2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi gambaran umur pasien TB paru.
2. Mengidentifikasi gambaran tingkat pendidikan pasien TB paru.
3. Menganalisis hubungan umur dengan pengobatan pada pasien TB paru
4. Menganalisis kepatuhan berobat pada pasien TB paru positif.
2.1.2. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1 sampai 4 mm dengan tebal 0,3 sampai 0,6 mm.
sebagian besar komponen Mycobacterium tuberculosis adalah berupa lemak atau
lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat
kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob, yakni
menyukai daerah yang banyak oksigen.oleh karena itu, Mycobacterium tuberculosis
senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi.
Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis
(Somantri, 2007).
Mycobacterium tuberculosis mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan
terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut Basil
Tahan Asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Bakteri ini juga
tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob (Widoyono,
2011).
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100°C selama 5-10 menit atau
pada pemanasan 60°C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama ditempat yang lembab
dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara
(Widoyono, 2011).
Tuberkulosis merupakan infeksi melalui udara danu mumnya di
dapatkan dengan inhalasi partikel kecil (diameter 1hingga 5 mm) yang mencapai
alveolus. Droplet tersebut keluar saat berbicara, batuk, tertawa, bersin atau
menyanyi. Droplet nuklei terinfeksi kemudian dapat terhirup oleh orang yang
rentan (inang). Sebelum terjadi infeksi paru, organisme yang terhirup harus
melewati mekanisme pertahanan paru dan menembus jaringan paru (Black dan
Hawks 2014).
Paparan singkat dengan TB biasanya tidak menyebabkan infeksi.orang yang
paling umum terserang infeksi adalah orang yang sering melakukan kontak dekat
berulang dengan orang yang terinfeksi yang penyakitnya masih belum terdiagnosis.
Orang tersebut mungkin orang yang memiliki kontak berulang dengan klien yang
kurang tertangani secara medis (Black dan Hawks 2014).
2.1.3. Patofisiologi
Penyebar penyakit TB sering tidak tahu bahwa ia menderita sakit tuberkulosis.
Droplet yang mengandung basil TB yang dihasilkan dari batuk dapat melayang di
udara hingga kurang lebih dua jam tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika
droplet tadi terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan terdampar pada
dinding sistem pernapasan. Droplet besar akan terdampar pada saluran
pernapasan bagian atas, droplet kecil akan masuk kedalam alveoli di lobus
manapun; tidak ada predileksi lokasi terdamparnya droplet kecil.pada tempat
terdamparnya, basil tuberkulosis akan membentuk suatu fokus infeksi primer
berupa tempat pembiakan basil tuberculosis tersebut dan tubuh penderita akan
memberikan reaksi inflamasi basil TB yang masuk tadi akan mendapatkan
perlawanan dari tubuh tergantung kepada pengalaman tubuh, yaitu pernah
mengenai basil TB atau belum (Djojodibroto, 2014).
a. Infeksi Primer Infeksi primer adalah waktu pertama kali terinfeksi TB.
Infeksi TB primer biasanya menyerang apeks dari paru-paru atau dekat
pleura dari lobus bawah.walaupun infeksi primer, dapat berupa mikroskopik
(sehingga tidak muncul pada rontgen dada), namun kelanjutan penyakit seperti
dibawah ini sering ditemui (Black dan Hawks 2014).
Muncul suatu bagian kecil yang terserang bronkopneumonia pada
jaringan paru. TB banyak menginfeksi secara fagositosis (di pencernaan) oleh
makrofag yang beredar. Namun sebelum berkembangnya hipersensitivitas
dan imunitas, banyak basilus yang dapat bertahan hidup dalam sel-sel darah
tersebut dan terbawa ke bronkopulmonalis (hilus) kelenjar getah bening melalui
sistem limfatik. Basilus bahkan dapat menyebar ke seluruh tubuh. Walaupun
infeksi kecil,tapi penyebarannya sangat cepat (Black dan Hawks 2014).
Lokasi infeksi primer dapat atau tidak dapat mengalami proses degenerasi
nekrotik, yang disebut kaseasi karena menghasilkan rongga yang terisi massa
seperti keju yang berisi basil tuberkel, sel darah putih mati,dan jaringan paru
nekrotik. Seiring waktu material ini mencair dan keluar melalui saluran
trakeabronkial dan dapet dibatukkan keluar. Kebanyakan TB primer dapat
sembuh dalam periode beberapa bulan dengan membentuk jaringan parut dan
kemudian lesi klasifikasi, yang disebut sebagai kompleks Ghon. Lesi-lesi
tersebut dapat mengandung basilus hidup yang dapat mengalami reaktivasi,
terutama jika klien mengalami masalah imunitas,bahkan setelah bertahun-tahun
dan menyebabkan infeksi sekunder (Black dan Hawks 2014).
Infeksi TB primer akan menyebabkan tubuh mengembangkan reaksi
alergi terhadap basilus tuberkel atau proteinnya. Respons imunitas dimediasi sel
ini muncul dalam bentuk sel-T tersensitasi dan dapat dideteksi sebagai reaksi
positif pada uji kulit tuberkulin. Munculnya sensitivitas tuberkulin ini
terjadi pada semua sel tubuh 2 hingga 6 minggu setelah infeksi primer.
Sensitivitas ini ada selama basilus hidup masih berada di dalam tubuh.
Kekebalan yang didapat ini bisa menghambat pertumbuhan lebih lanjut dari
basil dan perkembangan infeksi aktif (Black dan Hawks 2014).
Sekitar 10% orang yang terinfeksi TB pada akhirnya akan
mengalami penyakit aktif dalam hidup mereka. Alasan penyakit TB aktif
muncul pada beberapa klien (alih-alih mampu dikontrol oleh respons imun
yang didapat sehingga tetap dorman) masih belum dipahami dengan jelas.
Namun, faktor-faktor yang tampaknya berperan pada perkembangan dari infeksi
TB dorman menjadi penyakit aktif melibatkan hal-hal berikut : (Black dan
Hawks 2014).
1) Kontak ulang dengan orang yang memiliki TB aktif
2) Usia lanjut
3) Infeksi HIV
4) Imunosupresi
5) Terapi kortikosteroid jangka panjang
6) Tinggal atau bekerja pada area padat berisiko tinggi (penjara,
fasilitas perawatan jangka panjang)
7) Berat badan rendah (10% atau lebih dibawah berat badan ideal)
8) Penyalahgunaan narkoba
9) Adanya penyakit lain (misalnya, diabetes melitus, penyakit ginjal
stadium akhir atau penyakit ganas).
b. Infeksi Sekunder
Selain penyakit primer progresif, terinfeksi ulang juga dapat
menyebabkan bentuk klinis TB aktif atau infeksi sekunder. Lokasi infeksi
primer yang mengandung basilus TB mungkin tetap latem bertahun-tahun dan
dapat mengalami reaktivasi jika resistensi klien turun. Oleh karena
dimungkinkan terjadinya infeksi ulang dan karena lesi dorman dapat
mengalami reaktivasi, maka penting bagi klien dengan infeksi TB untuk dikaji
secara periodik terhadap bukti-bukti adanya penyakit aktif (Black dan Hawks
2014).
Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya
sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular TBC adalah 17%. Hasil studi
lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah)
akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah)
(Widoyono, 2011).
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak
yang dikeluarkannya. Namun bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut
bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤
dari 5000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan
mikrokopis langsung (Kemenkes RI, 2014).
Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%,
pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien
TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%. Infeksi akan
terjadi apabila orang lain akan menghirup udara yang mengandung percik renik
dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali
batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Kemenkes RI, 2014).
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab (Kemenkes
RI, 2011).
1) TB Paru
a. BTA mikroskopis langsung (+) atau biakan (+), kelainan foto toraks
menyokong TB,dan gejala klinis sesuai TB.
b. BTA mikroskopis langsung atau biakan (-), tetapi kelainan rontgen dan
klinis sesuai TB dan memberikan perbaikan pada pengobatan awal anti TB
(initial therapy) pasien golongan ini memerlukan pengobatan yang
adekuat.
2) TB Paru Tersangka
Diagnosis pada tahap ini bersifat sementara sampai hasil pemeriksaan BTA
didapat (paling lambat 3 bulan). Pasien dengan BTA mikroskopis langsung (-)
atau belum ada hasil pemeriksaan atau pemeriksaan belum lengkap, tetapi
kelainan rontgen dan klinis sesuai TB paru. Pengobatan dengan anti TB sudah
dapat dimulai.
3) Bekas TB (tidak sakit)
Ada riwayat TB pada pasien di masa lalu dengan atau tanpa pengobatan atau
gambaran rontgen normal atau abnormal tetapi stabil pada foto serial dan
sputum BTA (-). Kelompok ini tidak perlu diobati.
Tabel 2.2 Kisaran Dosis OAT Lini Pertama bagi Pasien Dewasa
Dosis
Harian 3x/minggu
OAT
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum/hari
(mg/kg BB) (mg) (mg/kg BB) (mg)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000
Kemenkes, 2014
Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien
dengan berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis >500
mg/hari. Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10
mg/kg BB/hari (Kemenkes, 2014).
Paduan OAT yang digunakan di oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia sesuai rekomendasi WHO dan ISTC adalah:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
c. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR
d. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,
Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT
lini-1, yaitu pirazinamid dan etambutol.
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri
dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien (Kemenkes RI, 2014).
Paduan OAT KDT Lini Pertama Kategori-1 yang diberikan untuk
pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis
klinis, serta pasien TB ekstra paru yaitu 2(HRZE) / 4(HR)3 (Kemenkes RI,
2014).
B. Jenis Kelamin
Seks merupakan persifatan atau pembagian dua jenis kelamin yang
ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu.
Misalnya, bahwa manusia yang memiliki penis, dzakar dan
memproduksi sprema adalah laki-laki. Sedangkan perempuan adalah manusia
yang memiliki alat reproduksi seperti rahim dan salurah untuk melahirkan,
memproduksi telur, memiliki vagina dan alat menyusui. Alat-alat tersebut
secara bilogis melekat pada jenis perempuan dan laki- laki selamanya. Artinya,
secara bilogis alat-alat tersebut tidak dapat dipertukarkan satu dengan
yang lainnya. Secara permanen tidak
berubah dan merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat (Rokhmansyah,
2016).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering terkena TB
paru dibandingkan perempuan. Hal ini oleh karena laki-laki memiliki aktivitas
yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, sehingga kemungkinan terpapar
lebih besar pada laki-laki. Selain itu, kebiasaan merokok dan mengkonsumsi
alkohol pada laki-laki dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah
terkena TB paru (Alfian, 2005).
Berdasarkan penelitian Wijaya (2012), jumlah penderita laki-laki lebih
tinggi dari perempuan, yaitu sebesar 54%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
tentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasa yang menyatakan
bahwa laki-laki mempunyai kecenderungan lebih rentan terhadap faktor resiko
TB paru. Hal tersebut dimungkinkan karena laki-laki lebih banyak melakukan
aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh penyebab penyakit ini.
Berdasarkan penelitian Pant, dkk (2009) pasien tuberkulosis MDR yang
sebelumnya mengalami kegagalan pengobatan awal, terdapat sebanyak 70%
berjenis kelamin laki-laki. Tingginya proporsi jenis kelamin laki-laki yang gagal
dalam pengobatan tuberkulosis paru dikarenakan laki-laki memiliki tingkat
keteraturan dan kepatuhan dalam pengobatan yang relatif lebih kecil
dibandingkan pada jenis kelamin perempuan.
C. Tingkat Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan kesadaran untuk menjalani
pengobatan TB paru secara teratur dan lengkap juga relatif rendah, antara lain
tercermin dari cukup banyaknya penderita yang tidak menuntaskan
pengobatan karena tidak kembali untuk kunjungan ulang (follow up) dan
beberapa penderita yang merasa bosan minum obat setiap hari untuk jangka
lama. Disamping itu, rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan rendahnya
pengetahuan dalam hal menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan, tercermin
dari perilaku sebagian penderita yang masih membuang dahak dan meludah
disembarang
tempat. Kebiasaan berperilaku kurang sehat terhadap lingkungan dan diri
sendiri, disamping pengobatan yang tidak tuntas atau tidak lengkap,
menyebabkan penderita tersebut menjadi sumber penularan bagi keluarga
maupun lingkungan sekitarnya (Crofton, 2002).
Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau
masyarakat dan perilaku terhadap penggunaan sarana atau pelayanan kesehatan
yang tersedia. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (Notoatmodjo, 2007).
D. Status Pekerjaan
Seseorang yang mempunyai latar belakang tertentu seperti bekerja atau tidak
bekerja maka akan memiliki pandangan tersendiri terhadap pencarian
pengobatan. Termasuk diantaranya pada pasien tuberkulosis paru yang bekerja
maupun tidak bekerja akan mencari pengobatan untuk bisa sembuh
(Purwanto, 2003).
Berdasarkan data hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi
penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidak bekerja
yaitu sebesar 11,7%.
Pekerjaan merupakan faktor risiko terjadinya kegagalan konversi pada
penderita TB paru fase intensif dengan nilai OR: 2,026 (95% CI:
0,586-7,012) menunjukkan bahwa penderita TB paru dengan pekerjaan non
formal (buruh, pedagang, petani, tidak bekerja) memiliki risiko terjadinya
kegagalan konversi sebesar 2,026 kali lebih besar dibanding penderita dengan
pekerjaan formal (pegawai swasta) (Amaliah, 2012).
E. Status Gizi
Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait.
Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang
berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang
rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang
buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan
dalam mempetahankan diri
terhadap penyakit infeksi seperti TB paru menjadi menurun. Demikian juga
sebaliknya seseorang yang menderita penyakit kronis, seperti TB paru
umumnya status gizinya mengalami penurunan (Notoatmodjo,
2007).
Salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik, baik pada
perempuan, laki-laki, anak-anak, maupun dewasa. Status gizi yang buruk
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru, kekurangan
kalori dan protein serta kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko
terkena TB paru. Cara pengukurannya adalah dengan membandingkan berat
badan dan tinggi badan atau Indek Masa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat
yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan
berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan
hidup lebih panjang (Supariasa, 2001).
Untuk mengetahui nilai IMT, dapat dihitung dengan rumus berikut:
F. Kepatuhan Berobat
Pemberian obat anti tuberkulosis yang benar dan terawasi secara baik
merupakan salah satu kunci penting mencegah dan mengatasi masalah resistensi
ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan
salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan
menanggulangi masalah tuberkulosis khususnya resistensi ganda (PDPI, 2006).
Keteraturan pengobatan apabila kurang dari 90% maka akan mempengaruhi
penyembuhan. Jadi OAT harus diminum secara teratur sesuai jadwal, terutama
pada fase awal. Yang paling ideal adalah setiap hari penderita datang dan
minum obat dihadapan petugas, akan tetapi pada pelaksanaannya metode ini
sulit dilakukan terutama bagi penderita yang tempat tinggalnya jauh dari
tempat pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu diambil kebijaksanaan frekuensi
pengambilan obat dapat dilakukan langsung kepad penderita atau melalui
pengawas pengobatan, sekali dalam seminggu pada fase intensif dan sekali
dalam sebulan untuk fase lanjutan (Depkes RI, 2002).
Seorang penderita dikatakan patuh menjalani pengobatan apabila minum
obat sesuai aturan paket obat dan ketepatan waktu mengambil obat sampai
selesai masa pengobatan. Sedangkan penderita dikatakan lalai jika tidak datang
lebih dari 3 hari sampai 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out
jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi
petugas kesehatan (Depkes RI,
2002).
Sikap penderita terhadap keteraturan minum obat merupakan faktor risiko
terjadinya kegagalan konversi pada penderita TB paru fase intensif dengan
nilai OR: 3,228 (95% CI: 1,707 – 6,102) menunjukkan bahwa penderita dengan
sikap terhadap keteraturan minum obat yang buruk memiliki risiko terjadinya
kegagalan konversi sebesar 3,228 kali lebih besar dibanding penderita dengan
sikap keteraturan minum obat yang baik. Secara statistik, sikap penderita
terhadap keteraturan minum obat mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kegagalan konversi (Amaliah, 2012).
Selain itu juga terdapat pengaruh yang bermakna antara keteraturan berobat
dengan konversi dahak penderita TB paru kasus baru setelah pengobatan fase
intensif. Angka odd ratio sebesar 4,92 menunjukkan pengaruh yang secara
statistik signifikan antara keteraturan berobat dengan konversi dahak
penderita TB paru kasus baru setelah pengobatan fase intensif. Penderita TB
paru yang teratur berobat 4,92 kali lebih besar mengalami konversi dahak dari
pada penderita yang tidak teratur berobat. Frekuensi pengambilan obat yang
tidak teratur menyebabkan ketidakteraturan minum obat sehingga dosis obat
yang tidak sesuai dan pada akhirnya mengakibatkan tidak terjadi konversi dahak
(Mambodiyanto dan Koosgiarto, 2015).
H. Perilaku Merokok
Merokok merupakan salah satu kebiasaan yang lazim ditemui dalam
kehidupan sehari-hari. Merokok adalah perilaku yang dilakukan seseorang
berupa membakar dan menghisap rokok serta menimbulkan asap yang dapat
terhisap oleh orang-orang disekitarnya (Bustan, 2007).
Seseorang dikatakan perokok jika telah menghisap minimal 100 batang
rokok. Pengukurang tentang kebiasaan merokok pada seseorang dapat
ditentukan pada suatu kriteria yang dibuat berdasarkan anamnesis atau
menggunakan kriteria yang telah ada. Biasanya batasan yang digunakan adalah
berdasarkan jumlah rokok yang dihisap setiap hari atau lamanya kebiasaan
merokok (Bustan, 2007).
Merokok dapat menyebabkan sistem imun paru menjadi lemah dan
memudahkan kuman TB berkembang sehingga dapat mempengaruhi
kesembuhan pengobatan penderita TB paru. Asap rokok mengandung ribuan
bahan kimia beracun yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen).
Bahan berbahaya dalam rokok dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada
orang yang merokok dan orang disekitarnya yang tidak merokok (Wijaya, 2012).
Merokok diketahui mengganggu efektivitas sebagian mekanisme
pertahanan respirasi. Produk-produk asap rokok diketahui merangsang
pembentukan mukus dan menurunkan pergerakan silia. Akibatnya terjadi
penimbunan mukus dan peningkatan risiko pertumbuhan bakteri (Amu, 2008).
Merokok merupakan faktor risiko penting yang mempengaruhi konversi
sputum pada TB paru. Dari penelit ian didapatkan sebanyak
53% pasien TB paru yang merokok dan 10% yang tidak merokok yang
mengalami sputum BTA positif di akhir 2 bulan pengobatan. Dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara merokok dengan konversi
sputum BTA pada TB paru (Metanat dkk., 2010).
BAB III
KONSEP ASKEP PADA PASIEN DENGAN
TUBERKOLOSIS PARU
2.1 Pengkajian
Tujuan dari pengkajian atau anamnesa merupakan kumpulan informasi subyektif yang
diperoleh dari apa yang dipaparkan oleh pasien terkait dengan masalah kesehatan yang
menyebabkan pasien melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan (Niman, 2013). Identitas
pasien yang perlu untuk dikaji meliputi:
a. Meliputi nama dan alamat
b. Jenis kelamin : TB paru bisa terjadi pada pria dan wanita
c. Umur: paling sering menyerang orang yang berusia antara 15 – 35 tahun.
d. Pekerjaan: Tidak didapatkan hubungan bermakna antara tingkat pendapatan, jenis
pekerjaan
2.1.1 Pengkajian Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang:
pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Lakukan pertanyaan yang
bersifat ringkas sehingga jawaban yang diberikan klien hanya kata “ya” atau “tidak”
atau hanya dengan anggukan kepala atau gelengan.
b. Riwayat Kesehatan Sebelumnya:
pengkajian yang mendukung adalah mengkaji apakah sebelumnya klien pernah
menderita TB paru atau penyakit lain yang memperberat TB Paru.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga:
secara patologi TB Paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan apakah
penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi
penularan di dalam rumah.
d. Riwayat Tumbuh Kembang:
Kelainan-kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan dan pertumbuhan
seseorang yang dapat mempengaruhi keadaan penyakit seperti gizi buruk.
e. Riwayat Sosial Ekonomi:
Apakah pasien suka berkumpul dengan orang-orang yang likungan atau tempat
tinggalnya padat dan kumuh karena kebanyakan orang yang terkena TB Paru berasal
dari likungan atau tempat tinggalnya padat dan kumuh itu.
f. Riwayat Psikologi:
Bagaimana pasien menghadapi penyakitnya saat ini apakah pasien dapat menerima, ada
tekanan psikologis berhubungan dengan sakitnya itu. Kita kaji tingkah laku dan
kepribadian, karena pada pasien dengan TB Paru dimungkinkan terjadi perubahan
tingkah laku seperti halnya berhubungan dengan aib dan rasa malu dan juga ada rasa
kekhawatiran akan dikucilkan dari keluarga dan lingkungan akibat penyakitnya
sehingga dapat mengakibatkan orang tersebut menjauhkan diri dari semua orang.
1.1.2 Pengkajian Berdasarkan NANDA
a. Domain Promosi Kesehatan
1) Arti sehat dan sakit bagi pasien.
2) Pengetahuan status kesehatan pasien saat ini.
3) Perlindungan terhadap kesehatan: program skrining, kunjungan ke pusat
pelayanan kesehatan, diet, latihan dn olahraga, manajemen stress, faktor
ekonomi.
4) Pemeriksan diri sendiri: riwayat medis keluarga, pengobatan yang sudah
dilakukan.
5) Perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan.
6) Data pemeriksaan fisik yang berkaitan.
b. Domain Nutrisi
1) Kebiasaan jumlah makanan.
2) Jenis dan jumlah (makanan dan minuman)
3) Pola makan 3 hari terakhir/ 24 jam terakhir, porsi yang dihabiskan, nafsu makan.
4) Kepuasaan akan berat badan.
5) Persepsi akan kebutuhan metabolic
6) Faktor pencernaan: nafsu makan, ketidaknyamanan, rasa dan bau, gigi, mukosa
mulut, mual atau muntah, pembatasan makanan, alergi makanan.
7) Data pemeriksaan fisik yang berkaitan (berat badan saat ini dan SMRS)
c. Domain Eliminasi dan Pertukaran
1) Kebiasaan pola buang air kecil: frekuensi, jumlah (cc), wana, bau, nyeri,
mokturia, kemampuan menontrol BAK, adanya perubahan lain.
2) Kebiasaan pola buang air besar: frekuensi, jumlah (cc), warna, bau, nyeri,
mokturia, kemampuan mengontrol BAK, adanya perubhana lain.
3) Keyakinan budaya dan kesehatan.
4) Kemampuan perawatan diri: ke kamar mandi, kebersihan diri.
5) Penggunaan bantuan untuk ekskresi
6) Data pemeriksaan fisik yang berhubungan (abdmen, genetalia, rectum, prostat)
d. Domain Aktivitas / Istirahat
1) Aktivitas kehidupan sehari-hari
2) Olahraga: tipe, frekuensi, durasi, da inetensitas.
3) Aktivitas menyenangkan
4) Keyakinan tentang latihan dan olahraga
5) Kemampuan untuk merawat diri sendiri (berpakaian, mandi, makan, kamar
mandi)
6) Mandiri, bergantung atau perlu bantuan.
7) Penggunaan alat bantu (kruk, kaki tiga)
8) Data pemeriksaan fisik (pernapasan, kardiovaskular, muskoloskeletal, neurologi)
9) Kebiasaan tidur sehari-hari (jumlah waktu tidur, jam tidur dan bangun, ritual
menjelang tidur, lingkungan tidur, tingkat kesegaran setelah tidur)
10) Penggunaan alat mempermudah tidur (obat-obatan)
11) Jadwal istirahat dan relaksasi
12) Gejala gangguan pola tidur
13) Faktor yang berhubungan (nyeri, suhu, proses penuaan dll)
14) Data pemeriksaan fisik (lesu, kantung mata, keadaan umum, mengantuk)
e. Domain Persepsi / Kognisi
1) Gambaran tentang indra khusus (penglihatan, penciuman, pendengar, perasa,
peraba)
2) Penggunaan ketidaknyaman nyeri (pengkajian nyeri secara komprehensif)
3) Keyakinan budaya terhadap nyeri
4) Tingkat pengetahuan klien terhadap nyeri dan pengetahuan untuk mengontrol
dan mengatasi nyeri
5) Data pemeriksaan fisik yang berhubungan (neurologis, ketidaknyamanan)
f. Domain Persepsi Diri
1) Keadan sosial: pekerjaan, situasi keluarga, kelompok sosial.
2) Identitas Personal: penjelasan tentang diri sendiri, kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki
3) Keadaan fisik, segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh (yang disukai dan
tidak)
4) Harga diri: perasaan mengenai diri sendiri.
5) Ancaman terhadap konsep diri (sakit, perubahan peran).
6) Riwayat berhubungan denan masalah fisik dan tau psikologi.
7) Data meneriksaan fisik yang berkaitan (mengurung diri, murung, gidak mau
berintaksi)
g. Domain Hubungan Peran
1) Gambaran tentang peran berkaitan degan keluarga, teman, kerja
2) Kepuasan/ ketidak puasaan menjalankan peran
3) Efek terhadap status kesehatan
4) Petingnya keluarga
5) Struktur dan dukungan keluarga
6) Proses pengambilan keputusan keluarga
7) Pola membesarkan anak
8) Hubungan dengan orang lain
9) Orang terdekat dengan klien
10) Data pemeriksaan fisik yang berkaitan
h. Domain seksualitas
1) Masalah atau perhatian seksual
2) Menstruasi, jumlah anak, jumlah suami/istri
3) Gambaran perilaku seksual (perilaku seksual yang aman, peukan, sentuhan, dll)
4) Pengetahuan yang berhubungan dengan seksualitas dan reprosuksi
5) Efek terhadap kesehatan
6) Riwayat yang berhubungan dengan masalah fisik dan psikologi
7) Data pemeriksaan fisik yang berkaitan (KU, genetalia, payudara, rektum)
i. Domain Koping / Toleransi Stress
1) Sifat pencetus stress yang dirasakan baru-baru ini
2) Tingkat stress yang dirasakan
3) Gambaran respons umum dan khusus terhadap stress
4) Strategi mengatsai stress yang biasa digunakan dan keefektifannya.
5) Strategi koping yang biasa digunakan
6) Pengetahuan dan penggunaan teknik manajemen stress
7) Hubungan antara manajemen stress dengan keluarga.
j. Domain Prinsip Hidup
1) Latar belakang budaya/ etnik
2) Status ekonomi, perilaku kesehatan yang berkaitan dengan kelompok budaya/
etnik
3) Tujuan kehidupan bagi pasien
4) Pentingnya agama/ spiritualitas
5) Dmapak masalah kesehatan terhadap spiritualitas
6) Keyakinan dalam budaya (mitos, kepercayaan, larangan, adat) yang dpat
mempengaruhi kesehatan
k. Domain Keamanan / Perlindungan
1) Infeksi
2) Cedera fisik
3) Perilaku kekerasan
4) Bahaya lingkungan
5) Proses pertahanan tubuh
6) Temoregulasi
l. Domain Kenyamanan
1) Berisikan Kenyamanan fisik, lingkungan dan sosial pasien
m. Domain Pertumbuhan / Perkembangan
1) Berisi tentang pertumbuhan dan perkembangan klien
2.1.3 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaaan umum
Keadaan umum pada klien dengan TB Paru dapat dilakukan secara selintas
pandang dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara
umum tentang kesadaran klien yang terdiri dari compos mentis, apatis, somnolen, sopo,
soporokoma, atau koma. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB Paru
biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat
apabila disertai sesak nafas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan
suhu tubuh dan frekuensi pernafasan dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya
penyakit seperti hipertensi.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada klien TB Paru meliputi pemeriksaan fisik umum per
sistem dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2
(Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), B6 (Bone) serta pemeriksaan yang fokus
pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh sistem pernafasan.
Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
1. B1 (Breathing) : pemeriksaan fisik pada klien TB Paru merupakan pemeriksaan fokus
yang terdiri atas inspeksi, palpasi,perkusi dan auskultasi.
Inspeksi
Bentuk dada dan gerakan pernafasan. Sekilas pandang klien dengan TB Paru
biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada
antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari Tb
Paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrisan
rongga dada, pelebaran intercostal space (ICS) pada sisi yang sakit. TB Paru yang disertai
etelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat
penderitanya mengalami penyempitan intercostal space (ICS) pada sisi yang sakit.
Palpasi
Palpasi trakhea. Adanya pergeseran trakhea menunjukan-meskipun tetapi tidak
spesifik-penyakit dari lobus atau paru. Pada TB Paru yang disertai adanya efusi pleura
masif dan pneumothoraks akan mendorong posisi trakhea kearah berlawanan dari sisi
sakit.
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernafasan. TB Paru tanpa komplikasi
pada saat dilakukanpalpasi, gerakan dada saat bernafas biasanya normal dan seimbang
antara kiri dan kanan.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan
tangannya di dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh
penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon bronkhial untuk membuat dinding
dada dalam gerakan resonan, terutama pada bunyi konsonan.
Perkusi
Pada klien dengan TB Paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan
bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien TB Paru yang disertai
komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang
sakit sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi nafas tambahan (ronkhi) pada sisi
yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksaan untuk mendokumentasikan hasil auskultasi
di daerah mana didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika
klien berbicara disebut sebagai resonan vokal.
DS :
DS: pengetahuan
untuk
1. Pasien mengatakan sering
menghindari
kontak dengan orang lain
pemajanan
2. Pasien mengatakan bahwa
patogen
saat batuk di depan orang
lain tidak menutup mulut
3. Membuang dahak pada
plastik yang diikat dan
dibuang ketempat sampah
5. DO: Gangguan Gangguan IS
ortopnoe,menggunakan
Perubahan
otot bantu pernafasan ,
membran
retraksi dinding dada, batuk
alveolar-kapiler.
berdahak dan kental,
menggunakan nafas cuping
hidung
Pola pernafasan
DS:
abnormal.
1. klien mengatakan nafasnya
terasa sesak
2. Klien mengeluh susah tidur.
3. Klien mengatakan anaknya
batuk-batuk , berdahak.
6. DO : Gangguan pola Gangguan pola tidur IS
tidur
1. Kantong mata bawah hitam.
2. Konjungtiva anemis.
3. Pasien tampak lemas. imobilisasi
4. Pasien sering terbangun pada
malam hari.
DS :
1. Pasien mengatakan tidak
penurunan
dapat tidur nyenyak dan
kemampuan
sering terbangun karena
berfungsi
batuk.
2. Pasien tidur ± 6-7 jam sehari
dan tidur siang ± 1-2 jam
7. DO: Intoleransi Intoleransi IS
1. Klien tampak memanggil Aktivitas Aktivitas
keluarga saat butuh sesuatu
2. Klien tampak lemas
DS :
imobilisasi
1. Klien mengatakan badannya
lemas sehingga susah
beraktivitas. keletihan
2. Pasien mengatakan
kepalanya pusing.
3. Pasien mengatakan sesak
nafas
3.3 Intervensi
Tabel 3.2 Konsep Intervensi Keperawatan
Diagnosa :
Domain 11 : Keamanan/perlindungan.
Kelas 2. Cedera fisik (00031)
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Definisi: ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran nafas
untuk mempertahankan jalan nafas.
NOC
Kriteria Hasil :
Definisi : saluran trakeobronkial yang terbuka dan lancar untuk pertukaran gas.
3. Kemampuan untuk mengeluarkan sekret dari skala 1 (deviasi berat dari kisaran
normal)
NIC
(3160) penghisapan lendir pada jalan nafas
Definisi : membuang sekret dengan memasukkan kateter suksion kedalam mulut,
nasofaring atau trakhea pasien
1. Lakukan tindakan cuci tangan.
2. Lakukan tindakan pencegahan umum.
3. Gunakan alat pelindung diri sesuai dengan kebutuhan.
4. Tentukan perlunya suktion mulut atau trakhea.
5. Aukultasi suara nafas sebelum dan setelah tindakan suction.
6. Aspirasi nasopharingeal dengan kanul suction sesuai dengan kebutuhan
7. Berikan sedatif sebagaimana mestinya.
8. Masukan nasopharingeal airway untuk melakukan suction nasotracheal sesuai
kebutuhan
9. Instruksikan pada pasien untuk menarik nafas dalam sebelum dilakukan
suction nasotracheal dan gunakan oksigen sesuiai kebutuhan.
Diagnosa :
Domain 4: Aktivitas/ Istirahat
Kelas 4. Respons Kardiovaskuler/ Pulmonal (00032) Ketidakefektifan pola
nafas.
Definisi: Inspirasi dan/ atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat.
NOC
Kriteria Hasil :
setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam masalah ketidakefektifan pola nafas
dapat teratasi.
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam gangguan pertukaran gas kembali
normal.
Definisi:
1. Tekanan parsial oksigen didarah arteri dari skala 1 (deviasi berat dari kisaran
normal) ditingkatkan ke skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).
2. Tekanan parsial karbondioksida didarah arteri dari skala 1 (deviasi berat dari
kisaran normal) ditingkatkan ke skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).
3. PH arteri dari skala 1 (deviasi berat dari kisaran normal) ditingkatkan ke skala
4 (deviasi ringan dari kisaran normal).
4. Saturasi oksigen dari skala 1 (deviasi berat dari kisaran normal) ditingkatkan
ke skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).
NIC
(3140) Manajemen jalan nafas
Definsi: fasilitas kepatenan jalan nafas.
Aktivitas-aktivitas:
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam, berputar, dan batuk
3. Posisikan untuk meringankan sesak nafas
4. Monitor status pernafasan dan oksigenasi sebagaimana mestinya.
Diagnosa :
Domain 2: Nutrisi
Kelas 1. Makan (00002) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
Definisi: asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
NOC
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam intake nutrisi klien terpenuhi.
Definisi:
6. Asupan zat besi dari skala 1 (tidak adekuat) ditingkatkan menjadi skala 4
(sebagian besar adekuat)
Domain 4: aktivitas/istirahat
Kelas 1. Tidur/istirahat (000198) Gangguan pola tidur
Definisi: interupsi jumlah waktu dan kualitas tidur akibat faktor eksternal.
NOC
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam masalah gangguan pola tidur dapat
teratasi.
(0003) istirahat
Definisi: berkurangnya kuantitas dan pola aktifitas untuk memulihkan mental dan
fisik.
1. Pola istirahat dari skala 1 (sangat terganggu) ditingkatkan menjadi skala 5
(tidak terganggu)
2. kualitas istirahat dari skala 1 (sangat terganggu) ditingkatkan menjadi skala 5
(tidak terganggu)
3. beristirahat secara fisik dari skala 1 (sangat terganggu) ditingkatkan menjadi
skala 5 (tidak terganggu)
4. beristirahat secara mental dari skala 1 (sangat terganggu) ditingkatkan menjadi
skala 5 (tidak terganggu)
NIC
(1850) peningkatan tidur
Definisi: memfasilitasi tidur/siklus bangun teratur.
Aktivitas-aktivitas:
1. tentukan pola tidur pasien
2. jelaskan pentingnya tidur yang cukup selama penyakit dan lain-lain
3. monitor pola tidur pasien dan catat kondisi fisik.
4. Sesuaikan lingkungan untuk meningkatkan tidur.
5. Mulai/terapkan langkah-langkah kenyamanan seperti pijat,pemberian posisi dan
sentuhan efektif.
6. Bantu meningkatkan jumlah jam tidur.
7. Diskusikan dengan pasien dan keluarga mengenai teknik untuk meningkatkan
tidur.
Diagnosa :
Domain 4: aktifitas/istirahat
Kelas 4. Respon kardiovaskular/pulmonal (00092) Intoleran aktivitas
Definisi: ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk mempertahankan
atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin
dilakukan.
NOC
Kriteria Hasil:
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam klien mampu memahami dan
menerima keadaannya sehingga tidak terjadi kecemasan.
Ansietas
Definisi: perasaan tidak nyaman atau gelisah yang samar yang ditimbulkan oleh
persepsi ancaman nyawa atau imajinasi terhadap eksistensi seseorang.
Domain 5:
Persepsi/kognisi Kelas 4. Kognisi (00126) defisiensi pengetahuan
Definisi: ketidaan atau defisiensi informasi kognitif yang berkaitan dengan topik
tertentu.
NOC
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam klien mampu melaksanakan apa
yang telah diinformasikan.