Anda di halaman 1dari 7

RESPONSIBILITY TO COMMUNITY

1. Mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi dan dokter Rumah Sakit
Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo, diadili sebagai terdakwa di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dalam persidangan, jaksa Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menghadirkan saksi-saksi. Beberapa di
antaranya merupakan rekan Bimanesh sesama dokter dan perawat di RS
Medika Permata Hijau. Satu per satu, kasus dugaan menghalangi penyidikan
dengan modus merekayasa data medis ini pun terungkap. Baca juga: Begini
Peran Dokter Bimanesh dalam Dugaan Rekayasa Data Medis Novanto Berikut
10 poin keterangan saksi soal upaya merekayasa data medis Setya Novanto: 1.
Setya Novanto kecelakaan, tapi dirawat dokter spesialis ginjal Pada 16
November 2017, Fredrich Yunadi pernah meminta agar dokter Instalasi Gawat
Darurat (IGD) membuat diagnosis luka akibat kecelakaan terhadap kliennya,
Setya Novanto. Namun, pada kenyataannya, Bimanesh yang merawat Novanto
merupakan dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal dan hipertensi.
Hal itu dikatakan dokter Alia saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta,
Senin (26/3/2018). 2. Pihak rumah sakit kaget dan tak nyaman gara-gara Setya
Novanto Dokter Alia menerangkan bahwa pihak Rumah Sakit Medika
Permata Hijau merasa kaget atas kasus yang melibatkan Ketua DPR RI Setya
Novanto di rumah sakit tersebut. Dokter dan manajemen rumah sakit merasa
tidak nyaman atas kasus dugaan menghalangi penyidikan yang melibatkan
dokter Bimanesh Sutarjo. 3. Dilarang menghubungi direktur rumah sakit
Dalam persidangan, dokter Alia mengaku pernah dilarang oleh terdakwa,
yakni dokter Bimanesh Sutarjo, agar tidak memberitahu pimpinan rumah sakit
mengenai masuknya pasien atas nama Setya Novanto. Pimpinan yang
dimaksud adalah Direktur RS Medika Permata Hijau Hafil Budianto. 4.
Dokter Alia pindah tempat bekerja setelah kasus rekayasa data medis Dokter
Alia memutuskan berhenti bekerja setelah dua tahun menjadi pegawai di
Rumah Sakit Medika Permata Hijau Jakarta. Keputusan Alia untuk pindah
tempat bekerja itu semakin kuat setelah kasus yang melibatkan Setya Novanto
terjadi di rumah sakit itu. 5. Tubuh Novanto ditutup selimut Menurut perawat
Nana Triatna, ada yang aneh saat Novanto baru tiba di rumah sakit pada 16
November 2017. Sebelum dibawa ke salah satu ruangan rawat inap, seluruh
tubuh Setya Novanto ditutup dengan beberapa selimut. Saat dibawa
menggunakan brankar, hanya wajah Novanto yang terlihat. Hal itu tidak lazim
dilakukan terhadap pasien yang baru mengalami kecelakaan. "Pas saya keluar
IGD, pasien sudah ditutup selimut. Cuma mukanya kelihatan, kayak pakai
jilbab. Mukanya saja kelihatan," kata Nana. 6. Dua perawat pastikan tak ada
luka di wajah Setya Novanto Advertisment Dua perawat Rumah Sakit Medika
Permata Hijau, Nana Triatna dan Suhaidi Alfian, memastikan tidak ada luka
atau benjolan di wajah Setya Novanto. Keduanya yang melihat langsung
kondisi Novanto membantah ada benjolan di kepala sebesar bakpao, seperti
yang pernah dikatakan Fredrich Yunadi. 7. Dokter IGD sudah tahu Setya
Novanto jadi buronan KPK Dokter Michael Chia Cahaya yang bertugas di
ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Medika Permata Hijau
menolak merekayasa data medis pasien atas nama Setya Novanto. Michael
ternyata sudah mengetahui bahwa Novanto sedang berurusan dengan KPK.
Menurut Suhaidi, Michael tidak mau membuat diagnosa karena belum
memeriksa pasien. Selain itu, Michael tahu bahwa Setya Novanto sudah
menjadi buronan KPK. 8. Perawat mudah mengingat ciri-ciri fisik Fredrich
Yunadi Dalam persidangan, ketiga perawat yakni, Nana Triatna, Suhaidi
Alfian, dan Apri Sudrajat, dikonfirmasi soal kedatangan pengacara Setya
Novanto, Fredrich Yunadi, di rumah sakit. Mereka pun dapat memastikan
bahwa orang yang mereka temui di rumah sakit pada 16 November 2017 lalu
adalah Fredrich. Salah satu yang meyakinkan para perawat tersebut adalah
ciri-ciri fisik Fredrich Yunadi. Para saksi dapat dengan mudah mengenali foto
wajah Fredrich yang ditampilkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam persidangan. "Orangnya, tinggi, kumisan, pakai kacamata, botak, dan di
bajunya ada tulisan advokat," ujar Suhaidi kepada jaksa KPK. Menurut para
saksi, Fredrich datang ke rumah sakit dan mengaku sebagai pengacara Setya
Novanto. Fredrich menanyakan keberadaan dokter Michael Chia Cahaya yang
saat itu bertugas di IGD. Menurut para saksi, Fredrich meminta dokter
Michael agar membuat diagnosis bahwa Novanto mengalami luka akibat
kecelakaan. Namun, permintaan itu ditolak Michael. 9. Dokter IGD pilih
dipecat ketimbang rekayasa data medis Setya Novanto Dokter Michael Chia
Cahaya yang bertugas di IGD mengeluhkan kepada dokter Alia seputar
permintaan Fredrich untuk membuat diagnosis kecelakaan terhadap Setya
Novanto. Menurut Alia, Michael yang sudah emosi sampai menyatakan
bersedia dipecat ketimbang harus menuruti permintaan Fredrich. 10. Pesan
kamar untuk diagnosis hipertensi Menurut dokter Alia, pada siang hari
Fredrich memesan kamar VIP yang akan digunakan untuk Setya Novanto.
Rencananya, Novanto akan dirawat inap dengan diagnosis mengalami
hipertensi berat. Bahkan, Fredrich sempat datang ke rumah sakit dan
memeriksa kondisi kamar yang akan digunakan Novanto. Namun, belakangan
Fredrich meminta agar diagnosis diubah dengan keterangan luka akibat
kecelakaan. Padahal, saat itu Novanto belum tiba di rumah sakit.

2. Kepala Puskesmas Pembantu di Kuala Samboja, Kutai Kertanegara,


Kalimantan Timur, Misran, yang juga seorang perawat dipidana 3 bulan
penjara oleh hakim. Dia dipidana karena memberikan resep obat kepada
masyarakat. Akibat putusan hakim PN Tenggarong ini, Misran meminta
keadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa UU yang menjeratnya
bertentangan dengan UUD 1945.
“Saya meminta keadilan kepada hakim MK karena saya memberikan resep
adalah tugas saya sebagai tenaga medis,” ujar Misran, Selasa (6/4).
Peristiwa tersebut bermula terjadi sekitar Maret 2009, dia memberikan obat
penyembuh rasa sakit kepada pasiennya. Tapi tanpa pemberitahuan, tiba-tiba
polisi dari Direktorat Reserse dan Narkoba (Direskoba) menggelandangnya ke
Mapolda Kaltim dengan tuduhan memberikan resep tanpa keahlian. “Saya
ditahan selama 8 hari. Setelah itu diberikan status tahanan luar,” ujar perawat
yang mendapat penghargaan sarjana kesehatan masyarakat teladan tingkat
kabupaten tersebut.Tapi aparat penegak hukum yakni polisi dan jaksa terus
memproses Misran dan berakhir di meja hijau. Dalam putusannya tertanggal
19 November 2009, hakim PN Tengarong yang diketuai oleh Bahuri dengan
hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah memutus hukuman
3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan penjara. Hakim
menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82
(1) huruf D juncto Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan. “Kalau
bukan kami, siapa lagi yang akan menolong masyarakat. Jika harus ke dokter,
perjalanan dari pedalaman Kalimantan butuh waktu berjam-jam sehingga tak
mungkin pasien tertolong,” kisahnya. Akibat putusan ini, Misran minta
keadilan hakim MK karena merasa di zalimi oleh UU. Tiap dua pekan sekali,
dia terbang dari Kaltim ke Jakarta dengan bantuan biaya tiket pesawat dari
Bupati untuk bersidang di MK. “Saya meminta keadilan bukan sebagai
Misran. Tapi sebagai perawat karena ribuan perawat di Indonesia mempunyai
nasib yang sama dengan kami,” katanya.
3. Seorang warga di Tegal, Jawa Tengah tewas diduga akibat mal praktek saat
dirawatdi rumah sakit. Korban diberi cairan infus yang sudah kadaluarsa saat
menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal sehingga kondisinya
terus memburuk danakhirnya tewas. Sementara itu pihak Rumah Sakit Mitra
Siaga mengatakan, pemberianinfus kadaluarsa tersebut bukan merupakan
kesengajaan. Solihul, warga Surodadi, Tegal,Jawa Tengah meninggal Selasa
(25/03/08) kemarin, di Rumah Sakit Harapan Anda Tegal. Tangis keluarga
korban pun tak terbendung saat mengetahui korban sudahmeninggal. Istri
korban Eka Susanti bahkan berkali-kali tak sadarkan diri. Salah satukeluarga
korban berteriak-teriak histeris sambil menunjukkan sisa infus kadaluarsa
yangdiberikan ke korban saat menjalani perawatan di Rumah Sakit MitraSiaga
Tegal Sabtupekan lalu tempat sebelumnya korban dirawat.Pada kemasan infus
tertera tanggal kadaluarsa 14 Januari 2008. Keluarga korbanmenuding
pemberian infus kadaluarsa inilah yang menyebakan korban meninggal.
PihakRumah Sakit Mitra Siaga dinilai teledor karena memberikan infus yang
sudahkadaluarsa. Menurut keluarga korban, sejak diberi infus kadaluarsa,
kondisi korban terusmemburuk. Korban yang menderita gagal ginjal awalnya
dirawat di Rumah Sakit MitraSiaga Tegal selama 10 hari. Karena tak kunjung
sembuh, pihak keluarga kemudianmemutuskan merujuk korban ke RSI Islam
Harapan Anda Tegal. Korban langsungmenjalani perawatan di ruang ICU.
Namun tiga hari menjalani perawatan di ICU kondisikorban terus memburuk,
hingga akhirnya meninggal dunia.Direktur Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal,
Dokter Wahyu Heru Triono mengatakan,idak ada unsur kesengajaan dalam
kasus infus kadaluarsa yang di berikan kepada pasienSolihul, namun pihaknya
mengakui insiden ini menunjukkan adanya kelemahaNmonitoring logistik
farmasi. Meski belum dapat dipastikan meninggalnya korban akiba infus
kadaluarsa, pihaknya akan menjadikan kasus ini sebagai evaluasi
untukmemperbaiki monitoring logistik farmasi. Sementara itu keluarga korban
mengaku tetapakan menuntut pertanggungjawaban pihak Rumah Sakit Mitra
Siaga atas terjadinyakasus ini. Pasalnya, tidak saja telah kehilangan nyawa,
namun keluarga korban tetap harus membayar biaya perawatan sebesar 7 juta
rupiah. (Kuncoro Wijayanto/Sup/26-Mar-2008).
4. Di ruangan itu, perut Erwin kembali dibedah untuk mengangkat lendir dan
nanah yang sudah menumpuk. Nanah-nanah itu yang menimbulkan rasa nyeri
di sekujur tubuhnya. Hampir 5 jam melakukan pembedahan, dokter akhirnya
berhasil membersihkan nanah dan cairan tersebut. Namun pengangkatan itu
tak juga menghilangkan rasa sakit Erwin.“Tadi abang dibedah lagi,
dibersihkan nanah sama lendir di sekitaran luka bekas operasi yang semakin
membesar. Kasihan sekali dia. Sekarang suamiku masih dalam perawatan
khusus,” lirih Salmiah (32), istri yang sejak awal setia menemani Erwin.Erik
salah satu tim dokter RS Haji Medan yang menangani Erwin
mengatakan,kondisi pasien masih belum membaik hingga harus terus
mendapatkan perawatan intensif. Apalagi infeksi yang dideritanya sudah
sangat parah.“Beliau harus rajin istirahat dan kami di sini terus memberikan
pelayanan yang terbaik agar dia cepat sembuh,” ujar Erik.Meski kasus ini
sudah mencuat ke permukaan, namun hingga kini pihak RSU Citra Medika
yang beralamat di Pasar 9, Jalan Batang Kuis Medan itu tetap memasang aksi
tutup mulut. Tak ada satu pun pegawai, humas maupun dokter di rumah sakit
itu yang bersedia dikonfirmasi termasuk memberikan rekam medik
Erwin.Ketidakadilan yang menimpan Erwin ini pula yang membuat geram
Lawyer Kurniawan Dkk yang beralamat di Jalan Imam Bonjol Medan. Lawyer
Kurniawan mengaku siap mendampingi Erwin untuk menggugat RS Citra
Medika.“Kami Lawyer Kurniawan yang terdiri dari lima orang akan
mendampingi korban menggugat RSU Citra Medika. Langkah awalnya kami
sudah menyurati pihak rumah sakit dan juga membuat laporan resum ke
Polresta Medan dan menyertakan surat juga ke IDI. Korban juga sudah
menandatangani surat kerjasama dengan kami dan karena itu kami tidak main
main,” tegas Jun Kurniawan selaku ketua Lawyer Kurniawan.Jun Kurniawan
mengaku terenyuh hatinya setelah membaca kisah Erwin, dan selanjutnya
menghubungi keluarga korban. “Jaman sekarang memang kalau gak dari jalur
hukum diselesaikan, tidak akan bakal selesai masalahnya. Ksihan korban itu,”
tandas Kurniawan.Saat ditemui, Salmiah mengaku masih ingat dengan dokter
yang mengoperasi suaminya di RS Citra Medika. “Aku ingat kali dokternya
yang mengoperasi suamiku namanya Hasanata. Bahkan dia yang marah-marah
sama kami. Katanya dia gak pernah salah kalau mengoperasi orang, karena
sudah 10 tahun lebih jadi dokter,” katanya.Salmiah dan keluarganya berharap
agar penyakit suaminya cepat sembuh. “Kami sedih tiap lihat Erwinsyah.
Kasian kali dia kami selalu berdoa agar penyakitnya segera diangkat Tuhan,”
lirih para kerabat korban. Seperti diketahui,pasca operasi usus buntu di RSU
Citra Medika, usus besar Erwin malah berlipat dan bekas jahitan di perutnya
tak behenti mengeluarkan nanah. Mirisnya lagi, infeksi itu juga menjalar ke
(maaf) kemaluan korban. (mri/deo)
5. Khairuddin harus kontrol penyakit jantung yang dideritanya. “Saya datang
jauh-jauh dari Lubukpakam untuk kontrol penyakit jantung. Sesudah masuk,
dokternya bilang ‘maaf ya Pak hari ini kami tidak memberi pelayanan’,” ujar
Khairuddin, kemarin di RS dr Pirngadi. PNS Pemprov Sumut ini pun seakan
tak percaya. Ia kecewa dengan sikap para dokter yang atas nama solidaritas
terhadap rekan kerja malah menelantarkan pasien. “Kejadiannya kan di
Manado, biarlah diselesaikan. Tapi jangan merugikan orang lain, apalagi kami
dijamin asuransi kesehatan. Protes boleh saja, tapi menurut saya ini kan sudah
melanggar sumpah dokter. Kami merasa ditelantarkan di sini,” katanya.
Khairuddin tidak sendirian. Saidah (61) yang membawa suaminya ke salah
satu Poli di rumah sakit milik Pemko Medan itu mengaku sangat kecewa.
“Suami saya kemari mau minta obat, tapi ‘gak ada dokternya. Katanya disuruh
ke IGD tapi mereka ‘gak bisa keluarkan obat karena pasien rawat jalan,
disuruh lagi ke poli, tapi ‘gak ada pelayanan. Dibola-bola kami ini,” ujarnya
sesal.Begitupun saat Sumut Pos melihat situasi di TPP unit rawat jalan di
RSUP Haji Adam Malik banyak pasien yang pulang dengan kecewa. Di
antaranya Tarigan (33), pasien THT ini mengaku sudah menunggu hingga 3
jam karena pegawai RS tersebut menyuruhnya untuk menunggu. Namun
karena terlalu lama, akhirnya ia pulang.“Tadi pegawai itu bilang tunggu aja,
mana tahu dokternya mau melayani. Tapi sampai sudah siang belum juga ada
kepastian, makanya saya pulang,” katanya.Tak hanya di rumah sakit plat
merah, di rumah sakit swasta seperti Permata Bunda kejadian serupa dapat
dijumpai. “Saya sudah 5 hari di sini, ibu saya sakit gagal ginjal. Biasanya
kalau pagi sudah nampak banyak dokter lalu lalang, tapi hari ini tidak. Kalau
ibu saya yang ngurus dari pagi tadi perawatnya aja,” ujar warga Rantauparapat
yang tak mau disebutkan namanya.Menanggapi itu, Kepala Instalasi Rawat
Jalan RSUD dr Pirngadi Medan, Kartini Skep NS MKes mengatakan pasien
emergency atau yang urgent akan dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD).
“Memang dokter saat ini tengah mogok kerja, tapi yang datang kalau urgen
kita bawa ke IGD dan obatnya bisa diresepkan di tempat tersebut,”
katanya.Sementara Direktur RSUD dr Pirngadi, dr Amran SpJP (K)
mengatakan, aksi yang dilakukan dokter itu dalam konteks solidaritas sebagai
wujud simpatik kepada sejawat. “Namun untuk kasus emergency dan tempat
pendaftaran tetap dilayani. Pelayanan di IGD dan bedah juga tetap berjalan
seperti biasanya,” katanya.Ditambahkan Kabag Hukum dan Humas RSUD dr
Pirngadi, Edison mengatakan, manajemen RSU Pirngadi tidak bisa berbuat
banyak meski seluruh dokter itu adalah PNS. Ditambahnya, ada sekitar 35
polikilinik di RS Pirngadi dimana sekitar 25 poli spesialis dan 10 poli sub
spesialis. “Namanya juga aksi solidaritas, kalau rata-rata per harinya pasien di
sini mencapai 800 sampai 900,” ujarnya.

Anda mungkin juga menyukai