dari tanah itu aku belajar mencintai apa pun yang akan dibakar …
sekolah dibakar, anakku. sekolah dibakar. tapi yang
terbakar adalah sungai-sungai cut nyak dien di jantungku, penuh ombak dan batu, mengangkat asap gelap ke relung langit-langit ibu. aku belajar membaca api di hati sungai, belajar menciduk minyak di bangku sekolah-api dan minyak yang membuat tanahmu lebih mendidih daripada tangisku. akankah kutemukan tangismu di arang-arang bangku, ketika malam berombak dan gelap sudah larut? sekolah dibakar, anakku. sekolah dibakar. tapi ada yang lebih terbakar: tanah hangus sepi dan langit bertanya siapakah yang memutuskan ia tak boleh berubah warna…
jangan cari tangismu di buku-buku yang kau tinggalkan di
laci meja belajarmu. jangan tangisi tangismu di arang-arang kayu dan batu bata sekolahmu. tangismu jadi kalung emas di tiang- tiang airmataku, dan tanpa kau tahu kukalungkan di menara- menara api sebagai medali kekalahan sekaligus kemenangan…
kau cari sisa-sisa api sepanjang jalan menuju sekolah.
kau menduga masih ada api yang harus kau padamkan. tak ada. tak ada lagi yang perlu kau cari di bau hangus kayu-kayu bangku dan papan tulis. tak ada lagi api yang harus kau padamkan di bawah matahari. tapi menggalah matahari dari bukit doa yang kekal tak perlu memadamkan api…