Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Yadnya merupakan nilai – nilai suci weda ke dalam lubuk sanubari umat Hindu di

lakukan dengan berbagai cara. Nilai – nilai weda itu di rumuskan menjadi falsafah hidup.

Falsafah hidup itu dijabarkan kedalam konsep hidup bersama menjadi petunjuk hidup yang

praktis bersusila untuk membangun manusia yang bermoral dan bermental tangguh. Jadi

makna upacara yadnya yaitu sebagai salah satu media untuk menanamkan nilai – nilai tatwa

dan susila. Karena itu upacara yadnya memiliki makna yang utama dalam kehidupan

beragama umat Hindu. Hal yang patut di perhatikan adalah bagaimana agar upacara yadnya

itu menjadi upacara yang mempu yai makna hakiki sebagai media untuk menanamkan nilai –

nilai suci Weda (Wiana, 2004:53). Sedangkan esensi dari upacara itu sendiri adalah yadnya

yaitu suatu persembahan atau korban suci yang dilakukan dengan tulus ikhlas kepada tuhan

dan manifestasinya. Dasar hukum dari pada yadnya adalah rna yaitu hutang manusia atas

kehidupan ini. Ada tiga jenis hutang yang di sebut dengan Tri Rna. Diantaranya yaitu Dewa

Rna, Pitra Rna, dan Rsi Rna.


Dewa Rna merupakan kesadaran berhutang kepada Tuhan atas Yadnyanya kepada manusia

dan alam semesta ini atau suatu pengakuan manusia, bahwa manusia wajib berterima kasih

dan merasa bahagia ditakdirkan lahir sebagai manusia kedunia. Manusia merupakan makhluk

paling sempurna yang di ciptakan Tuhan, karena manusia memiliki beberapa keunggulan dari

pada makhluk lain.Pitra Rna merupakan kesadaran berutang kepada orang tua dan leluhur atas

jasanya mendidik dan memelihara kita dari sejak dalam kandungan sampai bisa mandiri.Rsi

Rna merupakan kesadaran berutang kepada para Rsi atau orang orang suci yang menyebarkan

1
ilmu pengetahuan yakni ilmu pengetahuan suci weda yang di olah, disusun sedemikian rupa

hingga tersusun menjadi kitab kitab sastra agama, sehingga umat lebih mudah memahaminya.
Hanya orang yang bermoral yang sadar atau memiliki hutang tersebut. Orang merasa tidak

mempunyai hutang dan tidak mau memenuhi kewajibannya membayar hutang yang di sebut

Tri Rna, tentu orang tersebut akan tenggelam dalam lembah kesengsaraan. Melakukan

upacara atau ritual sudah tentu melakukan yadnya, karena yadnya adalah wujud dari upacara.

Yadnya sangat penting di lakukan sebab Tuhan menciptakan manusia melalui yadnya dan

dengan yadnya kita mendapat kesenangan.Upacara yadnya di bagi menjadi lima bagian yang

di sebut dengan Panca Yadnya yaitu :


1. Dewa Yadnya, yaitu korban suci yang di persembahankan kepada Dewa atau Tuhan.
2. Rsi Yadnya, yaitu korban suci tulus ikhlas kepada para Rsi atau Guru
3. Pitra Yadnya, korban suci tulus ikhlas kepada para leluhur atau pitara
4. Manusa Yadnya, korban suci tulus ikhlas kepada sesama manusia
5. Butha Yadnya, korban suci tulus ikhlas kepada para butha kala

Salah satu contoh upacara manusa yadnya yaitu nyerod wangse. Masalah perkawinan

adalah masalah yang sangat rumit karena perkawinan bukan hanya menyangkut ikatan antara

pria dan wanita. Tetapi lebih dari itu perkawinan adalah lembaga yang sangat sakral karena

menyangkut soal kepercayaan kepada Tuhan dan keluarga. Berbicara perkawinan juga akan

merembet dalam sistem pewarisan.

Kasus masyarakat Hindu Bali yang sistem pewarisannya bersifat patrilineal (kebapakan).

Banyak kasus di Bali seorang anak laki – laki kehilangan hak warisnya karena melakukan

perkawinan nyentana yang dinilai bertentangan dengan adat yang berlaku yakni akibat

melakukan perkawinan nyentana dimana seorang laki – laki ikut dalam keluarga istrinya dan

semua keturunannya menjadi milik kelurga istri.

Bagi masyarakat yang menerapkan sistem perkawinan nyentana, suatu keluarga

mengangkat sentana bila keluarga bersangkutan tidak memiliki anak laki – laki sebagai ahli

2
waris yang akan melanjutkan keturunannya, sehingga untuk melanjutkan keturunan pihak

keluarga yang tidak memiliki anak laki – laki tersebut perlu untuk menetapkan salah satu

anaknya sebagai sentana rajeg yang akan mencari sentana untuk diajak tinggal dirumahnya.

Aturan dalam perkawinan nyentana dengan perkawinan yang lazim dalam masyarakat

kebanyakan juga sedikit unik. Dalam perkawinan nyentana wanita yang melamar lakinya

untuk dijadikan suami dan tinggal dirumah sang wanita. Karena konsekwensi inilah yang

mengakibatkan perkawinan nyentana dimasyarakat bali ditentang. Namun demikian tujuan

perkawinan seperti yang termuat dalam UU no.1 tahun 1974 adalah membentuk suatu rumah

tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian apapun

dalilnya, perkawianan nyentana sah secara hukum selama dilakukan berdasarkan suka sama

suka dan dilakukan menurut Agama yang berlaku bagi kedua pihak.

Larangan perkawinan nyentana hanya didasarkan atas kebiasaan dari adat yang berlaku

semata. Karena sebagian daerah tidak ada kebiasaan nyentana jadi wajarlah masyarakat adat

disana menentang perkawinan nyentana. Masyarakat yang melakukan penentangan terhadap

perkawinan nyentana ini tidak memahami hakekat perkawinan yang mereka lakukan tidak

memiliki dasar hukum yang kuat. Meraka hanya mendasarkan larangan perkawinan nyentana

berdasarkan adat kebiasaan, sehingga lama kelamaan kebiasaan tersebut menjadi unsur adat.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan perkawinan nyerod bagaimana proses pelaksanaan

upacara nyerod wangsa?


1.2.2 Nilai pendidikan apa yang terkandung dalam upacara nyerod wangsa?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

3
Agar dapat memberikan suatu pengetahuan tentang pelaksanaan perkawinan nyerod

wangsa.
1.3.2 Tujuan Kusus
1. Untuk mengetahui apa dan bagaimanan prosesi upacara perkawinan nyerod

wangsa.
2. Untuk mengetahui nilai pendidikan apa yang terkandung dalam upacara nyerod

wangsa.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat bali pada umumnya.
1.4.2 Manfaat praktis
1. Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah bahan pustaka dan sebagai

bahan acuan bagi mahasiswa dan peneliti lainnya dalam melaksanakan penelitian

sejenis.
2. Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat

tentang prosesi,fungsi dan nilai pendidikan yang terkandung dalam Upacara

Nyerod Wangsa.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Upacara Nyerod Wangsa Dan Proses Pelaksanaan Upacara Nyerod Wangsa

Upacara yang melibatkan pasangan yang beda wangsa atau kasta, membuat beberapa upacara
perkawinan berlangsung sedikit berbeda. Ada upacara Patiwangi yang secara harfiah berarti
menggugurkan keharuman atau kehormatan. Upacara Patiwangi mempunyai makna simbolik
untuk menurunkan kasta perempuan yang kawin Nyerod, sehingga menjadi sederajat dengan
kasta suaminya. Ini berarti tidak sederajat lagi dengan kasta keluarga asalnya.

Pasangan yang hendak nikah beda kasta tak ditampik banyak kendala. Bahkan, untuk mamadik
atau meminang secara formal biasanya tak diizinkan oleh keluarga. Makanya, kebanyakan
mereka akhirnya memilih dengan cara kawin lari. Salah satu walaka yang sering muput upacara

4
perkawinan, Ida Bagus Windu mengatakan, bila semua itu harus berlanjut sampai ke jenjang
pernikahan, ada namanya upacara Patiwangi atau Mapatiwangi, sebagai simbol untuk
menanggalkan wangsa seseorang. Upacara Patiwangi, berfungsi untuk nyineb wangsa
(menghilangkan kebangsawanan).

Prosesi Patiwangi dilakukan dengan cara berkeliling di Bale Agung, berputar dari arah kanan ke
kiri sebanyak tiga kali putaran. Hal ini dilakukan sebelum upacara pernikahan dimulai pada
rumahnya. Namun, setelah itu, prosesi upacara pernikahan selanjutnya berlangsung seperti
biasa. Dikatakan bantennya adalah ayaban pajati yang dilengkapi dengan eteh-eteh banten
lainnya. Dalam prosesi itu agar disaksikan oleh Tri Upasaksi, yakni terdiri atas Dewa Saksi
(‘disaksikan’ oleh Tuhan). Selanjutnya ada juga yang disebut dengan Bhuta Saksi, yaitu agar
disaksikan oleh para bhuta kala yang bertujuan mohon keselamatan dan kekuatan, agar tidak
diganggu selama upacara berlangsung.

Sedangkan yang ke tiga adalah Manusa Saksi. Yakni sebuah saksi yang berasal dari tokoh adat
maupun pihak keluarga. Dikonfirmasi pada tempat yang berbeda, penulis buku Perkawinan
Nyerod, I Nyoman Yoga Segara mengakui, orang yang menikah dengan beda wangsa memang
sedikit ribet. Di mana mamadik tidak diizinkan oleh pihak keluarga, dikarenakan dresta setempat
yang berlaku seperti itu. Sehingga dilaksanakan dengan cara maling atau kawin lari, yakni
mengambil atau menjemput secara diam-diam si wanita. Perkawianan Nyerod, pada umumnya
dilakukan oleh golongan jaba yang menikahi tri wangsa. Yoga Segara menjelaskan bahwa pada
zaman dulu bila ada perkawinan antara pasangan yang tidak se-wangsa, bisa menerima
hukuman yang sangat ketat.

Meski kawin Nyerod, lanjutnya, seseorang tetap mendapat tempat secara sosial. Tetapi itu
semua dipengaruhi oleh rasa ketidak- enakan, lantaran turun kasta. Tak disanggahnya,
perkawinan Nyerod sampai saat ini masih sebagai polemik. Masih ada saling tarik-menarik,
bahkan seiring berjalannya waktu akan dianggap lumrah. Di samping itu, dikarenakan ada juga
beberapa kepentingan, seperti adanya kontestasi status politik, status ekonomi, dan status sosial.

Pada zaman dulu kan orang jaba secara status ekonomi dikatakan kurang. Maka, ketika itu
dianggap belum setara untuk memadik (meminang), terlebih perempuan di kalangan tri wangsa

5
yang ada gria atau puri. Lain jika sekarang, sudah rata-rata orang jaba bisa menduduki berbagai
status, sehingga ada beberapa yang diizinkan mamadik langsung ke gria dan puri.
Selain itu, pada zaman dulu yang menggunakan pakaian agung saat menikah hanya dari
kalangan tri wangsa saja. Namun saat ini, orang jaba juga sudah biasa menggunakan pakaian
agung tersebut.

I Ketut Sudantra dalam tulisan bertajuk Tri Semaya Hukum Adat Bali: Potret Perkembangan Hak
Perempuan Bali dalam Hukum Keluarga, menyebutkan masalah hak perempuan untuk memilih
suami secara bebas bertalian pula dengan bentuk perkawinan. Awalnya, dalam masyarakat adat
Bali hanya dikenal satu bentuk perkawinan yang sekarang lazim dikenal dengan ‘perkawinan
biasa’ (istri ikut suami). Hal ini konsisten dengan sistem kekeluargaan purusa. Dalam
perkembangannya kemudian dikenal bentuk perkawinan Nyeburin, di mana seorang anak
perempuan kawin kaceburin oleh laki-laki yang kemudian masuk sebagai pradana di rumah
perempuan yang berstatus sentana rajeg.

Awal dikenalnya sentana rajeg ini dapat dilacak ketika zaman Kerajaan Bali, di mana raja
mewajibkan tiap-tiap anggota desa sebagai pemegang tanah pecatu menjadi pekerja wajib ke
Puri Raja (ayahan kedalem), untuk menghindari ‘hak camput raja’, kemudian raja membolehkan
satu keluarga yang hanya mempunyai anak perempuan untuk menjadikan anak perempuannya itu
sebagai sentana (penerus keturunan) untuk mempertahankan ayahan kedalem-nya itu.

Itu sebabnya, sampai sekarang bentuk perkawinan Nyeburin itu hanya dikenal dan diterima
umum pada daerah-daerah di mana dahulu berlaku hak campur raja, yaitu Tabanan, Badung,
Gianyar, Bangli, dan Klungkung. Di Kerajaan Tabanan, misalnya, syarat-syarat menjadikan anak
perempuan sebagai sentana (sentana rajeg) tertuang dalam Peswara Raja Tabanan bertahun
Icaka 1807 atau 1885 Masehi.

Dikaitkan dengan hak-hak perempuan, banyak orang sudah cukup puas dengan
dimungkinkannya anak perempuan ditetapkan sebagai sentana rajeg, karena dengan itu
kedudukan anak perempuan ditingkatkan sama seperti kedudukan anak laki-laki (penerus
keturunan dan sebagai ahli waris). Tetapi orang lupa, adakalanya ‘jabatannya’ sebagai sentana
rajeg membuat anak perempuan itu menjadi terbelenggu haknya karena tidak leluasa dalam

6
memilih calon suami karena di zaman kesuksesan program Keluarga Berencana di Bali sekarang
ini, mulai susah menemukan laki-laki yang bersedia untuk kawin Nyeburin. Menjadi persoalan
kemudian, apabila dua insan manusia berlainan jenis saling jatuh cinta sementara masing-masing
adalah anak tunggal di keluarganya. Mereka dihadapkan pada dua pilihan (kawin biasa atau
Nyeburin) yang sama-sama tidak bisa dipilihnya.

Menghadapi persoalan ini keluarga yang ‘kabrebehan’ seperti ini rupanya mencari dan memilih
jalannya sendiri tanpa mengacu kepada hukum adat (dresta) yang sudah berlaku. Akhirnya ada
model perkawinan yang kemudian lazim disebut perkawinan pada gelahang. Temuan perkawinan
pada gelahang ini tersebar hampir di semua kabupaten dan kota di Bali, kecuali di Bangli. Faktor
utama yang melatar belakangi pasangan pengantin dan keluarganya melangsungkan perkawinan
pada gelahang adalah kekhawatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya, baik yang
berwujud material maupun immaterial, tidak ada yang mengurus dan meneruskannya. Dalam
hukum adat Bali, warisan tidak hanya menyangkut hak (swadikara) terhadap harta, melainkan
juga menyangkut kewajiban (swadharma), seperti kewajiban memelihara orang tua di masa tua,
kewajiban meneruskan generasi, kewajiban melaksanakan penguburan atau upacara ngaben
terhadap jenazah orang tua yang telah meninggal, kewajiban terhadap roh leluhur yang
bersemayam di sanggah/merajan (tempat persembahyangan keluarga).

Dan, kewajiban-kewajiban kemasyarakatan, seperti melaksanakan kewajiban kepada kesatuan


masyarakat hukum adat (banjar/desa pakraman/subak), di mana keluarga itu menjadi
anggotanya. Menurut hukum adat Bali, pengabaian terhadap swadharma tersebut dapat dijadikan
alasan untuk menggugurkan status seseorang sebagai ahli waris. Dari hasil penelitian, terungkap
pula bahwa pada dasarnya proses dilangsungkannya perkawinan pada gelahang hampir sama
dengan perkawinan biasa atau Nyeburin.

Perbedaannya terletak pada adanya kesepakatan kedua mempelai dan keluarganya yang dibuat
sebelum terjadinya perkawinan, bahwa kedua pihak sepakat melaksanakan perkawinan pada
gelahang, yang intinya menegaskan bahwa perkawinan dilangsungkan dengan maksud agar
keluarga kedua belah pihak sama-sama memiliki keturunan yang nantinya diharapkan dapat
mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, baik yang berupa
kewajiban (swadharma) maupun yang berupa hak (swadikara). Bentuk dan isi kesepakatan

7
tersebut bervariasi, tetapi umumnya sudah dibicarakan dan disepakati ketika proses mamadik
(lamaran) dilakukan yang disaksikan perwakilan keluarga besar masing-masing dan prajuru adat
(kepala adat).

Hasil penelitian ini kemudian menimbulkan sikap pro dan kontra dalam masyarakat, sementara
bentuk perkawinan pada gelahang semakin banyak terjadi. Akhirnya, menyikapi fenomena
tersebut Majelis Desa Pakraman Bali mengakui keberadaan perkawinan pada gelahang melalui
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor 01/Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010
tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung III MDP Bali, dengan menyatakan sebagai berikut: ”Bagi
calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa
atau Nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar
kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.”

Secara legal formal, bentuk perkawinan pada gelahang ini sudah diakui sebagai bentuk
perkawinan yang sah dalam masyarakat Bali oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung. Melalui
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 1331 K/Pdt./2010 tertanggal 30 September 2010,
Mahkamah Agung menyatakan hukum bahwa perkawinan dengan status sama-sama purusa
adalah sah menurut hukum. Keputusan Mahkamah Agung ini adalah putusan kasasi dari kasus
perdata yang sebelumnya diadili di Pengadilan Negeri Denpasar tahun 2008 mengenai gugatan
seorang ibu tiri terhadap pasangan suami-istri yang dalam akta perkawinannya dinyatakan sama-
sama berstatus sebagai purusa. Apabila bentuk perkawinan pada gelahang ini benar-benar sudah
diterima oleh masyarakat, maka hak perempuan Bali untuk memilih suami secara bebas benar-
benar sudah tidak menemui kendala yuridis maupun sosiologis.

 Dampak dari Perkawinan Nyerod Wangsa


a. Dampak Positif
Dampak positif dilihat dari segi keturunan adalah keturunan dalam keluarga tidak akan
terputus jika tidak ada yang tinggal dirumah dan mewarisinya, maka oleh sebab itu pihak dari
perempuan mencari sentana untuk diajak tinggal di rumah mempelai wanita.
b. Ahli Waris

8
Ahli waris dari suatu keluarga adalah anak yang tinggal dirumah atau sebagai penerus
keluarga dari keluarga tersebut. Setiap perkawinan semua bertujuan untuk kebaikan dan
kesejahteraan didalam membina suatu rumah tangga dengan tujuan mempunyai keturunan
yang suputra dan berbudi pekerti luhur sehingga nantinya warisan yang dimiliki oleh ayah dan
ibunya akan menjadi hak milik anak yang dilahirkan oleh kedua mempelai.

c. Dampak Negatif
a. Keturunan
Setiap keluarga hendaknya memiliki keturunan agar didalam keluarga ada penerus
nantinya yang akan mewarisi semua yang dimiliki orang tuanya. Apabila di dalam suatu keluarga
tidak memiliki keturunan maka keluarga tersebut menjadi Putung. sehingga hal tersebutlah yang
akan memicu sesuatu yang tidak diinginkan seperti perselingkuhan, perceraian dan hal negatif
yang lainnya di dalam suatu keluarga. Jadi dapat disimpulkan bahwa dampak negatif dari
keturunan tersebut adalah apabila didalam suatu keluarga tidak mempunyai keturunan atau
Putung, orang tua akan mendapat siksaan di neraka. Serta jika mempunyai anak agar di beri
pendidikan moral yang benar oleh kedua orang tuanya agar anak mereka tidak menjadi anak
yang kuputra. Sebab anak yang kuputra akan menyebabkan kehancuran dalam keluarga.
2.2 Nilai Pendidikan Yang Terkandung Pada Perkawinan Nyerod Wangsa

1) Nilai Pendidikan Tattwa


Pendidikan tattwa merupakan suatu usaha manusia mencari hakekat kebenaran sesuatu
dengan berdasarkan proses penelitian yang logis dan sistematis. Nilai pendidikan Tattwa
(filsafat) dalam perkawinan Nyerod Wangsa adanya suatu keyakinan umat Hindu untuk memberi
jalan kepada kedua mempelai untuk membina rumah tangga dimana kedua mempelai
mempunyai kasta yang berbeda. Tujuan dari Perkawinan Nyerod Wangsa tersebut adalah untuk
menyatukan cinta kasih yang saling mencintai guna mendapatkan keturunan sebagai pewaris
dalam keluarga dan memberikan kesucian dalam kehidupan melalui yadnya ritual keagamaan.

2) Nilai Pendidikan Sosial


Nilai pendidikan sosial yang ada dimasyarakat dalam kehidupan sehari – hari di dalam yaitu
misalnya saling tolong menolong jika ada warga masyarakat yang sedang kesusahan, saling

9
gotong royong yang biasa disebut dengan metulungan atau nguwopin jika ada kerabat ataupun
masyarakat yang melaksanakan kegiatan upacara yadnya. Melalui sikap saling tolong menolong,
maka dapat memupuk dan mempererat hubungan kekeluargaan antara anggota masyarakat.
Sehingga kehidupan social dimasyarakat menjadi selaras seimbang dan harmonis.

3) Nilai Pendidikan Upakara


Nilai Pendidikan Upakara yang terkait dengan upacara Perkawinan yang ada dimasyarakat dalam
rangkaian upacara adalah upaya untuk membangun keharmonisan manusia dengan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa( Tuhan Yang Maha Esa), dengan sesama manusia dan manusia dengan lingkungan. Hal
tersebut divisualisasikan dalam bentuk banten untuk mewujudkan keharmonisan tersebut.
Penggunaan banten dalam berbagai ritual termasuk dalam upacara perkawinan memiliki filosofis
yang tinggi sebagai sebuah keselaran antara alam mikro (buana alit) dengan alam makro (buana
agung) dimana secara filosofis hal tersebut terlihat dalam penggunaan bebantenan dalam suatu
upakara.

4) Nilai Pendidikan Estetika


Terkait dengan nilai pendidikan estetika dalam Perkawinan Nyerod Wangsa dapat dilihat dari
upacara Mapatiwangi, dimana perkawinan nyerod wangsa sangat unik karena laki- laki yang
berkasta lebih tinggi melakukan uapacara Mapatiwangi untuk menurunkan kastanya agar dapat
melakukan perkawinan nyentana dengan perempuan yang kastanya lebih rendah. Hal ini sangat
jarang berani dilakukan oleh seseorang yang memiliki kasta yang lebih tinggi apalagi dilakukan oleh
seorang laki – laki yang berkasta.

5) Nilai Pendidikan Etika


Setelah melaksanakan perkawinan Nyerod Wangsa masih dipersilahkan pulang kerumah asalnya
untuk sekedar bersilahturahmi.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Proses Perkawinan Nyerod Wangsa. Ada beberapa proses rangkaian acara yang harus dilalui
yaitu, proses perkawinan pada umumnya didahului dengan melakukan peminangan. Yang
melakukan peminangan adalah pihak dari laki – laki yang datang ke rumah pihak
perempuan.

Dampak dari Perkawinan Nyerod Wangsa ada dua, yaitu : Dampak Positif dan Dampak
Negatif. Dampak Positif antara lain 1). Keturunan dan 2). Ahli Waris .Sedangkan dampak
negatif antara lain : 1) Keturunan, 2) Ahli waris dan 3) Terjadinya perceraian.

11
Nilai - nilai pendidikan yang terkandung dalam Perkawinan Nyerod Wangsa adalah suatu
nilai – nilai yang mengandung suatu makna untuk mencapai tujuan yang diinginkan, adapun
nilai – nilai pendidikannya yang terkandung didalamnya adalah : Nilai Tattwa, Nilai Sosial,
Nilai Upakara, Nilai Estetika dan Nilai Etika

3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan kepada para pembaca untuk dapat memahami
tentang perkawinan nyerod wangsa dan cara pelaksanannya serta nilai pendidikannya.
Diharapkan pada penelitian berikutnya akan jauh lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bali Express. 2017. Patiwangi Dalam Kawin Nyerod Ibarat Ganti Baju. Tersedia pada :
https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/12/19/34543/patiwangi-dalam-kawin-nyerod-
ibarat-ganti-baju-gugurkan-kehormatan Diakses Pada 16 Oktober 2018.

2. Rai Aditya Krismayana, Agung. 2018. Pelaksanaan Perkawinan Nyentana Nyerod


Wangsa Di Desa Jegu, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Tersedia pada :
http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/JPAH Diakses pada 17 oktober 2018.

3. Studylibid. 2011. Perkawinan Nyerod. Tersedia pada :


https://studylibid.com/doc/586211/perkawinan-nyerod Diakses Pada 15 Oktober 2018.

12

Anda mungkin juga menyukai