Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA

Dosen Pengajar:
Supono, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.MB.

Disusun Oleh:
Shafia Desy Putri Agika (P17221173044)
Sa’diatul Istianah (P17221174049)
Ely Munyca Fatmawati (P17221174054)
Nazhilatul Rizkia (P17221174062)
Nayla Rifa’atul Aulia (P17221174068)
Aziz Mas’udi Razaq (P17221174073)
Irma Dwi Noviyanti (P17221174078)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG
2B
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah tentang “Benigna Prostat Hyperplasia” dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.

Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan suatu pelajaran mengenai
bagaimana Pengertian BPH, Prevalensi BPH, Etiologi BPH, Klasifikasi BPH, Manifestasi
Klinis BPH, Patofisiologi BPH, Penatalaksanaan Medis BPH, dan Asuhan Keperawatan
BPH.

Tak lupa pula kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh rekan-rekan
yang telah ikut serta mendukung dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada Dosen
Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah yang selalu memberikan dukungan kepada kami .
Adapun kritik dan saran sangat terbuka guna penyempurnaan makalah ini.

Lawang, 17 Januari 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Hal
KATA PENGANTAR ..................................................................................... . i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................... . 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... . 1
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................... .. 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian BPH ........................................................................ . 3
2.2 Prevalensi BPH ....................................................................... .. 6
2.3 Etiologi BPH ........................................................................... .. 6
2.4 Klasifikasi BPH ...................................................................... .. 7
2.5 Manifestasi Klinis BPH .......................................................... .. 9
2.6 Patofisiologi BPH ................................................................... .. 9
2.7 Penatalaksanaan Medis BPH .................................................. .. 11
2.8 Asuhan Keperawatan BPH ..................................................... .. 12

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan............................................. .................................. 28
3.2 Saran.......................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 29

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


BPH merupakan kelainan pembesaran kelenjar yaitu hiperplasia yang mendesak
jaringan asli keporifer. Pada pasien BPH usia lanjut sangat memerlukan tindakan yang
tepat untuk mengantisipasinya. Sebagai salah satu tindakan yang akan dilakukan adalah
dengan operasi prostat atau prostatektomi untuk mengangkat pembesaran prostat. Dari
pengangkatan prostat, pasien harus dirawat inap sampai keadaannya membaik, guna
mencegah komplikasi lebih lanjut. (Suwandi, 2007).
Menurut Silva (2007), BPH dianggap menjadi bagian dari proses penuaan yang
normal. Walaupun demikian, jika menimbulkan gejala yang berat dan tidak segera
ditangani dapat menimbulkan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita BPH yang
dibiarkan tanpa pengobatan adalah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa
urin setelah buang air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika
yang selalu tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan
hidronefrosis yang akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.
Di Dunia, dapat dilihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang
itu menderita penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah meningkatnya usia 60 hingga
70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk
mendapatkannya bisa sehingga 90%. Sedangkan hasil penelitian Di Amerika 20%
penderita BPH terjadi pada usia 41-50 tahun, 50% terjadi pada usia 51-60 tahun dan 90%
terjadi pada usia 80 tahun (Johan, 2005).
Di Indonesia pada usia lanjut, beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna.
Keadaan ini di alami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria
yang berusia 80 tahun (Nursalam dan Fransisca, 2006). Menurut pengamatan peneliti
selama praktek Di RSUD Pandanarang Boyolali pada tanggal 7 Mei 2012, Di Bangsal
Bedah Flamboyan, dari hasil Rekam Medik pada tahun 2012 dari bulan Januari sampai
Mei 2012 Di RSUD Pandanarang Boyolali dari 40 % terdapat 30 % yang menderita BPH
rata-rata penderita berusia 50 tahun keatas dan berjenis kelamin laki-laki. Dan dari 20 %
penderita harus dilakukan operasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari BPH?
2. Bagaimana prevalensi dari BPH?

1
3. Apa etiologi dari BPH??
4. Apasaja klasifikasi dari BPH?
5. Bagaimanakah manifestasi klinis dari BPH?
6. Bagaimana patofisiologi dari BPH?
7. Bagaimanakah penatalaksanaan medis dari BPH?
8. Bagaimana asuhan keperawatan BPH?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang akan dicapai pada makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian BPH.
2. Untuk mengetahui prevalensi dari BPH.
3. Untuk mengetahui klasifikasi BPH.
4. Untuk mengetahui etiologi dari BPH.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis BPH.
6. Untuk mengetahui patofisiologi BPH.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis BPH.
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan BPH.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian BPH


Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker,
(Corwin, 2000).
BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau
lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami
atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat
mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi
berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering
menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan adalah
hyperplasia (Sabiston, David C,2004).
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar
prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi
patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah kandung
kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-
buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital
yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Gambar letak prostat terlihat di gambar.

prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos Prostat

3
dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus
oleh capsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal.
Diantara fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi
anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari
fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic
urogenital, dan melekat pada os pubis dengan diperkuat oleh ligamentum
puboprostaticum. Bagian posterior fascia prostatica membentuk lapisan
lebar dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari
fascia rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat (
Purnomo, 2011).
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30- 50
kelenjar yang terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus
anterior, dan lobus medial. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan
dibawah duktus ejakulatorius, lobus lateral yang Terletak dikanan uretra, lobus
anterior atau isthmus yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus
dekstra dan lobus sinistra, bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya
berisi otot polos, selanjutnya lobus medial yang terletak diantara uretra dan
duktus ejakulatorius, banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian
yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam
vesica urinaria bila lobus medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi
bendungan aliran urin pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau buah
kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya
kurang lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat
terdiri dari 50 – 70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan stroma
(penyangga) dan kapsul/muskuler. Bagian prostat terlihat di gambar 2.2.

4
Gambar 2.2 : Bagian prostat

Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus
atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis dan
simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar
pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat
kedalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi
pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat banyak
reseptor adrenergic. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut.
Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi
jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi
saluran kemih (Purnomo, 2011).

Fisiologi
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang tergantung
kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti.
Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka
terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami
hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar estrogen relatif
bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling
aktif bekerja padapH 5.

Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat
alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulase serta
fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi
bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar bercampur dengan semen
yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume

5
cairan ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar
spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat asam (pH:
3,5-4). Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra posterior untuk
kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan
prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup
lebih lama dan dapat melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan
pembuahan, sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6
sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa cairan prostat menetralkan keasaman cairan dan lain
tersebut setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma (
Wibowo dan Paryana, 2009 ).

2.2 Prevalensi BPH


BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.
Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran
hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1995-2013
ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 66,61 tahun.

2.3 Etiologi BPH

Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat
adalah :

1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada


usia lanjut
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :

- Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu

6
sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus
lain.
Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi
hiperplasi kelenjar periuretral.
- Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa
jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi
sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
- Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa
dengan bertambahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testosteron
dan terjadinya konversi testosteron menjadi estrogen. (Kahardjo, 1995).
2.4 Klasifikasi BPH

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidayat 2005 dibedakan menjadi 4 stadium :

1. Stadium 1
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengelurkan urine sampai habis
2. Stadium 2
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa tidak enak BAK atau
Disuria menjadi Nocturia.
3. Stadium 3
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150cc.
4. Stadium 4
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flowin kontinen).

Selain itu, klasifikasi BPH antara lain :

a. Derajat Rectal
Derajat rectal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah
rectum. Rectal Toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsisten elastis,
dapat digerakkan, tidak ada nyeri tekan, dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher
pada hipertropi prostat didapatkan batas atas teraba menonjol lebih dari 1 cm dan
berat prostat diatas 35 gram. Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat
menentukan derajat rectal yaitu sebagai berikut :
1. Derajat 0 : ukuran pembesaran prostat 0-1cm

7
2. Derajat 1 : ukuran pembesaran prostat 1-2cm
3. Derajat 2 : ukuran pembesaran prostat 2-3 cm
4. Derajat 3 : ukuran pembesaran prostat 3-4cm
5. Derajat 4 : ukuran pembesaran prostat lebih dari 4cm

Gejala BPH tidak sesuai dengan gejala rectal, kadang-kadang dengan rectal toucher
tidak teraba menonjol tetapi telah ada gejala, hal ini dapat terjadi bila bagian yang
membesar adalah lobus medialis dan lobus lateralis. Pada derajat ini klien mengeluh
jika BAK tidak sampai tuntas dan puas, pancaran urine lemah, harus mengedan saat
BAK, nocturia tetapi belum ada sisa urine.

b. Derajat klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK
sampai selesai dan puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari
kateter disebut sisa urin atau residual urin. Residual urin dibagi beberapa derajat, yaitu
:
1. Normal sisa urin adalah 0
2. Derajat 1 sisa urin 0-50ml
3. Derajat 2 sisa urin 50-100ml
4. Derajat 3 sisa urin 100-150ml
5. Derajat 4 telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali.

Bila kandung kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urin akan keluar
secara menetes dan periodik, hal ini disebut over flow incontinen. Pada derajat ini
telah terdapat sisa urin sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin
bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.

c. Derajat intra vesikal


Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau cystogram,
panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah pada stadium
3 derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini dalah sisa urin sudah
mencapai 50-150ml, kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri didaerah pinggang serta kemungkinan
telah terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.
d. Derajat intra uretral

8
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat
sampai seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini
telah terjadi retensi urin total .

2.5 Manifestasi Klinis BPH

Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi
dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis
miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining)
kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi
retensio urin dan inkontinen karena overflow.

Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara
lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan
ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer,2000).

2.6 Patofisiologi BPH

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan
berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan
bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain
zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan
terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun
dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo
(2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan diubah menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah
yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
9
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar,
detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh
sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat
seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar
diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir
miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung
kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka suatu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan
terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

10
2.7 Penatalaksanaan Medis

Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung


pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin
dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan,
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam.
Sebaiknya.

11
2.8 Asuhan Keperawatan BPH

Konsep Asuhan Keperawatan Benigna Prostat Hiperplasia


2.8.1 Pengkajian
1. Identitas :
a. Umur : BPH biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun (Prabowo & Pranata, 2014,
hal. 131)
b. Jenis kelamin: Hanya dialami oleh seorang laki laki (Prabowo & Pranata, 2014, hal.
131)
2. Alasan masuk rumah sakit:
Biasanya pasien mecngeluh nyeri pada saat miksi dan perasaan ingin miksi yang
mendadak saat miksi harus menunggu lama dan kencing terputus- putus. (Wijaya A. S., 2013,
hal. 103).

3. Status kesehatan saat ini


a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang menjadikan alasan pasien karena biasanya nyeri saat miksi,
pasien juga sering mengeluh saat miksi, pasien juga sering BAK berulang ulang
(anyang-anyangan), terbangun ingin miksi saat malam hari, perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak, kalau miksi harus menunggu lama, harus mkencing terputus putus.
(Wijaya A. S., 2013, hal. 103)

b. Alasan Masuk Rumah Sakit

Pasien mengeluh nyeri saat miksi,pasien merasakan jika inginmiksi harus


menunggu lama,harus mengedan dan kencing terputus-putus. (Wijaya A. S., 2013,
hal. 103)

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui metode


PQRST dalam bentuk narasi

1) P (paliatif dan profokatif) : pasien mengeluh sakit pada saat miksi dan harus
menunggu lama dan harus mengedan.

12
2) Q (Quality atau Quanty): pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan
seks.
3) R (Regio dan Radiasi) :keluhan tersebut tempatnya , yaitu di bawah kandung
kemih
4) S (Saverit atau Scale) : keluhan tersebut mengganggu aktifitas dan mengeluh
sering BAK berulang-ulang.
5) T (Timing) : saat pasien ingin miksi dan lebih sering terbangun pada saat
malam hari. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)

4. Riwayat kesehatan terdahulu


a. Riwayat penyakit sebelumnya :
Klien pernah menderita BPH sebelumnya dan apakah klien pernah dirawat
dirumah sakit sebelumnya. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)

b. Riwayat penyakit keluarga:

Mungkin diantara keluarga pasien sebelumnya ada yang menderita penyakit yang
sama dengan penyakit sekarang. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)

c. Riwayat pengobatan :

Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor mampu


merelaksasikan otot polos prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka.obat golongan
5-alfa-reduktase inhibitor mampu menurunkan kadar dehidrotestosteron intraprostat,
sehingga dengan turunya kadar testosteron dalam plasma maka prostat akan mengecil.
(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 136)

5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
1) Kesadaran
Pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, keluhan yang sering dialami dikenal
dengan istilah LUTS (lower urunary tract symtoms) yaitu pancaran urin lemah,
intermitensi,ada sisa urin pasca miksi, urgensi, frekuensi dan disuria. (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 137)

13
2) Tanda-tanda vital:
Tekanan darah : mengalami peningkatan pada tekanan darah
Nadi : adanya peningkatan nadi. Hal ini merupakan bentuk kompensasi dari nyeri
yang tibul akibat opstruksi meatus uretalis dan adanya distensi bladder.
Respirasi : terjadi peningkatan frekuensi nafas akibat nyeri yang dirasakan pasien.
Suhu : terjadi peningkatan suhu akibat retensi urin berlangsung lama seiring
ditemukan adanya tanda gejala urosepsis. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137)

6. Pemeriksaan body sistem


a. Sistem pernafasan
Inspeksi : biasanya klien terjadi sesak nafas ,frekuensi pernafasan
Palpasi : pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi badder.
Auskultasi: biasanya terdengar suara nafas tambahan seperti
ronchi,wheezing,suara nafas menurun, dan perubahan bunyi nafas. (Prabowo &
Pranata, 2014, p. 137)
b. Sistem kardiovaskular
Inspeksi : tidak terdapat sianosis , tidak terdapat perubahan letak maupun
pemeriksaan pada inspeksi.
Palpasi : biasannya denyut nadi meningkat akral hangat CRT detik
Perkusi : pada pemeriksaan manusia normal pemeriksaan perkusi yang didapatkan
pada thorax adalah redup. (Prabowo & Pranata, 2014, p. 137)
c. Sistem persyarafan
Inspeksi : klient menggigil, kesadaran menurun dengan adanya infeksi dapat
terjadi urosepsis berat sampai pada syok septik. (Prabowo & Pranata, 2014, hal.
137)
d. Sistem perkemihan
Inspeksi : terdapat massa padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung
kemih)
Palpasi : pada palpasi bimanual ditemukan adanya rabaan pada ginjal. Dan pada
palpasi supra simfisis akan teraba distensi bladder dan terdapat nyeri tekan.
Perkusi :dilakukan untuk mengetahui adatidaknya residual urin terdapat suara
redup dikandung kemih karena terdapat residual (urin). (Prabowo & Pranata,
2014, hal. 137)
e. Sistem pencernaan

14
Mulut dan tenggorokan : hilang nafsu makan mual dan muntah.
Abdomen : datar (simetris)
Inspeksi : bentuk abdomen datar , tidak terdapat masa dan benjolan.
Auskultasi : biasanya bising usus normal.
Palpasi ; tidak terdapat nyeri tekan dan tidak terdapat pembesaran permukaan
halus.
Perkusi ; tympani (Wijaya, 2013, p. 100).
f. Sistem integumen
Palpasi : kulit terasa panas karena peningkatan suhu tubuh karena adanya tanda
gejala urosepsis klien menggigil , kesadaran menurun. (Prabowo & Pranata, 2014,
hal. 137)
g. Sistem endokrin
Inspeksi : adanya perubahan keseimbangan hormon testosteron dan esterogen
pada usia lanjut. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 91)
h. Sistem reproduksi
Pada pemeriksaan penis, uretra, dan skrotum tidak ditemukan adanya kelainan,
kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis meatus. Pemeriksaan RC (rectal
toucher) adalah pemeriksaan sederhana yangpaling mudah untuk menegakan
BPH. Tujuannya adalah untuk menentukan konsistensi sistem persarafan unut
vesiko uretra dan besarnya prostate. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137)
i. Sistem muskuloskletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatkan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Wijaya, 2013, p. 106)
j. Sistem pengindraan
Inspeksi : pada pasien BPH biasanya pada sistem ini tidak mengalami gangguan
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 137).
k. Sistem imun
Tidak terjadi kelainan imunitas pada penderita BPH. (Prabowo & Pranata, 2014,
p. 137)

2.8.2 Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :

15
1) Laboratorium

a) Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui
kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.

b) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang


menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal dan status metabolic.
c) Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA)
dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini
keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila
nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD) lebih
besar sama dengan 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula
bila nila PSA > 10 ng/ml.
2) Radiologis/pencitraan
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memperkirakan
volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli- buli dan volume residu urin serta
untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak
berhubungan dengan BPH.
a) Foto polos abdomen
untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan
urin sebagai tanda adanya retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta osteoporosis
akbibat kegagalan ginjal.
b) Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP )
untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter
yang berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya
kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang
berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok di
vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi,
divertikel atau sakulasi buli-buli.

16
c) Pemeriksaan USG transektal
untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa ginjal,
menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur
sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari
kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.
2.8.3 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007) dan Tucker dan
Canobbio (2008) adalah :

1. Pre Operasi

a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,


pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung
kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.

b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi


kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari
pembesaran prostat dan obstruksi uretra.

c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status


kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi
prosedur bedah.

d. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan kurangnya informasi.

2. Post Operasi

a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema,


trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.

b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder
pada pembedahan

c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler (


tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.

17
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.

e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten


akibat dari pembedahan.

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan.

2.8.4 Rencana Keperawatan

Intervensi keperawatan pada penyakit BPH menurut Carpenito (2007), dan Tucker
dan Canobbio (2008) adalah:

1. Pra operasi

a. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,


pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung
kemih untuk berkontraksi dengan adekuat. Tujuan : Tidak terjadi retensi urine

Kriteria hasil : Pasien menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml,
dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan cairan.

Intervensi :

1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam atau bila tiba-tiba
dirasakan

Rasional : meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada


kandung kemih.

2) Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan kekuatan.

Rasional : berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi

3) Awasi dan catat waktu tiap berkemih dan jumlah tiap berkemih,
perhatikan penurunan haluaran urin dan perubahan berat jenis.

Rasional : retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran


perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya
deficit aliran darah keginjal menganggu kemampuanya untuk
memfilter dan mengkonsentrasi substansi.

18
4) Lakukan perkusi/palpasi suprapubik

Rasional : distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea suprapubik

5) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari

Rasional : peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal


dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri

6) Kaji tanda-tanda vital, timbang BB tiap hari, pertahankan


pemasukan dan pengeluaran yang akurat

Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penuruna eliminasi


cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut kepenuruan ginjal
total

7) Lakukan rendam duduk sesuai indikasi

Rasional : meningkatkan relaksasi otot, penuruan edema, dan dapat


meningkatkan upaya berkemih.

8) Kolaborasi pemberian obat :

(1) Supositorial rectal

Rasional : supositorial dapat diabsorbsi dengan mudah melalui mukosa


kedalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan relaksasi
otot/menghilangkan spasme

(2) Antibiotic dan antibakteri

Rasional : digunakan untuk melawan infeksi

(3) Fenoksibenzamin (Dibenzyline)

Rasional : diberikan untuk mempermudah berkemih dengan


merelaksasi otot polos prostat dan menurunkan tahanan terhadap aliran
urine.

b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi


kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari
pembesaran prostat dan obstruksi uretra.

19
Tujuan : nyeri hilang, terkontrol

Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol pasien tampak
rileks, mampu untuk tidur dan istirahat dengan tepat

Intervensi :

1) Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.

Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan


pilihan/keefektifan intervensi

2) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan

Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase


retensi akut. Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih
normal dan menghilangkan nyeri kolik

3) Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama nyeri akut seperti,


pijatan punggung : membantu pasien melakukan posisi yang nyaman:
mendorong penggunaan relaksasi/latihan nafas dalam: aktivitas
terapeutik

Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian


dan dapat meningkatkan kemampuan koping

4) Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan sabun hangat untuk


perineum

Rasional : meningkatkan relaksasi otot

5) Kolaborasi pemberian obat pereda nyeri ( analgetik)

Rasional : menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30 menit kemudian


untuk mengetahui keefektivitasnya.

c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan status


kesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau menghadapi
prosedur bedah.

Tujuan : pasien tampak rileks.

20
Kriteria Hasil : menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi,
menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut

Intervensi :

1) Damping pasien dan bina hubungan saling percaya


Rasional : menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu.
2) Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan
Rasional : Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu
tindakan.
3) Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan
Rasional : Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi
pemecahan masalah
4) Beri informasi pada pasien sebelum dilakukan tindakan
Rasional : memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan
menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian
informasi.

e. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan kurangnya informasi.

Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan


prognosisnya.
Kriteria Hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi
dalam program pengobatan
Intervensi :
1) Dorong pasien menyatakan rasa takut perasaan dan perhatian.
Rasional : Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien
Rasional : memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat
membuat pilihan terapi
3) Berikan informasi tentang penyakit yang diderita pasien
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit
yang dideritanya
4) Berikan penjelasan tentang tindakan/pengobatan yang akan
dilakukan

21
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan
untuk menyembuhkan penyakitnya.
2. Post operasi
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,
edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
Tujuan : Pasien berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.
Kriteria Hasil : Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control
kandung kemih/urinaria, pasien mempertahankan keseimbangan cairan
: asupan sebanding dengan haluaran.
Intervensi :
1) Kaji haluaran urine dan system drainase, khususnya selama
irigasi berlangsung.
Rasional : retensi dapat terjadi karena edema area bedah,
bekuan darah dan spasme kandung kemih.
2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih.
Rasional : mendorong pasase urine dan menngkatkan rasa
normalitas.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah
kateter dilepas.
Rasional : kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi
berkemih dapat berlanjut sehingga menjadi masalah untuk
beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.
4) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi
cairan pada malam hari setelah kateter dilepas
Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal
untuk aliran urine “penjadwalan” masukan cairan menurunkan
kebutuhan berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
5) Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continous bladder
irrigation)/CBI sesuai indikasi pada periode pascaoperasi
Rasional : mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan
debris untuk mempertahankan patensi kateter.

b. Nyeri akut berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi


sekunder pada pembedahan, dan pemasangan kateter.

22
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1) Pasien mengatakan nyeri berkurang
2) Ekspresi wajah pasien tenang
3) Pasien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
4) Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
Rasional : nyeri tajam, intermitten dengan dorongan
berkemih sekitar kateter menunjukkan spasme kandung
kemih.
2) Jelaskan pada pasien tentang gejala dini spasmus kandung
kemih.
Rasional : Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus
kandung kemih.
3) Pertahankan patensi kateter dan system drainase.
Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan
Rasional : mempertahankan fungsi kateter dan drainase
system. Menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih
4) Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase,
dan spasme kandung kemih
Rasional : menghilangkan ansietas dan meningkatkan
kerjasama.
5) Kolaborasi pemberian antispasmodic
contoh :
(1) Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional : merilekskan otot polos, untuk memberikan
penurunan spasme dan nyeri
(2) Propantelin bromide (pro-bantanin)
Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih oleh
kerja antikolinergik.

23
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah
vaskuler (tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil
darah
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan
2) Tanda – tanda vital dalam batas normal .
3) Urine lancar lewat kateter
Intervensi :
1) Jelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan
setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
Rasional : Menurunkan kecemasan pasien dan mengetahui
tanda – tanda perdarahan.
2) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran
kateter .
Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter,
menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih
3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk
memudahkan defekasi .
Rasional : Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik
yang akan mengendapkan perdarahan
4) Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan
rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu
minggu .
Rasional : Dapat menimbulkan perdarahan prostat
5) Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan
kapan traksi dilepas .
Rasional : Traksi kateter menyebabkan pengembangan
balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan.
Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan
6) Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam, masukan dan
haluaran Warna urine

24
Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan
intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang
permanen.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama


pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering

Tujuan : Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi


Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak mengalami infeksi.
2) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3) Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda –
tanda syok.
Intervensi :
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter
dengan steril. Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan
infeksi.
2) Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga
dapat menurunkan potensial infeksi.
Rasional : Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi
ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal
3) Pertahankan posisi urinebag dibawah
Rasional : Menghindari refleks balik urine yang dapat
memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock
dan demam.
Rasional : Mencegah sebelum terjadi shock.
5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
Rasional : Mengidentifikasi adanya infeksi.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic
Rasional :Untuk mencegah infeksi dan membantu proses
penyembuhan.

e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan


impoten akibat dari pembedahan.

25
Tujuan : Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun
sampai tingkat dapat diatasi
Kriteria Hasil : Menyatakan pemahaman situasional individu,
menunjukan pemecahan masalah dan menunjukkan rentang
yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
Intervensi :
1) Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukka perhatian dan keinginan untuk
membantu
2) Berikan informasi yang tepat tentang harapan
kembalinya fungsi seksual
Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila syaraf
perineal dipotong selama prosedur radikal.
3) Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan
transurethral/suprapubik digunakan
Rasional : cairan seminal mengalir kedalam kandung
kemih dan disekresikan melalui urine, hal ini tidak
mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan
kesuburan dan menyebabkan urine keruh
4) Anjurkan pasien untuk latihan perineal dan
interupsi/continue aliran urin
Rasional : meningkatkan peningkatan control otot
kontinensia urin dan fungsi seksual.

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek


pembedahan.

Tujuan : Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.


Kriteria hasil :
1) Pasien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang
cukup.
2) Pasien mengungkapan sudah bisa tidur
3) Pasien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Intervensi :

26
1) Jelaskan pada pasien dan keluarga penyebab
gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk
menghindari.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien
sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan
2) Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang
dengan mengurangi kebisingan .
Rasional : Suasana tenang akan mendukung istirahat
3) Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan
penyebab gangguan tidur.
Rasional : Menentukan rencana mengatasi gangguan
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat
yang dapat mengurangi nyeri/analgetik.
Rasional : Mengurangi nyeri sehingga pasien bisa
istirahat dengan cukup

27
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi


(BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang
biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher
kandung kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan
gangguan perkemihan. Adapun penyebabnya diantaranya :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen
pada usia lanjut
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan
stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.
3.2 Saran

Deteksi dini terjadinya keganasan pada prostat sebaiknya dilakukan mulai umur 50
tahun, terutama pada kelompok umur 65-69 tahun. Deteksi dini keganasan pada prostat harus
dilakukan secara lengkap agar karsinoma prostat dapat terdeteksi secara dini.

28
DAFTAR PUSTAKA

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Corwin, Elizabeth. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Penyakit. Jakarta : Buana Ilmu Populer

Sabiston, David C. 2004. Penyakit Striktur Uretra. Dalam: Sistem Urogenital, Buku Ajar
Bedah Bagian 2, hal.488. EGC. Jakarta

Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Alih Bahasa
Kuncara, H.Y, dkk, EGC, Jakarta
Wilkinson, Judith.M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil Noc, EGC, Jakarta

29

Anda mungkin juga menyukai