Anda di halaman 1dari 6

Kebijakan Pendidikan Bahasa di Jepang

T. Shimaoka

Disusun oleh : Yayang Siti Rochmah

No. Mahasiswa : 1206335786

Jurusan : Linguistik (Pengajaran Bahasa)

1. Latar Belakang dan Gambaran Umum

Jepang mulai menyadari pentingnya pendidikan bahasa asing bagi warga negaranya ketika
beralihnya kekuasaan pemerintahan dari pemerintahan Tokugawa ke kekaisaran Meiji, sekitar tahun
1868. Pada masa pemerintahan Tokugawa, warga Jepang terbagi kedalam dua kelompok; sebagian
dari mereka tergolong kedalam kelompok yang mengikuti perkembangan budaya barat sedangkan
sebagian dari mereka tergolong kedalam kelompok yang mempertahankan budaya timur negaranya.
Hal ini berdampak pada kesenjangan sosial terutama pada aspek ekonomi warga Jepang sehingga
mereka melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Tokugawa dan kemudian kekuasaan
berpindah tangan kepada kekaisaran Meiji.

Sekuat apapun warga negara Jepang mencoba memertahankan budayanya, mereka tidak dapat
menutup diri dari pesatnya perkembangan zaman. Kepercayaan mereka yang mengatakan bahwa
negara mereka merupakan negara adidaya di Asia membuat mereka yakin bahwa mereka perlu
melakukan sebuah inovasi di negara mereka, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
karena jika tidak, mereka akan berada di bawah belas kasihan negara barat. Oleh karena itu, reaksi
pemerintah pada saat itu adalah perkaya negara dan perkuat pasukan.

Hal yang berkaitan dengan kebijakan bahasa pada saat itu ialah tujuan untk mempersiapkan
personil yang dapat membaca dan memahami segala hal yang berkaitan dengan militer. Namun,
komunikasi secara langsung dengan penutur bahasa Inggris asli bukanlah pertimbangan utama pada
saat itu, dan jumlah penutur asli yang dapat mengajar hanya sedikit sehingga Natural Approach atau
Direct Method lebih sering digunakan.

Akhir Perang Dunia II, tahun 1945, merupakan titik balik bagi pengajaran bahasa Inggris dimana
para praktisi bahasa Inggris mulai memerhatikan aspek lisan dalam bahasa asing. Kebijakan umum
yang diterapkan pada saat itu merupakan pendekatan lisan yang disebarkan oleh ELEC (The English
Language Eduucational Council).

Fokus pembahasan artikel ini adalah kebijakan pengajaran bahasa Inggris di Jepang karena tidak
ada bahasa asing lain yang dapat disetarakan jika dilihat dari skala, staf pengajar, jumlah pelajar, dan
fasilitas.

Badan yang bertanggungjawab untuk kebijjakan pengajaran bahasa sebagai bagian dari
pendidikan sekolah ialah kementrian pendidikan dari pemerintah pusat. Pengambilan keputusan
seringkali diambil dari pendapat-pendapat sebuah komite yang mewakili profesi pengajaran bahasa.

Pelajaran bahasa asing dimulai di kelas 7, atau setara dengan tahun pertama di tingkat sekolah
menengah pertama. Kementrian pendidikan mengeluarkan petunjuk pelajaran untuk pengajaran
bahasa asing di tingkat sekolah menengah pertama dan atas.

2. Peserta dan Frekuensi Pembelajaran

Lebih dari 95% siswa di tingkat sekolah menengah pertama dan atas belajar bahasa Inggris. Bagi
tingkat menengah pertama, pembelajaran dilakukan sebanyak 3 sampai 4 kelas dalam satu minggu
untuk setiap tingkat tahun kelas. Bagi tingkat menengah atas, pembelajaran biasanya dilakukan
sebanyak 5 kelas dalam satu minggu. Sebaran pelajaran yang dikeluarkan oleh kementrian pendidikan
untuk setiap tahun kelas bersifat berjenjang dalam tingkat kesulitan dan keterampilan berbahasanya.

Perlu digarisbawahi bahwa bahasa Inggris merupakan satu-satunya bahasa asing yang dipelajari
secara luas di Jepang. Hal ini dikarenakan bahasa Inggris merupakan bahasa internasional utama di
dunia dan pemerintah Jepang membatasi frekuensi pengajaran bahasa asing lainnya untuk
mempertahankan keutuhan budayanya dari ancaman-ancaman negatif budaya-budaya asing.

Di Jepang, setiap keterampilan berbahasa diajarkan di setiap tingkat secara terpisah. Sebagai
contoh, English IIA merupakan level yang dikhususkan untuk mengajarkan kemampuan berbicara
untuk siswa. English IIA diajarkan di tahun kedua tingkat SMA di semester pertama. Kemudian
English IIB merupakan level yang dikhususkan untuuk mengajarkan kemampuan membaca. English
IIB diajarkan di tahun kedua tingkat SMA pada semester kedua. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah Jepang, khususnya kementrian pendidikan, percaya bahwa pengajaran bahasa asing akan
berhasil jika semua kemampuuan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) diajarkan
secara terpisah namun terpadu sesuai tingkatannya. Tentu dengan bekal kemampuan berbahasa yang
sudah dimiliki oleh siswa karena pada tingkat SMP, bahasa Inggris yang mereka pelajari adalah
bahasa Inggris yang kemampuan berbahasanya terintegrasi dan belum terpisah-pisah. Dalam kata lain,
keempat kemampyan berbahasa mulai diajarkan secara terpisah di tingkat SMA.

Kebijakan tersebut berbeda dengan kebijakan pengajaran bahasa asing, khususnya bahasa
Inggris, di Indonesia. Alih-alih menerapkan sistem pengajaran keterampilan berbahasa yang terpisah,
kementrian pendidikan di Indonesia menerapkan sistem kemampuan berbahasa yang terintegrasi,
yang berarti bahwa semua keserampilan berbahasa diajarkan secara bertautan dan berkesinambungan
di setiap tahun sekolah, tentunya dengan tingkat kesulitan yang bertambah seiring dengan tingginya
jenjang pendidikan.

3. Penggunaan Buku Pelajaran

Sekolah negeri di Jepang diharuskan memakai buku pelajaran yang sudah diakui dan disahkan
oleh kementrian pendidikan. Buku-buku tersebut diberikan secara cuma-cuma bagi semua siswa SMP
karena 9 tahun pertama di bangku sekolah merupakan satu hal yang dianggap penting.

Agar buku pelajaran disahkan dan diakui oleh kementrian pendidikan, para editor buku harus
mengikuti peraturan pelajaran yang dikeluarkan oleh pemerintah. Halk ini tidak berarti bahwa
kegiatan kelas yang berpusat pada guru akan terbatas kegiatannya. Guru dapat menyesuaikan buku
pelajaran tersebut dengan tingkat dan kebutuhan para siswa.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kementrian pendidikan memiliki andil dan
peranan yang besar dalam penentuan buku pelajaran yang akan digunakan di sekolah. Hal ini
menunjukkan bagaimana tingginya mereka menjunjung tinggi nasionalisme dan sikap menghargai
bangsanya sendiri. Selain itu, pengesahan buku oleh kementrian pendidikan merupakan sebuah cara
untuk menentukan proses pengajaran bahasa asing agar tetap berjalan sesuai dengan ideology dan
paham mereka.

4. Metode Pengajaran

4.1 Penekanan terhadap Pendekatan LisanPenggunaan Alat Perekam di Kelas-kelas Bahasa


Inggris

Sejak tahun 1945, pemerintah Jepang menekankan bahwa pendidikan 9 tahun merpakan hal yang
sangat penting, sehingga uuntuk memenuhi hal tersebut, tenaga pengajar, fasilitas, dan hal lainnya
yang mendukung pembelajaran semakin dibutuhkan. Keputusan tersebut juga memperluas peranan
bahasa Inggris. Jumlah siswa yang harus belajar bahasa Ingggris begitu besar namun jumlah guru
dengan kemampuan berbahasa Inggris yang baik, khususnya dalam keterampilan mendengar dan
berbicara, sulit ditemukan.
Fondasi ELEC di Tokyo pada tahun 1957 menyediakan dasar untuk mengimplementasikan
kebijakan pengajaran bahasa yang dapat memancing siswa untuk menggunakan bahasa Inggris secara
lisan. ELEC selaluu mengadakan pertemuan rutin bagi para guru bahasa Inggris di banyak tempat di
Jepang, dan memerkenalkan metode pendekatan lisan: latihan berpola atau latihan substitusi, dan
lainnya.

Meskipun tidak ada penutur bahasa Inggris asli di kelas bahasa Inggris, alat perekam dapat
membantu proses belajar mengajar dalam menghadirkan konteks dan contoh penutur bahasa asli.
Semenjak saat itu, pendekatan lisan menjadi semakin dikenal dan kemudian pembangunan
laboratorium bahasa di sekolah-sekolah mulai dilaksanakan dengan subsidi dari pemerintah local
maupun pusat.

4.2 Komunikasi LisanPenutur Bahasa Inggris Asli sebagai AET

Secanggih apapun sebuah laboratorium bahasa, tetap tidak dapat mengalihkan efektifitas
interaksi dan komunikasi tatap muka secara langsung dengan manusiabaik penutur bahasa Inggris
asli, guru dari Jepang yang mengajar bahasa Inggris, ataupun antar siswa sendiri. Pengalaman untuk
dapat berkomunikasi secara langsung dengan penutur bahasa Inggris asli memberikan efek yang
berlangsung lebih lama dibandingkan dengan bentuk rekayasa komunikasi lainnya.

Setelah melalui beberapa tahap verifikasi, akhirnya pemerintah Jepang memutuskan untuk
merekrut beberapa lulusan muda dari negara-negara pembicara bahasa Inggris untuk menjadi
Assistang English Teachers (AET). Hadirnya AET di kelas bahasa Inggris ini membuka kesempatan
bagi siswa untuk mengalami komunikasi nyata dengan penutur bahasa Inggris asli dan memperkaya
wawasan kebudayaan mereka karena para siswa diberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan
orang-orang yang berasal dari kebudayaan yang berbeda.

5 Pengaruh terhadap Guru Bahasa

Berdasarkan kebijakan pemerintah Jepang dalam pengajaran bahasa, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi jika seseorang ingin menjadi guru bahasa, antara lain:

harus mengambil beberapa mata kuliah tertentu selama masa belajar di universitas, seperti
Konstitusi Negara Jepang, Psikologi Edukasional, Psikologi Anak dan Remaja, Metodologi,
dan mata kuliah lainnya yang berkaitan dengan aspek kebahasaan.
Keterampilan mengajar. Seseorang harus lulus dalam beberapa tahap seleksi yang
dilaksanakan oleh bidang pendidikan di setiap daerah. Seleksi tersebut dapat berupa tes lisan
dan tertulis.
Ada dua badan non-kepemerintahan yang menaungi guru bahasa di Jepang, yaitu Institute for
Research in Language Teaching (IRLT) dan English Language Eduational Council (ELEC).

5.1 IRLT (Institute for Research in Language Teaching) dan Harold E. Palmer

Palmer dikenal karena metode lisan yang ia perkenalkan. Menurutnya, penguasaan lisan,
kosakata, dan struktur merupakan hal yang penting pada tahap pertama pembelajaran bahasa. IRLT
mengadakan pertemuan rutin dimana demo mengajar bahasa Inggris dipertunjukkan di depan ribuan
guru dan calon guru bahasa Inggris.

5.2 ELEC (English Language Education Council) dan Charles C. Fries

Fries percaya bahwa penguasaan sistem suara dan struktur merupakan hal penting dalam
pembelajaran bahasa dan mempelajari kosakata-kosakata bukanlah masalah utama. Pada kegiatan
awal ELEC, mereka mengadopsi usul Fries dan terpusat pada pembedaan fonemik dan latihan terpola.
Selain Fries, seorang linguis lainnya yang juga teorinya dikenal di ELEC adalah Twaddell. Ia
mengatakan bahwa ada lima tahapan dalam pembelajaran, antara lain: Pengenalan (Recognition),
Mimikri (Mimicry), Pengulangan (Repetition), Variasi (Variation), Seleksi (Selection).

6 Perkembangan Pengajaran Bahasa sebagaimana Disebutkan dalam Peraturan


Pembelajaran

Empat kebijakan dasar yang dikeluarkan oleh Rinkyoshin yang berlaku mulai tahun 1993 untuk
SMP dan 1994 untuk SMA. Sekolah harus:

Membentuk individu-individu yang berwawasan luas dan mandiri.


Menanamkan keinginan yang kuat untuk belajar dan memelihara kemampuan mereka untuk
menyesuaikan dengan lingkungan atau situasi yang baru.
Menanamkan pengetahuan dasar dan mengembangkan kemampuan-kemampuan yang
dibutuhkan oleh warga Jepang, dan memperkaya lingkungan pendidikan mereka sebagaimana
mungkin sehingga potensi setiap individu akan lebih terrealisasikan.
Memelihara pemahaman internasioanal yang akan memungkinkan warga Jepang dan non-
warga Jepang dapat menghargai budaya dan tradisi masing-masing.

Laporan Rinkyoshin yang terbaru dikeluarkan pada tanggal 29 Juli. Pada dasarnya, isi yang
terkandung dalam butir-butir tersebut tidak jauh berbeda. Namun laporan yang baru dikeluarkan oleh
Rinkyoshin tersebut lebih menekankan kepada pemeliharaan pikiran untuk hidup secara positif dan
aktualisasi diri.
Perintah untuk SMP dan SMA umum

- Menekankan kepada kemampuan mendengar dan berbicara tanpa mengabaikan kemampuan


membaca dan menulis.

- Memfokuskan pengajaran untuk lebih terperinci mengenai hal-hal spesifik sehingga


pengajaran akan menjadi lebih efektif.

- Menanamkan sikap positif terhadap penguasaan bahasa asing diantara pelajar, untuk
membantu mereka agar menjadi pembicara bahasa asing yang baik, dan untuk meningkatkan
pemahaman mereka mengenai negara-negara asing dengan mengembangkan ketertarikan
mereka dalam bagasa dan kebudayaan di rumah dan di luar.

7. Kebijakan Pengajaran Bahasa di Tingkat Pendidikan Tinggi

Pelajar di tingkat universitas dipercaya sebagai pelajar mandiri. Untuk mengevaluasi hasil
belajar mereka dilakukan tes pencapaian dan kecakapan. Universitas hukum nasional di Jepang
mengharuskan setiap bahasa asing memiliki bobot 8 SKS, biasanya bahasa Inggris. Di tingkat
universitas, eksistensi ETA masih tetap dipergunakan.

8. Kesimpulan

Pengajaran bahasa asing di Jepang didominasi oleh bahasa Inggris karena bahasa Inggris
merupakan bahasa internasional yang utama dan Jepang perlu mengakselerasi diri untuk menjadi
negara terdepan melalui pembelajaran bahasa asing tersebut. Selain itu, bahasa asing lain tidak terlalu
menjadi perhatian utama dalam pengajaran bahasa asing karena pemerintah Jepang sangat
menjunjung tiggi budaya dan nasionalismenya. Dikhawatirkan pula rakyat Jepang akan terpengaruh
oleh pengaruh negatif budaya asing lainnya. Berangkat dari kepercayaan tersebut, pemerintah,
khususnya kementrian kependidikan, sangat berperan dalam menentukan hal-hal yang berfkaitan
dengan pengajaran bahasa asing di Jepang, seperti penyusunan indicator dan kompetensi, pegesahan
buku pelajaran, perekrutan guru, serta penentuan guru kelas dan asisten guru. Semua hal tersebut
dilakukan agar pengajaran bahasa asing selalu berada pada jalur pemerintah untuk selalu menjunjung
tinggi budaya dan nasionalisme bangsa Jepang itu sendiri. Dalam kata lain, kebijakan pengajaran
bahasa asing di Jepang sangat dipengaruhi oleh unsure tujuan politik dan budaya.

Anda mungkin juga menyukai