BPH Fix
BPH Fix
Dosen Pengajar:
Supono, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.MB.
Disusun Oleh:
Shafia Desy Putri Agika (P17221173044)
Sa’diatul Istianah (P17221174049)
Ely Munyca Fatmawati (P17221174054)
Nazhilatul Rizkia (P17221174062)
Nayla Rifa’atul Aulia (P17221174068)
Aziz Mas’udi Razaq (P17221174073)
Irma Dwi Noviyanti (P17221174078)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah tentang “Benigna Prostat Hyperplasia” dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan suatu pelajaran mengenai
bagaimana Pengertian BPH, Prevalensi BPH, Etiologi BPH, Klasifikasi BPH, Manifestasi
Klinis BPH, Patofisiologi BPH, Penatalaksanaan Medis BPH, dan Asuhan Keperawatan
BPH.
Tak lupa pula kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh rekan-rekan
yang telah ikut serta mendukung dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada Dosen
Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah yang selalu memberikan dukungan kepada kami .
Adapun kritik dan saran sangat terbuka guna penyempurnaan makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR ..................................................................................... . i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................... . 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... . 1
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................... .. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian BPH ........................................................................ . 3
2.2 Prevalensi BPH ....................................................................... .. 6
2.3 Etiologi BPH ........................................................................... .. 6
2.4 Klasifikasi BPH ...................................................................... .. 7
2.5 Manifestasi Klinis BPH .......................................................... .. 9
2.6 Patofisiologi BPH ................................................................... .. 9
2.7 Penatalaksanaan Medis BPH .................................................. .. 11
2.8 Asuhan Keperawatan BPH ..................................................... .. 12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 29
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
3. Apa etiologi dari BPH??
4. Apasaja klasifikasi dari BPH?
5. Bagaimanakah manifestasi klinis dari BPH?
6. Bagaimana patofisiologi dari BPH?
7. Bagaimanakah penatalaksanaan medis dari BPH?
8. Bagaimana asuhan keperawatan BPH?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang akan dicapai pada makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian BPH.
2. Untuk mengetahui prevalensi dari BPH.
3. Untuk mengetahui klasifikasi BPH.
4. Untuk mengetahui etiologi dari BPH.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis BPH.
6. Untuk mengetahui patofisiologi BPH.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis BPH.
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan BPH.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos Prostat
3
dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus
oleh capsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal.
Diantara fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi
anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari
fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic
urogenital, dan melekat pada os pubis dengan diperkuat oleh ligamentum
puboprostaticum. Bagian posterior fascia prostatica membentuk lapisan
lebar dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari
fascia rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat (
Purnomo, 2011).
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30- 50
kelenjar yang terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus
anterior, dan lobus medial. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan
dibawah duktus ejakulatorius, lobus lateral yang Terletak dikanan uretra, lobus
anterior atau isthmus yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus
dekstra dan lobus sinistra, bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya
berisi otot polos, selanjutnya lobus medial yang terletak diantara uretra dan
duktus ejakulatorius, banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian
yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam
vesica urinaria bila lobus medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi
bendungan aliran urin pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau buah
kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya
kurang lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat
terdiri dari 50 – 70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan stroma
(penyangga) dan kapsul/muskuler. Bagian prostat terlihat di gambar 2.2.
4
Gambar 2.2 : Bagian prostat
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus
atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis dan
simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar
pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat
kedalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi
pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat banyak
reseptor adrenergic. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut.
Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi
jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi
saluran kemih (Purnomo, 2011).
Fisiologi
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang tergantung
kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti.
Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka
terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami
hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar estrogen relatif
bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling
aktif bekerja padapH 5.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat
alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulase serta
fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi
bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar bercampur dengan semen
yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume
5
cairan ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar
spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat asam (pH:
3,5-4). Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra posterior untuk
kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan
prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup
lebih lama dan dapat melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan
pembuahan, sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6
sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa cairan prostat menetralkan keasaman cairan dan lain
tersebut setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma (
Wibowo dan Paryana, 2009 ).
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat
adalah :
- Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu
6
sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus
lain.
Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi
hiperplasi kelenjar periuretral.
- Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa
jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi
sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
- Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa
dengan bertambahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testosteron
dan terjadinya konversi testosteron menjadi estrogen. (Kahardjo, 1995).
2.4 Klasifikasi BPH
1. Stadium 1
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengelurkan urine sampai habis
2. Stadium 2
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa tidak enak BAK atau
Disuria menjadi Nocturia.
3. Stadium 3
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150cc.
4. Stadium 4
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flowin kontinen).
a. Derajat Rectal
Derajat rectal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah
rectum. Rectal Toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsisten elastis,
dapat digerakkan, tidak ada nyeri tekan, dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher
pada hipertropi prostat didapatkan batas atas teraba menonjol lebih dari 1 cm dan
berat prostat diatas 35 gram. Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat
menentukan derajat rectal yaitu sebagai berikut :
1. Derajat 0 : ukuran pembesaran prostat 0-1cm
7
2. Derajat 1 : ukuran pembesaran prostat 1-2cm
3. Derajat 2 : ukuran pembesaran prostat 2-3 cm
4. Derajat 3 : ukuran pembesaran prostat 3-4cm
5. Derajat 4 : ukuran pembesaran prostat lebih dari 4cm
Gejala BPH tidak sesuai dengan gejala rectal, kadang-kadang dengan rectal toucher
tidak teraba menonjol tetapi telah ada gejala, hal ini dapat terjadi bila bagian yang
membesar adalah lobus medialis dan lobus lateralis. Pada derajat ini klien mengeluh
jika BAK tidak sampai tuntas dan puas, pancaran urine lemah, harus mengedan saat
BAK, nocturia tetapi belum ada sisa urine.
b. Derajat klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK
sampai selesai dan puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari
kateter disebut sisa urin atau residual urin. Residual urin dibagi beberapa derajat, yaitu
:
1. Normal sisa urin adalah 0
2. Derajat 1 sisa urin 0-50ml
3. Derajat 2 sisa urin 50-100ml
4. Derajat 3 sisa urin 100-150ml
5. Derajat 4 telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali.
Bila kandung kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urin akan keluar
secara menetes dan periodik, hal ini disebut over flow incontinen. Pada derajat ini
telah terdapat sisa urin sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin
bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.
8
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat
sampai seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini
telah terjadi retensi urin total .
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi
dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis
miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining)
kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi
retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara
lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan
ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer,2000).
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan
berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan
bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain
zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan
terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun
dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo
(2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan diubah menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah
yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
9
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar,
detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh
sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat
seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar
diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir
miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung
kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka suatu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan
terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
10
2.7 Penatalaksanaan Medis
11
2.8 Asuhan Keperawatan BPH
1) P (paliatif dan profokatif) : pasien mengeluh sakit pada saat miksi dan harus
menunggu lama dan harus mengedan.
12
2) Q (Quality atau Quanty): pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan
seks.
3) R (Regio dan Radiasi) :keluhan tersebut tempatnya , yaitu di bawah kandung
kemih
4) S (Saverit atau Scale) : keluhan tersebut mengganggu aktifitas dan mengeluh
sering BAK berulang-ulang.
5) T (Timing) : saat pasien ingin miksi dan lebih sering terbangun pada saat
malam hari. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)
Mungkin diantara keluarga pasien sebelumnya ada yang menderita penyakit yang
sama dengan penyakit sekarang. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)
c. Riwayat pengobatan :
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
1) Kesadaran
Pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, keluhan yang sering dialami dikenal
dengan istilah LUTS (lower urunary tract symtoms) yaitu pancaran urin lemah,
intermitensi,ada sisa urin pasca miksi, urgensi, frekuensi dan disuria. (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 137)
13
2) Tanda-tanda vital:
Tekanan darah : mengalami peningkatan pada tekanan darah
Nadi : adanya peningkatan nadi. Hal ini merupakan bentuk kompensasi dari nyeri
yang tibul akibat opstruksi meatus uretalis dan adanya distensi bladder.
Respirasi : terjadi peningkatan frekuensi nafas akibat nyeri yang dirasakan pasien.
Suhu : terjadi peningkatan suhu akibat retensi urin berlangsung lama seiring
ditemukan adanya tanda gejala urosepsis. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137)
14
Mulut dan tenggorokan : hilang nafsu makan mual dan muntah.
Abdomen : datar (simetris)
Inspeksi : bentuk abdomen datar , tidak terdapat masa dan benjolan.
Auskultasi : biasanya bising usus normal.
Palpasi ; tidak terdapat nyeri tekan dan tidak terdapat pembesaran permukaan
halus.
Perkusi ; tympani (Wijaya, 2013, p. 100).
f. Sistem integumen
Palpasi : kulit terasa panas karena peningkatan suhu tubuh karena adanya tanda
gejala urosepsis klien menggigil , kesadaran menurun. (Prabowo & Pranata, 2014,
hal. 137)
g. Sistem endokrin
Inspeksi : adanya perubahan keseimbangan hormon testosteron dan esterogen
pada usia lanjut. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 91)
h. Sistem reproduksi
Pada pemeriksaan penis, uretra, dan skrotum tidak ditemukan adanya kelainan,
kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis meatus. Pemeriksaan RC (rectal
toucher) adalah pemeriksaan sederhana yangpaling mudah untuk menegakan
BPH. Tujuannya adalah untuk menentukan konsistensi sistem persarafan unut
vesiko uretra dan besarnya prostate. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137)
i. Sistem muskuloskletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatkan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Wijaya, 2013, p. 106)
j. Sistem pengindraan
Inspeksi : pada pasien BPH biasanya pada sistem ini tidak mengalami gangguan
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 137).
k. Sistem imun
Tidak terjadi kelainan imunitas pada penderita BPH. (Prabowo & Pranata, 2014,
p. 137)
Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :
15
1) Laboratorium
a) Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui
kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.
16
c) Pemeriksaan USG transektal
untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa ginjal,
menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur
sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari
kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.
2.8.3 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007) dan Tucker dan
Canobbio (2008) adalah :
1. Pre Operasi
2. Post Operasi
b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder
pada pembedahan
17
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
Intervensi keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007), dan Tucker
dan Canobbio (2008) adalah:
1. Pra operasi
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml,
dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan cairan.
Intervensi :
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba
dirasakan
3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih,
perhatikan penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis.
18
4) Lakukan perkusi/palpasi suprapubik
19
Tujuan : nyeri hilang, terkontrol
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol pasien tampak
rileks, mampu untuk tidur dan istirahat dengan tepat
Intervensi :
20
Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi,
menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut
Intervensi :
21
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan
untuk menyembuhkan penyakitnya.
2. Post operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,
edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
Tujuan : Pasien berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.
Kriteria Hasil : Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control
kandung kemih/urinaria, pasien mempertahankan keseimbangan cairan
: asupan sebanding dengan haluaran.
Intervensi :
1) Kaji haluaran urine dan system drainase, khususnya selama
irigasi berlangsung.
Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area bedah,
bekuan darah dan spasme kandung kemih.
2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih.
Rasional : mendorong pasase urine dan menngkatkan rasa
normalitas.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah
kateter dilepas.
Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi
berkemih dapat berlanjut sehingga menjadi masalah untuk
beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.
4) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi
cairan pada malam hari setelah kateter dilepas
Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal
untuk aliran urine “penjadwalan” masukan cairan menurunkan
kebutuhan berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
5) Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continous bladder
irrigation)/CBI sesuai indikasi pada periode pascaoperasi
Rasional : mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan
debris untuk mempertahankan patensi kateter.
22
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1) Pasien mengatakan nyeri berkurang
2) Ekspresi wajah pasien tenang
3) Pasien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
4) Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan dorongan
berkemih sekitar kateter menunjukkan spasme kandung
kemih.
2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung
kemih.
Rasional : Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus
kandung kemih.
3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase.
Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan
Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan drainase
system. Menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih
4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase,
dan spasme kandung kemih
Rasional : menghilangkan ansietas dan meningkatkan
kerjasama.
5) Kolaborasi pemberian antispasmodic
contoh :
(1) Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : merilekskan otot polos, untuk memberikan
penurunan spasme dan nyeri
(2) Propantelin bromide (pro-bantanin)
Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih oleh
kerja antikolinergik.
23
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah
vaskuler (tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil
darah
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan
2) Tanda – tanda vital dalam batas normal .
3) Urine lancar lewat kateter
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan
setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui
tanda – tanda perdarahan.
2) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran
kateter .
Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter,
menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih
3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk
memudahkan defekasi .
Rasional : Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik
yang akan mengendapkan perdarahan
4) Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan
rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu
minggu .
Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan prostat
5) Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan
kapan traksi dilepas .
Rasional : Traksi kateter menyebabkan pengembangan
balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan.
Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan
6) Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam, masukan dan
haluaran Warna urine
24
Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan
intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang
permanen.
25
Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun
sampai tingkat dapat diatasi
Kriteria Hasil : Menyatakan pemahaman situasional individu,
menunjukan pemecahan masalah dan menunjukkan rentang
yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi :
1) Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukka perhatian dan keinginan untuk
membantu
2) Berikan informasi yang tepat tentang harapan
kembalinya fungsi seksual
Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila syaraf
perineal dipotong selama prosedur radikal.
3) Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan
transurethral/suprapubik digunakan
Rasional : cairan seminal mengalir kedalam kandung
kemih dan disekresikan melalui urine, hal ini tidak
mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan
kesuburan dan menyebabkan urine keruh
4) Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan
interupsi/continue aliran urin
Rasional : meningkatkan peningkatan control otot
kontinensia urin dan fungsi seksual.
26
1) Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab
gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk
menghindari.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien
sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan
2) Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang
dengan mengurangi kebisingan .
Rasional : Suasana tenang akan mendukung istirahat
3) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan
penyebab gangguan tidur.
Rasional : Menentukan rencana mengatasi gangguan
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat
yang dapat mengurangi nyeri/analgetik.
Rasional : Mengurangi nyeri sehingga pasien bisa
istirahat dengan cukup
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Deteksi dini terjadinya keganasan pada prostat sebaiknya dilakukan mulai umur 50
tahun, terutama pada kelompok umur 65-69 tahun. Deteksi dini keganasan pada prostat harus
dilakukan secara lengkap agar karsinoma prostat dapat terdeteksi secara dini.
28
DAFTAR PUSTAKA
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Penyakit. Jakarta : Buana Ilmu Populer
Sabiston, David C. 2004. Penyakit Striktur Uretra. Dalam: Sistem Urogenital, Buku Ajar
Bedah Bagian 2, hal.488. EGC. Jakarta
Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Alih Bahasa
Kuncara, H.Y, dkk, EGC, Jakarta
Wilkinson, Judith.M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil Noc, EGC, Jakarta
29