEACHER-LEAD PRACTICE

Pada tingkat dasar, praktik mandiri sering kali bisa menjadi guru. sering
memimpin kegiatan dengan pengulangan, latihan, dan sesi tanya jawab digunakan
sampai siswa menunjukkan bahwa pembelajaran berlebihan telah terjadi.
Overlearning terbukti ketika siswa mampu secara otomatis memberikan jawaban yang
cepat dan tegas jawaban tanpa diminta oleh guru.
Afifah Miftah El Jannah

160173

GREAT WORK

Ketika siswa belajar sendiri, hal tersebut dinamakan seatwork. seatwork


seringkali digunakan sebagai metode dalam pembelajaran mandiri. seatwork juga
sering dikaitkan dengan tingkat partisipasi yang rendah. Rosenshine and Stevens
menyatakan bahwa tingkat partisipasi dala seatwork diakibatkan oleh 2 faktor utama,
diantaranya; 1. sejauh mana mereka cukup siap untuk melakukan latihan-latihan
seatwork.2. manajemen dalam .

Materi yang disampaikan kepada siswa selama kegiatan seatwork harus secara
langsung berkaitan dengan informasi dan keterampilan yang ditunjukkan dan
dipraktikkan selama presentasi. Tahap-tahap instruksidipandu oleh guru. Intruksi yang
diberikan harus menarik dan menantang agar tidak menjadi kesibukan belaka.

Pengawasan siswa selama seatwork berlangsung telah dibuktikan dapat meningkatkan


keterlibatan tugas mereka. Beberapa pedoman untuk Seatwork yang efektif adalah
sebagai berikut. Guru seharusnya

1. Membantu siswa melalui contoh-contoh latihan (Brophy & Good 1986)

2. Memberikan instruksi yang jelas, eksplisit, bahkan berlebihan (Rieth & Evertson,
1988)

3. Terus memantau kemajuan siswa (Berliner, 1984; Rieth & Frick, 1983)

4. Berputarlah melintasi kelas, memberikan dorongan, umpan balik khusus, dan


bantuan (Rieth & Evertson. 1988)

5. Umumnya membatasi kontak perorangan hingga 30 detik atau kurang (Rosenshine


& Stevens, 1986)

6. Atur ruang kelas sehingga guru menghadapi kelompok pengajaran kecil dan siswa
yang terlibat dalam pekerjaan di kursi (Brophy & Evertson. 1976)

7. Gunakan rutinitas kerja kursi yang telah ditetapkan sebelumnya (Brophy, 1986)

PEER FACILITATED PRACTICE


Afifah Miftah El Jannah

160173

Telah dibuktikan bahwa pembelajaran mandiri yang dilakukan dengan tutor


teman sebaya dapat berdampak positiv bagi perkembangan akademik dan sosial bagi
anak dengan hambatan emosi dan perilaku. Ada beberapa beberapa jenis dari
pembelajaran madiri, diantaranya; (1) Team Assisted Individualization (TAl), (2)
Class wide Peer Tutoring (CWPT), (3) Classwide Student Tutoring Teams (CSTT).

Team Assisted Individualization (TAI)

Melibatkan siswa dalam kelompok belajar yang heterogen dan koopreatif


sehingga setiap siswa dapat berkontribusi dalam menyelesaikan pekerjaan
kelompoknya untuk mendapatkan skor pada kelompoknya.sistem ini dirancang agar
siswa dapat mengenal temannya juga memastikan bahwa siswa dapat memperoleh
bantuan dalam tim mereka sebelum bertanya pada guru untuk membantu dan juga
menguasai materi pelajaran.

Classwide Peer Tutoring (CWPT)

Siswa yang terlibat dalam CWPT secara acak dibagi menjadi dua tim yang
bersaing setiap minggunya . Dalam setiap tim, para siswa kemudian ditugaskan untuk
menjadi pasangan les. Setiap siswa dalam pasangan mengasumsikan peran keduanya
sebagai tutor dan tutee untuk periode waktu 15 menit dengan prosedur instruksional
yang ditentukan dalam mengatur perilaku mereka.

Tutor menyajikan pertanyaan dan tutee harus menjawab dan menulis jawabannya.
Jawaban yang benar diberikan dua poin. Jika jawaban salah, tutor memberi tahu dia
bagaimana menjawab pertanyaan dan membutuhkan siswa menulis jawaban yang
benar tiga kali. Satu poin diberikan saat tutee mengoreksi kesalahan tersebut guru
berkeliling di kelas untuk memberikan penghargaan kepada tutor terbaik dan tutee
dangan perilaku terbaik.Pada akhir sesi tutorial, total skor siswa setiap hari ditempel
di depan kelas. Poin-poin ini bersama dengan skor tes individu dihitung setiap minggu
untuk menentukan pemenang tim dan individu.

Classwide Student Tutoring Teams (CSTT)


Afifah Miftah El Jannah

160173

Terdapat kesamaan pada Classwide Peer Tutoring, namun Classwide Student


Tutoring Teams dilakukan dalam kelompok yang lebih kecil yaitu 2-5 orang. Siswa
CSTT bekerja dengan semua anggota tim pada saat yang sama dan ditugaskan secara
sistematis, bukan secara acak, ke tim. Penandatanganan dicapai dengan meminta guru
memberi peringkat secara rahasia kepada semua siswa di dalam kelas. Tim
dibandingkan dengan jumlah yang sama dari tinggi, menengah dan siswa berprestasi
rendah.

STUDENT ACTIVATED LEARNING


Sementara sebagian besar praktik dan prosedur yang disajikan dalam bab ini
dapat diklasifikasikan sebagai pengarahan guru, ada kebutuhan juga, terutama di
tingkat menengah, agar siswa mengambil peran yang lebih aktif dalam pembelajaran
mereka. Kauffman (1986) mengidentifikasi kebingungan sebagai karakteristik
dominan dari kehidupan siswa yang terganggu secara emosional. Transisi dari sekolah
dasar ke sekolah menengah lebih lanjut menghilangkan kebingungan ini. Menghadapi
tidak hanya dengan beradaptasi dengan perbedaan yang melekat dalam kurikulum,
metodologi dan bahan pengajaran yang ditemukan dari satu pengaturan sekolah ke
yang berikutnya, remaja dengan gangguan perilaku juga harus menyesuaikan secara
psikologis dengan pergeseran dari kontrol pembelajaran yang diarahkan guru sekolah
ke tanggung jawab siswa sekolah menengah ke tanggung jawab siswa sekolah
menengah untuk belajar. Menurut Schumaker, Deshler, Alley, dan Warner (1983),
ketika siswa berkembang dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama dan atas,
permintaan akan kinerja akademik meningkat. Peningkatan permintaan ini
dikombinasikan dengan kekurangan dalam keterampilan akademik dasar dan
kecemasan nonacademic di bidang-bidang seperti interaksi sosial, kompetensi
kejuruan, dan rencana masa depan semakin menambah rasa kebingungan dan
ketidakberdayaan siswa.

COGNITIVE AND METACOGNITIVE INSTUCTION


Mengakui banyak hambatan untuk kesuksesan akademik dan sosial yang dihadapi
remaja dengan masalah belajar dan perilaku, beberapa peneliti (Aley & Deschler,
1979, Armbruster, Echols & Brown, 1982; Wong, 1985) telah menyelidiki efektivitas
Afifah Miftah El Jannah

160173

strategi belajar kognitif dan metakognitif untuk meningkatkan efektivitas belajar dan
kontrol pembelajaran di antara individu-individu ini. Tanpa mengubah konten
akademik, pendekatan ini menempatkan penekanan instruksional pada mengajar
siswa cara belajar dan bagaimana mereka menerapkan apa yang dipelajari untuk
semua bidang dan pengaturan subjek (Masters & Mori, 1986). Setiap upaya untuk
membedakan antara istilah, strategi pembelajaran, strategi kognitif, dan metakognisi,
risiko penyederhanaan yang berlebihan dan kebingungan karena banyak penulis
menggunakan istilah secara bergantian atau mendefinisikan satu dengan penjelasan
yang sama yang diberikan penulis lain untuk istilah yang berbeda. Namun, dalam bab
ini definisi strategi pembelajaran yang disediakan oleh Alley dan Deshler (1979) akan
digunakan. Mereka mendefinisikan strategi pembelajaran sebagai "teknik, prinsip,
atau aturan yang akan memfasilitasi perolehan, manipulasi, integrasi, penyimpanan,
dan pengambilan informasi di seluruh situasi dan pengaturan" (Alley & Deshler, 1979,
hal. 13). Di bawah definisi ini, strategi pembelajaran menggabungkan fitur dari
pelatihan kognitif dan metakognitif (Ellis, Lenz, & Sabornie, 1987). Dalam
membedakan antara strategi kognitif dan kognitif, Flavell (1981) mengemukakan
bahwa sementara strategi kognitif melibatkan kinerja aktual dan pemantauan kinerja
itu, strategi metakognitif lebih berfokus pada aspek pemantauan. Palincsar
memberikan ilustrasi tentang hal ini:
Pengetahuan metakognitif ditunjukkan ketika seorang siswa mencatat bahwa perlu
mempersiapkan tes esai dan benar / salah yang berbeda. Ketika seorang siswa merencanakan
pendekatan untuk belajar, misalnya, dengan menyiarkan ide utama dan mendukung pernyataan
detail untuk setiap segmen teks: memantau seberapa efektif pendekatan ini bekerja; dan
mengevaluasi hasil dari menggunakan strategi seperti itu, siswa mengatur kognisi. (1986, hlm.
118-119)

Menggabungkan unsur-unsur kognitif dan metakognitif, strategi


pembelajaran1nstruksi dirancang untuk mengajarkan siswa bagaimana belajar dan
bagaimana menunjukkan pengetahuan (Deshler, Schumaker, Lenz, & Ellis, 1984).
Tiga alasan utama mendasari penggunaan strategi pembelajaran dengan remaja.
Menurut Deshler dan Schumaker (1986), alasan-alasan ini adalah sebagai berikut:

1. Pengembangan dan penerapan strategi pembelajaran berhubungan secara


signifikan Remaja yang "belajar cara belajar" saat di sekolah menengah akan
dapat
Afifah Miftah El Jannah

160173

2. Pendekatan strategi pembelajaran menuntut siswa untuk bertanggung jawab atas


usia mereka dengan siswa yang lebih tua secara konsisten lebih mahir dalam
penggunaan perilaku tersebut. untuk mempelajari keterampilan baru dan
beradaptasi dengan tuntutan masa depan.
3. Pembelajaran dan kemajuan, komitmen diperlukan jika mereka ingin menjadi
mandiri.

Semakin banyak penelitian yang mendukung penggunaan strategi


pembelajaran untuk meningkatkan kinerja akademik, Meichenbaum dan Asarm (1979)
muncul mengkaji penelitian tentang instruksi yang dirancang untuk mengajar sesi
pelatihan khas belajar mandiri, perwakilan dari studi yang mereka teliti, dimulai
dengan pemodelan siswa instruksi guru, berlanjut menjadi latihan terbuka, dan
kemudian menjadi latihan rahasia. Selama urutan ini, peserta didik didorong untuk
mengembangkan dan menggunakan pernyataan diri untuk memandu dan mengontrol
kinerja.
Model ini digunakan oleh Bommarito dan Meichenbaum (1979) untuk melatih
siswa sekolah menengah untuk memantau pemahaman bacaan mereka. siswa dalam
kelompok eksperimen yang berpartisipasi dalam enam sesi pelatihan 45 menit,
mereka terbentuk lebih baik pada tes pemahaman membaca daripada siswa dalam
kelompok kontrol. Selain itu, 1 bulan setelah perawatan selesai, tes lain dari
pemahaman membaca menghasilkan hasil yang sama. Temuan-temuan ini relatif
hubungan positif antara pengajaran dalam strategi pembelajaran dan meningkatkan
pemahaman membaca didukung dalam studi oleh Malamuth (1979), Richards dan
Agustus (1975) dan Wong dan Jones (1982).

LEARNING STRATEGIS CURRICULUM


Pembelajaran strategi adalah pembelajaran yang terdiri dari Kurikulum
Strategi Pembelajaran. Kurikulum Strategi Pembelajaran dirancang agar sesuai
dengan tuntutan kurikulum utama dari kurikulum sekolah menengah. Strandar
pertama terdiri dari strategi yang membantu siswa memperoleh informasi dari bahan
penulis. Contoh dari strategi semacam itu adalah Strategi Multipass yang
memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi dan menyimpan informasi penting atau
termasuk dalam untaian kedua kurikulum. Akhirnya, untaian ketiga Kurikulum
Afifah Miftah El Jannah

160173

Strategi Pembelajaran mencakup strategi yang bertujuan memungkinkan siswa untuk


mengatasi tuntutan ekspresi tertulis dari kurikulum sekolah menengah. Sebagai
contoh, Strategi Menulis Kalimat (Schumaker & Sheldon, 1985) memberikan siswa
dengan rutin spesifik untuk menulis berbagai jenis kalimat dan Strategi Penyelesaian
Tugas.
Komponen integral dari Kurikulum Strategi Pembelajaran adalah metodologi
pengajaran yang memungkinkan siswa untuk menguasai strategi. Metodologi ini,
yang terdiri dari fase akuisisi dan generalisasi, dirangkum dalam delapan langkah
berikut:

1. Tanyakan dan dapatkan komitmen untuk belajar


2. Jelaskan
3. Model
4. Latihan lisan
5. Praktek dan umpan balik yang terkontrol
6. Berikan latihan dan umpan balik yang sesuai
7. Dapatkan komitmen untuk menggeneralisasi
8. Generalisasi

GENERALIZATION
Selama generalisasi serentak yang terjadi selama fase akuisisi instruksi,
penekanannya adalah siswa memperoleh keterampilan yang cukup baik untuk itu
menjadi prosedur umum. Pada tahap ini, siswa harus diberikan beberapa contoh;
pengingat harian tentang keterampilan, pengetahuan, atau strategi dapat digunakan:
aplikasi untuk tugas kelas (Deshler & Schumaker, 1986). Meichenbaum (1980)
sebagaimana dikutip oleh Ellis, Lenz, dan Sabornie (1987) merekomendasikan
prosedur berikut untuk memfasilitasi generalisasi selama fase akuisisi instruksi:

1. Berikan umpan balik tentang kebenaran upaya untuk menggunakan strategi baru.
2. Tekankan prinsip atau aspek strategi sehingga skll bermakna bagi setiap siswa.
3. Dorong siswa untuk memecahkan masalah dan percaya bahwa keterampilan itu
dapat dicapai.
4. Tetapkan apakah ada sub-persyaratan prasyarat agar penyok menyamaratakan
keterampilan ke pengaturan tertentu.
Afifah Miftah El Jannah

160173

5. Pilih tugas yang memastikan tingkat kesulitan transfer berurutan. Strategi untuk
dipelajari.
6. Secara aktif melibatkan pembelajar selama perolehan keterampilan.
7. Secara umum instruktur memudar meminta untuk memastikan keterlibatan siswa.
8. Pelajari strategi dalam berbagai pengaturan dan libatkan agen yang berbeda
9. Perkuat strategi yang digunakan dan dorong kepuasan diri.

SUBSEQUENT GENERALIZATION
Setelah siswa menguasai keterampilan dan strategi baru, tetapi tidak secara
otomatis menerapkannya di pengaturan lain, pelatihan generalisasi selanjutnya
diterapkan. Generalisasi selanjutnya terdiri dari tiga fase: orientasi, aktivasi, dan
implementasi. Selama orientasi, siswa diminta untuk membuat keputusan tentang
bagaimana mereka akan menggunakan pengetahuan atau keterampilan baru yang
telah mereka peroleh (Ellis, Lenz, & Sabornie, 1987). Fase aktivasi dimaksudkan
untuk memberi siswa kesempatan untuk mempraktikkan strategi dan keterampilan
dalam berbagai pengaturan dan untuk menerima umpan balik mengenai
penggunaannya (Deshler & Schumaker, 1986). Selama fase implementasi, siswa
mulai memikul tanggung jawab untuk memelihara keterampilan baru.Elis, Lenz, and
Sabornie (1987) merekomendasikan fungsi guru sebagai berikut:

1. Mintalah siswa membuat rencana untuk mengingat pembelajaran baru.


2. Memiliki siswa memberikan umpan balik mengenai penggunaan keterampilan,
atau
3. Mintalah siswa memutuskan tingkat kinerja apa yang dapat diterima untuk
meminta orang lain memberikan umpan balik. Menerapkan keterampilan dalam
konteks yang berbeda.
4. Memiliki siswa menetapkan tujuan dan membuat rencana jangka panjang
untuk menerapkan strategi Jika siswa tidak memiliki skandal penetapan tujuan,
maka ajarkan ini pada saat yang tepat.

INDEPENDENT GENERLIZATION
Tingkat akhir proses generalisasi, generalisasi independen, mewakili
pergeseran tanggung jawab yang lebih besar untuk menerapkan keterampilan dan
pengetahuan baru dari guru kepada siswa. Pada tingkat pelatihan ini, siswa dilatih
Afifah Miftah El Jannah

160173

untuk menggunakan prosedur kontrol diri, teknik penetapan tujuan. , perilaku


penguatan diri (Els, Lenz, & Saboie, 1987). Setelah tahap ini, siswa berusaha untuk
benar-benar menjadi pembelajar mandiri, aktif terlibat dalam proses pembelajaran
mereka sendiri. Menurut Zimmerman, pelajar yang diatur sendiri adalah mereka yang
secara motivasi menganggap diri mereka "kompeten, terbukti dan mandiri " (1986, p.
308).

Anda mungkin juga menyukai