Anda di halaman 1dari 41

TUGAS KOMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


TUBERKOLOSIS PARU

Oleh : Indra Jaya Permana


20180303075

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMUKESEHATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL
2019
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan
bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini dapat menyerang berbagai organ
tubuh, terutama paru-paru dan jika tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas
dapat menyebabkan komplikasi berbahaya bahkan hingga kematian (Kementerian
Kesehatan RI, 2016).
Berdasarkan laporan World Health Organization (2016), tuberkulosis masih
menjadi salah satu dari 10 penyebab kematian di seluruh dunia. Pada tahun 2015,
diestimasikan terdapat sebanyak 10,4 juta orang di dunia menderita TB dan 1,8
juta orang meninggal akibat penyakit TB termasuk 0,4 juta orang meninggal akibat
TB-HIV. Dari seluruh kasus baru TB tersebut, diperkirakan terdapat 1,2 juta orang
yang mengalami TB dengan HIV, 0,48 juta orang dengan TB multidrug resistant
(TB-MDR) serta 0,1 juta orang dengan TB resisten rifampisin (TB-RR).
Laporan internasional menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang
menduduki peringkat kedua negara dengan insiden TB tertinggi di dunia pada tahun
2015 dengan jumlah kematian sebanyak 126.000 orang. Peringkat tertinggi yaitu
India (2.840.000 orang), Indonesia (1.020.000 orang), China (918.000 orang),
Nigeria (586.000 orang), Pakistan (510.000 orang) dan Afrika Selatan (454.000
orang) (WHO, 2016). Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015, kasus TB paru
terbanyak di Indonesia terletak di Provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 31.231 kasus,
peringkat kedua di Provinsi Jawa Timur sebanyak 23.487 kasus, peringkat ketiga di
Provinsi Jawa Tengah sebanyak 19.712 kasus, peringkat keempat di Provinsi
Sumatera Utara sebanyak 16.955 kasus dan di peringkat kelima Provinsi DKI Jakarta
yaitu sebanyak 8.904 kasus (Kemenkes RI, 2016).
Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016, jumlah
keseluruhan penderita TB Paru yang ditemukan yaitu sebanyak 55.503. Dari jumlah
keseluruhan sebanyak 7.302 orang diantaranya merupakan pasien baru TB BTA
positif. Jumlah tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2015 yaitu
sebesar 5.574 orang. Wilayah dengan jumlah penderita TB Paru BTA positif
terbesar terdapat di Jakarta Barat yaitu sebanyak 2.131 orang.
Kota Administrasi Jakarta Barat memiliki sembilan wilayah kecamatan dengan
keseluruhan jumlah penderita TB Paru BTA+ sebanyak 1.742 orang. Cengkareng
merupakan wilayah kecamatan dengan jumlah penderita TB Paru BTA+ terbesar di
Jakarta Barat yaitu sebanyak 508 penderita (Dinkes Provinsi Jakbar, 2014).
Strategi yang direkomendasikan oleh WHO untuk menanggulangi kasus TB
paru yaitu dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-
Course). Salah satu pokok kegiatan program TB dengan strategi DOTS yaitu
pengobatan dengan menggunakan OAT (Obat Anti TUberkulosis) yang diberikan
dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan (Kemenkes RI, 2009).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis melihat masih terdapat penderita
TB paru yang gagal konversi pada pengobatan. Hal ini dapat berdampak negatif
pada kesehatan masyarakat dan keberhasilan program, karena dapat memungkinkan
terjadinya resistensi kuman TB paru terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) serta
masih memberi peluang potensi terjadinya penularan penyakit TB paru kepada
anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya, sehingga dapat menambah
penyebarluasan penyakit TB paru serta meningkatkan kesakitan dan kematian
karena TB paru. Dengan demikian, penulis tertarik untuk melakukan suatu asuhan
keperawatan Pengobatan TB Paru.

1.2. Tujuan Penelitian


1. Tujuan Umum
Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab kegagalan
Pengobatan pada pasien TB Paru.

2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi gambaran umur pasien TB paru.
2. Mengidentifikasi gambaran tingkat pendidikan pasien TB paru.
3. Menganalisis hubungan umur dengan pengobatan pada pasien TB paru
4. Menganalisis kepatuhan berobat pada pasien TB paru positif.

1.3. Manfaat Penulisan


1. Bagi Mahasiswa
Sebagai sarana dan alat untuk menambah pengetahuan atau pengalaman nyata dan
pendalaman tentang asuhan keperawatan komunitas pada pasien TB Paru
2. Bagi Pembaca
Sebagai pengetahuan dan masukan dalam pengembangan ilmu keperawatan
terutama asuhan keperawatan komunitas pada pasien TB Paru
.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


2.1.1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh M.
tuberculosis, suatu bakteri aerob yang tahan asam (acid-fast bacillus [AFB]).
TB merupakan infeksi melalui udara dan umumnya didapatkan dengan inhalasi
partikel kecil (diameter 1 hingga 5 mm) yang mencapai alveolus (Black dan
Hawks 2014).
Menurut Kemenkes RI (2016), Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit
infeksi menular yang disebabkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis.
Penyakit ini dapat menyerang berbagai organ tubuh, terutama paru-paru dan jika
tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menyebabkan komplikasi
berbahaya bahkan hingga kematian.
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi
kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia,
yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M. tuberkulosis (Djojodibroto, 2014).

2.1.2. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1 sampai 4 mm dengan tebal 0,3 sampai 0,6 mm.
sebagian besar komponen Mycobacterium tuberculosis adalah berupa lemak atau
lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat
kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob, yakni
menyukai daerah yang banyak oksigen.oleh karena itu, Mycobacterium tuberculosis
senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi.
Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis
(Somantri, 2007).
Mycobacterium tuberculosis mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan
terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut Basil
Tahan Asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Bakteri ini juga
tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob (Widoyono,
2011).
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100°C selama 5-10 menit atau
pada pemanasan 60°C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama ditempat yang lembab
dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara
(Widoyono, 2011).
Tuberkulosis merupakan infeksi melalui udara danu mumnya di
dapatkan dengan inhalasi partikel kecil (diameter 1hingga 5 mm) yang mencapai
alveolus. Droplet tersebut keluar saat berbicara, batuk, tertawa, bersin atau
menyanyi. Droplet nuklei terinfeksi kemudian dapat terhirup oleh orang yang
rentan (inang). Sebelum terjadi infeksi paru, organisme yang terhirup harus
melewati mekanisme pertahanan paru dan menembus jaringan paru (Black dan
Hawks 2014).
Paparan singkat dengan TB biasanya tidak menyebabkan infeksi.orang yang
paling umum terserang infeksi adalah orang yang sering melakukan kontak dekat
berulang dengan orang yang terinfeksi yang penyakitnya masih belum terdiagnosis.
Orang tersebut mungkin orang yang memiliki kontak berulang dengan klien yang
kurang tertangani secara medis (Black dan Hawks 2014).

2.1.3. Patofisiologi
Penyebar penyakit TB sering tidak tahu bahwa ia menderita sakit tuberkulosis.
Droplet yang mengandung basil TB yang dihasilkan dari batuk dapat melayang di
udara hingga kurang lebih dua jam tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika
droplet tadi terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan terdampar pada
dinding sistem pernapasan. Droplet besar akan terdampar pada saluran
pernapasan bagian atas, droplet kecil akan masuk kedalam alveoli di lobus
manapun; tidak ada predileksi lokasi terdamparnya droplet kecil.pada tempat
terdamparnya, basil tuberkulosis akan membentuk suatu fokus infeksi primer
berupa tempat pembiakan basil tuberculosis tersebut dan tubuh penderita akan
memberikan reaksi inflamasi basil TB yang masuk tadi akan mendapatkan
perlawanan dari tubuh tergantung kepada pengalaman tubuh, yaitu pernah
mengenai basil TB atau belum (Djojodibroto, 2014).
a. Infeksi Primer Infeksi primer adalah waktu pertama kali terinfeksi TB.
Infeksi TB primer biasanya menyerang apeks dari paru-paru atau dekat
pleura dari lobus bawah.walaupun infeksi primer, dapat berupa mikroskopik
(sehingga tidak muncul pada rontgen dada), namun kelanjutan penyakit seperti
dibawah ini sering ditemui (Black dan Hawks 2014).
Muncul suatu bagian kecil yang terserang bronkopneumonia pada
jaringan paru. TB banyak menginfeksi secara fagositosis (di pencernaan) oleh
makrofag yang beredar. Namun sebelum berkembangnya hipersensitivitas
dan imunitas, banyak basilus yang dapat bertahan hidup dalam sel-sel darah
tersebut dan terbawa ke bronkopulmonalis (hilus) kelenjar getah bening melalui
sistem limfatik. Basilus bahkan dapat menyebar ke seluruh tubuh. Walaupun
infeksi kecil,tapi penyebarannya sangat cepat (Black dan Hawks 2014).
Lokasi infeksi primer dapat atau tidak dapat mengalami proses degenerasi
nekrotik, yang disebut kaseasi karena menghasilkan rongga yang terisi massa
seperti keju yang berisi basil tuberkel, sel darah putih mati,dan jaringan paru
nekrotik. Seiring waktu material ini mencair dan keluar melalui saluran
trakeabronkial dan dapet dibatukkan keluar. Kebanyakan TB primer dapat
sembuh dalam periode beberapa bulan dengan membentuk jaringan parut dan
kemudian lesi klasifikasi, yang disebut sebagai kompleks Ghon. Lesi-lesi
tersebut dapat mengandung basilus hidup yang dapat mengalami reaktivasi,
terutama jika klien mengalami masalah imunitas,bahkan setelah bertahun-tahun
dan menyebabkan infeksi sekunder (Black dan Hawks 2014).
Infeksi TB primer akan menyebabkan tubuh mengembangkan reaksi
alergi terhadap basilus tuberkel atau proteinnya. Respons imunitas dimediasi sel
ini muncul dalam bentuk sel-T tersensitasi dan dapat dideteksi sebagai reaksi
positif pada uji kulit tuberkulin. Munculnya sensitivitas tuberkulin ini
terjadi pada semua sel tubuh 2 hingga 6 minggu setelah infeksi primer.
Sensitivitas ini ada selama basilus hidup masih berada di dalam tubuh.
Kekebalan yang didapat ini bisa menghambat pertumbuhan lebih lanjut dari
basil dan perkembangan infeksi aktif (Black dan Hawks 2014).
Sekitar 10% orang yang terinfeksi TB pada akhirnya akan
mengalami penyakit aktif dalam hidup mereka. Alasan penyakit TB aktif
muncul pada beberapa klien (alih-alih mampu dikontrol oleh respons imun
yang didapat sehingga tetap dorman) masih belum dipahami dengan jelas.
Namun, faktor-faktor yang tampaknya berperan pada perkembangan dari infeksi
TB dorman menjadi penyakit aktif melibatkan hal-hal berikut : (Black dan
Hawks 2014).
1) Kontak ulang dengan orang yang memiliki TB aktif
2) Usia lanjut
3) Infeksi HIV
4) Imunosupresi
5) Terapi kortikosteroid jangka panjang
6) Tinggal atau bekerja pada area padat berisiko tinggi (penjara,
fasilitas perawatan jangka panjang)
7) Berat badan rendah (10% atau lebih dibawah berat badan ideal)
8) Penyalahgunaan narkoba
9) Adanya penyakit lain (misalnya, diabetes melitus, penyakit ginjal
stadium akhir atau penyakit ganas).

b. Infeksi Sekunder
Selain penyakit primer progresif, terinfeksi ulang juga dapat
menyebabkan bentuk klinis TB aktif atau infeksi sekunder. Lokasi infeksi
primer yang mengandung basilus TB mungkin tetap latem bertahun-tahun dan
dapat mengalami reaktivasi jika resistensi klien turun. Oleh karena
dimungkinkan terjadinya infeksi ulang dan karena lesi dorman dapat
mengalami reaktivasi, maka penting bagi klien dengan infeksi TB untuk dikaji
secara periodik terhadap bukti-bukti adanya penyakit aktif (Black dan Hawks
2014).

2.1.4. Manifestasi Klinis


Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator, yaitu suatu penyakit
yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan
gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah klien gejala yang timbul
tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimptomatik. Keluhan yang
sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan dari tim
kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu keluhan respiratoris yaitu
batuk, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada serta keluhan sistemis, yaitu demam,
keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan dan malaise (Muttaqin, 2008).
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama dua minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan (Kemenkes RI, 2014).
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru
selain TB, seperti bronkiestasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-
lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke fasyankes dengan gelaja tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung (Kemenkes RI, 2014).

2.1.5. Cara Penularan


Penyakit tuberkoulosis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien TBC
batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang
lain saat bernapas. Bila penderita batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan
dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur dan terhirup ke dalam paru orang
sehat. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2011).

Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya
sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular TBC adalah 17%. Hasil studi
lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah)
akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah)
(Widoyono, 2011).
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak
yang dikeluarkannya. Namun bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut
bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤
dari 5000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan
mikrokopis langsung (Kemenkes RI, 2014).
Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%,
pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien
TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%. Infeksi akan
terjadi apabila orang lain akan menghirup udara yang mengandung percik renik
dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali
batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Kemenkes RI, 2014).
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab (Kemenkes
RI, 2011).

2.1.6. Diagnosis TB Paru


Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB paru
pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan
bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat. Apabila pemeriksaan secara
bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakkan diagnosis TB dapat dilakukan
secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-
tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang
terlatih TB (Kemenkes RI, 2014).
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis atau
hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan
terjadi overdiagnosis atau underdiagnosis. Selain itu juga tidak dibenarkan
mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin (Kemenkes RI, 2014).
Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS
(Sewaktu-Pagi-Sewaktu). Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu)
dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif (Kemenkes RI, 2014).
Menurut Mansjoer dkk., (1999), klasifikasi diagnostik TB adalah:

1) TB Paru
a. BTA mikroskopis langsung (+) atau biakan (+), kelainan foto toraks
menyokong TB,dan gejala klinis sesuai TB.
b. BTA mikroskopis langsung atau biakan (-), tetapi kelainan rontgen dan
klinis sesuai TB dan memberikan perbaikan pada pengobatan awal anti TB
(initial therapy) pasien golongan ini memerlukan pengobatan yang
adekuat.
2) TB Paru Tersangka
Diagnosis pada tahap ini bersifat sementara sampai hasil pemeriksaan BTA
didapat (paling lambat 3 bulan). Pasien dengan BTA mikroskopis langsung (-)
atau belum ada hasil pemeriksaan atau pemeriksaan belum lengkap, tetapi
kelainan rontgen dan klinis sesuai TB paru. Pengobatan dengan anti TB sudah
dapat dimulai.
3) Bekas TB (tidak sakit)
Ada riwayat TB pada pasien di masa lalu dengan atau tanpa pengobatan atau
gambaran rontgen normal atau abnormal tetapi stabil pada foto serial dan
sputum BTA (-). Kelompok ini tidak perlu diobati.

Sumber: Kemenkes RI (2014)


Gambar 2.1 Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa (tanpa
kecurigaan/bukti:hasil tes HIV (+) atau terduga TB Resistan Obat)
Keterangan:
1) P emeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar
kondisi pasien dalam rekam medis. Untuk fasilitas kesehatan yang memiliki
alat tes cepat, pemeriksaan mikroskopis langsung tetap dilakukan untuk
terduga TB tanpa kecurigaan atau bukti HIV maupun resistensi OAT.
2) Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak
menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan
pemeriksaan tes cepat dan biakan. Untuk pemeriksaan tes cepat dapat
dilakukan hanya dengan mengirimkan contoh uji.
3) Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi.
4) Pemeriksaan AB (antibiotika) non OAT yang tidak memberikan efek
pengobata TB termasuk golongan Kuinolon.
5) Untuk memastikan diagnosis TB
6) Dilakukan TIPK (Test HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling).
7) Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan
asesment lanjutan oleh dokter untuk faktor-faktor yang bisa mengarah ke TB
(Kemenkes RI, 2014).
Agar tidak terjadi over diagnosis atau under diagnosis yang dapat
merugikan pasien serta gugatan hukum yang tidak perlu, pertimbangan dokter untuk
menetapkan dan memberikan pengobatan didasarkan pada :
a. Keluhan, gejala dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung TB
b. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan, misal: pada meningitis TB,
TB milier, pasien ko-infeksi TB/HIV, dsb.
c. Sebaiknya tindakan medis yang diberikan dikukuhkan dengan persetujuan
tertulis pasien atau pihak yang diberikan kuasa (informed consent).
Semua terduga pasien TB dengan gejala batuk harus diberikan
edukasi tentang PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) untuk menurunkan
risiko penularan (Kemenkes, 2014).
2.1.7. Pengobatan TB Paru
1) Tujuan Pengobatan
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain mengobati, juga untuk
mencegah kematian, kekambuhan, resistensi terhadap OAT (Obat anti-
Tuberkulosis), serta memutuskan mata rantai penularan. Untuk penatalaksanaan
pengobatan tuberculosis paru, berikut ini adalah beberapa hal yang penting
untuk diketahui (Muttaqin, 2008).
Mekanisme kerja Obat anti-Tuberkulosis (OAT):
a. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat
b. Aktivitas sterilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant)
c. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas
bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.
2) Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat yang digunakan untuk TB dapat berupa lini-pertama dan lini- kedua. Agen
lini-pertama hampir selalu diresepkan pertama kali hingga hasil kultur dan
sensitivitas tersedia. Pada klien dengan riwayat terapi TB tidak lengkap,
organisme resistan telah tumbuh dan agen sekunder yang digunakan (Black dan
Hawks 2014).
Tabel 2.1 OAT Lini Pertama
Jenis Sifat Efek Samping
Neuropati perifer, psikosis toksik,
Isoniazid (H) Bakterisidal
gangguan fungsi hati, kejang
Flu syndrome, gangguan gastrointestinal,
urine berwarna merah, gangguan fungsi
Rifampisin (R) Bakterisidal
hati, trombositopeni, demam, skin rash, sesak napas,
anemia hemolitik.
Gangguan gastrointestinal, gangguan
Pirazinamid (Z) Bakterisidal
fungsi hati, gout artritis.
Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, renjatan anafilaktik
Streptomisin (S) Bakterisidal
anemia, agranulositosis, trombositopeni.
Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer.
Etambutol (E) Bakteriostatik
Sumber: Kemenkes RI (2014)

Tabel 2.2 Kisaran Dosis OAT Lini Pertama bagi Pasien Dewasa
Dosis
Harian 3x/minggu
OAT
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum/hari
(mg/kg BB) (mg) (mg/kg BB) (mg)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000
Kemenkes, 2014
Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien
dengan berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis >500
mg/hari. Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10
mg/kg BB/hari (Kemenkes, 2014).
Paduan OAT yang digunakan di oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia sesuai rekomendasi WHO dan ISTC adalah:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
c. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR
d. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,
Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT
lini-1, yaitu pirazinamid dan etambutol.
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri
dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien (Kemenkes RI, 2014).
Paduan OAT KDT Lini Pertama Kategori-1 yang diberikan untuk
pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis
klinis, serta pasien TB ekstra paru yaitu 2(HRZE) / 4(HR)3 (Kemenkes RI,
2014).

Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE) / 4(HR)3


Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Badan (kg) tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 - 54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 - 70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber: Kemenkes RI, 2014
3) Tahapan Pengobatan
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan maksud: (Kemenkes RI, 2014)
a. Tahap awal

Pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan pada tahap ini


adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman
yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,harus diberikan
selama dua bulan.pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa
adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan
selama dua minggu.
b. Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman
persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

4) Pemantauan dan Evaluasi Pengobatan


WHO merekomendasikan pemeriksaan apusan dahak BTA pada akhir
fase intensif pengobatan untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama baik
kasus baru dan pengobatan ulang. Apusan dahak BTA dilakukan pada akhir bulan
kedua (2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan akhir bulan ketiga
(2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan ulang. Rekomendasi ini juga
berlaku untuk pasien dengan apusan dahak BTA negatif (Kemenkes RI, 2013).
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan
dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis
dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju endapdarah (LED) tidak
digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua
contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila
kedua contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau
keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif
(Kemenkes RI, 2014)Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum
memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA
positif merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang
dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien
harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan apabila
tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan
ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke-5. Apabila hasilnya negatif,
pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan (Kemenkes RI,
2014).
Apusan dahak BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan beberapa
hal berikut ini:
a. Supervisi kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang buruk.
a. Kualitas OAT yang buruk.
b. Dosis OAT dibawah kisaran yang direkomendasikan.
c. Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman
yang banyak.
d. Terdapatnya komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau respons terapi.
e. Pasien memiliki M. tuberculosis resisten obat yang tidak memberikan respons
terhadap terapi OAT lini pertama.
f. Bakteri mati yang terlihat oleh mikroskop (Kemenkes RI, 2013).

Menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia (2006), evaluasi penderita meliputi


evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik dan efek samping obat serta evaluasi
keteraturan berobat.
1. Evaluasi klinik
a. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama, pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan.
b. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya komplikasi penyakit.
c. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.
2. Evaluasi bakteriologik (0 – 2 – 6/9 )
a. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
b. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopik
1) Sebelum pengobatan dimulai
2) Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
3) Pada akhir pengobatan
c. Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 – 2 – 6/9)
3. Evaluasi radiologik (0 – 2 – 6/9)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada :
a. Sebelum pengobatan
b. Setelah 2 bulan pengobatan
c. Pada akhir pengobatan
4. Evaluasi efek samping secara klinik
a. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal
dan darah lengkap.
b. Fungsi hati; SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal: ureum, kreatinin,
dan gula darah, asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan.
c. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.
d. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan
etambutol.
e. Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji
keseimbangan dan audiometri.
f. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan
pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik
kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai
terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.
5. Evaluasi keteraturan berobat
Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan
adalah keteraturan berobat. Diminum atau tidaknya obat tersebut. Dalam hal
ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
6. Evaluasi penderita yang telah sembuh
Penderita TB yang telah dinyatakakn sembuh tetap dievaluasi minimal 2
tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang
dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA
dahak 3, 6, 12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,
12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

2.1.9 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan TB Paru


A. Umur
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada kejadian TB paru.
Risiko untuk mendapatkan TB paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal
terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga
dewasa memiliki daya tahan terhadap TB paru dengan baik. Puncaknya tentu
dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok
menjelang umur tua. Infeksi TB paru aktif meningkat secara bermakna sesuai
dengan umur. Insiden tertinggi TB paru biasanya mengenai umur dewasa
muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok
umur produktif yaitu 15-50 tahun (Kemenkes RI, 2011).
Kekuatan untuk melawan iinfeksi adalah tergantung ketahanan tubuh dan ini
sangat dipengaruhi oleh umur penderita. Pada awal kelahiran pertahanan tubuh
sangat lemah dan akan meningkat secara perlahan sampai umur 10 tahun,
setelah masa pubertas pertahanan tubuh menjadi lebih baik dalam mencegah
penyebaran infeksi melalui darah,tetapi lemah dalam mencegah penyebaran
infeksi paru. Tingkat umur penderita dapat mempengaruhi efek
kerja obat, karena metabolisme obat dan fungsi organ tubuh kurang
efisien pada bayi yang
sangat muda dan pada orang tua, sehingga dapat menimbulkan efek yang
lebih kuat dan panjang pada kedua kelompok umur ini (Crofton,
2002).
Umur berhubungan dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru, dimana
umur dapat mempengaruhi kerja dan efek obat karena metabolisme obat pada
orang yang muda berbeda dengan orang tua. Usia lanjut lebih dari 55 tahun
sistem imunologis pada umumnya menurun, sehingga sangat rentan terhadap
berbagai penyakit, termasuk tuberkulosis paru. Semakin tua usia akan terjadi
perubahan fungsi secara fisiologik, patologik dan penurunan sistem pertahanan
tubuh dan ini akan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menangani OAT
yang diberikan (Crofton, 2002).
Umur memiliki pengaruh terhadap konversi sputum BTA positif. Penderita
yang mengalami gagal konversi sputum BTA di usia <50 tahun terdapat
sebanyak 11,2% dan sebanyak 35% yang berusia >50 tahun. Penelitian tersebut
menunjukkan risiko kegagalan konversi sputum BTA meningkat pada
penderita TB paru yang berusia lebih tua. Hal ini dikarenakan pasien yang
lebih muda memiliki pengetahuan yang lebih baik dan teratur dalam
mengambil obat, memiliki insidensi yang lebih rendah dalam
ketidakpatuhan pengobatan, kondisi komorbiditas kecil,
serta pola makan yang lebih baik dibandingkan pasien yang lebih tua (Vora dkk.,
2016 ).

B. Jenis Kelamin
Seks merupakan persifatan atau pembagian dua jenis kelamin yang
ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu.
Misalnya, bahwa manusia yang memiliki penis, dzakar dan
memproduksi sprema adalah laki-laki. Sedangkan perempuan adalah manusia
yang memiliki alat reproduksi seperti rahim dan salurah untuk melahirkan,
memproduksi telur, memiliki vagina dan alat menyusui. Alat-alat tersebut
secara bilogis melekat pada jenis perempuan dan laki- laki selamanya. Artinya,
secara bilogis alat-alat tersebut tidak dapat dipertukarkan satu dengan
yang lainnya. Secara permanen tidak
berubah dan merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat (Rokhmansyah,
2016).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering terkena TB
paru dibandingkan perempuan. Hal ini oleh karena laki-laki memiliki aktivitas
yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, sehingga kemungkinan terpapar
lebih besar pada laki-laki. Selain itu, kebiasaan merokok dan mengkonsumsi
alkohol pada laki-laki dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah
terkena TB paru (Alfian, 2005).
Berdasarkan penelitian Wijaya (2012), jumlah penderita laki-laki lebih
tinggi dari perempuan, yaitu sebesar 54%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
tentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasa yang menyatakan
bahwa laki-laki mempunyai kecenderungan lebih rentan terhadap faktor resiko
TB paru. Hal tersebut dimungkinkan karena laki-laki lebih banyak melakukan
aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh penyebab penyakit ini.
Berdasarkan penelitian Pant, dkk (2009) pasien tuberkulosis MDR yang
sebelumnya mengalami kegagalan pengobatan awal, terdapat sebanyak 70%
berjenis kelamin laki-laki. Tingginya proporsi jenis kelamin laki-laki yang gagal
dalam pengobatan tuberkulosis paru dikarenakan laki-laki memiliki tingkat
keteraturan dan kepatuhan dalam pengobatan yang relatif lebih kecil
dibandingkan pada jenis kelamin perempuan.

C. Tingkat Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan kesadaran untuk menjalani
pengobatan TB paru secara teratur dan lengkap juga relatif rendah, antara lain
tercermin dari cukup banyaknya penderita yang tidak menuntaskan
pengobatan karena tidak kembali untuk kunjungan ulang (follow up) dan
beberapa penderita yang merasa bosan minum obat setiap hari untuk jangka
lama. Disamping itu, rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan rendahnya
pengetahuan dalam hal menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan, tercermin
dari perilaku sebagian penderita yang masih membuang dahak dan meludah
disembarang
tempat. Kebiasaan berperilaku kurang sehat terhadap lingkungan dan diri
sendiri, disamping pengobatan yang tidak tuntas atau tidak lengkap,
menyebabkan penderita tersebut menjadi sumber penularan bagi keluarga
maupun lingkungan sekitarnya (Crofton, 2002).
Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau
masyarakat dan perilaku terhadap penggunaan sarana atau pelayanan kesehatan
yang tersedia. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (Notoatmodjo, 2007).

D. Status Pekerjaan
Seseorang yang mempunyai latar belakang tertentu seperti bekerja atau tidak
bekerja maka akan memiliki pandangan tersendiri terhadap pencarian
pengobatan. Termasuk diantaranya pada pasien tuberkulosis paru yang bekerja
maupun tidak bekerja akan mencari pengobatan untuk bisa sembuh
(Purwanto, 2003).
Berdasarkan data hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi
penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidak bekerja
yaitu sebesar 11,7%.
Pekerjaan merupakan faktor risiko terjadinya kegagalan konversi pada
penderita TB paru fase intensif dengan nilai OR: 2,026 (95% CI:
0,586-7,012) menunjukkan bahwa penderita TB paru dengan pekerjaan non
formal (buruh, pedagang, petani, tidak bekerja) memiliki risiko terjadinya
kegagalan konversi sebesar 2,026 kali lebih besar dibanding penderita dengan
pekerjaan formal (pegawai swasta) (Amaliah, 2012).

E. Status Gizi
Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait.
Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang
berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang
rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang
buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan
dalam mempetahankan diri
terhadap penyakit infeksi seperti TB paru menjadi menurun. Demikian juga
sebaliknya seseorang yang menderita penyakit kronis, seperti TB paru
umumnya status gizinya mengalami penurunan (Notoatmodjo,
2007).
Salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik, baik pada
perempuan, laki-laki, anak-anak, maupun dewasa. Status gizi yang buruk
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru, kekurangan
kalori dan protein serta kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko
terkena TB paru. Cara pengukurannya adalah dengan membandingkan berat
badan dan tinggi badan atau Indek Masa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat
yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan
berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan
hidup lebih panjang (Supariasa, 2001).
Untuk mengetahui nilai IMT, dapat dihitung dengan rumus berikut:

Berat Badan (kg)


IMT = Tinggi Badan (m)x Tinggi Badan (m)

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan


FAO/WHO. Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi
berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara
berkembang. Batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel 2.4 Batas Ambang Indeks Masa Tubuh
Kategori IMT
Kekurangan berat badan tingkat berat <17,0
Kurus
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,5
Normal 18,5 – 25,5
Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,5 – 27,0
Gemuk
Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0
Sumber: Kemenkes, 2014

Keadaan nutrisi yang salah dapat menurunkan resistensi terhadap


tuberkulosis baik pada penderita dewasa maupun anak-anak sehingga hal ini
sangat berpengaruh pada proses penyembuhan (Crofton, 2002).
Status gizi merupakan faktor risiko terjadinya kegagalan konversi pada
penderita TB paru fase intensif dengan nilai OR: 3,500 (95% CI:
1,780-6,883) menunjukkan bahwa penderita dengan status gizi kurus memiliki
risiko terjadinya kegagalan konversi sebesar 3,500 kali lebih besar dibanding
penderita dengan status gizi normal. Secara statistik status gizi mempunyai
hubungan yang signifikan dengan kegagalan konversi (Amaliah, 2012).

F. Kepatuhan Berobat
Pemberian obat anti tuberkulosis yang benar dan terawasi secara baik
merupakan salah satu kunci penting mencegah dan mengatasi masalah resistensi
ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan
salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan
menanggulangi masalah tuberkulosis khususnya resistensi ganda (PDPI, 2006).
Keteraturan pengobatan apabila kurang dari 90% maka akan mempengaruhi
penyembuhan. Jadi OAT harus diminum secara teratur sesuai jadwal, terutama
pada fase awal. Yang paling ideal adalah setiap hari penderita datang dan
minum obat dihadapan petugas, akan tetapi pada pelaksanaannya metode ini
sulit dilakukan terutama bagi penderita yang tempat tinggalnya jauh dari
tempat pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu diambil kebijaksanaan frekuensi
pengambilan obat dapat dilakukan langsung kepad penderita atau melalui
pengawas pengobatan, sekali dalam seminggu pada fase intensif dan sekali
dalam sebulan untuk fase lanjutan (Depkes RI, 2002).
Seorang penderita dikatakan patuh menjalani pengobatan apabila minum
obat sesuai aturan paket obat dan ketepatan waktu mengambil obat sampai
selesai masa pengobatan. Sedangkan penderita dikatakan lalai jika tidak datang
lebih dari 3 hari sampai 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out
jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi
petugas kesehatan (Depkes RI,
2002).
Sikap penderita terhadap keteraturan minum obat merupakan faktor risiko
terjadinya kegagalan konversi pada penderita TB paru fase intensif dengan
nilai OR: 3,228 (95% CI: 1,707 – 6,102) menunjukkan bahwa penderita dengan
sikap terhadap keteraturan minum obat yang buruk memiliki risiko terjadinya
kegagalan konversi sebesar 3,228 kali lebih besar dibanding penderita dengan
sikap keteraturan minum obat yang baik. Secara statistik, sikap penderita
terhadap keteraturan minum obat mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kegagalan konversi (Amaliah, 2012).
Selain itu juga terdapat pengaruh yang bermakna antara keteraturan berobat
dengan konversi dahak penderita TB paru kasus baru setelah pengobatan fase
intensif. Angka odd ratio sebesar 4,92 menunjukkan pengaruh yang secara
statistik signifikan antara keteraturan berobat dengan konversi dahak
penderita TB paru kasus baru setelah pengobatan fase intensif. Penderita TB
paru yang teratur berobat 4,92 kali lebih besar mengalami konversi dahak dari
pada penderita yang tidak teratur berobat. Frekuensi pengambilan obat yang
tidak teratur menyebabkan ketidakteraturan minum obat sehingga dosis obat
yang tidak sesuai dan pada akhirnya mengakibatkan tidak terjadi konversi dahak
(Mambodiyanto dan Koosgiarto, 2015).

H. Perilaku Merokok
Merokok merupakan salah satu kebiasaan yang lazim ditemui dalam
kehidupan sehari-hari. Merokok adalah perilaku yang dilakukan seseorang
berupa membakar dan menghisap rokok serta menimbulkan asap yang dapat
terhisap oleh orang-orang disekitarnya (Bustan, 2007).
Seseorang dikatakan perokok jika telah menghisap minimal 100 batang
rokok. Pengukurang tentang kebiasaan merokok pada seseorang dapat
ditentukan pada suatu kriteria yang dibuat berdasarkan anamnesis atau
menggunakan kriteria yang telah ada. Biasanya batasan yang digunakan adalah
berdasarkan jumlah rokok yang dihisap setiap hari atau lamanya kebiasaan
merokok (Bustan, 2007).
Merokok dapat menyebabkan sistem imun paru menjadi lemah dan
memudahkan kuman TB berkembang sehingga dapat mempengaruhi
kesembuhan pengobatan penderita TB paru. Asap rokok mengandung ribuan
bahan kimia beracun yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen).
Bahan berbahaya dalam rokok dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada
orang yang merokok dan orang disekitarnya yang tidak merokok (Wijaya, 2012).
Merokok diketahui mengganggu efektivitas sebagian mekanisme
pertahanan respirasi. Produk-produk asap rokok diketahui merangsang
pembentukan mukus dan menurunkan pergerakan silia. Akibatnya terjadi
penimbunan mukus dan peningkatan risiko pertumbuhan bakteri (Amu, 2008).
Merokok merupakan faktor risiko penting yang mempengaruhi konversi
sputum pada TB paru. Dari penelit ian didapatkan sebanyak
53% pasien TB paru yang merokok dan 10% yang tidak merokok yang
mengalami sputum BTA positif di akhir 2 bulan pengobatan. Dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara merokok dengan konversi
sputum BTA pada TB paru (Metanat dkk., 2010).
BAB III
KONSEP ASKEP PADA PASIEN DENGAN
TUBERKOLOSIS PARU

2.1 Pengkajian
Tujuan dari pengkajian atau anamnesa merupakan kumpulan informasi subyektif yang
diperoleh dari apa yang dipaparkan oleh pasien terkait dengan masalah kesehatan yang
menyebabkan pasien melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan (Niman, 2013). Identitas
pasien yang perlu untuk dikaji meliputi:
a. Meliputi nama dan alamat
b. Jenis kelamin : TB paru bisa terjadi pada pria dan wanita
c. Umur: paling sering menyerang orang yang berusia antara 15 – 35 tahun.
d. Pekerjaan: Tidak didapatkan hubungan bermakna antara tingkat pendapatan, jenis
pekerjaan
2.1.1 Pengkajian Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang:
pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Lakukan pertanyaan yang
bersifat ringkas sehingga jawaban yang diberikan klien hanya kata “ya” atau “tidak”
atau hanya dengan anggukan kepala atau gelengan.
b. Riwayat Kesehatan Sebelumnya:
pengkajian yang mendukung adalah mengkaji apakah sebelumnya klien pernah
menderita TB paru atau penyakit lain yang memperberat TB Paru.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga:
secara patologi TB Paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan apakah
penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi
penularan di dalam rumah.
d. Riwayat Tumbuh Kembang:
Kelainan-kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan dan pertumbuhan
seseorang yang dapat mempengaruhi keadaan penyakit seperti gizi buruk.
e. Riwayat Sosial Ekonomi:
Apakah pasien suka berkumpul dengan orang-orang yang likungan atau tempat
tinggalnya padat dan kumuh karena kebanyakan orang yang terkena TB Paru berasal
dari likungan atau tempat tinggalnya padat dan kumuh itu.
f. Riwayat Psikologi:
Bagaimana pasien menghadapi penyakitnya saat ini apakah pasien dapat menerima, ada
tekanan psikologis berhubungan dengan sakitnya itu. Kita kaji tingkah laku dan
kepribadian, karena pada pasien dengan TB Paru dimungkinkan terjadi perubahan
tingkah laku seperti halnya berhubungan dengan aib dan rasa malu dan juga ada rasa
kekhawatiran akan dikucilkan dari keluarga dan lingkungan akibat penyakitnya
sehingga dapat mengakibatkan orang tersebut menjauhkan diri dari semua orang.
1.1.2 Pengkajian Berdasarkan NANDA
a. Domain Promosi Kesehatan
1) Arti sehat dan sakit bagi pasien.
2) Pengetahuan status kesehatan pasien saat ini.
3) Perlindungan terhadap kesehatan: program skrining, kunjungan ke pusat
pelayanan kesehatan, diet, latihan dn olahraga, manajemen stress, faktor
ekonomi.
4) Pemeriksan diri sendiri: riwayat medis keluarga, pengobatan yang sudah
dilakukan.
5) Perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan.
6) Data pemeriksaan fisik yang berkaitan.
b. Domain Nutrisi
1) Kebiasaan jumlah makanan.
2) Jenis dan jumlah (makanan dan minuman)
3) Pola makan 3 hari terakhir/ 24 jam terakhir, porsi yang dihabiskan, nafsu makan.
4) Kepuasaan akan berat badan.
5) Persepsi akan kebutuhan metabolic
6) Faktor pencernaan: nafsu makan, ketidaknyamanan, rasa dan bau, gigi, mukosa
mulut, mual atau muntah, pembatasan makanan, alergi makanan.
7) Data pemeriksaan fisik yang berkaitan (berat badan saat ini dan SMRS)
c. Domain Eliminasi dan Pertukaran
1) Kebiasaan pola buang air kecil: frekuensi, jumlah (cc), wana, bau, nyeri,
mokturia, kemampuan menontrol BAK, adanya perubahan lain.
2) Kebiasaan pola buang air besar: frekuensi, jumlah (cc), warna, bau, nyeri,
mokturia, kemampuan mengontrol BAK, adanya perubhana lain.
3) Keyakinan budaya dan kesehatan.
4) Kemampuan perawatan diri: ke kamar mandi, kebersihan diri.
5) Penggunaan bantuan untuk ekskresi
6) Data pemeriksaan fisik yang berhubungan (abdmen, genetalia, rectum, prostat)
d. Domain Aktivitas / Istirahat
1) Aktivitas kehidupan sehari-hari
2) Olahraga: tipe, frekuensi, durasi, da inetensitas.
3) Aktivitas menyenangkan
4) Keyakinan tentang latihan dan olahraga
5) Kemampuan untuk merawat diri sendiri (berpakaian, mandi, makan, kamar
mandi)
6) Mandiri, bergantung atau perlu bantuan.
7) Penggunaan alat bantu (kruk, kaki tiga)
8) Data pemeriksaan fisik (pernapasan, kardiovaskular, muskoloskeletal, neurologi)
9) Kebiasaan tidur sehari-hari (jumlah waktu tidur, jam tidur dan bangun, ritual
menjelang tidur, lingkungan tidur, tingkat kesegaran setelah tidur)
10) Penggunaan alat mempermudah tidur (obat-obatan)
11) Jadwal istirahat dan relaksasi
12) Gejala gangguan pola tidur
13) Faktor yang berhubungan (nyeri, suhu, proses penuaan dll)
14) Data pemeriksaan fisik (lesu, kantung mata, keadaan umum, mengantuk)
e. Domain Persepsi / Kognisi
1) Gambaran tentang indra khusus (penglihatan, penciuman, pendengar, perasa,
peraba)
2) Penggunaan ketidaknyaman nyeri (pengkajian nyeri secara komprehensif)
3) Keyakinan budaya terhadap nyeri
4) Tingkat pengetahuan klien terhadap nyeri dan pengetahuan untuk mengontrol
dan mengatasi nyeri
5) Data pemeriksaan fisik yang berhubungan (neurologis, ketidaknyamanan)
f. Domain Persepsi Diri
1) Keadan sosial: pekerjaan, situasi keluarga, kelompok sosial.
2) Identitas Personal: penjelasan tentang diri sendiri, kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki
3) Keadaan fisik, segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh (yang disukai dan
tidak)
4) Harga diri: perasaan mengenai diri sendiri.
5) Ancaman terhadap konsep diri (sakit, perubahan peran).
6) Riwayat berhubungan denan masalah fisik dan tau psikologi.
7) Data meneriksaan fisik yang berkaitan (mengurung diri, murung, gidak mau
berintaksi)
g. Domain Hubungan Peran
1) Gambaran tentang peran berkaitan degan keluarga, teman, kerja
2) Kepuasan/ ketidak puasaan menjalankan peran
3) Efek terhadap status kesehatan
4) Petingnya keluarga
5) Struktur dan dukungan keluarga
6) Proses pengambilan keputusan keluarga
7) Pola membesarkan anak
8) Hubungan dengan orang lain
9) Orang terdekat dengan klien
10) Data pemeriksaan fisik yang berkaitan
h. Domain seksualitas
1) Masalah atau perhatian seksual
2) Menstruasi, jumlah anak, jumlah suami/istri
3) Gambaran perilaku seksual (perilaku seksual yang aman, peukan, sentuhan, dll)
4) Pengetahuan yang berhubungan dengan seksualitas dan reprosuksi
5) Efek terhadap kesehatan
6) Riwayat yang berhubungan dengan masalah fisik dan psikologi
7) Data pemeriksaan fisik yang berkaitan (KU, genetalia, payudara, rektum)
i. Domain Koping / Toleransi Stress
1) Sifat pencetus stress yang dirasakan baru-baru ini
2) Tingkat stress yang dirasakan
3) Gambaran respons umum dan khusus terhadap stress
4) Strategi mengatsai stress yang biasa digunakan dan keefektifannya.
5) Strategi koping yang biasa digunakan
6) Pengetahuan dan penggunaan teknik manajemen stress
7) Hubungan antara manajemen stress dengan keluarga.
j. Domain Prinsip Hidup
1) Latar belakang budaya/ etnik
2) Status ekonomi, perilaku kesehatan yang berkaitan dengan kelompok budaya/
etnik
3) Tujuan kehidupan bagi pasien
4) Pentingnya agama/ spiritualitas
5) Dmapak masalah kesehatan terhadap spiritualitas
6) Keyakinan dalam budaya (mitos, kepercayaan, larangan, adat) yang dpat
mempengaruhi kesehatan
k. Domain Keamanan / Perlindungan
1) Infeksi
2) Cedera fisik
3) Perilaku kekerasan
4) Bahaya lingkungan
5) Proses pertahanan tubuh
6) Temoregulasi
l. Domain Kenyamanan
1) Berisikan Kenyamanan fisik, lingkungan dan sosial pasien
m. Domain Pertumbuhan / Perkembangan
1) Berisi tentang pertumbuhan dan perkembangan klien
2.1.3 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaaan umum
Keadaan umum pada klien dengan TB Paru dapat dilakukan secara selintas
pandang dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara
umum tentang kesadaran klien yang terdiri dari compos mentis, apatis, somnolen, sopo,
soporokoma, atau koma. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB Paru
biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat
apabila disertai sesak nafas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan
suhu tubuh dan frekuensi pernafasan dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya
penyakit seperti hipertensi.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada klien TB Paru meliputi pemeriksaan fisik umum per
sistem dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2
(Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), B6 (Bone) serta pemeriksaan yang fokus
pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh sistem pernafasan.
Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
1. B1 (Breathing) : pemeriksaan fisik pada klien TB Paru merupakan pemeriksaan fokus
yang terdiri atas inspeksi, palpasi,perkusi dan auskultasi.
Inspeksi
Bentuk dada dan gerakan pernafasan. Sekilas pandang klien dengan TB Paru
biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada
antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari Tb
Paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrisan
rongga dada, pelebaran intercostal space (ICS) pada sisi yang sakit. TB Paru yang disertai
etelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat
penderitanya mengalami penyempitan intercostal space (ICS) pada sisi yang sakit.
Palpasi
Palpasi trakhea. Adanya pergeseran trakhea menunjukan-meskipun tetapi tidak
spesifik-penyakit dari lobus atau paru. Pada TB Paru yang disertai adanya efusi pleura
masif dan pneumothoraks akan mendorong posisi trakhea kearah berlawanan dari sisi
sakit.
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernafasan. TB Paru tanpa komplikasi
pada saat dilakukanpalpasi, gerakan dada saat bernafas biasanya normal dan seimbang
antara kiri dan kanan.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan
tangannya di dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh
penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon bronkhial untuk membuat dinding
dada dalam gerakan resonan, terutama pada bunyi konsonan.
Perkusi
Pada klien dengan TB Paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan
bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien TB Paru yang disertai
komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang
sakit sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi nafas tambahan (ronkhi) pada sisi
yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksaan untuk mendokumentasikan hasil auskultasi
di daerah mana didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika
klien berbicara disebut sebagai resonan vokal.

2. B2 (Blood) : pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi :


Inspeksi : inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik
Palpasi : denyut nadi perifer melemah
Perkusi : batas jantung mengalami pergeseran pada TB Paru dengan efusi pleura
masif mendorong ke sisi sehat.
Auskultasi : tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak
didapatkan.
3. B3 (Brain) : kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer
apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak
dengan wajah mringis, menangis,merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan
pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya konjungtiva anemis pada TB Paru
dengan hemoptoe masif dan kronis, dan sklera ikterik pada TB paru dengan
gangguan fungsi hati.
4. B4 (Bladder): pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan.
Olek karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut
merupakan tanda awal dari syok. Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine
yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal
sebagai ekskresi karena meminum OBAT terutama rifampisin.
5. B5 (Bowel) : klien biasanya mengalami mual,muntah, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan.
6. B6 (Bone) : aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB Paru.
Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap,
dan jadwal olahraga menjadi tak teratur.
2.1.4 Pemeriksaan Diagnostik
emeriksaan Rontgen Thoraks
1. Pemeriksaan CT Scan
2. Radiologi TB paru militer
a. TB paru militer akut
b. TB paru militer subakut (kronis)
3. Pemeriksaan Laboratorium

2.1.5 Analisa Data


Tabel 2.1 Konsep Analisa Data
No Data Masalah Etiologi Paraf
1. DO : Ketidakefektif Ketidakefektifan IS
an bersihan bersihan jalan
1. pasien tampak batuk
2. suara terdengar serak jalan nafas nafas

DS :

1. pasien mengatakan batuk Spasme jalan


berdahak nafas
2. pasien mengatakan dahak
tidak bisa keluar.
3. Pasien mengatakan sesak
Perubahan
nafas
4. Auskultasi paru : Terdengar frekuensi nafas
suara ronkhi pada paru kanan
2. DO : Nyeri akut Nyeri akut

1. Pasien meringis kesakitan


2. TTV : TD : 110/70 mmHg,
suhu: 36C, Nadi: 84x/menit, Agen cedera
biologis
RR: 28x/menit.
DS :

1. pasien mengatakan nyeri


pada dada saat batuk.
2. Pengkajian nyeri P: batuk Mengekspresikan
menetap Q: menusuk R: prilaku

dada, S: 5, T: timbul kadang-


kadang saat batuk.
3. DO : Ketidakseimba Ketidakseimbang IS
ngan : kurang an : kurang dari
1. Pasien mengalami penurunan dari kebutuhan kebutuhan tubuh
berat badan tubuh.
2. Pasien tampak lemah
3. Makan tampak tidak habis 1
Kurang asupan
porsi
4. Pasien mengalami penurunn makanan
berat badan ± 6 kg

Berat badan 20%


DS : atau lebih
dibawah rentang
1. Pasien mengatakan nafsu
berat badan ideal.
makan menurun
2. Pasien mengeluh mual
3. Pasien mengatakan badan
terasa lemas

4. DO: Risiko tinggi Risiko tinggi


penyebaran penyebaran infeksi
1. Pasien sering batuk di depan
infeksi
orang lain tanpa menutup
mulut.
2. BTA positif Kurangnya

DS: pengetahuan
untuk
1. Pasien mengatakan sering
menghindari
kontak dengan orang lain
pemajanan
2. Pasien mengatakan bahwa
patogen
saat batuk di depan orang
lain tidak menutup mulut
3. Membuang dahak pada
plastik yang diikat dan
dibuang ketempat sampah
5. DO: Gangguan Gangguan IS

1. klien terlihat sesak, Pertukaran Pertukaran Gas

pernafasan takipnea dan Gas

ortopnoe,menggunakan
Perubahan
otot bantu pernafasan ,
membran
retraksi dinding dada, batuk
alveolar-kapiler.
berdahak dan kental,
menggunakan nafas cuping
hidung
Pola pernafasan
DS:
abnormal.
1. klien mengatakan nafasnya
terasa sesak
2. Klien mengeluh susah tidur.
3. Klien mengatakan anaknya
batuk-batuk , berdahak.
6. DO : Gangguan pola Gangguan pola tidur IS
tidur
1. Kantong mata bawah hitam.
2. Konjungtiva anemis.
3. Pasien tampak lemas. imobilisasi
4. Pasien sering terbangun pada
malam hari.
DS :
1. Pasien mengatakan tidak
penurunan
dapat tidur nyenyak dan
kemampuan
sering terbangun karena
berfungsi
batuk.
2. Pasien tidur ± 6-7 jam sehari
dan tidur siang ± 1-2 jam
7. DO: Intoleransi Intoleransi IS
1. Klien tampak memanggil Aktivitas Aktivitas
keluarga saat butuh sesuatu
2. Klien tampak lemas
DS :
imobilisasi
1. Klien mengatakan badannya
lemas sehingga susah
beraktivitas. keletihan
2. Pasien mengatakan
kepalanya pusing.
3. Pasien mengatakan sesak
nafas

3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons manusia terhadap gangguan
kesehatan atau proses kehidupan, atau kerentanan respons dari seorang individu, keluarga,
kelompok, atau komunitas (Herdman, 2015). Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien
dengan TB Paru, yaitu:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang
kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema trakheal/faringeal.
2. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan menurunnya ekspresi paru
sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
3. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-
kapiler.
4. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
keletihan, anoreksia, dispnea, peningkatan metabolisme tubuh.
5. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan adanya batuk, sesak nafas, dan nyeri
dada.
6. Intoleran aktivitas yang berhubungan dengan keletihan (keadaan fisik yang lemah)
7. Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas) dan prognosis penyakit yang belum jelas.
8. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan yang berhubungan dengan
kurangnya informasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan di rumah.

3.3 Intervensi
Tabel 3.2 Konsep Intervensi Keperawatan
Diagnosa :
Domain 11 : Keamanan/perlindungan.
Kelas 2. Cedera fisik (00031)
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Definisi: ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran nafas
untuk mempertahankan jalan nafas.
NOC

Kriteria Hasil :

Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam masalah ketidakefektifan bersihahan


jalan nafas dapat teratasi.

(0410) status pernafasan : kepatenan jalan nafas

Definisi : saluran trakeobronkial yang terbuka dan lancar untuk pertukaran gas.

1. Frekuensi pernafasan dari skala 1(deviasi berat dari kisaran normal)


ditingkatkan ke skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal)

2. kedalaman inspirasi dari skala 1(deviasi berat dari kisaran normal)

ditingkatkan ke skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal)

3. Kemampuan untuk mengeluarkan sekret dari skala 1 (deviasi berat dari kisaran
normal)

ditingkatkan ke skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal)

NIC
(3160) penghisapan lendir pada jalan nafas
Definisi : membuang sekret dengan memasukkan kateter suksion kedalam mulut,
nasofaring atau trakhea pasien
1. Lakukan tindakan cuci tangan.
2. Lakukan tindakan pencegahan umum.
3. Gunakan alat pelindung diri sesuai dengan kebutuhan.
4. Tentukan perlunya suktion mulut atau trakhea.
5. Aukultasi suara nafas sebelum dan setelah tindakan suction.
6. Aspirasi nasopharingeal dengan kanul suction sesuai dengan kebutuhan
7. Berikan sedatif sebagaimana mestinya.
8. Masukan nasopharingeal airway untuk melakukan suction nasotracheal sesuai
kebutuhan
9. Instruksikan pada pasien untuk menarik nafas dalam sebelum dilakukan
suction nasotracheal dan gunakan oksigen sesuiai kebutuhan.
Diagnosa :
Domain 4: Aktivitas/ Istirahat
Kelas 4. Respons Kardiovaskuler/ Pulmonal (00032) Ketidakefektifan pola
nafas.
Definisi: Inspirasi dan/ atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat.
NOC

Kriteria Hasil :

setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam masalah ketidakefektifan pola nafas
dapat teratasi.

(0403) status pernafasan : ventilasi.

Definisi : keluar masuknya udara dari dan kedalam paru.

1. Frekuensi pernafasan dari sekala 1 (deviasi berat dari kisaran normal)

ditingkatkan ke skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal)


2. Irama pernafasan dari sekala 1 (deviasi berat dari kisaran normal)

ditingkatkan ke skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal)

3. Kedalaman inspirasi dari sekala 1 (deviasi berat dari kisaran normal)


ditingkatkan ke skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal)
NIC
3140 manajemen jalan nafas
Definisi: fasilitas kepatenan jalan nafas.
1. Buka jalan nafas dengan teknik chin lift atau jaw thrust sebagai mana
mestinya.
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
3. Identifikasi kebutuhan aktual/potensial pasien untuk memasukkan alat
membuka jalan nafas.
4. Masukkan alat (NPA) atau (OPA) sebagaimana mestinya.
5. Lakukan fisioterapi dada sebagaimana mestinya.
Diagnosa :

Domain 3: Eliminasi dan pertukaran


Kelas 4. Fungsi respirasi (00030) Gangguan pertukaran gas
Definisi: kelebihan atau defisit oksigenasi dan/atau eliminasi karbon dioksida
pada membran alveolar-kapiler
NOC

Kriteria Hasil:

Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam gangguan pertukaran gas kembali
normal.

(0402) status pernafasan : pertukaran gas

Definisi:

pertukaran karbondioksida dan oksigen di alveoli untuk mempertahankan


konsentrasi darah arteri.

1. Tekanan parsial oksigen didarah arteri dari skala 1 (deviasi berat dari kisaran
normal) ditingkatkan ke skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).

2. Tekanan parsial karbondioksida didarah arteri dari skala 1 (deviasi berat dari
kisaran normal) ditingkatkan ke skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).

3. PH arteri dari skala 1 (deviasi berat dari kisaran normal) ditingkatkan ke skala
4 (deviasi ringan dari kisaran normal).

4. Saturasi oksigen dari skala 1 (deviasi berat dari kisaran normal) ditingkatkan
ke skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal).
NIC
(3140) Manajemen jalan nafas
Definsi: fasilitas kepatenan jalan nafas.
Aktivitas-aktivitas:
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam, berputar, dan batuk
3. Posisikan untuk meringankan sesak nafas
4. Monitor status pernafasan dan oksigenasi sebagaimana mestinya.
Diagnosa :

Domain 2: Nutrisi
Kelas 1. Makan (00002) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
Definisi: asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
NOC

Kriteria Hasil:

Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam intake nutrisi klien terpenuhi.

(1009) status nutrisi : asupan nutrisi.

Definisi:

asupan gizi untuk memenuhi kebutuhan - kebutuhan metabolik

1. Asupan protein dari skala 1 (tidak adekuat) ditingkatkan menjadi skala 4


(sebagian besar adekuat)

2. Asupan lemak dari skala 1 (tidak adekuat) ditingkatkan menjadi skala 4


(sebagian besar adekuat)

3. Asupan karbohidrat dari skala 1 (tidak adekuat) ditingkatkan menjadi skala


4 (sebagian besar adekuat)

4. Asupan vitamin dari skala 1 (tidak adekuat) ditingkatkan menjadi skala 4


(sebagian besar adekuat)

5. Asupan mineral dari skala 1 (tidak adekuat) ditingkatkan menjadi skala 4


(sebagian besar adekuat)

6. Asupan zat besi dari skala 1 (tidak adekuat) ditingkatkan menjadi skala 4
(sebagian besar adekuat)

7. Asupan kalsium dari skala 1 (tidak adekuat)ditingkatkan menjadi skala 4


(sebagian besar adekuat)
NIC
(1100) manajemen nutrisi
Definisi: menyediakan dan meningkatkan intake nurisi yang seimbang.
akvifitas-aktivitas:
1. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan pasien untuk memenuhi
kebutuhan gizi
2. Identifikasi adanya elergi atau intoleransi makanan yang dimiliki pasien.
3. Tentukan apa yang menjadi prefensi makanan bagi pasien.
4. Instruksikan pasien mengenai kebutuhan nutrisi.
5. Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi
persyaratan gizi.
6. Berikan pilihan makanan sambil menawarkan bimbingan terhadap pilihan yang
lebih sehat.
Diagnosa :

Domain 4: aktivitas/istirahat
Kelas 1. Tidur/istirahat (000198) Gangguan pola tidur
Definisi: interupsi jumlah waktu dan kualitas tidur akibat faktor eksternal.
NOC

Kriteria Hasil:

Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam masalah gangguan pola tidur dapat
teratasi.

(0003) istirahat
Definisi: berkurangnya kuantitas dan pola aktifitas untuk memulihkan mental dan
fisik.
1. Pola istirahat dari skala 1 (sangat terganggu) ditingkatkan menjadi skala 5
(tidak terganggu)
2. kualitas istirahat dari skala 1 (sangat terganggu) ditingkatkan menjadi skala 5
(tidak terganggu)
3. beristirahat secara fisik dari skala 1 (sangat terganggu) ditingkatkan menjadi
skala 5 (tidak terganggu)
4. beristirahat secara mental dari skala 1 (sangat terganggu) ditingkatkan menjadi
skala 5 (tidak terganggu)
NIC
(1850) peningkatan tidur
Definisi: memfasilitasi tidur/siklus bangun teratur.
Aktivitas-aktivitas:
1. tentukan pola tidur pasien
2. jelaskan pentingnya tidur yang cukup selama penyakit dan lain-lain
3. monitor pola tidur pasien dan catat kondisi fisik.
4. Sesuaikan lingkungan untuk meningkatkan tidur.
5. Mulai/terapkan langkah-langkah kenyamanan seperti pijat,pemberian posisi dan
sentuhan efektif.
6. Bantu meningkatkan jumlah jam tidur.
7. Diskusikan dengan pasien dan keluarga mengenai teknik untuk meningkatkan
tidur.
Diagnosa :
Domain 4: aktifitas/istirahat
Kelas 4. Respon kardiovaskular/pulmonal (00092) Intoleran aktivitas
Definisi: ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk mempertahankan
atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus atau yang ingin
dilakukan.
NOC

Kriteria Hasil:

Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam masalah intoleransi aktifitas


tercapai.

(0002) konservasi energi


Definisi: tindakan individu dalam mengelola energi untuk memulai dan
mempertahankan aktivitas.

1. Menyeimbangkan aktivitas dan istirahat dari skala 1 (tidak pernah


menunjukan) ditingkatkan menjadi skala 4 (sering menunjukan)

2. Menyadari keterbatasan energi dari skala 1 (tidak pernah menunjukan)


ditingkatkan menjadi skala 4 (sering menunjukan)

3. Menggunakan teknik konservasi energi dari skala 1(tidak pernah


menunjukan) ditingkatkan menjadi skala 4 (sering menunjukan)

4. Mengatur aktivitas untuk konservasi energi dari skala 1(tidak pernah


menunjukan) ditingkatkan menjadi skala 4 (sering menunjukan)
NIC
(4310) terapi aktivitas
Definisi: peresepan terkait dengan menggunakan bantuan aktivitas fisik, kognisi,
sosial dan spiritual untuk meningkatkan frekuensi dan durasi aktivitas kelompok.
1. Pertimbangkan kemampuan klien dalam berpartisipasi melalui aktivitas
spesifik.
2. Pertimbangkan komitmen klien untuk meningkatkan frekuensi dan jarak
aktifitas.
3. Bantu klien untuk tetap fokus pada kekuatan (yang dimilikinya)
dibandingkan dengan kelemahan (yang dimilikinya)
4. Dorong aktivitas kreatif yang tepat.
5. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang diinginkan.
6. Bantu klien dan keluarga untuk mengidentifikasi kelemahan dalam level
aktivitas tertentu.
7. Sarankan metode-metode untuk meningkatkan aktivitas fisik yang tepat.
8. Bantu klien dan keluarga memantau perkembangan klien terhadap
pencapaian tujuan
Diagnosa :
Domain 9 : koping/toleransi stres Kelas 2. Respons koping
(00147) Ansietas Kematian
Definisi: perasaan tidak nyaman atau gelisah yang samar atau yang ditimbulkan
oleh persepsi tentang ancaman nyata atau imajinasi terhadap eksistensi seseorang.
NOC

Kriteria Hasil:

Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam klien mampu memahami dan
menerima keadaannya sehingga tidak terjadi kecemasan.

Ansietas
Definisi: perasaan tidak nyaman atau gelisah yang samar yang ditimbulkan oleh
persepsi ancaman nyawa atau imajinasi terhadap eksistensi seseorang.

1. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas

2. Klien mampu mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukan teknik


untuk mengontrol cemas.

3. Postur tubuh, dan tingkat aktivitas menunjukan berkurangnya kecemasan.


NIC
(5820) pengurangan kecemasan
Definisi: mengurangi tekanan, kekuatan, firasat, maupun ketidaknyamanan terkait
dengan sumber-sumber bahaya yang tidak teridentifikasi.
Aktivitas-aktivitas:
1. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap prilaku klien.
3. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi ketakutan
4. Dorong keluarga untuk mendampingi klien dengan cara yang tepat.
5. Dengarkan klien
6. Identifikasi pada saat terjadi perubahan tingkat kecemasan.
7. Bantu klien mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan.
8. Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi.
Diagnosa :

Domain 5:
Persepsi/kognisi Kelas 4. Kognisi (00126) defisiensi pengetahuan
Definisi: ketidaan atau defisiensi informasi kognitif yang berkaitan dengan topik
tertentu.
NOC

Kriteria Hasil:

Setelah dilakukan perawatan selama 2x24 jam klien mampu melaksanakan apa
yang telah diinformasikan.

(1803) pengetahuan : proses penyakit


Definisi: tingkat pemahaman yang disampaikan tentang proses penyakit tertentu
dan komplikasinya.
1. Karakter spesifik penyakit dari skala 1 (tidak ada pengetahuan) ditingkatkan
menjadi skala 4 (pengetahuan banyak)
2. Faktor-faktor penyebab dan faktor yang berkontribusi dari skala 1 (tidak ada
pengetahuan) ditingkatkan menjadi skala 4 (pengetahuan banyak)
3. Faktor resiko dari skala 1 (tidak ada pengetahuan) ditingkatkan menjadi skala
4 (pengetahuan banyak)
4. Tanda dan gejala dari skala 1 (tidak ada pengetahuan) ditingkatkan menjadi
skala 4 (pengetahuan banyak)
5. Proses perjalanan penyakit biasanya dari skala 1 (tidak ada pengetahuan)
ditingkatkan menjadi skala 4 (pengetahuan banyak)
6. Strategi untuk meminimalkan
Perkembangan penyakit dari skala 1 (tidak ada pengetahuan) ditingkatkan
menjadi skala 4 (pengetahuan banyak)
NIC
(5602) pengajaran: proses penyakit
Definisi: membantu pasien untuk memahami informasi yang berhubungan dengan
proses penyakit secara spesifik.
Aktivitas-aktivitas:
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien terkait dengan proses penyakit yang spesifik.
2. Review pengetahuan pasien mengenai kondisinya.
3. Jelaskan tanda dan gejala yang umum dari penyakit, sesuai kebutuhan.
4. Jelaskan mengenai proses penyakit, sesuai kebutuhan
5. Berikan informasi pada pasien mengenai kondisi, sesuai kebutuhan.
6. Berikan informasi kepada keluarga yang penting bagi pasien mengenai
perkembangan pasien sesuai kebutuhan.
7. Edukasi pasien mengenai tindakan untuk mengontrol/meminimalkan gejala
sesuai kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Alfian U. (2005). Tuberkulosis. Jakarta: Bina Rupa Aksara.


Amaliah, Rita. (2012). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kegagalan Konversi
Penderita TB Paru BTA Positif Pengobatan Fase Intensif di Kabupaten Bekasi Tahun
2010. Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat. Tesis.
Amu, F. A. (2008). “Hubungan Merokok dan Penyakit Tuberkulosis Paru”.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia Vol 5. Jakarta: Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Paru.
Black, Joyce M dan Hawks, Jane Hokanson. (2014). Keperawatan Medikal Bedah:
Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Emban Patria.
Bustan, M.N. (2007). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka
Cipta.
Crofton, John. (2002). Tuberkulosis Klinis. Jakarta: Widya Medika.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Link:
https://www.k4health.org/sites/default/files/laporanNasio nal%20Riskesdas
%202007.pdf
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Link:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%
202013.pdf
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. (2016). Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2016. Jakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Link:
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVI
NSI_2016/11_DKI_Jakarta_2016.pdf
Djojodibroto, Darmanto. (2014). Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Link: http://manajemenrumahsakit.net/wp-
content/uploads/2012/09/kmk3642009.pdf.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Link:
http://www.dokternida.rekansejawat.com/dokumen/DEPKES -Pedoman- Nasional-
Penanggulangan-TBC-2011-Dokternida.com.pdf.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Link:
http://www.dokternida.rekansejawat.com/dokumen/Pedo ma n-Nasio nal- Pelayanan-
Kedokteran-Tatalaksana-Tuberkulosis-2013-Dokternida.com.pdf
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Link: http://www.tbindonesia.o r.id/2015/02/11/buku-bpnptb-
2014/.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Infodatin Tuberkulosis Temukan
Obati Sampai Sembuh. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/InfoDat in-
2016-TB.pdf.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Link:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-Indonesia-2015.pdf.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Link:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-2016.pdf.
Khariroh, Syamilatul. (2004). Faktor Resiko Gagal Konversi BTA Sputum Penderita TB
Paru Setelah Program Pengobatan DOTS Fase Intensif di RSU Dr. Soetomo
dan PB4 Karang Tembok Surabaya. Universitas Airlangga. Tesis. Link:
http://repository.unair.ac. id/35862/.
Kurniawan, Nurmasadi dkk. (2015). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru. Riau: Jurnal Online
Mahasiswa Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau. Link:
https://media.neliti.com/media/publications/188864-ID-faktor-faktor-yang-
mempengaruhi-keberhas.pdf.
Mambodiyanto dan Koosgiarto, D. (2015). Pengaruh Keteraturan Berobat Terhadap
Konversi Dahak Pasien TB Paru Setelah Pengobatan Strategi DOTS di RSU SIaga
Medika Banyumas. Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Fakultas
Kedokteran. PDF. Link:
http://jurnalnasio nal.ump.ac. id/index.php/SAINTEKS/article/download/148
7/1321.
Mansjoer, Arif., Triyanti, Kuspuji., Savitri, Rakhmi., Wardhani,Wahyu Ika., Setiowulan,
Wiwiek. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Medika Aesculapius.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 364 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Metanat, M., Sharifi-Mood, B., Parsi, M., Sanei-Moghaddam, S. (2010). Effect of
Cigarette Smoking on Sputum Smear Conversion Time Among Adult New Pulmonary
Tuberculosis Patients: A Study From Iran Southeast. Zahedan: Research Center for
Infectious Disease and Tropical Medicine, Zahedan University of Medical
Sciences.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.
Pant R, et al. (2009). Risk Factor Assessment of Multidrug-Resistant
Tuberculosis. Nepal: Journal of Nepal Health.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2006). Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. (2012). Jurnal
Tuberkulosis Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis
Indonesia.
Purwanto, H. (2003). Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di
Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember. Yogyakarta: 2003.
Ridwan, K., & Mulyono, D. (2008). Hubungan Karakteristik Penderita TB Paru dengan
Keberhasilan Pengobatan TB Paru di Puskesmas Singaparna Kabupaten
Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. PDF.
Riza, Luluk L. (2015). Hubungan Perilaku Merokok dengan Kejadian Gagal
Konversi Pasien Tuberkulosis Paru di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BPKM)
Wilayah Semarang. Universitas Negeri Semarang. PDF.
Rokhmansyah, Alfian. (2016). Pengantar Gender dan Feminimisme Pemahaman
Awal Kritik Sastra Feminimisme. Yogyakarta: Garudawhaca.
Ruswanto, Bambang. (2010). Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru ditinjau
dari Faktor Lingkungan dalam dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan. Tesis
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Somantri, I. (2007). Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Suku Dinas
Kesehatan Jakarta Barat. (2014). Profil Kesehatan Kota Administrasi
Jakarta Barat Tahun 2014. Jakarta: Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat. Link:
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KAB_KOTA_
2014/3174_DKI_Jakarta_Barat_2014.pdf
Supariasa, Bakri Fajar. (2001). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Vora, D.S., Ghandi, V.R., Vasava A.S., Ganava, R.A., dan Amin, G. (2016). A Study of
Factors Affecting Sputum Conversion in Patients of Pulmonary Tuberculosis.
India: National Journal of Community Medicine. Link:
http://njcmindia.org/uploads/7-2_142-146.pdf.
Widoyono. (2011). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasan. Jakarta: Erlangga.
Wijaya, Ari Agung. (2012). Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Merokok dan
Tuberkulosis. Jakarta: Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. World
Health Organization. (2016). Global Tuberculosis Report 2016. Geneva:
WHO Press. Link: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Js23098en/.
World Health Organization. (2016). Media Center Tuberculosis.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/.

Anda mungkin juga menyukai