DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
Puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Self Efficacy, Stress And
Adaptation Roy” makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Falsafah Teori dan
Etik.
Dalam makalah ini penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan dari
beberapa pihak, untuk itu ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Ardi Wahyudi M.Kep selaku dosen pengampu mata kuliah Falsafah
Teori dan Etik.
2. Teman-teman yang selalu membantu dalam pembuatan makalah ini sekaligus
membantu untuk mendapatkan referensi tambahan untuk memperlengkap
makalah yang telah penulis buat.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan. Hal ini disebabkan keterbatasan penulis dalam segi ilmu, pengalaman,
dan referensi penulis dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran yang
konstruktif dari berbagai pihak sangat diharapkan bagi penulis. Harapan penulis
semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah wahana pengetahuan bagi
kita semua.
Penulis
i
ii
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
3
Menurut Stajkovij dan Luthans (2006), self efficacy mengacu pada keyakinan
individu mengenai kemampuan untuk memobilisasi motivasi, sumber daya
kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar mencapai keberhasilan dalam
melaksanakan tugas yang diberikan. Myers (dalam Suseno, 2009) menyatakan
self efficacy berkaitan bagaimana individu merasa mampu untuk melakukan
suatu hal.
Baron dan Byrne (2005) mendefinisikan self efficacy sebagai evaluasi diri
seseorang terhadap kemampuan atau kompetensi untuk menampilkan tugas,
mencapai tujuan dan mengatasi rintangan. Locke (dalam Suseno, 2009)
mengatakan bahwa self efficacy yang tinggi akan menumbuhkan rasa percaya diri
akan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas.
Lebih lanjut Bandura (dalam Rachmahana, 2008) menjelaskan self efficacy
berkaitan dengan keyakinan diri bahwa ia mampu mengontrol situasi sulit dan
yakin mampu mengatasi situasi yang merugikan. Self efficacy berkaitan dengan
keyakinan individu dapat atau tidak dapat melakukan sesuatu bukan pada hal apa
yang akan ia lakukan, self efficacy yang tinggi akan menggiring individu untuk
mengatasi tantangan dan hambatan dalam mencapai tujuan.
4
3. Fungsi Afeksi
Efikasi diri akan memiliki kemampuan koping individu dalam mengatasi
besarnya stress yang individu alami pada situasi yang sulit dan menekan dan
juga dapat mempengaruhi tingkat motivasi individu. Efikasi diri memegang
peranan penting dalam kecemasan, yaitu untuk mengontrol stress yang
terjadi. Individu yang yakin pada dirinya sendiri dapat menggunakan kontrol
pada situasi yang mengancam, tidak akan membangkitkan pola-pola pikiran
yang mengganggu. Sedangkan bagi individu yang tidak dapat mengatur
situasi yang mengacam akan mengalami kecemasan yang tinggi.
4. Fungsi Selektif
Fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan yang akan
diambil oleh individu. Individu menghindari aktivitas dan situasi yang
individu percayai telah melampai batas kemampuan koping dalam dirinya,
namun individu tersebut telah siap melakukan aktivitas yang menantang dan
memilih situasi yang dinilai mampu untuk diatasi. Perilaku yang individu
buat ini akan memperkuat kemampuan, minat dan jaringan sosial yang
mempengaruhi kehidupan dan akhirnya akan mempengaruhi perkembangan
personal.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri dapat
memberikan pengaruh dan fungsi kognitif, fungsi motivasi, fungsi afeksi
serta fungsi selektif pada aktivitas individu.
Self efficacy terbagi atas 2 bentuk yaitu self efficacy tinggi dan self efficacy
rendah, antara lain :
1. Self Efficacy Tinggi
Dalam mengerjakan tugas, individu yang memiliki self efficacy yang
tinggi akan cenderung memilih terlibat langsung, serta cenderung
6
mengerjakan tugas tertentu, sekalipun tugas tersebut adalah tugas yang sulit.
Mereka tidak memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka
hindari. Selain itu, mereka mengembangkan minat instrinsik dan ketertarikan
yang mendalam terhadap suatu aktivitas, mengembangkan tujuan dan
berkomitmen untuk mendapat tujuan tersebut. Mereka juga meningkatkan
usaha dalam mencegah kegagalan yang mungkin timbul. Mereka yang gagal
dalam melaksanakan sesuatu, biasanya cepat mendapatkan kembali self
efficacy mereka setelah mengalami kegagalan tersebut. Individu yang
memiliki self efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai akibat dari
kurangnya usaha yang keras, pengetahuan dan keterampilan.
. Individu yang memiliki self efficacy tinggi memiliki ciri-ciri sebagai
berikut : mampu menangani masalah yang mereka hadapi secara efektif, yakni
terhadap kesuksesan dalam menghadapi masalah atau rintangan, masalah
dipandang sebagai suatu tantangan yang harus dihadapi bukan untuk
dihindari, gigih dalam usahanya menyelesaikan masalah, percaya pada
kemampuan yang dimilikinya, cepat bangkit dari kegagalan yang dihadapinya
serta senang mencari situasi yang baru.
2. Self Efficacy Rendah
Individu yang ragu akan kemamouan mereka (self efficacy yang
rendah) akan menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut dianggap
sebagai ancaman bagi mereka. Individu yang seperti ini memiliki aspirasi
yang rendah serta komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka
pilih atau mereka tetapkan. Ketika menghadapi tugas yang sulit, mereka sibuk
memikirkan kekurangan diri mereka, gangguan yang mereka hadapi dan
semua hasil yang dapat merugikan mereka.
. Individu yang memiliki self efficacy rendah tidak berfikir tentang
bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit. Saat
menghapai tugas yang sulit mereka juga lamban dalam membenahi ataupun
mendapatkan kembali self efficacy mereka ketika menghadapi kegagalan. Di
7
Hal ini berkaitan dengan keteguhan hati terhadap keyakinan individu bahwa ia
akan berhasil dalam menghadapi suatu permasalahan.
dirinya sendiri semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu
maka akan semakin rendah individu menilai kemampuannya. Sebaliknya,
jika individu di hadapkan pada tugas yang mudah maka akan semakin
tinggi individu tersebut menilai kemampuannya.
d. Insentif eksternal
Faktor lain yang dapat mempengaruhi self efficacy individu adalah
insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor
yang dapat meningkatkan self efficacy adalah competent contingens
incentive, yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang
merefleksikan keberhasilan seseorang.
e. Status atau peran individu dalam lingkungan
Individu yang memiliki status tinggi akan memperoleh derajat kontrol
yang lebih besar sehingga self efficacy yang dimilikinya juga tinggi.
f. Informasi tentang kemampuan diri
Individu akan memiliki self efficacy tinggi jika ia memperoleh informasi
positif mengenai dirinya, sementara jika individu memiliki self efficacy
yang rendah, maka ia akan memperoleh informasi negatif mengenai
dirinya.
F. Pengertian Stress
Stress menurut Hans Selye tahun 1950 merupakan respons tubuh
yang bersifat tidak spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya.Berdasar
kan pengertian tersebut dapat dikatakan stress apabila seseorang mengalami
beban atau tugas yang berat tetapi orang tersebut tidak dapatmengatasi tugas
yang dibebankan itu, maka tubuh akan merespons dengantidak mampu terhadap
tugas tersebut, sehingga orang tersebut dapat mengalami stress, begitu juga
sebaliknya.Stress adalah suatu ketidakseimbangan diri/jiwa dan realitas
kehidupan setiap hari yang tidak dapat dihindari perubahan yang
memerlukan penyesuaian, sering dianggap sebagai kejadian atau perubahan
11
negatif yang dapat menimbulkan stress, seperti cidera, sakit atau kematian orang
yang dicintai, bahkan putus cinta. Perubahan positif juga dapat menimbulkan
stress, seperti naik pangkat, perkawinan, dan jatuh cinta.
Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu
organisasi akan mempengaruhi peranan seorang untuk memberikan hasil
akhir yang ingin dicapai bersama dalamsuatu organisasi tersebut.
b. Interpersonal Demands
Mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh seseorang dalam organisasi.
Hubungan komunikasi yang tidak jelas antaraorang satu dengan orang
lainnya akan dapat menyebabkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga
pemenuhan kebutuhandalam organisasi terutama yang berkaitan dengan
kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan pemikiran
antara orang yang satu dengan orang lainnya.
c. Organizational Structure
Mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan
tersebut dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalamstruktur pembuat
keputusan atau peraturan maka akan dapatmempengaruhi kinerja seorang
dalam organisasi.
d. Organizational Leadership
Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan
dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan
group (Robbins, 2001:316) dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang
lebih mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara
langsung antara pemimpin dengan seseorang serta
karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan
pada hal pekerjaan saja.
Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam mengukur
tingginya tingkat stress. Pengertian dari tingkat stress itu sendiri adalah
muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah yang timbul
yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan,
permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan
13
dimana hasilnya diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting
(Robbins,2001:563).
3. Faktor Individu
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga,
masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan
pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada
pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam
pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana
seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup bagi
kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan
seperlunya.Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat
menimbulkan stress terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh
seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stress yang timbul pada tiap-
tiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.
Model adaptasi dari Roy ini dipublikasikan pertama pada tahun 1970 dengan
asumsi dasar model teori ini adalah :
1. Setiap orang selalu menggunakan koping yang bersifat positif maupun
negatif. Kemampuan beradaptasi seseorang dipengaruhi oleh tiga komponen
yaitu ; penyebab utama terjadinya perubahan, terjadinya perubahan dan
pengalaman beradaptasi.
17
2. Individu selalu berada dalam rentang sehat – sakit, yang berhubungan erat
dengan keefektifan koping yang dilakukan untuk memelihara kemampuan
adaptasi. Konsep sehat yang kemukan Roy adalah bagaimana individu mampu
beradaptasi dan berperilaku adaptif terhadap perubahan yang terjadi guna
memenuhi kebutuhannya, seperti kebutuhan fisiologis, konsep diri yang
positif, kebutuhan untuk menampilkan fungsi peran sosial dan
mempertahankan keseimbangan antara kemandirian dan ketergantungan.
Konsep sakit yang dikembangan Roy adalah ketika individu tidak mempu
beradaptasi dengan perubahan yang dialaminya, selanjutnya ia akan
menampilkan respons atau perilaku maladaptif yang menyebabkan kebutuhan
tersebut tidak dapat terpenuhi.
Teori adaptasi menurut Roy merupakan salah satu teori tentang bagaimana
menerapkan asuhan keperawatan yang berfokus pada kemampuan adaptasi klien.
Teori ini termasuk salah satu teori yang mudah diaplikasikan sehingga banyak
digunakan dalam penerapan asuhan keperawatan. Teori Roy dalam
pelaksanaannya menyentuh hampir semua aspek kehidupan baik secara fisik,
konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi.
Empat Elemen utama dari teori Roy adalah : 1) Manusia sebagai penerima
asuhan keperawatan 2) Konsep lingkungan 3) Konsep sehat dan 4) Keperawatan.
Dimana antara keempat elemen tersebut saling mempengaruhi satu sama lain
karena merupakan suatu sistem.
1. Manusia
Manusia merupakan fokus utama yang perlu diperhatikan karena manusialah
yang menjadi penerima asuhan keperawatan, baik itu individu, keluarga,
kelompok maupun masyarakat, yang dipandang sebagai “Holistic Adaptif
18
3) Output (keluaran)
20
Output dari suatu sistem adaptasi adalah perilaku yang dapat diamati,
diukur, atau dapat dikemukakan secara subjektif. Output pada sistem
ini dapat berupa respons adaptif ataupun respons maladaptif. Respon
adaptif dapat meningkatkan integritas individu sedangkan respon
maladaptif tidak dapat mendukung untuk pencapaian tujuan
perawatan individu.
2. Lingkungan
Stimulus yang berasal dari individu dan sekitar individu merupakan elemen
dari lingkungan, menurut Roy. Lingkungan didefinisikan oleh Roy adalah “
Semua kondisi, keadaan dan pengaruh-pengaruh disekitar individu yang
dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku individu dan kelompok
“(Roy and Adrews, 1991 dalam Nursing Theory : 260) . Dalam hal ini Roy
menekankan agar lingkungan dapat didesign untuk meningkatkan
kemampuan adaptasi individu atau meminimalkan resiko yang akan terjadi
pada individu terhadap adanya perubahan.
3. Sehat
Roy mendefinisikan sehat adalah “A State and a process of being and
becoming an integrated and whole person” (Roy and Adrews, 1991 dalam
Nursing Theory : 261). Integritas individu dapat ditunjukkan dengan
kemampuan untuk mempertahankan diri, tumbuh, reproduksi dan “mastery”.
Asuhan keperawatan berdasarkan model Roy bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan individu dengan cara meningkatkan respon adaptifnya.
4. Keperawatan
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tujuan keperawatan menurut Roy
adalah meningkatkan respon adaptif individu dan menurunkan respon
inefektif individu, dalam kondisi sakit maupun sehat. Selain meningkatkan
kesehatan di semua proses kehidupan, keperawatan juga bertujuan untuk
mengantarkan individu meninggal dengan damai. Untuk mencapai tujuan
tersebut, perawat harus dapat mengatur stimulus fokal, kontekstual dan
21
residual yang ada pada individu, dengan lebih menitik beratkan pada stimulus
fokal, yang merupakan stimulus tertinggi.
Empat mode adaptasi ini dapat digunakan sebagai dasar kerangka kerja
untuk pedoman pengkajian, antara lain:
1. Adaptasi Fisiologis
Proses penyesuaian scara alamiah atau secara fisiologis untuk
mempertahankan keseimbangan dari berbagai faktor yang menimbulkan atau
mempengaruhi keadaan menjadi tidak seimbang, contohnya apabila tubuh
mengalami infeksi maka tubuh akan menunjukkan reaksi adaptasi yang
bersifat lokal atau Local Adaptation Syndroma (LAS) seperti kemerahan,
bengkak, nyeri,panas, dan lain lain. Sedangkan proses penyesuaian sistemik
tubuh atau disebut General Adaptation Syndroma (GAS) tubuh akan
mengalami keringat berlebihan, demam, dan lain lain.
2. Adaptasi psikologis
Merupakan proses penyesuaian secara psikologis akibat stressor yang ada,
dengan cara memberikan mekanisme pertahanan diri dengan harapan
melindungi atau bertahan dari serangan serangam atau hal hal yang tidak
menyenangkan.
3. Adaptasi sosial budaya
Merupakan cara untuk mengadakan perubahan dengan melakukan
penyesuaian perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat,
berkumpul dengan masyarakat dalam kegiatan kemasyarakatan.
4. Adaptasi spiritual
Proses penyesuaian diri dengan melakukan perubahan perilaku yang
didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki sesuai dengan
22
agama yang dianutnya. Apabila mengalami stress, maka seseorang akan giat
melakukan ibadah, seperti rajin melakukan ibadah.
Konsep Diri
1) Physical Self Gangguan body image, masalah yang timbul antara lain
disfungsi seksual, kehilangan
25
Fungsi Peran masalah yang timbul antara lain transisi peran, konflik peran
serta gangguan / kehilangan peran
N. Tinjauan Kasus
A. Kesimpulan
B. Saran
Penulis berharap kepada pembaca khususnya kami sendiri agar dapat
meningkatkan lagi ilmu dan pengetahuan yang dimiliki di bidang Falsafah Teori
dan Etik khususnya yang terkait dengan Self Efficacy, Stress And Adaptation
Roy.
23
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maqassary Ardi (2013). Dimensi Self Efficacy. Jurnal Hasil Riset. http://www.e-
jurnal.com/2013/10/dimensi-self-efficacy.html. Diakses pada tanggal 05
Oktober 2017
.
Rustika Made (2012). Efikasi Diri: Tinjauan Teori Albert Bandura. Buletin Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Volume 20, No. 1-2, 2012: 18 –
25 Issn: 0854-7108
24