Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI KONJUNGTIVA DAN KORNEA


II.1.1 Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan

dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel

kornea dilimbus. Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara

bola mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat

ke bola mata baik di bagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut

dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari

limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut

membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang

bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada

bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan

karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian

lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.1

Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian :

1. Konjungtiva Palpebra

Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior

kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi

konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak

7
8

mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan

orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga

konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal

konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan

sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari

konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat

vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung

perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan

horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional,

konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.1

1. Konjungtiva Bulbi

Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.

Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen

sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat

longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata

bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler

rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva

bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.1

3. Konjungtiva Forniks

Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur

sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di

bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus.
9

Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak

bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.1

Gambar 2.1 Konjungtiva1


Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri

palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak

vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-

jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva

tersusun di dalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan

pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima

persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini

memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.1

Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel

konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan

basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat

persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel
10

skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval

yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi

dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.1

Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial

dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2

lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung

jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam

folikel tanpa sentrum germinativum.1

Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan.

Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan

folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari

jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan

gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva.1

Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal

aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar

lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di

forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus

atas.1

II.1.2 Anatomi dan Fisiologi Kornea


Kornea adalah selaput bening mata, yang tembus cahaya, merupakan lapis
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5 lapis :
1. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling

tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng. Pada sel basal
11

sering terlihat mitosis sel. Sel basal menghasilkan membran basal yang

melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi

rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.1

2. Membran Bowmann

Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan

kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan

stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.1

3. Stroma

Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu

dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di

bagian perifer serat kolagen ini bercabang.1

4. Membran descement

Merupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma

kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat

sangat elastik dan berkembang seumur hidup, mempunyai tebal 40 μm.1

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40

μm. Endotel melekat pada membran descementmelalui hemidesmosom dan

zonula okluden.1
12

Gambar 2.2 Lapisan Kornea1

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari

saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan

suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman

melepaskan selubung Schwannya. Kornea merupakan bagian mata yang

tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat

dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar

masuk kornea dilakukan oleh kornea.1

II.2 PTERIGIUM

II.2.1 Definisi dan Epidemiologi

Pterygium (dari bahasa Yunani, pterygo, "sayap kecil") adalah suatu

pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif.2

Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun

temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea, menghancurkan lapisan


13

superfisial stroma dan membran Bowman saat menginvasi kornea.2,3 Pterygium

berkepala dua (double head pterygium), yaitu pterigium nasal dan temporal pada

mata yang sama.4 Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral

atau di daerah kornea.2

Pterygium merupakan pertumbuhan jinak konjungtiva dan non-kanker yang

menutupi sklera. Pterygium dapat secara signifikan mengubah fungsi visual pada

kasus lanjut dan terjadi inflamasi, yang menyebabkan kemerahan dan iritasi di

daerah tersebut. Selain itu, pterygium memiliki potensi untuk berkembang

menjadi beberapa kanker mata, termasuk neoplasia skuamosa permukaan okuler.5

Gambar 2.3 Pterigium2

Pterygium sangat umum di populasi yang menghuni daerah dekat

khatulistiwa, yang dikenal sebagai “zona pterygium”. Diperkirakan sekitar 22%

populasi umum memiliki pterygium di beberapa negara di wilayah ini.

Pengamatan epidemiologis ini menunjukkan bahwa ada pengaruh lingkungan

yang kuat pada perkembangan pterygium. Pengaruh lingkungan dikonfirmasi oleh

tingkat prevalensi pterygium yang lebih rendah (kurang dari 2%) di negara-negara
14

di luar zona pterigium. Radiasi ultraviolet (UVR) dari matahari dianggap sebagai

faktor lingkungan utama dalam perkembangan pterigium.5

Prevalensi pterygium dilaporkan 3% di Australia, 23% pada populasi

berkulit hitam di Amerika Serikat, 15 % orang Tibet di Cina, 18% orang

Mongolia di Cina, 30% di Jepang dan 7% di Cina, Singapura dan India. Dalam

sebuah studi berbasis populasi pada suatu daerah di sentral India, prevalensi

pterygium meningkat dari 6,7 ± 0,8% pada kelompok usia dari 30-39 tahun

menjadi 25,3 ± 2,1% pada kelompok usia 70-79 tahun. Penelitian mata di

Barbados menggambarkan kejadian sembilan tahun pterygium menjadi 11,6%

(95% CI, 10.1-13.1). Penelitian mata di Beijing menggambarkan kejadian

pterygium 10 tahun pada populasi orang dewasa Tiongkok adalah 4,9%, dan lima

kejadian kumulatif tahunan pada populasi Bai Cina di komunitas pedesaan adalah

6,8% (95% CI, 5,2-8,4).6

Prevalensi pterygium di Indonesia adalah sebesar 8,3% dengan prevalensi

tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara

Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium terendah

yaitu 3,7%, diikuti oleh Banten 3,9%.7

II.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Pterygium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya

matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan

diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.3,5,6

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium.

Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya.
15

Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen

suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa

adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta

akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada

sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut

termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular,

seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal

atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.3,5,6

Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan

iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium.

Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar

ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan

orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang

sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan

tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial dan

termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter).3,5,6

Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab

dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun

kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area

tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja

seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke

area nasal tersebut.3,5,6


16

Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang

menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan

setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi,

antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis

ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan

yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan

degeneratif.3,5,6

1. Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam

perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya

sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada

orang-orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.3,5,6

2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen,

bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan

mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis,

transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya

peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan

patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan

fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman

akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.3,5,6


17

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :

1. Usia

Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui

pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.3,6

2. Pekerjaan

Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan

sinar UV. 3,6

3. Tempat tinggal

Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi

geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang

dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa

memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. 3,5,6

4. Herediter

Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara

autosomal dominan.3,5,6

5. Infeksi

Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab

pterygium.3,5,6

6. Faktor risiko lainnya

Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel

tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

pterygium.3,5,6
18

II.2.3 Patofisiologi

Terjadinya pterigium berhubungan erat dengan paparan sinar ultraviolet,

kekeringan, inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor iritan lainnya. UV-

B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor

suppressor gene pada stem sel di basal limbus.5

Pelepasan yang berlebih dari sitokin seperti transforming growth factor beta

(TGF-β) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperan penting

dalam peningkatan regulasi kolagen, migrasi sel angiogenesis. Selanjutnya terjadi

perubahan patologi yang terdiri dari degenerasi kolagen elastoid dan adanya

jaringan fibrovaskular supepithelial. Pada kornea nampak kerusakan pada

membrane bowman oleh karena bertumbuhnya jaringan fibrovaskuler, yang sering

kali disertai dengan adanya inflamasi ringan. Epitel bisa normal, tebal atu tipis

dan kadang-kadang terjadi dysplasia.5

II.2.4 Klasifikasi

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,

progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:

1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 :

- Tipe I

Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi

kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stocker’s line atau

deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi

sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang

memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.1


19

- Tipe II

Disebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa

keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler

yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau

rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan

astigmat.1

- Tipe III

Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan

bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe

ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis

visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan

dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya

menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.1

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

- Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.

- Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil,

tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

- Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi

pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4

mm).1

- Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan.
20

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:

- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di

depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk

membran, tetapi tidak pernah hilang.1

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus

diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:

- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat

- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.1

Double head pterygium (Pterigium Duplex) adalah lesi yang biasanya

dijumpai pada sisi nasal dan temporal pada satu mata pasien.3,4

a b

c d

Gambar 2.4 Stadium pterigium : a. Stadium 1, b. Stadium 2, c. Stadium 3, d. Stadium 4.

II.2.5 Gambaran Klinis

Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan

sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering

berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul
21

astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat

menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.3,6

Gambar 2.5 Bagian-bagian pterigium2

Pterigium memiliki tiga bagian :

- Bagian kepala atau cap

Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri

atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada

kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian

anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering.2

- Bagain whitish

Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang

menginvasi kornea seperti halnya kepala.2

- Bagian badan atau ekor

Merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan area

vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini

menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi

pembedahan.2
22

II.2.6 Diagnosis

1. Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak

merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan

berupa gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan adanya diplopia,

biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan

khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik, keluhan subjektif dapat

berupa rasa panas, gatal, dan ada yang mengganjal.1,3,6

2. Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada

permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan

tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat.1,3,6

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah

topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme

ireguler yang disebabkan oleh pterigium.3,6

II.2.7 Penatalaksanaan

1. Konservatif

Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakan konservatif

seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar

ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata

buatan/topical lubricating drops.2


23

2. Tindakan operatif

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:

Menurut Ziegler :1,6

a. Mengganggu visus

b. Mengganggu pergerakan bola mata

c. Berkembang progresif

d. Mendahului suatu operasi intraokuler

e. Kosmetik

Menurut Guilermo Pico :1,6

a. Progresif, resiko rekurensi > luas

b. Mengganggu visus

c. Mengganggu pergerakan bola mata

d. Masalah kosmetik

e. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone

f. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat

g. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik.

Pembedahan adalah prinsip tatalaksana pterigium. Komplikasi utama dari

operasi pterigium adalah kekambuhan yang didefinisikan oleh pertumbuhan

kembali jaringan fibrovaskular melintasi limbus dan ke kornea. Tidak ada

keseragaman pendapat mengenai prosedur eksisi pterigium yang ideal terkait

dengan tingkat kekambuhan terendah.6Berikut beberapa teknik operasi pterigium :


24

- Teknik Bare Sclera

Teknik ini banyak digunakan di negara berkembang karena kemudahan dan

kecepatan operasi, namun dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang tinggi.2

Banyak terapi tambahan yang dikombinasikan dengan teknik ini untuk

pencegahan kekambuhan, diantaranya kombinasi bare sclera dengan radiasi

strontium 90 sekarang ditinggalkan karena mengakibatkan nekrosis sklera.

Penggunaan Mitomycin C selama operasi pterygium mengurangi tingkat

kekambuhan, tetapi memiliki komplikasi penglihatan serius yang mengancam

misalnya scleritis, glaukoma sekunder berat, edema kornea, perforasi, iritis, nyeri

yang melumpuhkan, dan fotofobia.8

- Graft membran amnion

Graft membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan

pterigium. Meskipun mekanisme pasti yang menguntungkan dari graft membran

amnion belum diidentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyarankan bahwa itu

adalah membran dasar yang mengandung faktor-faktor penting untuk

menghambat peradangan dan fibrosis serta membantu epitelisasi. Akan tetapi,

tingkat kekambuhan sangat bervariasi di antara penelitian yang ada, di suatu

tempat antara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygium primer dan setinggi

37,5 persen untuk pterygium berulang. Namun, keuntungan yang berbeda dari

teknik ini dibandingkan autograft konjungtiva, adalah tidak menggunakan

konjungtiva bulbar. Membran amnion biasanya ditempatkan di atas bare sclera,

dengan membran dasar menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.

Beberapa penelitian baru-baru ini menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk


25

membantu graft membran amnion. Fibrin juga telah digunakan dalam autograf

konjungtiva.2

- Teknik PERFECT

Bedah P.E.R.F.E.C.T (Pterygium Extended Removal Followed by Extended

Transjunctival Transplant) yang diperkenalkan oleh Dr. Hirst memiliki tingkat

kekambuhan 0,5%. Keterbatasan utama adalah memakan waktu dan menantang

secara teknis.8

- Teknik autograft konjungtiva

Saat ini, prosedur yang paling banyak digunakan adalah eksisi pterigium

dengan autograft konjungtiva. Konjungtiva bulbar superior telah digunakan secara

luas sejak awal 1980-an dan dikaitkan dengan tingkat kekambuhan sekitar 2%

hingga 12% bersama dengan beberapa komplikasi.6

Langkah-langkah bedah untuk eksisi pterigium dengan autograft

konjungtiva adalah sebagai berikut:

- Anestesi

Anestesi peribulbar lebih disukai daripada topikal atau subkonjungtiva untuk

menghindari rasa sakit selama operasi dan kelancaran prosedur operasi.3,6

- Eksisi pterigium

Tubuh pterigium dieksisi secara hati-hati dengan gunting konjungtiva dan

kepala pterigium dapat diangkat dari kornea dengan menggunakan bilah pisau

Bard Parker 15 derajat. Jaringan tenon dan subtenon harus dihilangkan dengan

hati-hati sebanyak mungkin.3,6


26

- Persiapan autograft konjungtiva

Defek konjungtiva yang dibuat dengan eksisi pterigium harus diukur dengan

konjungtiva bulbar superior yang ditandai dengan penanda. Selalu lebih baik

menggunakan penanda untuk membuat ukuran graft yang persis sama. Setelah

penandaan, suntikan saline normal subconjuctival, sekitar 2 ml, disuntikkan pada

konjungtiva bulbar superior untuk membuat balon konjungtiva. Lapisan tipis graft

konjungtiva, tanpa tenon dan jaringan subtenon disiapkan.3,6

- Graft konjungtiva

Graft konjungtiva tipis ditempatkan dengan orientasi yang benar pada area

defek konjungtiva yang dibuat oleh eksisi pterigium. Marker membantu

mengidentifikasi orientasi graft yang benar. Graft konjungtiva dapat dijahit

dengan jahitan Vicryl 8'0 atau 10'0 Nylon atau dapat dilem dengan fibrin. Graft

konjungtiva dengan fibrin adalah prosedur yang lebih cepat dan keluhan nyeri dari

pasien lebih sedikit pada periode pasca operasi.3,6

- Manajemen pasca operasi

Antibiotik dan steroid diberikan dalam dosis yang diturunkan perlahan selama

satu bulan.3,6

II.2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding pterigium adalah pseudopterigium dan pinguekula.

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang

cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea,

sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan

sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterigium


27

dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq.

Sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9.1,6

Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan

pada orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar

matahari, debu, dan angin panas. Yang membedakan pterigium dengan

pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastic

kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang.1,6

a b

Gambar 2.6. a. Pseudopterigium, b. Pinguekula1

II.2.9 Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah :3,6

- Distorsi dan penglihatan berkurang

- Mata merah

- Iritasi

- Scar (jaringan parut) kronis pada konjungtiva dan kornea

- Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat

menyebabkan terjadinya diplopia.


28

Komplikasi post eksisi pterygium, adalah:3,6

- Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea, conjungtiva graft

longgar dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous

hemorrhage atau retinal detachment.

- Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia atau melting

pada sclera dan kornea.

- Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah rekuren pterygium

post operasi.

II.2.10 Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan

pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan

pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva

autograft atau transplantasi membran amnion.3.6

Anda mungkin juga menyukai

  • Jurnal FG RSU
    Jurnal FG RSU
    Dokumen11 halaman
    Jurnal FG RSU
    Ulen Mahulette
    Belum ada peringkat
  • Fournier Gangren: Referat
    Fournier Gangren: Referat
    Dokumen26 halaman
    Fournier Gangren: Referat
    Ulen Mahulette
    Belum ada peringkat
  • Analisis Gas Darah
    Analisis Gas Darah
    Dokumen26 halaman
    Analisis Gas Darah
    Ulen Mahulette
    Belum ada peringkat
  • Souk
    Souk
    Dokumen9 halaman
    Souk
    Ulen Mahulette
    Belum ada peringkat
  • HJKH
    HJKH
    Dokumen15 halaman
    HJKH
    Ulen Mahulette
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen55 halaman
    Referat
    Ulen Mahulette
    Belum ada peringkat
  • Ilm 2
    Ilm 2
    Dokumen25 halaman
    Ilm 2
    Ulen Mahulette
    Belum ada peringkat