Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH FALSAFAH TEORI DAN ETIK

“SELF EFFICACY, STRESS AND ADAPTATION ROY”

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 7

KHAIRI MASYHITA SNR172120064


MASRIQ SNR172120007
WAHYUNI ISLAMIA SNR172120056

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NON REGULER


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
MUHAMMADIYAH PONTIANAK
TAHUN AJARAN 2017 / 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Self Efficacy, Stress And
Adaptation Roy” makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Falsafah Teori dan
Etik.

Dalam makalah ini penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan dari
beberapa pihak, untuk itu ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Ardi Wahyudi M.Kep selaku dosen pengampu mata kuliah Falsafah
Teori dan Etik.
2. Teman-teman yang selalu membantu dalam pembuatan makalah ini sekaligus
membantu untuk mendapatkan referensi tambahan untuk memperlengkap
makalah yang telah penulis buat.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan. Hal ini disebabkan keterbatasan penulis dalam segi ilmu, pengalaman,
dan referensi penulis dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran yang
konstruktif dari berbagai pihak sangat diharapkan bagi penulis. Harapan penulis
semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah wahana pengetahuan bagi
kita semua.

Pontianak, 05 Oktober 2017

Penulis

i
ii
DAFTAR ISI

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Efikasi memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-


hari, seseorang akan mampu menggunakan potensi dirinya secara optimal
apabila efikasi diri mendukungnya. Salah satu aspek kehidupan yang
dipengaruhi oleh efikasi diri adalah prestasi.
Menurut Bandura (1997) efikasi diri dibentuk oleh empat sumber
informasi, yaitu: (1) Pengalaman berhasil. Dalam kehidupan manusia,
keberhasilan menyelesaikan suatu masalah akan meningkatkan efikasi diri,
sebaliknya kegagalan akan menurunkan efikasi diri (terutama pada waktu
efikasi diri belum terbentuk secara mantap dalam diri seseorang). Untuk
terbentuknya efikasi diri, orang harus pernah mengalami tantangan yang berat,
sehingga ia bisa menyelesaikannya dengan kegigihan dan kerja keras.
Perkembangan efikasi diri ditentukan oleh keberhasilan dan kegagalan yang
telah dilakukan juga ditentukan oleh kesalahan dalam menilai diri. Apabila
dalam kehidupan sehari-hari yang selalu diingat adalah penampilan-
penampilan yang kurang baik, maka kesimpulan tentang efikasi diri akan
rendah. Sebaliknya, meskipun kegagalan sering dialami tapi secara terus
menerus selalu berusaha meningkatkan prestasi maka efikasi diri akan
meningkat. Kumpulan dari pengalaman-pengalaman masa lalu akan menjadi
penentu efikasi diri melalui representasi kognitif, yang meliputi; ingatan
terhadap frekuensi keberhasilan dan kegagalan, pola temporernya, serta dalam
situasi bagaimana terjadinya keberhasilan dan kegagalan.
Roy lahir pada tanggal 14 Oktober 1939 di Los Angeles, California.
Roy menyelesaikan pendidikan Diploma Keperawatan pada tahun 1963 di
Mount Saint Mary’s College, Los Angeles dan menyelesaikan Master
Keperawatan di California University pada tahun 1966. Roy menyelesaikan
PhD Sosiologi pada tahun 1977 di Universitas yang sama. Roy bersama
Dorothy E. Johnson mengembangkan teori model konseptual keperawatan.
Ketika bekerja sebagai perawat anak, Roy melihat suatu perubahan besar pada
anak dan mereka berkemampuan untuk beradaptasi dalam respon yang lebih
besar terhadap perubahan fisik dan psikologis. Roy mengembangkan dasar
konsep keperawatannya pada tahun 1964-1966 dan baru dioperasionalkan
pada tahun 1968. Pada saat itu Mount Saint Mary’s College mengadopsi teori
adaptasi sebagai dasar filosofi kurikulum keperawatannya. Roy menjabat
sebagai asisten Professor pada Departemen Nursing di Mount Saint Mary’s
College pada tahun 1982.
Roy menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk biopsikososial
sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia
selalu dihadapkan berbagai persoalan yang kompleks, sehingga dituntut untuk
melakukan adaptasi. Penggunaan koping atau mekanisme pertahanan diri,
adalah berespon melakukan peran dan fungsi secara optimal untuk
memelihara integritas diri dari keadaan rentang sehat sakit dari keadaan
lingkungan sekitarnya.

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan
2
3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Self Efficacy


Konsep self efficacy sebenarnya adalah inti dari teori sosial cognitive yang
dikemukakan oleh Albert Bandura yang menekankan peran belajar
observasional, pengalaman social, dan determinisme timbal balik dalam
pengembangan kepribadian. Menurut Bandura (dalam Jess Feisrt & Feist, 2010),
self efficacy adalah penilaian keyakinan diri tentang seberapa baik individu dapat
melakukan tindakan yang diperlukan yang berhubungan dengan situasi yang
prospektif. Bandura juga menggambarkan self efficacy sebagai penentu
bagaimana orang merasa, berfikir, memotivasi diri, dan berperilaku.

Menurut Stajkovij dan Luthans (2006), self efficacy mengacu pada keyakinan
individu mengenai kemampuan untuk memobilisasi motivasi, sumber daya
kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar mencapai keberhasilan dalam
melaksanakan tugas yang diberikan. Myers (dalam Suseno, 2009) menyatakan
self efficacy berkaitan bagaimana individu merasa mampu untuk melakukan
suatu hal.
Baron dan Byrne (2005) mendefinisikan self efficacy sebagai evaluasi diri
seseorang terhadap kemampuan atau kompetensi untuk menampilkan tugas,
mencapai tujuan dan mengatasi rintangan. Locke (dalam Suseno, 2009)
mengatakan bahwa self efficacy yang tinggi akan menumbuhkan rasa percaya diri
akan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas.
Lebih lanjut Bandura (dalam Rachmahana, 2008) menjelaskan self efficacy
berkaitan dengan keyakinan diri bahwa ia mampu mengontrol situasi sulit dan
yakin mampu mengatasi situasi yang merugikan. Self efficacy berkaitan dengan
keyakinan individu dapat atau tidak dapat melakukan sesuatu bukan pada hal apa
yang akan ia lakukan, self efficacy yang tinggi akan menggiring individu untuk
mengatasi tantangan dan hambatan dalam mencapai tujuan.
4

Maka, dapat disimpulkan bahwa pengertian self efficacy adalah penilaian


seseorang terhadap kemampuan dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu dan
mendapatkan hasil yang diinginkan.

B. Fungsi Self Efficacy


Efikasi diri yang telah dibentuk akan mempengaruhi dan memberi fungsi pada
aktivitas individu. Fungsi serta pengaruh dari efikasi diri antara lain :
1. Fungsi Kognitif
Pengaruh dari efikasi diri pada proses kognitif seseorang sangat bervariasi.
Pertama, efikasi diri yang kuat akan mempengaruhi tujuan pribadinya.
Semakin kuat efikasi diri,maka semakin tinggi tujuan yang ditetapkan oleh
individu bagi dirinya sendiri dan yang memperkuat adalah komitmen
individu terhadap tujuan tersebut.Individu yang efikasi diri yang kuat akan
memiliki cita-cita yang tinggi, mengatur rencana dan berkomitmen pada
dirinya untuk mencapai tujuan tersebut. Kedua, individu dengan efikasi diri
yang kuat akan mempengaruhi bagaimana individu tersebut menyiapkan
langkah-langkah antisipasi bila usahanya yang pertama gagal dilakukan.
2. Fungsi Motivasi
Efikasi diri memainkan peranan penting dalam pengaturan motivasi diri.
Individu memotivasi dirinya sendiri dan menuntun tindakannya dengan
mengunakan pemikiran tentang masa depan sehingga individu tersebut akan
membentuk kepercayaan mengenai apa yang dapat dirinya lakukan. Efikasi
diri mendukung motivasi dalam berbagai cara dalam menentukan tujuan yang
diciptakan individu bagi dirinya sendiri dengan seberapa besar ketahanan
individu terhadap kegagalan. Ketika individu mengalami kegagalan serta
memiliki keraguan terhadap diri sendiri makan individu tersebut akan mudah
untuk menyerah, namun sebaliknya jika individu memiliki keyakinan yang
kuat terhadap dirinya maka individu tersebut akan melakukan usaha yang
besar dalam menghadapi tantangan.
5

3. Fungsi Afeksi
Efikasi diri akan memiliki kemampuan koping individu dalam mengatasi
besarnya stress yang individu alami pada situasi yang sulit dan menekan dan
juga dapat mempengaruhi tingkat motivasi individu. Efikasi diri memegang
peranan penting dalam kecemasan, yaitu untuk mengontrol stress yang
terjadi. Individu yang yakin pada dirinya sendiri dapat menggunakan kontrol
pada situasi yang mengancam, tidak akan membangkitkan pola-pola pikiran
yang mengganggu. Sedangkan bagi individu yang tidak dapat mengatur
situasi yang mengacam akan mengalami kecemasan yang tinggi.
4. Fungsi Selektif
Fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan yang akan
diambil oleh individu. Individu menghindari aktivitas dan situasi yang
individu percayai telah melampai batas kemampuan koping dalam dirinya,
namun individu tersebut telah siap melakukan aktivitas yang menantang dan
memilih situasi yang dinilai mampu untuk diatasi. Perilaku yang individu
buat ini akan memperkuat kemampuan, minat dan jaringan sosial yang
mempengaruhi kehidupan dan akhirnya akan mempengaruhi perkembangan
personal.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri dapat
memberikan pengaruh dan fungsi kognitif, fungsi motivasi, fungsi afeksi
serta fungsi selektif pada aktivitas individu.

C. Klasifikasi Self Efficacy

Self efficacy terbagi atas 2 bentuk yaitu self efficacy tinggi dan self efficacy
rendah, antara lain :
1. Self Efficacy Tinggi
Dalam mengerjakan tugas, individu yang memiliki self efficacy yang
tinggi akan cenderung memilih terlibat langsung, serta cenderung
6

mengerjakan tugas tertentu, sekalipun tugas tersebut adalah tugas yang sulit.
Mereka tidak memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka
hindari. Selain itu, mereka mengembangkan minat instrinsik dan ketertarikan
yang mendalam terhadap suatu aktivitas, mengembangkan tujuan dan
berkomitmen untuk mendapat tujuan tersebut. Mereka juga meningkatkan
usaha dalam mencegah kegagalan yang mungkin timbul. Mereka yang gagal
dalam melaksanakan sesuatu, biasanya cepat mendapatkan kembali self
efficacy mereka setelah mengalami kegagalan tersebut. Individu yang
memiliki self efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai akibat dari
kurangnya usaha yang keras, pengetahuan dan keterampilan.
. Individu yang memiliki self efficacy tinggi memiliki ciri-ciri sebagai
berikut : mampu menangani masalah yang mereka hadapi secara efektif, yakni
terhadap kesuksesan dalam menghadapi masalah atau rintangan, masalah
dipandang sebagai suatu tantangan yang harus dihadapi bukan untuk
dihindari, gigih dalam usahanya menyelesaikan masalah, percaya pada
kemampuan yang dimilikinya, cepat bangkit dari kegagalan yang dihadapinya
serta senang mencari situasi yang baru.
2. Self Efficacy Rendah
Individu yang ragu akan kemamouan mereka (self efficacy yang
rendah) akan menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut dianggap
sebagai ancaman bagi mereka. Individu yang seperti ini memiliki aspirasi
yang rendah serta komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka
pilih atau mereka tetapkan. Ketika menghadapi tugas yang sulit, mereka sibuk
memikirkan kekurangan diri mereka, gangguan yang mereka hadapi dan
semua hasil yang dapat merugikan mereka.
. Individu yang memiliki self efficacy rendah tidak berfikir tentang
bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit. Saat
menghapai tugas yang sulit mereka juga lamban dalam membenahi ataupun
mendapatkan kembali self efficacy mereka ketika menghadapi kegagalan. Di
7

dalam melaksanakan berbagai tugas, mereka yang memiliki self efficacy


rendah mencoba pun tidak bisa, tidak peduli betapa baiknya kemampuan
mereka yang sesungguhnya. Rasa percaya diri meningkatkan hasrat untuk
berprestasi, sedangkan keraguan menurunkannya.
. Individu yang memiliki self efficacy rendah memiliki ciri-ciri sebagai
berikut : lamban dalam mendapatkan kembali self efficacynya ketika
menghadapi kegagalan, menghindari masalah yang sulit (ancaman dipandang
sebagai sesuatu yang harus dihindari), mengurangi usaha dan cepat menyerah
ketika menghadapi masalah, ragu pada kemampuan diri yang dimiliki, tidak
senang mencari sesuatu yang baru, serta aspirasi dan komitmen pada tugas
lemah.

D. Dimensi Self Efficacy

Menurut Bandura (dalam Suseno, 2009) dimensi-dimensi self-efficacy ada 3


antara lain :

1. Magnitude atau tingkat kesulitan tugas


Hal ini berdampak pada pemilihan perilaku yang akan dicoba atau
dikehendaki berdasarkan pengharapan self-efficacy pada tingkat kesulitan
tugas (level of difficulty). Individu akan mencoba perilaku yang dirasakan
mampu untuk dilakukan. Sebaliknya ia akan menghindari situasi dan perilaku
yang dirasa melampaui batas kemampuannya.
2. Generality atau luas bidang perilaku
Hal ini berkaitan dengan seberapa luas bidang perilaku yang diyakini untuk
berhasil dicapai oleh individu. Beberapa pengharapan terbatas pada bidang
perilaku khusus, sedangkan beberapa pengharapan mungkin menyebar pada
berbagai bidang perilaku.
3. Strenght atau kemantapan keyakinan
8

Hal ini berkaitan dengan keteguhan hati terhadap keyakinan individu bahwa ia
akan berhasil dalam menghadapi suatu permasalahan.

Menurut Bandura (dalam Alwisol, 2004) terdapat dua komponen self-efficacy,


yaitu:

1. Efikasi ekspektasi (efficacy expectation) adalah “Keyakinan diri sendiri bahwa


ia akan berhasil melakukan suatu tindakan.” Self-efficacy berhubungan erat
dengan sebesar apa usaha yang akan dilakukan dan seberapa lama individu
bertahan dalam situasi menekan. Lebih lanjut perubahan tingkah laku menurut
Bandura kuncinya adalah efikasi ekspektasi.
2. Ekspektasi hasil (outcome expectation): perkiraan atau estimasi diri bahwa
tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu.

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy

Self efficacy dapat dipelajari melalui 4 hal, antara lain :

1. Pengalaman Menguasai Sesuatu (Mastery Experience)


Pengalaman menguasai sesuatu yaitu performa masal lalu. Secara umum,
performa yang berhasil akan menaikkan self efficacy individu, sedangkan
pengalaman yang merujuk pada kegagalan akan menurunkannya. Setelah self
efficacy kuat dan berkembang melalui serangkaian keberhasilan, dampak
negatif dari kegagalan yang umum akan terkurangi secara sendirinya. Bahkan
kegagalan-kegagalan tersebut dapat diatasi dengan memperkuat motivasi diri
apabila seseorang menemukan hambatan yang tersulit melalui usaha yang
terus menerus.
2. Modeling Sosial
9

Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan yang


sebanding dalam mengerjakan suatu tugas akan meningkatkan self efficacy
individu.
3. Persuasi Sosial
Individu diarahkan berdasarkan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat
meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan yang dimiliki dapat
membantu tercapainya tujuan yang diinginkan. Namun persuasi tidaklah
terlalu besar, dikarenakan tidak memberikan pengalaman yang dapat langsung
dialami atau di amati individu.
4. Kondisi fisik dan emosional
Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa, saat seseorang
mengalami ketakutan yang kuat, kecemasan akut, atau tingkat stres yang
tinggi, kemungkinan akan mempunyai ekspektasi efikasi yang rendah. Tinggi
dan rendahnya self efficacy dalam tiap tugas sangat bervariasi. Hal ini
disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang berpengaruh dalam
mempersepsikan kemampuan diri individu. Ada beberapa yang
mempengaruhi self efficacy, antara lain:
a. Budaya
Budaya mempengaruhi self efficacy pada nilai (value), kepercayaan, dan
proses pengaturan diri yang berfungsi sebagai sumber penilaian dan juga
sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self efficacy.
b. Jenis kelamin
Menurut penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa wanita
efikasinya lebih tinggi dalam mengelola perannya, wanita yang memiliki
peran selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai wanita karir akan
memiliki self efficacy yang tinggi dengan pria yang bekerja.
c. Sifat dari tugas yang dihadapi
Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu
akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan
10

dirinya sendiri semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu
maka akan semakin rendah individu menilai kemampuannya. Sebaliknya,
jika individu di hadapkan pada tugas yang mudah maka akan semakin
tinggi individu tersebut menilai kemampuannya.
d. Insentif eksternal
Faktor lain yang dapat mempengaruhi self efficacy individu adalah
insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor
yang dapat meningkatkan self efficacy adalah competent contingens
incentive, yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang
merefleksikan keberhasilan seseorang.
e. Status atau peran individu dalam lingkungan
Individu yang memiliki status tinggi akan memperoleh derajat kontrol
yang lebih besar sehingga self efficacy yang dimilikinya juga tinggi.
f. Informasi tentang kemampuan diri
Individu akan memiliki self efficacy tinggi jika ia memperoleh informasi
positif mengenai dirinya, sementara jika individu memiliki self efficacy
yang rendah, maka ia akan memperoleh informasi negatif mengenai
dirinya.

F. Pengertian Stress
Stress menurut Hans Selye tahun 1950 merupakan respons tubuh
yang bersifat tidak spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya.Berdasar
kan pengertian tersebut dapat dikatakan stress apabila seseorang mengalami
beban atau tugas yang berat tetapi orang tersebut tidak dapatmengatasi tugas
yang dibebankan itu, maka tubuh akan merespons dengantidak mampu terhadap
tugas tersebut, sehingga orang tersebut dapat mengalami stress, begitu juga
sebaliknya.Stress adalah suatu ketidakseimbangan diri/jiwa dan realitas
kehidupan setiap hari yang tidak dapat dihindari perubahan yang
memerlukan penyesuaian, sering dianggap sebagai kejadian atau perubahan
11

negatif yang dapat menimbulkan stress, seperti cidera, sakit atau kematian orang
yang dicintai, bahkan putus cinta. Perubahan positif juga dapat menimbulkan
stress, seperti naik pangkat, perkawinan, dan jatuh cinta.

G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress

Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stress disebut


stressors.Meskipun stress dapat di akibatkan oleh hanya satu stressor, biasanya
seseorang mengalami stress karena kombinasi stressors. Menurut Robbins (2001:
565-567) ada tiga sumber utama yang dapat menyebabkan timbulnya stress yaitu:
1. Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat
menyebabkan pengaruh pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat ter
hadap seseorang. Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat
menimbulkan stress bagi seseorang yaitu ekonomi, politik dan teknologi.
Perubahanyang sangat cepat karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal
tersebut membuat seseorang mengalami ancaman terkena stress. Hal ini dapat
terjadi, misalnya perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan yang
baru terhadap teknologi akan membuat keahlian seseorang dan
pengalamannya tidak terpakai karena hampir
semua pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang
singkat dengan adanya teknologi yang digunakannya.
2. Faktor Organisasi
Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress
yaitu role demands, interpersonal demands,organizational structure dan
organizational leadership. Pengertian dari masing-masing faktor organisasi
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Role Demands
12

Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu
organisasi akan mempengaruhi peranan seorang untuk memberikan hasil
akhir yang ingin dicapai bersama dalamsuatu organisasi tersebut.
b. Interpersonal Demands
Mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh seseorang dalam organisasi.
Hubungan komunikasi yang tidak jelas antaraorang satu dengan orang
lainnya akan dapat menyebabkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga
pemenuhan kebutuhandalam organisasi terutama yang berkaitan dengan
kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan pemikiran
antara orang yang satu dengan orang lainnya.
c. Organizational Structure
Mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan
tersebut dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalamstruktur pembuat
keputusan atau peraturan maka akan dapatmempengaruhi kinerja seorang
dalam organisasi.
d. Organizational Leadership
Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan
dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan
group (Robbins, 2001:316) dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang
lebih mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara
langsung antara pemimpin dengan seseorang serta
karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan
pada hal pekerjaan saja.
Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam mengukur
tingginya tingkat stress. Pengertian dari tingkat stress itu sendiri adalah
muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah yang timbul
yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan,
permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan
13

dimana hasilnya diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting
(Robbins,2001:563).
3. Faktor Individu
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga,
masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan
pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada
pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam
pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana
seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup bagi
kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan
seperlunya.Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat
menimbulkan stress terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh
seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stress yang timbul pada tiap-
tiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.

H. Respon Terhadap Stress


Respon stress melibatkan semua fungsi tubuh, sehingga
terlampau besarnya stress yang menghabiskan sumber adaptif kita dapat
menyebabkan kelelahan, beragam masalah kesehatan, dan bahkan akibat yang
fatal. Respon-respon tersebut yaitu
1. Respon Fisik
a. Rambut
Warna rambut yang semula hitam pekat, lambat laun
mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan serta kusam. Ubanan
(rambut memutih) terjadi sebelum waktunya, demikian pula dengan
kerontokan rambut.
b. Mata
Ketajaman mata seringkali terganggu misalnya kalau membaca tidak
jelas karena kabur. Hal ini disebabkan karena otot-otot bola mata
14

mengalami kekenduran atau sebaliknya sehingga mempengaruhi fokus


lensa mata.
c. Telinga
Pendengaran sering kali terganggu dengan suara berdenging (tinitus).
d. Ekspresi wajah
Wajah seseorang yang stres nampak tegang, dahi berkerut, mimik
tampak serius, tidak santai, bicara berat, sukar untuk senyum/tertawa.
e. Mulut
Mulut dan bibir terasa kering sehingga seseorang sering minum.Selain
daripada itu pada tenggorokan seolah-olah ada ganjalan sehingga ia
sukar menelan, hal ini disebabkan karena otot-otot lingkar di
tenggorokan mengalami spasme (muscle cramps) sehingga serasa
“tercekik”.
f. Kulit
Pada orang yang mengalami stress reaksi kulit bermacam-macam pada
kulit dari sebagian tubuh terasa panas atau dingin atau
keringat berlebihan. Reaksi lain kelembaban kulit yang berubah, kulit
menjadi lebih kering. Selain daripada itu perubahan kulit lainnya adalah
merupakan penyakit kulit, seperti munculnya eksim, urtikaria(biduran),
gatal-gatal dan pada kulit muka seringkali timbul jerawat(acne)
berlebihan.
g. Sistem Pernafasan
Pernafasan seseorang yang sedang mengalami stress dapat terganggu,
misalnya nafas terasa berat dan sesak. Nafas terasa sesak dan berat
dikarenakan otot-otot rongga dada (otot-otot antar tulang iga)
mengalami spasme dan tidak atau kurang elastis sebagaimana biasanya.
h. Sistem Kardiovaskuler
Sistem jantung dan pembuluh darah atau kardiovaskuler dapat
terganggu faalnya karena stress. Misalnya, jantung berdebar-
15

debar, pembuluh darah melebar (dilatation) atau menyempit


(constriction) sehingga yang bersangkutan tampak wajahnya merah atau
pucat.
i. Sistem Pencernaan
Orang yang mengalami stress seringkali mengalami gangguan pada
sistem pencernaannya. Misalnya, pada lambung terasa kembung, mual
dan pedih, hal ini disebabkan karena asam lambung yang berlebihan
(hiperacidity).
j. Sistem Perkemihan
Orang yang sedang menderita stress faal perkemihan (air seni)
dapat juga terganggu. Yang sering dikeluhkan orang adalah frekuensi
untuk buang air kecil lebih sering dari biasanya, meskipun ia
bukan penderita kencing manis (diabetes mellitus).
k. Sistem Otot dan tulang
Stress dapat pula menjelma dalam bentuk keluhan-keluhan pada otot
dan tulang (musculoskeletal ). Yang bersangkutan sering mengeluh otot
terasa sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal, dan tegang.
l. Sistem Endokrin
Gangguan pada sistem endokrin (hormonal) pada mereka
yangmengalami stres adalah kadar gula yang meningkat, dan bila hal
ini berkepanjangan bisa mengakibatkan yang bersangkutan menderita pe
nyakit kencing manis (diabetes mellitus), gangguan hormonal lain
misalnya pada wanita adalah gangguan menstruasi yang tidak teratur
dan rasa sakit (dysmenorrhoe).
2. Respon Psikologis
Faktor-faktor Psikologis dapat mempengaruhi fungsi fisik, faktor-faktor fisik
juga dapat mempengaruhi fungsi mental. Gangguan fisik yang diyakini
disebabkan atau dipengaruhi faktor psikologis pada masa lalu yang disebut
psikosomatis (psychosomatic) atau psikofisiologis.Daya pikir pada orang
16

seseorang yang mengalami stres, kemampuan bepikirdan mengingat serta


konsentrasi menurun. Orang menjadi pelupadan seringkali mengeluh sakit
kepala pusing.

I. Model Adaptasi Roy

Pendekatan Roy menegaskan bahwa individu adalah makhluk biopsikososial


sebagai suatu kesatuan yang memiliki mekanisme koping untuk beradaptasi
terhadap perubahan lingkungan. Individu selalu berinteraksi secara kostan atau
selalu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Roy mendefinisikan
lingkungan sebagai semua yang ada di sekeliling kita dan berpengaruh terhadap
perkembangan manusia. Sehat adalah suatu keadaan atau proses dalam menjaga
integritas diri.Menurutnya peran perawat adalah membantu pasien beradaptasi
dengan perubahan yang ada (Asmadi, 2008).

Roy juga mengembangkan konsepnya untuk membantu individu beradaptasi


dan menunjukkan respons atau perilaku adaptif terhadap perubahan kebutuhan
yaitu perubahan fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan hubungan saling
ketergantungan antar sehat dan sakit (output), perawat menentukan kebutuhan di
atas menyebabkan timbulnya masalah bagi pasien dan mengkaji bagaimana
pasien beradaptasi terhadap hal tersebut. Kemudian asuhan keperawatan
diberikan dengan tujuan untuk membantu pasien beradaptasi.

J. Asumsi Dasar Teori Roy

Model adaptasi dari Roy ini dipublikasikan pertama pada tahun 1970 dengan
asumsi dasar model teori ini adalah :
1. Setiap orang selalu menggunakan koping yang bersifat positif maupun
negatif. Kemampuan beradaptasi seseorang dipengaruhi oleh tiga komponen
yaitu ; penyebab utama terjadinya perubahan, terjadinya perubahan dan
pengalaman beradaptasi.
17

2. Individu selalu berada dalam rentang sehat – sakit, yang berhubungan erat
dengan keefektifan koping yang dilakukan untuk memelihara kemampuan
adaptasi. Konsep sehat yang kemukan Roy adalah bagaimana individu mampu
beradaptasi dan berperilaku adaptif terhadap perubahan yang terjadi guna
memenuhi kebutuhannya, seperti kebutuhan fisiologis, konsep diri yang
positif, kebutuhan untuk menampilkan fungsi peran sosial dan
mempertahankan keseimbangan antara kemandirian dan ketergantungan.
Konsep sakit yang dikembangan Roy adalah ketika individu tidak mempu
beradaptasi dengan perubahan yang dialaminya, selanjutnya ia akan
menampilkan respons atau perilaku maladaptif yang menyebabkan kebutuhan
tersebut tidak dapat terpenuhi.
Teori adaptasi menurut Roy merupakan salah satu teori tentang bagaimana
menerapkan asuhan keperawatan yang berfokus pada kemampuan adaptasi klien.
Teori ini termasuk salah satu teori yang mudah diaplikasikan sehingga banyak
digunakan dalam penerapan asuhan keperawatan. Teori Roy dalam
pelaksanaannya menyentuh hampir semua aspek kehidupan baik secara fisik,
konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi.

K. Paradigma Keperawatan Menurut Sister Calista Roy

Empat Elemen utama dari teori Roy adalah : 1) Manusia sebagai penerima
asuhan keperawatan 2) Konsep lingkungan 3) Konsep sehat dan 4) Keperawatan.
Dimana antara keempat elemen tersebut saling mempengaruhi satu sama lain
karena merupakan suatu sistem.
1. Manusia
Manusia merupakan fokus utama yang perlu diperhatikan karena manusialah
yang menjadi penerima asuhan keperawatan, baik itu individu, keluarga,
kelompok maupun masyarakat, yang dipandang sebagai “Holistic Adaptif
18

System”. Dimana “Holistic Adaptif System “ ini merupakan perpaduan


antara konsep sistem dan konsep adaptasi.
a. Konsep Sistem
Roy memandang manusia sebagai mahluk holistik yang dalam sistem
kehidupannya akan selalu berinteraksi dengan lingkungannya, dimana
diantara keduanya akan terjadi pertukaran informasi, “matter” dan
energi.Suatu sistem terbuka yang saling mempengaruhi satu dengan yang
lain, dimana kualitas suatu sistem sangat tergantung pada manusia itu
sendiri.
b. Konsep Adaptasi
Manusia sebagai suatu sistem terbuka, respon atau perilaku adaptasi
seseorang terhadap perubahan menurut teori adaptasi Roy bergantung ada
stimulus yang masuk dan tingkat/kemampuan adaptasi orang tersebut.
Tingkat atau kemampuan adaptasi seseorang ditentukan oleh tiga hal,
yaitu masukan (input) berupa stimulus dan tingkatan adaptasi, kontrol,
dan keluaran (output) berupa respon perilaku yang dapat menyediakan
feed back/ umpan balik, antara lain :
1) Input (masukan)
Roy menidentifikasi input sebagai stimulus yang dapat menimbulkan
respons. Ada tiga komponen pada input, yaitu stimulus fokal,
stimulus kontekstual dan stimulus residual. Stimulus fokal adalah
stimulus yang langsung berhadapan dengan individu, seperti
perubahan fisiologis, perubahan konsep diri, perubahan fungsi peran.
Stimulus kontekstual adalah semua stimulus yang diterima oleh
individu, baik internal (karakteristik diri) maupun eksternal
(keluarga, lingkungan, teman, masyarakat), yang dapat
mempengaruhi situasi atau stimulus fokal dan dapat diobservasi,
diukur, serta dilaporkan secara subjektif. Stimulus residual adalah
ciri-ciri tambahan dan relevan dengan situasi yang ada, namun sukar
19

untuk diobservasi, contohnya adalah keyakinan, sikap dan sifat


individu yang berkembang sesuai dengan pengalaman masa lalu.
2) Kontrol
Roy menggunakan istilah mekanisme koping untuk menggambarkan
proses kontrol individu dalam sistem adaptasi ini. Beberapa koping
ada yang bersifat genetik seperti : WBC (sel darah putih) sebagai
benteng pertahanan tubuh terhadap adanya kuman, sedangkan
beberapa koping lainnya ada yang merupakan hasil belajar seperti :
menggunakan antiseptik untuk membersihkan luka. Dalam
mekanisme kontrol ini, Roy menyebutnya dengan istilah “Regulator”
dan “Cognator”. Transmitter dari sistem regulator berupa kimia,
neural atau sistem saraf dan endokrin, yang dapat berespon secara
otomatis terhadap adanya perubahan pada diri individu. Respon dari
sistem regulator ini dapat memberikan umpan balik terhadap sistem
cognator. Proses kontrol cognator ini sangat berhubungan dengan
fungsi otak dalam hal fungsi persepsi atau memproses informasi,
pengambilan keputusan dan emosi.

Sistem Adaptasi Roy dapat digambarkan sebagai berikut:


Stimulus tingkat adaptasi Mekanisme Koping Fungsi Fisiologis
Respon
Regulator Konsep Diri
Adaptif
Kognator Fungsi Peran dan
Interdependensi
Inefektif

3) Output (keluaran)
20

Output dari suatu sistem adaptasi adalah perilaku yang dapat diamati,
diukur, atau dapat dikemukakan secara subjektif. Output pada sistem
ini dapat berupa respons adaptif ataupun respons maladaptif. Respon
adaptif dapat meningkatkan integritas individu sedangkan respon
maladaptif tidak dapat mendukung untuk pencapaian tujuan
perawatan individu.
2. Lingkungan
Stimulus yang berasal dari individu dan sekitar individu merupakan elemen
dari lingkungan, menurut Roy. Lingkungan didefinisikan oleh Roy adalah “
Semua kondisi, keadaan dan pengaruh-pengaruh disekitar individu yang
dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku individu dan kelompok
“(Roy and Adrews, 1991 dalam Nursing Theory : 260) . Dalam hal ini Roy
menekankan agar lingkungan dapat didesign untuk meningkatkan
kemampuan adaptasi individu atau meminimalkan resiko yang akan terjadi
pada individu terhadap adanya perubahan.
3. Sehat
Roy mendefinisikan sehat adalah “A State and a process of being and
becoming an integrated and whole person” (Roy and Adrews, 1991 dalam
Nursing Theory : 261). Integritas individu dapat ditunjukkan dengan
kemampuan untuk mempertahankan diri, tumbuh, reproduksi dan “mastery”.
Asuhan keperawatan berdasarkan model Roy bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan individu dengan cara meningkatkan respon adaptifnya.
4. Keperawatan
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tujuan keperawatan menurut Roy
adalah meningkatkan respon adaptif individu dan menurunkan respon
inefektif individu, dalam kondisi sakit maupun sehat. Selain meningkatkan
kesehatan di semua proses kehidupan, keperawatan juga bertujuan untuk
mengantarkan individu meninggal dengan damai. Untuk mencapai tujuan
tersebut, perawat harus dapat mengatur stimulus fokal, kontekstual dan
21

residual yang ada pada individu, dengan lebih menitik beratkan pada stimulus
fokal, yang merupakan stimulus tertinggi.

L. Macam macam Adaptasi

Empat mode adaptasi ini dapat digunakan sebagai dasar kerangka kerja
untuk pedoman pengkajian, antara lain:
1. Adaptasi Fisiologis
Proses penyesuaian scara alamiah atau secara fisiologis untuk
mempertahankan keseimbangan dari berbagai faktor yang menimbulkan atau
mempengaruhi keadaan menjadi tidak seimbang, contohnya apabila tubuh
mengalami infeksi maka tubuh akan menunjukkan reaksi adaptasi yang
bersifat lokal atau Local Adaptation Syndroma (LAS) seperti kemerahan,
bengkak, nyeri,panas, dan lain lain. Sedangkan proses penyesuaian sistemik
tubuh atau disebut General Adaptation Syndroma (GAS) tubuh akan
mengalami keringat berlebihan, demam, dan lain lain.
2. Adaptasi psikologis
Merupakan proses penyesuaian secara psikologis akibat stressor yang ada,
dengan cara memberikan mekanisme pertahanan diri dengan harapan
melindungi atau bertahan dari serangan serangam atau hal hal yang tidak
menyenangkan.
3. Adaptasi sosial budaya
Merupakan cara untuk mengadakan perubahan dengan melakukan
penyesuaian perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat,
berkumpul dengan masyarakat dalam kegiatan kemasyarakatan.
4. Adaptasi spiritual
Proses penyesuaian diri dengan melakukan perubahan perilaku yang
didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki sesuai dengan
22

agama yang dianutnya. Apabila mengalami stress, maka seseorang akan giat
melakukan ibadah, seperti rajin melakukan ibadah.

M. Proses Keperawatan Menurut Teori Roy


Menurut Roy elemen dari proses keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa
keperawatan, penentuan tujuan, intervensi dan evaluasi. Fokus dari model ini
adalah adaptasi dan tujuan pengkajian adalah mengidentifikasi tingkah laku yang
aktual dan potensial apakah memperlihatkan maladaptif dan mengidentifikasi
stimulus atau penyebab perilaku maladaptif. Empat mode adaptasi dapat
digunakan sebagi dasar kerangka kerja untuk pedoman pengkajian. Mode ini juga
meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan model interdependensi. Roy
merekomendasikan pengkajian dibagi menjadi dua bagian, yaitu pengkajian
tahap I dan pengkajian tahap II.
1. Pengkajian
a. Tahap I : Pengkajian perilaku
Ini merupakan tahap proses keperawatan yang bertujuan mengumpulkan
data dan memutuskan klien adaptif atau maladaptif. Termasuk dalam
model ini adalah kebutuhan dasar manusia apakah dapat dipengaruhi oleh
kekurangan atau kelebihan misalnya terlalu sedikit oksigen , terlalu tinggi
gula darah atau terlalu banyak ketergantungan. Perawat menggunakan
wawancara, observasi dan pengukuran untuk mengkaji perilaku klien
sekarang pada setiap mode.
b. Tahap II : Pengkajian faktor – faktor yang berpengaruh
Pada tahap ini termasuk pengkajian stimuli yang signifikan terhadap
perubahan perilaku seseorang yaitu stimuli focal, kontekstual dan
residual.
1) Identifikasi stimuli focal
Stimuli focal merupakan perubahan perilaku yang dapat diobservasi.
Perawat dapat melakukan pengkajian dengan menggunakan pengkajian
23

perilaku yaitu: keterampilan melakukan observasi, melakukan


pengukuran dan interview.
2) Identifikasi stimuli kontekstual
Stimuli kontekstual ini berkontribusi terhadap penyebab terjadinya
perilaku atau presipitasi oleh stimulus focal. Sebagai contoh anak yang
di rawat dirumah sakit mempunyai peran perilaku yang inefektif yaitu
tidak belajar. Focal stimulus yang dapat diidentifikasi adalah adanya
fakta bahwa anak kehilangan jadwal sekolah. Stimulus kontekstual
yang dapat diidentifikasi adalah secara internal faktor anak menderita
sakit dan faktor eksternalnya adalah anak terisolasi.Stimulasi
kontekstual dapat diidentifikasi oleh perawat melalui
observasi,pengukuran, interview dan validasi.
3) Identifikasi stimuli residual
Pada tahap ini yang mempengaruhi adalah pengalaman masa lalu.
Helson dalam Roy, 1989 menjelaskan bahwa beberapa faktor dari
pengalaman lalu relevan dalam menjelaskan bagaimana keadaan saat
ini. Sikap, budaya, karakter adalah faktor residual yang sulit diukur
dan memberikan efek pada situasi sekarang.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut teori adaptasi Roy didefinisikan sebagai suatu
hasil dari proses pengambilan keputusan berhubungan dengan kurang
mampunya adaptasi. Diagnosa keperawatan dirumuskan dengan
mengobservasi tingkah laku klien terhadap pengaruh lingkungan. Menurut
Roy (1991) ada 3 metode dalam membuat diagnosa keperawatan, yaitu :
a. Menggunakan 4 (empat) model adaptif, yaitu fisiologis, konsep diri, fungsi
peran dan interdependen
Tipologi Adaptasi Masalah :
Physiological model
24

1) Oksigenasi masalah yang timbul antara lain hipoksia/shock, kerusakan


ventilasi, ketidakadekuat pertukaran gas, perubahan perfusi jaringan,
ketidakmampuan dalam proses kompensasi pada perubahan kebutuhan
oksigen
2) Nutrisi Nutrisi kurang / lebih dari kebutuhan tubuh, masalah yang
timbul antara lain anoreksia, nausea / vomiting
3) Eliminasi Diare, masalah yang timbul antara lain inkontinensia,
konstipasi, retensi urine, ketidakefektifan strategi koping terhadap
penurunan fungsi eliminasi.
4) Aktifitas dan istirahat Ketidakadekuatan aktifitas & istirahat, masalah
yang timbul antara lain keterbatasan mobilitas & koordinasi, intoleransi
aktifitas, immobilisasi, resiko gangguan pola tidur, kelelahan (Fatigue)
5) Cairan dan elektrolit dehidrasi, masalah yang timbul antara lain odema,
retensi cairan intra sel, ketidakseimbngan asam-basa.
6) Proteksi/ perlindungan, sebagai dasar defensi tubuh termasuk proses
imunitas dan struktur integumen ( kulit, rambut dan kuku) dimana hal
ini penting sebagai fungsi proteksi dari infeksi, trauma dan perubahan
suhu.
7) Fungsi neurologi, masalah yang timbul antara lain penurunan tingkat
kesadaran, pengurangan fungsi memori (daya ingat), konpensasi tidak
efektif pada penurunan fungsi kognitif.
8) Fungsi endokrin, pengkajian perilaku dan stimulus fungsi ini terkait
dengan riwayat menderita DM, pembesaran kelenjar, pemeriksaan
kadar glukosa darah.

Konsep Diri
1) Physical Self Gangguan body image, masalah yang timbul antara lain
disfungsi seksual, kehilangan
25

2) Personal self Ansietas, masalah yang timbul antara lain ketidak


berdayaan, perasaan bersalah, harga diri rendah

Fungsi Peran masalah yang timbul antara lain transisi peran, konflik peran
serta gangguan / kehilangan peran

Interdependensi masalah yang timbul antara lain kesepian dan cemas


karena perpisahan.
b. Mengobservasi respon klien yang paling menonjol pada satu mode adaptif,
misalnya ; mode fisisiologis sub kebutuhan cairan. Contoh kasus untuk
diare intake : 1200 ml, out put : 3500 ml, keluhan haus (+), turgor tidak
elastis, kelopak mata tampak cekung. Dari respon pasien tersebut dapat
disimpulkan bahwa diagosa keperawatan pasien menurut Roy adalah defisit
volume cairan.
c. Menyimpulkan respon klien dari satu atau lebih dari mode adaptif yang
terkait dengan stimulus yang sama. Misalnya mode yang terganggu adalah
: mode fisiologis, konsep diri dan interdependensi. Contoh kasus ; klien
mengeluh tidak mau makan, makan hanya habis ¼ porsi, BB turun 2 Kg
dari normal. Dari data tersebut klien mengalami gangguan kebutuhan
nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan (mode fisiologis). Karena klien
kekurangan nutrisi mengakibatkan posturnya tampak kurus, hal ini
membuat klien mengalami gangguan Body Image ( Mode Konsep diri ),
kondisi ini juga mengakibatkan klien tidak dapat memenuhi kebutuhannya
sehari-hari ( Mode Interdependensi)
3. Penentuan tujuan
Roy (1984) menyampaikan bahwa secara umum tujuan pada intervensi
keperawatan adalah untuk mempertahankan dan mempertinggi perilaku
adaptif dan mengubah perilaku inefektif menjadi adaptif. Penentuan tujuan
dibagi atas tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka
26

panjang yang akan dicapai meliputi : Hidup, tumbuh, reproduksi dan


kekuasaan. Tujuan jangka pendek meliputi tercapainya tingkah laku yang
diharapkan setelah dilakukan manipulasi terhadap stimulus focal, konteksual
dan residual.
4. Intervensi
Intervensi keperawatan dilakukan dengan tujuan , mengubah atau
memanipulasi
stimulus fokal, kontekstual dan residual, juga difokuskan pada koping
individu atau zona adaptasi, sehingga seluruh rangsang sesuai dengan
kemampuan individu untuk beradaptasi.Tindakan keperawatan berusaha
membantu stimulus menuju perilaku adaptif. Hal ini menekankan kembali
pentingnya mengidentifikasi penyebab selama pengkajian tahap II.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian efektifitas terhadap intervensi keperawatan
sehubungan dengan tingkah laku pasien. Perawat harus mengkaji tingkah laku
pasien setelah diimplementasi. Intervensi keperawatan dinilai efektif jika
tingkah laku pasien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

N. Tinjauan Kasus

Seorang perempuan dirawat setelah mengalami amputasi kaki kiri sebatas


patella akibat gangren diabetikum. Ia mengidap diabetes sejak 10 tahun lalu. Ia
tinggal di panti jompo karena tidak memiliki keluarga. Suaminya meninggal 11
tahun yang lalu. Anaknya tinggal di kota lain dan tidak pernah berkunjung. Di
panti jompi ia termasuk lansia yang mandiri bahkan biasa membantu sesama
penghuni panti yang sudah jompo. Saat ini ia sudah mulai latihan berjalan
dengan tongkat.

Discharge planning pada kasus diatas menurut konsep Roy yaitu :


27
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
Penulis berharap kepada pembaca khususnya kami sendiri agar dapat
meningkatkan lagi ilmu dan pengetahuan yang dimiliki di bidang Falsafah Teori
dan Etik khususnya yang terkait dengan Self Efficacy, Stress And Adaptation
Roy.

23
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maqassary Ardi (2013). Pengertian Self Efficacy. Jurnal Hasil Riset.


http://www.e-jurnal.com/2013/10/pengertian-self-efficacy.html. Diakses pada
tanggal 05 Oktober 2017

Al-Maqassary Ardi (2013). Dimensi Self Efficacy. Jurnal Hasil Riset. http://www.e-
jurnal.com/2013/10/dimensi-self-efficacy.html. Diakses pada tanggal 05
Oktober 2017
.
Rustika Made (2012). Efikasi Diri: Tinjauan Teori Albert Bandura. Buletin Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Volume 20, No. 1-2, 2012: 18 –
25 Issn: 0854-7108

Dewi Anggita (2016). Makalah Emosi, Stress dan Adaptasi


https://www.scribd.com/document/353313005/Makalah-Emosi-Stress-
Adaptasi#. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2017

Setyorini Dhiana, dkk. (2004). Teori Adaptasi Roy & Aplikasinya


Dalam Proses Keperawatan. Mm Huda, D Setyorini, V Priscilla…
docshare01.docshare.tips. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2017

Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.

24

Anda mungkin juga menyukai