Paradigma Dalam Riset Akutansi
Paradigma Dalam Riset Akutansi
Dalam suatu riset Chariri dan Ghozali (2001) menuliskan bahwa pendekatan klasikal
lebih menitikberatkan pada mekiran normative yang mengalami kejayaannya pada tahun 1960-
an. Pada tahun 1970-an terjadi pergeseran pendekatan dalam riset akuntansi. Alasan yang
mendasari pergeseran ini adalah bahwa pendekatan normative yang telah berjaya selama satu
decade tidak dapat menghasilkan teori akuntansi yang siap digunakan dalam praktik sehari-hari.
Alasan kedua yang mendasari usaha pemahaman akuntasi secara empiris secara mendalam
adalah adanya “gerakan” dari masyarakat peneliti akuntansi yang menitifberatkan pada
pendekatan ekonomi dan perilaku perkembangan ekonomi keuangan, terutama munculnya
hipotesis pasar efisien (efficient market hypothesis) dan teori keagenan (agency theory), yang
menciptakan suasana baru bagi riset empiris manajemen dan akuntansi. Chicago
mengembangkan apa yang disebut dengan teori akuntansi positif (positive accounting theory)
yang menjelaskan akuntansi itu ada, apa itu akuntansi, mengapa akuntanmelakukan apa yang
mereka lakukan. Dan apa fenomena itub terhadap manusia dan penggunaan sumber daya.
a. Paradigma fungsionalis.
Paradigma fungsionallis juga sering disebut juga dengan fungsional structural atau
kontinjensi rasional (rational contigensy). Paradigm ini merupakan paradigma yang umum dan
bahkan sangat dominan digunakan dalam riset akuntansi dibandingkan dengan paradigm yang
lain, sehngga disebutjuga paradigm utuma (mainstream paradikm). Secara ontology, paradigm
umum ini sanagat dipengaruhi oleh realitas fisik yang menganggap realitas objektif berada bebas
dan terpisa di luar diri manusia. Realitas diukur, dianalisis, dan digambar secara objektif.
Konsekuensinya adalah adanya jarak antar objek dan subjek. Dalam kaitannya dengan akuntansi
manajemen dan system pengendalian, Macintosh (1994) mengatakan bahwa fungsionalis
mengasumsikan suatu sistem social dalam organisasi yang meliputi fenomena empiris dan
kongkret, yang keberadaannya bebas dari manajer dan karyawan yang bekerja di dalamnya.
Pemahaman tentag realitas akan memengaruhi bagaimana cara memperoleh ilmu
pengetahuan yang benar. Secara epistemology, akuntansi utama melihat realitas sebagai realitas
materi yang mempunyai suatu keyakinan bahwa ilmu pengetahuan akuntansi dapat dibangun
dengan rasio dan dunia empiris. Berdaarkan keyakinan tersebut, peneliti akuntansi utama sangat
yakin bahwa satu-satunya metode yang dapat digunakan untuk membangun ilmu pengetahuan
akuntansi adalah metode ilmiah. Suatu penjelasan dikatakan ilmiah apabila memenuhi 3
komponen, yaitu :
Di dalam filsafat, pengujian empiris dinyatakan dalam dua cara (Chua :1986) yaitu :
1. Dalam aliran positivis ada teori dan seperangkat pernyataan hasil observasi independen
yang digunakan untuk membenarkan atau memverifikasi kebenaran teori (pendekatan
hypothetiico-deductive)
2. Dalam pandangan Popperin, karena pernyataan hasil observasi merupakan teori yang
dependen dan dapat dipalsukan, maka teori-teori ilmiah tidak dapat dibuktikan
kebenarannya tetapi memungkinkan untuk ditolak
Metodologi yang riset yang digunakan oleh para fungsionalis mengikuti metodologi yang
digunakan dalamilmu alam .penganut aliran ini melakukan deskripsi atas variabel, membangun
dan menyatakan hipotesis,mengunpulkan data kuantitatif,dan melakukan analisis statistika
(Macintosh,1994).Beberapa riset empiris dalam akuntansi keperilakuan yang menggunakan
pendekatan paragdigma fungsionalis ini (menggunakan pengumpulan data survey atau kuesioner
dan analisis statistika) yang dijelaskan oleh Dillard dan Becker dengan masalah risetnya antara
lain adalah:Govinrarajan dan Gupta (1985) yang menemukan hubungan antara system
pengendalian dan strategi unit bisnis strategis dengan kinerja;
Beberapa kelemahan metodologi paradigma funsionalis dalam riset akuntansi ,terutama
akuntansi keperilakuan,mulai dirasakan oleh peneliti akuntansi lainnya.mereka mulai
mempertanyakan apakah pandangan ontology realitas fisik dalah tepat untuk memahami
fenomena social ?Capra dan iwan(1998) menyatakan bahwa :
1. mengadopsi paradigma ala Descartes dan metode-metode ala Newton (yang sangat
mekanistis).meskipun demikian, kerangka ala Descartes sering kali tidak sesuai untuk
fenomena-fenomena yang mereka gambarkan dan akibatnya model-model mereka
semakin tidak realistis.
2. Ekonomi termasuk akuntansi ini ditandai dengan pendekatan reduksionis dan terpecah-
pecah,para ahli ekonomi termasukakuntansi biasanya gagal mengetahui bahwa
ekonomi,termasuk akuntansi,hanyalah salah satu aspekdari suatu keseluruhan susunan
ekologis dan social,suatu system hidup yang berdiri atas manusia dalam interaksinya
yang terus-menerus.
b. Paradigma Interpretif
Paradigm ini juga disebut dengan interaksional subjektif (mancintosh, 1994). Menurut
Chua (1986). Pendekatan alternative ini berasal dari filsuf jerman yang menitikberatkan pada
peranan bahasa, interprestasi, dan poemahaman dalam ilmu social. Sedangkan menurut Burrel
dan morgan, paradigma ini menggunakkan cara pandang yang nominalis yang melihat realitas
social sebagai sesuatu yang hanya merupakan tabel, nama, atau konsep yang digunakan untruk
membangun realitas, dan bukanlah sesuatu yang nyata, melainkan hanyalah penanam atas
sesuatu yang diciptakan oleh manusia atau merupakan produk manusia itu sendiri. Dengan
demikian, realitas social merupakan sesuatu yang beradadalam diri manusia itu sendiri, sehingga
bersifat subjektif bukan objektif sebagimana yang dipahami oleh paradigma fungsionalis.
Pendekatan ini memmfokuskan pada sifat subjektif dunia social dan berusaha untuk memahami
kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Fakusnya ada pada diri individu dan persepsi
manusia terhadap realitas, independen di luar mereka. Bagi paradigm interpretif ini, ilmu
pengetahuan tidak digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi, namun untuk memahami
(triyuwono, 2000). Berkaitan dengan system pengedalian dan akuntansi manajemen, menurut
macintoosh (1994), terdapat dua perbedaan antara paradigma fungsional dengan interpretif.
Perbedaan pertama adalah bahwa paradigma interpretif memusatkan perhatian tidak hanya pada
bagaimana membuat perusahan berjalan dengan baik, tetapi juga bagaimana menghasilkan
pemahaman yang luas dan mendalam mengenai bagaimana manajer dan karyawan dalam
organisasi memahami akuntansi, berpikir tentang akunttansi, serta berinteraksi dan menggunakan
akuntansi. Perbedaan kedua adalah bahwa para interaksionis tidak percaya pada keberadaan
realitas organisasi yang tunggal dan konkret, melainkan pada situasi yang ditafsirkan organisasi
organisasi dengan caranya masing – masin.
1. Tradisional, yang menekankan pada penggunaan studi kasus, wawancara lapangan, dan
analisasi historis.
2. Metode Fuocauldian, yang menganut teori social dan Michael Foucault sebagai pengganti
konsep tradisional histooris yang disebut dengan “ahistorical” atau “antiquarian”
(Sukoharsono, 1998). Tahap aliran ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian
posmodernisme .
1. Interaksi yang mengikuti kebutuhan sosial alami misalnya, kebutuhan akan system
informasi manajemen .
2. Interaksi yang dipengaruhi oleh mekanisme system,misalnya ,pemilihan system yang
akan dipakai atau konsultan mana yang diminta untuk merancang system bukan
e. Paradigma posmodenisme
Posmodernisme menyajikan suatu wacana sosial yang sedang muncul yang meletakan
dirinya diluar paradigm modern . sehingga tidak tepat bila wacana ini dimasukkan kedalan
skema paradigm yang telah dibahas sebelumnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa paradigm
posmodernisme ini merupakan op[osisi dari paradigm modern.
Tujuan metode arkeologis ini adalah untuk menetapkan serangkaian diskusi, yaitu sistim
wacana,dan untuk menentukan suatu rangkaian dari awal sampai akhir bagi pemikiran Foucaul.
Wacana global universal yang dibentuk oleh paradigma modern merupakan bentuk
logosentrisme yang memiliki kuasa yang dapat menciptakan kegagalan dalam kehidupan
manusian,serta menyebabkan timbulnya rasisme,diskriminasi,pengangguran dan stagnasi.
Dengan metode genealogis Foucaul melakukan kritik terhadap pengetahuan yang tertindas oleh
pengetahuan yang sedang berkuasa. Kegagalan ini merupakan konsekuensi logis dari ketidak
mampuan modernismeuntuk melihat manusia secara utuh. Hal ini tercermin dalam kleilmuannya
yang cenderung logosentrisme. Menurut tryuwono (1997) cirri utama dari logoosentrisme :
Fucault beranggapan bahwa kuasa tidak hanya terpusat dan terkosentersi pada para
penguasa yang sedang berkuasa dalam organisasi-organisasi formal, tetapi juga pada semua
aspek kehidupan mayarakat,termasuk ilmu pengetahuan posmodernisme versi fucault terutama
diartikulasikan dalam bentuk kekuasaan pengetahuan yang secara jelas mengatakan bahwa
terdapat hubungan timbal- balik antara kuasa dan pengetahuan.
Dillard dan Becker membahas mengenai beberapa arguemntasi teoritis dan beberapa
riset akuntansi yang didasarkan pada teori Fucault , di antaranya adalah Hopwood (1987) yang
mengembangkan suatu arkeologi system akuntansi dengan suatu pemahaman yang lebih baik
tentang proses perubahan akuntansi. Hasilnya menyarankan bahwa arkeologi Fucaultdian dapat
menghasilkan berbagai macam faktor sosial yang direpleksikan dalam perubahan akuntansi.. loft
(1986) menggunakan metode genealogi Fucault dalam menginnvestigasi hubungan antara
praktik akuntansi biaya dengan sosialnya di Inggris, antara tahun 1914 sampai 1925. Analisnya
mengindikasikan bahwa akuntansi merupakan suatu aktivitas sosial yang secara fundamental dan
tidak dapat digambarkan makananya hanya dari perspektif teknik.