Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2018


UNIVERSITAS TADULAKO

HIFEMA

Disusun Oleh:
WENNY EKA FILDAYANTI
N 111 16 027

PEMBIMBING :
dr. Bambang Ali Sp.M

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata
yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf
mata dan rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga
mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihat. Trauma okuli merupakan
salah satu penyebab yang sering menyebabkan kebutaan unilateral pada
anak dan dewasa muda, karena kelompok usia inilah yang sering mengalami
trauma okuli yang parah.1
Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli
perforans dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma
okuli berdasarkan mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma
tumpul dan trauma tajam), trauma radiasi (sinar inframerah, sinar
ultraviolet, dan sinar X) dan trauma kimia (bahan asam dan basa). Trauma
okuli merupakan kedaruratan mutlak di bidang ocular emergency. Beberapa
komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma okuli adalah erosi kornea,
iridoplegia, hifema, iridosiklitis, subluksasi lensa, luksasi lensa anterior,
luksasi lensa posterior, edema retina dan koroid, ablasi retina, ruptur koroid,
serta avulsi papil saraf optik.2
Hifema merupakan keadaan dimana terjadi perdarahan pada bilik mata
depan dapat terjadi akibat trauma tumpul pada mata. Darah ini berasal dari
iris atau badan siliar yang robek. Hifema dapat juga disebabkan oleh trauma
intraoperasi, pecahnya neovaskularisasi, adanya kanker, atau kelainan
vaskuler lain. Menurut salah satu studi yang di lakukan di Amerika Serikat,
kejadian hifema, terutama hifema traumatik, diperkirakan sebanyak 12
kasus per 100.000 orang populasi. Anak-anak dan usia remaja 10-20 tahun
memiliki presentase penderita terbanyak, yaitu sebesar 70%. Hifema lebih
sering terjadi pada pria dibandingkan wanita dengan perbandingan 3:1.3

2
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan refarat dan laporan kasus ini adalah untuk
mempelajari dan mengetahui tentang penyakit Hifema meliputi pengertian,
tanda gejala klinisnya serta bagaimana cara melakukan penanganan pada
kasus tersebut. Selain itu, penulisan ini juga bertujuan untuk memenuhi
tugas kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Kesehatan Mata.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Kelopak Mata


Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus
oleh tiga lapisan. Dari luar ke dalam, lapisan–lapisan tersebut adalah :
sklera/kornea, koroid/badan siliaris/iris, dan retina. Sebagian besar mata
dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar, sklera,
yang membentuk bagian putih mata.2

Gambar 1. Gambaran anatomi bola mata potongan sagital

Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun terpisah


oleh selubung fascia bola mata. Bola mata berbentuk bulat dengan panjang
maksimal 24 mm. Bola mata yang bagian depan (kornea) mempunyai
kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2
kelengkungan yang berbeda. Bola mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu:2

4
1. Tunica Fibrosa
Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opaque atau
sklera dan bagian anterior yang transparan atau kornea. Sklera
merupakan jaringan ikat padat fibrosa dan tampak putih.Sklera juga
ditembus oleh n. ciliaris dan pembuluh balik yang terkait yaitu
v.vorticosae. Sklera langsung tersambung dengan kornea di depannya
pada batas limbus. Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama
merefraksikan cahaya yang masuk ke mata. Tersusun atas lapisan-lapisan
berikut ini dari luar ke dalam sama dengan: (1) epitel kornea (epithelium
anterius) yang bersambung dengan epitel konjungtiva (2) substansia
propria, terdiri atas jaringan ikat transparan (3) lamina limitans posterior
dan (4) endothel (epithelium posterius) yang berhubungan dengan
aqueous humour.2
2. Lamina vasculosa
Dari belakang ke depan disusun oleh sama dengan : (1) choroidea
(terdiri atas lapis luar berpigmen dan lapis dalam yang sangat vaskular)
(2) corpus ciliare (ke belakang bersambung dengan choroidea dan ke
anterior terletak di belakang tepi perifer iris) terdiri atas corona ciliaris,
procesus ciliaris dan musculus ciliaris (3) iris (adalah diafragma
berpigmen yang tipis dan kontraktil dengan lubang di pusatnya yaitu
pupil) iris membagi ruang diantara lensa dan kornea menjadi bilik mata
depan dan bilik mata belakang, serat-serat otot iris bersifat involunter dan
terdiri atas serat-serat sirkuler dan radier.2

5
Gambar 2. Anatomi Bilik Mata Depan dan Jaringan Sekitar
3. Tunica sensoria (retina)
Retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di
dalamnya. Permukaan luarnya melekat pada choroidea dan permukaan
dalamnya berkontak dengan corpus vitreum. Tiga perempat posterior
retina merupakan organ reseptornya. Ujung anterior membentuk cincin
berombak, yaitu ora serrata, di tempat inilah jaringan syaraf berakhir.
Bagian anterior retina bersifat non-reseptif dan hanya terdiri atas sel-sel
pigmen dengan lapisan epitel silindris di bawahnya. Bagian anterior retina
ini menutupi procesus ciliaris dan bagian belakang iris.2

Vaskularisasi Bola Mata


Pemasok utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri
ophtalmica, yaitu cabang besar pertama arteri karotis interna bagian
intrakranial. Cabang ini berjalan di bawah nervus optikus dan bersamanya
melewati kanalis optikus menuju ke orbita. Cabang intraorbital pertama
adalah arteri sentralis retina, yang memasuki nervus optikus sebesar 8-15
mm di belakang bola mata. Cabang-cabang lain arteri oftalmika adalah

6
arteri lakrimalis, yang memvaskularisasi glandula lakrimalis dan kelopak
mata atas, cabang-cabang muskularis ke berbagai otot orbita, arteri siliaris
posterior longus dan brevis, arteri palpebra medialis ke kedua kelopak mata,
dan arteri supra orbitalis serta supra troklearis.4

Gambar 3. Persarafan pada mata

Iris sendiri diperdarahi oleh kompleks antara 2 arteri siliar posterior


dan 7 arteri siliar anterior. Arteri ini akan berabung membentuk greater
arterial circle of iris dan kemudian memperdarahi iris dan badan silier. 4
Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena oftalmika
superior dan inferior, yang juga menampung darah dari vena verticoasae,
vena siliaris anterior, dan vena sentralis retina. Vena oftalmika
berhubungan dengan sinus kavernosus melalui fisura orbitalis superior dan
dengan pleksus venosus pterigoideus melalui fisura orbitalis inferior.4

7
Gambar 4. Vaskularisasi pada Segmen Anterior

2.2. Hifema
A. Definisi

Hifema adalah suatu keadaan dimana adanya darah dalam bilik


mata depan yang bersal dari pembuluh darah iris dan badan siliar
yang pecah yang dapat terjadi akibat trauma ataupun secara spontan,
sehinnga darah terkumpul di dalam bilik mata, yang hanya mengisi
sebagian ataupun seluruh isis bilik mata depan. Hifema atau darah di
dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul yang
merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.2

8
Gambar 5. Penumpukan darah pada COA (hifema)

B. Epidemiologi
Menurut salah satu studi yang di lakukan di Amerika Serikat,
kejadian hifema, terutama hifema traumatik, diperkirakan sebanyak
12 kasus per 100.000 orang populasi. Anak-anak dan usia remaja 10-
20 tahun memiliki presentase penderita terbanyak, yaitu sebesar 70%.
Hifema lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita dengan
perbandingan 3:1.3

C. Klasifikasi
a). Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi:4
1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan
yang disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier
akibat trauma pada segmen anterior bola mata.
2. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur
operasi mata)
3. Hifema akibat inflamasi yang arah pada iris dan badan silier,
sehingga pembuluh darah pecah
4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah
5. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma)

9
b). Berdasarkan onset perdarahannya, hifema dibagi menjadi: 4
1. Hifema primer terjadi langsung sampai 2 hari setelah trauma
pada mata
2. Hifema sekunder terjadi 2-5hari setelah trauma pada mata
c). Berdasarkan darah yang terlihat, hifema diklasifikasikan menjadi: 4
1. Makrohifema, perdarahan terlihat dengan mata telanjang.
2. Mikrohifema, perdarahan terlihat apabila menggunakan
mikroskop.
d). Berdasarkan pemenuhan darah dibilik mata depan, hifema dapat
dibagi menjadi: 4
 Grade 1, darah mengisi kurang dari 1/3 bilik mata depan
 Grade 2, darah mengisi 1/3-1/2 bilik mata depan
 Grade 3, darah mengisis ½ – kurang dari seluruh bilik mata
depan
 Grade 4, darah mengisi seluruh bilik mata depan, dikenal
dengan total hyphema, blackball atau 8-ball hyphema

Gambar 3. Klasifikasi hifema


10
D. Etiologi
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata
seperti terkena bola, batu, peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain
itu, hifema juga dapat terjadi karena kesalahan prosedur operasi
mata. Keadaan lain yang dapat menyebabkan hifema namun jarang
terjadi adalah adanya tumor mata (contohnya retinoblastoma), dan
kelainan pembuluh darah (contohnya juvenile xanthogranuloma).6
Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat
diakibatkan oleh kerusakan jaringan bagian dalam bola mata,
misalnya terjadi robekan-robekan jaringan iris, korpus siliaris dan
koroid. Jaringan tersebut mengandung banyak pembuluh darah,
sehingga akan menimbulkan perdarahan. Perdarahan yang timbul
dapat berasal dari kumpulan arteri utama dan cabang dari badan
ciliar, arteri koroid, vena badan siliar, pembuluh darah iris pada sisi
pupil. Perdarahan di dalam bola mata yang berada di kamera anterior
akan tampak dari luar. Timbunan darah ini karena gaya berat akan
berada di bagian terendah.7

E. Patofisiologi
Terdapat 2 mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya
hifema. Mekanisme pertama adalah mekanisme dimana kekuatan
trauma menyebabkan kontusio sehinga terjadi robekan pada pembuluh
darah iris dan badan silier yang rentan rusak. Mekanisme kedua
adalah trauma tersebut menyebabkan peningkatan tekanan
intraokuler akut sehingga menyebabkan rupture pembuluh darah
pada iris dan badan silier.7

11
Gambar 4. Mekanisme Perdarahan akibat Trauma Tumpul Mata
Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan
kanker mungkin juga bisa menyebabkan perdarahan pada COA.
Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.
Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak
sudut COA. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada
patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam ruang COA,
mengotori permukaan dalam kornea.6
Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan
teraktivasinya mekanisme hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan
tekanan intraokular, spasme pembuluh darah, dan pembentukan
fibrin merupakan mekanisme pembekuan darah yang akan
menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas dari bilik
mata depan ke bilik mata belakang. Bekuan darah ini biasanya
berlangsung hingga 4-7 hari. Setelah itu, fibrinolisis akan terjadi.
Setelah terjadi bekuan darah pada bilik mata depan, maka
plasminogen akan diubah menjadi plasmin oleh aktivator kaskade
koagulasi. Plasmin akan memecah fibrin, sehingga bekuan darah yang
sudah terjadi mengalami disolusi. Produk hasil degradasi bekuan
darah, bersama dengan sel darah merah dan debris peradangan, keluar
dari bilik mata depan menuju jalinan trabekular dan aliran
uveaskleral.6
Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut
perdarahan primer. Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula
12
banyak. Perdarahan sekunder biasanya timbul pada hari ke 5 setelah
trauma. Perdarahannya biasanya lebih hebat daripada yang primer.
Oleh karena itu seseorang dengan hifema harus dirawat sedikitnya 5
hari. Dikatakan perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi
daribekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga pembuluh darah tak
mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali.7
Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam
bentuk sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal schlem
sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris.
Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di
daerah ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk
hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat
masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi
bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea, yang
hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat
dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai glaukoma.8
Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa
temuan klinis yang berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan
setelah trauma tumpul mata. Hal ini menunjukkan terpisahnya serat
longitudinal dan sirkular dari otot siliar. Resesi sudut mata dapat
terjadi pada 85 % pasien hifema dan berkaitan dengan timbulnya
glaukoma sekunder di kemudian hari. Iritis traumatik, dengan sel-sel
radang pada bilik mata depan, dapat ditemukan pada pasien hifema.
Pada keadaan ini, terjadi perubahan pigmen iris walaupun darah sudah
dikeluarkan. Perubahan pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi
endotel kornea hingga ruptur limbus. Kelainan pupil seperti miosis
dan midriasis dapat ditemukan pada 10 % kasus. Tanda lain yang
dapat ditemukan adalah siklodialisis, iridodialisis, robekan pupil,
subluksasi lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen
posterior dapat meliputi perdarahan vitreus, jejas retina (edema,

13
perdarahan, dan robekan), dan ruptur koroid. Atrofi papil dapat terjadi
akibat peninggian tekanan intraokular.6

F. Diagnosa
Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat
memastikan adanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya
perdarahan pada COA (dapat diperiksa dengan flashlight), kadang-
kadang ditemukan gangguan visus. Ditemukan adanya tanda-tanda
iritasi dari conjunctiva dan pericorneal, fotofobia (tidak tahan terhadap
sinar), penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis,
dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu
letargic, disorientasi atau somnolen. 7,8
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata
yang berair. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat
penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila
jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat
terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema dapat memenuhi seluruh
ruang COA. Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan, pupil tetap
dilatasi (midriasis), dapat terjadi pewarnaan darah (blood staining)
pada kornea, anisokor pupil. 7,8
Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus
karena darah mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi
kamera okuli ini secara langsung dapat mengakibatkan tekanan
intra okuler meningkat akibat bertambahnya isi kamera anterior oleh
darah. Kenaikan tekanan intra okuler ini disebut glaucoma sekunder.
Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat massa darah yang
menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang humor
aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang
lama berada di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah
pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea.8

14
G. Pemeriksaan penunjang9
1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata
Snellen; visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous
humor, iris dan retina.
2. Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi
vaskuler okuler, glaukoma.
3. Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
4. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan
iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
5. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
6. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma
bila TIO normal atau meningkat ringan.

H. Penatalaksanaan
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit
tidak berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun
perawatan penderita hifema traumatik ini masih banyak
diperdebatkan, namun pada dasarnya adalah 2:
1) Menghentikan perdarahan.
2) Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
3) Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan
mempercepat absorbsi.
4) Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang
lain.
5) Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan
penderita dengan traumatik hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2
golongan besar yaitu perawatan dengan cara konservatif/tanpa operasi,
dan perawatan yang disertai dengan tindakan operasi.

15
Perawatan Konservatif/Tanpa Operasi2,3
1. Tirah baring (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi
kepala diangkat (diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45o
(posisi semi fowler). Hal ini akan mengurangi tekanan darah pada
pembuluh darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah
perdarahannya. Ada banyak pendapat dari banyak ahli mengenai
tirah baring sempurna ini sebagai tindakan pertama yang harus
dikerjakan bila menemui kasus traumatik hifema. Bahkan beberapa
penelitian menunjukkan bahwa dengan tirah baring kesempurnaan
absorbsi dari hifema dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya
komplikasi perdarahan sekunder. Istirahat total ini harus
dipertahankan minimal 5 hari mengingat kemungkinan perdarahan
sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan, terlebih-lebih pada anak-
anak, sehingga kalau perlu harus diikat tangan dan kakinya ke
tempat tidur dan pengawasan dilakukan dengan sabar. 2
2. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian
pendapat di antara para ahli. Penggunaan bebat mata pada mata
yang terkena trauma yaitu untuk mengurangi pergerakan bola mata
yang sakit. 2,3
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik
hifema tidaklah mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan
perdarahan, mempercepat absorbsinya dan menekan komplikasi
yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-obatan seperti:
2,3,5

 Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara
oral maupun parenteral, berguna untuk menekan/menghentikan
perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona AC, Coagulen,
16
Transamin, vit K dan vit C. Pada hifema yang baru dan terisi
darah segar diberi obat anti fibrinolitik (di pasaran obat ini
dikenal sebagai transamine/ transamic acid) sehingga bekuan
darah tidak terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi
kesempatan untuk memperbaiki diri dahulu sampai sembuh.
Dengan demikian diharapkan terjadinya perdarahan sekunder
dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250 mg dan hanya
kira-kira 5 hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat
timbulkan gangguan transportasi cairan COA dan terjadinya
glaukoma juga imbibisio kornea. Selama pemberiannya jangan
lupa pengukuran tekanan intra okular.
 Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-
obat golongan midriatika atau miotika, karena masing-masing
obat mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri-sendiri.
Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi
meningkatkan kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan
perdarahan. Pemberian midriatika dianjurkan bila didapatkan
komplikasi iridiocyclitis. Akhirnya beberapa penelitian
membuktikan bahwa pemberian midriatika dan miotika
bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak dua kali
sehari akan mengurangi perdarahan sekunder dibanding
pemakaian salah satu obat saja.
 Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian
acetazolamide (Diamox) secara oral sebanyak 3x sehari
bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler.
Bahkan Gombos dan Yasuna menganjurkan juga pemakaian
intravena urea, manitol dan gliserin untuk menurunkan tekanan
intraokuler, walaupun ditegaskan bahwa cara ini tidak rutin.
Pada hifema yang penuh dengan kenaikan tekanan intra okular,
17
berilah diamox, glyserin, nilai selama 24 jam. Bila tekanan
intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas normal,
lakukan parasentesa yaitu pengeluaran drah melalui sayatan di
kornea Bila tekanan intra okular turun sampai normal, diamox
terus diberikan dan dievaluasi setiap hari. Bila tetap normal
tekanan intra okularnya dan darahnya masih ada sampai hari ke
5-9 lakukan juga parasentesa.
 Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan
mengurangi komplikasi iritis dan perdarahan sekunder
dibanding dengan antibiotika.
Perawatan Operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan
glaukoma sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis
cornea. Dan tidak ada pengurangan dari tingginya hifema dengan
perawatan non-operasi selama 3 - 5 hari. Untuk mencegah atrofi
papil saraf optik dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata
maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata
maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi
kornea dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25
mmHg selama 6 hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi
kornea. 2,3
Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya
sinekia anterior perifer bila hifema total bertahan selama 5 hari atau
hifema difus bertahan selama 9 hari. Intervensi bedah biasanya
diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari keseluruhan indikasinya
adalah sebagai berikut 6:
1. Empat hari setelah onset hifema total
2. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
3. Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih
selama 4 hari (untuk mencegah atrofi optic)
18
4. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6
hari dengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal
bloodstaining)
5. Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8-9 hari
(untuk mencegah peripheral anterior synechiae)
6. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun
ukurannya dengan tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih
dari 24 jam. Jika Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau
lebih selama 4 hari, pembedahan tidak boleh ditunda. Suatu studi
mencatat atrofi optic pada 50 persen pasien dengan total hifema
ketika pembedahan terlambat. Corneal bloodstaining terjadi pada
43% pasien. Pasien dengan sickle cell hemoglobinopathi diperlukan
operasi jika tekanan intra ocular tidak terkontrol dalam 24 jam.

Tindakan operasi yang dikerjakan adalah : 2,3


1. Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan
mengeluarkan cairan/darah dari bilik depan bola mata dengan teknik
sebagai berikut : dibuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah
kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan
penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan
akan keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata
depan dibilas dengan garam fisiologis. Biasanya luka insisi kornea
pada parasentesis tidak perlu dijahut. Parasentese dilakukan bila TIO
tidak turun dengan diamox atau jika darah masih tetap terdapat
dalam COA pada hari 5-9.
2. Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik.
3. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka
korneoscleranya sebesar 1200

19
I. Komplikasi 3,8
1. Perdarahan sekunder
Perdarahan ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6,
sedangkan insidensinya sangat bervariasi, antara 10 - 40%.
Perdarahan sekunder ini timbul karena iritasi pada iris akibat
traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan primernya.
2. Glaukoma sekunder
Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan
oleh tersumbatnya trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan
darah. Adanya darah dalam COA dapat menghambat aliran cairan
bilik mata oleh karena unsur-unsur darah menutupi sudut COA
dan trabekula sehingga terjadinya glaukoma.Glaukoma sekunder
dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses
sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan
mata.
3. Hemosiderosis kornea
Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan
sekunder disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus
karenahemosiderosis tidak selalu permanen, tetapi kadang-kadang
dapat kembali jernih dalam waktu yang lama (2 tahun).
Insidensinya ± 10%.3 Zat besi di dalam bola mata dapat
menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat
menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.
4. Sinekia Posterior
Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik
hifema.Komplikasi ini akibat dari iritis atau
iridocyclitis.Komplikasi ini jarang pada pasien yang mendapat
terapi medikamentosa dan lebih sering terjadi pada pada pasien
dengan evakuasi bedah pada hifema.
5. Atrofi optic
Disebbakan karena peningkatan tekanan intraokuler
20
J. Prognosis
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun
pada kamera okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang
sedikit dan tanpa disertai glaukoma, prognosisnya baik (bonam)
karena darah akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam
beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah mengalami glaukoma,
prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma tersebut
menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam
penglihatan telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis
penderita adalah buruk (malam) karena dapat menyebabkan kebutaan.
2

21
BAB III
KASUS PASIEN

A. IDENTITAS
Nama : An. P
Umur : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Desa Jono Oge

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Penglihatan kabur
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk ke Poli Mata RSU Torabelo dengan keluhan penglihatan
kabur mata kanan sejak + 2 hari yang lalu. Awalnya pasien terkena kok
bulutangkis ketika bermain dengan temannya tepat di mata kanan. Pasien
merasa kepalanya sakit sehingga ibunya memijat kepalanya.
+ 1 hari sebelum masuk ke Rumah Sakit, pasien dibawa berobat ke
bidan dan diberi obat syrup dan obat tetes mata. Tetapi keluhan pasien tidak
ada perubahan. Pasien lalu datang ke RSU Anutapura.
Riwayat Penyakit Mata Sebelumnya :
Tidak ada
Riwayat Penyakit Lain :
Tidak ada
Riwayat Trauma :
Tidak ada
Riwayat Penyakit Mata dalam Keluarga :
Tidak ada

22
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis :
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 80 x/m
- Pernapasan : 20 x/m
- Suhu : 36,50C

Status Oftalmologis OD OS
Visus
 Ketajaman 0,8 1,0
 Koreksi - -
 Addisi - -
Inspeksi:
- Palpebra
- Edema Positif negatif
- Nyeri tekan Positif negatif
- Ekstropion Tidak ada Tidak ada
- Entropion Tidak ada Tidak ada
- Sikatrik Tidak ada Tidak ada
- Ptosis Tidak ada Tidak ada
- Lagoftalmus Tidak ada Tidak ada
- Apparatus Lakrimalis
- Gland. Lakrimalis Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
- Punctum Lakrimalis Terbuka Terbuka
- Silia
- Trikosis Tidak ada Tidak ada
- Distichiasis Tidak ada Tidak ada
- Sekret Tidak ada Tidak ada

23
- Konjungtiva Tarsal
- Hiperemis Negatif Negatif
- Sikatrik Negatif Negatif
- Konjungtiva Bulbi
- Sekret Tidak ada Tidak ada
- Injeksi Konjungtiva Positif Negatif
- Perdarahan Sub- Negatif Negatif
konjungtiva
- Pterygium Negatif Negatif
- Bola Mata
- Eksoptalmus Negatif Negatif
- Endoftalmus Negatif Negatif
- Gerakan Bola Mata Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
“gambar bintang” “gambar bintang”
- Lapang Pandang Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
“gambar tambah” “gambar tambah”
- Kornea
- Kejernihan Jernih Jernih
- Permukaan Licin, edema (+) Licin, edema (-)
- Infiltrat Tidak ada Tidak ada
- Ulkus Tidak ada Tidak ada
- Arcus Sinilis Tidak ada Tidak ada
- Bilik Mata Depan
- Kedalamana Cukup Cukup
- Kejernihan Jernih Jernih
- Hifema Positif grade grade I Tidak ada
- Hipopion Tidak ada Tidak ada
- Iris
- Kripte Terlihat Terlihat
- Sinekia Tidak ada Tidak ada

24
- Pupil
- Letak Central Central
- Bentuk Bulat Bulat
- Ukuran + 3 mm + 3 mm
- RCL Positif Positif
- RCTL Positif Positif
- Lensa
- Kejernihan Jernih Jernih
Palpasi:
- Tensi Okular
Tonometri Digital N N
- Nyeri Tekan Positif Negatif
- Massa Tumor Tidak ada Tidak ada
- Gland. Pre-aurikuler Tidak ada Tidak ada
Tonometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Tes Buta Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Oftalmoskopi
- Refleks Fundus Positif Positif
D. PSlit Lamp
E - Palpebra Edema (+) Edema (-)
M - Silia Simetris Simetris
E - Konjungtiva Injeksi konjungtiva (+) Injeksi konjungtiva (+)
R - Kornea Edema (+) Edema (-)
I - COA Jernih, terisi darah 30% Jernih
K - Iris Nampak kripte Nampak kripte
S - Pupil Bulat isokor Bulat isokor
A - Lensa Jernih Jernih
AN PENUNJANG

25
E. RESUME
Pasien anak laki-laki, 10 tahun, keluhan utama penglihatan kabur pada
mata kanan sejak + 2 hari. Keluhan tersebut diawali karena mata terkena
kok bulutangkis. Cephalgia (+). Riawayat pengobatan 1 hari yang lalu tetapi
tidak ada perubahan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalisata sakit sedang dan
komposmestis. Tanda tanda vital dalam batas normal. Status oftalmologis
didapatkan
VOD : 0,8
VOS : 1,0
Okuli dekstra bagian depan, inspeksi : edema palpebra (+), injeksi
konjungtiva (+), edema kornea (+), hifema (+) grade 1, Palpasi : nyeri tekan
(+). Pada Okuli dekstra bagian belakang didapatkan refleks fundus (+). Pada
pemeriksaan slit lamp didapatkan edema palpebra (+), edema kornea (+),
injeksi konjungtiva (+), COA terisi darah 30%.
Pada okuli sinistra tidak didapatkan kelainan.

F. DIAGNOSIS
OD Hifema grade 1

G. PENATALAKSANAAN
 Medikamentosa
 Prednisolon solution 1 % (2 x 1 gtt)
 Acetazolamid 2 x 250 mg
 Asam traneksamat 3 x 250 mg
 Vitamin K 1 x 1
 Vitamin C 1 x 1
 Non medikamentosa
 Bed rest total
 Elevasikan kepala 450, kepala lebih diatas dari pada tungkai.

26
H. PROGNOSIS
Dubia ad bonam

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Kalazion adalah peradangan granulomatosa kelenjar meibom yang


tersumbat, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang tidak sakit pada mata.
Pada kalazion terjadi penyumbatan kelenjar meibom dengan infeksi ringan yang
mengakibatkan peradangan kronis. Awalnya dapat berupa radang ringan disertai
nyeri tekan yang mirip hordeolum, dibedakan dengan hordeolum karena tidak
adanya tanda- tanda radang akut.
Kalazion memiliki gejala adanya benjolan pada kelopak mata, tidak
hipermi, tidak ada nyeri tekan, dan adanya pseudoptosis. Kelenjar preaurikuler
tidak membesar. Kadang-kadang mengakibatkan perubahan bentuk bola mata
akibat tekanan dari kalazion tersebut sehingga terjadi kelainan refraksi pada mata.
Kalazion lebih sering timbul pada palpebra superior, di mana jumlah kelenjar
Meibom terdapat lebih banyak daripada palpebra inferior. Pada pasien ini juga
mengalami kalazion pada palpebra superior. Kerusakan lipid yang mengakibatkan
tertahannya sekresi kelenjar, kemungkinan karena enzim dari bakteri, membentuk
jaringan granulasi dan mengakibatkan inflamasi. Proses granulomatous ini yang
membedakan antara kalazion dengan hordeolum internal atau eksternal.
Diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis kasus ini didapatkan keluhan massa pada
palpebra superior sinistra yang dirasakan sekitar 1 tahun yang lalu. Saat ini
keluhan massa yang dirasakan oleh pasien tidak terasa sakit, tidak ada perdarahan,
tidak gatal. Hal ini sudah sesuai dengan teori dimana pada kalazion didapatkan
benjolan pada palpebra namun tidak nyeri. Pada pemeriksaan oftalmologi pasien
didapatkan ada massa di palpebra superior, tidak nyeri tekan dan tidak hiperemi.
Hal ini sudah sesuai dengan teori diatas.
Tindakan pada kasus ini diberikan kompresi air hangat, lalu diberikan obat
antibiotik tetes mata dan dilakukan tindakan operatif pada pasien. Untuk
mengurangi gejala dilakukan tindakan ekskokleasi isi abses. Tindakan operatifnya
dilakukan insisi yang sama dengan tindakan hordeolum interna.
28
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan kasus pada referat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :


1. Pasien Nn. P masuk Rumah Sakit dengan keluhan benjolan pada kelopak
atas mata kiri dengan diagnosis Kalazion.
2. Pasien perempuan usia 20 tahun masuk RSU Anutapura dengan keluhan
massa pada palpebra superior sinistra yang dirasakan sekitar 1 tahun yang
lalu. Awalnya dulu pasien mengeluh palpebra superior sinistra terasa gatal
dan sembuh sendiri. Namun saat ini keluhan massa yang dirasakan oleh
pasien tidak terasa sakit, tidak ada perdarahan, tidak gatal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital TD : 110/70 mmHg,
nadi : 80 x/m, pernapasan : 20 x/m, suhu : 36,50C. Pemeriksaan visus pada
VOD : 6/60, VOS : 6/60. Status oftalmologi didapatkan massa pada
palpebra superior sinistra, hiperemis (-), nyeri tekan (-).
3. Pada pasien diberikan terapi medikamentosa dan non medika mentosa
termasuk dilakukan tindakan operatif.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas Sidarta H: Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI.


Jakarta.2009. Hal 28-29.
2. Kanski JJ. 2009. Clinical Ophthalmology A Synopsis. Butterworth-
Heinemann, Boston.
3. Santen S. Chalazion. Available at : www.emedicine.com. 2010. Diakses 9 Juni
2018
4. Sahni, Dr. Blepharitis,. Dr.Sahni's Homoeopathy Clinic & Research
Center Pvt. Ltd.Available at:
www.homoeopathyclinic.com/articles/diseases/eye/Blepharitis.pdf. 2004
diakses 9 Juni 2018
5. Wessels IF. Chalazion. Available at : www.emedicine.com. Last Updated : 23
September 2002. Diakses 9 Juni 2018
6. Ilyas S, Mailangkay HHB, Taim H, Saman R, Simarwata M, Widodo PS
(eds). 2010. Ilmu penyakit mata untuk dokter umum dan mahasiswa
kedokteran. Jakarta: Sagung Seto.
7. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi Umum. Edisi 14.
Jakarta: Widya Medika, 2000.
8. Leonid SJ (2014). Hordeolum and Chalazion Treatment.
www.optometry.co.uk. Diakses tanggal 10 Juni 2018.

7. Rizky G. Hifema.Medicinesia.2013. available at URL: www.

Medicinesia.com

30
8. Ilyas, S. Hifema, dalam: Ilmu Penyakit Mata.Edisi 3. FKUI, Jakarta,

2005

9. .Ilyas, S.Hifema. Dalam : Kedaruratan dalam Ilmu penyakit Mata. Edisi

3. FKUI: Jakarta. 2005

10. Balatay A, Ibrahim H. Traumatic Hyphema. Dohuk Medical Journal

2008. Available at URL: www.uod.ac

11. Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. General ophthalmology.16th

ed.USA:McGraw-Hill

12. Kuhn F, Pieramici D. Mechanical Globe Injuri: Anterior Chamber.

Dalam: Ocular trauma principles and practice. New York:Thieme.2002.

13. Kuhn F. Anterior Chamber. Dalam: Ocular

TraumatologyUSA:Springer.2008.

14. Behbehani A, Abdelmoaty S, Aljazaf A. Traumatic Hyphema. Dalam

Studi Journal og Ophtalmology, Volume 3, No. 3 July-September.2006

15. Sheppard JD. Hyphema. Available at URLL: //medicine.medscape.com

16. Sumarsono, Contusio Oculi. Available at:

http://www.portalkalbe/kalbe_ContusioOculi.html.

31

Anda mungkin juga menyukai