Anda di halaman 1dari 28

KPK Tahan Anak Buah Bupati Mandailing Natal

Penulis : Icha Rastika | Kamis, 16 Mei 2013 | 01:53 WIB

WARTA KOTA/HENRY LOPULALANBupati Mandailing Natal, Hidayat Batubara


(kanan) tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan HR Rasuna Said,
Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (15/5/2013) setelah ditangkap lalu diterbangkan dari
Medan, Sumatera Utara.
TERKAIT:
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Pelaksana
Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal Khairil
Anwar dan pengusaha bernama Surung Panjaitan, Rabu (15/5/2013). Keduanya ditahan
setelah tertangkap tangan pada Selasa (14/5/2013), kemudian ditetapkan KPK sebagai
tersangka pada Rabu (15/5/2013) malam.

Juru Bicara KPK Johan Budi mengungkapkan, Khairil dan Surung ditahan di tempat
terpisah. Khairil ditahan di Rumah Tahanan Salemba sementara Surung di Rumah
Tahanan KPK. "Tersangka SP di rutan KPK, sementara yang KA, di Rutan Salemba.
Ditahan selama 20 hari pertama," kata Johan.

Sekitar pukul 00.43 WIB, petugas KPK tampak membawa Surung menuju rutan dengan
mobil tahanan. Dia mengenakan baju tahanan putih dan tidak berkomentar mengenai
penahanannya. Sikap yang sama juga ditunjukkan Kharil. Anak buah Bupati Mandailing
Natal Hidayat Batubara ini bungkam ketika menuju mobil tahanan sekitar pukul 23.58
WIB. Khairil juga tampak mengenakan baju tahanan dan dikawal petugas KPK.

Kedua orang ini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang juga menjerat Bupati
Mandailing Natal Hidayat Batubara. KPK menetapkan Khairil sebagai tersangka
penerima gratifikasi uang bersama-sama dengan Hidayat. Sementara itu, Surung
ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menjadi pemberi uang.

Dugaan sementara, Hidayat menjanjikan proyek Bantuan Dana Bawahan (BDB) kepada
Surung selaku kontraktor. Atas proyek yang dijanjikan ini, Hidayat diduga meminta
imbalan atau komitmen fee. Kini, Hidayat masih menjalani proses pemeriksaan KPK
setelah tertangkap di Medan, Sumatera Utara, Rabu (15/5/2013). Johan mengatakan,
kemungkinan Hidayat akan ditahan besok.

Editor :Palupi Annisa Auliani


KPK Diminta Ambil Alih Kasus Wali Kota Medan
Penulis : Kontributor Medan, Mei Leandha | Kamis, 6 Desember 2012 | 22:21 WIB
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI
FAIQRahudman Harahap Wali Kota Medan
TERKAIT:
MEDAN, KOMPAS.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menyurati Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera melakukan tindakan supervisi mengambil
alih perkara dugaan korupsi dengan tersangka Rahudman Harahap yang saat ini menjabat
sebagai Wali Kota Medan.

Wakil Direktur LBH Medan, M Khaidir Harahap SH mengatakan, argumentasi hukum


yang menjadi dasar diajukannya surat tersebut adalah bahwa Rahudman ditetapkan
menjadi tersangka oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajatisu) Sution
Usman Aji, dalam kasus korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa
(TPAPD) di Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan total kerugian negara sebesar Rp 1,5
miliar pada 25 Oktober 2010 lalu.

Dilihat dari konteks tempus dan locus delictie, Rahudman melakukan korupsi tersebut
saat menjabat sebagai Sekretaris Daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan. Tersangka juga
terlibat atas kasus Penerimaan CPNS Pemkot Medan TA 2010 dengan cara memanipulasi
kelulusan 17 CPNS Pemkot Medan di website resmi Pemkot Medan dan kasus ini
berujung gugatan oleh 17 CPNS ke Pengadilan Negeri (PN) Medan.

Tindakan Rahudman tersebut dianggap melanggar UU Tipikor No.31 Tahun 1999 jo UU


No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Khusus dalam kasus korupsi dana
TPAPD, Rahudman telah dua tahun ditetapkan menjadi tersangka, namun sampai ini
progres kasusnya belum juga tuntas, bahkan tidak ada kemajuan.

"Sudah tiga kali Kajatisu berganti, tapi kasusnya tetap jalan di tempat. Seharusnya untuk
menjamin nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum, serta demi menegakan asas
persamaan di depan hukum, Kajatisu melakukan tindakan hukum dengan menahan
tersangka," kata Khaidir, Kamis (6/12/2012).

Dia menilai secara faktual, penanganan kasus Rahudman oleh Kejatisu berlarut larut,
tidak transparan dan manipulatif. "Makanya KPK wajib melakukan supervisi seraya
mengambil alih kasus ini sesuai Pasal 6 huruf (b), Pasal 8,9 dan 10 UU Nomor.30 tahun
2002 Tentang KPK," tegasnya.
Editor :
Farid Assifa

Tertangkap Tangan oleh KPK, Dua Pegawai Pajak Jadi Tersangka


Penulis : Icha Rastika | Kamis, 16 Mei 2013 | 00:33 WIB
KOMPAS
TERKAIT:
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan dua
pemeriksa pajak di Direktorat Jenderal Pajak wilayah Jakarta Timur sebagai tersangka.
Keduanya adalah Mohamad Dian Irwan Nuqishira dengan pangkat III D dan Eko
Darmayanto dari golongan III C.

"Setelah pemeriksaan intensif, penyidik KPK menemukan dua alat bukti yang cukup.
Disimpulkan ada tersangka dalam dugaan pemberian uang yang diduga diberikan TM
(Teddy) dan EK (Effendi) kepada MDI (Mohamad Dian Irwan) dan ED (Eko
Darmayanto)," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Kamis (15/5/2013).

Menurut Johan, kedua pegawai pajak ini diduga menerima pemberian uang dari seorang
pegawai swasta bernama Effendi dari perusahaan baja, The Master Steel, melalui Teddy
yang diduga sebagai kurir. Pemberian uang tersebut diduga untuk mengurus persoalan
pajak yang dialami The Master Steel. "Keempatnya kini masih jalani pemeriksaan,"
ungkap Johan.

Johan mengatakan, baik Mohamad Dian maupun Eko disangka melanggar Pasal 12 huruf
a atau b dan atau Pasal 5 Ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara dan denda paling besar Rp 1 miliar.
Sementara itu, Effendi dan Teddy yang diduga sebagai pihak pemberi uang, disangka
melanggar Pasal 5 Ayat 1 atau Pasal 13 UU Tipikor.

Kasus ini berawal saat penyidik KPK menangkap keempat tersangka pada Rabu
(15/5/2013) siang. Bersamaan dengan penangkapan itu, penyidik KPK mengamankan
uang senilai 300.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 2,3 miliar (kurs Rp 7.800 per dollar
Singapura). Uang ini diamankan dari Avanza hitam yang sengaja diparkir Mohamad Dian
di halaman Bandara Soekarno Hatta Tangerang.

Dian menyerahkan kunci mobil tersebut kepada Teddy yang kemudian memasukkan uang
300.000 dollar Singapura itu ke dalam mobil. Setelah uang berada dalam penguasaan
Dian dan Eko, penyidik KPK langsung meringkus keduanya serta Teddy.
Adapun Effendi ditangkap saat dalam perjalanan di Kelapa Gading. Terkait dengan
penangkapan ini, Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany berjanji akan memecat dua
pegawai pajak yang ditetapkan KPK sebagai tersangka itu. Malam ini, Fuad mendatangi
Gedung KPK untuk memberikan keterangan pers.

Editor :
Palupi Annisa Auliani
Kasus Korupsi di Madiun Meningkat
Penulis : Runik Sri Astuti | Minggu, 18 September 2011 | 19:02 WIB

KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD
Ilustrasi
TERKAIT:
MADIUN, KOMPAS.com — Jumlah kasus dugaan korupsi yang ditangani oleh
penyidik Kejaksaan Negeri Madiun, Jawa Timur, tahun 2011 meningkat dibandingkan
sebelumnya. Itu belum termasuk kasus dugaan korupsi yang sudah terjadi, tetapi belum
tertangani karena keterbatasan jumlah penyidik.

Kepala Kejaksaan Negeri Madiun Ninik Mariyanti mengungkapkan, sampai dengan


bulan September 2011 saja ada 10 kasus korupsi yang dibidik dan sebanyak delapan
kasus di antaranya sudah ditangani. Bahkan, bulan September ini kejaksaan siap
melimpahkan lima kasus ke pengadilan.

Jumlah kasus yang ditangani naik dibandingkan tahun 2010 di mana selama satu tahun
hanya 9 kasus korupsi yang ditangani. ”Itu pun semuanya dari polisi. Kalau tahun ini
delapan kasus dari kejaksaan dan dua kasus dari polisi,” kata Ninik.

Lima kasus korupsi yang siap dilimpahkan ke pengadilan, antara lain, dugaan korupsi
lembaga keuangan kelurahan, penyelewengan dana bantuan perkuatan modal untuk
koperasi brem, dan penyelewengan proyek pembangunan plengsengan.

Editor :Nasru Alam Aziz


Kejagung Periksa 2 PNS Kasus Korupsi Mobil Toilet DKI
Penulis : Dian Maharani | Rabu, 8 Mei 2013 | 03:25 WIB

KOMPAS IMAGES/DHONI
SETIAWANGedung Kejaksaan Agung
TERKAIT:
JAKARTA, KOMPAS.com — Kejaksaan Agung RI mulai memeriksa dua pegawai
negeri sipil (PNS) sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan mobil toilet jenis VVIP
besar dan toilet kecil pada Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dua saksi
diperiksa, yaitu Lenny Marlina selaku anggota panitia pengadaan dan Ali Yudho
Kisrianyo selaku sekretaris panitia pengadaan.

"Saksi-saksi menerangkan terkait pelaksanaan mekanisme proses lelang, pembuatan


dokumen lelang, pembuatan HPS (harga perkiraan sendiri), termasuk penilaian dan
pengusulan pihak pemenang," tulis Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan
Agung Setia Untung Arimuladi melalui pesan singkat, Selasa (7/5/2013) malam.

Kejagung juga memanggil saksi dari pihak swasta, yakni Direktur Utama PT Astrasea
Pasirindo, Yusman Pasaribu. Namun, Yusman tidak hadir menjalani pemeriksaan hari ini.
"Dia tidak hadir memenuhi panggilan tim penyidik dengan alasan belum menerima surat
panggilan saksi," terang Untung.

Kejaksaan Agung tengah menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan kendaraan mobil
toilet tersebut. Melalui hasil gelar perkara pada tingkat penyelidikan, Kejagung
menaikkan status ke tahap penyidikan dan menetapkan dua orang tersangka dengan
nomor penyidikan 60 dan 61/F.2/Fd.1/04/2013.

Kedua tersangka ialah mantan Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Kebersihan
Pemerintah Provinsi DKI berinisial LL, yang bertindak sebagai kuasa pengguna
anggaran, dan PNS berinisial A, selaku ketua panitia pengadaan barang dan jasa. Pada
proyek tahun anggaran 2009 tersebut, diduga ada penggelembungan harga (markup) dan
menimbulkan kerugian negara Rp 5,3 miliar.

Editor :
Palupi Annisa Auliani
Soal Mobil yang Akan Disita KPK, Luthfi Bilang Enggak 'Nonton' TV
Penulis : Icha Rastika | Kamis, 9 Mei 2013 | 03:27 WIB

KOMPAS/ALIF
ICHWANKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (26/4/2013) kembali
memeriksa Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Luthfi di
periksa sebagai tersangka kasus suap impor daging sapi.
TERKAIT:
JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan
Ishaaq mengaku tidak memantau pemberitaan media terkait mobil-mobilnya yang akan
disita Komisi Pemberantasan Korupsi dari kantor DPP PKS. Selama berada di Rumah
Tahanan KPK Cabang Guntur, Jakarta Selatan, Luthfi mengaku tidak bersentuhan dengan
dunia luar.

"Saya di Guntur tidak nonton TV, tidak baca koran, tidak tahu berita. Jadi kami di Guntur
putus dari dunia luar," kata Luthfi di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (8/5/2013),
seusai diperiksa sebagai saksi untuk tersangka kasus dugaan korupsi dan pencucian uang
kuota impor daging sapi dengan tersangka Ahmad Fathanah.

Luthfi yang juga menjadi tersangka kasus yang sama mengaku tidak tahu apa-apa. "Saya
tidak tahu apa-apa, tidak tahu apa yang terjadi," ucap Luthfi.

Seperi diberitakan sebelumnya, tim penyidik KPK dua kali gagal menyita lima mobil
terkait Luthfi dari kantor DPP PKS. Pada hari pertama, Senin (6/5/2013), tim penyidik
gagal membawa lima mobil itu ke Gedung KPK sehingga hanya menyegel mobil-mobil
tersebut. Penyidik saat itu gagal karena dihalang-halangi sejumlah orang. Kemudian,
pada Selasa (7/5/2013), penyidik kembali mendatangi Gedung DPP PKS untuk membawa
lima mobil itu. Namun, upaya penyidik lagi-lagi gagal.
Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, tim penyidik tidak diperbolehkan masuk meski
telah menunjukkan surat perintah penyitaan. Kelima mobil yang akan disita itu adalah
VW Caravelle, Mazda CX9, Fortuner, Mitsubishi Pajero Sport, dan Nissan Navara.

Penyitaan dilakukan terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dan pencucian uang kuota
impor daging sapi yang menjerat Luthfi. KPK menduga mobil-mobil ini berasal dari hasil
tindak pidana korupsi.

Dalam kasus dugaan korupsi kuota impor daging sapi, Luthfi diduga bersama-sama
dengan orang dekatnya, Ahmad Fathanah, menerima pemberian hadiah atau janji dari PT
Indoguna Utama sebagai imbalan mengurus penambahan kuota impor daging sapi untuk
perusahaan itu.

Sebelumnya, KPK menyita Toyota FJ Cruiser bernomor polisi B 1340 TJE yang juga
diduga terkait Luthfi. FJ Cruiser itu kini diamankan di halaman parkir Gedung KPK,
Kuningan, Jakarta. Selain itu, KPK menyita lima mobil yang diduga berkaitan dengan
Fathanah, yakni Honda Jazz putih, Toyota Land Cruiser Prado dengan nomor polisi B
1739 WFN, Toyota Alphard B 53 FTI, Mercedes Benz C200 B 8749 BS, dan FJ Cruiser
dengan nomor polisi B 1330 SZZ. Menurut Johan, setelah dilakukan penelusuran lebih
jauh, penyidik menemukan kaitan FJ Cruiser B 1330 SZZ Fathanah itu dengan Luthfi.

Editor :
Heru Margianto
KPK Periksa Wali Kota Makassar
Penulis : Icha Rastika | Senin, 6 Mei 2013 | 12:11 WIB

KOMPAS.com/ICHA RASTIKALogo
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
TERKAIT:
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi menjadwalkan
pemeriksaan Wali Kota Makassar Ilham Arif Sirajuddin terkait kasus dugaan tindak
pidana korupsi dan pencucian uang kuota impor daging sapi, Senin (6/5/2013). Ilham
akan dimintai keterangan sebagai saksi salah satu tersangka kasus itu, Ahmad Fathanah.

"Diperiksa sebagai saksi untuk AF (Ahmad Fathanah)," kata Kepala Bagian Pemberitaan
dan Informasi KPK Priharsa Nugraha.

KPK memeriksa Ilham karena dia dianggap tahu seputar kasus dugaan tindak pidana
korupsi dan pencucian uang yang menjerat Fathanah tersebut. Fathanah merupakan orang
dekat mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq. KPK menetapkan
Fathanah dan Luthfi sebagai tersangka atas dugaan menerima pemberian hadiah atau janji
dari PT Indoguna Utama terkait upaya penambahan kuota impor daging sapi untuk
perusahaan itu.

Dalam pengembangannya, KPK menjerat Fathanah dan Luthfi dengan pasal tindak
pidana pencucian uang (TPPU). Khusus untuk TPPU Fathanah, KPK telah memeriksa
sejumlah saksi, di antaranya artis Ayu Azhari dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Jazuli Juwaini. Beberapa saksi ditanya penyidik KPK seputar aliran dana dan aset
Fathanah.

KPK juga menyita sejumlah aset Fathanah dan Luthfi yang berupa mobil. Aset Fathanah
dan Luthfi yang disita tersebut adalah Honda Jazz, 2 unit Toyota FJ Cruiser, Toyota Land
Cruiser Prado, Toyota Alphard, dan Mercedes Benz C200. Selain memanggil Wali Kota
Makassar, KPK memanggil saksi lainnya, yakni Malarangan Daeng Tutu, Andi Masrizal,
dan Amru Zaher.
Editor :
Hindra
Korupsi Chevron, divonis 6 tahun penjara Herland bin Ompo emosi

Alif Ahmad

Rabu, 8 Mei 2013 − 21:02 WIB

Ilustrasi.Okezone

Sindonews.com – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta


menvonis terdakwa kasus korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia
(CIP) Herland bin Ompo hukumam enam tahun penjara.

“Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara
bersama-sama dan berlanjut,” kata Ketua Majelis Sudharmawatiningsih dalam sidang
vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (8/5/2013).

Tidak hanya itu, Majelis Hakim juga membebankan Direktur PT Sumigita Jaya itu
dengan denda sebesar Rp250 juta subside tiga bulan kurungan, dan uang pengganti
sebesar USS6,9uta .

“Jika PT Sumigita Jaya tidak membayar uang pengganti sebulan sejak putusan tersebut
inkracht maka hartanya akan disita untuk negara,” tuturnya.

Menurut Majelis Hakim, kesalahan Herland disebabkan perusahaan yang dipimpinnya


tidak memiliki izin untuk pengolahan limbah dan itu telah melanggar Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan limbah berbahaya dan beracun.

Dalam kapasitasnya sebagai yang mengelolah proyek bioremidiasi di CIP itu, imbuh
Majelis Hakim, PT Sumigita Jaya terbukti tidak memiliki izin dari Kementrian
Lingkungan Hidup selaku pihak yang berwenang dalam memberikan perizinan.

“Perusahaan terdakwa tidak memiliki izin dari Kementrian Lingkungan Hidup,” jelas
hakim.

Selain tidak memiliki izin, Majelis Hakim juga menyatakan bahwa PT Sumigita Jaya
selaku pihak yang mengerjakan proyek bieremidiasi telah merugikan negara sebesar USS
6,9 juta.

Kerugian negara disebabkan karena PT CIP selaku pemilik limbah hasil pengolahan
minyak dan memperhitungkan biaya pengerjaan bioremidiasi dengan mekanisme cost
recovery, sementara sudah jelas melanggar hukum.

Dalam sidang vonis terhadap Herland salah seorang Hakim Anggota Sofialdi berbeda
pendapat (dissenting opinion) dengan hakim lainnya. Menurutnya, Herland tidak terbukti
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan JPU.

Sesuai sidang, Herland menegaskan akan melakukan banding atas vonis yang dijatuhkan
hakim. “Ini peradilan sesat, kita akan banding, saya akan mencari keadilan sampai
kemanapun,” tegas Herland dengan emosi.

Herland menuding JPU dan hakim telah melaksanakan peradilan sesat. Menurutnya vonis
yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan fakta
persidangan, namun hanya berdasarkan tuntutan JPU.

“Persidangan ini bohong, yang terjadi hanya dakwaan, tuntutan, dan putusan, sementara
fakta diabaikan,” tegasnya.

Dia juga menyayangkan Majelis Hakim yang mempertimbangkan putusan dari pendapat
ahli bioremedias Edison Efendi. Menurutnya Edison Efendi itu rekanan yang kalah
sebelumnya oleh perusahaan yang dipimpin Herland.

“Kita sudah katakan soal Edison waktu pledoi, tapi diabaikan,” katanya.

Sementara dari pihak JPU juga akan melakukan banding terhadap vonis itu. “Ya kita akan
banding,” tegsa JPU Surma.

Dalam sidang sebelumnya JPU menuntut Herland 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar
subsider enam bulan penjara, serta uang pengganti USD 6,9 juta.

(lns)
Mahasiswa sekarang kurang kritis terhadap kasus korupsi

Hari Istiawan

Jum'at, 17 Mei 2013 − 14:18 WIB

Ilustrasi, (SINDOphoto).

Sindonews.com - Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas


mengatakan, akibat minimnya nilai perlawanan soal tindakan korupsi di Perguruan Tinggi
(PT), menyebabkan mahasiswa saat ini kurang kritis.

"Mahasiswa kurang kritis dalam segala pelanggaran terutama soal korupsi. Sebab, kajian
mahasiswa mengenai kasus korupsi sangat minim," ucap Busyro, usai menjadi pembicara
dalam Talkshow Nasional Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas
Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur, Jumat (17/5/2013).

Karenanya, lanjut Busro, pelaku pendidikan harus kembali ke manajemen kampus dan
tidak tergantung pemerintah. "Sehingga mereka bisa kembali kritis terhadap pelanggaran-
pelanggaran," pungkasnya.

Sebelumnya, antropolog Universitas Indonesia (UI) Achmad Fedyani Saifuddin menilai,


tak diragukan perubahan sistem politik dari sentralisasi ke desentralisasi, konsekuensi
dari arus pemikiran globalisasi yang melanda dunia sejak akhir tahun 1980-an.

"Kesadaran kebangsaan paling tepat diinternalisasikan melalui proses pendidikan yakni


transmisi kebudayaan atau proses belajar kebudayaan. Proses ini tercermin dalam konsep
sosialisasi, kognisi, dan pengetahuan," ujarnya dalam sambutannya di FISIP UI, Depok,
Rabu 15 Mei 2013.

Pendidikan secara praktis biasanya dikaitkan dengan sekolah, pendidikan juga bisa
diarahkan dengan kepentingan lain termasuk doktrin politik nasionalisme untuk
memelihara kesadaran akan kesatuan sebagai suatu bangsa," imbuhnya.
Achmad menambahkan pada abad ke-21 kini sumber informasi bagi siswa tak terbatas
lagi pada apa yang diberikan para pengajar. Para siswa bebas mengakses informasi dari
sumber lain melalui internet yang merupakan akibat langsung dari globalisasi teknologi.

"Banyak gagasan baru dari negara luar yang memasuki pikiran siswa yang mungkin
bertentangan terhadap materi yang dipelajari di sekolah, seperti pemerintah China
sekarang cemas dengan kecenderungan kebudayaan trans nasional pada generasi muda
yang memerosotkan nasionalisme. Sebab generasi muda sekarang cenderung sadar global
daripada sadar nasional," jelasnya.
Parpol terima aliran dana korupsi, harus disingkirkan

Lina Setia

Jum'at, 17 Mei 2013 − 05:02 WIB

ilustrasi.Okezone

Sindonews.com - Sulit bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk bisa mendulang suara
seperti yang ditargetkan di Pemilu 2014 mendatang. Kasus suap impor daging sapi
menyeret mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) menjadi alasan paling utama
pemilih mengalihkan suaranya ke partai lain.

Gonjang-ganjing di PKS akibat dugaan suap ini, menjadi keberuntungan bagi partai
kompetitor. "Apalagi jika nanti, kasus LHI ini menyeret tokoh lain," tukas peneliti
Formappi Lucius Karus, Jumat (17/5/2013).

Lebih parah lagi jika partai politik ikut tersangkut dalam kasus itu. Menurut Luicus, jika
partai politik (parpol) terbukti menerima aliran dana dari korupsi maka secara etika
politik harus disingkirkan dari gelanggang Pemilu 2014.

"Korupsi melibatkan lembaga atau organisasi maka harus dihakimi pada Pemilu 2014
nanti, jika terbukti menerima aliran dana harus diusir dari proses Pemilu," imbuhnya.
Menjelang Pemilu 2014, PKS diterpa kasus korupsi

Lina Setia

Jum'at, 17 Mei 2013 − 04:01 WIB

ilustrasi.Okezone

Sindonews.com - Belakangan ini sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mulai berubah.
Ini, tak lepas dari masalah hukum yang menjerat mantan Presiden PKS Luthfi Hasan
Ishaaq (LHI) yang kini sudah duduk di kursi pesakitan.

Sikap garang serta defensif ditunjukan PKS ketika menolak upaya penyitaan aset LHI
berupa mobil oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, oleh PKS
mobil yang akan dibawa KPK itu bannya sengaja dikempesi.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menduga, PKS
selama ini tak pernah memperkirakan kasus suap impor daging sapi akan melebar
kemana-mana. Tak pelak, sikap garang dan defensif pun ia tunjukan kepada penyidik
KPK saat akan menyita mobil.

"Memang sudah beda sekali sikap PKS, partai yang dikenal bersih, ini selalu bersikap
positif, bahkan saat LHI diciduk, partai ini masih menunjukan sikap positifnya, tapi
berubah ketika ada penyitaan. Penolakannya terkesan defensif dan garang," ujar Lucius,
Jumat (17/5/2013).

Penyitaan dan menyeret petinggi PKS lainnya, seperti Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi
Aminuddin barangkali juga tak pernah terpikirkan oleh orang-orang PKS.

Karena itu, kader PKS terkesan membela dan terus bertahan dengan pendapatnya bahwa
KPK melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam penyitaan.

"Perubahan sikap PKS itu bisa karena pertama PKS mulai menyadari jika kasus impor
daging sapi itu akan melebar ke pihak-pihak lain di PKS," tukasnya.
Kasus rekening gendut Polri jangan muncul tenggelam

Haris Kurniawan

Kamis, 16 Mei 2013 − 19:17 WIB

Ilustrasi, (SINDOphoto).

Sindonews.com - Anggota Komisi III DPR RI, Saan Mustopa meminta agar Polda Papua
dapat mengusut tuntas rekening gendut senilai Rp1,5 triliun milik Aiptu LS anggota
kepolisian dari Polres Sorong.

"Ya tuntasin lah itu, jangan muncul tenggelam," kata Saan di Gedung DPR RI, Senayan,
Jakarta Selatan, Kamis (16/5/2013).

Dikatakan dia, jika masalah ini tidak terselesaikan, maka akan menurunkan citra
kepolisian dalam menangani masalah hukum. Mengingat, kasus rekening gendut anggota
Polri bukan pertama kali terungkap.

"Itukan mengganggu kredibilitas institusi kepolisian. Supaya nggak terganggu ya


dituntaskan lah itu," tegasnya.

Pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Fraksi Partai Demokrat ini mengingatkan,
Polri pernah berkomitmen untuk membenahi birokrasi mereka. Karenanya, dengan
terungkapnya rekening gendut sekelas Aiptu, korps baju coklat ini diminta untuk semakin
menertibkan anggotanya yang memiliki rekening di atas kewajaran.

"Komitmen polisi untuk melakukan reformasi, kemudian komitmen kepolisian untuk


menertibkan anggota-anggota yang punya rekening di atas kewajaran," pungkasnya.
Gubernur Sumut diperiksa KPK terkait kasus daging

Slamet Riadi

Kamis, 16 Mei 2013 − 10:43 WIB

Gedung KPK, (foto: Slamet Riadi/Sindonews).

Sindonews.com - Hari ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak hanya memeriksa
Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hilmi Aminuddin. Gubernur
Sumatra Utara (Sumut) Gatot Pujo Nugroho juga diperiksa KPK.

Setiba di KPK, Gatot tidak banyak berkomentar, dan hanya akan menjalani pemeriksaan
sebagai saksi untuk tersangka kasus suap impor daging, mantan Presiden PKS, Luthfi
Hasan Ishaaq (LHI).

"Sesuai dengan panggilan, saya dipanggil dalam kapasitas sebagai saksi LHI," ujar Gatot
di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (16/5/2013).

Gatot yang mengenakan baju kemeja putih dan jas hitam mengaku belum mengetahui
materi pemeriksaan yang akan ditanyakan oleh penyidik KPK. Mengenai pertemuan di
Hotel Aryaduta Medan, Gatot menegaskan hanya menghadiri kegiatan partai.

"Saya kapasitasnya kan sebagai kader partai dan sebagai Gubernur, jadi saya hadir di
acara formal. Pada waktu itu di acara safari dakwah DPP PKS," tegas Gatot.

Sampai saat ini, Gatot dan Hilmi masih menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, belum
diketahui mereka berdua akan keluar jam berapa.
Polda Banten tangani dua kasus korupsi milyaran rupiah

Teguh Mahardika

Rabu, 15 Mei 2013 − 00:02 WIB

Ilustrasi. (Sindophoto)

Sindonews.com - Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Banten Komisaris Besar


Polisi (Kombes. Pol) Purwo Cahyoko mengatakan, telah menangani dua kasus korupsi,
pembangunan sarana dan prasarana sodetan Sungai Cibinuangeun, di Kampung
Burunuk, Desa Sukamanah, Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak Rp19 miliar TA
2011

Kasus korupsi kedua Pengendali Banjir Sungai Ciujung, di Palembangan, Desa Dukuh,
Kecamatan Kragilan, Serang Rp32,39 miliar APBN 2012.

Proses penanganan untuk dua kasus itu, masih menunggu hasil laporan audit fisik dari
ahli. Untuk kasus sodetan Universitas Indonesia dan Kasus Pengendali Banjir Sungai
Ciujung, menunggu dari tim ahli Institut Teknologi Bandung.

“Dalam waktu dekat ini kami akan melakukan koordinasi denga tim ahli dari UI dan ITB
untuk melihat hasil pemeriksaanya,” kata Kombes Pol Purwo Cahyoko, Selasa
(14/5/2013).
Jika e-KTP diindikasikan korupsi, KPK harus telusuri

Slamet Riadi

Sabtu, 11 Mei 2013 − 17:29 WIB

Ilustrasi, (Ist).

Sindonews.com - Belum lama ini publik dikagetkan dengan informasi bahwa Kartu
Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), tidak bisa di fotokopi berulang-rulang. Hal itu
disebabkan, jika sering digandakan maka chips yang ada dalam e-KTP bisa rusak.

Tak hanya itu, proyek triliunan rupiah ini diduga rawan terjadinya korupsi. Wakil Ketua
Komisi II DPR, Abdul Hakam Naja mengatakan, jika ada indikasi penyelewengan, maka
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu menelusuri dugaan tersebut.

"Kalau memang ada indikasi penyelewengan, perlu ditelusuri KPK," kata Hakam saat
dihubungi wartawan, Sabtu (11/5/2013).

Namun, Hakam optimis, jika proyek e-KTP ini bisa berjalan dengan baik, pasalnya
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengakui sudah melibatkan KPK dalam
proses pengawasan pelaksanaan program e-KTP ini. "Mendagri beberapa kali
menyampaikan bahwa KPK dilibatkan dalam pengawasan sejak proses tender sampai
pelaksanaan," tukasnya.

Kendati begitu, politikus Partai Amnast Nasional (PAN) ini mengaku belum mendapat
informasi lebih lanjut, mengenai tugas KPK selama pengawasan tersebut. "Belum
diketahui apa hasil yang telah diperoleh KPK selama ini," pungkasnya.
Kasus simulator, KPK periksa 4 elite Polri

Ronald Steven

Jum'at, 10 Mei 2013 − 10:47 WIB

Ilustrasi, (SINDOphoto).

Sindonews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melakukan


pengembangan penyidikan terkait dengan kasus korupsi pengadaan simulator SIM di
Korlantas Polri.

Penyidik KPK hari ini melakukan pemeriksaan terhadap empat anggota Polri untuk
ditanyakan seputar proyek bernilai Rp196,8 miliar tersebut. Mereka antara lain adalah
Endah Purwaningsih, Wandy Rustiwan, Tri Hudi Ernawati alias Erna dan Benita Pratiwi.

"Mereka akan diperiksa sebagai saksi untuk para tersangka,“ kata Kepala Bagian (Kabag)
Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha, saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (10/5/2013).

Dalam kasus simulator SIM ini, Budi juga ditetapkan sebagai tersangka. Dia bersama
Djoko, Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo, dan Sukotjo S Bambang diduga
melakukan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp100
miliar.

Adapun, PT CMMA yang dipimpin Budi merupakan pemenang tender proyek simulator
roda dua dan roda empat dengan nilai proyek Rp196,8 miliar. Perusahaan itu kemudian
diduga membeli barang dari PT Inovasi Teknologi Indonesia milik Sukotjo dengan harga
yang jauh lebih murah.

Barang simulator diduga dibeli PT CMMA dari PT ITI dengan harga sekitar Rp90 miliar.
Selain itu, Sukotjo pernah mengaku diminta Budi untuk mengantarkan uang Rp2 miliar
ke Djoko Santoso.
KPK segera tahan tersangka kasus Hambalang

Ronald Steven

Kamis, 9 Mei 2013 − 16:59 WIB

Abraham Samad. (Dok. Sindo).

Sindonews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, tersangka yang


diduga terlibat dalam kasus korupsi pembangunan sarana dan prasarana sekolah olahraga
nasional, Hambalang Jawa Barat segera menjalani masa penahanan.

Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, saat ini pihaknya masih terus mengumpulkan
nilai pasti kerugian yang disebabkan dalam proyek bernilai Rp 2,5 triliun itu.

"Kasus ini tetap jalan. Kenapa kita belum tahan, karena kita terikat pada batas waktu
penahanan. Karena hasil perhitungan jumlah kerugian negara dari BPK belum kita
dapatkan seluruhnya,“ kata Abraham di Hotel Borubudur, Jakarta, Kamis (9/5/2013).

Abraham juga sempat menjanjikan, pihaknya segera merampungkan penghitungan


tersebut diperkirakan pekan mendatang.

“Insyalah satu dua minggu kedepan sudah ada. Kalau hasil kerugian sudah ada dan
lengkap dari BPK kita akan melakukan penahanan,“ ucapnya.

Seperti diketahui, dalam kasus tersebut, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka adalah
mantan Menteri Pemuda dan olahraga (Menpora) Andi Alfian Mallarangeng dan mantan
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Selain itu ada, Pejabat di Kemenpora Dedy Kusdinar dan KSO Adhi Wika dalam arti
pimpinan kontraktor proyek hambalang Teuku Bagus.
Kasus suap hakim, KPK periksa pejabat Pemda Bandung

Ronald Steven

Rabu, 8 Mei 2013 − 11:24 WIB

Hakim Setyabudi Tedjocahyono (Dok Sindophoto)

Sindonews.com - Pengembangan penyidikan terkait dengan dugaan suap untuk


pemulusan penanganan perkara korupsi Bansos Pemkot Bandung terus dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyidik pun terus melengkapi berkas perkara dari Wakil
Ketua PN Bandung Setyabudi Tedjocahyono (ST) yang sudah dijadikan tersangka dalam
kasus tersebut.

Hari ini, untuk kesekian kalinya penyidik kembali menjadwalkan pemeriksaan terhadap
Pejabat Eselon di Pemerintah Kota (Pemkot Bandung). Mereka adalah Asisten II Pemkot
Bandung Ubad Bachtiar, Kabag Hukum Sekda Kota Bandung Erik M Attauriq dan
Inspektur Pemkot Bandung Koswara.

“Mereka bertiga diperiksa sebagai saksi untuk tersangka ST,” kata Kabag Pemberitaan
KPK, Priharsa Nugraha saat dikonfirmasi, Rabu (8/5/2013).

Selain ketiganya, penyidik juga memeriksa Camat Bojongloa Kaler Kota Bandung Dedi
dan juga SetyaBudi Tedjocahyono masih menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk
tersangka lain.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan Setyabudi Tedjocahyono yang juga Wakil Ketua
Pengadilan Negeri Bandung karena tertangkap tangan seusai menerima uang suap dari
Asep Triana. KPK menyita uang tunai Rp150 juta yang ditengarai sebagai uang suap
yang diterima Hakim Setyabudi. Termasuk barang bukti uang Rp350 juta yang ditemukan
di mobil milik Asep Triana.

Selain Hakim Setyabudi, tiga orang lainnya juga telah ditetapkan KPK sebagai tersangka
dalam kasus dugaan suap ini. Ketiga orang tersebut adalah Asep Triana, Herry Nurhayat,
PLT Kepala Dinas Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD), Herry Nurhayat
dan Toto Hutagalung yang juga Ketua Ormas Gasibu Padjajaran.
KPK nilai, UN pendidikan korupsi sejak dini

Marieska Harya Virdhani

Selasa, 7 Mei 2013 − 21:08 WIB

Ilustrasi. (Sindophoto)

Sindonews.com - Penolakan pelaksanaan Ujian Nasional (UN), terus bergulir di


sejumlah daerah. Apalagi pelaksanaan UN tahun ini dinilai carut marut, menyusul tak
serentaknya pelaksanaan UN tingkat SMA sederajat, yang terlambat di 11 propinsi.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqaddas pun sepakat,
terkait hal itu. Menurutnya pelaksanaan UN hanya dilakukan dalam rangka mengejar
target oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) agar angka
kelulusan tak rendah.

"UN kan targetnya kelulusan meningkat. Namun justru banyak kasus kecurangan,
kelulusan rendah dan turun. Hal ini menyebabkan terjadinya skandal korupsi pendidikan,
yang ditanamkan sejak pendidikan dasar," tukasnya dalam sebuah diskusi HUT Depok ke
14, Selasa (07/05/2013).

Semestinya, kata Busyro, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mau


mempertimbangkan dengan kearifan terkait kinerja Mendikbud Muhammad Nuh,
menyusul carut marut UN.

Namun Busyro mengaku, KPK juga tak bisa mengintervensi presiden untuk mencopot
menteri.

"Semestinya, presiden dengan kesabaran yang ada, menteri yang sekarang ini maunya
diteruskan saja sampai akhir periode kalau bagus silahkan, kalau bermasalah ya stop.
Kalau prestasinya enggak ada begini bagaimana, kan kami juga tak bisa menyuruh
mencopot," tukasnya.
Staf Pemkab Bandung korupsi Rp1,5 M, divonis 5 Tahun

Yugi Prasetyo

Selasa, 7 Mei 2013 − 13:47 WIB

Ilustrasi (istimewa)

Sindonews.com - Lantaran menilep dana pemuktahiran E-KTP Kabupaten Bandung


tahun 2010 sebesar Rp1,5 Miliar, staf di Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil
Kabupaten Bandung, Dian Purnamasari divonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Bandung lima tahun penjara.

Selain Dian, majelis yang dipimping Sinung Hermawan pun menjatuhkan vonis dua
tahun penjara terhadap Iwan Iswandi yang merupakan pembantu bendahara di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bandung.
Vonis keduanya lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum sebelumnya
yakni Dian Purnama Sari dituntut 7 tahun penjara sedangkan Iwan Iswandi selama 2,6
tahun penjara.

Sinung menegaskan hal-hal yang memberatkan terdakwa antaralain perbuatan


menimbulkan kerugian negara.

"Sedangkan yang meringankan ialah terdakwa belum pernah dihukum," ujar Sinung
dalam membacakan vonis terhadap keduanya di ruang utama Pengadilan Tipikor
Bandung, Selasa (07/05).

Atas putusan itu, Dian dan kuasa hukumnya pikir-pikir. Dian pun tak kuasa menahan air
matanya begitu palu hakim diketuk.

Dalam dakwaan sebelumnya, terdakwa Dian memanfaatkan Iwan Iswandi yang menjabat
pembantu bendahara di dinas yang sama. Dian Purnamasari didakwa pasal 2, 3, dan 8 UU
No. 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No.20/2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 20 penjara.
"Selain itu terdakwa Dian juga didakwa pasal 3 UU Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU), hasil kejahatan korupsinya itu diputar kembali menjadi lahan bisnis dengan
ditransfer kepada adik kandungnya Aim Rochimat," beber jaksa penuntut umum Budi
Nugraha.

Kasus tersebut terjadi pada Desember 2010 dengan total dana yang digelontorkan Rp2,2
miliar. Dana tersebut dianggarkan untuk berbagai kegiatan operasional, pengisian
formulir, distribusi pengembalian formulir, verifikasi, validasi, honor tim teknis EKTP
Pemkab Bandung, dan kegiatan lainnya terkait EKTP. Dana tersebut dari Pemprov Jabar.

Anda mungkin juga menyukai