Anda di halaman 1dari 97

RESUME TUTORIAL

SKENARIO 1 BLOK 13

“ GELANDANGAN TERTABRAK MOTOR “

Oleh: Tutorial L
Anggota:

Willda Halizha Rhani (152010101106)


Larasayu Putri Asyahrie (172010101001)
Irsyad Lutfi Elfahmi (172010101007)
Audrey Mauria Wardani (172010101013)
Saski Yasmin Alfina (172010101042)
Gangsar Lintas Damai (172010101066)
Ridhotullah Istaz M (172010101068)
Dita Rahmania (172010101082)
Calista Padma P. S. (172010101099)
Wiwied Hary S (172010101101)
M.Naufal Akbar (172010101120)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEARNING OBJECTIVES (LO)

1. Menguraikan dan Menjelaskan tentang Anatomi SSP dan SST


2. Menguraikan dan Menjelaskan tentang Histologi SSP dan
SST
3. Menguraikan dan Menjelaskan tentang Fisiologi SSP dan SST
4. Penyakit Neurovaskular
5. Lesi Kranial
6. Gangguan Psikosis
7. Gangguan Mental dan Perilaku Pengguna Zat Psikoaktif
8. Penyakit Neurovaskular Akibat Trauma Kepala
9. Aspek Sosial Budaya penderita Gangguan Psikosis
10. Manajemen Pasien Terlantar dengan Gangguan Jiwa
11. Program Pemerintah tentang Kesehatan Jiwa

PEMBAHASAN :
1. Menguraikan dan Mejelaskan Tentang Anatomi SSP dan SST
Susunan Saraf pusat
1. Medula Spinalis
a. Otak besar
b. Otak kecil
2. Otak
3. Batang otak
Susunan saraf perifer
1. Susunan saraf somatic
Susunan saraf yang
mempunyai peranan spesifik untuk
mengatur aktivitas otot sadar atau
serat lintang.
2. Susunan saraf otonom
Susunan saraf yang mempunyai peranan penting memengaruhi
pekerjaan otot involunter (otot polos) seperti jantung, hati, pancreas, jalan
pencernaan, kelenjar dan lain-lain.
a. Susunan saraf simpatis
b. Susunan saraf parasimpatis

Otak
Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak) berkembang dari
sebuah tabung yang mulanya memperhatikan tiga gejala pembesaran otak
awal.
a. Otak depan menjadi hemisfer serebri, korpus striatum, thalamus, serta
hipotalamus.
b. Otak tengah, tegmentum, krus serebrium, korpus kuadrigeminus.
c. Otak belakang, menjadi pons varoli, medulla oblongata, dan serebelum.
Serebrum
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus yaitu:
1. Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan sulkus
sentralis.
2. Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakang oleh
korako-oksipitalis.
3. Lobus temporalis, terdapat
dibawah lateral dari fisura
serebralis dan di depan lobus
oksipitalis.
4. Oksipitalis yang mengisi
bagian belakang dari serebrum.

Korteks serebri selain dibagi


dalam lobus dapat juga dibagi
menurut fungsi dan banyaknya area. Campbel membagi bentuk korteks serebri
menjadi 20 area. Secara umum korteks serebri dibagi menjadi empat bagian:
1. Korteks sensoris. Pusat sensasi umum primer suatu hemisfer serebri yang
mengurus bagian badan, luas daerah korteks yang menangani suatu alat
atau bagian tubuh bergantung pada fungsi alat yang bersangkutan. Di
samping itu juga korteks sensoris bagian fisura lateralis menangani bagian
tubuh bilateral lebih dominan.
2. Korteks asosiasi. Tiap indra manusia, korteks asosiasi sendiri merupakan
kemampuan otak manusia dalam bidang intelektual, ingatan, berpikir,
rangsangan yang diterima diolah dan disimpan serta dihubungkan dengan
daya yang lain. Bagian anterior lobus temporalis mempunyai hubungan
dengan fungsi luhur dan disebut psikokorteks.
3. Korteks motoris menerima impuls dari korteks sensoris, fungsi utamanya
adalah kontribusi pada traktur piramidalis yang mengatur bagian tubuh
kontralateral.
Korteks pre-frontal terletak pada lobus frontalis berhubungan dengan
sikap mental dan kepribadian.
Fungsi serebrum
1. Mengingat pengalaman yang lalu.
2. Pusat persarafan yang menangani, aktivitas mental, akal, intelegensi,
keinginan, dan memori.
3. Pusat menangis, buang air besar, dan buang air kecil.

Daerah-daerah fungsional cortex cerebri terdiri dari:


- Lobus frontalis
a. Area motoris primaries atau area 4 Brodmann, terletak di
belakang lobus frontalis
b. Area premotorius, terletak di depan area 4 dan area 6 Brodmann,
bagian belakang merupakan gerakan halus dan terlatih,
berlainan dengan bagian depan yang merupakan pusat gerakan
kasar
c. Area 8 Brodmann atau daerah optokinetik frontal (frontal eye
field), terletak di sebelah frontalis cortex area premotoris dan
bersangkutan dengan gerakan bulbus oculi di bawah
pengendalian kemauan (pergerakan konjugasi atau asosiasi) dan
pusat gerakan otot kasar.
d. Pusat bicara motorik broca
Meliputi area 44 dan 45 yang meliputi bagian pars opercularis
dan pars triangularis gyrus frontalis inferior pada hemispherium
cerebri yang dominan oleh karena pada manusia sebagian besar
juga terletak di sebelah kiri. Daerah ini merupakan pusat bicara
motorik.
e. Cortex prefrontalis
Area ini meliputi area 9, 10, 11, dan 12 merupakan cortex
asosiasi yang terletak di depan area 4, 6, dan 8 yang bersifat
motorik, pusat asosiasi tertinggi untuk fungsi intelektual dan
fungsi kejiwaan yang membentuk kepribadian (personality)
- Lobus parietalis
Korteks parietalis mempunyai peran utama pada kegiatan
memproses dan mengintegrasi informasi sensorik yg lebih tinggi
tingkatnya. Area somestetik primer (area 1-3)terletak pada gyrus
postcentralis, paralel korteks motorik dan posterior sulkus centralis.
Bagian ini tersusun somatotopik dg menyirip, tapi tidak identik dg
korteks motorik primer.Sensasi semua bagian tubuh diterima korteks
sensorik primer dan disinilah menggapai kesadaran.Sensasi ini
mencakup nyeri, suhu, raba, tekan, proprioseptik.Lesi bagian ini
menyebabkan ggn sensorik kontralateral.
Area asosiasi somestetik (area 5 &7) menduduki lobus parietalis
superior meluas sampai permukaan medial hemisfer. Mempunyai
banyak hub dg area lain korteks sensorik. Korteks asosiasi sensorik
menerima dan mengintegrasi modalitas sensorik. Kualitas, bentuk,
tekstur, berat, dan suhu berkaitan dg pengalaman sensorik masa lalu,
shg informasi dpt ditanggapi dandiinteprestasikan. Kesadaran akan
bentuk tubuh, letak anggota tubuh, sikap tubuh, bahasa. Lesi girus
angularis (area 39) hemisfer dominant mengakibatkan aleksia
(ketdkmampuan memahami bhsa tulisan) dan agrafia (tdk mampu
menulis) meski dapat bicara normal. Lesi gyrus supramarginalis
(area 40) korteks parietalis mengakibatkan astereognosis
(ketdkmampuan mengenal benda lewat sentuhan) selain
memungkinkan stroke dan ggn kesadaran tbuh terhadap sisi
kontralateral lesi
- Lobus temporalis
Adalah area sensorik reseptif unt impuls pendengaran. Korteks
pendengaran primer (area 41&42) sebagai penerima suara, sedang
korteks asosiasi pendengaran (area 22/ area Wernick)sbg proses
pemahaman. Selain memiliki peranan unt ingatn tertentu. Korteks
area Werniks penting untmengerti bhsa ucap, lesi mengakibatkan
sulit unt mengerti bahasa ucap(afacia sensorik/afacia Wernics), atau
mungkin ucapan penderita scr fonetik dan tata bhs benar tapi kata-
kata yg dipilih tdk sesuai dan terdiri atas kata yg tak bermakna.
- Lobus occipitalis
Korteks penglihatan primer (area 17) menerima informasi
penglihatan dan sensasi warna, dikelilingi korteks asosiasi visual
(area 18&19) yg berperan dlm refleks gerak mata bila sedang
memandang atau mengikuti objek.Lesi sisi dominan mengakibatkan
kehilangan kemampuan mengenali benda dan kegunaannya, tp masih
tetap mampu mengenali wajah, lesi sisi tak dominan tjd kegagalan
mengenali wajah. Korteks asosiasi visual disebelah area 39 lobus
temporalis berfungsi unt memahami simbol-simbol bahasa, jk rusak
mengakibatkan aleksia sensorik/ hilangnyakemampuan memahami
apa yg dibaca

Batang otak
Batang otak terdiri dari:
1. Diensefalon, ialah bagian otak yang paling rostral, dan tertanam di antara
ke-dua belahan otak besar (haemispherium cerebri). Diantara diensefalon
dan mesencephalon, batang otak membengkok hampir sembilah puluh
derajat kearah ventral. Kumpulan dari sel saraf yang terdapat di bagian
depan lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap
kesamping. Fungsi dari diensefalon:
a. Vasokonstriktor, mengecilkan pembuluh darah
b. Respiratori, membantu proses persarafan.
c. Mengontrol kegiatan refleks.
d. Membantu kerja jantung.
2. Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang
menonjol ke atas. Dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus
superior dan dua di sebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior.
Serat saraf okulomotorius berjalan ke ventral di bagian medial. Serat
nervus troklearis berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah ke sisi
lain. Fungsinya:
a. Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata.
b. Memutar mata dan pusat pergerakan mata.
3. Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan
pons varoli dengan serebelum, terletak di depan serebelum di antara otak
tengah dan medula oblongata. Disini terdapat premotoksid yang mengatur
gerakan pernapasan dan refleks. Fungsinya:
a. Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula
oblongata dengan serebelum atau otak besar.
b. Pusat saraf nervus trigeminus.
4. Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah
yang menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah
medula oblongata merupakan persambungan medula spinalis ke atas,
bagian atas medula oblongata yang melebar disebut kanalis sentralis di
daerah tengah bagian ventral medula oblongata. Fungsi medula oblongata:
a. Mengontrol kerja jantung.
b. Mengecilkan pembuluh darah (vasokonstriktor).
c. Pusat pernapasan.
d. Mengontrol kegiatan refleks

Serebelum
Serebelum (otak kecil)
terletak pada bagian bawah dan
belakang tengkorak dipisahkan
dengan serebrum oleh fisura
transversalis dibelakangi oleh
pons varoli dan di atas medula
oblongata. Organ ini banyak
menerima serabut aferen
sensoris, merupakan pusat
koordinasi dan integrasi.
Bentuknya oval, bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis dan
bagian yang melebar pada lateral disebut hemisfer. Serebelum berhubungan
dengan batang otak melalui pendunkulus serebri inferior (korpus retiformi)
permukaan luar serebelum berlipat-lipat menyerupai serebelum tetapi
lipatannya lebih kecil dan lebih teratur. Permukaan serebelum ini
mengandung zat kelabu.
Korteks serebelum dibentuk oleh subtansia grisea, terdiri dari tiga
lapisan yaitu granular luar, lapisan purkinye, lapisan granular dalam. Serabut
saraf yang masuk dan yang keluar dari serebrum harus melewati serebelum
Fungsi serebelum
1. Arkhioserebelum (vestibuloserebelum), serabut aferen berasal dari telinga dalam yang
diteruskan oleh nervus VIII (auditorius) untuk keseimbangan dan rangsangan pendengaran
ke otak.
2. Paleaserebelum (spinoserebelum. Sebagai pusat penerima impuls dari reseptor sensasi
umum medula spinalis dan nervus vagus (N. trigeminus) kelopak mata, rahang atas, dan
bawah serta otot pengunyah.
3. Neoserebelum (pontoserebelum). Korteks serebelum menerima informasi tentang
gerakan yang sedang dan yang akan dikerjakan dan mengaturgerakan sisi badan.

Saraf otak
Urutan saraf Nama Saraf Sifat Saraf Memberikan saraf untuk
dan fungsi
I Nervus olfaktorius Sensorik Hidung, sebagai alat penciuman
II Nervus optikus Sensorik Bola mata, untuk penglihatan
III Nervus Motorik Penggerak bola mata dan
okulomotoris mengangkat kelopak mata
IV Nervus troklearis Motorik Mata, memutar mata dan
penggerak bola mata

V Nervus trigeminus Motorik dan sensorik -

N. Oftalmikus Motorik dan sensorik Kulit kepala dan kelopak mata


atas
N. Maksilaris Sensorik Rahang atas, palatum dan
hidung
N. Mandibularis Motorik dan sensorik Rahang bawah dan lidah
VI Nervus abdusen Motorik Mata, penggoyang sisi mata
VII Nervus fasialis Motorik dan Sensorik Otot lidah, menggerakkan lidah
dan selaput lendir rongga mulut
VIII Nervus auditorius Sensorik Telinga, rangsangan
pendengaran
IX Nervus vagus Sensorik dan motorik Faring, tonsil, dan lidah,
rangsangan citarasa
X Nervus vagus Sensorik dan motorik Faring, laring, paru-paru dan
esophagus
XI Nervus asesorius Motorik Leher, otot leher
XII Nervus hipoglosus Motorik Lidah, citarasa, dan otot lidah
Saraf otonom
Saraf Simpatis
Saraf ini terletak di depan kolumna vertebra dan berhubungan dengan
sumsum tulang belakang melalui serabut – serabut saraf. Sistem simpatis
terdiri dari 3 bagian, yaitu :
1. Kornu anterior segmen torakalis ke – 1 sampai ke-12 dan segmen lumbalis
1-3 terdapat nucleus vegetative yang berisi kumpulan – kumpulan sel saraf
simpatis. Sel saraf simpatis ini mempunyai serabut – serabut preganglion
yang keluar dari kornu anterior bersama- sama dengan radiks anterior dan
nucleus spinalis. Setelah keluar dari foramen intervertebralis, serabut –
serabut preganglion ini segera memusnahkan diri dari nucleus spinalis dan
masuk ke trunkus simpatikus serabut. Serabut preganglion ini membentuk
sinap terhadap sel – sel simpatis yang ada dalam trunkus simpatikus.
Tetapi ada pula serabut – serabut preganglion setelah berada di dalam
trunkus simpatikus terus keluar lagi dengan terlebih dahulu membentuk
sinaps menuju ganglion – ganglion / pleksus simpatikus.

2. Trunkus simpatikus beserta cabang – cabangnya. Di sebelah kiri dan


kanan vertebra terdapat barisan ganglion saraf simpatikus yang membujur
di sepanjang vertebra. Barisan ganglion – ganglion saraf simpatikus ini
disebut trunkus simpatikus. Ganglion – ganglion ini berisi sel saraf
simpatis. Antara ganglion satu dengan ganglion lainnya, atas, bawah, kiri,
kanan, dihubungkan oleh saraf simpatis yang keluar masuk ke dalam
ganglion – ganglion itu. Hali ini menyebabkan sepasang trunkus
simpatikus juga menerima serabut – serabut saraf yang datang dari kornu
anterior. Trunkus simpatikus di bagi menjadi 4 bagian yaitu :

a. Trunkus simpatikus servikalis.


Terdiri dari 3 pasang ganglion. Dari ganglion – ganglion ini keluar
cabang – cabang saraf simpatis yang menuju ke jantung dari arteri
karotis. Disekitar arteri karotis membentuk pleksus. Dari pleksus ini
keluar cabang – cabang yang menuju ke atas cabang lain mempersarafi
pembuluh darah serta organ – organ yang terletak di kepala. Misalnya
faring, kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, otot – otot dilatators, pupil
mata, dan sebagainya.
b. Trunkus simpatikus torakalis.
Terdiri dari 10-11 ganglion, dari ganglion ini keluar cabang – cabang
simpatis seperti cabang yang mensarafi organ – organ di dalam toraks (
mis, orta, paru – paru, bronkus, esophagus, dsb ) dan cabang – cabang
yang menembus diafragma dan masuk ke dalam abdomen, Cabang ini
dalam rongga abdomen mensarafi organ – organ di dalamnya.
c. Trunkus simpatikus lumbalis.
Bercabang – cabang menuju ke dalam abdomen, juga ikut membentuk
pleksus solare yang bercabang – cabang ke dalam pelvis untuk turut
membentuk pleksus pelvini.
d. Trunkus simpatikus pelvis. Bercabang cabang ke dalam pelvis untuk
membentuk pleksus pelvini.
3. Pleksus simpatikus beserta cabang cabangnya. Di dalam abdomen, pelvis,
toraks, serta di dekat organ – organ yang dipersarafi oleh saraf simpatis (
otonom ).
Umumnya terdapat pleksus – pleksus yang dibentuk oleh saraf simpatis /
ganglion yaitu pleksus/ganglion simpatikus.
Ganglion lainnya ( simpatis ) berhubungan dengan rangkaian dua
ganglion besar, ini bersama serabutnya membentuk pleksus – pleksus
simpatis :
1. Pleksus kardio, terletak dekat dasar jantung serta mengarahkan
cabangnya ke daerah tersebut dan paru – paru
2. Pleksus seliaka, terletak di sebelah belakang lambung dan
mempersarafi organ – organ dalam rongga abdomen
3. Pleksus mesentrikus ( pleksus higratrikus ), terletak depan sacrum dan
mencapai organ – organ pelvis
Tabel 10-2 Organ tubuh dan system pengendalian ganda
Organ Rangsangan simpatis Rangsangan
parasimpatis
Jantung Denyut dipercepat Denyut dipercepat
Arteri koronari Dilatasi Konstriksi
Pembuluh darah perifer Vasokonstriksi Vasodilatasi
Tekanan darah Naik Turun
Bronkus Dilatasi Konstriksi
Kelenjar ludah Sekresi berkurang Sekresi bertambah
Kelenjar lakrimalis Sekresi berkurang Sekresi bertambah
Pupil mata Dilatasi Konstriksi
Sistem pencernaan Peristaltik berkurang Peristaltik bertambah
makanan (SPM)
Kelenjar – kelenjar SPM Sekresi berkurang Sekresi bertambah
Kelenjar keringat Ekskresi bertambah Ekskresi berkurang

Fungsi serabut saraf simpatis


1. Mensarafi otot jantung
2. Mensarafi pembuluh darah dan otot tak sadar
3. Mempersarafi semua alat dalam seperti lambung, pancreas dan
usus
4. Melayani serabut motorik sekretorik pada kelenjar keringat
5. Serabut motorik pada otot tak sadar dalam kulit
6. Mempertahankan tonus semua otot sadar.

Sistem Parasimpatis
Saraf cranial otonom adalah saraf cranial 3, 7, 9, dan 10. Saraf ini
merupakan penghubung, melalui serabut – serabut parasimpatis dalam
perjalanan keluar dari otak menuju organ – organ sebagian dikendalikan oleh
serabut – serabut menuju iris. Dan dengan demikian merangsang gerakan –
gerakan saraf ke -3 yaitu saraf okulomotorik.
Saraf simpatis sacral keluar dari sumsum tulang belakang melalui
daerah sacral. Saraf – saraf ini membentuk urat saraf pada alat – alat dalam
pelvis dan bersama saraf – saraf simpatis membentuk pleksus yang
mempersarafi kolon rectum dan kandung kemih.
Refleks miksi juga menghilang bila saraf sensorik kandung kemih
mengalami gangguan. System pengendalian ganda ( simpatis dan
parasimpatis ). Sebagian kecil organ dan kelenjar memiliki satu sumber
persarafan yaitu simpatis atau parasimpatis. Sebagian besar organ memiliki
persarafan ganda yaitu : menerima beberapa serabut dari saraf otonom sacral
atau cranial. Kelenjar organ dirangsang oleh sekelompok urat saraf ( masing –
masing bekerja berlawanan ).
Dengan demikian penyesuaian antara aktivitas dan tempat istirahat
tetap dipertahankan. Demikian pula jantung menerima serabut – serabut
ekselevator dari saraf simpatis dan serabut inhibitor dari nervus vagus.
Saluran pencernaan memiliki urat saraf ekselevator dan inhibitor yang
mempercepaT dan memperlambat peristaltic berturut – turut.
Fungsi serabut parasimpatis :
1. Merangsang sekresi kelenjar air mata, kelenjar sublingualis,
submandibularis, dan kelenjar – kelenjar dalam mukosa rongga hidung.
2. Mmepersarafi kelenjar air mata dan mukosa rongga hidung, berpusat di
nuclei lakrimalis, saraf – sarafnya keluar bersama nervus fasialis.
3. Mempersarafi kelenjar ludah ( sublingualis dan submandibularis ),
berpusat di nucleus salivatorius superior, saraf – saraf ini mengikuti nervus
VII
4. Mempersarafi parotis yang berpusat di nucleus salivatoris inferior di
dalam medulla oblongata, saraf ini mengikuti nervus IX
5. Mempersarafi sebagian besar alat tubuh yaitu jantung, paru – paru,
gastrointestinum, ginjal, pancreas, limfa, hepar, dan kelenjar suprarenalis
yang berpusat pada nucleus dorsalis nervus X
6. Mempersarafi kolon desendens, sigmoid, rectum, vesika urinaria dan alat
kelamin, berpusat di sacral II, III, IV.
7. Miksi dan defekasi pada dasarnya adalah suatu reflex yang berpusat di
kornu lateralis medulla spinalis bagian sacral. Bila kandung kemih dan
rectum tegang miksi dan defekasi secara reflex. Pada orang dewasa reflex
ini dapat dikendalikan oleh kehendak. Saraf yang berpengaruh
menghambat ini berasal dari korteks di daerah lotus parasentralis yang
berjalan dalam traktus piramidalis.

2. Menguraikan dan Menjelaskan Tentang Histologi SSP dan SST


1. Histologi SSP
Histologi Medula Spinalis perbesaran 100x :
Ciri khas : subtansia grisea berbentuk seperti sayap kupu-kupu

Histologi Medula Spinalis perbesaran 400x :


Ciri khas :Subtansia grisea terdapat tampilan prikarion berisi substansi Nissl yang
membuat menjadi abu-abu, substansia alba terdiri atas akson-akson.

Histologi Substansia grisea cerebrum :


Ciri khas : terdapat 7 lapisan, yaitu lamina molekularis, lamina granularis
eksterna, lamina piramidalis eksterna, lamina granularis interna, lamina
piramidalis interna, dan lamina multif
Histologi Cerebellum :
Ciri khas : terdapat lapisan molekularis dengan sel basket, lapisan purkinje dengan
sel saraf
purkinje, dan
lapisan granul.

3. Menguraikan dan Menjelaskan Tentang Fisiologi SSP dan SST


Fungsi Luhur Otak
Fungsi luhur otak (higher function of nervous system) merupakan
merupakan suatu fungsi otak yang lebih tinggi sehingga tidak ada definisi
yang tepat untuk menjelaskannya. Fungsi tersebut adalah :
 belajar
 ingatan,
 menilai,
 berbahasa,
 berbicara dan fungsi-fungsi yang lain.
Belajar dan ingatan
Belajar dan ingatan merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Belajar merupakan akuisisi informasi yang
menyebabkan perubahan perilaku berdasar pengalaman. Area
asosiasi atau pembelajaran terdapat di bagian-bagian besar yaitu di
lobus frontalis, didepan korteks pramotorik-parietalis-temporalis-
oksipitalis

a. Ingatan Eksplisit
Ingatan merupakan retensi dan penyimpanan dari
informasi. Ingatan dibagi atas ingatan eksplisit dan ingatan
implisit. Ingatan eksplisit merupakan ingatan yang bersifat
deklaratif atau pengenalan dengan berkaitan dengan kesadaran.
Ingatan tersebut tergantung dari reseistensi bagian hipokampus dan
lobus temporalis. Ingatan eksplisit dibagi atas ingatan episodik dan
semantik. Ingatan episodik merupakan ingatan yang berupa
kejadian sedangakan ingatan semantik merupakan ingatan yang
berupa kata-kata dan hukum. Ingatan eksplisit dibagi atas ingatan
jangka pendek dan jangka panjang. Ingatan jangka pendek
merupakan ingatan yang berlangsung selama beberapa detik atau
jam sedangkan ingatan jangka panjang merupakan ingatan yang
berlangsung selama bertahun-tahun sampai bertahun-tahun.
Ingatan Implisit
Ingatan implisit merupakan ingatan yang tidak melibatkan
kesadaran dan juga disebut sebagai non deklaratif atau reflektif.
Retensinya tidak tergantung dari hipokampus tapi tergantung
keterampilan, kebiasaan dan refleks-refleks terkondisi. Ingatan
implisit dibagi atas pembelajaran asosiatif dan non asosiatif.
Pembelajaran non asosiatif terdiri habituasi dan sensitisasi.
Sedangkan asosiatif berupa pengkondisian klasik dan operant
conditioning. Ingatan implisit yang berlanjut akan menimbulkan
suatu keterampilan dan kebiasaan.
Habitusi merupakan pembelajaran dengan stimulus yang
terus-menerus. Stimulus tersebut pada awalnya akan memberikan
suatu reaksi, namun karena semakin sering maka otak akan
mengabaikannya. Sensitisasi merupakan kebalikan dari habituasi,
sensitisisasi rangsangan yang terus menerus akan menimbulkan
reaksi yang kuat.
Cara Pembuatan Ingatan
Ingatan dibentuk kekuatan dari kontak sinaps tertentu.
Perubahan ini biasanya diikuti dengan sintesis protein dan aktivasi
gen tertentu. Setelah kontak sinaps-sinaps tersebut, kemudian
terjadi penurunan kandungan ion Ca ekstra seluler dan
peningakatan ion Ca intra seluler. Peningkatan ini bertujuan untuk
meningkatkan kecepatan pelepasan neurotransmitter dari satu
sinaps ke sinaps lain.
Cara kerja pembentukan ingatan eksplisit
 Ingatan jangka pendek
Ingatan jangka pendek dibentuk oleh kerja di bagian lobus
frontalis dan hipokampus. Ingatan jangka pendek berbentuk
ingatan kerja yaitu merupakan proses menahan informasi sehingga
bisa dipakai sebagai salah satu bentuk pengambilan keputusan
yang akan dlakukakan. Contoh ingatan kerja adalah misal pada saat
kita mengingat suatu nomor telepon lalu menggunkan informasi
tersebut untuk menelepon. Pada contoh tersebut yang disebut
ingatan kerja adalah ingatan kita pada nomor telepon tersebut.
Pemakaian ingatan ini didukung oleh disimpan dalam suatu
“central executive” yang didukung oleh sistem pengulangan yang
dibantu oleh sistem verbal dan sistem visuospasial yang terletak di
korteks prafrontalis.

 Ingatan jangka panjang

Ingatan jangka panjang dibentuk dan disimpan di simpan di


berbagai bagian neokorteks. Ingatan-ingatan tersebut disimpan di
bagian-bagian tertentu otak dan dapat dipanggil sesuai kebutuhan.
Cara pembentukan ingatan implisit
Ingatan implisit selalu melibatkan berbagai stimulus untuk
membuat suatu ingatan. Stimulus-stimulus tersebut berupa
unconditioned stimulus dan conditioned stimulus. Unconditioned
stimulus rangasan yang terjadi secara normal, sedangkan
conditioned stimulus adalah rangsangan yang terkondisi. Contoh
dari dua stimulus ini adalah cara kita melatih anjing. Anjing yang
diberi daging akan meneteskan liurnya. Sebelum daging diberikan
selalu dibunyikan bel. Hal ini dilakukan dalam waktu yang sangat
lama sehigga ketika mendengar bunyi bel, anjing akan meneteskan
air liur. Bunyi bel merupakan conditioned stimulus sedangkan
daging merupakan unconditioned stimulus. Dengan asosiasi kedua
ingatan ini akan membentuk suatu operant conditioning yaitu
bentuk penyesuaian perilaku terhadap tugas. Operant conditioning
dapat berupa refleks penghindaran. Refleks penghindaran tebentuk
ketika ada refleks tidak menyenangkan pada suatu stimulus.
Misalnya saat memakan ikan bandeng kita sering terkena duri.
Berdasarkan pengalaman tersebut, akhinya kita akan berusaha
memisahkan duri terlebih dahulu sebelum memakan ikan bandeng.
Memisahkan duri-duri sebelum memakan ikan bandeng merupakan
suatu bentuk operant conditioning dari pengalaman yang telah lalu.
Stimulus-stimulus yang membentuk ingatan implisit diolah
pada bagian bagian ganglia basalis dan serebelum. Stimulus-
stimulus masuk ke ganglia basalis dan serebelum dan membentuk
ingatan implisit. Ingatan implisit tersebut naik ke korteks serebri
untuk membuat proses pembelajaran membentuk operant
condition.
Bahasa
Pengenalan bahasa di atur di suatu area Wernicke dan area
Broca, kedua area tersebut dihubungkan oleh fasikulus arkuatus.
Untuk melakukan fungsi bicara, informasi datang dari area
Wernicke menuju ke area Broca. Area Broca membentuk pola-pola
yang akan dintepretasikan oleh ke korteks serebri untuk menjadi
gerakan bibir, lidah dan faring yang spesifik.
Pengenalan wajah
Suatu bagian penting masuk ke bagian visual masuk ke
bagian ke lobus temporalis inferior, suatu tempat menyimpan
representasi benda, wajah.
Fungsi lain
Fungsi lain yaitu fungsi arimatik (fakta angka dan
perhitungan pasti) terdapat pada bagian inferior lobus frontalis kiri
sedangkan pada area di sekitar sulkus intra partietalis terdapat
representasi visuospasial, angka dan mungkin juga jari. Bagian lain
di bagian subkorteks di sisi kanan memiliki fungsi navigasi
khususnya bagian hipokampus untuk mengenali dimana tempat ia
berada, dan nukleus kaudatus kanan memudahkan perpindahan
tempat.
Sistem Sensori Somatik
Dari reseptor di perifer sampai ke korteks sensorik di otak jalur
sensorik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 tingkatan neuron. Impuls
(rangsangan ) bekerja secara entripental dari reseptor di perifer ke badan
sel neuron tingkat pertama (primer) di ganglion akar dorsal dari saraf
spinal. Aksonnya menuju ke sentral, bersinaps dengan neuron tingkat dua
(sekunder) di kornu posterior medula spinalis atau inti homolog dibatang
otak. Akson neuron sekunder melintasi garis tengah dan menuju pada sisi
sebelahnya (kontralateral), kemudian naik sebagai jaras spinotalamik atau
lemsiskus medialis menuju ke sinaps berikutnya di talamus. Neuron di
talamus biasnya berupa neuron tingkat tiga (tersier) terletak dikompleks
ventrobasal talamus dan berproyeksi melalui kaki posterior kapsula interna
kek korteks di girus postsentral (area Brodmannn3-1-2). Pola dasar ini
mengemukakan beberapa banyak hal:
Sistem sensorik menyilang. Informasi sensorik dari separuh badan
berproyeksi ke talamus dan korteks kontralateral. Neuron tingkat pertama
berada di gangglion akar dorsal. Badan sel neuron tingkat dua berada di
kornu posterior medula atau di inti homolog medula oblongata seperti
nukleus grasilis (menerima impuls dari tungkai) dan kuneatus (yang
menerimah impuls dari lengan). Neuron tingkat tiga di talamus me-relay
impilus ke korteks

Sistem Motorik Somatik


Sistem motorik merupakan sistem yang bertanggung jawab terhadap
ketrampilan gerakan otot skeletal. Sistem motorik mulai dari area spesifik
di serebral korteks  berakhir di alpha-motor neuron. Terdiri dari unsur
saraf & muskuler.
Komponen sistem motorik:
1. Neuron Sentral:
merupakan neuron-neuron dari korteks motorik di gyrus precentralis
ke inti-inti saraf di batang otak & medula spinalis UMN (Upper
Motor Neuron).
2. Neuron Perifer:
merupakan neuron saraf dari inti motorik di batang otak & kornu
anterior medula spinalis ke otot  LMN (Lower Motor Neuron).
3. Motoric End Plate:
penghubung antara neuron & otot (NMJ).
4. Otot

UPPER MOTOR NEURON (UMN)


 Jaras UMN (korteks motorik) ada 2:
1. M1 (motor cortex): mempunyai treshold yang rendah untuk
stimulasi pergerakan otot-otot individu dan diatur oleh
somatotropic (Homunculus). Akson traktus piramidal berasal
dari sini. Letak: Area Brodmann 4.
2. M2 (premotor cortex): mempunyai treshold yang tinggi untuk
stimulasi dan memacu pergerakan yang melibatkan
pengaturan postural ipsi dan kontralateral. Jaras
ekstrapiramidal paling banyak berasal dari area premotor ini.
Letak: Area Brodmann 6.
 UMN dibagi menjadi 2 sistem, yaitu:
1. Sistem Piramidal
 Mulai dari sel-sel neuron di lapisan V koreks precentralis
(area 4 Brodmann)
 Neuron-neuron tersebut tertata di daerah gyrus
precentralis yang mengatur gerakan tubuh tertentu →
penataan somatotropik
 Serabut-serabut eferen berupa akson-akson neuron di
girus precentralis turun ke neuron-neuron yang
menyusun inti saraf otak motorik, lalu terbagi menjadi 2:
o Di brain stem melalui traktus kortikobulbaris
o Di kornu anterior medula spinalis melalui
traktus kortikospinalis

Traktus Pyramidalis
1. Serabut kortikospinalis
korona radiata → posterior kapsula interna → cerebral
peduncles crus cerebri → pons → medula oblongata →
LOWER MEDULA → SPINAL CORD

 75-90% menyilang di  10-25% serabut yg tdk


DECUSSATION menyilang
PYRAMIDAL  Berjalan di anterior
 Di atas medula cord medula spinalis sbg
junction sbg Traktus Traktus
Corticospinalis Corticospinalis
Lateralis Anterior

fungsi: gerakan-gerakan tangkas otot-otot tubuh dan anggota gerak.

2. Serabut kortikobulbaris
Korona radiata → posterior kapsula interna → cerebral peduncles crus
cerebri → PONS → medulla

 Serabut berjalan bersama serabut kortikospinal


 Sebagian serabut kortikobulbar meninggalkan pyramidal di
atas nukleus yang dituju & berjalan di area Lemniskus
Medeialis
 Sebaian lainnya
Fungsi: berakhir di
gerakan Retikular Formation
otot-otot kepala serta leher.
2. Sistem Ekstrapyramidal


 Merupakan kumpulan-kumpulan traktus, inti-inti &
sirkuit feedbacknya.
 Susunan ekstrapyramidal ini secara fungsional
berhubungan dengan traktus pyramidal.
 Susunan ekstrapiramidal ini dimulai dari serebral
korteks, basal ganglia, subkortikal nukleus secara tidak
langsung ke spinal cord:  melalui multisynap
conection.
 Inti-inti yang menyusun ekstrapyramidal:
1. Korteks motorik tambahan (area 4s, 6, 8).
2. Ganglia basalis (nucleus kaudatus, putamen,
globus pallidus, substansia nigra),
Korpus subtalamikum (Luysii),
Nucleus ventrolateralis Talami.
3. Nucleus ruber & substansia retikularis batang otak.
4. Cerebellum.
 System ekstrapiramidalis dibagi atas 3 lintasan:
1. Lintasan Sirkuit Pertama.
Lingkaran yang disusun oleh jaras-jaras penghubung
berbagai inti melewati korteks piramidalis (area 4), area 6,
oliva inferior, inti-inti pontis, korteks serebelli, nucleus
dentatus, nucleus rubber, nucleus ventrolateralis talami,
korteks pyramidalis & ekstrapiramidalis.
Peranan sirkuit ini memberikan FEEDBACK kepada
korteks pyramidalis & ekstrapiramidalis yang berasal dari
korteks cerebellum.

2. Lintasan Sirkuit Kedua.


Menghubungkan korteks area 4s & area 6 dengan korteks
motorik piramidalis & ekstrapiramidalis melalui substansia
nigra, globus pallidus, nucleus ventrolateralis talami.
Tujuan pengelolaan impuls piramidalis & ekstrapiramidalis
untuk mengadakan INHIBISI terhadap korteks piramidalis
ekstrapiramidalis  gerakan volunter yang bangkit
memiliki ketangkasan yang sesuai.
3. Lintasan Sirkuit Ketiga.
Merupakan lintasan bagi impuls yang dicetuskan di area 8
& area 4s untuk diolah secara berturut-turut oleh nucleus
kaudatus, globus palidus, & nucleus ventrolateralis talami.
Hasil pengolahan ini dengan dicetuskan impuls oleh
nucleus ventrolateralis talami yang dipancarkannya ke
korteks piramidalis & ekstrapiramidalis (area 6).
Impuls terakhir ini melakukan tugas INHIBISI.
Sebagian impuls ini disampaikan oleh globus pallidus
kepada nucleus Luysii.
Fungsi: berkaitan dengan fungsi lintasan piramidal, terutama dalam
memulai dan memperhalus gerakan-gerakan tubuh dan anggota
gerak (terutama jari-jari).

Lower Motoneuron (LMN)


Lower Motoneuron (LMN) merupakan neuron-neuron yang
menyalurkan impuls motorik pada bagian perjalanan terakhir ke sel
otot skeletal. Berbedaan UMN dengan LMN yaitu akson LMN
dinamakan oleh Sherrington ‘final common path’ impuls motorik.
LMN menyusun inti-inti saraf otak motorik dan inti-inti radiks
ventral saraf spinal. Dua jenis LMN dapat dibedakan yang pertama
dinamakan -motoneuron ia berukuran besar dan mejulurkan
aksonnya yang tebal (12-20) ke serabut otot ekstrafusal. Yang
lain dikenal sebagai -motoneuron ukuran kecil aksonnya halus (2-
8) dan mensarafi serabut otot intrafusal.
Dengan perantara kedua macam motoneuron ini impuls motorik
dapat mengemudiakan keseimbangan tonus otot yang diperlukan
untuk mewujudkan setiap gerak tangkas. Tiap motoneuron
menjulurkan hanya satu akson. Tetapi pada ujungnya setiap akson
bercabang-cabang dan setiap cabang mensarafi seutas serabut otot
sehingga dengan demikian setiap akson dapat berhubungan dengan
sejumlah serabut otot. Otot yang digunakan untuk berbagai gerak
tangkas khusus terdiri dari banyak unit motorik yang kecil=kecil.
Ini berarti, bahwa untuk melakasanakan gerak tangkas yang rumit
diperlukan banyak motoneuron.
Tugas motoneuron hanya menggalakkan sel-sel serabut otot
sehingga timbul gerak otot. Tugas untuk menghambat serabut otot
tidak dipercayakan pada motoneuron tetapi pada interneuron. Sel
tersebut menjadi pusat penghubung anatara motoneuron dengan
pusat eksitasi atau pusat inhibisi, yang berlokasi di fomasio
retikularis batang otak. Penghambatan yang dilakukan oleh
interneuron dapat juga terjadi tas tibanya impuls dari motoneuron
yang disampaikan kembali kepada motoneuron. Interneuron itu
dikenal sebagai sel Renshaw
Sistem Saraf Otonom
Susunan saraf autonom adalah bagian susunan saraf yang
mengurus perasaan viseral dan semua gerakan involunter reflektorik,
seperti vasodilatasi-vasokontriksi, bronkodilatasi-bronkokontriksi,
peristaltik, berkeringat, merinding, dan seterusnya. Sistem saraf otonom
merupakan bagian susunan saraf yang berhubungan dengan persarafan
struktur involunter seperti otot jantung, otot polos, dan kelenjar. Terdiri
dari 2 neuron yaitu neuron preganglioner dan postganglioner yang
bersinaps di ganglion otonom. Sistem saraf otonom terbagi menjadi:
a) Sistem simpatis
b) Sistem parasimpatis
c) Sistem enteric nervus
a) Saraf Simpatik (Devisi Torakolumbal)
Memiliki satu neuron preganglionik pendek dan satu neuron
postganglionik panjang. Badan sel neuron preganglionik terletak pada
tanduk lateral substansia abu-abu dalam segmen thoraks dan lumbal
bagian atas medula spinalis. Akson terminalisasi disebut serabut
preganglionik, keluar melalui radiks ventral bersama dengan serabut
eferen somatik. Serabut preganglionik menjalar seperti ramus
komunikans putih menuju ganglion terdekat pada rantai ganglion
simpatik paraventebral, yang terletak pada kedua sisi kolumna
vertebra. Saat serabut preganglion mencapai ganglion serabut ini akan
mengambil salah satu dari ketiga jalur berikut:
 Serabut ganglion dapat bersinaps dengan neuron
postganglionik dalam ganglion simpatis pada area pintu
masuk. Akson postganglionik tidak termielinisasi (setelah
bersinapsis) membentuk ramus komunikan abu-abu dan
menjalar kembali ke saraf spinal. Kemudian akson ini
melewati ramus dorsal dan ventral menuju efektor otot polos.
 Serabut akson preganglionik dapat menuruni rantai simpatis
dan bersinapsis dalam ganglion pada area yang lebih rendah
atau lebih tinggi. Serabut postganglionik menjalar kembali
bersam ramus komunikans abu-abu kedalam saraf spinal pada
area tersebut. Serabut ini menginervasi efektor dalam regia
yang disuplai saraf tersebut.
 Serabut preganglionik dalam regio toraks dapat berlangsung ke
trunkus simpatis (tanpa bersinaps) untuk membentuk saraf
splanknik besar dan kecil yang menuju ganglion kolateral
tempat terjadi sinaps. Ganglion kolateral mesentrika inferior
dan mesentrika superior serta siliaka mengandung neuron
postganglionik, terletak berdekatan dengan organ yang
diinervasi. Serabut akson postganglionik meninggalkan ganglia
dan menginervasi visera pelvis dan abdomen.
Satu-satunya pengecualian dari sistem dua neuron ini adalah
inervasi pada kelenjar medula adrenal. Serabut preganglionik
simpatis yang menjalar ke medula adrenal tidak bersimpatis dengan
neuron postganglionik sebelum mencapai kelenjar. Sel medula
khusus menggantikan sel-sel ganglion simpatis.
b) Saraf Parasimpatis (Divisi Kraniosakral)
Memiliki neuron preganglionik panjang yang menjulur mendekati
organ terinervasi dan memiliki serabut posganglionik pendek.
Badan sel neuron preganglionik terletak dalam nuklei batang otak
dan keluar melalui N.III, N.VII, N.IX, N.X dan N.XI juga dalam
substansi abu-abu lateral pada segmen sakral kedua, ketiga, dan
keempat medula spinalis dan keluar melalui radik ventral. Neuron
poatganglionik terletak dalam ganglia terminal yang terdapat tepat
diluar atau didalam dinding organ yang terinervasi. Serabut
parasimpatis yang berawal dari regio kranial korda menginervasi
mata, struktur pada kepala, visera abdominal dan pelvis. Serabut
parasimpatis yang berawal dari regio sakral korda membentuk saraf
splanknik pelvis dan menginervasi sistem urinalis serta bagian-
bagian dari usus besar bawah. Serabut parasimpatis tidak menjalar
dalam ramus dorsal dan ramus ventral sarsf spinal. Dengan
demikian efek dari kulit (kelenjar keringat, otot arektor pili, dan
pembuluh darah kutan) tidak menerimah inervasi parasimpatis.
Perbedaan sistem simpatis dan parasimpatis
Simpatis Parasimpatis
Pusatnya di medulla spinalis, segmen Pusatnya craniosacral yaitu nuclei nervus
thoracolumbal yaitu pada nucleus III, nervus VII, nervus IX, nervus Xdan
intermediolateralis medulla spinalis segmen sacral
Serabut preganglioner bersinaps di Serabut preganglioner bersinaps di
truncus simpaticus ganglion ciliare (N.III), g.
Submandibulare atau g. Pterigopalatinum
(N.VII), g.opticum (N.IX), g. Terminale
(N.X)
Serabut postganglioner panjang Serabut post ganglioner pendek
Efeknya: dilatasi pupil, tachycardy, Efeknya: konstriksi pupil, bradicardi,
bronchodilatasi, tekanan darah peristaltik meningkat, sekresi kelenjar
meningkat, kelenjar keringat naik meningkat

4. Menguraikan dan Menjelaskan Tentang Penyakit Neurovaskuler

4.1. Hematom Intraserebral

Definisi
Pendarahan inraserebral adalah pendarahan yang terjadi secara langsung
pada bagian atau substasi otak.
Etiologi dan faktor resiko
- Usia
Usia merupakan faktor resiko terbanyak daripada pendarahan
intraserebral. Insidennya meningkat secra dramatis pada penderita usisa
lebih dari 60 tahun.
- Hipertensi
Hipertensi diperkirakan sebagai faktor resiko perdarahan pada
daerah deep hemisfer dan brainstem.
- Aneurisma dan malformasi vaskular
Meskipun rupture aneurisma berry menjadi penyebab perdarahan
subarakhnoid, akan tetapi perdarahan secara langsung pada parenkim otak
tanpa ekpansi ke subarakhnoid dapat menyebabkan perdarahan
intraserebral.
- Antikoagulan dan antitrombolitikk berhubungan dengan perdarahan
intraserebral
Pada beberapa percobaan warfarin sebagai terapi atrial fibrilasi dan
infark miokard merupakan penyebab terbanyak anticoagulant asspciated
intracerebral hemorrhage (AAICH).
- Antiplatelet
Obat antiplatelet kemungkinan dapat meningkatkan resiko
perdarahan intraserebral.
- Peminum alkohol berat
Peminum alkohol yang berat memiliki implikasi terhadap ekspansi
perdarahan, dimana dihubungkan dengan efek samping dari platelet dan
fungsi hati.
- Diabetes
Hubungan diabetes dengan perdarahan intraserebral bervariasi
berdasarkan usia dan lokasi perdarahan.
Klasifikasi
- Perdarahan intraserebral primer
Yang disebabkan oleh hipertensif kronik yang menyebablan
vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak.
- Perdarahan itraserebral sekunder
Terjadi akibat anomali vaskuler kongenital, koagulopati, tumor
otak, vaskulopati non hipertensif, vaskulitis, post stroke iskemik, obat anti
koagulan.

Patofisiologi
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400
micrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut
berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe
Bouchard. Arteriol – arteriol dari cabang lentikulostriata, cabang arteriotalamus
dan cabang paramedian arteri vertebrobasilar mengalami perubahan degenerative
yang sama. Kenaikan tekanan darah yang terjadi secara tiba – tiba atau kenaikan
dalam jumlah yang secara mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh
darah terutama pada pagi hari dan sore hari(Misbach,1999).
Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut
sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi
otak dan menimbulkan gejala klinis. Jika perdarahan yang timbul kecil, maka
massa darah hanya dapat merusak dan menyela di antara selaput akson white
matter (dissecan splitting) tanpa merusaknya. Pada keadaan ini absorpsi darah
akan diikuti pulihnya fungsi neurologi. Sedangkan pada perdarahan yang luas
terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih
berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falks serebri atau lewat foramen
magnum(Misbach,1999).
Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer otak
dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang
otak.Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasusperdarahan
otak di nukleus kaudatus, thalamus dan pons. Selain kerusakan parenkima otak,
akibat volume perdarahan yang relative banyak akan mengakibatkan peninggian
tekanan intrakranial dan menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta
terganggunya drainase otak. Elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade
iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron di daerah yang
terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi.Jumlah darah yang keluar
menentukan prognosis. Bila volume darah lebih dari 60 cc maka risiko kematian
sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan lobar. Sedangkan
bila terjadi perdarahan serebellar dengan volume antara 30 – 60 cc diperkirakan
kemungkinan kematian sebesar 75% tetapi volume darah 5 cc dan terdapat di
daerah pons sudah berakibat fatal (Misbach,1999).

Gejala klinis
Gejala klinis dari perdarahan intraserebral adalah kejadian progresif yang
bertahap (dalam waktu menit sampai dengan hari) atau kejadian yang terjadi
secara tiba – tiba dari defisit neurologi fokal biasanya berhubungan dengan tanda
peningkatan tekanan intrakranial seperti muntah dan penurunan
kesadaran.Kejadian muntah banyak terjadi pada perdarahan intraserebral dan
perdarahan subarakhnoid dibandingkan dengan stroke iskemik. Sebanyak 33%
kasus perdarahan intraserebral mengeluhkan nyeri kepala dan penderita koma
dijumpai sebanyak 24% kasus dibandingkan dengan stroke iskemik dengan
presentasi 0 – 4% (Carhuapoma,2010).
Karakteristik yang utama dari perdarahan intraserebral adalah
perkembangannya yang bertahap pada 63% kasus dan sering
mengalamiperburukan dalam waktu 24 jam pertama. Pada tabel 2 dapat dilihat
gambaran klinis dari subtipe stroke (Carhuapoma, 2010). Pada Tabel 3 dapat
dilihat gambaran neurologis berdasarkan lokasi tertentu(Caplan,2009).

Tabel 2. Gambaran Klinis dari Subtipe Stroke


Thrombosis Lacune Embolus ICH SAH

Maximal onset 40 % 38 % 79 % 34 % 80 %
at

Stepwise 34 % 32 % 11 % 3% 3%
Gradual 13 % 20 % 5% 63 % 14 %

Fluctuati 13 % 10 % 5% 0% 3%
ng
Dikutip dari : Carhuapoma, J.R.; Mayer, S.A.; Hanley, D.F. 2010.
Intracerebral Hemorrhage.Cambridge University Press. New York

Tabel 3. Gambaran Neurologis Pada Penderita Perdarahan


Intraserebral dan Lokasi Perdarahan

Table Neurologic findings in Patients with Intracerebral


13-3. Hemorhhage at common sites
Locale Motor Sensory Hemiano Pupils Eye Other
weakness Loss pia movements
Caudate Hemipare - - Normal - normal or Confusio
sis transient n
conjugate
gazepalsy
contralater
al
Putamen Hemipare + - Normal - -
Small sis
++
Large Hemipare ++ ++ ±Ipsilat Conjugate L:
sis eral palsy aphasia
++++ fixed, contralatera R: left-
dilated l sidedneg
lect,
constructio
nal
apraxia
Thalamu Hemipare +++ ± Small, Eyes down, Confusio
s sis nonreacti or down n L:
+ ve and in; aphasi
vertical a
gaze
palsy;conju
gate gaze
palsy
ipsilateral
or
contralater
al; pseudo
VInerve
palsy
Lobar Hemipare Abular
sis
±
Frontal - - Normal - L:
aphasia
Parietal +++ ++ Normal - R: Left-
sided
neglect,
constructi
onal
apraxia
Tempora - - ++ Normal - L: aphasia,
l agitation
Occipital - or ++++ Normal - -
transient
Ponti Quadripar ± - Small Bilateral Hyperventil
ne esis reaction horizontal ation
(medi ++++ conjugateg
al aze
basil) palsy,bobb
(later ing
al
tegmenta
l)
Cerebell - or Contralat - Ipsilater 1-{½} Limb
ar transient eral al syndrome ataxia
hemisens small
ory reaction
+++
- - - Small Ipsilateral Gait
reaction sixth nerve ataxia
palsy of
ipsilateral
conjugateg
aze
palsy
Dikutip dari : Caplan, L.R. 2000. Caplan’s Stroke : A Clinical
Approach. 3rd ed. Butterworth-Heinemann. Boston

Diagnosis
Diagnosis perdarahan intraserebral antara lain berdasarkan gejala
klinis kemudian didukung dengan pemeriksaan darah dan imaging
(CT dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) ). Bila terjadi pada fase
akut sulit untuk menemukan penyebab yang mendasari malformasi
vaskular, angiografi biasanya dibutuhkan untuk diagnostik
selanjutnya. Penentuan faktor koagulasi diperlukan pada beberapa
penderita(Carhuapoma,2010).
Hasil pemeriksaan CT Scanmembuktikan reliable dalam
mendeteksi perdarahan dengan diameter 1 cm atau lebih. Pada saat
bersamaan juga ditemukan hidrosefalus, tumor, pembengkakan
otak.Magnetic Resonance Imaging (MRI) sangat bermanfaat dalam
memperlihatkan perdarahan brainstem dan sisa perdarahan
Hemosiderin dan pigmen besi. Pada gambar 1 dan gambar 2 dapat
dilihat gambaran CT Scan perdarahan intraserebral (Ropper,2005).

Gambar 1.Perdarahan Intraserebral pada Ganglia Basalis.


Dikutip dari : Ropper, A.H. and Brown,R.H. 2005. Adams and
Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. McGraw-Hill.New York

Penatalaksaan
Penatalaksanaan penderita dengan perdarahan intraserebral yang
luas dan koma antara lain mempertahankan ventilasi yang adekuat,
dengan mengkontrol hiperventilasi mencapai PCO2 25 – 30 mmHg,
mengawasi peningkatan tekanan intrakranial pada beberapa kasus
dengan melakukan pemberian cairan Mannitol (osmolaritas
dipertahankan 295 – 305 mosmol/L. Pengurangan secara cepat
tekanan darah dengan harapan dapat mengurangi perdarahan pada
otak tidak dianjurkan, setelah ditemukan adanya risiko perfusi
serebral pada kasus peningkatan tekanan intrakranial (Ropper,2005).
Pada kondisi lain, tekanan darah rata – rata lebih dari 110 mmHg
dapat menimbulkan edema otak dan risiko ekstensi dari penyumbatan.
Diperkirakan pada saat hipertensi akut menggunakan obat beta
blocker (esmolol, labetalol), atau ACE inhibitor dianjurkan. Calcium
channel blocking
drugsjarangdigunakandikarenakanlaporanefeksampingdaritekananintr
akranial. Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi menunjukkan
tekanan darah yang menurun dengan pemberian nifedipine setelah
perdarahan serebral, akan tekanan intrakranial meningkat. Diuretik
sangat membantu dalam kombinasi dengan obat antihipertensi lainnya
(Ropper,2005).
Tindakan pembedahan pada hematoma serebellar secara umum
telah diterima sebagai tindakan perdarahan intraserebral dan hal ini
merupakan masalah yang utama dikarenakan proksimalitas massa
pada brainstem dan risiko progresi yang cepat menuju koma dan gagal
nafas. Hidrosefalus yang berasal dari kompresi ventrikel keempat
lebih sering tampak sebagai komplikasi. Hematoma serebellar dengan
diameter kurang dari 2 cm pada gambaran klinis penderita
menunjukkan penderita sadar kemudian jarang menunjukkan
deteorisasi, biasanya tidak memerlukan tindakan pembedahan
(Ropper,2005).
Hematoma dengan diameter 4 cm atau lebih khususnya berlokasi
pada daerah vermis dan beberapa dokter bedah menganjurkan
evakuasi lesi dengan diameter ukuran terserbut tanpa memperdulikan
keadaan klinis penderita. Penentuan untuk diperlukan tindakan
pembedahan berdasarkan status kesadaran penderita, efek massa yang
disebabkan adanya clot yang tampak pada gambaran CT Scan
(terutama derajat kompresi pada sisterna quadrigeminal) dan
tampaknya hidrosefalus. Penderita yang hanya dengan keadaan
mengantuk dan hematoma dengan diameter 2 – 4 cm merupakan
kondisi yang sulit untuk dipertimbangkan tindakan pembedahan. Bila
tingkat kesadaran mengalami fluktuasi dan obliterasi dari sisterna
perimesenchepalic, terutama disertai dengan hidrosefalus
(Ropper,2005).
Pada saat dilakukan pertimbangan untuk dilakukan tindakan
pembedahan dan terapi lainnya, dapat dibagi menjadi tiga kelompok
antara lain pada perdarahan yang masif, lesi berkembang dengan
sangat cepat yang mana berisiko menimbulkan kematian sebelum
penderita sampai ke rumah sakit, untuk jenis lesi ini sedikit tindakan
yang dapat dilakukan. Sedangkan hematoma yang kecil, dimana terapi
yang dilakukan adalah mengkontrol faktor risiko seperti hipertensi,
untuk mencegah terjadi kekambuhan Pada perdarahan dengan volume
sedang dengan adanya efek massa setelah penderita sampai di rumah
sakit, tindakan pembedahan sangat diperlukan (Caplan,2009).

4.2. PERDARAHAN SUBARAKHNOID


Definisi
Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada rongga
subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan subarakhnoid
ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga
antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang
merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges).
Etiologi
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah ruptur
aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa
(MAV).
- Aneurisma
1. Aneurisma sakuler (berry)

Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi tersering
aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri
serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada
tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior 30%), dan
basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan deficit neurologis dengan
menekan struktur disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada
arteri komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan
paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami dipopia).
2. Aneurisma fusiformis

Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang disebut aneurisma


fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen intracranial arteri
karotis interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Aneurisma
fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma
fusiformis yang besar pada arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran
yang lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan
bekuan intraaneurismal terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini biasanya tidak
dapat ditangani secara pebedahan saraf, karena merupakan pembesaran pembuluh
darah normal yang memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti
aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah serebral.
3. Aneurisma mikotik

Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. Terapinya


terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa disebabkan
oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan;
struktur ini jarang menyebabkan perdarahan subarachnoid.
- Malformasi arteriovenosa (MAV)

Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler yang terdiri dari jaringan
pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau lebih
fistula. Pada MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui
kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat
menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan
merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah tambahan
yangberasal dari arteri. pPembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami
ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada aneurisma. MAV
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat
terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.
Patogenesis
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral utama.
Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15% dalam
sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri
communicans anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri
bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah
di bagian atas bifurkasi arteri basilar ke arterie otak posterior.
Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang dewasa,
terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan rupture
tidak dipahami. Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk
selama waktu yang relatif singkat dan baik pecah atau mengalami perubahan
sehingga aneurisma yang utuh tetap stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma
ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan disorganisasi bentuk vaskular normal
dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan kolagen berkurang.
Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan kolagen
dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma
bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko rupture
menjadi rendah.
Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan kejadian
pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat ruptur. Secara
keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar daripada aneurisma
yang tidak rupture.
Aneurisma yang pecah
Puncak kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam kehidupan.
Hanya 20% dari aneurisma yang rupture terjadi pada pasienberusia antara 15 dan
45 tahun. Tidak ada faktor predisposisi yang dapat dikaitaan dengan kejadian ini,
mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-hari, dan aktivitas berat.
Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika dianamnesis pasti memiliki
riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3 minggu sebelum
perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-orang ini meninggal sebelum tiba
di rumah sakit. Puncak kejadian perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam
pertama, tetapi tetap ada risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan.
Sekitar 20-25% kembali rupture dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu
pertama setelah kejadian pertama. Kematian terjadi terkait perdarahan kedua
hampir 70%.
Manifestasi Klinis
Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar, meliputi :
1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak,
2. Hilangnya kesadaran,
3. Fotofobia,
4. Meningismus,
5. Mual dan muntah.

Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan

Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena sensitivitasnya


tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih akurat, sensitivitasnya
mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam pertama setelah serangan tetapi
akan turun pada 1 minggu setelah serangan.
2. Pungsi Lumbal

Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostic selanjutnya


adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting untuk
menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang
mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid adalah adanya eritrosit,
peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau xantokromia. Jumlah eritrosir
meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai
sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia adalah warna kuning yang memperlihatkan
adanya degradasi produk eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di
cairan serebrospinal.
3. Angiografi

Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk deteksi


aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan karena non-
invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap
seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki
aneurisma multiple. Foto radiologic yang negative harus diulang 7-14 hari setelah
onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus
dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya malformasi vascular di otak
maupun batang otak.
Terapi
Tujuan penatalakasanaan pertama dari perdarahan subarakhnoid adalah
identifikasi sumber perdarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan
pembedahan atau tindakan intravascular lain. Jalan napas harus dijamin aman dan
pemantauan invasive terhadap central venous pressure dan atau pulmonary artery
pressure, seperti juga terhadap tekanan darah arteri, harus terus dilakukan. Untuk
mencegah penigkatan tekanan intracranial, manipulasi pasien harus dilakukan
secara hati-hati dan pelan-pelan, dapat diberikan analgesic dan pasien harus
istirahat total.
PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus diintubasi dan
hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai PCO2 sekitar 30-
35 mmHg. Beberapa obat yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan
intracranial seperti:
- Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara
signifikan (50% dalam 30 menit pemberian).
- Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intracranial
- Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan
intracranial masih kontroversial.
4.3. TIA

Definisi :
Penyumbatan yang tidak permanen pada pembuluh darah otak. Disebut juga mini
stroke, yang merupakan eringatan terbesar seseorang akan stroke. TIA terjadi
pemulihan sempurna dalam waktu <24jam. TIA dapat terjadi karena dalam
pembuluh darah terdapat zat anti koagulan yang dapat menghancurkan trombus.

Faktor Risiko :
1. Usia
2. Kebiasaan merokok
3. Penyakit cardiovaskular
4. Diabetes
5. Emboli

Gejala :
1. Paralisis 1 sisi tubuh
2. Sulit bicara (cadel)
3. Kebutaan atau rabun pada kedua mata
4. Pusing dan sakit kepala berat dengan penyebab yang tidak jelas

Dianosis :
Adanya perbaikan gejala yang berlangsung <24jam dengan hasil penyembuhan
sempurna.

Terapi :
1. Menurunkan faktor risiko dengan pemberian anti koagulan, kontrol
tekanan darah, kontrol kadar lemak darah, kontrol gula darah, dan kontrol
BB
2. Jika karena adanya emboli cardiac, maka diperlukan pemberian wafarin +
aspirin + klopidogrel
3. Jika emboli non cardiac, maka diperlukan pemberian aspirin + klopidogrel

5. Menguraikan dan Menjelaskan Tentang Lesi Kranial


Bell’s Palsy
* Merupakan paralisis akut akibat adanya vasospamsus di daerah
kanalis vasialis.
* Manifestasi klinis :
1. Lipatan dahi lenyap
2. Celahkelopak mata yang lebar (Lgoftalmus)
3. Hidung dan mulut tertarik ke sisi yang sehat
4. Sulkus naso-labialis lebih datar dari sisi yang
sehat.
5. Ujung bibir di sisi yang sakit lebih rendah
daripada di sisi yang sehat.
6. Bell’s phenomenon  Gerakan bola mata keatas
saat hendak menutup mata.
6. Menguraikan dan Menjelaskan Tentang Gangguan Psikosis
Gangguan Psikosis

Psikosis adalah istilah medis yang merujuk pada keadaan mental yang
terganggu oleh delusi atau halusinasi. Kondisi ini tergolong dalam masalah mental
yang serius.

Ketika penderita psikosis mengalami delusi, ia memiliki keyakinan atau


kepercayaan akan suatu hal yang kuat, padahal keyakinan tersebut tidak sesuai
dengan fakta dan terbukti salah. Sementara itu, halusinasi adalah persepsi kuat
atas suatu peristiwa yang dilihat, didengar, atau dirasa (bau atau sentuhan) tetapi
sebenarnya tidak ada.
Contohnya, seseorang yang berada di tengah keramaian memiliki
halusinasi mendengar seseorang berteriak, padahal orang lain tidak mendengar
teriakan apapun. Atau, seseorang melihat orang lain berdiri di depannya,
walaupun sebenarnya tidak ada siapa pun di sekitarnya.

Psikosis adalah suatu kondisi atau gejala, bukan penyakit. Penyakit mental
atau fisik, pemakaian obat-obatan tertentu, atau stres berat dapat menyebabkan
timbulnya kondisi ini.

Tanda-tanda dan gejala yang timbul pun umumnya tidak terjadi secara
tiba-tiba. Gejala akan muncul secara bertahap. Selain delusi dan halusinasi, gejala
lain yang timbul meliputi cara berbicara yang tidak masuk akal, serta tingkah laku
yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi.

Tanda-tanda & gejala

Psikosis adalah kondisi yang tidak secara langsung menimbulkan tanda-


tanda dan gejala. Umumnya, kondisi ini semakin parah seiring dengan berjalannya
waktu, terlebih jika tidak segera mendapatkan penanganan khusus.

Tanda-tanda dan gejala yang perlu Anda waspadai dari psikosis adalah:

1. Gejala sebelum psikosis muncul

Sebelum penderita benar-benar mengalami psikosis, penderita mulai


merasakan beberapa perubahan, terutama dalam cara berpikir dan memahami
tentang dunia. Anda atau anggota keluarga mungkin akan melihat perubahan pada
hal-hal berikut:

 Penurunan performa kerja di kantor atau nilai di sekolah


 Kesulitan dalam berkonsentrasi atau berpikir jernih
 Merasa curiga dan tidak tenang di sekitar orang lain
 Kurang menjaga kebersihan diri
 Menghabiskan waktu sendirian lebih lama dari biasanya
 Merasakan emosi yang terlalu intens
 Terkadang tidak merasakan emosi apapun

2. Gejala awal psikosis

Saat penderita mulai memasuki fase awal psikosis, tanda-tanda dan gejala
yang mungkin akan timbul meliputi:

 Mendengar, melihat, atau merasakan sesuatu yang orang lain tidak rasakan
 Meyakini atau berpikir mengenai sesuatu, tidak peduli dengan apa kata orang lain
 Menarik diri dari keluarga dan teman-teman
 Tidak lagi menjaga atau memerhatikan diri sendiri
 Kehilangan kemampuan berpikir jernih atau fokus pada sesuatu

3. Gejala episodik psikosis

Ketika kondisi yang dialami sudah semakin parah dan terus berulang
secara berkala, penderita akan merasakan beberapa gejala seperti:

 Halusinasi

Umumnya, penderita akan merasakan halusinasi auditori, yaitu mendengar suara-


suara yang seharusnya tidak ada.

Ada pula halusinasi sentuhan atau taktil, yaitu merasakan sensasi atau sentuhan
aneh yang sulit dijelaskan. Jenis halusinasi lain adalah visual, yaitu ketika
penderita melihat sesuatu atau seseorang yang tidak ada.

 Delusi

Orang yang mengalami delusi memiliki keyakinan atau kepercayaan kuat yang
tidak masuk akal dan tidak dapat dibuktikan secara faktual.
Beberapa contohnya adalah penderita meyakini adanya dorongan eksternal
yang memengaruhi tindakan dan perasaan, atau percaya bahwa semua orang akan
melukainya. Delusi jenis ini disebut dengan delusi paranoid.

Ada pula yang percaya bahwa ia mempunyai kekuatan supernatural.


Bahkan, beberapa di antaranya percaya bahwa ia adalah Tuhan. Kondisi tersebut
termasuk dalam delusi grandeur.

Kemungkinan terdapat gejala dan tanda lain yang tidak disebutkan di atas.
Apabila Anda memiliki kekhawatiran mengenai gejala penyakit ini, silakan
konsultasikan dengan dokter Anda.

Penyebab

Psikosis adalah kondisi yang memengaruhi kemampuan otak dalam


memproses informasi. Kondisi ini dapat mengubah persepsi sensorik, kemampuan
mengelola, serta mengekspresikan informasi yang didapat dan dimiliki.

Meskipun penyebab pasti dari psikosis belum diketahui, terdapat banyak


masalah kesehatan dan kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan erat dengan
munculnya kondisi ini. Beberapa di antaranya merupakan kombinasi dari
lingkungan sosial, faktor genetik, psikologis, obat-obatan, dan fisik.

1. Obat-obatan

Obat-obatan, misalnya obat untuk penyakit Parkinson dan kejang-kejang,


steroid, dan kemoterapi, serta obat-obatan terlarang (misalnya, LSD, kokain,
alkohol, amfetamin, ganja, PCD) juga bisa menyebabkan gangguan mental,
sehingga psikosis dapat muncul.
2. Trauma

Kejadian traumatik seperti kehilangan orang yang dicintai, pelecehan


seksual, atau menjadi korban peperangan dapat memicu munculnya psikosis. Jenis
trauma dan umur saat sedang mengalami trauma tersebut juga berpengaruh.

3. Cedera dan penyakit tertentu

Psikosis dapat muncul apabila penderitanya pernah mengalami cedera


otak, misalnya kecelakaan. Ada pula kemungkinan psikosis adalah salah satu
gejala dari penyakit tertentu, misalnya pada penderita human immunodeficiency
virus (HIV), penyakit Parkinson, Alzheimer, penyakit Huntington, malaria, stroke,
tumor otak, dan penyakit kejang.

4. Menderita penyakit kejiwaan

Kondisi ini juga dapat muncul sebagai salah satu gejala gangguan
kejiwaan, seperti:

 Skizofrenia
 Kelainan skizoafektif
 Brief psychotic disorder
 Kelainan delusional
 Psikosis bipolar
 Psikosis postpartum (postnatal)

Faktor-faktor risiko

Psikosis adalah kondisi yang dapat terjadi pada siapa saja dari berbagai
golongan usia dan kelompok ras. Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko seseorang mengalami kondisi ini.
Memiliki salah satu atau seluruh faktor risiko bukan berarti Anda
dipastikan akan mengalami psikosis. Ada pula kemungkinan kecil Anda dapat
menderita kondisi ini meski Anda tidak memiliki satu pun faktor risiko.

Faktor-faktor risiko yang dapat memicu munculnya psikosis adalah:

1. Keturunan keluarga atau faktor genetik

Dalam beberapa penelitian, faktor genetik memiliki peran penting dalam


kondisi ini. Jika salah satu anak kembar identik menderita psikosis, ada
kemungkinan 50% kembar lainnya pun akan mengalami hal yang sama.

Individu yang hidup berdampingan dengan anggota keluarga (orangtua atau


saudara kandung) yang mengidap kondisi ini juga lebih berisiko mengalami
gangguan kejiwaan. Selain itu, anak-anak yang lahir dengan mutasi genetik yang
dikenal sebagai 22q11 deletion syndrome berisiko mengalami gangguan psikosis,
terutama skizofrenia.

2. Pernah mengalami kecelakaan

Cedera pada kepala atau otak dapat meningkatkan risiko seseorang


mengalami kondisi ini. Maka dari itu, orang yang pernah terlibat atau menjadi
korban kecelakaan, serta menderita cedera di bagian kepalanya, lebih rentan
mengalami psikosis.

3. Pernah mengalami trauma berat

Trauma yang diakibatkan dari kejadian-kejadian tertentu, seperti


kehilangan anggota keluarga atau menjadi korban pemerkosaan, dapat
meninggalkan bekas yang mendalam pada otak. Kondisi tersebut berkaitan erat
dengan risiko kemunculan psikosis.
4. Mengonsumsi obat-obatan tertentu

Psikosis adalah kondisi yang tidak dapat dipisahkan dari penggunaan obat-
obatan terlarang, seperti amfetamin dan kokain. Jika seseorang mengonsumsi
obat-obatan tersebut secara berlebihan, peluangnya untuk mengalami kondisi ini
jauh lebih besar.

5. Pernah atau sedang menderita penyakit kejiwaan

Selain itu, psikosis umumnya adalah kondisi yang muncul ketika


seseorang telah menderita penyakit kejiwaan lainnya. Psikosis muncul sebagai
salah satu gejala dari masalah atau gangguan kejiwaan yang sedang diderita.

Beberapa contoh penyakit mental yang sering dikaitkan dengan kondisi ini
adalah skizofrenia dan bipolar.

Diagnosis & pengobatan

Psikosis adalah kondisi yang dapat didiagnosis dengan evaluasi psikiatri.


Jika Anda mencurigai seseorang mengidap psikosis, dokter akan membuat
diagnosis berdasarkan sejarah medis, pemeriksaan fisik dan evaluasi psikiater.
Dalam prosedur ini, dokter akan melihat perilaku orang tersebut dan bertanya
mengenai dirinya sendiri.

Di samping itu, dokter juga akan melakukan tes untuk memastikan tidak ada
penyakit medis lainnya, antara lain tes darah, CT dan MRI pada otak. Tulang
belakang juga akan diperiksa untuk mendeteksi adanya infeksi, kanker atau
penyebab psikosis lainnya.

Pilihan pengobatan untuk psikosis

Neuroleptik digunakan untuk pengobatan orang yang berperilaku aneh dan


tidak terduga. Tujuannya adalah untuk mencegah orang tersebut menyakiti diri
sendiri atau orang lain. Obat-obatan ini termasuk haloperidol dan benzodiazepin
yang merupakan obat untuk mengatasi rasa gelisah (seperti lorazepam,
alprazolam).

Pengobatan lanjutan tergantung pada penyebabnya:

 Untuk penyakit semacam depresi mental atau skizofrenia, Anda memerlukan


psikiater (spesialis gangguan mental dan emosional) dalam pengobatan bersamaan
dengan obat antidepresan atau antipsikotik;
 Orang dengan penyakit Parkinson dan kejang-kejang harus mengonsumsi obat-
obatan untuk mengatasi masalah tersebut;
 Pecandu narkoba (misalnya, alkohol, dan obat terlarang lainnya) memerlukan
bimbingan dan arahan.

Terapi perilaku kognitif dapat membantu penderita (CBT). Terapi kognitif melatih
orang bagaimana sebuah pola pikir akan menimbulkan gejala. Terapi perilaku
dapat mengatasi rasa khawatir terhadap gejala dan reaksi penderita.

6.1. SKIZOFRENIA

Definisi
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang mencakup hampir seluruh sendi
kehidupan diantaranya pikiran, perasaan, perbuatan, persepsi, keinginan,
dorongan kehendak dan pengendalian.
Etiologi
Kebanyakan gangguan psikiatrik bersifat multifactorial dimana terdapat interkasi
antara faktor genetik dan eksternal yang mengakibatkan timbulnya gangguan.
Adapun pada skizofrenia, faktor genetik berperan sekitar 1% pada normal
populasi, meningkat sekitar 5.6% pada riwayat orang tua dengan skizofrenia,
berkisar 10.1% pada saudara, dan 12.8% pada anak. Etiologi yang pasti hingga
saat ini belum diketahui. Adanya peran dari faktor internal (genetik, masa
kehamilan, dan biokemikal) serta faktor eksternal (trauma, infeksi, maupun
stress). Hipotesa klasik yang paling terkenal adalah berdasarkan adanya
ketidakseimbangan neurotransmitter yang terjadi di otak. Hal ini didasarkan pada:
1. Efek obat antipsikotik yang memiliki kemampuan untuk memblok system
dopaminergik di otak.
2. Obat-obat yang diketahui berperan dalam pelepasan dopamin
(metafetamin, meskalin, LSD) dapat menyebabkan keadaan yang mirip
dengan keadaan skizofrenia.
3. Teori dopamin klasik dari skizofrenia: gejala psikotik berkaitan dengan
hiperaktivitas dari sistem dopaminergic di otak. Hiperaktivitas ini sebagai
akibat dari peningkatan sensitivitas dan densitas dari resepotr dopamin D2
di beberapa bagian di otak.

Diagnosis
Penegakan diagnosa skizofrenia didasarkan pada pedoman penggolongan
diagnosa gangguan jiwa (PPDGJ III) yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
a) Thought echo: isi pikiran dirinyasendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras) , dan isi pikiran ulangan, walaupun isi
sama, namun kualitasnya berbeda; atau
Thought insertion or withdrawal: isi pikiran yang asing dari luar masuk
kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;
b) Delusion of control: waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
Delusion of influence: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
Delusion of passivity: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan tertentu dari luar; (tentang “dirinya“ = secara
jelas merujuk ke pergerakan tubuh atau anggota gerak atau ke pikiran,
tindakan, atau penginderaan khusus);
Delusional perception: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna, sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat;
c) Halusinasi auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau- mendiskusikan perihal pasien
diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau-
jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d) Waham – waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan
diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan- bulan terus menerus.
f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak
relevan atau neologisme
g) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor.
h) Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons
emosional yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunya kinerja sosial, tetapi
harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neureptika.
3. Adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal);
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute), dan
penarikan diri secara sosial.

Setelah menegakkan diagnosa skizofrenia, maka dapat dilanjutkan dengan


mengelompokkan pasien ke dalam sub-kelompok tipe skizofrenia, yang
terjabarkan sebagai berikut:
1. Skizofrenia paranoid
 Paling sering ditemukan
 Memenuhi kriteria pedoman diagnostik umum
 Halusinasi dan / atau waham harus menonjol:
a. Suara yang mengancam / memerintah, bunyi pluit, mendengung,
atau tawa
b. Pembauan / pengecap rasa, perabaan yang bersifat seksual, jarang
visual
c. Waham hampirt iap jenis, tetapi yang paling khas adalah
dikendalikan, dipengaruhi, passivity, dan dikejar-kejar.
2. Skizofrenia hebefrenik
 Onset umumnya pada usia yang lebih muda
 Memenuhi kriteria pedoman diagnostik umum
 Diagnostik pertama kali pada usia remaja atau dewasa muda (15-25
tahun)
 Kepribadian premorbid dengan ciri khas pemalu dan senang
menyendiri
 Untuk diagnosa diperlukan pengamatan kontinu selama 2-3 bulan
a. Mannerisme, cenderung menyendiri, hampa tujuan / perasaan
b. Afek yang dangkal dan tidak wajar, cekikikan, rasa puas diri,
senyum sendiri, tawa menyeringai, ungkapan kata yang diulang-
ulang
c. Proses pikir disorganisasi, pembicaraan yang tidak menentu,
inkoherensi
 Dorongan kehendak hilang, tidak ada minat, kadang ingin berbuat
sesuatu tetapi segera ditinggalkan, preokupasi yang dangkal dengan
tema yang aneh dan sulit untuk memahami jalan pikiran yang
bersangkutan.
3. Skizofrenia katatonik
 Yang menonjol adalah gambaran psikomotor pasien berupa
hiperkinesis, stupor, otomatisme, maupun negativisme
 Memenuhi kriteria pedoman diagnostik umum
 Terdapat lebih dari satu perilaku yang mendominasi gambaran
klinisnya:
a. Stupor atau mutisme
b. Gaduh gelisah
c. Posturing (tidak wajar dan aneh)
d. Negativisme
e. Rigiditas
f. Fleksibilitas cerea
g. Gejala lain: command automatism, verbigerasi, ekolali, maupun
ekopraksi

Terapi
Penatalaksanaan pasien skizofrenia dapat meliputi pemberian farmakoterapi dan
juga psikoterapi.
Penatalaksanaan farmakoterapi dengan pemberian obat antipsikotik dapat
dibedakan dalam dua bagian besar: obat antipsikotik tipikal dan antipsikotik
atipikal. Antipsikotik tipikal merupakan obat generasi lama dengan property yang
lebih fokus pada penghambatan ambilan kembali neurotransmitter dopamin.
Sementara obat antipsikotik atipikal merupakan generasi baru dengan fokus bukan
hanya pada neurotransmitter dopamin saja, namun juga pada yang lainnya seperti
serotonin, norepinefrin, dan lainnya. Menurut consensus terbaru, pemberian obat
antipsikotik atipikal merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan farmakoterapi
pada pasien skizofrenia.
Yang termasuk dalam obat antipsikotik tipikal diantaranya: chlorpromazine,
levopromazine, thioridazine, droperidole, fluphenazine, haloperidol,
perphenazine, pimozide, trifluoperazine. Sedangkan yang termasuk dalam
golongan antipsikotik atipikal: amisulpiride, clozapine, olanzapine, quetiapine,
risperidone, srtindole, sulpiride.

6.2. Gangguan Schizoafektif

Definisi :
Gangguan mental kronis dengan gejala utama mirim schizophrenia dan gangguan
bipolar, yaitu ditandai dengan adanya halusinasi, delusi, mood disorder, maniac,
dan depresi. Sehingga gangguan schizoafektif ini sering terjadi kesalahan
diagnosis, yaitu schizfrenia atau bipolar.

Gejala :
1. Halusinasi
2. Delusi
3. Mood disorder
4. Depresi
5. Maniac

Etiologi :
1. Genetik
2. Struktur dan ikatan kimia otak
3. Stress
4. Penyalahgunaan obat
Diagnosis :
Susah didiagnosis karena mirip dengan schizophrenia dan bipolar

Terapi :
Medis : mood stabilizer, anti psikosis, anti depresam
Psikoterapi : coginitive behavioral theray atau family focused therapy

6.3.Gangguan bipolar
 Bipolar I : episode manic + deprasi mayor
 Bipolar II : episode hipomanic + depresi mayor
 Manifestasi klinis depresi mayor :
- Depresi, gangguan relative stabil sepanjang waktu dan
mempunyai anggota keluarga yang juga memiliki gangguan
afektif.
- Dapat tunggal atau berulang.
- Jarak antara 2 episode paling sedikit 2 bulan tanpa ada gejala
depresi yang berarti.
- Menjadi psikotik pada 20% pasien.
 Manifestasi klinis pada mania dengan fejala psikotik (F30.2)
- Mania yang berat
- Harga diri meningkat, gagasan kebesaran, iritabilitas,
waham + halusinasi
- Harus disertai dengan penambahan energy
 Diagnosis banding :
- Skizofrenia (F20,-)
- Skizoafektif tipe manic (F25.0)
- Mood incogurent
6.4. Cyclotimia
Definisi
Cyclothymia atau cyclothymia terdiri dari dua kata yakni “Cycle”
yang artinya perputaran dan “thymic” yang artinya mood atau
keadaan perasaan seseorang. Maka dapat diartikan bahwa
Cyclothymia dapat berarti “mood swing” adalah keadaan perasaan
seseorang yang berubah-ubah sesuai siklus yang berlaku dimana bias
dalam episode hipomania dan episode depresi dengan tingkat ringan
(Kaplan,2015).
Cyclothymia dapat disebut sebagai gangguan cyclothymic adalah
bentuk ringan gangguan bipolar. Seperti gangguan bipolar,
cyclothymia adalah gangguan suasana hati (mood) kronis yang
menyebabkan naik turunnya emosi. Terkadang penderita berada
puncak emosi, namun tiba-tiba emosi turun drastis di titik terendah
yang dapat membuat pendeita merasa putus asa dan bunuh diri.
Sedangkan pada saat suasana hati stabil (antara emosi tinggi dan
rendah), penderita merasa baik-baik saja (Perugi dkk,2015).
Etiologi
Seperti gangguan distimik, terdapat kontroversi apakah
gangguan siklotimik terkait dengan gangguan mood, baik secara
biologis ataupun psikologis. Sejumlah peneliti telah menghipotesiskan
bahwa gangguan siklotimik memiliki hubungan yang lebih dekat
dengan gangguan kepribadian ambang daripada gangguan mood.
Walaupun terdapat kontroversi ini, data biologis dan genetik
menyokong gagasan gangguan siklotimik sebagai benar- benar
gangguan mood (Perugi dkk, 2015; Birmaher dkk, 2014).
- Faktor Biologi
Data genetika merupakan pendukung yang paling kuat untuk
hipotesis bahwa gangguan siklotimik adalah gangguan mood. Kira-
kira 30% dari semua pasien gangguan siklotimik memiliki riwayat
keluarga yang positif untuk gangguan bipolar I; angka tersebut
serupa dengan angka bagi pasien dengan gangguan bipolar I
(Perugi dkk, 2015). Selain itu, silsilah keluarga dengan gangguan
bipolar I sering dihubungkan dengan pasien gangguan siklotimik.
Pengamatan Bahwa sepertiga persen dengan gangguan siklotimik
memiliki gangguan mood utama, bahwa mereka khususnya rentan
terhadap hipomania akibat antidepresan, dan bahwa kira-kira
sekitar 60% berespon terhadap litium mendukung gangguan
siklotimik merupakan gangguan bipolar I yang dilemahkan (Fava,
2011).
- FaktorPsikososial
Sebagian besar teori psikodinamika mendalilkan bahwa
perkembangan gangguan siklotimik terletak pada trauma dan
fiksasi selama stadium oral dalam perkembangan bayi. Menurut
Freud, keadaan siklotimik adalah usaha ego untuk mengatasi
superego yang kuat dan suka menghukum (Del Calro, 2013; Perugi
dkk, 2015). Hipomania dijelaskan secara psikodinamika terjadi jika
orang terdepresi membuang beban superego yang sangat kuat.
Sehingga menyebabkan tidak adanya kritik diri dan tidakadanya
pengekangan. Mekanisme pertahanan utama pada hipomania
adalah penyangkalan (Parker,2012).

Patofisiologi
Presentasi klinis cyclothymia sangat kaya akan manifestasi
psikopatologis. Dalam pengertian ini diagnostik definisi dasarnya
berdasarkan adanya gejala suasana hati yang sangat sederhana dan
menyesatkan. Gejala suasana hati yang dapat didefinisikan akan
dilemahkan dan bahkan mungkin tidak dilaporkan, atau dapat dianggap
sebagai tidak lebih dari perifer pada banyak pasien. Pada kenyataannya,
cyclothymia dapat didefinisikan oleh suasana hati dan emosi labil, dan
lebih reaktivitas untuk rangsangan positif atau negatif, baik dalam hal
intensitas ataupun durasi (Birmaher dkk, 2014; Van Meter, 2013).
Pasien cyclothymia sering tiba-tiba mengalihkan suasana hati
dengan singkat pada episode depresi dan episode hypomanic. Keadaan ini
dianggap sebagai cyclers ultra-cepat atau ultradian (Perugi dkk, 2015).
Intensitas, kecepatan dan ketidakpastian perubahan suasana hati adalah
penyebab utama dari ketidakstabilan dalam hal harga diri, kepribadian dan
hubungan interpersonal.
Cyclothymia memiliki suasana hati yang tidak teratur, sementara
periode stabilitas suasana hati jarang terjadi dalam beberapa kasus episode
suasana hati utama kedua polaritas mungkin muncul (Akiskal dkk, 1977;
Perugi dkk, 2015).
Menurut teori stress-vulnerability model, ada beberapa resiko atau
faktor penyebab gangguan cyclothymia, selain dalam keadaan mental
tersebut terdapat patofisologis pada cyclothymia baik secara biologi,
secara psikologi, maupun secara sosial, yakni sebagai berikut (Kaplan,
2015; Perugi dkk, 2015).
- Biologi
Penderita cyclothymia lebih sering dijumpai pada penderita yang
mempunyai saudara atau orang tua dengan gangguan bipolar jenis
ini. Riwayat pada keluarga dengan cyclothymia bukan berarti anak
atau saudara akan pasti menderita gangguan bipolar (Van Meter,
2012). Seseorang dengan gangguan cyclothymia ini mempengaruhi
kondisi pasien. Artinya ada faktor predisposisi terhadap gangguan
bipolar. Hanya saja, tanpa adanya faktor pemicu maka yang
bersangkutan tidak akanterkenagangguan bipolar. Faktor
predisposisi gangguan bipolar bisa terjadi juga karena anak meniru
cara bereaksi yang salah dari orang tuanya yang menderita
gangguan bipolar. Secara biologis, terdapat beberapa perubahan
kimia di otak yang diduga terkait dengan gangguan cyclothymia
(Stone, 2014; Sebastian dkk, 2014).
- Psikologi
Penderita cyclothymia dapat dilihat memiliki gangguan pada
psikologi dimana terlihat secara penampilan fisik yang cenderung
eksentrik, menggunakan pakaian dengan warna yang mencolok,
terdapatpula penampilan seperti orang pada umunya, dan bertindak
apatis dengan apa yang dikatakan dan dipikirkan masyarakat
tentang dirinya. Kerentanan psikologis (psychological
vulnerability) dinilai pada kepribadian dan cara seseorang
menghadapi masalah hidup kemungkinan juga berperanan dalam
mendorong munculnya gangguan bipolar (Yen, 2015).
- Sosial
Penderita cyclothymia dapat memiliki gangguan secara sosial
dimana cenderung apatis, egois, dan cenderung penyendiri.
Gangguan siklotimik dapat mempengaruhi pula kegiatan sosial
seperti gangguan dalam bekerja dan gangguan beraktivitas yang
menyebabkan kesalahan tindakan dan mengganggu kegiatannya
tersebut (Kaplan, 2015).

Psikopatologi gangguan cyclothymia dapat disama artikan dengan


gangguan bipolar. Banyak teori telah diajukan mengenai
patofisiologi gangguan cyclothymia yang menjadi bipolar, teori
yang paling popular berpendapat bahwa gangguan cyclothymia
disebabkan ketidakseimbangan neurotransmitter norepinefrin yang
diperkirakan menyebabkan gejala gangguan bipolar (Stone, 2014).
Penggunaan dari beberapa substansi yang mempengaruhi sistem
syaraf pusat (misalnya, alkohol, antidepresan, kafein, stimulant
sistem syaraf pusat, halusinogen atau ganja) dapat memperburuk
gejala mania atau depresi (Perugi, 2015). Penyebab umum
gangguan cyclothymia bersifat komplek atau multifaktor.Maka
dapat disimpulkan bahwa gangguan cyclothymic bukan hanya
disebabkan oleh adanya gangguan keseimbangan kimia di dalam
otak yang cukup disembuhkan dengan minum obat obatan
(Sebastian dkk, 2014).
Terdapat berbagai macam faktor risiko dalam gangguan mood,
khususnya pada cyclothymia dimana terdapat perubahan mood
yang berulang antara depresi dan hipomanik. Berdasarkan
patofisologi di atas, adapun faktor resiko kejadian cyclothymia
sama halnya dengan kasus bipolar yakni sering merasa cemas,
terjadi penurunan konsentrasi, pikiran tidak bisa dibayangkan baik
senang maupun duka, terjadi penyimpangan gaya hidup,
penggunaan zat aditif berlebih dapat pula menjadi faktor risiko
yang jelas pada pasien cyclothymia, dan pada kasus gangguan
mood yang non-psikosis (Pompili, 2012; Perugi dkk, 2015).

Diagnosis
Diagnosis dari cyclothymia dapat ditentukan dari berbagai
penilaian dan berdasarkan pedoman penggolongan untuk gangguan
penyimpangan mental. Selain itu diagnonis cyclothymia diperoleh
dengan menilai keadaan dan perasaan pasien dengan beberapa parameter.
Klinisi harus dipertimbangkan diagnosis gangguan siklotimik jika
seorang pasien dating dalam permasalahan perilaku sosiopatik (Kaplan,
2015; Van Meter, 2013). Walaupun terdapat laporan anecdotal adanya
peningkatan produktivitas dan kreativitas pada pasien saat episode
hipomanik, sebagaian besar klinisi melaporkan bahwa pasiennya menjadi
kacau dan tidak efektif dalam bekerja dan sekolah selama periode
tersebut (Hantouche,2012).
Kriteria diagnosik pada pasien dengan cyclothymia dapat
dilakukan dengan Panduan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ-III), DSM-V, dan Global Assasment Factor Mental Scale (GAF)
atau pada aksis V. Dengan demikian diperoleh diagnosis pasti untuk
cyclothymia sebagai berikut.
- PPDGJ – III (F34.0)
Berdasarkan PPDGJ-III, ciri esensial ialah ketidak-stabilan
menetap dari afektif (suasana perasaan), meliputi banyak periode
depresi ringan dan hipomania ringan, diantaranya tidak ada yang
cukup parah atau cukup lama untuk memenuhi criteria gangguan
afektif bipolar (F31.-)ataugangguan depresif berulang (F33.-).
Setiap episode alunan afektif (mood swing) tidak memenuhi
kriteria untuk kategori manapun yang disebutkan dalam episode
manik (F30.-) atau episode depresif (F32.-) (Maslim, 2013).
- American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical
Manual, Fifth Edition(DSM-V)
Berdasarkan DSM-V terdapat beberapa kriteria pada
cyclothymia sebagai berikut (Maslim, 2013; APA, 2013).
A. Selama minimal 2 tahun (minimal 1 tahun pada anak-
anak dan remaja) ada banyak periode dengan gejala
hypomanic yang tidak memenuhi kriteria untuk episode
hypomanic dan ada banyak periode dengan gejala
depresi yang tidak memenuhi kriteria untuk episode
depresi mayor.
B. Selama periode 2 tahun tersebut (1 tahun pada anak-
anak dan remaja), terdapat periode hypomanik dan
depresi untuk setidaknyasetengah waktu dan individu
belum atau tanpa gejala selama lebih dari 2 bulan pada
suatuwaktu.
C. Tidak ditemukan kriteria yang menunjukan episode
depresimayor, manik, atauhipomanik.
D. Gejala pada kriteria A tidak merujuk pada gangguan
skizoafektif, skizofrenia, gangguan skizofreniform,
gangguan waham, atau spektrum skizofrenia yang tidak
spesifik atau yang tidak spesifik lainnya dan gangguan
psikotik lainnya.
E. Gejalanya tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari
suatu zat (misal: penyalahgunaan obat & medikasi) atau
kondisi medis lain (misal: hipertiroidisme).
F. Gejala menyebabkan kesulitan atau gangguan klinis
yang signifikan dalam sosial, pekerjaan, atau bidang-
bidang pentinglainnya.
Fitur penting dari gangguan cyclothymia yaitu kronis, gangguan
mood yang fluktuatif yang melibatkan berbagai periode gejala hipomanik
dan periode gejala depresi yang berbeda satu sama lain (Kriteria A)
(APA, 2013). Gejala hypomanic dari cyclothymia yaitu tidak mencukupi
jumlah,tingkat keparahan, mudah menyebar, atau durasi untuk memenuhi
kriteria episode hipomanik, dan gejala depresi nya juga tidak mencukupi
jumlah, tingkat keparahan, mudah menyebar, atau durasi untuk
memenuhi kriteria untuk episode depresi berat (Maslim, 2013; Kaplan
2015). Selama periode 2 tahun pertama (1 tahun untuk anak-anak atau
remaja), gejala harus terus- menerus, dan apabila gejala hilang
berlangsung tidak lebih dari 2 bulan (Kriteria B). Diagnosis gangguan
cyclothymia ditegakkan hanya jika kriteria untuk depresi berat, manik,
atau episode hipomanik tidak ditemukan (Kriteria C). Jika seorang
individu dengan gangguan cyclothymia (setelah 2 tahun pertama pada
orang dewasa atau 1 tahun pada anak-anak atau remaja) kemudian
mengalami depresi berat, manik, atau episode hipomanik, maka diagnosis
akan berubah menjadi gangguan depresi berat, gangguan bipolar I, atau
gangguan biplar spesifik atau tidak spesifik lainnya dan gangguan terkait
(disubklasifikasikan sebagai episode hipomanik episode depresi berat)
(Maslim, 2013; Fava,2011).
Diagnosis gangguan cyclothymia tidak ditegakkan jika pola
perubahan suasana hati (mood swing) lebih merujuk pada gangguan
skizoafektif, skizofrenia, gangguan schizofrreniform, gangguan waham,
atau spektrum skizofrenia yang tidak spesifik atau yang tidak spesifik
lainnya dan gangguan psikotik lainnya (Kriteria D), di mana gejala afektif
dianggap fitur terkait dari gangguan psikotik. Gangguan afektif juga
harus tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat atau kondisi
medis (Kriteria E). Meskipun beberapa individu dapat beraktivitas
dengan baik selama beberapa periode hipomanik, namun selama terjadi
hipomanik pasti terdapat gangguan yang signifikan pada kondis sosial,
pekerjaan, atau lainnya sebagai akibat dari gangguan afektif tersebut
(Kriteria F). Gangguan pada kondis sosial, pekerjaan tersebut terjadi
sebagai hasil dari perubahan mood dalam siklus jangka waktu yang lama
dan sering tidak terduga (misal: individu dapat dianggap sebagai
temperamental, moody, tak terduga, tidak konsisten, atau tidak dapat
diandalkan) (Del Carlo, 2013; Maslim, 2013).
- Parent General Behavior Inventory(P-GBI)
Pada diagnosis P-GBI ini menunjukan bahwa terdapat kriteria
dalam menegakkan diagnosis pasien dari orang tuanya. Penilain
dengan P-GBI ini telah lama ditemukan untuk menilai mood dan
gangguan tidur. Pada pasien cyclothymia keadaan mood swing
sering terjadi. Maka diberikan kuesioner dan wawancara terhadap
orang tua pasien. Keluhan yang spesifik dapat menjadi acuan
dalam menegakkan diagnosis cyclotymia (Axelson,2015).
- Family Index of Risk for Mood(FIRM)
Pada diagnosis dengan FIRM ini menunjukan bahwa terdapat
kriteria dalam cyclothymia sama halnya dengan P-GBI namun
perbedaanya kepada indeks keluarga pasien. Pada pemeriksaan
FIRM, pasien cyclothymia diberikan tes kuesioner yang mengacu
permasalahan dalam kegiatan sehari-hari yang berhubungan
dengan keluarga. FIRM dapat mendiagnosis terjadinya
cyclothymia dari penurunan dan peningkatan dari indeksnya
(Birmaher dkk, 2014).
- Halberstadt Mania Inventory(HMI)
Pada diagnosis HMI ini menunjukan bahwa terdapat kriteria
dalam menegakkan diagnosis pasien dengan cyclothymia.
Penilaian cyclothymia dengan melakukan tes wawancara dan tes
kuesioner. Pada hasil diagnosis dengan HMI ini dapat
membedakan antara gangguan siklotimik dengan gangguan
bipolar (Francis-Raniere, 2006; Van Meter, 2013).

Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada Cyclothymia diketahui pada PPDGJ-III dan
DSM V dapat diklasifikasi gejala pada penderita gangguan siklotimik.
Penerangan dari pasien juga diperlukan untuk menunjang keakuratan
terhadap manifestasi klinis yang spesifik pada penderita gangguan
siklotimik ini (Kaplan, 2015; Maslim, 2013).
Gejala gangguan siklotimik identik dengan gejala gangguan
bipolar II. kecuali bahwa gejala gangguan siklotimik umumnya lebih
ringan. Meskipun demikian, kadang-kadang keparahan gejala dapat setara
tetapi dengan durasi yang lebih singkat daripada yang ditemukan pada
gangguan bipolar II (Axelson, 2015). Sekitar setengah dari semua pasien
dengan gangguan siklotimik memiliki geiala depresi sebagai gejala
utama, dan pasien seperti ini paling cenderung mencari bantuan psikiatri
ketika sedang depresi, Beberapa pasien dengan gangguan siklotimik
terutama memiliki gejala hipomanik dan cenderung lebih jarang
berkonsultasi dengan psikiater daripada pasien depresi (Landaas, 2012).
Hampir semua pasien dengan gangguan siklotimik memiliki periode gelala
campuran dengan iritabilitas yangnyata.
Sebagian besar pasien dengan gangguan siklotimik yang ditemui
oleh psikiater tidak berhasil di dalam kehidupan profesional maupun sosial
karena gangguan mereka tetapi sejumlah kecil pasien berhasil, terutama
mereka yang bekerja untuk waktu yang lama dan tidur hanya sedikit.
Kemampuan sejumlah orang mengendalikan gejala gangguan bergantung
pada berbagai atribut individual, sosial, dan budaya (Kaplan, 2015).
Kehidupan sebagian besar pasien dengan gangguan siklotimik
sulit. Siklus gangguan cenderung jauh lebih singkat daripada siklus di
dalam gangguan bipolarI. Di dalam gangguan siklotimik, perubahan mood
terjadi tidak tentu dan mendadak serta kadang-kadang terjadi dalam
beberapa jam. Periode mood normal dan sifat perubahan mood yang tidak
dapat diduga menimbulkan stres yang hebat (Perugi dkk, 2015). Pasien
sering merasa mood mereka tidak dapat dikendalikan. Pada periode
iritabel dan campuran, mereka dapat terlibat di dalam perseteruan tanpa
pencetus dengan teman, keluarga, atau pekerja (Yen,2015).
Pada pasien yang memiliki episode selama dua tahun sebelumnya
mengalami beberapa gejala yang karakteristiknya untuk episode depresi
dan hipomanik (Del Calro, 2013). Pasien cyclothymia mempercayai
terdapat karakteristik hari baik dimana itu pada episode hipomanik dan
hari buruk pada episode depresi. Selain itu, siklus singkat adalah saling
bergantian dengan iregularitas intermiten atas dasar berulang. Dengan
demikian diagnosis yang tepat adalah gangguan siklotimik (Fava, 2011;
Kaplan,2015).
Penatalaksaan
Kompleksnya penatalaksanaan pasien gangguan cyclothymia yakni
upaya kuratif atau medikasi dengan obat-obatan dan dengan psikoterapi.
Namun dari berbagai upaya dalam men-treatment pasien, terdapat pula
upaya preventif dalam menekan terjadinya kejadian hipomanik dan
depresi ringan pada pasien cyclothymia. Adapun medikasi dalam upaya
terapi pasien cyclothymia yakni sebagai berikut (Perugi dkk, 2015; Fava,
2011).
- UpayaKuratif
Dalam menangani pasien dengan gangguan siklotimik diperlukan
upaya lebih dan berhati-hati pada perubahan mood yang
mendadak. Maka upaya kuratif dapat dilakukan dengan metode
psikofarmakoterapi dan metode psikoterapi sebagai berikut.
a. Psikofarmakoterapi

Dalam psikofarmakoterapi pada pasien cyclothymia tidak


jauh beda dengan gangguan mood pada bipolar. Obat
antimanik merupakan pengobatan lini pertama untuk pasien
dengan gangguan siklotimik (Maslim, 2014). Walaupun
data percobaan terbatas pada panggunaan lithium, obat
antimanik lainnya, contohnya carbamazepine dan valproate
(Depakene) juga efektif (Baldessarini, 2011). Dosis dan
konsentrasi plasma dari obat tersebut harus sama seperti
dengan gangguan bipolar I. Pengobatan pasien dengan
gangguan siklotimik yang mengalami depresi dengan
antidepresan harus berhati-hati, karena dapat terjadi
peningkatan kepekaannya terhadap episode hipomanik atau
manic. Dikarenakan sekitar 40-50% pasien cyclothymia
yang diberikan antidepresanmengalamiepisode tersebut
(Perugi dkk, 2015). Pada Tabel 1 di bawah ini menjelaskan
beberapa jenis obat yang direkomendasikan untuk pasien
gangguan cyclothymia (Maslim, 2014; Sebastian dkk,2014).

Tabel 1. Daftar Obat direkomendasikan, Dosis Obat,


Alternatif Obat, Durasi Obat, dan Onset Obat yang
dapat Direkomendasikan pada Cyclothymia.

Obat Nama Dosis Anjuran Waktu Onset


Alternatif Paruh Obat
DEPAKOTE Devalproex 3x 250 mg/h 12-24 jam 7-10 hari
Sodium 1-2x 500 mg/h
Lithium Eskalith 200-500 mg/h efek 7-10 hari 2-8
Lithobid dan 2-3 bulan Minggu
Lithonate lanjutan Fase Akut
TEGRETOL Carbamazepine 300-600 mg/h 1 jam 1-2
Carbatrol 2-3 x perhari Selama 2-3x minggu
Epitol /hari
DEPAKENE Valproic Acid 2x 250 mg/h 1 jam 7-10 hari
Selama 2-3x
/hari
HALOPERIDO HALOPERIDO 5-20 mg/h 5 mg/ml 1-2
L L HALDOL 5mg /(1/2)h i.m selama ½ jam minggu
SERENACE Max. 20 mg
SSRI (Selective Sertraline 50-150 mg/h 12-48 jam 2-4
Serotonin Re- Flouxetine 10-40mg/h (Pemberian minggu
uptake Inhibitor) Citalopram 10-60mg/h 1-2x/hari)
(Dipilih salah
satu sesuai
kondisi)

Penatalaksanaan dengan upaya kuratif harus diperlukan


pengawasan baik dari pihak keluarga pasien dan pihak
tenaga medis. Dalam penggunaan obat-obat berdasarkan
table 1, dilakukan upaya kuratif dengan obat yang sesuai
dengan gejala yang menonjol, agar memperoleh hasil yang
maksimal yakni dengan mengurangi gejala gangguan
siklotimik. Untuk mencegah recurrent clothymia dan
mengurangi dosis hingga terbebas dari penggunaan obat-
obatan dan perlu bimbingan (konseling). Selain itu,
makanan bergizi dapat menjadi salah satu upaya kuratif
untuk penderita gangguan siklotimik.

b. Psikoterapi

Psikoterapi untuk pasien gangguan siklotimik paling


baik diarahkan kepada meningkatkan kondisi kesadaran
pasien tentang kondisinya dan membantu mereka
mengembangkan mekanisme mengatasi pergeseran
moodnya. Ahli terapi biasanya perlu membantu pasien
memperbaiki tiap kerusakan yang dilakukan selama
episode hipomanik. Kerusakan tersebut dapat termasuk
masalah yang berhubungan dengan pekerjaan dan
berubungan dengan keluarga (Perugi dkk, 2015).
Menurut Baldessarini (2011) dan Hantouche (2007)
yakni pada penderita gangguan siklotimik dilakukan
terapi dengan psychoeducational affective dimana
kondisi pasien dihubungkan dengan pengembangan
afektive pasien cyclothymia dengan mendengarkan
audioterapi dan visualterapi untuk membentuk alam
bawah sadar yang baik yang menimbulkan efek positif
dimana terjadi peningkatan kualitas mood secara
signifikan dan masih dilakukan terapi lanjutan untuk
mempertahankan kondisi tersebut. Pasien cyclothymia
juga memerlukan penanganan secara intrapersonal
(Fava, 2011).
Sifat gangguan siklotimik yang jangka panjang,
pasien sering kali memerlukan terapi seumur hidup.
Terapi dilakukan oleh keluarga dan kelompok yang
dapat berupa psikoterapi suportif yakni dengan
memberikan suport, motivasi yang mendukung keadaan
mental menjadi kembali seperti keadaan normal,
psikoedukasional, dan terapeutik interaksi sosial untuk
pasien serta mereka yang terlibat dalam kehidupan
pasien (Hantouche, 2007; Perugi dkk, 2015).
Dengan memaksimalkan upaya kuratif dengan cara
psikofarmakoterapi dan psikoterapi diharapkan pasien dengan
gangguan siklotimik dapat kembali beraktivitas seperti biasanya,
serta diperlukan pengawasan untuk mencegah recurrent dari
cyclothymia dengan menghindari stressor. Maka diperlukan upaya
preventif dalam mencegah baik recurrent maupun mencegah secara
dini cyclothymia.
- UpayaPreventif
Adapun upaya preventif yang dapat dilakukan untuk menekan
terjadinya cyclothymia dengan cara 5M yakni sebagai berikut
(Kaplan, 2015); Van Meter, 2012).
a. Mengetahui sejak dini (sebelum onset 2 tahun)
perubahan interaksi sosial dengan melakukan konseling
dengan psikolong ataupun psikiater.
b. Meningkatkan keterbukaan dengan keluarga dan
lingkungansosial.

c. Mengurangi beban pikiran dan melakukan interaksisosial.

d. Mengetahui perubahan episode depresi dan hipomanik


secara dini dan melakukan terapi didukung oleh tenaga
medis bidangpsikiatri.
e. Melakukan kegiatan positif seperti melakukan hobi
yang disukai dengan keluarga ataupun sahabat.
6.5. Baby Blues
Kelainan psikotik pada kehamilan dan nifas
 Merupakan gangguan mental yang beratdan serius karena dapat
membahayakan ibu dan bayi.
 Faktor predisposisi : Riwata gangguan mental, riwayat gangguan
psikiatrik, punya masalah keluarga, tidak mendapat dukungan
keluarga.
 Biasanya terjadi pada beberapi hari hingga 4-6 minggu setelah
melahirkan
 Insidensi : 1-2 dalam 1000 persalinan.
 Manifestasi klinis : tidak dapat tidur, mudah tersinggung, depresif
atau maniak, skizofrenik/skizoafektif.
 Tatalaksana : Psikoterapi, antidepresan, antipsikotik, dan atau
ECT, Interpersonal psikoterapi, Cognitive Behavioral Therapy
7. Menguraikan dan Menjelaskan Tentang Gangguan Mental dan
Perilaku Pengguna Narkoba
7.1. Intoksikasi Akut Zat Pskiaktif
Definisi
Intoksikasi opiat/opioid akut adalah kumpulan gejala yang disebabkan
oleh penggunaan opiat dan/atau opioid dalam dosis cukup tinggi sehingga terjadi
gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek/mood, perilaku atau fungsi
dan respon psikofisiologis lainnya. Intoksikasi opioid akut adalah suatu keadaan
emergensi yang harus segera ditangani agar tidak menimbulkan kematian.
Patogenesis
Salah satu reseptor utama dalam sistem opiat/ opioid adalah reseptor
opioid mu (ROM). Reseptor opioid mu terdistribusi secara luas dalam sistem saraf
pusat, terutama di striatum, talamus, nukleus traktur solitarius, lokus serulus, area
ventral tegmental, substantia nigra, pars compakta dan saraf tulang belakang dan
memodulasi pelepasannorepinefrin presinaptik dan dopamin yang memegang
peranan penting pada jalur kenikmatan di otak dan dalam perilaku yang
menimbulkan gairah.
Reseptor opioid mu (ROM) termasuk dalam G-protein-coupled reseptor
(GPCR) superfamily yang memiliki 7 domain protein transmembran. ROM
berikatan dengan protein G inhibitor Gi/Go heterotrimerik. Ketika agonis
berikatan dengan reseptor, hal tersebutmenginduksi perubahan GDPmenjadi GTP
pada protein G yang menyebabkan disosiasi reseptor dan protein G. Subunit alfa
dan subunit β/γ juga mengalami disosiasi. Subunit β/γ mengaktifkan saluran G
protein–activated inwardly rectifying potassium (GIRK) dan menghambat saluran
tegangan-sensitif kalsium. Saluran K+ dan Ca2+ adalah target selular yang segera
dari kerja opioid. Pembukaan saluran K+ menyebabkan hiperpolarisasi dan
penghambatan impuls dan bertanggung jawab terhadap sebagian besar efek
sitemik dari pemberian opioid. Inhibisi dari saluran-saluran yang tergantung pada
Ca2+ menghambat pelepasan neurotransmitter.
ROM memiliki 2 tipe reseptor yaitu μ1 and μ2. Kedua jenis reseptor ini
memiliki fungsi yang berbeda: reseptor μ1 berperan dalam analgesia dan reseptor
μ2 berperan dalam depresi pernafasan dan dependensi fisik. Aktivasi ROM akan
semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah opioid yang dimasukkan ke
dalam tubuh.
Diagnosis
a. Baru menggunakan opiat/ opioid
b. Perubahan psikologis dan perilaku yang bermasalah dan nyata secara
klinis (misalnyaeuforia diikuti dengan apati, disforia, agitasi psikomotor
atau retardasi psikomotor,dan penilaian yang terganggu) yang terjadi saat
atau segera setelah penggunaan opiat/opioid
c. Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil yang disebakan oleh anoksia akibat
penggunaandosis berlebih yang parah), dan satu atau lebih tanda atau
gejala yang terjadi selamaatau segera setelah penggunaan opiat/ opioid:
1. Mengantuk atau koma
2. Bicara cadel
3. Gangguan perhatian dan memori
d. Tanda dan gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis lainnya dan tidak
dapatditerangkan oleh gangguan mental lainnya, termasuk intoksikasi oleh
zat lainnya.

Pemeriksaan
 Pemeriksaan Fisik
Gejala utama : Miosis (kontriksi pupil) sampai pint point pupil, ucapan
yang
tidak jelas, depresi respiratorik, hipotensi, hipotermia, bradikardia,
konstipasi,
serta mual dan muntah.
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urin.
Terapi
 Perbaiki tanda vital (tekanan darah, pernafasan, denyut nadi, temperatur
suhu badan)
 Berikan antidotum Naloxon HCL (Narcan, Nokoba) dengan dosis
0,01mg/kgBB secara IV/IM,/SC
 Kemungkinan perlu perawatan ICU, khususnya bila terjadi penurunan
kesadaran
 Observasi selama 24 jam untuk menilai stabilitas tanda-tanda vital

7.2. Adiksi Narkoba

Adiksi berasal dari kata addictere (bahasa Latin). Itu mengacu kepada
hukum yang berlaku di Kerajaan Romawi atas seseorang yang sebelumnya bebas
lalu ditangkap untuk kemudian dijadikan budak.

Adiksi sendiri dalam pemakaian bahasa sehari-hari berarti suatu


keterikatan atau suatu dorongan untuk mengulang-ulang penggunaan zat tertentu
atau perilaku tertentu. Jadi adiksi sebenarnya tidak terbatas hanya pada
penyalahgunaan narkoba saja, tetapi ada begitu banyak adiksi yang lain, misalnya
adiksi terhadap judi, pekerjaan, seks, dan juga games.

Di Amerika Serikat sudah sejak abad ke-18 terjadi pertentangan mengenai


penyebab dari adiksi tersebut. Pandangan pertama mengacu pada pendapat
Benjamin Rush (1745-1813), seorang dokter yang bertugas pada saat perang sipil
yang merupakan salah seorang penanda tangan Declaration of Independence.

Dia mengatakan, “Adiksi adalah suatu keadaan ketika seseorang tidak


mampu untuk mengendalikan kehendaknya.” Dengan kata lain ini merupakan
suatu keadaan yang tidak normal atau suatu penyakit yang lebih membutuhkan
penanganan secara medis ketimbang penanganan cara lain. Pandangan kedua
mengacu kepada pendapat seorang pengkhotbah terkenal, yaitu Jonathan
Edwards, yang pada 1754 memublikasikan Freedom of the Will: “A man never, in
any instance, wills any thing contrary to his desires, or desires any thing contrary
to his will. His will and desire do not run counter at all ; the thing which he wills,
the very same he desires” (Hasrat seseorang tidak mungkin bertentangan dengan
hal-hal yang akan dilakukannya, atau hal-hal yang dilakukan seseorang tidak
mungkin bertentangan dengan hasratnya).

Jadi menurut Edwards, jika seorang minum alkohol (zat adiktif), itu
merupakan suatu objek yang cocok dengan hasil dari kehendaknya (hasratnya)
dan hal tersebut merupakan suatu tindakan yang secara sukarela dilakukannya.
Atau dengan kata lain penggunaan zat adiktif (adiksi) merupakan suatu pilihan
yang secara sadar ditentukan berdasarkan hasrat seseorang.

Kedua pandangan itu terus berkembang menjadi berbagai teori tentang


penyebab/pencetus adiksi. Dalam buku Raising Drug Free Children dapat dibaca
beberapa teori tentang terjadinya adiksi.

Misalnya, teori universal yang ditemukan Weil dan Rosen (1993)


mengatakan, “Kebutuhan untuk mencari pengalaman yang membawa kenikmatan
repetisi periodik yang berasal dari satu jenis aktivitas telah dimulai sejak dini
dalam hidup seseorang.”

Teori-teori lain yang dituliskan dalam buku tersebut antara lain teori
tentang faktor genetis, teori tentang faktor psikososial, dan mungkin jika digali
lagi dari berbagai buku, akan ditemukan banyak lagi teori-teori lain mengenai
adiksi.

Saya sendiri sangat mengkhawatirkan keadaan zaman modern ini.


Kekhawatiran saya, jangan-jangan semua teori tersebut mengandung kebenaran
dan terjadinya adiksi disebabkan gabungan teori tersebut. Jangan-jangan hal itu
yang semakin menyulitkan seorang pecandu untuk pulih dari kecanduannya?

Bagaimana Adiksi Bekerja


Jika pembaca peduli dan mempunyai minat untuk menolong pecandu, ada
baiknya selain mengerti teori-teori tentang adiksi juga mengerti dan memahami
apa yang terjadi dalam pikiran pecandu. Beberapa hal yang dapat menolong kita
adalah bahwa ada paling sedikit tiga tingkatan untuk menjadi pecandu: Pertama ,
tingkat coba-coba, kedua tiingkat pengguna tetap dan ketigatingkat kecanduan.
Tiap tingkat mempunyai ciri-ciri perubahan perilaku seperti dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
Jika diperhatikan dengan saksama, ciri-ciri itu paling banyak dapat dilihat
melalui perilaku. Walaupun perubahan perilaku seperti dapat dibaca pada tabel,
tidak dapat dijadikan patokan absolut untuk menentukan seorang itu pecandu atau
bukan. Jadi sangat penting agar kita lebih peka melihat perubahan-perubahan
perilaku, khususnya pada remaja.

Akan sangat bijaksana jika terjadi perubahan perilaku jangan langsung


diidentikkan dengan perilaku adiksi. Dibutuhkan suatu hubungan komunikasi
yang baik antara orang tua dan anak-anak dan sebaliknya. Untuk menentukan
seorang itu pecandu atau bukan, diperlukan bantuan tenaga-tenaga yang telah
berpengalaman di bidang adiksi misalnya dokter, psikolog, konselor adiksi,
pekerja sosial, atau rohaniwan.

Hal kedua dalam mengenal perilaku adiksi adalah apa yang disebut
sebagai mekanisme pertahanan mental (mental defense mechanism). Mekanisme
itu merupakan suatu hal yang secara normal ada pada manusia dan merupakan
suatu ciri-ciri yang universal ada pada pikiran manusia. Aktifnya mekanisme itu
bisa secara sadar, setengah sadar atau tanpa disadari, yang bertujuan melindungi
‘ego’ seseorang, perasaan, keadaan, atau fakta yang tidak menyenangkan.

Pada tulisan ini saya mengajukan tiga mekanisme pertahanan mental yang
biasanya muncul pada diri pecandu.

Pertama, penyangkalan. Biasanya dalam diri manusia sering timbul


penyangkalan-penyangkalan terhadap suatu keadaan atau fakta yang
menimbulkan ketidaknyamanan. Pada pecandu ‘denial’ timbul karena dia tidak
mau melepaskan zat ‘kesayangannya’ atau penyangkalan terhadap perilaku
adiksinya.
Kedua, Rasionalisasi, kalimat yang biasa keluar dari mulut pecandu ialah
“Nggak separah itu kok” atau “Saya akan segera berhenti, kan saya sudah ke
dokter ahli itu.” Kalimat-kalimat tersebut merupakan tanda dari aktifnya
mekanisme rasionalisasi tersebut.
Ketiga, Proyeksi, mekanisme yang paling sulit untuk dikenali, terutama
bagi para pendamping atau konselor yang belum berpengalaman dalam mengenal
perilaku adiksi. Biasanya kalimat yang muncul adalah “Ini gara-gara hal itu sih
maka gue pake narkoba” atau “Daripada gue dicurigain terus, sekalian aja gue
pake.” Jadi proyeksi adalah suatu mekanisme yang biasa digunakan para pecandu
untuk ‘menggeser’ persoalan atau ‘memindahkan’ kesalahan ke arah lain atau ke
orang lain.
Harap diingat bahwa setiap orang mempunyai mekanisme pertahanan
mental masing-masing, tetapi pada orang-orang yang tidak mempunyai perilaku
adiksi, penggunaan mekanisme pertahanan mental itu masih dalam batas normal,
sementara penggunaannya pada pecandu menyulitkan proses pulih dari adiksinya.
Para penolong juga akan berhadapan dengan keluarga pecandu, yang biasanya
sudah berperilaku sama dengan pecandu, biasa disebut sebagai co-dependency.
Perbedaannya keluarga tidak menggunakan atau melakukan hal-hal yang
dilakukan si pecandu.

Apabila Pecandu Ingin Pulih.


Pertama, tahap rehabilitasi medis; Pada tahap ini, seluruh kesehatan fisik
dan mental diperiksa dan dokter yang telah terlatihlah yang memutuskan apakah
perlu mendapat obat tertentu, misalnya untuk mengurangi gejala putus zat (sakau).
Kedua, tahap rehabilitasi nonmedis; Pada tahap ini pecandu ikut dalam
program rehabilitasi. Di Indonesia sudah ada tempat-tempat rehabilitasi nonmedis
dengan program therapeutic communities (TC); 12 steps; pendekatan keagamaan,
dan lain-lain.
Ketiga, tahap bina lanjut (after care); Pada tahap ini pecandu diberi
kegiatan sesuai dengan minat dan bakatnya untuk mengisi aktivitasnya sehari-
hari. Dapat juga membawa pecandu kembali ke sekolah atau ke tempat kerjanya,
tetapi tetap berada dalam pengawasan.
Pada setiap tahap idealnya dilakukan pengawasan secara terusmenerus dan secara
berkala diadakan evaluasi terhadap proses pulihnya seorang pecandu. Pada tahap
rehabilitasi nonmedis, pecandu dianjurkan untuk mengikuti program yang sesuai
dengan hasil evaluasinya, apakah dengan metode TC, atau 12 steps, atau
pendekatan keagamaan atau memang sudah memungkinkan untuk rawat jalan.
Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika, proses rawat inap dianjurkan tidak
lebih dari empat minggu dan menurut Mrc A Schuckit, MD, program grup terapi
merupakan program yang biayanya lebih murah daripada konseling pribadi.

Dalam dinamika adiksi atau ketika menolong pecandu, sering kali


dihindari penggunaan kata sembuh karena pada pecandu sering terjadi relapse
(kambuh) sehingga istilah yang digunakan ialah ‘pulih’ atau recovery. Istilah yang
digunakan untuk adiksi ialah chronic relapsing disease (penyakit menahun yang
sering kambuh).

Secara universal ada dua hal yang menjadi faktor penghambat dalam
proses pulihnya pecandu. Ketidaktahuan akan dinamika kecanduan dan Aktifnya
mekanisme pertahanan mental pada diri pecandu dan/atau keluarganya.

Hal lain yang juga menjadi kendala ialah jumlah sumber daya manusia
(dokter, psikolog konselor, rohaniwan, dan pekerja sosial) dan sarana yang
menangani masalah adiksi dirasakan masih sangat kurang.

8. Menjelaskan dan Menguraikan tentang Penyakit Neurovaskuler


Akibat Trauma Kepala
8.1. Hematoma Epidural
Definisi :
Adanya akumulasi darah di antara bagian bawa tengkorak dengan durameter yang
biasanya disertai dengan fraktur tulang tengkorakdan laserasi arteri.

Patofisiologi :
Hematoma epidural terletak didaerah tempoparietal dimana fraktur
tengkorak melewati jalur arteri meningeal tengah atau cabang duralnya.
Hematoma epidural frontal dan oksipital biasanya meluas di tas dan bawah
tentorium.
Jika hematoma epidural tidak segera ditangani, maka akan terjadi
penumpukan darah yang akan menyebabkan herniasi subfalcine otak. Jaringan
otak yang terkompresi dapat mengenai n.III (okulomotorius) sehingga
menghasilkan dilatasi pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral atau respon
motorik ekstensor.

Gejala :
1. Terdapat lesi intradural
2. Adanya abnormalitas pupil
3. Meningkatya tekanan intracanial
4. GCS menurun
5. Nyeri kepala hebat
6. Muntah
7. Bradikardi
8. Bradipnea

Pemeriksaan penunjang :
CT SCAN sebagai pilihan utama.
Akan memperlihatkan adanya densitas homogen bikonveks ekstaaksial

Terapi :
1. Terapi suportif : pengendalian ABCDE
2. Ligasi pembuluh darah

8.2. Hematom Subdural


Definisi :
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater
dan arakhnoid. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara
korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan
laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau
tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural.
Klasifikasi :
a. Perdarahan akut
Gejala timbul segera kurang dari 72 jam setelah trauma. Terjadi
pada cedera kepala cukup berat. Biasanya sudah terganggu kesadaran dan
tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar
luas. Gambaran Ct-scan, didapatkan lesi hiperdens.
b. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari sekitar 4-21 hari sesudah trauma.
Pasien mengalami periode tidak sadar lalu mengalami perbaikan status
neurologi yang bertahap kemudian penderita memperlihatkan tanda-tanda
status neurologis yang memburuk. Pasien menjadi sulit dibangunkan dan
tidak berespon terhadap rangsang nyeri atau verbalmeningkatnya tekanan
intrakrania. Dapat terjadi sindrom herniasi dan menekan batang otak. Pada
gambaran skening tomografi didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi
isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan
resorbsi dari hemoglobin.
c. Perdarahan kronik
Terjadi setelah 21 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.
Gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan
setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya
terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila
pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan
darah. Hematoma lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan-
lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.
Didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma,
pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah
permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi
robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah
yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang
tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan
volume dari hematoma.
Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan
baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam
kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari
ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan
gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural
kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Gambaran
skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
Etiologi :
a. Trauma
 Trauma kapitis
 Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk
 Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak anak.
b. Non trauma
 Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural
 Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intracranial

Patofisiologi :
Subdural hematoma dapat disebabkan oleh suatu mekanisme cedera
akselerasi-deselerasi (akselerasi: kepala pada bidang sagital dari posterior ke
anterior dan deselerasi: kepala dari anterior ke posterior) akibat adanya
perbedaan relative arah gerakan antara otak terhadap fenomena yang didasari
oleh keadaan otak dapatbergerak bebas dalam batas-batas tertentu di dalam
rongga tengkorak dan pada saat mulai gerakan (sesaat mulai akselerasi) otak
tertinggal di belakang gerakan tengkorak untuk beberapa waktu yang singkat.
Akibatnya otak akan relative bergeser terhadap tulang tengkorak dan
duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya terutama pada vena-
vena penggantung (bridging veins).
Adanya suatu massa yang berkembang membesar (hematom, abses, atau
pembengkakan otak) di semua lokasi kavitas intracranial menyebabkan
pergeseran dan distorsi otak, yang bersamaan dengan peningkatan TIK dan
mengarah pada herniasi otak, keluar dari kompartemen intracranial dimana
massa tersebut berada. Makin lebar atau deviasi pergeseran otak akan
menimbulkan peningkatan TIK yang relative lebih tinggi terhadap distorsi otak
yang ditimbulkannya.

Manifestasi Klinis :
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang terjadi
pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume SDH. Gejalanya
cenderung berubah-ubah, diantaranya:

 Cedera dini (trauma pada kepala)


 Kehilangan kesadaran pasca cedera kepala (bisa sadar kembali atau tidak
untuk suatu periode, penurunan ketajaman perrhatian setelah kesadaran
awal)
 Mengantuk
 Sakit kepala (menetap, temporer / berubah-ubah)
 Penurunan / gangguan penglihatan (buta, bisa mata kiri / kanan)
 Penurunan sensasi (wajah, ekstremitas, dan deficit neurologis)
 Kurangnya perhatian terhadap lingkungan
 Paralisis
 Delirium
 Penurunan memori

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang
mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau
nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Periksa nadi dan tekanan
memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian
cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan
darah, bradikardia dan bradipnea.

8.3. Fraktur Basis Cranii


fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak yang tebal.Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater.Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi
tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital condylar.Fraktur basis cranii
dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior,
fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.
Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu :
• Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran,
dan umumnya tidak diperlukan intervensi.
• Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa
kerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi
untuk mengoreksi deformitas yang terjadi.
• Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus
dan bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura
normal jadi melebar.
• Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar
tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal
(Cerebrospinal Fluid). Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang
tengkorak dan biasanya terjadi akibat benturan langsung.Tulang tengkorak
mengalami deformitas akibat benturan terlokalisir yang dapat merusak isi bagian
dalam meski tanpa fraktur tulang tengkorak. Suatu fraktur menunjukkan adanya
sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan besar
menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium.
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis,
dan sebaliknya, cedera yang fatal pada membran, pembuluh-pembuluh darah, dan
otak mungkin terjadi tanpa fraktur.Otak dikelilingi oleh cairan serebrospinal,
diselubungi oleh penutup meningeal, dan terlindung di dalam tulang
tengkorak.Selain itu, fascia dan otot-otot tulang tengkorak mEnjadi bantalan
tambahan untuk jaringan otak.Hasil uji coba telah menunjukkan bahwa diperlukan
kekuatan sepuluh kali lebih besar untuk menimbulkan fraktur pada tulang
tengkorak kadaver dengan kulit kepala utuh dibanding yang tanpa kulit
kepala.Fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan hematom, kerusakan nervus
cranialis, kebocoran cairan serebrospinal (CSF) dan meningitis, kejang dan cedera
jaringan (parenkim) otak.Angka kejadian fraktur linear mencapai 80% dari
seluruh fraktur tulang tengkorak.Fraktur ini terjadi pada titik kontak dan dapat
meluas jauh dari titik tersebut.Sebagian besar sembuh tanpa komplikasi atau
intervensi.
Fraktur depresi melibatkan pergeseran tulang tengkorak atau fragmennya
ke bagian lebih dalam dan memerlukan tindakan bedah saraf segera terutama bila
bersifat terbuka dimana fraktur depresi yang terjadi melebihi ketebalan tulang
tengkorak.Fraktur basis cranii merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang bisa melibatkan banyak struktur neurovaskuler pada basis cranii,
tenaga benturan yang besar, dan dapat menyebabkan kebocoran cairan
serebrospinal melalui hidung dan telinga dan menjadi indikasi untuk evaluasi
segera di bidang bedah saraf.
INSIDEN
Cedera pada susunan saraf pusat masih merupakan penyebab utama
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh dunia. Pada
tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di Amerika meninggal akibat berbagai jenis
cedera.Trauma kapitis menyebabkan 50.000 kematian.Insiden rata-rata (gabungan
jumlah masuk rumah sakit dan tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000
penduduk.Sebanyak 22% pasien trauma kapitis meninggal akibat
cederanya.Sekitar 10.000-20.000 kejadian cedera medulla spinalis setiap
tahunnya.
Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus
fraktur linear sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum, terutama pada
anak usia dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal sebanyak 15-48% dari seluruh
kejadian fraktur tulang tengkorak, dan fraktur basis cranii sebesar 1921%. Fraktur
depresi antara lain frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada
daerah-daerah lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur
terbuka (75-90%).Insiden fraktur tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413
penduduk (0.02%), atau 42.409 orang setiap tahunnya. Sejauh ini fraktur linear
adalah jenis yang banyak, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun di Amerika
Serikat.
PATOFISIOLOGI
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan
menjadi :
• fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak
• fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih
dalam dari tulang tengkorak
• fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan
lingkungan luar. Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur
basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus.Pada dasarnya, suatu fraktur basiler
adalah suatu fraktur linear pada basis cranii.Biasanya disertai dengan robekan
pada duramater dan terjadi pada pada daerah-daerah tertentu dari basis cranii.
Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii.
Tiga subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal, transversal, dan tipe
campuran (mixed). a. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan
melibatkan pars skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan
tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior
hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di fossa media dekat foramen
spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut.
b. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan
labyrinth, berakhir di fossa media.
c. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur
transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang
sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan
nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang
melibatkan tulang mastoid.Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit dari
nervus cranialis.
Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga
besar dengan kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi
pada ligamentum alar.Fraktur jenis ini dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan
mekanisme cedera yang terjadi.
Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur bergeser dan fraktur stabil
misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni :
a. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang
mengakibatkan fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu
fraktur yang stabil.
b. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan
meluas menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai
fraktur stabil karena masih utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial.
c. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi
yang dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang
tidak stabil.
Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar
yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.Sumber literatur
mengelompokkannya menjadi tipe longitudinal, transversal, dan oblique.Fraktur
tipe longitudinal memiliki prognosis paling buruk, terutama bila mengenai sistem
vertebrobasilar.Biasanya fraktur tipe ini disertai dengan defisit n.VI dan n.VII.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis
periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battle’s sign), dan kebocoran
cairan serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga
dan hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam
berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan
neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang
sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling
menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
• Foto Rontgen:
Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium
dianggap kurang optimal.Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti
fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CTcan dan dapat dideteksi dengan
foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan daripada foto Rontgen
kepala.Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-
ray dapat memberikan informasi yang bermanfaat.Diperlukan foto posisi AP,
lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan
untuk menunjukkan suatu fraktur depresi.Foto polos cranium dapat menunjukkan
adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal.Foto polos
tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan
lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.
• CT scan :
CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa
fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-
1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi.
CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital,
tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan. • MRI (Magnetic
Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan
terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada
tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan.MRI memberikan
pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan.c. Pemeriksaan
Penunjang Lain Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang
dicurigai adanya kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu
akan menunjukkan adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar
dari noda darah yang kemudian disebut suatu “halo” atau “ring” sign. Suatu
kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan
mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe.
DIAGNOSIS
Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan diagnostik.Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang
lengkap dan mekanisme trauma.Trauma pada kepala dapat menyebabkan
gangguan neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih
jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara
lain :
• Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
• Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
• Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda
eyes)
• Adanya luka memar di belakang telinga (Battle’s sign)
• Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
• Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.
DIAGNOSA BANDING
Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti
kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang
yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau
III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan
oleh :
• Kongenital
• Ablasi tumor atau hidrosefalus
• Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
• Tindakan bedah
PENATALAKSANAAN
A Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini
tidak ada cedera
B Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri
C Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin
tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV line
D Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin
E Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari
depan dan belakang.
Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan
pemeriksaan fisis menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang
dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube dapat dipasang kecuali
pada pasien dengan kecurigaan cedera nasal dan basis cranii, sehingga lebih aman
jika digunakan orogastric tube.Evaluasi untuk cedera cranium dan otak adalah
langkah berikut yang paling penting.Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis
yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian bedah
saraf.Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi
pupil, dan kelemahan ekstremitas.Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-
pasien dengan trauma kapitis.Fraktur ini menunjukkan adanya benturan yang kuat
dan bisa tampak pada CT scan.Jika tidak bergejala maka tidak diperlukan
penanganan.Gejala dari fraktur basis cranii seperti defisit neurologis (anosmia,
paralisis fasialis) dan kebocoran CSF (rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran
CSF akan pulih dengan elevasi kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari
walaupun kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung.
Belum ada bukti efektifitas antibiotik mencegah meningitis pada pasienpasien
dengan kebocoran CSF.Neuropati cranial traumatik umumnya ditindaki secara
konservatif.Steroid dapat membantu pada paralisis nervusfasialis.Tindakan bedah
tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang
pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal.Mungkin
diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan
apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah
kebocoran CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini
memerlukan deteksi yang tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum dilakukan
tindakan operasi.
KOMPLIKASI
Resiko infeksi tidak tinggi, sekalipun tanpa antibiotik rutin, terutama pada
fraktur basis cranii dengan rhinorrhea.Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-
tulang pendengaran dapat menjadi komplikasi dari fraktur basis cranii.Fraktur
condyler tulang occipital adalah suatu cedera serius yang sangat jarang
terjadi.Sebagian besar pasien dengan fraktur condyler occipital terutama tipe III
berada dalam keadaan koma dan disertai dengan cedera vertebra servikal.Pasien-
pasien ini juga mungkin datang dengan gangguangangguan nervus cranialis dan
hemiplegi atau quadriplegi.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii
yang terkait dengan gangguan nervus IX, X, and XI.Pasien-pasien dengan keluhan
kesulitan phonation dan aspirasi dan paralisis otot-otot pita suara, pallatum molle
(curtain sign), konstriktor faringeal superior, sternocleidomastoideus, dan
trapezius.Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang juga
berdampak terhadap nervus IX, X, XI, dan XII.Meski demikian, paralisis facialis
yang muncul setelah 2-3 hari adalah gejala sekunder dari neurapraxia n.VII dan
responsif terhadap steroid dengan prognosis baik.Suatu onset paralisis facialis
yang komplit dan terjadi secara tiba-tiba akibat fraktur biasanyamerupakan gejala
dari transection dari nervus dengan prognosis buruk. Fraktur basis cranii juga
dapat menimbulkan gangguan terhadap nervusnervus cranialis lain. Fraktur ujung
tulang temporal petrosus dapat mengenai ganglion Gasserian / trigeminal.Isolasi
n.VI bukanlah suatu dampak langsung dari fraktur namun akibat regangan pada
nervus tersebut.Fraktur tulang sphenoid dapat berdampak terhadap nervus III, IV,
dan VI juga dapat mengenai a.caroticus interna, dan berpotensi menyebabkan
terjadinya pseudoaneurisma dan fistel caroticocavernosus (mencapai struktur
vena).Cedera caroticus dicurigai terjadi pada kasus-kasus dimana fraktur melalui
canal carotid, dalam hal ini direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan CT-
angiografi.
PROGNOSIS
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk
cedera nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian
besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai
dengan hematom epidural.Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang
cranium tidak memerlukan tindakan operasi.

9. Menjelaskan dan Menguraikan tentang Aspek Sosial Budaya


Penderita Gangguan Jiwa
Pengaruh Aspek Sosial dan Budaya Terhadap Gangguan Psikosis

1. Patogenik, ada beberapa tradisi kebdayaan yang mengakibatkan


bertambahnya tingkat stress seseorang yang berakibat terganggunya
psikosis seseorang
2. Patoselektif, ada tradisi kebudayaan yang dapat menurunkan stess
seseorang. Misalnya : meditasi
3. Patoplastik, budaya membentuk gejala sesuai dengan lingkungan suau
patologi terjadi. Misalnya : waham kejar dipercayai jika seseorang sedang
dikejar hantu
4. Patoelaborating, budaya membolehkan suatu kondisi kelainan psikis
tertentu. Misalnya : Malaysia dan Indonesia menganggap bahwa orang
yang latah itu lumrah dan cenderung lucu.
5. Patofacilitating, budaya memengaruhi seberapa sering sebuah atologi
tampil pada segolongan orang
6. Patoreaktif, budaya berdampak terhadap pasien, keluarga, lingkungan saat
bereaksi dengan suatu gangguan.

10. Menjelaskan dan Menguraikan tentang Manajemen Pasien Terlantar


yang Mengalami Gangguan Jiwa
Managemen pasien terlantar yang mengalami penurunan mental
 UU No.23 tahun 1966 tentang kesehatan jiwa
 Pasien gangguan jiwa yang terlantar harus mendapatkan
perawtan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan.
 Surat mentri dalam nergeri No. PEM.29/6/15, 11 November 1977
 Menginstruksikan kepada gubernur untuk tidak melakukan
pemasungan serta mengedukaiskannya kepada masyarakat dan
meminta manyarakat untuk menyerahkan pasien gangguan jiwa
ke rumah sakit jiwa.
 Instruksi juga pada Camat dan Kepala desa.
 Dilakukan untuk mewujudkan Indonesia bebas pasung.

11. Menjelaskan dan Menguraikan tentang Program Kesehatan Jiwa


Seorang profesional kesehatan jiwa harus mengidentifikasi semua
orang dalam masyarakat yang dapat membantu penderita sebelum, selama
dan sesudah masuk rumah sakit dan mengadakan hubungan dengan
mereka. Perlu dilatih orang-orang yang mempunyai kecakapan, pandanan
hidup dan kemampuan yang bermacam-macam.
Para dokter umum memegang peran penting, terlebih dalam
kebijaksanaan pemerintah untuk melaksanakan intregrasi kesehatan jiwa
dalam Pusat Keshatan Mayarakat (puskesmas atau PKM) dan dalam RSU
kabupaten.
Para guru dalam sistem pendidikan dapat banyak membantu dalam
mencegah gangguan jiwa dan juga dalam menemukan gangguan jiwa
secara dini bila mereka dilatih. Para rohaniwan sering juga diminta
bantuan oleh penderita gangguan jiwa atau oleh keluarga mereka. Para
rohaniwa dapat mengambil bagian secara aktif dalam pelayanan kesehatan
jiwa dengan mengenal ganggial jiwa secara dini, melakukan konseling
sederhana, merujuk pasien ke seorang yang profesional serta membantu
dalam pengobatan dan rehabilitasi.

Anda mungkin juga menyukai