Anda di halaman 1dari 37

MEMBUMIKAN MODERASI BERAGAMA:

UPAYA MEREDAM INTOLERANSI DI KALANGAN


GENERASI MILENIAL

Diajukan untuk Mengikuti Lomba Penulisan Karya Ilmiah Remaja (KIR)


Pendidikan Agama Islam Siswa SMA/SMK
yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama RI
Tahun 2019

Oleh :
Nama Siswa : EKO SURACHMI SUBEKTI
Asal Sekolah beserta Kota/Kabupaten: SMAN 1 BANGUNTAPAN

DIREKTORAT PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM
KEMENTERIAN AGAMA RI
TAHUN 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Karya ilmiah yang berjudul:


“Membumikan Moderasi Beragama: Jalan Tengah Mengatasi Konflik Di Indonesia
Perspektif Kaum Milenial “

Diajukan untuk mengikuti


Lomba Penulisan Karya Ilmiah Remaja Pendidikan Agama Islam Tahun 2019

Disusun oleh:
EKO SURACHMI SUBEKTI
SMAN 1 Banguntapan

Mengetahui: Banguntapan, Juli 2018


Kepala Sekolah, Pembimbing,

Drs. Ir. JOKO KUSTANTA, M.Pd AHMAD AMALI KURNIAWAN, M.Pd.I


NIP. 19660913 199103 1 004 NIP. 19830129 200903 1005

1
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA
LOMBA PENULISAN KARYA ILMIAH REMAJA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2019

Yang bertanda tangan di bawah ini:


1. Nama Lengkap : EKO SURACHMI SUBEKTI
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Tempat dan Tanggal Lahir : Bantul, 12 November 2001
4. Asal Sekolah : SMAN 1 BANGUNTAPAN BANTUL
5. Kelas/ Jurusan/Peminatan : XII/IPS
6. Alamat Sekolah : Ngentak, Baturetno, Banguntapan, Bantul DIY
7. No Telp. Sekolah : ( 0274 ) 373824
8. Alamat Rumah : Tegal Kopen RT: 19/ RW: 29 Wonocatur
Banguntapan bantul
9. Telp. Rumah / HP : 0896-2976-2435
10. Alamat Email : rachmi2550@gmail.com
11. Judul KIR : “Membumikan Moderasi Beragama: Upaya
Meredam Intoleransi di Kalangan Generasi
Milenial”

Dengan ini menyatakan bahwa naskah KIR yang dikirimkan adalah betul-betul karya saya,
bukan hasil jiplakan, terjemahan, atau saduran, belum pernah dipublikasikan dan tidak tidak
pernah memenangi dalam lomba lainnya. Apabila di kemudian hari terbukti naskah ini tidak
sesuai dengan pernyataan di atas, saya bersedia dituntut secara hukum.
Demikian surat pernyataan ini kami buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Mengetahui, Banguntapan, 10 Juli 2019


KEPALA SEKOLAH PENULIS,
SMAN 1 BANGUNTAPAN

(Drs. Ir. Joko Kustanta, M.Pd.) (Eko Surachmi Subekti)

2
Gen-Z, Intoleransi dan Pembaharuan Pendidikan Agama Islam

Baca selengkapnya di artikel "Gen-Z, Intoleransi dan Pembaharuan Pendidikan Agama


Islam", https://tirto.id/cz9Q Oleh: Terry Muthahhari - 16 November 2017 Dibaca Normal 3
menit 48,95 persen siswa/mahasiswa yang disurvei menilai pendidikan agama berperan
memengaruhi agar tidak bergaul pemeluk agama lain. tirto.id - Generasi Z disebut-sebut
sebagai generasi yang menghargai keberagaman. Akan tetapi, karakterisasi tersebut tidak
membuat Generasi Z kebal dari bibit intolerasi. Melalui survei nasional, Pusat Pengkajian
Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengidentifikasi bibit
intoleransi dari sikap keberagamaan Generasi Z di sekolah dan universitas. Survei ini
menyoroti persepsi siswa, mahasiswa, guru dan dosen terhadap Pendidikan Agama Islam
(PAI), hubungan agama dan negara, dan persoalan toleransi di Indonesia. Survei dilakukan
dengan jumlah sampel sebanyak 2.181 orang yang terdiri dari 1.522 siswa, 337 mahasiswa,
dan 264 guru di 34 provinsi di Indonesia. Untuk persepsi mengenai PAI, survei PPIM
menunjukkan 48,95 persen siswa/mahasiswa merasa “pendidikan agama memiliki porsi
yang besar dalam memengaruhi mereka agar tidak bergaul dengan pemeluk agama lain”.
Dengan kata lain, alih-alih berperan sebagai medium belajar menghargai perbedaan,
pendidikan agama berpotensi membuat siswa merasa harus menjauh dari teman yang
berbeda agama. Baca juga: Tirto Visual Report: Masa Depan di Tangan Generasi Z Hasil ini
cukup mengkhawatirkan. Rekam jejak Indonesia dalam menjaga kebebasan
beragama/berkeyakinan memang masih jauh dari sempurna. Menurut laporan Setara
Institute sepanjang 2016 tercatat ada 208 peristiwa pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan di Indonesia. Generasi Z, sebagai generasi pemangku masa depan,
idealnya dibekali pendidikan yang membimbing mereka menjauhi diskriminasi. Menurut
PPIM, pengajaran pendidikan agama Islam, semestinya juga “memperkuat civic values
(kebebasan, persamaan, keadilan, toleransi dan persatuan) bedasarkan Pancasila dan UDD
1995”. Alif (21 tahun), seorang Generasi Z yang merantau dari Aceh untuk kuliah di
Universitas Indonesia, merasa PAI yang ia ikuti di SMA-nya di Aceh Besar belum
membantunya dalam memahami isu-isu sosial keberagamaan. “Pelajaran yang paling
banyak gue dapatkan adalah cara doa gimana, cara solat gimana. Sedangkan, pelajaran
agama yang dapat diterapkan dalam kehidupan sosial itu sedikit sekali,” ujar Alif kepada
Tirto. “Menurut gue nggak ada sama sekali sorotan terhadap agama lain. Misalnya, kebaikan
apa yang bisa kita pelajari dari kelompok agama lain." Secara aturan, materi mengenai cara
salat, berdoa, berpuasa, dan berwudu dengan benar memang hal penting dalam ritual
ibadah sekaligus bagian dari kurikulum pelajaran Agama Islam di sekolah dan universitas.
Namun, Pendidikan Agama Islam dapat dikembangkan sebagai pintu pembelajaran bagi
siswa/mahasiswa untuk mempelajari Islam secara komprehensif agar bisa hidup secara
harmonis dalam perbedaan. Baca juga: Selamat Tinggal Generasi Milenial, Selamat Datang
Generasi Z Akan tetapi, problem dalam PAI di institusi pendidikan bukan satu-satunya.
Kedekatan Generasi Z dengan akses internet juga membuka akses terhadap pandangan
intoleran yang mengkerdilkan pentingnya nilai-nilai keberagaman. Temuan survei PPIM
menunjukkan, lebih separuh siswa dan mahasiswa mendapatkan pengetahuan agama
melalui internet seperti media sosial, blog, maupun situs berita daring. Fenomena mencari
informasi agama melalui internet didukung oleh hadirnya "ulama-ulama" di media sosial dan
situs lainnya. Dalam analisis lanjutan, survei ini menemukan Generasi Z yang tidak memiliki
akses internet memiliki opini lebih moderat dibandingkan yang terhubung dengan internet.
3
Temuan lain dari hasil survei ini juga menggali persepsi negatif siswa/mahasiswa dan
guru/dosen terhadap aliran minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah. Sebanyak 30,99 persen
(siswa dan mahasiswa) menyebut Syiah sebagai kelompok yang tidak disukai di urutan
pertama. Sementara itu, 64,66 persen guru dan dosen menyebut Ahmadiyah di urutan
pertama. Dalam memahami gejala intoleransi, suara minoritas yang mewakili Generasi Z
penting untuk didengarkan. Derril, generasi Z berumur 19 tahun, yang kuliah di jurusan Ilmu
Ekonomi Universitas Indonesia, menceritakan pengalaman menjadi korban intoleransi yang
dilakukan teman seumurannya. Baca juga: Cara Orang Jerman Mengajarkan Toleransi
Mencegah Anak-Anak Melakukan Bullying SARA “Jadi kalau gue lagi santai sama dia, dia
nggak bakal ada masalah, tapi kalau lagi cek-cok dikit langsung bawa-bawa fakta kalau gue
Cina. ‘Dasar Cina’ gitu keluar,” jelas Derril kepada Tirto. Hinaan rasialis yang diterima Derril
relatif mudah ditemukan dalam praktik sehari-hari, termasuk dalam interaksi di kalangan
Generasi Z. Dari pengalaman Derril juga tampak bahwa intoleransi tak hanya karena
perbedaan agama, melainkan juga karena perbedaan ras, suku maupun etnis. Rekomendasi
Pembaharuan Pelajaran Agama Islam Toleransi tidak boleh dilakukan hanya karena alasan
pragmatis yaitu dilakukan sekadar untuk mencegah konflik. Andrew Cohen, dalam tulisan
berjudul What Toleration Is (2004), memberikan definisi yang komprehensif soal toleransi. Ia
menjelaskan toleransi sebagai “tindakan seseorang yang menahan diri secara sengaja dan
berprinsip dari aktivitas yang mengintervensi mereka yang berlawanan (atau perilaku
mereka, dll) di berbagai situasi yang melibatkan keberagaman, di saat individu tersebut
meyakini ia memiliki kekuatan untuk ikut campur.” Institusi pendidikan memegang peran
krusial dalam menanamkan prinsip toleransi semacam itu agar menjadi basis dalam
menyikapi berbagai situasi dan kondisi keberagaman. Dalam konteks pendidikan agama,
PPIM UIN Jakarta merekomendasikan tiga rekomendasi perubahan untuk kurikulum
Pendidikan Agama Islam (PAI). Dalam level materi, harus ada pengembangan literasi
keagamaan melalui pendidikan lintas agama guna mengurangi prasangka buruk kepada
kelompok agama yang berbeda. Baca juga: Toleransi dan Kekufuran Toleransi Bermula dari
Keluarga Selain itu, siswa-siswi harus dibiasakan berpartisipasi aktif dalam aktivitas yang
memberikan pengalaman keberagaman. Misalnya, bertukar cerita mengenai pengalaman
perayaan hari keagamaan dan nilai-nilai kebaikan yang juga diajarkan agama lain. Sebagai
rekomendasi terakhir, aktivitas pembelajaran pun harus dibuat interaktif yang
mengkombinasikan berbagai bentuk materi pembelajaran. Mastuki, Kepala Biro Humas,
Data dan Informasi Sekretariat Jendral Kementerian Agama, menjelaskan saat ini sedang
dilakukan berbagai strategi pengarusutamaan PAI yang moderat dalam materi buku
pelajaran, proses pembelajaran, rekrutmen guru dan pendekatan kepada anak-anak yang
merupakan anggota Rohani Islam (Rohis). Untuk aspek materi, Buku Pendidikan Agama
Islam Rahmatan Lil ‘Alamin yang pendekatannya lebih kepada moderasi ajaran Islam
sedang diujicobakan di 8 wilayah dalam dua tahun terakhir. Untuk materi soal toleransi, PAI
juga dirancang agar membiasakan siswa-siswi untuk menghargai kemajemukan. “Anak-anak
dikenalkan dengan berbagai pemeluk-pemeluk agama. Karena ini pendidikan Agama Islam
di sekolah, maka akan lebih mudah diterapkannya. Karena tidak homogen. Anak-anak Islam
bisa ketemu dengan anak-anak Kristen,” jelas Mastuki kepada Tirto. Selain pembelajaran
toleransi dalam level praktis, anak-anak juga diajarkan mengenai pemahaman Islam yang
melihat keberagaman bukan sebagai sebuah realita yang harus dihapuskan. “Bahwa ada
Kristen, Hindu, Budha, dan seterusnya itu niscaya. Kemajemukan itu bagian yang tidak
terpisahkan dari sunnatullah. Begitu [kira-kira] misalnya pengajarannya. Anak-anak lebih
memahami keberagaman dan kemajemukan itu bagian dari sunnatullah. Ketika sunnatullah,
maka tidak mungkin melakukan upaya pemaksaan harus homogen,” kata Mastuki. Baca juga
: Teladan Toleransi dari Kampung Sawah Pelajaran Toleransi dari Candi Borobudur

4
Kementerian Agama juga berkomitmen untuk melalukan proses rekrutmen dan seleksi guru-
guru PAI melalui pemberian materi yang fokus terhadap pemahaman Islam yang
komprehensif dan moderat. Namun, menurut Mastuki, yang harus juga diperbaiki adalah
prosedur pengangkatan guru Agama di sekolah yang saat ini belum terpusat. “Guru agama
di sekolah itu ada tiga pihak yang mengangkat. Kementerian Agama pernah melakukan
pengangkatan tapi terbatas, yang paling banyak adalah dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dan Pemda langsung. Inilah yang kita tidak bisa mengontrol guru agama
seperti apa rekrutmennya,” jelas Mastuki. Selain itu, diskusi mengenai tema-tema
kebangsaaan dan relasi Islam dengan negara juga telah dilakukan dengan anak-anak yang
menjadi anggota Rohis. Menurut Mastuki, informasi keagamaan yang "radikal" biasanya
didapatkan oleh anggota Rohis dari mentor mereka di luar institusi pendidikan dan juga
sumber-sumber di internet yang belum terverifikasi. Baca juga artikel terkait GENERASI Z
atau tulisan menarik lainnya Terry Muthahhari (tirto.id - Pendidikan) Reporter: Terry
Muthahhari Penulis: Terry Muthahhari Editor: Zen RS

Baca selengkapnya di artikel "Gen-Z, Intoleransi dan Pembaharuan Pendidikan Agama


Islam", https://tirto.id/cz9Q

Siapakah Muslim Milenial Indonesia Itu? [I]

https://geotimes.co.id/kolom/agama/siapakah-muslim-milenial-indonesia-itu-i/

FAHD PAHDEPIE

Apa dan mengapa Muslim Milenial? Siapakah mereka? Benarkah mereka ini penting untuk
menjadi pusat gagasan baru dalam diskusi-diskusi intelektual Muslim Indonesia di kemudian
hari?

[ilustrasi]

5
KARTUN HARI INI

Ramah Investasi

14051

Rabu, 7 Maret 2018

Hari itu Sabtu, 3 Maret 2018. Bertempat di diskusikopi.ruangberbagi, di bilangan Setiabudi,


Jakarta Selatan, dua orang aktivis muda Muslim, Romzi Ahmad dan Subhan Setowara,
meluncurkan sebuah ge(b)rakan bernama Muslim Milenial.

Romzi adalah seorang aktivis muda Nahdlatul Ulama yang kini merupakan salah satu ketua
PB PMII. Ia dikenal melalui sepak terjangnya di dunia digital dengan menggawangi Arus
Informasi Santri (AIS) Nusantara. Sementara Subhan Setowara adalah aktivis muda
Muhammadiyah, bergiat di banyak aktivitas pemikiran termasuk Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM). Keduanya merupakan alumni program pertukaran tokoh muda
Muslim Indonesia-Australia, Moslem Exchange Program (MEP).

Gagasan mengenai gerakan Muslim Milenial ini bermula dari sebuah buku berjudul Muslim
Milenial: 38 Kisah Wow dari Muslim Zaman Now (akan diterbitkan Mizan, 2018). Para
penulis buku itu adalah alumni program MEP, Subhan menjadi editor kepala
untuk project penerbitan antologi tersebut.

Rupanya gagasan mengenai menghimpun, memprovokasi, dan menggerakkan muslim


milenial ini tidak berhenti sebatas buku. Bersama Romzi dan kawan-kawannya, Subhan
melanjutkan gagasan itu ke level yang lebih jauh lagi. Mereka merancang sebuah jejaring
6
yang mengandaikan terbentuknya kolaborasi yang akan menghasilkan banyak hal di
kemudian hari—memberi warna yang indah bagi masa depan Indonesia. Semoga.

Menteri Lukman dan Politik Takfir

Read more

Tulisan ini bermaksud membedah gagasan utama mengenai jejaring Muslim milenial itu.
Sekaligus memberikan tawaran diskusi lebih jauh lagi mengenai tema yang sangat menarik
ini. Saya sendiri merupakan salah satu alumni MEP yang ikut menulis dalam project antologi
Muslim Milenial, serta turut hadir dalam peluncuran dan diskusi jejaring Muslim Milenial.

Tulisan ini ingin mengemukakan tiga hal. Pertama, memberikan baseline mengenai istilah
Muslim milenial, apa dan mengapa istilah ini penting untuk menjadi pusat gagasan baru
dalam diskusi-diskusi intelektual Muslim Indonesia di kemudian hari? Kedua, saya ingin
memberikan tawaran framework mengenai bagaimana menjadikan gagasan ini sebagai sebuah
‘strategi kebudayaan’. Ketiga, tulisan ini ingin memaparkan sejumlah kemungkinan yang
akan dibawa oleh gagasan serta jejaring Muslim Milenial ini di masa yang akan datang.

Muslim Milenial?

‘Generasi milenial muslim Indonesia’ secara sederhana bisa dipahami sebagai populasi
Muslim Indonesia yang lahir dalam kurun 1980-2000. Hal ini mengikuti pembagian generasi
yang dilakukan oleh Pew Research Center dalam laporan mereka bertajuk Millenials: A
Portrait of Generation Next (2010). Sementara itu, menurut data BPS RI, jumlah populasi
yang bisa dikategorikan sebagai generasi Muslim milenial ini berkisar 29,97%, diambil dari
total populasi penduduk berusia 15-34 tahun yang berjumlah 34.45%.

Melihat statistik ini, generasi milenial Muslim adalah salah satu pemilik saham terbesar bagi
estafet kepemimpinan bangsa di masa depan. Kiprah dan pergerakan mereka akan
memberikan dampak signifikan bagi arah bangsa ini. Kegagalan dalam memahami dan
mengelola kelompok populasi ini, tentu saja akan membawa mudlarat yang luar biasa besar di
kemudian hari.

Saat ini belum banyak riset dilakukan mengenai generasi milenial Indonesia, terlebih milenial
muslimnya. Di level internasional, pada tahun 2016, riset mengenai Muslim milenial ini
pernah dilakukan sebuah project bernama The Future Initiative yang diselenggarakan Tabah
Foundation (Muslim Millenial Attitudes on Religion and Religious Leadership). Hasil riset itu
cukup mengejutkan, terutama fakta mengenai pandangan keagamaan dan pandangan politik
para Muslim milenial ini.

7
Memperkuat riset yang dilakukan The Future Initiative itu, pada tahun 2017 Pew Research
Center melakukan riset yang sama. Bedanya, jika riset terdahulu memfokuskan respondennya
pada muslim milenial di delapan negara Arab (Maroko, Mesir, Arab Saudi, UEA, Bahrain,
Kuwait, Yordan, dan Palestina), Pew Research Center ingin membaca peta Muslim milenial di
Amerika Serikat saja. Yang mengejutkan, mengenai pandangan keagamaan dan politik, kedua
riset itu menunjukkan hasil yang senada.

Generasi Muslim milenial memandang agama sebagai sesuatu yang sangat penting dalam
kehidupan mereka. Tak hanya itu, identitas keagamaan juga dipandang sebagai sesuatu yang
perlu mereka tampilkan di ruang publik—bukan semata domain privat yang menyangkut
spiritualitas.

Pada survei Tabah Foundation, rata-rata di atas 90% Muslim milenial di negara-negara Arab
yang diriset meyakini bahwa agama merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
mereka sehari-hari, termasuk jika ditanya apakah penting bagi mereka identitas sebagai
seorang Muslim. Sementara itu, pada riset yang dilakukan oleh Pew Research Center, 66%
Muslim milenial Amerika Serikat berpandangan serupa.

Meskipun belum ada riset khusus mengenai generasi milenial Muslim Indonesia, dengan
catatan riset itu tetap perlu dilakukan, patut diduga bahwa Muslim milenial Indonesia juga
memiliki pandangan yang sama terhadap agama—baik sebagai ajaran maupun sebagai
identitas tadi.

Jika melihat fenomena menggeliatnya semangat beragama yang tumbuh di kalangan urban,
dengan munculnya berbagai pengajian, kajian-kajian agama di ruang maya, menguatnya
tren fashion Muslim, hingga gebrakan industri halal yang digawangi anak-anak muda, hal ini
jelas sejalan dengan cara pandang kaum Muslim milenial terhadap ajaran dan identitas agama
tadi. Bagi mereka “Gue bangga jadi muslim!” bukanlah sekadar slogan belaka, namun
manifestasi dari sikap dan cara pandang itu.

Hasyim Muzadi: Dari Balsem hingga Porto Alegre

Read more

Hal ini sedikit berbeda dengan semangat generasi sebelumnya, Generasi X, yang cenderung
ingin membebaskan diri dari agama. Menurut riset yang dilakukan Boston Consulting Group
(BCG), Generasi X justru cenderung ingin meloloskan dari dari kerangkeng dan nilai-nilai
yang dianggap membatasi kebebasan mereka (American Millenials: Dechipering the Enigma
Generation, 2011).

8
Namun, meski kecenderungan ekspresi keberagamaan generasi milenial lebih kuat, terutama
di kalangan Muslim, generasi ini menaruh kepercayaan yang tinggi pada sistem politik
demokrasi. 69% Muslim milenial Amerika Serikat mendukung partai demokrat, sementara
mayoritas responden (73-93%) dalam survei yang dilakukan Tabah Foundation tidak setuju
dengan ide mendirikan negara agama dan kekhalifahan seperti diperjuangkan ISIS, Al-Qaeda
dan lainnya.

Mereka juga sepakat bahwa ekstremisme agama merupakan buah dari kesalahan dalam
memahami dan menafsirkan agama Islam yang sebenarnya.

Dua fakta di atas menarik untuk kita jadikan panduan dalam memahami generasi Muslim
milenial Indonesia. Cara pandang jamak yang menganggap bahwa ekspresi keberagamaan di
ruang publik dikhawatirkan memunculkan pemahaman agama yang radikal bahkan ekstrem,
rasanya tidak relevan untuk begitu saja dipakai dalam memahami generasi Muslim milenial.

Mereka rupanya cukup kapabel dalam membedakan mana yang privat dan mana yang publik
—dengan kecenderungan yang relatif rendah untuk memiliki syahwat politik mendirikan
negara agama.

Bagi saya, baseline ini penting untuk memahami generasi Muslim milenial Indonesia. Dengan
dua fakta di atas, kita bisa melanjutkan berbagai diskusi dan kajian mengenai Muslim milenial
tidak sebatas pada cangkangnya saja—pada hal-hal yang menjadi ciri perilaku, jaringan, dan
pergerakan mereka.

4C Muslim Milenial

Jika ingin ‘menggerakkan’ Muslim milenial, sebagaimana cita-cita Jejaring Muslim Milenial,
saya melihat setidaknya kita perlu memperhatikan empat hal yang saya sebut sebagai 4C.
Yakni, content, context, coherence, dan color. Hanya jika kita memperhatikan empat hal
itulah, maka cita-cita menggerakkan dan mengkolaborasikan jejaring Muslim milenial bisa
berjalan dengan baik.

Pertama, tentang content (isi) atau gagasan utama yang dibawa. Sebagaimana ciri generasi
milenial yang cenderung lebih selfish, setiap gagasan yang disodorkan pada generasi ini harus
selalu bisa diturunkan ke level individu. Gagasan untuk mendorong toleransi dan
inklusivisme, misalnya, perlu didefinisikan ke level kepentingan individu mereka masing-
masing. Begitu juga gagasan-gagasan mengenai negara, politik, masyarakat, harus berhasil
diterjemahkan ke level yang paling personal.

Jean Twenge, seorang psikolog yang fokus meneliti psikologi kaum milenial, melihat bahwa
kaum milenial memiliki optimisme yang tinggi dan cara melihat diri sendiri yang lebih
percaya diri—hal ini berimplikasi pada karakter generasi milenial yang menjunjung tinggi
hak-hak individu, menginginkan kebebasan, dan menuntut pengakuan (Generation
Me: [2006]).

Pada berbagai bentuk gagasan, mereka harus bisa menemukan ‘Apa peran saya di sana?’ dan
‘Mengapa saya harus terlibat?’ sebagai daya dorong yang akan membuat mereka merasa
signifikan bagai gagasan tersebut.

9
Kedua, context. Mengapa peran anak muda dalam politik kontemporer bisa dibaca melalui
revolusi Internet dan media sosial? Mengapa anak-anak muda di bawah 30-an tahun berhasil
mengubah filantropisme dengan social entrepreneurship? Dua pertanyaan itu menjelaskan
‘konteks’, ruang dan waktu, di mana generasi milenial hidup. Maka, jika misinya adalah
menciptakan dan menggerakkan jejaring Muslim milenial, menjadi ‘tepat konteks’ sesuai
situasi zaman ini adalah sebuah keniscayaan.

Segala tentang generasi milenial pasti berhubungan dengan Internet dan media sosial
bukanlah persoalan kemasan belaka. Namun, generasi ini memang hidup di tengah Internet
dan media sosial sebagai oksigennya. Mereka bukan hanya para digital nativetetapi memang
lahir dengan kesadaran kolektif tentang Internet dan media sosial yang inheren dengan
(ke)diri(an) mereka. Maka, jika ingin berhasil bekerjasama dengan generasi ini, kita tak bisa
melawan hukum besi zaman yang sedang mereka kuasai itu.

Ketiga, coherence atau kesanggupan untuk sejalan, konsisten, logis, dan nyambung dengan
mereka. Untuk memahami prinsip ketiga ini, saya akan memakai contoh kampanye politik.
Kita melihat banyak politisi yang berusaha masuk ke generasi milenial dan merekrut mereka
dengan menggunakan pendekatan internet dan media sosial.

Boleh jadi cara itu sudah tepat secara konteks, namun selama mereka gagal nyambung dengan
cara berpikir dan cara merasa generasi ini, kampanye itu tetap akan gagal. Inilah yang
menjelaskan mengapa hanya sedikit politisi yang berhasil dan diterima oleh kalangan milenial
—sementara sebagian besar tetap ‘dicurigai’ atau bahkan diacuhkan meskipun sudah terlihat
‘memakai cara-cara milenial’.

Contoh lain adalah fenomena ustaz Youtube atau Facebook yang ditonton jutaan milenial.
Boleh jadi banyak ustaz atau pemuka agama yang mencoba melakukan hal yang sama dengan
hadir di ruang-ruang media sosial, menggunakan beragam fasilitas yang ditawarkan di
dalamnya. Namun, selama mereka gagal menemukan koherensi dengan Muslim milenial,
sehebat apa pun cara mereka menggunakan teknologi Internet dan media sosial, materi-materi
kajian mereka akan sulit diterima (bersambung).

10
Siapakah Muslim Milenial Indonesia Itu? [II – Habis]

FAHD PAHDEPIE

Diskusi keagamaan milenial Muslim tidak akan lagi soal perbedaan mazhab atau
tentang politik agama, tapi barangkali mereka akan dipaksa merumuskan relasi Islam
dengan revolusi blockchain technology, antara realitas beragama dan virtual-
realitasnya. Siapkah mereka?

[ilustrasi]

KARTUN HARI INI

11
Ramah Investasi

8867

Jumat, 9 Maret 2018

Terakhir, color. Ini berhubungan dengan gaya (style) atau pendekatan (approach) yang
perlu diperhatikan jika kita ingin melibatkan generasi milenial di
dalamnya. Color, style, atau approach yang saya maksud di sini bukan soal tampilan
atau desain, tapi lebih pada cara apa yang disukai oleh para milenial.

Dalam hal ekonomi, contohnya, banyak pakar mengatakan bahwa masa depan dunia
usaha, yang akan dikendalikan para milenial, adalah kewirausahaan sosial (social
entrepreneurship). Generasi milenial tidak lagi berpikir untuk mengumpulkan profit
sebanyak-banyaknya dan melakukan konsentrasi kapital. Mereka memiliki semacam
dorongan untuk melakukan ‘karma’, memberi makna yang lebih dalam dari sekadar
akumulasi kapital saja.

Generasi milenial adalah generasi yang hidupnya terhubung 24 jam dengan Internet.
Mereka bukan hanya bepergian secara fisik, tetapi juga secara virtual. Globalisasi
Internet telah membawa mereka ke banyak tempat di seluruh dunia dan menyaksikan
banyak disparitas, diskriminasi, dan berbagai sisi gelap dunia yang lainnya.

“We taught them,” kata Neala Godfrey dalam Business As Not usual: The Millenial
Social Entrepreneur (2015), “… They travel virtually via the Internet and in reality, as
well. They see the social disparities and frightening global situations like; climate change,
gender inequality, resource scarcity, and terrorism that are all happening in their world.

12
They care. They want real meaning in their lives beyond collecting things and homes and
cars.”

Ada Apa dengan Dzikir Kebangsaan?

Read more

Maka, di sini kewirausahaan sosial bukan hanya “hasil” dari bertemunya karakter
generasi milenial dengan perkembangan dunia ekbis, tetapi sekaligus pilihan gaya dan
pendekatan yang dikehendaki oleh para milenial. Bagi saya, di tangan para milenial
Muslim, perubahan filantropisme Islam yang semula dikuasai oleh negara, atau
terkonsentrasi di civil society, akan bergeser ke arah social enterprises karena itu yang
sesuai dengan warna generasi Muslim milenial.

Keempat hal ini tentu saja harus dirumuskan secara lebih detail ke level teknis maupun
strategis. Dengan panduan empat hal ini, sebuah framework perlu dihasilkan oleh
Muslim milenilai untuk menentukan strategi kebudayaannya.

Jejaring Muslim Milenial: Apa Selanjutnya?

Setiap zaman menghasilkan strategi dan resultan kebudayaannya masing-masing.


Anak-anak muda Muslim Indonesia yang tumbuh di era 70 dan 80-an, misalnya, dalam
konteks sosial-politik yang dihidupinya, menghasilkan semangat zaman yang ingin
menemukan relasi yang paling tepat antara agama dan negara.

Berbagai pemikiran, karya intelektual, perjuangan pergerakan berpusat di sana—


diwarnai semangat melawan status quo yang diinspirasi oleh berbagai peristiwa politik
dunia, termasuk revolusi Islam Iran. Saat itu lahir berbagai penerbit, forum diskusi,
dan lainnya yang menjadi corak utama generasi ini. Tema-tema diskusi pun dikuasai
oleh hal-hal yang berhubungan dengan semangat ini, mulai dari perbandingan mazhab,
gerakan politik berbasis agama, dan seterusnya.

Generasi berikutnya, generasi muda Musim yang tumbuh dewasa di era 90 dan 2000-
an, membawa semangat zaman dan strategi kebudayaan yang berbeda pula. Di era ini,
seiring dengan tumbangnya rezim politik Orde Baru, anak-anak muda Muslim
memasuki politik praktis dan terlibat dalam agenda-agenda reformasi serta
pengembangan masyarakat.

Di saat bersamaan, mereka juga harus berurusan dengan isu besar dunia mengenai
perang melawan terorisme dan ekstremisme atas nama agama, menyusul peristiwa 9/11
dan agenda Amerika Serikat tentang War on Terror. Aktivis-aktivis muda Muslim

13
terlibat dalam berbagai gerakan masyarakat sipil dengan misi utama mengabarkan
wajah Islam Indonesia yang damai, inklusif, toleran.

Semua itu akan segera berubah. Generasi milenial Muslim, dalam hemat saya, akan
menghadapi sesuatu yang berbeda, seiring semangat zaman yang berbeda pula. Diskusi
keagamaan milenial Muslim tidak akan lagi soal perbedaan mazhab atau tentang politik
agama, tetapi lebih jauh dari itu: Barangkali mereka akan dipaksa merumuskan relasi
Islam dengan revolusi blockchain technology, antara realitas beragama dan virtual-
realitasnya, dan seterusnya.

Mereka juga akan menghasilkan model jejaring dan pergerakan yang berbeda dari
generasi-generasi sebelumnya. Resultannya bukan lagi gerakan masyarakat sipil,
pergerakan sosial, atau partai politik, tapi barangkali menghasilkan sesuatu yang lain
seperti perusahaan-perusahaan sosial (social enterprises).

Wilayah geraknya pun bukan lagi sekadar di ruang-ruang nyata, tetapi merangksek ke
ruang-ruang virtual—dengan internet dan media sosial yang membuat segalanya
menjadi tanpa batas, menembus ruang-ruang privat.

Menarik menunggu dan menyaksikan apa yang akan dikontribusikan para Muslim
milenial untuk negeri ini. Mereka akan memberi warna baru, membawa semangat
baru, menawarkan berbagai hal yang masih belum jelas tetapi sekaligus menjanjikan
dan layak dinantikan. Terhadap sesuatu yang seperti itu, kita selalu diberi dua tawaran:
optimistis atau pesimistis.

Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?

Read more

Terhadap generasi milenial Muslim Indonesia, seperti terhadap lahirnya jejaring


Muslim Milenial yang digagas Subhan dan Romzi sebagaimana saya ceritakan di awal,
saya memilih untuk bersikap optimistis!

Peran dan Tantangan Pemuda di Era Generasi Millenial

By

Fathan Faris Saputro

March 2, 2019

14
0

1579

Ada pula perbedaan lain yang muncul antara generasi millennial dengan generasi-
generasi sebelumnya, yaitu terkait dengan masalah budaya/ gaya hidup sehari-hari. Ada
kecenderungan bahwa generasi millennial lebih suka mendengarkan musik dan hang
out asik bersama teman-temannya. Maka tak mengherankan bila banyak kafe atau
tempat nongkrong lainnya yang ramai dikunjungi anak muda zaman now, karena itulah
kehidupan sosial mereka.

Kampusdesa – Banyak kalangan menyebut anak-anak muda zaman now sebagai


generasi millennial. Generasi ini lahir setelah zaman generasi X, atau tepatnya pada
kisaran tahun 1980 sampai tahun 2000-an. Jadi dapat diperkirakan bahwa saat ini
generasi millennial memiliki rentang usia 17 hingga 37 tahun. Di Indonesia sendiri,
terdapat sekitar 80 juta orang yang berusia antara 17 hingga 37 tahun. Jumlah tersebut
sangat banyak dan signifikan, mengingat populasi generasi millennial sudah mencakup
30 persen dari total penduduk di Indonesia.

Berdasarkan berbagai kajian dan penelitian yang telah dilakukan terhadap generasi
millennial, ditemukan banyak perbedaan antara generasi ini dengan generasi-generasi

15
yang lebih tua, seperti generasi silent, generasi boomer, maupun generasi X. Perbedaan
tersebut terlihat dalam gambar di bawah ini.

“diketahui bahwa generasi millennial sangat dekat dengan teknologi. Kehidupan


generasi ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi dan internet, berbeda dengan generasi
X di mana pengaruh dari teknologi belum terlalu menonjol seperti saat ini. Generasi
millennial lahir ketika handphone dan media sosial mulai muncul di Indonesia, sehingga
wajar apabila generasi ini lebih melek teknologi dibanding generasi-generasi
sebelumnya.”

Selain karakteristik yang sudah dijelaskan di atas, generasi millennial juga memiliki
sifat yang lebih toleran terhadap sesamanya. Hal ini dipengaruhi oleh arus globalisasi
yang semakin cepat, di mana anak muda zaman now dapat berinteraksi dengan manusia
dari berbagai belahan dunia. Arus globalisasi berhasil menciptakan interaksi langsung
dan tidak langsung yang lebih luas antar umat manusia, yang tidak mengenal batas-
batas antara negara satu dengan negara yang lain. Oleh sebab itu, globalisasi membuat
generasi millennial menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan, wawasan mereka
terhadap keberagaman pun menjadi lebih luas sehingga timbul sifat toleran yang cukup
tinggi dari generasi ini.

Nah, apabila melihat berbagai karakteristik yang dimiliki generasi millennial,


tampaknya kehidupan dari generasi ini sungguh terjamin dan menyenangkan.
Bagaimana tidak, kemajuan teknologi yang pesat, kehidupan yang super dinamis, dan
perkembangan alat telekomunikasi telah membantu mereka dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, sering tidak kita sadari bahwa dunia ini semakin
kejam dan penuh dengan tantangan baru yang harus dihadapi. Tingginya tingkat
mobilitas antar negara sebagai dampak dari globalisasi dan dibentuknya Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 menyebabkan persaingan untuk
dapat survive di dunia ini menjadi lebih keras. Belum lagi ditambah dengan naiknya
tingkat inflasi yang terus terjadi dari tahun ke tahun, yang menyebabkan harga-harga
kebutuhan pokok menjadi lebih mahal dan sulit dijangkau.

Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa, generasi millennial di Indonesia tidak
boleh kalah dalam persaingan dengan anak-anak muda dari negara lain. Pendidikan
yang tinggi saja ternyata tidak cukup, anak muda Indonesia zaman now harus dibekali
dengan berbagai pengalaman dan soft skills yang baik. Nah, menjadi pribadi yang
kreatif, aktif, dan inovatif tentu harus dimiliki dalam jiwa anak muda. Itu adalah syarat
utama bagi generasi millennial untuk dapat bersaing dan menghadapi berbagai
tantangan di dunia yang semakin dinamis ini. Lalu, bagaimana sih cara agar kita bisa
menjadi generasi millennial yang kreatif, aktif, dan inovatif di era modern saat ini?
Oke, untuk menjadi anak muda zaman now yang kreatif, aktif, dan inovatif, kita perlu
membiasakan diri untuk melakukan aktivitas-aktivitas/ pola hidup berikut ini di dalam
kehidupan kita:

16
Perbanyak Membaca Buku: Membaca buku secara rutin sangat dianjurkan bagi
generasi millennial saat ini, apalagi minat baca dari anak muda di Indonesia masih
sangat rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Most Littered Nation In the
World 2016, dari total 61 negara, minat baca di Indonesia berada di peringkat 60. Hal
ini tentu menjadi keprihatinan bersama, padahal dengan membaca buku setiap hari,
wawasan yang diperoleh menjadi lebih luas dan hal tersebut akan merangsang
kemampuan untuk berpikir secara kreatif. Apabila sulit untuk memulai kebiasaan
membaca buku, kita bisa memilih buku-buku yang sederhana terlebih dahulu, seperti
novel atau majalah-majalah remaja untuk lebih membiasakan diri.

Menggunakan Internet dan Media Sosial Secara Bijak: Tidak dapat dipungkiri bahwa
perkembangan teknologi dan internet bisa membawa dampak positif maupun dampak
negatif bagi anak muda. Apabila tidak hati-hati dalam penggunaannya, kita sebagai
anak-anak muda dapat terjerumus ke hal-hal yang negatif, seperti mengunjungi situs-
situs pornografi, membuka situs-situs radikalisme, atau salah dalam memilih teman dan
komunitas di internet. Selain itu, generasi millennial juga harus bijak dalam
menggunakan media sosialnya. Jangan sampai media sosial justru menjadi sarana
untuk saling menghujat dan menjatuhkan satu sama lain atau untuk menyebarkan
informasi hoax. Maka dari itu, kita sebagai generasi penerus bangsa harus mengambil
dampak positifnya saja. Kita bisa menggunakan internet untuk mencari ide-ide kreatif
di Google, mencoba menulis artikel di Kompasiana, melihat tutorial kreatif di Youtube,
membuat foto-foto menarik untuk ditampilkan di Instagram atau Facebook,
membagikan info-info yang bermanfaat di Twitter dan masih banyak lagi. Pada
dasarnya, dampak positif dari kemajuan teknologi akan kita rasakan ketika kita juga
menggunakannya secara positif.

Bersikap Terbuka Terhadap Berbagai Pengalaman Baru: Di dunia yang semakin


dinamis dan modern seperti saat ini, kita sebagai anak muda perlu membiasakan diri
untuk terbuka dengan berbagai pengalaman baru. Kita bisa mengikuti berbagai macam
aktivitas yang bermanfaat bagi kita, seperti bergabung dengan organisasi sosial,
menjadi relawan bagi orang-orang miskin, atau mengikuti ajang-ajang perlombaan.
Aktivitas-aktivitas tersebut akan melatih diri kita untuk dapat berpikir lebih kreatif
dan bergerak lebih aktif. Oiya, selain itu kita dapat membiasakan diri untuk lebih
tanggap dan kritis dengan masalah-masalah yang terjadi di sekeliling kita.

Membangun Ide dan Visi ke Depan: Hal berikutnya yang dapat dilakukan oleh anak
muda adalah mencoba mengembangkan ide-ide kreatif yang ada di benaknya. Kita bisa
memulai dengan ide-ide yang sederhana terlebih dahulu. Siapa tahu dari ide yang
sederhana tersebut, kita justru dapat membentuk sebuah startup baru yang dapat
memecahkan masalah-masalah yang ada sekitar kita dan membuka lapangan pekerjaan
baru bagi masyarakat. Selain mencoba mengembangkan ide-ide yang ada di pikirin
kita, generasi millennial juga harus memiliki visi dalam kehidupannya. Visi ini harus
jelas dan realistis. Jangan sampai kita sebagai generasi penerus bangsa tidak memiliki
visi dan cita-cita yang membuat kita hidup tanpa target dan tujuan.

Rajin Berolahraga dan Membiasakan Diri untuk Bangun Pagi: Kelihatannya memang
sepele, tetapi dua aktivitas tersebut memiliki dampak yang sangat positif untuk
17
membantu kita menjadi anak muda yang lebih aktif, kreatif, dan inovatif. Dengan rajin
berolahraga, kita memiliki banyak energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya
kreativitas. Selain itu, kita menjadi lebih semangat dan terhindar dari
rasa mager (malas gerak). Bangun pagi pun demikian, kebiasaan ini akan membantu
otak kita menjadi lebih segar sehingga dapat memunculkan ide-ide yang kreatif.
Dengan bangun lebih pagi, kita memiliki banyak waktu untuk beraktivitas secara positif
dan mengembangkan berbagai ide yang ada di pikiran kita.

Nah, itu tadi aktivitas-aktivitas yang dapat kita lakukan sebagai anak muda zaman
now untuk berlatih menjadi generasi yang kreatif, aktif, dan inovatif. Aku sendiri sama
seperti kalian, termasuk dalam generasi millennial yang dekat dengan teknologi dan
suka menghadapi tantangan-tantangan baru. Menulis artikel di
muhammadiyahlamongan.com seperti artikel ini merupakan salah satu caraku untuk
melatih dan meningkatkan daya kreativitas. Oiya, jujur dulu aku sering mengalami
rasa bosan dan mager untuk bangun lebih pagi, membaca buku lebih rutin, lebih rajin
berolahraga, atau malas menulis artikel di mana pun, termasuk di kampusdesa.or.id.
Akan tetapi, berkat motivasi yang diberikan oleh ibuku, sekarang hidupku menjadi
lebih bergairah. Aku jadi merasa ingin terus menulis dan menulis di situs blog ini.
Sekarang aku juga lebih rajin berolahraga dan membaca buku setiap hari.

Kata “pemuda” seringkali identik dengan kelompok anak muda yang masih “bau
kencur” alias belum berpengalaman, belum matang dalam berpikir dan belum stabil
secara emosi. Dan karenanya secara umum orang tidak terlalu memperhitungkan
kelompok pemuda ini karena dianggap pola berpikirnya cenderung idealis tidak
realistis dan sering mengambil keputusan dengan berdasarkan emosi perasaan belaka.

Namun sebenarnya dalam hidup ini yang namanya “idealisme’, suatu pemikiran
tentang dunia utopia, merupakan hal penting yang membuat manusia tetap mempunyai
semangat dan harapan untuk tetap hidup dan berjuang demi dunia yang lebih baik.
Dunia utopia memang seperti mimpi. Tapi saya percaya bahwa mimpi yang terukur dan
dikombinasikan dengan pemikiran serta semangat positif dapat mengubah dunia. Pada
saat kita berhenti bermimpi, kita berhenti berusaha, maka kita akan mati.

“peran pemuda, sebagai sosok yang muda, yang dinamis, yang penuh energi, yang
optimis, diharapkan untuk dapat menjadi agen perubahan yang bergerak dan berusaha
untuk sedekat mungkin dengan dunia”

Di sinilah peran pemuda, sebagai sosok yang muda, yang dinamis, yang penuh energi,
yang optimis, diharapkan untuk dapat menjadi agen perubahan yang bergerak dan
berusaha untuk sedekat mungkin dengan dunia utopia itu. Pemuda, diharapkan bisa
membawa ide-ide segar, pemikiran-pemikiran kreatif dengan metode thinking out of the
box yang inovatif, sehingga dunia tidak melulu hanya dihadapkan pada hal-hal
jaman old yang itu itu saja dan tidak pernah berkembang. Dengan kata lain pemuda
18
diharapkan menjadi pemimpin masa depan yang lebih baik dari pemimpin masa kini.
Pemuda diharapkan untuk menjadi change agent, yaitu pihak yang mendorong
terjadinya transformasi dunia ini ke arah yang lebih baik melalui efektifitas, perbaikan
dan pengembangan.

Pemuda Sebagai Change Agent: Dari hasil baca-baca saya, setidaknya ada lima
karakteristik pemimpin yang baik yang harus ada dalam diri seorang Change
Agent. Yang pertama, visi yang jernih. Sebagai pemimpin, seseorang harus memiliki
target yang jelas sehingga program kerja dapat disusun dengan baik dan dengan
tahapan yang berkesinambungan karena arah yang dituju jelas. Pemimpin yang baik
harus bisa menjelaskan ide dan konsep yang ada dalam pemikirannya secara jernih
kepada orang lain dan terutama kepada anggota tim kerjanya.

Saya pikir Albert Einsten benar, “If you can’t explain it simply, you don’t understand it
well enough”. Yang kedua, memiliki kegigihan untuk mencapai target. Yang ketiga,
bersikap kritis dan analitis. Dengan kata lain, pemimpin yang baik harus selalu
bernalar dan menggunakan akal sehatnya. Tidak ada hal yang ditelan bulat-bulat tanpa
mengerti substansinya. Yang keempat, sarat akan pengetahuan dan memimpin dengan
memberikan contoh, bukan hanya dengan instruksi. Yang kelima, membangun
hubungan yang kuat dengan orang-orang sekitarnya dengan membangun kepercayaan.
Dengan kata lain, pemimpin yang baik harus memiliki integritas agar dapat dipercaya.

Pemuda dan semangatnya dibutuhkan sebagai change agent dalam berbagai sektor,
termasuk sektor politik. Selama masih ada yang namanya “negara”, politik juga akan
selalu ada. Masalahnya, politik sudah terlalu lama terasosiasi sebagai suatu hal yang
kotor dan karenanya dihindari banyak orang. Kata “politik” hampir identik dengan
“perebutan kekuasaan demi jabatan dan uang”. Akibatnya, banyak anak muda
berpotensi menghindari dan tidak peduli dengan politik. Namun sikap ini tanpa
disadari secara tidak langsung membuat kondisi politik menjadi semakin buruk
karena level of competition, baik dari sisi kemampuan maupun integritas, menjadi
rendah untuk seseorang menduduki posisi strategis dalam lembaga-lembaga negara.

Akibatnya, orang-orang yang memegang kekuasaan dalam negara bukanlah orang-


orang terbaik yang ada di negara tersebut, melainkan orang-orang yang memang dari
awal masuk ke dalam politik dengan niat untuk semata-mata memperoleh jabatan dan
kekuasaan demi uang atau kepentingan pribadi lainnya. Pada saat kancah politik dan
lembaga negara dikuasai oleh orang-orang yang tidak berkualitas ini, semakin orang-
orang yang berkualitas menjauhi area tersebut. Hal ini terjadi terus menerus dan
menjadi lingkaran setan.

Generasi milenial harus bisa bertindak sebagai change agent dan memutus lingkaran
setan tersebut. Pemuda harus tetap optimis dan tidak berhenti melakukan langkah-
langkah perbaikan, termasuk dalam sektor politik. Pemuda harus mau peduli dengan
kualitas politik negaranya dan berani terjun ke dalamnya. Karena perbaikan politik
hanya akan terjadi pada saat orang-orang baik, profesional dan berintegritas masuk ke
dalam politik.

19
Tidak dapat disangkal bahwa politik sudah terlalu lama disalahgunakan oleh orang-
orang opportunist demi jabatan, kekuasaan dan uang semata. Tapi sesungguhnya ada
dimensi lain dari politik, yaitu suatu alat dahsyat yang dapat memberikan
kesejahteraan bagi rakyat. Apabila kita berpolitik dengan baik dan benar, maka kita
dapat menjadikan dunia ini menjadi lebih baik. Seperti yang dikatakan Mahatma
Gandi, “Be the change you wish to see in the world “. Jangan mengandalkan orang lain
untuk melakukan perbaikan, tapi kita harus mau turun tangan untuk melakukan
perbaikan yang kita inginkan.

Tantangan Bagi Generasi Millenial: Generasi milenial adalah generasi yang sangat
mahir dalam teknologi. Dengan kemampuannya di dunia teknologi dan sarana yang
ada, generasi ini memiliki banyak peluang untuk bisa berada jauh di depan dibanding
generasi sebelumnya. Namun sayangnya, dari beberapa statistik yang saya baca,
dikatakan bahwa generasi milenial cenderung lebih tidak peduli terhadap keadaan
sosial, termasuk politik dan ekonomi. Mereka cenderung lebih fokus kepada pola hidup
kebebasan dan hedonisme. Mereka cenderung mengingkan hal yang instant dan tidak
menghargai proses.

Di era ini segala sesuatu bergerak dengan cepat, dunia menjadi tanpa batas, informasi
dapat diperoleh dimana saja dan dari siapa saja. Generasi masa kini harus berusaha
dan mampu menjadi bijak terutama dalam penggunaan media sosial. Media sosial ini
mirip dengan politik, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Kita bisa berguna
dan bertambah pintar apabila menggunakan media sosial dengan benar, tapi kita juga
bisa menjadi penyebar hoax dan menjadi bodoh apabila kita menggunakan media sosial
dengan tidak benar.

Di era ini dengan segala kecanggihan teknologi, tingkat persaingan juga semakin tinggi.
Kualitas dan kinerja manusia juga dituntut menjadi semakin tinggi. Generasi masa kini
harus mampu beradaptasi dengan cepat, belajar dan menjadi lebih baik dengan cepat
serta melakukan navigasi yang lincah dan tepat untuk dapat memecahkan setiap
masalah. Kreatifitas dan Apabila tidak, dalam beberapa tahun ke depan mungkin posisi
kita sudah digantikan oleh robot atau program komputer.

Di Indonesia, ada sekitar 81 juta penduduk yang termasuk dalam generasi milenial.
Berarti sekitar hampir 32% dari total populasi di Indonesia. Pertanyaannya:
Mampukah kelompok 32% ini menjadi change agent untuk Indonesia? Siapkah mereka
untuk membangun dan meneruskan Indonesia? Ini yang menjadi tantangan terbesar
bagi generasi milenial Indonesia.

https://geotimes.co.id/kolom/agama/siapakah-muslim-milenial-indonesia-itu-ii-habis/

20
Generasi Millenial Jadilah yang
Selalu Kreatif, Aktif, dan
Inovatif
By

Fathan Faris Saputro

http://kampusdesa.or.id/generasi-millennial-jadilah-yang-selalu-kreatif-aktif-dan-inovatif/ January 4, 2019

935

Fathan Faris Saputro menyampaikan materi kepemimpinan


pada out bond MAM 02 PONPES MODERN Paciran
Lamongan/2016

21
Generasi millenial yang dicekoki informasi tanpa batas
melalui informasi teknologi berbasis dunia maya tidak boleh
berpikir ikut arus. Mereka perlu tetap dibekali
kemampuan soft skill dengan berpikir kritis. Selain itu,
mereka tetap harus memiliki kemampuan literasi ilmu
pengetahuan yang bersumber dari buku atau sumber online
yang kredibel (dapat dipercaya). Oleh karena itu, mereka
perlu dibekali kemampuan memfilter/menyaring informasi
dan membandingkan dengan aneka sintesis pengetahuan
untuk melahirkan generasi millenial yang cerdas dan
bertanggungjawab. Pemanfaatan informasi yang melimpah
tetapi cerdas dan bertanggungjawab akan melahirkan
generasi millenial yang kreatif, aktif dan inovatif.
Kampusdesa–Banyak kalangan menyebut anak-anak
muda zaman now sebagai generasi millennial. Generasi ini
lahir setelah zaman generasi X, atau tepatnya pada kisaran
tahun 1980 sampai tahun 2000-an. Jadi dapat diperkirakan
bahwa saat ini generasi millennial memiliki rentang usia 17
hingga 37 tahun. Di Indonesia sendiri, terdapat sekitar 80 juta
orang yang berusia antara 17 hingga 37 tahun. Jumlah
tersebut sangat banyak dan signifikan, mengingat populasi
generasi millennial sudah mencakup 30 persen dari total
penduduk di Indonesia.

Generasi millennial juga memiliki sifat yang lebih toleran


terhadap sesamanya. Hal ini dipengaruhi oleh arus globalisasi
yang semakin cepat, di mana anak muda zaman now dapat
berinteraksi dengan manusia dari berbagai belahan dunia.
Arus globalisasi berhasil menciptakan interaksi langsung dan
tidak langsung yang lebih luas antar umat manusia, yang
tidak mengenal batas-batas antara negara satu dengan
negara yang lain. Oleh sebab itu, globalisasi membuat
generasi millennial menjadi lebih terbuka terhadap
perbedaan, wawasan mereka terhadap keberagaman pun
menjadi lebih luas sehingga timbul sifat toleran yang cukup
tinggi dari generasi ini.

22
Nah, apabila melihat berbagai karakteristik yang dimiliki
generasi millennial, tampaknya kehidupan dari generasi ini
sungguh terjamin dan menyenangkan. Bagaimana tidak,
kemajuan teknologi yang pesat, kehidupan yang super
dinamis, dan perkembangan alat telekomunikasi telah
membantu mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, sering tidak kita sadari bahwa dunia ini semakin
kejam dan penuh dengan tantangan baru yang harus
dihadapi. Tingginya tingkat mobilitas antar negara sebagai
dampak dari globalisasi dan dibentuknya Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 menyebabkan
persaingan untuk dapat survive di dunia ini menjadi lebih
keras. Belum lagi ditambah dengan naiknya tingkat inflasi
yang terus terjadi dari tahun ke tahun, yang menyebabkan
harga-harga kebutuhan pokok menjadi lebih mahal dan sulit
dijangkau.

Sebagai generasi penerus bangsa,


generasi millennial di Indonesia tidak
boleh kalah dalam persaingan dengan
anak-anak muda dari negara lain.
Pendidikan yang tinggi saja ternyata
tidak cukup, anak muda Indonesia zaman
now harus dibekali dengan berbagai
pengalaman dan soft skillsyang baik.
Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa, generasi
millennial di Indonesia tidak boleh kalah dalam persaingan
dengan anak-anak muda dari negara lain. Pendidikan yang
tinggi saja ternyata tidak cukup, anak muda Indonesia zaman
now harus dibekali dengan berbagai pengalaman dan soft
skillsyang baik. Nah, menjadi pribadi yang kreatif, aktif, dan
inovatif tentu harus dimiliki dalam jiwa anak muda. Itu adalah
syarat utama bagi generasi millennial untuk dapat bersaing
dan menghadapi berbagai tantangan di dunia yang semakin
23
dinamis ini. Lalu, bagaimana sih cara agar kita bisa menjadi
generasi millennial yang kreatif, aktif, dan inovatif di era
modern saat ini? Oke, untuk menjadi anak muda zaman
now yang kreatif, aktif, dan inovatif, kita perlu membiasakan
diri untuk melakukan aktivitas-aktivitas/pola hidup berikut ini
di dalam kehidupan kita:

Perbanyak Membaca Buku: Membaca buku secara rutin


sangat dianjurkan bagi generasi millennial saat ini, apalagi
minat baca dari anak muda di Indonesia masih sangat
rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Most Littered
Nation In the World 2016, dari total 61 negara, minat baca di
Indonesia berada di peringkat 60. Hal ini tentu menjadi
keprihatinan bersama, padahal dengan membaca buku setiap
hari, wawasan yang diperoleh menjadi lebih luas dan hal
tersebut akan merangsang kemampuan untuk berpikir secara
kreatif. Apabila sulit untuk memulai kebiasaan membaca
buku, kita bisa memilih buku-buku yang sederhana terlebih
dahulu, seperti novel atau majalah-majalah remaja untuk
lebih membiasakan diri.

Menggunakan Internet dan Media Sosial Secara Bijak:


Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi dan
internet bisa membawa dampak positif maupun dampak
negatif bagi anak muda. Apabila tidak hati-hati dalam
penggunaannya, kita sebagai anak-anak muda dapat
terjerumus ke hal-hal yang negatif, seperti mengunjungi
situs-situs pornografi, membuka situs-situs radikalisme, atau
salah dalam memilih teman dan komunitas di internet. Selain
itu, generasi millennial juga harus bijak dalam menggunakan
media sosialnya. Jangan sampai media sosial justru menjadi
sarana untuk saling menghujat dan menjatuhkan satu sama
lain atau untuk menyebarkan informasi hoax. Maka dari itu,
kita sebagai generasi penerus bangsa harus mengambil
dampak positifnya saja. Kita bisa menggunakan internet
untuk mencari ide-ide kreatif di Google, mencoba menulis
artikel di Kompasiana, melihat tutorial kreatif di Youtube,
membuat foto-foto menarik untuk ditampilkan di Instagram
24
atau Facebook, membagikan info-info yang bermanfaat di
Twitter dan masih banyak lagi. Pada dasarnya, dampak positif
dari kemajuan teknologi akan kita rasakan ketika kita juga
menggunakannya secara positif.

Bersikap Terbuka Terhadap Berbagai Pengalaman


Baru: Di dunia yang semakin dinamis dan modern seperti
saat ini, kita sebagai anak muda perlu membiasakan diri
untuk terbuka dengan berbagai pengalaman baru. Kita bisa
mengikuti berbagai macam aktivitas yang bermanfaat bagi
kita, seperti bergabung dengan organisasi sosial, menjadi
relawan bagi orang-orang miskin, atau mengikuti ajang-ajang
perlombaan. Aktivitas-aktivitas tersebut akan melatih diri kita
untuk dapat berpikir lebih kreatif dan bergerak lebih aktif.
Oiya, selain itu kita dapat membiasakan diri untuk lebih
tanggap dan kritis dengan masalah-masalah yang terjadi di
sekeliling kita.

Membangun Ide dan Visi ke Depan: Hal berikutnya yang


dapat dilakukan oleh anak muda adalah mencoba
mengembangkan ide-ide kreatif yang ada di benaknya. Kita
bisa memulai dengan ide-ide yang sederhana terlebih dahulu.
Siapa tahu dari ide yang sederhana tersebut, kita justru dapat
membentuk sebuah startup baru yang dapat memecahkan
masalah-masalah yang ada sekitar kita dan membuka
lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Selain mencoba
mengembangkan ide-ide yang ada di pikirin kita, generasi
millennial juga harus memiliki visi dalam kehidupannya. Visi
ini harus jelas dan realistis. Jangan sampai kita sebagai
generasi penerus bangsa tidak memiliki visi dan cita-cita
yang membuat kita hidup tanpa target dan tujuan.

25
Fathan Faris Saputro mengisi workshop literasi pada
perkemahan jambore daerah KWARDA HW Lamongan
Rajin Berolahraga dan Membiasakan Diri untuk
Bangun Pagi: Kelihatannya memang sepele, tetapi dua
aktivitas tersebut memiliki dampak yang sangat positif untuk
membantu kita menjadi anak muda yang lebih aktif, kreatif,
dan inovatif. Dengan rajin berolahraga, kita memiliki banyak
energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya kreativitas.
Selain itu, kita menjadi lebih semangat dan terhindar dari
rasa mager (malas gerak). Bangun pagi pun demikian,
kebiasaan ini akan membantu otak kita menjadi lebih segar
sehingga dapat memunculkan ide-ide yang kreatif. Dengan
bangun lebih pagi, kita memiliki banyak waktu untuk
beraktivitas secara positif dan mengembangkan berbagai ide
yang ada di pikiran kita.

26
Aku sendiri sama seperti kalian,
termasuk dalam generasi millennial yang
dekat dengan teknologi dan suka
menghadapi tantangan-tantangan baru.
Menulis artikel seperti artikel ini
merupakan salah satu caraku untuk
melatih dan meningkatkan daya
kreativitas.
Nah, itu tadi aktivitas-aktivitas yang dapat kita lakukan
sebagai anak muda zaman now untuk berlatih menjadi
generasi yang kreatif, aktif, dan inovatif. Aku sendiri sama
seperti kalian, termasuk dalam generasi millennial yang
dekat dengan teknologi dan suka menghadapi tantangan-
tantangan baru. Menulis artikel seperti artikel ini merupakan
salah satu caraku untuk melatih dan meningkatkan daya
kreativitas. Oiya, jujur dulu aku sering mengalami rasa bosan
dan mager untuk bangun lebih pagi, membaca buku lebih
rutin, lebih rajin berolahraga, atau malas menulis artikel di
mana pun.

Bagikan :

Peran dan Tantangan Pemuda di Era Generasi Millenial

By

Fathan Faris Saputro

March 2, 2019

1581

27
Ada pula perbedaan lain yang muncul antara generasi millennial dengan generasi-
generasi sebelumnya, yaitu terkait dengan masalah budaya/ gaya hidup sehari-hari. Ada
kecenderungan bahwa generasi millennial lebih suka mendengarkan musik dan hang
out asik bersama teman-temannya. Maka tak mengherankan bila banyak kafe atau
tempat nongkrong lainnya yang ramai dikunjungi anak muda zaman now, karena itulah
kehidupan sosial mereka.

Kampusdesa – Banyak kalangan menyebut anak-anak muda zaman now sebagai


generasi millennial. Generasi ini lahir setelah zaman generasi X, atau tepatnya pada
kisaran tahun 1980 sampai tahun 2000-an. Jadi dapat diperkirakan bahwa saat ini
generasi millennial memiliki rentang usia 17 hingga 37 tahun. Di Indonesia sendiri,
terdapat sekitar 80 juta orang yang berusia antara 17 hingga 37 tahun. Jumlah tersebut
sangat banyak dan signifikan, mengingat populasi generasi millennial sudah mencakup
30 persen dari total penduduk di Indonesia.

Berdasarkan berbagai kajian dan penelitian yang telah dilakukan terhadap generasi
millennial, ditemukan banyak perbedaan antara generasi ini dengan generasi-generasi
yang lebih tua, seperti generasi silent, generasi boomer, maupun generasi X. Perbedaan
tersebut terlihat dalam gambar di bawah ini.

28
“diketahui bahwa generasi millennial sangat dekat dengan teknologi. Kehidupan
generasi ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi dan internet, berbeda dengan generasi
X di mana pengaruh dari teknologi belum terlalu menonjol seperti saat ini. Generasi
millennial lahir ketika handphone dan media sosial mulai muncul di Indonesia, sehingga
wajar apabila generasi ini lebih melek teknologi dibanding generasi-generasi
sebelumnya.”

Selain karakteristik yang sudah dijelaskan di atas, generasi millennial juga memiliki
sifat yang lebih toleran terhadap sesamanya. Hal ini dipengaruhi oleh arus globalisasi
yang semakin cepat, di mana anak muda zaman now dapat berinteraksi dengan manusia
dari berbagai belahan dunia. Arus globalisasi berhasil menciptakan interaksi langsung
dan tidak langsung yang lebih luas antar umat manusia, yang tidak mengenal batas-
batas antara negara satu dengan negara yang lain. Oleh sebab itu, globalisasi membuat
generasi millennial menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan, wawasan mereka
terhadap keberagaman pun menjadi lebih luas sehingga timbul sifat toleran yang cukup
tinggi dari generasi ini.

Nah, apabila melihat berbagai karakteristik yang dimiliki generasi millennial,


tampaknya kehidupan dari generasi ini sungguh terjamin dan menyenangkan.
Bagaimana tidak, kemajuan teknologi yang pesat, kehidupan yang super dinamis, dan
perkembangan alat telekomunikasi telah membantu mereka dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, sering tidak kita sadari bahwa dunia ini semakin
kejam dan penuh dengan tantangan baru yang harus dihadapi. Tingginya tingkat
mobilitas antar negara sebagai dampak dari globalisasi dan dibentuknya Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 menyebabkan persaingan untuk
dapat survive di dunia ini menjadi lebih keras. Belum lagi ditambah dengan naiknya
tingkat inflasi yang terus terjadi dari tahun ke tahun, yang menyebabkan harga-harga
kebutuhan pokok menjadi lebih mahal dan sulit dijangkau.

Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa, generasi millennial di Indonesia tidak
boleh kalah dalam persaingan dengan anak-anak muda dari negara lain. Pendidikan
yang tinggi saja ternyata tidak cukup, anak muda Indonesia zaman now harus dibekali
dengan berbagai pengalaman dan soft skills yang baik. Nah, menjadi pribadi yang
kreatif, aktif, dan inovatif tentu harus dimiliki dalam jiwa anak muda. Itu adalah syarat
utama bagi generasi millennial untuk dapat bersaing dan menghadapi berbagai
tantangan di dunia yang semakin dinamis ini. Lalu, bagaimana sih cara agar kita bisa
menjadi generasi millennial yang kreatif, aktif, dan inovatif di era modern saat ini?
Oke, untuk menjadi anak muda zaman now yang kreatif, aktif, dan inovatif, kita perlu
membiasakan diri untuk melakukan aktivitas-aktivitas/ pola hidup berikut ini di dalam
kehidupan kita:

Perbanyak Membaca Buku: Membaca buku secara rutin sangat dianjurkan bagi
generasi millennial saat ini, apalagi minat baca dari anak muda di Indonesia masih
sangat rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Most Littered Nation In the
29
World 2016, dari total 61 negara, minat baca di Indonesia berada di peringkat 60. Hal
ini tentu menjadi keprihatinan bersama, padahal dengan membaca buku setiap hari,
wawasan yang diperoleh menjadi lebih luas dan hal tersebut akan merangsang
kemampuan untuk berpikir secara kreatif. Apabila sulit untuk memulai kebiasaan
membaca buku, kita bisa memilih buku-buku yang sederhana terlebih dahulu, seperti
novel atau majalah-majalah remaja untuk lebih membiasakan diri.

Menggunakan Internet dan Media Sosial Secara Bijak: Tidak dapat dipungkiri bahwa
perkembangan teknologi dan internet bisa membawa dampak positif maupun dampak
negatif bagi anak muda. Apabila tidak hati-hati dalam penggunaannya, kita sebagai
anak-anak muda dapat terjerumus ke hal-hal yang negatif, seperti mengunjungi situs-
situs pornografi, membuka situs-situs radikalisme, atau salah dalam memilih teman dan
komunitas di internet. Selain itu, generasi millennial juga harus bijak dalam
menggunakan media sosialnya. Jangan sampai media sosial justru menjadi sarana
untuk saling menghujat dan menjatuhkan satu sama lain atau untuk menyebarkan
informasi hoax. Maka dari itu, kita sebagai generasi penerus bangsa harus mengambil
dampak positifnya saja. Kita bisa menggunakan internet untuk mencari ide-ide kreatif
di Google, mencoba menulis artikel di Kompasiana, melihat tutorial kreatif di Youtube,
membuat foto-foto menarik untuk ditampilkan di Instagram atau Facebook,
membagikan info-info yang bermanfaat di Twitter dan masih banyak lagi. Pada
dasarnya, dampak positif dari kemajuan teknologi akan kita rasakan ketika kita juga
menggunakannya secara positif.

Bersikap Terbuka Terhadap Berbagai Pengalaman Baru: Di dunia yang semakin


dinamis dan modern seperti saat ini, kita sebagai anak muda perlu membiasakan diri
untuk terbuka dengan berbagai pengalaman baru. Kita bisa mengikuti berbagai macam
aktivitas yang bermanfaat bagi kita, seperti bergabung dengan organisasi sosial,
menjadi relawan bagi orang-orang miskin, atau mengikuti ajang-ajang perlombaan.
Aktivitas-aktivitas tersebut akan melatih diri kita untuk dapat berpikir lebih kreatif
dan bergerak lebih aktif. Oiya, selain itu kita dapat membiasakan diri untuk lebih
tanggap dan kritis dengan masalah-masalah yang terjadi di sekeliling kita.

Membangun Ide dan Visi ke Depan: Hal berikutnya yang dapat dilakukan oleh anak
muda adalah mencoba mengembangkan ide-ide kreatif yang ada di benaknya. Kita bisa
memulai dengan ide-ide yang sederhana terlebih dahulu. Siapa tahu dari ide yang
sederhana tersebut, kita justru dapat membentuk sebuah startup baru yang dapat
memecahkan masalah-masalah yang ada sekitar kita dan membuka lapangan pekerjaan
baru bagi masyarakat. Selain mencoba mengembangkan ide-ide yang ada di pikirin
kita, generasi millennial juga harus memiliki visi dalam kehidupannya. Visi ini harus
jelas dan realistis. Jangan sampai kita sebagai generasi penerus bangsa tidak memiliki
visi dan cita-cita yang membuat kita hidup tanpa target dan tujuan.

Rajin Berolahraga dan Membiasakan Diri untuk Bangun Pagi: Kelihatannya memang
sepele, tetapi dua aktivitas tersebut memiliki dampak yang sangat positif untuk
membantu kita menjadi anak muda yang lebih aktif, kreatif, dan inovatif. Dengan rajin
berolahraga, kita memiliki banyak energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya
kreativitas. Selain itu, kita menjadi lebih semangat dan terhindar dari
30
rasa mager (malas gerak). Bangun pagi pun demikian, kebiasaan ini akan membantu
otak kita menjadi lebih segar sehingga dapat memunculkan ide-ide yang kreatif.
Dengan bangun lebih pagi, kita memiliki banyak waktu untuk beraktivitas secara positif
dan mengembangkan berbagai ide yang ada di pikiran kita.

Nah, itu tadi aktivitas-aktivitas yang dapat kita lakukan sebagai anak muda zaman
now untuk berlatih menjadi generasi yang kreatif, aktif, dan inovatif. Aku sendiri sama
seperti kalian, termasuk dalam generasi millennial yang dekat dengan teknologi dan
suka menghadapi tantangan-tantangan baru. Menulis artikel di
muhammadiyahlamongan.com seperti artikel ini merupakan salah satu caraku untuk
melatih dan meningkatkan daya kreativitas. Oiya, jujur dulu aku sering mengalami
rasa bosan dan mager untuk bangun lebih pagi, membaca buku lebih rutin, lebih rajin
berolahraga, atau malas menulis artikel di mana pun, termasuk di kampusdesa.or.id.
Akan tetapi, berkat motivasi yang diberikan oleh ibuku, sekarang hidupku menjadi
lebih bergairah. Aku jadi merasa ingin terus menulis dan menulis di situs blog ini.
Sekarang aku juga lebih rajin berolahraga dan membaca buku setiap hari.

Kata “pemuda” seringkali identik dengan kelompok anak muda yang masih “bau
kencur” alias belum berpengalaman, belum matang dalam berpikir dan belum stabil
secara emosi. Dan karenanya secara umum orang tidak terlalu memperhitungkan
kelompok pemuda ini karena dianggap pola berpikirnya cenderung idealis tidak
realistis dan sering mengambil keputusan dengan berdasarkan emosi perasaan belaka.

Namun sebenarnya dalam hidup ini yang namanya “idealisme’, suatu pemikiran
tentang dunia utopia, merupakan hal penting yang membuat manusia tetap mempunyai
semangat dan harapan untuk tetap hidup dan berjuang demi dunia yang lebih baik.
Dunia utopia memang seperti mimpi. Tapi saya percaya bahwa mimpi yang terukur dan
dikombinasikan dengan pemikiran serta semangat positif dapat mengubah dunia. Pada
saat kita berhenti bermimpi, kita berhenti berusaha, maka kita akan mati.

“peran pemuda, sebagai sosok yang muda, yang dinamis, yang penuh energi, yang
optimis, diharapkan untuk dapat menjadi agen perubahan yang bergerak dan berusaha
untuk sedekat mungkin dengan dunia”

Di sinilah peran pemuda, sebagai sosok yang muda, yang dinamis, yang penuh energi,
yang optimis, diharapkan untuk dapat menjadi agen perubahan yang bergerak dan
berusaha untuk sedekat mungkin dengan dunia utopia itu. Pemuda, diharapkan bisa
membawa ide-ide segar, pemikiran-pemikiran kreatif dengan metode thinking out of the
box yang inovatif, sehingga dunia tidak melulu hanya dihadapkan pada hal-hal
jaman old yang itu itu saja dan tidak pernah berkembang. Dengan kata lain pemuda
diharapkan menjadi pemimpin masa depan yang lebih baik dari pemimpin masa kini.
Pemuda diharapkan untuk menjadi change agent, yaitu pihak yang mendorong

31
terjadinya transformasi dunia ini ke arah yang lebih baik melalui efektifitas, perbaikan
dan pengembangan.

Pemuda Sebagai Change Agent: Dari hasil baca-baca saya, setidaknya ada lima
karakteristik pemimpin yang baik yang harus ada dalam diri seorang Change
Agent. Yang pertama, visi yang jernih. Sebagai pemimpin, seseorang harus memiliki
target yang jelas sehingga program kerja dapat disusun dengan baik dan dengan
tahapan yang berkesinambungan karena arah yang dituju jelas. Pemimpin yang baik
harus bisa menjelaskan ide dan konsep yang ada dalam pemikirannya secara jernih
kepada orang lain dan terutama kepada anggota tim kerjanya.

Saya pikir Albert Einsten benar, “If you can’t explain it simply, you don’t understand it
well enough”. Yang kedua, memiliki kegigihan untuk mencapai target. Yang ketiga,
bersikap kritis dan analitis. Dengan kata lain, pemimpin yang baik harus selalu
bernalar dan menggunakan akal sehatnya. Tidak ada hal yang ditelan bulat-bulat tanpa
mengerti substansinya. Yang keempat, sarat akan pengetahuan dan memimpin dengan
memberikan contoh, bukan hanya dengan instruksi. Yang kelima, membangun
hubungan yang kuat dengan orang-orang sekitarnya dengan membangun kepercayaan.
Dengan kata lain, pemimpin yang baik harus memiliki integritas agar dapat dipercaya.

Pemuda dan semangatnya dibutuhkan sebagai change agent dalam berbagai sektor,
termasuk sektor politik. Selama masih ada yang namanya “negara”, politik juga akan
selalu ada. Masalahnya, politik sudah terlalu lama terasosiasi sebagai suatu hal yang
kotor dan karenanya dihindari banyak orang. Kata “politik” hampir identik dengan
“perebutan kekuasaan demi jabatan dan uang”. Akibatnya, banyak anak muda
berpotensi menghindari dan tidak peduli dengan politik. Namun sikap ini tanpa
disadari secara tidak langsung membuat kondisi politik menjadi semakin buruk
karena level of competition, baik dari sisi kemampuan maupun integritas, menjadi
rendah untuk seseorang menduduki posisi strategis dalam lembaga-lembaga negara.

Akibatnya, orang-orang yang memegang kekuasaan dalam negara bukanlah orang-


orang terbaik yang ada di negara tersebut, melainkan orang-orang yang memang dari
awal masuk ke dalam politik dengan niat untuk semata-mata memperoleh jabatan dan
kekuasaan demi uang atau kepentingan pribadi lainnya. Pada saat kancah politik dan
lembaga negara dikuasai oleh orang-orang yang tidak berkualitas ini, semakin orang-
orang yang berkualitas menjauhi area tersebut. Hal ini terjadi terus menerus dan
menjadi lingkaran setan.

Generasi milenial harus bisa bertindak sebagai change agent dan memutus lingkaran
setan tersebut. Pemuda harus tetap optimis dan tidak berhenti melakukan langkah-
langkah perbaikan, termasuk dalam sektor politik. Pemuda harus mau peduli dengan
kualitas politik negaranya dan berani terjun ke dalamnya. Karena perbaikan politik
hanya akan terjadi pada saat orang-orang baik, profesional dan berintegritas masuk ke
dalam politik.

Tidak dapat disangkal bahwa politik sudah terlalu lama disalahgunakan oleh orang-
orang opportunist demi jabatan, kekuasaan dan uang semata. Tapi sesungguhnya ada

32
dimensi lain dari politik, yaitu suatu alat dahsyat yang dapat memberikan
kesejahteraan bagi rakyat. Apabila kita berpolitik dengan baik dan benar, maka kita
dapat menjadikan dunia ini menjadi lebih baik. Seperti yang dikatakan Mahatma
Gandi, “Be the change you wish to see in the world “. Jangan mengandalkan orang lain
untuk melakukan perbaikan, tapi kita harus mau turun tangan untuk melakukan
perbaikan yang kita inginkan.

Tantangan Bagi Generasi Millenial: Generasi milenial adalah generasi yang sangat
mahir dalam teknologi. Dengan kemampuannya di dunia teknologi dan sarana yang
ada, generasi ini memiliki banyak peluang untuk bisa berada jauh di depan dibanding
generasi sebelumnya. Namun sayangnya, dari beberapa statistik yang saya baca,
dikatakan bahwa generasi milenial cenderung lebih tidak peduli terhadap keadaan
sosial, termasuk politik dan ekonomi. Mereka cenderung lebih fokus kepada pola hidup
kebebasan dan hedonisme. Mereka cenderung mengingkan hal yang instant dan tidak
menghargai proses.

Di era ini segala sesuatu bergerak dengan cepat, dunia menjadi tanpa batas, informasi
dapat diperoleh dimana saja dan dari siapa saja. Generasi masa kini harus berusaha
dan mampu menjadi bijak terutama dalam penggunaan media sosial. Media sosial ini
mirip dengan politik, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Kita bisa berguna
dan bertambah pintar apabila menggunakan media sosial dengan benar, tapi kita juga
bisa menjadi penyebar hoax dan menjadi bodoh apabila kita menggunakan media sosial
dengan tidak benar.

Di era ini dengan segala kecanggihan teknologi, tingkat persaingan juga semakin tinggi.
Kualitas dan kinerja manusia juga dituntut menjadi semakin tinggi. Generasi masa kini
harus mampu beradaptasi dengan cepat, belajar dan menjadi lebih baik dengan cepat
serta melakukan navigasi yang lincah dan tepat untuk dapat memecahkan setiap
masalah. Kreatifitas dan Apabila tidak, dalam beberapa tahun ke depan mungkin posisi
kita sudah digantikan oleh robot atau program komputer.

Di Indonesia, ada sekitar 81 juta penduduk yang termasuk dalam generasi milenial.
Berarti sekitar hampir 32% dari total populasi di Indonesia. Pertanyaannya:
Mampukah kelompok 32% ini menjadi change agent untuk Indonesia? Siapkah mereka
untuk membangun dan meneruskan Indonesia? Ini yang menjadi tantangan terbesar
bagi generasi milenial Indonesia.

http://kampusdesa.or.id/peran-dan-tantangan-pemuda-di-era-generasi-millenial/

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hidup di Indonesia tentu tidak asing lagi dengan banyaknya agama yang kita
tau (ketahui) penduduknya juga cenderung heterogen. Alwi Shihab (2001:3)
(Sumbernya belum tertulis di footnote) mengatakan jika dilihat dari sudut pandang

33
geologis, historis dan kultural, Indonesia adalah negara yang sangat komleks dengan
keragaman ras, suku bangsa, bahasa bahkan agama. Setiap agama tersebut tentu
mereka yakini paling benar atau lebih cenderung ke fanatik. Dalam beragama tentunya
perlu perilaku yang menunjukkan rasa bahwa agamanya lah yang paling benar. Namun
perlu kita ketahui juga di balik rasa tersebut juga menimbulkan konflik antar
beragama. Yang menjadi permasalahan tersebut adalah dapatkah dari perbedaan
tersebut dapat saling menghormati, tidak saling menyalahkan, dan tidak merasa paling
benar sendiri. Hidup dinegara yang berbeda - beda keyakinan tidak dapat kita
paksakan untuk setiap orang mengikuti sesuatu yang kita yakini, begitupun
sebaliknya.
Agama bukan hanya sekedar identitas atau hak dalam kehidupan manusia
melainkan sebagai bentuk kepercayaan kita atau kehambaan kita terhadap Tuhan serta
sebagai bentuk kerukunan serta perdamaian antar umat manusia. Agama mampu
memberikan pijakan atau pondasi pada kehidupan agar hidup lebih terarah, tentunya
kita menjadi tau apa tujuan kita hidup di dunia ini.
Selama ini yang kita tau bahwa agama merupakan ajaran atau doktrin
kebaikan, semua agama termasuk agama Islam merupakan agama yang tidak
mengajarkan kekerasan. Pada dasarnya kekerasan merupakan hal yang kita tau sendiri
itu merugikan berbagai pihak. Namun tak banyak juga kekerasan yang mengatas
namakan agama sebagai kedoknya. Dengan hal tersebut membuat orang yang
beragama lain berpikir bahwa agama yang digunakan sebagai kedok tersebut perlu
dimusuhi dengan pandangan yang berbeda dari berbagai sisi ini menimbulkan kontra
diberbagai kalangan.
Isu – isu yang beredar dilingkungan masyarakat yang sudah tidak asing lagi
ditelinga kita, tentu hal ini menuai berbagai pendapat diberbagai kalangan. Dari
fenomena tersebut menjadi penting untuk diketahui serta digali lebih lanjut kembali
dengan nilai agama, dalam mengatasi konflik antar agama dengan solusi moderasi
beragama. Dengan berpaham Islam moderat tidaklah sulitmencari rujukan dalam
sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Lebih tepatnya, Islam moderat dapat
merujuk jika diwilayah tempat turunnya islam terdapat praktik agam seperti yang
dilakukan Nabi Muhammad dan para sahabatnya, sedangkan jika itu berada di
Indonesia hal ini dapatmerujuk pada penyebar agama Islam oleh Walisongo sedangkan
praktek Islamnya merujuk pada organisasi seperti Muhammadiyah atau NU (Nahdatul
Ulama). Jadi, ajaran yang berujuan untuk perdamaian dan kehidupan yang harmonis
dapat disebut moderat, karena gerakannya menekankan pada sikap menghargai dan

34
menghormati yang lain. Sehingga saya memilih judul Moderasi Beragama : Jalan
Tengah Mengatasi Konflik.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang akan dikaji yaitu sebagai
berikut :
1. Bagaimana cara mengatasi konflik antar agama dengan solusi moderasi
beragama, karena hakikatnya Islam agama Wasathiyyah (moderat) ?
2. Bagaimana mengikis konflik (resolusi konflik) antar agama dan radikalisme ?
3. Bagaimana mewujudkan kerukunan, perdamaiaan, dan toleransi antar umat
beragama ?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi konflik antar agama dengan
moderasi beragama, karena hakikatnya Islam agama Wasathiyah (moderat).
2. Untuk mengetahui bagaimana cara menyelesaikan atau mengikis konflik antar
agama dan radikalisme.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara mewujudkan kerukunan, perdamaiaan dan
toleransi antar umat beragama, seperti beragama tidak dengan cara sempit atau
ekstream kanan yang berimbas pada aksi radikalisme.

35
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Teori
Konflik secara etimologis adalah pertengkaran, perkelahian,
perselisihan tentang pendapat atau keinginan, dan pertentangan. Konflik
konflik juga bermakna the overt struggle between individuals or group within
a society, or between nation state,yakni pertentangan secara terbuka antara
individu-individu atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat atau antara
bangsa-bangsa.¹ konflik disebabkan oleh adanya benturan antar-kepentingan
dan perubahan social. Selain itu, konflik juga bermuara dari berbagai
perbedaan, seperti perbedaan fisik, persepsi, agama, adat istiadat, organisasi,
partai, pengetahuan, tata nilai, serta kepentingan.²
Dalam tilikan para sosiolog ada beberapa hal yang kerap menjadi latar
belakang timbulnya konflik, yakni berupa perebutan atas sumber-sumber
kepemilikan, status social, dan kekuasaan yang jumlahnya sangat terbatas dan
tidak merata dalam masyarakat.³ Konflik sulit dihilangkan dari dalam
masyarkat karena pada dasarnya konflik sendiri merupakan bagian dari
kehidupan manusia, namun konflik dapat diupayakan penyelesaiaannya.
Agama merupakan salah satu pemersatu umat namun di Indonesia tidak kanya
satu agama saja sehingga agama merupakan faktor atau sumber dari
terciptanya konflik tersebut.

¹ M. Nur Wahid Tualeka, “Teori Konflik Sosiologi Klasik dan


Modern”, dalam Jurnal Al Hikmah, Vol. 03, No. 01, Januari 2017, 34.
² Ellya Rosana, “Konflik pada Kehidupan Masyarakat (Telaah
Mengenai Teori dan Penyelesaikan Konflik pada masyarakat Modern)”, dalam
Jurnal Al-Adyan, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2015, 217.
³ Adon Nasrullah Jamaludin, Agama dan Konflik Sosial, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2015), 40.

36

Anda mungkin juga menyukai