Anda di halaman 1dari 4

Abdullah bin Umar

Abdullah bin Umar sangat bergairah ketika panggilan jihad berkumandang. Namun sungguh
suatu keanehan, ia juga anti kekerasan, terlebih ketika yang bertikai adalah sesama golongan
Islam.
Kendati berulangkali mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah,
namun tawaran itu ditolaknya. Hasan ra meriwayatkan, tatkala Utsman bin Affan terbunuh,
sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibnu
Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbaiat kepada
anda!"
Namun Ibnu Umar menyahut, "Demi Allah, seandainya bisa, janganlah ada darah walau setetes
pun tertumpah disebabkan aku."
Massa di luar mengancam, "Anda harus keluar, atau kalau tidak, kami bunuh di tempat tidurmu!"
Diancam begitu Ibnu Umar tak tergerak. Massa pun bubar. Sampai suatu ketika, datang lagi ke
sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibnu Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih oleh
seluruh kaum Muslimin tanpa paksaan. Jika baiat dipaksakan sebagian orang atas sebagian yang
lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak.
Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa firqah
(kelompok), bahkan saling mengangkat senjata. Ada yang kesal lantas menghardik Ibnu Umar.
"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap manusia kecuali kamu," kata mereka.
"Kenapa? Demi Allah, aku tidak pernah menumpahkan darah mereka tidak pula berpisah dengan
jamaah mereka, apalagi memecah-mecah persatuan mereka?" jawab Ibnu Umar heran.
"Seandainya kau mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang."
"Aku tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak."
Ketika Muawiyah II, putra Yazid bin Muawiyah, menduduki jabatan khalifah, datang Marwan
menemui Ibnu Umar. "Ulurkan tanganmu agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan
putra dari pemimpinnya."
"Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang bagian timur?"
"Kita gempur mereka sampai mau berbaiat."
"Demi Allah, aku tidak sudi dalam umurku yang tujuh puluh tahun ini, ada seorang manusia
yang terbunuh disebabkan olehku," kata Ibnu Umar.
Penolakan Ibnu Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan
Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan, "Siapa yang berkata, 'marilah shalat',
akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'marilah menuju kebahagiaan' akan kuturuti pula. Tetapi
siapa yang mengatakan 'marilah membunuh saudara kita seagama dan merampas hartanya', maka
saya katakan, tidak!"
Hal ini bukan karena Ibnu Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat sedih jika
umat Islam terpecah dalam beberapa golongan. Ia tak suka berpihak pada salah satunya.
Meskipun pada akhirnya ia pernah berkata, "Tiada sesuatu pun yang kusesalkan karena tidak
kuperoleh, kecuali satu hal, aku amat menyesal tidak mendampingi Ali memerangi golongan
pendurhaka."
Seseorang menggugatnya, kenapa ia tidak membela Ali dan pengikutnya jika ia merasa Ali di
pihak yang benar.
Ibnu Umar menjawab, "Karena Allah telah mengharamkan atasku menumpahkan darah
Muslim."
Nama : Karina Auliani
Kelas : X IPS D

Abdullah bin Umar

Abdullah bin Umar was very excited when the call for jihad reverberated. But it is indeed an
oddity, he is also anti-violence, especially when those in conflict are fellow Islamic groups.
Although he repeatedly received offers from various political groups to become caliphs, he
refused. Hasan reported, when Uthman ibn Affan was killed, a group of Muslims forced him to
become a caliph. They shouted in front of Ibn Umar's house, "You are a leader, come out so that
we ask people to pledge allegiance to you!"
But Ibn Umar replied, "By Allah, if possible, there should be no blood even if a drop spilled on
me."
The masses outside threatened, "You have to get out, or if you don't, we kill in your bed!"
Threatened as soon as Ibnu Umar was not moved. The crowd dispersed. Until one day, it came
again to the number of times to become a caliph. Ibn Umar proposed a condition, that is,
provided he was elected by all Muslims without coercion. If the oath is forced by some people on
the other part under the threat of the sword, he will refuse.
At that time, surely this condition would not be fulfilled. They have been divided into several
firqah (groups), even taking up arms with each other. Some were upset and rebuked Ibn Umar.
"Nobody is worse off than humans," they said.
"Why? For God's sake, I never shed their blood nor parted with their congregation, let alone
break up their unity?" Ibn Umar answered in surprise.
"If you want to be a caliph, nobody will oppose."
"I don't like it when in this case someone says agree, while the others don't."
When Muawiyah II, son of Yazid bin Muawiyah, occupied the position of caliph, Marwan came
to meet Ibn Umar. "Extend your hand so that we will pledge allegiance. You are the Islamic
leader and the son of the leader."
"So what do we do with the eastern people?"
"We fight them until they want to take a pledge."
"By Allah, I am not willing in my seventy years, there is a human being killed caused by me,"
said Ibn Umar.
Ibn Umar's refusal was because he wanted to be neutral amid the confusion of the followers of
Ali and Muawiyah. He expressed his attitude with the statement, "Who said, 'let's pray," I will
fulfill. Who says' go to happiness' I will obey. But who says' let's kill our brothers and sisters and
take away their wealth', then I say, not!"
This is not because Ibn Umar is weak, but because he is very careful, and very sad if Muslims
are divided into several groups. He doesn't like to side with one of them.
Although in the end he once said, "There is nothing I regret because I did not get it, except for
one thing, I am very sorry that I did not accompany Ali to fight against the lawless group."
Someone sued, why he did not defend Ali and his followers if he felt Ali was on the right side.
Ibn Umar replied, "Because Allah has forbidden me to shed Muslim blood."

Anda mungkin juga menyukai