Anda di halaman 1dari 6

NEFROPATI URAT

Pendahuluan

Hiperurisemia adalah keadaan peningkatan kadar asam urat darah di atas normal. Secara
biokimiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan asam urat di serum yang melewati ambang
batasnya. Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu kadar asam urat di atas standar deviasi hasil
laboratorium pada populasi normal. Namun secara pragmatis berdasarkan berbagai studi
epidemologi dapat digunakan patokan kadar asam urat > 7 mg/dL pada laki-laki, dan > 6 mg/dL
pada perempuan. Keadaan hiperurisemia akan berisiko timbulnya arthritis gout, nefropati urat,
atau batu ginjal. Hiperurisemia bisa terjadi akibat peningkatan metabolisme asam urat,
penurunan ekskresi asam urat urin, atau gabungan keduanya. Sedangkan gout merupakan
kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan,
akibat gangguan metabolisme berupa hiperurisemia. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi
artritis gout, akumulasi kristal di jaringan yang merusak tulang (tofus), batu urat, dan nefropati
urat.1,2,3

Prevalensi hiperurisemia kira-kira 2,6 – 47,2% yang bervariasi pada berbagai populasi.
Sedangkan prevalensi gout bervariasi antara 1–15,3%. Pada suatu studi didapatkan insidens gout
4,9% pada kadar asam urat darah > 9 mg/dL, 0,5% pada kadar 7 – 8,9 mg/dL, dan 0,1% pada
kadar <7 mg/dL. Prevalensi gout di Jawa Tengah bagian Utara sebesar 1,7% di daerah rural dan
4,8% di daerah urban.1,4

Hiperurisemia berhubungan dengan hipertensi, kelainan vaskular dan gagal ginjal,


namun mekanisme cedera ginjal langsung akibat hiperurisemia masih kontroversial.
Hiperurisemia merupakan faktor independen kelainan ginjal pada nefropati IgA, namun bukan
prediktor penurunan fungsi ginjal menurut studi MDRD. Jika hiperurisemia merupakan faktor
independen gagal ginjal, tentunya usaha untuk menurunkan kadar plasma asam urat akan
menurunkan prevalensi gagal ginjal.

Definisi Nefropati Urat

Nefropati urat adalah penyakit ginjal yang disebabkan oleh asam urat atau penumpukan
kristal urat, terbagi menjadi 3 jenis, yaitu nefropati asam urat akut, nefropati urat kronik dan
nefrolitiasis asam urat.6,7,8

Nefropati urat kronik adalah suatu bentuk penyakit ginjal kronik yang diinduksi oleh
penumpukan monosodium urat pada interstitial medula, yang menyebabkan respons inflamasi
kronik, serupa dengan yang terjadi pada pembentukan mikrotofus pada bagian tubuh lain,
yang berpotensi menyebabkan fibrosis interstitial dan gagal ginjal kronik.8
Metabolisme Asam Urat1-3,5,7

Asam urat adalah hasil akhir metabolisme purin. Pada keadaan normal, 90% metabolit
nukleotid (adenin, guanin dan hipoxantin) dipakai kembali untuk membentuk AMP, IMP dan
GMP oleh adenine phosphoribosyltransferase (APRT) dan hypoxanthin guanine
phosphoribosyltransferase (HGPRT ). Hanya 10% sisanya diubah menjadi xantin kemudian
menjadi asam urat oleh xanthine oxidase (XO). Kelarutan urat yang rendah, terutama asam urat
adalah alasan mengapa hiperurisemia menimbulkan gout. Eksresi asam urat oleh ginjal mencapai
10% jumlah yang difiltrasi, sehingga pada hasil akhir urin kadarnya 10 –20 x kadar plasma.
Hiperurisemia terjadi pada 10% populasi di negara maju, 1 di antara 20 menderita gout (laki-laki
lebih banyak dari pada perempuan), 90% pasien gout adalah gout primer dengan predisposisi
genetik. Hiperurisemia primer terjadi karena ekskresi ginjal baru dapat meningkat sesuai dengan
produksinya jika kadarnya dalam plasma dan filtrat glomerularnya meningkat (hiperurise- mia
asimptomatik). Jika terjadi peningkatan asupan purin, terjadi penumpukan kristal monosodium
urat. Peningkatan kadar asam urat dalam urin menyebabkan terjadinya batu saluran kemih.
Alkohol, obesitas dan beberapa obat seperti diuretik meningkatkan metabolisme adenin
nukleotida sehingga memudahkan terjadinya penumpukan kristal. Pada gout kronik, serangan
berulang menimbulkan kerusakan sendi, serta penumpukan urat (tofus) pada daun telinga dan
ginjal (nefropati urat).

Penanganan urat oleh ginjal 8

Kovarsky; Stone dan Simmonds menyimpulkan bahwa pengikatan urat in vivo sangat
rendah, antara 4 – 5% saja dan urat tidak difiltrasi di glomerulus. Di tubulus, sekitar 90%
urat direabsorbsi, sehingga FEur (Fractional Excretion of uric acid) mencapai 10% (Wyngaarden
dan Kelley; Wortman). Reabsorbsi pada laki-laki lebih tinggi (92%) dibandingkan perempuan
(88%), lebih rendah pada anak-anak (70 – 85%). Hal ini menjelaskan lebih tingginya kadar asam
urat plasma pada laki-laki dan jarangnya gout klasik pada perempuan dan anak-anak. Ras juga
merupakan faktor yang mempengaruhi kadar asam urat plasma. Laki-laki dan perempuan
Polinesia memiliki kadar asam urat plasma lebih tinggi dibandingkan Kaukasia.

Banyak faktor yang memengaruhi penanganan urat atau asam urat oleh ginjal dan
memengaruhi kadar urat plasma. Pada beberapa kasus, hal ini nampaknya efek langsung
terhadap transporter urat, namun pada kasus lainnya merupakan efek sekunder akibat kontraksi
atau ekspansi volume plasma atau efek terhadap hemodinamik ginjal. Beberapa obat memiliki
efek bifasik terhadap ekskresi urat, pada dosis rendah meningkatkan retensi sedangkan pada
dosis tinggi bersifat urikosurik. Obat tersebut antara lain salisilat, fenilbutazon dan inhibitor siklo-
oksigenase lainnya, pirazinamid, probenesid, dan nikotinat.
Beberapa agen fisiologis dan patologis dapat menurunkan ekskresi urat dan menyebabkan
peningkatan kadar urat plasma, yang juga dapat mencetuskan serangan akut gout pada individu
yang kadar urat plasma sudah di batas atas karena penurunan proporsi ekskresi urat terhadap
LFG. Kontraksi volume plasma karena asupan yang tak adekuat, kehilangan cairan karena
diare, muntah atau diuretik dapat meningkatkan reabsorbsi urat bersama senyawa lain di tubulus
proksimal seperti Na+ and HCO –. Gout pada pasien yang mendapatkan pengobatan kombinasi
obat anti hipertensi seperti diuretik mencapai 50% pasien baru yang berobat untuk gout.
Vasokonstriktor ginjal seperti adrenalin, noradrenalin, angiotensin dan beberapa inhibitor siklo-
oksigenase menurunkan klirens urat. Siklosporin juga merupakan vasokonstriktor kuat dan
3
menjadi salah satu faktor penyebab peningkatan insidens hiperurisemia dan gout pada resipien
transplantasi. Senyawa fisiologik yang menurunkan ekskresi urat adalah asam organik seperti
laktat, asetosetat dan β-hidroksi butirat; yang produksinya meningkat pada status epileptikus
dan konsumsi alkohol berlebihan bersamaan dengan asupan makanan tak adekuat. Intoksikasi
timbal kronik menyebabkan penurunan ekskresi urat lewat mekanisme yang belum dapat
ditentukan. Obat-obat pirazinamid dan etambutol serta obat urikosurik benzbromaron
menyebabkan peningkatan kadar urat plasma.

Peningkatan volume plasma menyebabkan peningkatan ekskresi urat sebagai akibat


sekresi ADH (antidiuretic hormone) yang tak sesuai, yang terjadi pada pasien dengan keganasan,
awal kehamilan. Obat urikosurik seperti probenesid, sulfinpirazon dan benzbromaron
menurunkan kadar urat plasma dengan meningkatkan ekskresi asam urat. Hal tersebut dapat
menimbulkan gagal ginjal akut karena presipitasi asam urat pada tubulus.

Penyebab Hiperurisemia dan Gout1-3

Penyebab hiperurisemia dibedakan menjadi penyebab primer pada sebagian besar kasus,
serta penyebab sekunder dan idiopatik. Penyebab primer berarti tidak ada penyakit atau
penyebab lain, berbeda dengan kelompok sekunder yang didapatkan penyebab lain, baik
genetik maupun metabolik. Pada 99% kasus gout dan hiperurisemia dengan penyebab primer,
ditemukan kelainan molekuler yang tidak jelas meskipun diketahui adanya mekanisme
penurunan sekresi pada 80-90% dan produksi berlebihan pada 10-20% kasus. Sedangkan pada
kelompok hiperurisemia dan gout sekunder, terjadi melalui mekanisme produksi berlebihan,
seperti gangguan metabolisme purin pada defisiensi enzim glucose-6- phosphatase atau fructose-
1-phospate aldolase. Hal yang sama juga terjadi pada keadaan infark miokard, status epileptikus,
penyakit hemolisis kronis, polisitemia, psoriasis, keganasan mieloproliferatif dan
limfoproliferatif; yang meningkatkan pemecahan ATP dan asam nukleat dari inti sel.
Mekanisme penurunan sekresi dapat ditemukan pada keadaan penyakit ginjal kronik, dehidrasi,
diabetes insipidus, alkoholisme, myxodema, hiperparatiroid, ketoasidosis dan keracunan
berilium. Selain itu juga dapat terjadi pada pemakaian obat seperti diuretik, salisilat dosis
rendah, pirazinamid, etambutol dan siklosporin. Hiperurisemia diketahui juga berkaitan
dengan berbagai keadaan gangguan metabolik seperti diabetes melitus, hipertrigliseridemia,
obesitas, sindrom metabolik, dan hipotiroidisme. Sebaliknya hiperurisemia diduga menjadi
faktor risiko hipertensi, aterosklerosis dan penyakit jantung koroner.

Penatalaksanaan

Seperti penatalaksanaan penurunan asam urat pada gout lainnya, harus dipertimbangkan
kemungkinan interaksi obat dan efek samping serta kondisi komorbid. Gout bukanlah suatu
penyakit yang selalu progresif. Kadar asam urat kadang kembali normal tanpa penggunaan
obat antihiperurisemik jika pasien berhenti mengonsumsi alkohol, jika obat antihipertensi
diganti dengan diuretik tiazid, atau pasien obesitas menurunkan berat badan. Diet rendah purin
kadang tidak dapat dilaksanakan dan hanya dapat sedikit menurunkan kadar asam urat. Suatu
studi menunjukkan bahwa diet rendah kalori yang dapat meningkatkan sensitivitas insulin
berhasil menurunkan berat badan 7,7 kg dan hiperurisemia sebesar 17%.9

Berdasarkan studi-studi di atas, obat urikosurik seperti benzbromaron dan benziodaron


serta anti xantin oksidase (XO) seperti alopurinol dapat digunakan untuk mencegah nefropati urat
kronik. Penggunaan alopurinol untuk menurunkan kadar asam urat ternyata mencegah
gangguan ginjal, proteinuria, hipertensi, kelainan vaskular, dan hipertrofi ginjal; diperkirakan
lewat kemampuannya menurunkan kadar asam urat serum. Benziodaron, obat urikosurik,
kurang efektif menurunkan asam urat dan hanya sebagian menurunkan ekspresi renin.

Namun, benziodaron lebih efektif mencegah perubahan glomerular (proteinuria dan


glomerulosklerosis) dibandingkan perubahan vaskular dan interstitial. Hal ini mungkin karena
perubahan glomerular berhubungan dengan kadar asam urat, atau karena cedera interstitial tidak
dicegah secara efektif akibat efek urikosurik benziodaron.10

Dua faktor harus diper timbangk an pada tata laksana nefropati urat k ronik. Faktor
per tama adalah metabolit aktif alopurinol, yaitu oksipurinol, mengalami perjalanan yang
sama dengan asam urat, yang direabsorbsi, secara aktif di tubulus. Pada pasien dengan fungsi
ginjal normal, klirensnya dipengaruhi semua hal yang mempengaruhi klirens urat, terutama
kontraksi volume termasuk ak ibat diuretik, akan meningkatkan konsentrasi plasma
oksipurinol dan memperpanjang waktu paruhnya. Oleh karena itu, pada pasien gagal ginjal,
dosis alopurinol harus diturunk an menjadi 100 mg perhari atau bahkan 100 mg seminggu 3 kali.

Faktor kedua adalah klirens urat harus diperhitungkan independen terhadap LFG.
Oksipurinol direabsorpsi secara aktif oleh ginjal, sehingga pada semua derajat gangguan ginjal,
retensi oksipurinol terjadi lebih besar pada pasien dengan FEur yang menurun. FEur menurun
lebih besar dengan penggunaan diuretik, seperti benzbromaron atau azapropazon, sedangkan
furosemid malah menurunkan kadar urat plasma. Kedua faktor tersebut menjadi pertimbangan
bahwa alopurinol tidak selalu obat pilihan pada pasien gagal ginjal. Obat urikosurik, seperti
probenesid, malah mengganggu transpor tubular diuretik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. Dalam: Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Rudy
S, Sergen JS, (eds.) Kelley’s Textbook of Rheumatology. 8th ed. Philadelphia:Saunders;
2009.hal.1481– 506.
2. Edward NL. Gout: Clinical features. Dalam: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH
(eds.) 3rd ed. New York:Springer; 2008.hal.241 – 9.
3. Putra TR. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI;2006.hal.1213 – 7.
4. Poor G, Mituszova M. History, Classification and epidemology of crystal related
artropathies. Dalam: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH,
Editors. Rheumatology. 3rd ed. Edinburg: Elsevier; 2003.hal.1893 – 901
5. Darmawan J, Rasker JJ, Nuralim H. The Effect of Control and Self-Medication of Chronic
Gout in a Developing Country. Outcome After 10 Years. J Rheumatol 2003;30:hal. 2437
– 43.
6. Orson W. Moe. Posing the Question Again: Does Chronic Uric Acid Nephropathy Exist?
J Am Soc Nephrol 2010;21: 395 – 7.
7. Obermayr RP, Temml C, Gutjahr G, Knechtelsdorfer M, Oberbauer R, Klauser-Braun
R. Elevated uric acid increases the risk for kidney disease. J Am Soc Nephrol 2008;19:
2407 – 13.
8. Cameron JS, Moro F, Simmonds HA. Uric acid and the kidney. Dalam: Davison AM,
Cameron JS, Grunfeld JP, Kerr DNS, Ritz E, et.al. Oxford Textbook of Clinical
Nephrology. 2nd ed.: Oxford University Press, 1998; hal. 1267 – 79.
9. Terkeltaub RA, Gout. N Engl J Med 2003;349: 1647 – 55.a
10. Iseki K, Oshiro S, Tozawa M, Iseki C, Ikemiya Y, Takishita S. Significance of
hyperuricemia on the early detection of renal failure in a cohort of screened subjects.
Hypertens Res 2001;24: 691– 7.

Anda mungkin juga menyukai