Anda di halaman 1dari 14

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA


13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

ANALISIS FASIES FLUVIAL PADA FORMASI KIKIM ANGGOTA CAWANG DI


JALUR SUNGAI MENGHALUS, SUMATRA SELATAN

Hagi Ridho Raras 1*


Salahuddin Husein1
Moch. Indra Novian1
Rahmadi Hidayat1
1
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No.2 Bulaksumur, Yogyakarta,
Indonesia Tel. 0274-513668
*corresponding author: hagi.r.raras@gmail.com

ABSTRAK
Formasi Lahat atau Formasi Kikim yang merupakan salah satu formasi pengisi di Cekungan Sumatra
Selatan, mempunyai peranan yang penting di dalam petroleum system cekungan tersebut. Formasi Kikim
sendiri mempunyai Anggota Cawang yang litologinya tersusun secara dominan oleh kandungan kuarsa.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lingkungan pengendapan daerah penelitian melalui analisis
fasies. Hal tersebut menarik dilakukan karena terkait dengan potensi reservoir pada formasi tersebut.
Analisis fasies dilakukan pada suksesi stratigrafi yang memiliki ketebalan mencapai 500 meter pada jalur
pengukuran Sungai Menghalus, Sumatra Selatan. Analisis tersebut mengarah kepada pembagian fasies
dengan melalui dua pendekatan, yaitu: (1) pendekatan secara deskriptif di lapangan dan (2) pembagian
fasies yang mengacu pada klasifikasi Miall (1978). Pembagian fasies berdasarkan deskriptif lapangan
menghasilkan 11 fasies, yaitu: fasies batupasir kerikilan-batupasir (GSS), fasies batupasir (S), fasies
batulanau-batupasir silang siur (SLCBS), fasies batupasir tufan (TS), fasies konglomerat (CM), fasies
batulanau-batupasir (SLS), fasies batulanau (SL), fasies batulempung-batupasir flaser (CLFS), fasies
batulempung (CL), fasies batulanau-batupasir flaser silang siur (SLFCBS), dan fasies batupasir kerikilan
gradasi normal-batupasir (GGSS). Sementara itu, pembagian fasies yang mengacu pada klasifikasi Miall
menghasilkan 8 fasies: gravel clast graded (Gcg), gravel matrix graded (Gmg), gravel planar cross-bed
(Gp), gravel horizontal (Gh), sandstone low-angle cross-bed (Sl), sandstone horizontal (Sh), fine silt mud
(Fsm), dan fine mud (Fm). Asosiasi fasies yang dihasilkan dari observasi fasies terdiri dari: sandy
bedform (SB), levee (Lv), crevasse splay (Cs), floodplain (FF), dan gravel bedform (GB). Lingkungan
pengendapan pada daerah penelitian adalah lingkungan fluvial sistem sungai braided.
Kata kunci : analisis fasies, Anggota Cawang, Miall, lingkungan fluvial

1. Pendahuluan
Cekungan Sumatra Selatan, merupakan salah satu cekungan yang paling ekonomis di
Indonesia. Banyak rembesan minyak yang telah diketemukan di daerah tersebut. Batuan induk
dan reservoir yang menghasilkan hidrokarbon telah banyak dilaporkan (Courteny dkk., 1990;
Kasim dan Amstrong, 2015). Kegiatan eksplorasi yang dimulai sejak tahun 1905 (Sarjono &
Sardjito, 1989), terus berlangsung hingga saat ini untuk memenuhi kebutuhan hidrokarbon
dalam negeri. Cekungan Sumatra Selata telah menghasilkan minyak mencapai 2 BBO (Billion
Barrel Oil). Selain itu, cekungan tersebut juga telah menghasilkan gas yang diperkirakan
mencapai lebih dari 6 TCF (Ginger & Fielding, 2005).
Formasi Kikim atau yang lebih dikenal dengan Formasi Lahat (Gafoer dkk., 1993)
merupakan salah satu Formasi yang mempunyai peranan yang penting di dalam sistem
petroleum pada Cekungan Sumatra Selatan. Oleh karenanya, sudah banyak penelitian
sebelumnya yang dilakukan pada formasi tersebut. Namun, penelitian secara detail mengenai
analisis fasies, proses sedimentasi dan interpretasi lingkungan pengendapan belum dilakukan.
Lebih lanjut, Anggota Cawang yang merupakan bagian dari Formasi Kikim memiliki keunikan

765
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

khusus dengan kandungan komposisi kuarsanya yang sangat dominan. Hal ini menjadi sangat
menarik untuk dilakukan analisis fasies pada satuan batuan tersebut.
Tujuan penelitian ini nantinya untuk mengetahui perubahan fasies dan perubahan proses
sedimentasi yang terjadi pada suatu suksesi stratigrafi di Formasi Kikim Anggota Cawang. Jalur
stratigrafi yang dijadikan objek penelitian adalah Anggota Cawang pada Sungai Menghalus
(Gambar 1), Pegunungan Garba, Sumatra Selatan. Lokasi pengukuran pada jalur ini
menunjukkan susunan stratigrafi yang relatif menerus dan cukup baik digunakan untuk studi
mengenai fasies dan stratigrafi. Nantinya, studi ini bisa digunakan untuk menentukan potensi
dan peresebaran reservoir pada sistem petroleum di Cekungan Sumatra Selatan.
1.1. Tatanan Geologi Daerah Penelitian
Cekungan Sumatra Selatan merupakan salah satu cekungan back arc yang terkait dengan
proses subduksi antara lempeng Samudera Hindia dengan Lempeng Eurasia. Terbentuknya
cekungan yang berorientasi Utara Barat Daya-Selatan Tenggara ini diduga diakibatkan oleh
adanya gaya tarik regional pada Kapur Akhir hingga Tersier Awal terkait dengan perubahan
fase pergerakan lempeng oleh subduksi (De Coster, 1974). Cekungan tersebut di batasi oleh
Pegunungan Bukit Barisan di bagian barat, Tinggian Tigapuluh di bagian utara, Selat Karimata
di bagian timur, dan Tinggian Lampung di bagian Selatan (De Coster, 1974). Daerah penelitian
sendiri, yang meliputi Sungai Menghalus berada di Sub-cekungan Palembang Selatan (William
dkk., 1995; Suseno dkk., 1992, dan Bishop, 2001). Stratigrafi yang mengisi subcekungan
tersebut terdiri dari dua fase pengendapan, yaitu fase transgresi dan fase regresi (Ginger dan
Fielding, 2005). Fase transgresi ditandai dengan mulai diendapkannya Formasi Lahat/Kikim
pada lingkungan darat di atas basement yang berumur Mesozoik. Setelahnya terendapkan
formasi-formasi pada lingkungan yang semakin mendalam (secara berurutan dari yang paling
tua): Formasi Talang Akar, Formasi Batu Raja, dan diakhiri dengan pengendapan Formasi
Gumai di lingkungan laut dalam. Fase regresi dimulai dengan diendapkannya Formasi Air
Benakat pada lingkungan laut dangkal, Formasi Muara Enim pada lingkungan transisi, dan
diakhiri dengan Formasi Kasai pada lingkungan terestrial (Gambar 2).
Struktur geologi yang berada di Cekungan Sumatra Selatan diinterpretasi terbentuk akibat
tiga episode aktivitas orogenik, yaitu: Orogenik Mesozoik Tengah, Tektonisme Kapur Akhir-
Tersier Awal dan Orogenik Pliosen-Pleistosen (De Coster, 1974). Ketiga episode orogenik
tersebut menghasilkan tiga tren utama struktur pada Cekungan Sumatra Selatan (Pulunggono
dkk., 1992): Tren Lematang yang berorientasi N 300oE (TTg-BBL), tren Utara-Selatan, dan tren
yang berorientasi N 320oE (Gambar 3).

2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer berupa data stratigrafi terukur pada jalur Sungai
Menghalus dan ditunjang dengan studi literatur dari beberapa sumber dan peneliti terdahulu
untuk melengkapi kajian mengenai studi regional. Selain itu studi literatur juga digunakan
sebagai bahan acuan untuk menginterpretasi proses-proses sedimentasi yang terjadi dan
penentuan lingkungan pengendapan. Data primer yang berupa kolom stratigrafi terukur dipakai
untuk dilakukan analisis fasies. Analisis tersebut membagi suksesi vertikal stratigrafi di jalur
Sungai Menghalus menjadi beberapa fasies. Fasies sendiri menurut Selley (1985) dapat
dipisahkan satu dan lainnya dengan mengamati parameter litologi, geometri, struktur sedimen,
kandungan fosil dan arah purbanya. Selanjutnya fasies-fasies yang telah dihasilkan akan
diobservasi lebih lanjut untuk ditentukan asosiasi fasiesnya. Dari asosiasi fasies inilah nantinya
akan menghasilkan interpretasi proses sedimentasi dan lingkungan pengendapannya. Adapun
pembagian fasies pada penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu: pendekatan secara

766
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

deskriptif dan pendekatan yang mengacu pada Miall (1978). Pendekatan secara deskriptif
kurang lebihnya membedakan fasies yang terlihat pada observasi lapangan dengan mengacu
pada parameter yang dikemukakan oleh Selley (1985). Sedangkan pendekatan yang mengacu
pada Miall (1978) dibagi dan diberi nama berdasarkan perbedaan ukuran butir, hubungan antar
butir, dan struktur sedimen. Pembagian fasies pada penelitian ini juga didukung dengan
observasi data granulometri yang belum dapat dipublikasikan pada publikasi ini.

3. Data
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, pembagian litofasies suksesi stratigrafi pada jalur
Sungai menghalus berdasarkan pendekatan Miall menghasilkan 8 fasies. Di sisi lain, pembagian
litofasies dengan pendekatan deskriptif lapangan menghasilkan fasies sedimen sebanyak 11
fasies.
3.1. Pembagian fasies dengan pendekatan Miall
Pemberian nama fasies dengan pendekatan Miall dilakukan dengan memberikan kode.
Umumnya kode untuk nama fasies tersebut terdiri dari dua haruf. Huruf pertama menyatakan
ukuran butir, huruf kedua menyatakan struktur sedimen. Namun, pada beberapa fasies, diantara
kedua huruf tersebut ditambah satu huruf yang menyatakan hubungan anatar butir fasies
tersebut. Berikut ini adalah pembagian litofasies berdasarkan pendekatan Miall pada stratigrafi
daerah penelitian (Gambar 5):
a. Fasies Gcg (Gravel Clast supported Graded bedding).
Fasies Gcg merupakan fasies yang tersusun atas batupasir kerikilan hingga kerakal dengan
hubungan butir terdukung grain dan mempunyai struktur sedimen berupa gradasi normal.
Fasies ini mempunyai ketebalan 1-3 meter. Fasies ini banyak berkembang di bagian atas
suksesi. Fasies ini diinterpretasikan diendapkan pada aliran debris energi tinggi yang kaya
akan klastika.
b. Fasies Gmg (Gravel Matrix supported Graded bedding).
Fasies Gmg hampir serupa dengan fasies Gcg. Hanya saja pada fasies ini, hubungan antar
butir yang dominan adalah yang terdukung matriks. Tebal fasies ini pada daerah penelitian
kurang lebih mencapai 2 meter. Fasies ini berkembang pada litologi konglomerat yang
berada di bagian tengah suksesi. Fasies ini diinterpretasikan sebagai hasil dari aliran debris
dengan energi rendah yang mempunyai tingkat kekentalan tinggi.
c. Fasies Gp (Gravel Planar cross bed).
Fasies Gp tersusun atas litologi silisiklastik yang berukuran kerikil hingga berangkal
dengan struktur sedimen silang siur planar. Tebal rata-rata fasies ini adalah 1 hingga 1,5
meter. Fasies ini juga berkembang di bagian atas dari suksesi stratigrafi. Fasies ini
diinterpretasikan sebagai hasil dari proses pengisian channel yang bermigrasi.
d. Fasies Gh (Gravel Horizontal).
Fasies Gh merupakan fasies sedimen yang tersusun atas butir sedimen yang berukuran
lebih kasar dari pasir dengan struktur sedimen perlapisan. Tebal fasies ini sekitar 1-2 meter.
Berbeda dengan ketiga fasies sebelumnya, fasies ini cenderung berkembang dominan pada
bagian bawah suksesi. Keberadaannya juga dijumpai pada bagian atas suksesi dengan
jumlah yang minor. Fasies ini diinterpretasikan sebagai lag deposit dan longitudinal
bedforms dari pengendapan pada sistem sungai.
e. Fasies Sl (Sandstone Low angle cross bed).
767
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Fasies ini tersusun atas litologi yang didominasi oleh material silisiklastik berukuran pasir
dengan struktur sedimen silang siur dengan bidang perpotongan kurang dari 15 o. Tebal
fasies ini berkisar antara 1 hingga 1,5 meter. Perkembangan fasies Sl pada suksesi daerah
penelitian umum dari bawah hingga bagian tengah. Sedangkan pada bagian atas suksesi,
fasies ini hampir tidak dijumpai. Fasies ini diinterpretasikan sebagai hasil dari proses
pengisian scour dan dune-antidune.
f. Fasies Sh (Sandstone horizontal).
Fasies Sh ciri-cirinya tidak jauh berbeda dengan fasies Gh. Hanya saja butir yang
mendominasi pada fasies ini berukuran pasir. Fasies ini juga mempunyai ketebalan 1-2
meter. Perkembangan fasies pada suksesi jalur Sungai Menghalus tersebar secara merata
dari bagian bawah hingga atas. Fasies ini diinterpretasikan sebagai hasil endapan pada
aliran plane bed critical.
g. Fasies Fsm (Fine Silt Mud).
Fasies Fsm merupakan fasies yang tersusun atas perselingan litologi berukuran halus yaitu
lanau dan lempung dengan struktur yang massif. Tebal lapisan ini dapat mencapai
ketebalan satu meter. Fasies ini dominan berkembang di bagian tengah suksesi. Adapun,
Miall menginterpretasikan endapan ini sebagai hasil dari endapan pada daerah backswamp
atau abandoned channel.
h. Fasies Fm (Fine mud).
Fasies Fm ini tersusun atas litologi lempung yang strukturnya massif atau mudcrack. Tebal
lapisan ini bias mencapai 0,5 meter. Fasies ini juga dominan berkembang di bagian tengah
dari suksesi di daerah penelitian. Fasies Fm diinterpretasikan sebagai hasil dari endapan
overbank atau abandoned channel.
3.2. Pembagian fasies dengan pendekatan deskriptif lapangan
Pembagian fasies dengan pendekatan ini lebih mengutamakan observasi di lapangan yang
selanjutnya membagi fasies berdasarkan parameter yang dikemukakan oleh Selley (1985).
Adapun 11 fasies yang telah ditentukan adalah sebagai berikut (Gambar 5):
a. Fasies batupasir kerikilan – batupasir (GSS)
Fasies batupasir kerikilan – batupasir (GSS) tersusun atas perulangan batupasir kerikilan
dengan batupasir. Fasies ini berada pada interval pertama di jalur Sungai Menghalus.
Ketebalan fasies ini diperkirakan lebih dari 40 meter. Mengacu pada standar litofasies
Miall (1978c) dalam Miall (1996), Fasies GSS bersesuaian dengan fasies Gh dan Sh.
Batupasir kerikilan pada fasies ini berwarna kuning kecokelatan dengan ukuran butir pasir
sedang-kerikil. Litologi ini mempunyai sortasi sedang dan clast supported (Gambar 4A).
Komposisi penyusunnya terdiri dari kuarsa, plagioklas, dan litik batuan. Sedangkan
litologi batupasir memiliki warna kuning kecoklatan dengan ukuran butir pasir sedang-
kasar. Mempunyai sortasi yang baik dan clast supported. Komposisi penyusunnya
dominan terdiri dari plagioklas dan kuarsa.
b. Fasies batupasir (S)
Fasies batupasir (S) tersusun atas perulangan batupasir. Fasies ini berada pada interval
kedua, keempat, dan kedelapan di jalur Sungai Menghalus. Ketebalan fasies S pada
interval kedua mencapai kurang lebih 25 meter. Pada interval keempat dan kedelapan,
fasies ini memiliki tebal mencapai 10 meter dan 20 meter. Mengacu pada standar litofasies
Miall (1978c) dalam Miall (1996), fasies S bersesuaian dengan fasies Sh yang sangat
dominan. Batupasir pada fasies ini berwarna putih kekuningan dan abu-abu dengan ukuran
768
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

butir pasir halus-kasar. Batupasir ini mempunyai sortasi baik dan clast supported.
Batupasir ini memiliki tingkat kebolaan high sphericity dan tingkat kebundaran angular –
subrounded. Struktur sedimen fasies tersebut adalah masif (Gambar 4B). Komposisi
penyusunnya terdiri dari kuarsa, plagioklas, litik andesit, dan piroksen.
c. Fasies batulanau – batupasir silang siur (SLCBS)
Fasies batulanau - batupasir silang siur (SLCBS) tersusun atas perselingan batulanau dan
batupasir silangsiur (4C). Fasies ini berada pada interval ketiga dan kesebelas di jalur
Sungai Menghalus. Ketebalan fasies SLCBS pada interval ketiga diperkirakan mencapai
10 meter. Pada interval kesebelas, fasies ini diperkirakan memiliki ketebalan mencapai
lebih dari 10 meter. Mengacu pada standar litofasies Miall (1978c) dalam Miall (1996),
Fasies SLCBS bersesuaian dengan fasies Sl dan Fsm. Batupasir pada fasies ini berwarna
kuning kemerah-merahan dan abu-abu dengan ukuran butir pasir sedang-kasar. Litologi ini
mempunyai sortasi baik dan clast supported. Komposisi penyusunnya terdiri dari kuarsa
(tidak dominan), plagioklas, litik andesit, dan piroksen. Struktur sedimen yang khas pada
fasies ini adalah silang siur. Sedangkan batulanau pada fasies ini memiliki warna abu-abu
kecoklatan dengan ukuran butir lanau. Komposisi material penyusunnya terdiri atas
sedimen berukuran lanau.
d. Fasies konglomerat (CM)
Fasies konglomerat (CM) tersusun atas konglomerat (Gambar 4D) yang bergradasi normal.
Fasies ini berada pada interval keenam di jalur Sungai Menghalus. Ketebalan fasies CM
diduga mencapai 2 meter. Mengacu pada standar litofasies Miall (1978c) dalam Miall
(1996), Fasies CM bersesuaian dengan fasies Gmg. Konglomerat berwarna abu-abu
kecoklatan dengan ukuran butir fragmen kerikil-kerakal, ukuran butir matriksnya pasir
sedang-kasar, mempunyai sortasi buruk dan matrix supported. Komposisi fragmen
penyusunnya terdiri lapili tuf, litik andesit, & kuarsa. Sedangkan, komposisi matriksnya
adalah plagioklas, kuarsa & litik. Struktur sedimen pada fasies konglomerat adalah gradasi
normal.
e. Fasies batupasir tufan (TS)
Fasies batupasir tufan (TS) tersusun atas litologi batupasir tufan (Gambar 4E). Fasies ini
berada pada interval kelima dan ketujuh di jalur Sungai Menghalus. Ketebalan fasies TS
diperkirakan mencapai 1,5 meter. Dikarenakan fasies ini kaya akan produk vulkanisme,
tidak ada litofasies Miall yang sepadan dengannya. Batupasir tufan pada fasies ini
memiliki warna putih abu-abu dengan ukuran butir 1/16 – 2 milimeter. Litologi ini
mempunyai sortasi sedang dan clast supported. Komposisi penyusunnya terdiri atas tuf,
plagioklas, dan sedikit litik andesit. Struktur sedimen pada fasies lapili tuf adalah
perlapisan.
f. Fasies batulanau –batupasir (SLS)
Fasies batulanau - batupasir (SLS) tersusun atas perulangan batulanau dan batupasir
dengan struktur perlapisan (4F). Fasies ini berada pada interval kesembilan di jalur Sungai
Menghalus. Ketebalan fasies SLS diperkirakan mencapai lebih dari 10 meter. Mengacu
pada standar litofasies Miall (1978c) dalam Miall (1996), Fasies SLS bersesuaian dengan
fasies Fsm dan Sh. Batupasir pada fasies ini berwarna kuning kemerah-merahan dan abu-
abu dengan ukuran butir pasir halus-sedang, mempunyai sortasi baik dan clast supported.
Komposisi penyusunnya terdiri dari kuarsa (tidak dominan), plagioklas, dan litik andesit.
Struktur sedimen yang khas pada fasies ini adalah perlapisan. Batulanau fasies ini
berwarna abu-abu kecoklatan dengan ukuran butir lanau. Komposisi material penyusunnya
terdiri atas sedimen berukuran lanau.
769
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

g. Fasies batulanau (SL)


Fasies batulanau (SL) tersusun atas litologi perulangan batulanau. Fasies ini berada pada
interval kesepuluh di jalur Sungai Menghalus. Ketebalan fasies SL diperkirakan mencapai
lebih dari 5 meter, dengan tiap lapisan mempunyai ketebalan sekitar 1- 2 meter. Bagian
tengah fasies ini terpotong oleh blank zone setebal 55 meter yang membuat fasies batuan
pada zona kosong tersebut tidak diketahui secara pasti. Pada bagian atas fasies ini mulai
terendapkan batupasir. Mengacu pada standar litofasies Miall (1978c) dalam Miall (1996),
Fasies SL bersesuaian dengan fasies Fsm. Batulanau pada fasies ini memiliki warna abu-
abu kecoklatan (Gambar 4G) dengan ukuran butir lanau. Komposisi material penyusunnya
terdiri dari sedimen berukuran lanau. Batulanau tersebut mempunyai sortasi yang baik.
h. Fasies batulempung – batupasir flaser (CLFS)
Fasies batulempung – batupasir flaser (CLFS) tersusun atas litologi batulempung dan
batupasir dengan struktur flaser. Fasies ini berada pada interval keduabelas di jalur Sungai
Menghalus. Ketebalan fasies CLFS diperkirakan tidak lebih lebih dari 13 meter. Mengacu
pada standar litofasies Miall (1978c) dalam Miall (1996), Fasies CLFS bersesuaian dengan
fasies Fm dan Sh. Batupasir pada fasies ini berwarna kuning kemerah-merahan (Gambar
4H) dan abu-abu dengan ukuran butir pasir halus-sedang, mempunyai sortasi baik dan
clast supported. Komposisi penyusunnya terdiri dari kuarsa (tidak dominan), plagioklas,
dan litik andesit. Struktur sedimen yang khas pada batupasir ini adalah flaser, yaitu
batulempung yang membentuk kenampakan melensa di tengah-tengah litologi batupasir.
Batulempung pada fasies ini memiliki warna abu-abu kecoklatan dengan ukuran butir
lempung. Komposisi material penyusunnya terdiri dari material sedimen berukuran
lempung.
i. Fasies batulempung (CL)
Fasies batulempung (CL) tersusun atas litologi batulempung. Fasies ini berada pada
interval ketigabelas di jalur Sungai Menghalus. Ketebalan fasies CL diperkirakan tidak
lebih dari 2 meter. Mengacu pada standar litofasies Miall (1978c) dalam Miall (1996),
Fasies CL bersesuaian dengan fasies Fm. Batulempung ini memiliki warna abu-abu gelap
(4I) dengan ukuran butir lempung. Komposisi material penyusunnya terdiri dari material
sedimen berukuran lempung yang kaya akan kandungan airnya.
j. Fasies batulanau-batupasir flaser silang siur (SLFCBS)
Fasies batulanau – batupasir flaser silang siur tersusun atas litologi batulanau dan batupasir
dengan struktur flaser dan silang siur. Fasies ini berada pada interval keempatbelas di jalur
Sungai Menghalus. Ketebalan fasies SLFCBS diperkirakan mencapai lebih dari 10 meter.
Akan tetapi, di atas fasies ini terdapat blank zone setebal 113 meter. Mengacu pada standar
litofasies Miall (1978c) dalam Miall (1996), Fasies SLFCBS bersesuaian dengan fasies
Fsm, Sl dan Sh. Batupasir pada fasies ini berwarna kuning merah dan abu-abu dengan
ukuran butir pasir halus-sedang. Litologi ini mempunyai sortasi baik dan clast supported.
Komposisi penyusunnya terdiri dari kuarsa (tidak dominan), plagioklas, dan litik andesit.
Struktur sedimen yang khas pada batupasir ini adalah flaser (4J). Selain itu juga terdapat
struktur silang siur. Batulanau pada fasies ini memiliki warna abu-abu kecoklatan dengan
ukuran butir lempung. Komposisi material penyusunnya terdiri dari material sedimen
berukuran lempung.
k. Fasies batupasir kerikilan gradasi normal-batupasir (GGSS)
Fasies batupasir kerikilan gradasi normal – batupasir (GGSS) tersusun atas perulangan
batupasir kerikilan gradasi normal dengan batupasir dan batupasir halus (Gambar 4K).

770
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Fasies ini berada pada interval terakhir di jalur Sungai Menghalus. Ketebalan fasies ini
diperkirakan mencapai 30 meter. Mengacu pada standar litofasies Miall (1978c) dalam
Miall (1996), Fasies GGSS bersesuaian dengan fasies Gcg, Gh, Gp, dan Sh. Batupasir
kerikilan di fasies ini berwarna kuning kecoklatan dengan ukuran butir pasir sedang-kerikil.
Mempunyai sortasi sedang dan clast supported. Komposisi penyusunnya terdiri dari
kuarsa, plagioklas, dan material vulkanik. Struktur sedimen yang berkembang pada litologi
ini adalah gradasi normal dan silang siur. Batupasir pada fasies ini berwarna kuning
kecoklatan dengan ukuran butir pasir sedang-kasar. Litologi ini mempunyai sortasi yang
baik dan clast supported. Komposisi penyusunnya terdiri dari kuarsa, plagioklas, litik
andesit dan material vulkanik. Struktur sedimen yang terdapat pada litologi ini adalah
perlapisan. Sedangkan batupasir halus pada fasies ini memiliki warna coklat kekuning-
kuningan dengan ukuran butir pasir halus (1/16 – 1/2 milimeter). Litologi ini mempunyai
sortasi yang baik dan clast supported. Komposisi penyusunnya terdiri dari kuarsa,
plagioklas, dan litik. Struktur yang berkembang pada batupasir halus ini adalah perlapisan.
Batupasir ini menyisip di antara batupasir kerikilan.

4. Hasil dan Pembahasan


Asosiasi fasies pada jalur Sungai Menghalus dibuat berdasarkan kemungkinan elemen
arsitektural pada lingkungan pengendapan masa lampau. Pembagian asosiasi fasies ini mengacu
pada klasifikasi yang dikemukakan oleh Miall (1985) dalam Miall (1996). Asosiasi fasies pada
jalur ini terbagi menjadi 5 kelompok (Tabel 13), yaitu: sandy bedforms (SB), levee (LV),
floodplain (FF), crevasse splay (CS), dan gravel bedforms (GB). Pada dasarnya, pembagian
asosiasi fasies berdasarkan elemen arsitektural suatu suksesi batuan perlu melibatkan aspek
geometri eksternal. Namun, aspek tersebut pada penelitian ini kurang signifikan dikarenakan
singkapan yang terbatas akibat proses pelapukan dan faktor vegetasi. Adapun penjelasan
masing-masing asosiasi fasies adalah sebagai berikut:
a. Sandy bedform (SB)
Asosiasi fasies sandy bedform didominasi oleh fasies Sh. Namun, selain itu juga terdapat
beberapa fasies lain seperti Gh, Sh, Sl, Gmg dan Fsm. Ketebalan asosiasiasi fasies SB
mencapai 125 meter. Di bagian bawah didominasi oleh fasies Gh yang memiliki ukuran
butir yang kasar. Semakin ke atas, butir yang terendapkan menjadi berukuran lebih halus.
Hal tersebut menunjukkan adanya pengurangan energi yang dibawa oleh aliran air
sebagai agen transportasinya. Fasies Gh dan Sh ini diinterpretasikn sebagai dune yang
terbentuk akibat perbandingan kecepatan aliran dan gaya gravitasi. Lapisan silang siur di
bagian atas asosiasi fasies SB menunjukkan bahwa dune tersebut mengalami migrasi. Di
samping itu, asosiasi fasies ini juga ditandai dengan keberadaan fasies batupasir tufan
yang merupakan campuran produk vulkanisme. Oleh karenanya, proses pengendapan
asosiasi fasies SB sempat mendapat gangguan adanya peristiwa vulkanisme. Fasies Gmg
yang berada di antara fasies batupasir tufan (TS) diduga diiendapkan melalui aliran
debrish flow dengan energi tinggi akibat suplai sedimen tambahan dari aktivitas
vulkanisme yang terjadi. Pada beberapa tempat, fasies Gmg ini sering mengerosi litologi
yang dilewatinya. Namun, hal tersebut tidak nampak pada rekaman stratigrafi di jalur
Sungai Menghalus. Secara keseluruhan, asosiasi fasies ini menunjukkan pengisian
channel.
b. Levee (Lv)
Asosiasi fasies levee merupakan bagian dari endapan overbank suatu tubuh sungai.
Umumnya fasies levee dicirikan dengan perselingan antara batupasir yang berukuran

771
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

halus dengan batulanau. Dalam penelitian ini, asosiasi fasies Lv tersusun atas fasies Sh
dan Fsm. Ketebalan asosiasi fasies ini mencapai 6 meter. Bagian atas dari asosiasi fasies
ini berkembang fasies Sh yang mempunyai struktur perlapisan. Hal tersebut
menunjukkan adanya pengendapan material sebagai bedform. Pada sampel setangan
fasies Sh ditemukan sisa tanaman yang cukup dominan. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa masa batuan ini merupakan tanggul alam (levee) pada endapan sungai.
Interpretasi tersebut didukung dengan adanya perselingan batulanau (Fsm) di antara
fasies Sh.
c. Floodplain (FF)
Asosiasi fasies FF juga merupakan bagian endapan overbank dari suatu tubuh sungai.
Asosiasi fasies floodplain tersusun sepenuhnya atas fasies Fsm. Hal ini menunjukkan
bahwa pengendapan material di daerah tersebut mempunyai energi yang tenang. Asosiasi
fasies yang didominasi oleh material berukuran halus ini mempunyai ketebalan hampir
mencapai 50 meter. Akan tetapi, estimasi angka ketebalan asosiasi fasies ini perlu dikaji
ulang dengan tambahan data yang lebih akurat. Mengingat terdapat banyak blank zone
yang cukup tebal pada asosiasi fasies ini. Fasies yang mempunyai ukuran halus sering
diinterpretasikan sebagai endapan dataran banjir. Dugaan tersebut diperkuat dengan
kandungan material sisa tanaman pada fasies tersebut. Dataran banjir di sekitar sungai
diakibatkan karena adanya ketidakmampuan daya tampung tubuh sungai untuk menahan
debit yang mengalir. Hasilnya, material yang seharusnya tertransportasi melalui sungai
menjadi terhempas di bagian tubuh konduit sungai. Kondisi memungkinkan partikel
halus yang tertransportasi secara suspensi pada aliran sungai terendapkan pada daerah
dataran banjir. Apabila suplai sedimen yang datang memiliki energi yang besar dan
cenderung mengakibatkan adanya loss competence, maka akan terbentuk crevasse splay.
d. Crevasse splay (CS)
Asosiasi fasies CS juga merupakan endapan overbank dari suatu tubuh sungai. Asosiasi
fasies ini mempunyai ciri khas dibandingkan dengan elemen arsitektural yang lainnya
karena mempunyai suksesi vertikal yang cenderung mengkasar ke atas. Asosiasi crevasse
splay pada penelitian ini mempunyai ketebalan mencapai lebih dari 50 meter. Namun,
angka ini juga masih bersifat estimatif karena dijumpai banyaknya zona blank yang
memenuhi asosiasi fasies tersebutr. Asosiasi fasies ini terdiri dari fasies Sh, Sl, Fm, dan
Fsm. Litologi batupasir pada fasies Sl merupakan indikasi yang khas pada crevasse splay.
Hal tersebut diperkuat dengan adanya kehadiran fasies Fm dan Fsm yang bergradasi
mengkasar ke atas. Asosiasi ini terbentuk akibat adanya loss competence pada tubuh
sungai yang berenergi tinggi. Hal tersebut menyebabkan debit/aliran fluida memecah
batas tubuh sungai dan menghempaskan material ke luar. Pada daerah penelitian,
dijumpai kehadiran struktur flaser berupa lensa batulempung di antara batupasir. Struktur
tersebut dapat saja terjadi karena keadaan energi yang fluktuatif karena adanya pengaruh
crevasse splay.
e. Gravel bedform (GB)
Asosiasi fasies gravel bedform (GB) didominasi oleh fasies Gcg. Selain itu, asosiasi
fasies GB juga terdiri dari fasies Gt dan Sh. Ketebalan asosiasiasi fasies SB mencapai 30
meter. Fasies Gcg yang mendominasi interval ini diinterpretasikan diendapkan dengan
aliran debrish flow dengan energi yang rendah. Melihat asosiasi fasies GB yang tersusun
oleh material berukuran butir pasir-kerikil, fasies ini terendapkan melalui mekanisme
bedload. Oleh karenanya, interval ini diinterpretasikan sebagai elemen dune pada aliran
sungai. Hal yang memperkuat dugaan bahwa material ini sebagai elemen dune pada
aliran sungai adalah adanya struktur silang siur yang menunjukkan adanya migrasi dune
772
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

atau ripple. Dune pada asosiasi GB ini diinterpretasikan diendapkan pada channel bar.
Hal tersebut dikarenakan sangat jarang dijumpai elemen GB pada point bar. Secara
keseluruhan, asosiasi fasies ini menunjukkan fase pengisian channel (2).
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa pada bagian bawah dari suksesi
didominasi oleh material yang berukuran pasir. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya asosiasi
fasies sandy bedform. Pada bagian bawah ini terdapat sisipan fasies Fsm yang minor dan
berkembang pula struktur silang siur. Ini mengindikasikan adanya migrasi sungai/ channel. Oleh
karenanya, bagian bawah ini dapat diinterpretasikan sebagai fase pengisian channel. Fase
setelahnya, atau pada bagian tengah suksesi, material didominasi oleh partikel sedimen
berukuran halus. Hal tersebut diinterpretasikan bahwa bagian ini merupakan endapan overbank.
Terdapat 3 asosiasi fasies pada bagian ini yang semakin memperkuat dugaan bahwa endapan di
tengah suksesi merupakan endapan overbank. Ketiga asosiasi fasies tersebut adalah tanggul alam
(levee), dataran banjir (floodplain), dan crevasse splay. Jika melihat ukurannya yang halus,
endapan overbank ini diendapkan pada lingkungan dengan energy yang lebih rendah dari
kelompok sebelumnya (fase pengisian channel). Pada bagian tengah suksesi ini juga
berkembang struktur silang siur. Tentunya pada fase ini juga terjadi migrasi sungai. Pada bagian
atas, kondisi litologi sangat berbeda dengan endapan overbank. Di bagian ini, material yang
mendominasi adalah partikel sedimen yang berukuran paling kasar dari dua fase sebelumnya.
Butir sedimen berukuran kerikil hingga berangkal sangat mudah dijumpai pada bagian ini.
Fasies-fasies pada bagian ini berasosiasi membentuk gravel bedform. Dari asosiasi tersebut,
dapat diinterpretasikan bahwa bagian ini merupakan fase pengisian channel kembali. Energi
pengendapannya diduga paling besar di antara fase yang lainnya. Hal tersebut ditunjukkan
dengan material kasar yang sangat dominan. Pada fase pengisian channel 2 ini, struktur sedimen
silang siur berkembang lebih dominan. Sama hal dengan sebelumnya, terjadi migrasi sungai
pada bagian atas dari suksesi Formasi Kikim Anggota Cawang di Sungai Menghalus.
Beberapa uraian di atas, menunjukkan bahwa lingkungan pengendapan daerah penelitian
adalah pada lingkungan fluvial. Selanjutnya, diduga sistem sungai pada daerah penelitian berupa
sungai teranyam. Hal tersebut ditunjukkan dengan dominasi material berukuran yang cenderung
kasar. Menurut Nichols (1999), material yang didominasi oleh partikel kasar berada lebih dekat
dengan sumber (proksimal). Sistem sungai yang umum berkembang di daerah proksimal adalah
sistem sungai teranyam/braided (Miall, 1985). Interpretasi ini didukung dengan banyaknya
asosiasi fasies SB dan GB yang menunjukkan jumlah bar yang sangat dominan. Hal tersebut
diperkuat lagi dengan banyaknya struktur silang siur yang menjadi ciri khas endapan sungai
teranyam.

5. Kesimpulan
Suksesi stratigrafi pada Formasi Kikim Anggota Cawang di jalur Sungai Menghalus
menunjukkan lingkungan pengendapan fluvial pada sistem sungai teranyam. Pada suksesi
tersebut diperoleh 8 fasies Miall dan 11 fasies deskriptif. Asosiasi fasies yang dihasilkan
berjumlah lima asosiasi: sandy bedform, levee, floodplain, crevasse splay, dan gravel bedform.
Suksesi ini mengalami perubahan energi yang fluktuatif selama proses pengendapannya. Fase
pengendapan yang berkembang di bagian bawah suksesi menunjukkan fase pengisian channel,
fase setelahnya adalah fase pengendapan material overbank, dan diakhiri dengan fase pengisian
channel 2 dengan energy pengendapan yang paling besar.
Acknowledgement
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Lembaga Kerjasama Fakultas Teknik UGM yang
telah mendukung sepenuhnya pembuatan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih

773
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

yang sebesar-besarnya kepada dosen dan asisten yang terlibat kerjasama dengan LKFT UGM
yang turut membantu pembuatan penelitian ini.

Daftar Pustaka
Bishop, M.G., 2001, South Sumatra Basin Province, Indonesia: The Lahat/Talang Akar-
Cenozoic Total Petroleum System: Colorado, U.S. Geological Survey, 22 h.
Courteny, S., Cocroft, P., Lorentz, R., Miller, R., Ott, H.L., Prijosoesilo, P., Suhendan, A.R., dan
Wright, A.W.R., 1990, Indonesia-Oil and Gas Fields Atlas Volume III: South Sumatra,
Indonesian Petroleum Association Professional Division, p. satu peta.
De Coster, 1974, The Geology of the Central and South Sumatra Basins: Proceedings
Indonesian Petroleum Association Third Annual Convention, h. 77-110.
Gafoer, S., Amin, T.C., dan Pardede, R., 1993, Peta Geologi Lembar Baturaja Sumatera:
Pusatlitbang Geologi, Skala 1: 250.000, 1 lembar.
Ginger, D., dan Fielding, K., 2005, The Petroleum Systems and Future Potential of The South
Sumatra Basin: Proceeding Indonesian Petroleum Association Annual Thirtieth Convention,
h. 67 - 89.
Kasim, S.A. dan Armstrong, J., 2015, Oil-oil correlation of the South Sumatra Basin reservoirs,
Journal of Petroleum and Gas Engineering vol 6(5), pp. 54-61.
Miall, A.D., 1978c, Lithofacies type and vertical profile models in braided river deposits: a
summary. In: Miall AD (ed) Fluvial sedimentology. Canada Society Petroleum Geology
Meoirs 5: 597-604.
Miall, A.D., 1985, Architectural-element analysis: a new method of facies analysis applied to
fluvial deposits. Earth Science Rev 22: 261-308.
Miall, A.D., 1996, The Geology of Fluvial Deposits: Berlin, Springer, 582 h.
Nichols, Garry, 2009, Sedimentology and Stratigraphy Second Edition: United Kingdom,
Willey-Blackwell Publication, 419 h.
Pulunggono, A., Haryo, A., dan Kosuma, C.G., 1992, Pre-tertiary and Tertiary Fault Systems as
a Framework of the South Sumatra Basin; A Study of Sar-Maps: Proceedings Indonesian
Petroleum Association Twenty First Annual Convention, h. 339-360.
Sarjono, Sumuyut, dan Sardjito, 1989, Hydrocarbon Source Rock Identification in The South
Palembang Sub-Basin: Proceedings Indonesian Petroleum Association Eighteenth Annual
Convention, h. 427-467.
Selley, R.C., 1985, Ancient Sedimentary Environments and Their Sub-Surface Diagnosis 3rd
Edition: New York, Cornell University Press, 317 h.
Suseno, P.H., Zakaria, Mujahidin, N., dan Subroto, E.A., 1992, Contribution of Lahat Formation
as Hydrocarbon Source Rock in South Palembang, Area, South Sumatera, Indonesia:
Proceedings Indonesian Petroleum Association Twenty First Annual Convention, h. 325-
332.
William, H.H., Fowler, M., and Eubank, R.T., 1995, Characteristics of selected Palaeogene and
cretaceous lacustrine source basins of Southeast Asia, in Lambiase, J.J., ed., Hyrocarbon
Habitat in Rift Basins: Geological Society Special Publication No. 80, p. 241-282.

774
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Lokasi penelitian berada pada tiga jalur sungai di Pegunungan Garba: Jalur Sungai Menghalus, Jalur
Sungai Lahat, dan Jalur Sungai Gilas Saka.

775
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 2. Skema kronostratigrafi Cekungan Sumatra Selatan yang telah disederhanakan (Ginger & Fielding,
2005)

Gambar 3. Struktur regional Cekungan Sumatra Selatan (Pulunggono dkk., 1992).

776
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 4. Dokumentasi lapangan mengenai lithofasies pada jalur Sungai Menghalus berdasarkan pendekatan
deskriptif: (A). batupasir kerikilan dengan hubungan butir clast supported pada fasies GSS, (B.) fasies batupasir
dengan struktur massif, (C.) perselingan batulanau dengan batupasir silang siur pada fasies SLCBS, (D.) fasies
konglomerat pada jalur Sungai menghalus, (E.) fasies batupasir tufan, (F.) hubungan stratigrafi batupasir dan
batulanau pada fasies SLS.

Gambar 4 (Lanj). (G.) batulanau yang berwarna abu-abu kecokelatan pada fasies SL, (H.) sisipan batulempung
pada fasies batulempung-batupasir flaser, (I.) batulempung yang berwarna abu-abu gelap pada fasies batulempung,
(J.) struktur flaser pada fasies batulanau-batupasir flaser silang siur, dan (K.) fasies batupasir kerikilan gradasi
normal-batupasir.

777
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 5. Pembagian asosiasi fasies pengendapan pada jalur Sungai Menghalus

778

Anda mungkin juga menyukai