Anda di halaman 1dari 15

BAB I

MANDAT ILAHIAT BAGI MANUSIA


1.1. Pengantar
Penciptaan manusia bukannya tanpa maksud. Tuhan mencip- takan manusia memang
masih dalam rangka suatu penciptaan alam semesta keseluruhan. Jadi, manusia diciptakan bukan
tanpa hubungan dengan ciptaan lain. Penciptaan manusia yang lain dari penciptaan makhluk-
makhluk lainnya, memberi kedu- dukan tersendiri kepada manusia di dalam hubungan dengan
Tuhan dan di tengah alam. Kedudukan itu antara lain seperti yang kita akui selama ini bahwa
manusia merupakan makhluk istimewa, makhluk tertinggi dan memiliki kelebihan dibandingkan
dengan makhluk lain. la juga makhluk yang mempunyai hubungan istimewa dengan Tuhan dan
dengan sesama makhluk lainnya
Keistimewaan dan keunggulan manusia dari yang lain, secara garis besar telah disebutkan
di dalam pendahuluan. Yang hendak ditekankan di dalam bab ini ialah keterhubungan manusia
dengan Tuhan PenciptaNya. Keterhubungan, artinya sebuah hubungan yang tidak dapat
dihindarkan. Oleh sebab itu manusia pasti memiliki kecenderungan hati untuk berhubungan
dengan Tuhan atau yang dianggapnya sebagai Tuhan. Justru di dalam
hubungan inilah maka manusia mendapatkan mandat ilahiat itu. Untuk memahami
mandat ilahiat secara mendalam, maka berturut-turut hendak diuraikan latarbelakang mandat,
tujuan mandat, dan upaya pelaksanaannya.

1.2. Latar Belakang Mandat

Sebuah mandat memang tidak tanpa latar belakang. Demi- kianlah tentunya dengan
mandat ilahiat itu. Ceriteranya begini: Ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi serta segala
isinya, Tuhan lantas memandang alam ciptaanNya itu. la merasa puas sekali. Tuhan puas dan
berkenan, oleh sebab karya agungNya sungguh sempurna keadaannya. Semuanya tampak baik
dan sempurna adanya. Kepuasan dan kesempurnaan ciptaanNya itulah yang mendorong Tuhan
untuk menciptakan manusia agar ia memuliakan Tuhan melalui hidupnya dan hubungannya
dengan alam ciptaanNya itu.
Tuhan menghendaki agar manusia nantinya, sebagai makh- luk mulia dan memiliki
tingkatan lebih dari makhluk lainnya akan memuliakan namaNya dan akan mengisi kehidupannya
itu dengan hubungan yang benar antara dirinya dan makhluk lain serta benda-benda di sekitanya.
Jadi ketika itu, Tuhan merasakan kelengangan dan kekurang- lengkapan ciptaanNya
apabila manusia tidak diciptakanNya. Manusia diciptakan sebagai kelengkapan yang tak tercerai
kan dari seluruh bagian penjadian itu. Dalam teori penjadian menurut paham agama-agama,
memang manusia senantiasa diletakkan dalam posisi kunci dan istimewa. Tanpa manusia, semua
yang diciptakan Tuhan menjadi kurang bermakna. Maka Tuhan dianggap memanfaatkan manusia
secara maksimal demi terjadinya kehidupan dan ketertiban di dunia ini. Untuk itulah manusia
diperlengkapi dengan kemampuan-kemampuan yang melebihi makhluk lain.

Latar belakang lain yang dapat kita duga mengapa Tuhan menentukan agar manusialah
yang menjadi pengatur dan pemerhati seluruh kejadian, ialah sifat Tuhan yang tidak melepas
bgitu saja semua yang diciptakanNya. Tuhan adalah Tuhan yang menciptakan dan memelihara
dengan kebijaksanaan. keadilan, dan kasih sayang. Melihat itu semua, maka dapat dimengerti
mengapa tuhan menciptakan manusia agar kelangsungan hidup dan kesempurnaan alam
semesta ini dijaga dan diusahakan kelestariannya.
Manusia dengan kedudukannya yang istimewa itu, memang dimaksudkan Allah agar ia
mampu menata, memelihara, dan kemudian menjaga serta melestarikan keindahan alam ini.
Justru dengan semua itu, Allah dipermuliakan. Dengan latar belakang itu, maka mandat Tuhan
diberikan kepada manusia agar manusia memuliakan Allah melalui hidupnya dan hubung annya
dengan alam dan lingkungannya. Mandat ilahiat intinya tak lain agar manusia memuji nama
Tuhan, menyembahNya dan memuliakanNya melalui hidupnya dan melalui pekerjaan serta
hubungannya dengan alam ini.

1.3. Tujuan Mandat Mandat

sebagai suatu suruhan pada hakikatnya sekaligus merupakan hakikat dari yang
disuruhNya. Oleh sebab dalam hal ini manusia yang mendapatkan mandat dari Tuhan, maka
mandat itu merupakan hakikat manusia sendiri. Dengan lain perkataan, apabila manusia
mendapat tugas dari Tuhan untuk memuliakan Tuhan melalui hidup dan hubungannya dengan
alam serta lingkungannya; itu hakikatnya adalah manusia yang tak terpisahkan. dari alam dan
lingkungannya. Jadi, manusia baru benar-benar menjadi manusia kalau ia dalam hubungan
dengan alam dan lingkungannya.
Justru dengan cara hidup berhubungan dengan alam dan lingkungannya itulah manusia
menjadi manusia sepenuhnya dan memuliakan Tuhan Sebaliknya, kalau manusia tidak mau ber
hubungan dengan alam dan lingkungannya ia mengingkari hakikatnya. Suatu pengingkaran atas
hakekat sama saja dengan suatu malapetaka. Oleh sebab itu, dapat kita saksikan manusia
semakin kehilangan kemanusiaannya ketika ia mulai menjauhi dan merusak alam dan
lingkungannya. Kita telah melihat bukti kebenaran hakikat itu, misalnya saja kalau manusia
merusak dan menguras alam dan lingkungannya, maka malapetaka segera terjadi. Bencana alam
macam-macam segera menimpa manusia. Tidakkah kita ingat peristiwa habisnya sebuah hutan
dan segera diikuti bencana alam berupa banjir; demikian pula me letusnya sebuah gunung?
Atas dasar mandat itu, yaitu mandat untu Tuhan melalui hidup dan hubungan dengan
alam serta lingkungannya itu, maka tujuan mandat segera dapat kita tangkap secara jelas Dalam
garis besarnya tujuan mandat itu dapat di rumuskan demikian: memuliakan Pencipta melalui
hidupnya
(1) dan memuliakan Tuhan melalui hubungan dengan alam dan lingkungan
(2) Di bawah ini hendak diuraikan secara agak lebih terperinci tentang bagaimana manusia
dapat memuliakan Tuhan melalui hidupnya dan bagaimana ia memuliakan Tuhan
melalui hubungannya dengan alam dan lingkungannya memuliakan

1.3.1. MEMULIAKAN PENCIPTA MELALUI HIDUPNYA

Manusia diciptakan Tuhan sebagai puncak kejadian, maka ia diperlengkapi potensi yang
melebihi makhluk lainnya. Tuhan menciptakan manusia dengan mandat untuk memuliakanNya
melalui hidup manusia itu sendiri. Dengan bahasa yang sedikit berbeda tetapi singkat, dapat
dikatakan demikian Tuhan berkehendak agar manusia memuliakan Tuhan, dengan hidupnya dan
di dalam kehidupannya manusia harus memuliakan Tuhan

Mandat seperti itu, sebenarnya mengandung makna terdalam agar manusia di dalam
hidupnya senantiasa mengingat Tuhan dan apa yang dimandatkanNya. Justru dengan mengingat
Tuhan sebagai pencipta, dan mengingat perintah-perintahNya maka manusia secara tak langsung
mengadakan hubungan dengan Tuhan. Manusia dikehendaki Tuhan sebagai makhluk yang
mampu berhubungan denganNya, dan dengan berhubungan itu lah manusia dikendalikan
hidupnya oleh norma-norma religius.
Melalui hubungan dengan Tuhan dan dengan mengingat perintah-perintahNya,
hubungan itu membawa akibat manusia terikat pada gaya hidup ilmiah. Hal itu bisa dijelaskan
demikian: siapa pun yang memiliki hubungan erat dengan sesuatu atau seseorang, maka ia
terikat pikiran dan perasaannya serta tindakannya, agar dengan begita ia tidak mengecewakan
pihak lain. Katakanlah apabila manusia berhubungan erat dengan Tuhan, maka manusia juga
terikat pikiran, perasaan dan tindakannya kepada apa yang Tuhan kehendaki. Paling sedikit,
manusia akan senantiasa mempertimbangkan apakah perbua tannya itu tidak bertentangan
dengan suruhan-suruhan Tuhan? Dan kalau ia kebetulan dalam posisi bertentangan dengan
suruhanNya ada rasa salah dan rasa dosa di dalam dirinya.
Justru keadaan seperti inilah yang sebenarmya diharapkan terjadi di dalam kehidupan
manusia. Hidup manusia seharusnya senantiasa bergema suara Tuhan dan kehendak Tuhan
sebagai pedoman pikiran, perasaan dan tindakannya. Dengan demikian, maka manusia memiliki
nilai-nilai tertentu yang pada dasarnya berdasar pada ketaatan akan perintah Tuhan. Apabila
seseorang di dalam hidupnya mendasarkan diri pada perintah-perintah Tuhan, atau memiliki
nilai-nilai yang asalnya dari Tuhan niscaya orang itu akan menjadi bergaya hidup religius
Kehidupan seperti ini mengharuskan seseorang untuk senantiasa mempertanyakan
pikiran, perasaan dan tindakannya atas dasar ketaatan pada Tuhan. Inilah hidup manusia yang
sebenar nya dikehendaki Tuhan. Sang Pencipta. Tuhan tidak menuntut banyak dari manusia.
Tuhan cuma meminta agar la senantiasa diingat sebagai yang mencipta dan yang memerintah
manusia dan alam semesta ini. Tuhan sudah cukup puas dengan hubungan seperti itu, yakni
manusia menganggap hidupnya itu sesuai dengan yang Tuhan kehendaki
Memuliakan Pencipta melalui hidupnya. Demikianlah tugas manusia. Tugas itu kini
menjadi cukup jelas bagi kita yaitu agar melalui kehidupan kita, apa pun dan bagaimana pun yang
kita pikirkan, kita rasakan dan kita lakukan ada di dalam kaitan ketaatan kepada Tuhan Dengan
begitu, maka tugas kita tak lain mentaati Tuhan dan perintahNya. Justru inilah sebenarnya yang
dimaksud dengan memuliakan Tuhan. Melalui cara hidup atau gaya hidup yang demikian itulah,
manusia memuliakan Pen cipta.
Ketaatan manusia kepada Tuhan dan perintahNya, tidak bo- leh digambarkan sebagai
ketaatan buta. Kita tidak dituntut untuk tidak bisa lain. Kita tidak dipaksa untuk tak bisa lain.
Ketaatan kita kepada Tuhan dan perintahNya selalu di dalam kebebasan cara mentaatinya.
Kebebasan cara mentaati, berarti ada ruang gerak bagi manusia untuk membentuk ketaatannya
itu sesuai dengan pilihan dan selera kita pribadi. Jadi, yang penting manusia mengakui
keterikatannya dengan Tuhan dan mengingatnya selalu di dalam hidupnya sebagai prinsip
hidupnya. Mengakui Tuhan dan mengingat perintahNya sebagai prinsip hidup, berarti
menempatkan Tuhan dan perintahNya di atas segala sesuatu. Pikiran dan perasaan kita, rencana
dan tindakan kita, cita-cita dan realita yang kita terima, semua itu diserahkan dan dipasrahkan
kepada prinsip tersebut. Itu berarti, seluruh usaha dan daya serta buahnya diawali dengan
menundukkan diri kepada kehendak Tuhan dan diserahkan kepada Tuhan pula akhirnya
Demikianlah, maka manusia sepanjang sejarah telah benar benar berusaha mentaati
Tuhan dan perintahNya itu melalui berbagai cara. Salah satu cara mentaati ialah dengan
menjalani seluruh suruhan Tuhan di dalam aturan-aturan agama Maka, telah terbukti pula di
dalam sejarah manusia mencari bentuk ketaatan melalui kehidupan beragama. Agama
sebagaimana ki ta ketahui, merupakan salah satu tatanan yang mengatur manu- sia khusunya
umat agama itu, untuk mengerti apa yang Tuhan kehendaki dan bagaimana seharusnya
menjalani ketaatan kepadaNya. Tidak mengherankan, kalau dalarn rangka itu manusia telah
menyusun cara mentaati Tuhan melalui hukum-hukum agama atau adat dan tradisi agamawi.
Manusia menjalani hidup religius dengan caranya masing-masing
Justru oleh sebab itulah, maka kita kini dapat memahami mengapa agama Hindu dan
Budha berbeda dengan agama Kriten, dan mengapa berbeda pula dengan agama Islam dalam
tradisi serta cara menjalani ibadahnya. Kitapun menjadi cukup terang mengapa seseorang yang
menganut agama sama tetapi berbeda di tempat lain ternyata juga menjalani ibadahnya tidak
persis sama. Bukankah kita semua. mengakui bahwa bagaimana pun Hindu dan Budha di
Indonesia tidak sama persis dengan Hindu dan Budha di India dalam cara mentaati perintah
Tuhan? Kita juga tahu bahwa Islam dan Kristen di Indonesia tak persis sama dengan yang ada di
tempat asal agama itu lahir dan tak sama pula dengan yang ada di lain negeri. Meskipun tidak
berbeda di dalam ajaran dan aturan prinsipnya, namun tradisi dan cara penghayatinya biasanya
memang tak bisa sama. Masalahnya bukan perbedaan ajaran melainkan berbeda cara
menghayatinya dan kadangkala berbeda di dalam cara pelaksanaan kongkrit aturan-aturannya.
Mengapa bisa terjadi demikian? Tidakkah kitab sucinya tetap sama, nabinya sama, rukun
imannya sama, sahadatnya juga masih sama? Tetapi mengapa bahwa cara berdoa seorang
Kristen di Jawa sudah berbeda dengan cara berdoa di Eropa sana? Mengapa peringatan hari-hari
raya agama juga berbeda beda di setiap negara? Inilah justru menunjukkan kenyataan bahwa
manusia memiliki kaitan yang tak terpisahkan dari alam dan lingkungannya. India dan Arab tak
sama, berbeda pula dengan Palestina. Latar belakang daerah geografi dan latar belakang adat-
istiadat masyarakatnya juga tak sama. Oleh sebab itu maka agama yang lahir dari tempat-tempat
tersebut dengan sendirinya dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing. Begi tulah orang
Indonesia, orang Jawa dan orang Irian Jaya, memiliki latar belakang alam dan lingkungannya
sendiri yang tak persis sama. Inilah pula kebenaran dari hakikat manusia dan mandat Tuhan
bahwa manusia memang manusia yang tak terpisahkan dari alam dan lingkungannya.
Demikianlah, maka man dat ilahiat dapat kita pahami secara lebih benar
Dengan cara itulah Tuhan hendak mengatakan kepada manusia bahwa sangatlah
berbalaya kalau manusia ingin mengingkari hakekatnya. Berbahaya sekali kalau manusia ingin
menceraikan kehidupannya dari alam dan lingkungan hidupnya, apa- lagi bila manusia menguras
dan menggerogoti alam dan lingkungannya. Malapetaka adalah istilah paling tepat untuk
menggambarkan akibat dari perceraian manusia dengan alam dan lingkungannya itu.

13.2. Memuliakan Pencipta Melalui Hubungan Dengan Alam dan Lingkungan

Sisi lain dari mandat ilahiat itu ialah perintah agar manusia selalu berhubungan dengan
alam dan lingkungannya. Mandat ini mengandung pengertian, bahwa manusia pada hakekatnya
memang tak boleh tidak harus hidup di dalam hubungan dengan alam dan lingkungannya.
Beberapa hubungan tentang itu telah disinggung pula di dalam pembahasan di muka. Oleh sebab
itu kiranya di sini tidak perlu diulang lagi.
Masalahnya ialah hubungan yang bagaimana, dan seperti apakah yang benar?
Bagaimanakah manusia mesti menempatkan dirinya di tengah alam dan lingkungan hidupnya
Memang di sinilah sebenarnya terletak masalah pokok dari mandat Tuhan tentang hubungan
manusia dengan alam dan lingkungannya itu. Barangkali secara sederhana bisa kita pinjam
lukisan yang klise begini: manusia memang memiliki hidup, tetapi manusia tak bakal hidup
sempurna kalau ia tidak berada di dalam alam dan lingkungannya. Gambaranya ialah ikan. Ikan
tak bakal hidup bila ia meninggalkan airnya
Apakah memang sejauh itu hubungan antara manusia dan alam serta lingkungannya?
Sehingga seperti ikan akan mati kalau ia meninggalkan air? Jadi manusia juga akan mati jika
meninggalkan alam dan lingkungannya? Marilah kita coba memahami ungkapan itu dengan
mengambil kenyataan di sekeliling kita saja. Manusia memang makhluk unggul dan istimewa.
Tetapi manusia pun amat tergantung pada udara dan air, tumbuh- tumbuhan dan hewan. Ia juga
tergantung banyak pada benda- benda dan materi yang ada di di dunia ini. Maka dari itu, manusia
bisa mati kalau ia tidak mendapatkan udara yang segar manusia pun bisa mati bila ia tak
mendapatkan air. Barangkali manusia masih dapat bertahan dengan tanpa alat ataupun benda-
benda, untuk beberapa saat. Tetapi sebenarnyalah manusia tak mungkin dilepaskan dari semua
itu. Mengapa? Sebab memang begitulah hakikat manusia.
Siapa dan apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan lingkungan hidup manusia itu?
Katakanlah siapa dan apa sajakah yang termaksud di dalam pengertian lingkungan hidup? Seperti
telah banyak disinggung oleh banyak ahli dan telah kita ketahui bersama,lingkungan hidup
manusia adalah siapa saja dan apa saja yang melingkupi manusia dan kehidupannya. Dengan
demikian, maka lingkungan kita adalah semua dan seluruh kenyataan yang ada di sekitar
kehidupan kita dan yang menyekitari kita. Tegasnya, tidak hanya benda-benda yang hidup tetapi
juga benda-benda mati demikian pula yang kelihatan dan yang tak kelihatan.
Secara lebih kongkrit dan yang dapat dilihat mata adalah binatang, tumbuh-tumbuhan,
benda-benda dan juga manusia sesamanya. Jadi, lingkungan kita adalah beberapa dari binatang
tumbuh-tumbuhan, benda-benda dan manusia yang berada di sekeliling kita dan hidup di antara
kita Kalau demikian, maka sebenarnya manusia tidak boleh diceraikan dari manusia sekelilingnya,
hewan atau binatang sekitarnya, tumbuh-tumbuhan sekitarnya, dan benda-benda di
sekelilingnya.
Sebagai contoh yang agak dekat dengan kita dapat kita ambil dua gambaran ini:
kehidupan manusia di kota dan kehidupan manusia di desa. Dari dua buah contoh kongkrit itu,
kita akan melihat kaitan yang erat antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Marilah kita
lihat hal itu.
Manusia yang hidup di kota, kehidupannya juga ditentukan oleh kebiasaan kota yang
serba cepat, serba ekonomis dan pola perhubungan ala kadarnya saja. Hubungan antara manusia
satu dengan sesamanya amat terbatas dan tergantung pada ke pentingan-kepentingan tertentu
serta batas batas kelompoknya. Lingkungan perkotaan memang menghendaki cara hidup yang
demikian: cepat, ekonomis, komunikasi secukupnya saja, sibuk dalam pekerjaan sendiri dan tidak
begitu saling mengenal. Apalagi mengenal secara pribadi, tahu saja sudah untung. Jangankan
menjenguk dan mengunjungi orang lain kantor yang masih sekantor saja sudah jarang dapat
saling mengunjungi. Ini terus terang kondisi kota yang sudah maju. Manusia kota sudah mulai
terputus hubungannya antara satu dengan lainnya dan terputus pula hubungannya dengan
lingkungan masyarakatnya. Bukankah di kota kontrol sosial sudah menipis dan semakin
mengendor? Bukan ha yang mengendor, tetapi juga hubungan dengan lingkungan alamnya.
Meskipun demikian, jelas terjadi: manusia kota memiliki lingkungan tersendiri dan gaya hidupnya
sendiri yang serba cepat, ekonomis dan lugas. Itulah alam dan lingkungan kota.
Berbeda dengan 'alam dan lingkungan manusia di desa. Hampir dapat dipastikan bahwa
manusia yang hidup di desa, mempunyai waktu yang cukup buat saling kunjung mengunjungi,
jenguk-menjenguk, dan berhubungan Hubungan antara manusia satu dengan yang lain jauh lebih
erat dan mengenal secara lebih baik. Hubungan dengan alam lingkungan pertanian jauh lebih
dekat. Oleh sebab itu, seorang desa amat terbiasa mendengar lenguh sapi dan kambing
mengembik, liuk pohon nyiur serta ombak padi sawah dari pada orang kota. Hubungan eknomis
manusia desa juga masih relatif lebih leluasa, tidak selugas di kota.
Demikianlah sekedar gambaran yang klasik dan tentunya dibuat karikatural, terbukti
bahwa manusia kota berbeda dengan manusia desa bukan oleh sebab manusianya yang berbeda
tetapi oleh karena lingkungan dan alamnya berbeda. Meskipun demikian, harus diakui pula
bahwa perbedaan antara manusia kota dan manusia desa tidak seluruh aspek kehidupannya
Dengan demikian, maka keliru juga kalau kita menggambarkan seolah-olah scluruh aspek
kehidupan manusia kota tidak sama dengan manusia desa. Perbedaan memang ada karena
lingkungannya, tetapi persamaannya pun senantiasa ada pula.
Kesimpulan kita ialah, manusia kota memang relatif lebih kering dan renggang
hubungannya dengan alam dan lingkungan hidupnya. Beberapa contoh tentang itu telah disebut
di muka. Berbeda dengan manusia desa, maka kehidupannya jauh lebih lengket dan lebih erat
hubungannya dengan alam dan lingkungan hidupnya. Kesimpulan lebilh lanjut ialah manusia kota
sudah mulai kehilangan kemanusiaannya, sebab hakikatnya sebagai manusia mulai diingkari.
Sebaliknya, manusia desa masih relatif lebih menikmati kemanusiaannya karena manusia desa
masih lebih mempertahankan hakikat hubungannya dengan alam dan lingkungannya. Jadi, jika
dibandingkan, maka manusia desa jauh lebih manusiawi daripada manusia kota. Meskipun
kesimpulan ini terlalu kasar, namun kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan.

Kembali kepada masalah utama, yakni mandat ilahiat kita agar manusiamemuliakan
Pencipta melalui hubungan dengan alam dan lingkungannya; di bawah ini hendak kita pahami
secara lebih terperinci. Untuk memahami mandat ilahiat sisi hubungan dengan alam dan
lingkungan, tak bisa kita lepaskan pemahamannya dari siapa manusia itu sendiri. Dengan
memahami siapa manusia, maka akan terjawablah masalah mengapa melalui hidup dan
hubungan dengan sesama, lingkungan dan alamnya, manusia justru memuliakan Tuhan sebagai
Pencipta alam semesta ini. Baiklah kita mulai saja pemahaman tersebut
Mengenai siapa manusia, dapat dilacak dari kedudukan manusia, sebab dari kedudukan
manusia itu tersirat jawaban siapa- kah sebenarnya manusia; baik dalam hubungannya dengan
Tuhan maupun dalam kaitannya dengan alam dan lingkungannya. Kedudukan manusia sebagai
makhluk mulia dan tertinggi, jelas sudah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang lebih
tinggi keberadaannya. la lebih tinggi dari makhluk apa pun di dunia ini yang diciptakan Tuhan.
Manusia lebih tinggi dari binatang, lebih tinggi dari tumbuh-tumbuhan dan dari jenis benda
lainnya yang ada di dunia ini. Pertanyaan kita sekarang ialah, apa sebabnya justru manusia
menjadi makhluk tertinggi dan memiliki kelebihan dari yang lain? Inilah rahasia Tuhan sekaligus
rahasia penciptaan alam semesta.
Meskipun demikian, secara samar-samar rahasia itu akan menjadi terang juga bagi
manusia, ketika kita mulai memikirkan siapa manusia itu. Lebih terang lagi, kalau kita membuka
kitab-kitab suci agama dan kata para ahli filsafat tentang manusia. Marilah secara garis besar kita
kenali siapa manusia melalui kacamata teologi dan filsafat.
Manusia menurut teologi, dapat dikatakan secara padat demikian: makhluk yang
mempunyai kemampuan rohaniah. Dengan begitu, maka manusia sanggup berhubungan dan
berpikir serta dengan pikirannya itu mengendalikan dan memim pin hidup dan kehidupan
sekelilingnya. Manusia sebagai makhluk rohaniah memiliki kesanggupan akali dan kesanggupan
budi untuk mengatasi segala masalah dan kenyataan yang ditemuinya. Sebagai yang demikian,
manusia merupakan makhluk yang berkemampuan luar biasa. la mampu menalar, ia mampu
mengingat masa lalu, masa kini, dan merentang rencana masa depannya.
Nah, kemampuan manusia yang luar biasa itu didukung pembuktiannya lewat filsafat
yang mengatakan bahwa memang benar manusia adalah makhluk pemikir. Oleh sebab itu, ia
sanggup mengerjakan segala sesuatu dengan pikirannya. Lebih dari itu, manusia bahkan sanggup
menguasai alam semesta ini hanya dengan pikiran dan hasil pemikirannya. Itulah sebabnya maka
manusia mempunyai kemungkinan dan kemampuan untuk menata dan mengendalikan
kehidupan alam dengan segala isinya. Kemampuan pikir manusia telah melahirkan arus yang
sangat kuat, yakni ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan ilmu dan teknologinya, manusia
meraih segala rahasia alam semesta dan menguasainya. Kini hal seperti itu sudah semakin nyata
bagi kita. Manusia dengan kemampuan pikirnya telah benar-benar sanggup menguasai alam dan
membuka rahasia- rahasia yang selama ini hampir tak mungkin dibukakan. Bukan hanya itu,
manusia kini bahkan telah mampu menyetir dan mengarahkan perkembangan hidupnya dan arah
perkembangan dunianya.
Demikianlah berdasarkan pemahaman teologi dan filsafat teranglah sudah bagi kita
bahwa manusia memang sungguh pantas mendapatkan julukan makhluk tertinggi dan mulia.
Maka sepantasnyalah pula kalau ia mendapatkan mandat ilahiat untuk menjalankan pekerjaan
agung: memelihara alam semesta ini dan mengusahakan terciptakannya ketertiban alam dengan
segala isinya itu. Dan memang sesungguhnyalah, manusia memang dapat melaksanakan tugas
itu. Dengan demikian, maka manusia telah dapat menjalankan mandat Allah, dan itu berarti telah
memuliakan Tuhan secara prinsipial.

Teologi masih memberi keterangan tentang manusia bahwa manusia adalah makhluk
yang merupakan mandataris Tuhan di dunia ini. Maka ia memiliki hak untuk mengatur dan
membuat makhluk lain tunduk atas perintahnya. Manusia memiliki kemampuan untuk berarti
manusia memiliki kewenangan Tuhan untuk mengatur mengolah dan menundukkan alam. Tetapi
semua itu, demikian teologi mengatakan, bukan untuk kemuliaan dan kegagahan manusia sendiri
melainkan untuk kemuliaan Tuhan Pencipta. Penalarannya demikian, apabila manusia dan
makhluk lain dan lingkungannya dapat hidup secara serasi, berdampingan dengan penuh
pengertian, tentu terciptalah kehidupan yang tertib aman, dan damai. Dengan ketertiban,
keamanan dan kedamaian di seluruh muka bumi dan di seluruh alam itu, maka keagungan itu.
Manusia sebagai mandataris Tuhan Tuhan dan karyaNya semakin dikagumi makhluk. Dengan itu
juga manusia sendiri akan merasakan betapa mulianya Tuhan dan betapa bijak Tuhan.
Dengan pengakuan itulah maka sebenarnya di dunia ini tumbuh suatu puji-pujian bagi
Tuhan sebagai Pencipta. Suatu puji-pujian atau doksologi memang tidak bakal muncul apabila
tidak tercipta kondisi yang menyebabkan orang memuji Tuhan. Bukankah kita semua tahu,
bahwa pada saat-saat kacau jarang terjadi pujian bagi Tuhan? Paling banyak adalah doa
permohonan dan caci maki manusia atas manusia lainnya. Kondisi yang tidak tertib, tidak aman
dan tidak ada perdamaian cenderung membuahkan tindakan atau kelakuan yang mengingkari
suruhan Tuhan. Mengapa demikian? Sebab semua orang cenderung mencari selamat dan
memikirkan kepentingan diri sendiri. Akhirnya, seringkali terjadi seseorang mengorbankan orang
lain, orang membunuh orang lain dengan terang-terangan atau tidak.
Demikianlah tujuan mandat Tuhan bagi manusia yakni memuliakan Tuhan melalui
hidupnya sebagai manusia dan melalui hubungannya dengan alam dan lingkungan. Berikut ini
hendak kita pahami bagaimana upaya pelaksana mandat tersebut.

1.4. Upaya Pelaksanaan Mandat

Berdasarkan. mandat yang diberikan Tuhan, demikian me- nurut paham teologi, maka
kita hendak melihat bagaimana ma- nusia mencoba melaksanakan mandat tersebut. Dalam hal
in upaya pelaksanaan mandat tentang memuliakan Tuhan di dalam hidup atau melalui hidupnya
dan memuliakan Tuhan melalui hubungan dengan alam dan lingkungannya. Untuk itu, uraian kita
sebaiknya menyentuh masalah-masalah berikut:
(1) upaya pelaksanaan di dalam diri manusia dan antarmanusia, dan
(2) upaya pelaksanaan dalam hubungan dengan alam dan ling- kungannya
Mudah-mudahan dengan garis besar pemahaman itu, kita akan menemukan
kebijaksanaan yang lebih tepat mengenai bagaimana seharusnya manusia bersikap terhadap
alam dan lingkungan hidupnya.

1.4.1. Upaya Pelaksanaan di Dalam Diri dan Antar Manusia.

Mandat untuk memuliakan Tuhan dengan dan di dalam hidup manusia dan mandat
untuk memuliakan Tuhan melalui hubungan dengan alam dan lingkungannya, dapat kita pilah
dalam dua pilahan mandat. Mandat itu pada pilahan pertama berisi penyuruhan agar manusia
menata hidupnya baik secara pribadi maupun sosial. Pada pilahan kedua, diminta agar manusia
menata lingkungan dan alam sekitarnya.
Dengan pilahan demikian, maka kita dapat memahami perintah Tuhan dalam
memuliakanNya melalui penataan hidup manusia dan masyarakat; yang berikut melalui
penataan alam dan lingkungan Penataan hidup manusia, meliputi penataan diri pribadi dan
penataan masyarakat. Sedangkan penataan alam dan lingkungan meliputi penataan hewan,
tumbuh-tumbuhan, dan alam serta benda-benda.
Dalam kaitan upaya pelaksanaan di dalam dan antarmanusia, maka dapat kita bahas dua
hal pokok yaitu pengaturan dir sendiri dan pengaturan masyarakat. Karena dua hal itu
menyangkut masalah manusia dan sesamanya, maka berbicara masalah itu tak bisa lain kecuali
berbicara tentang manusia. Kalau kita berbicara tentang manusia maka kita dapat meminta
bantuan ilmu-ilmu yang membahasnya seperti antro pologi, biologi, psikologi dan sosiologi
bahkan juga ilmu budaya. Dalam buku kecil ini tentu saja tak mungkin dipaparkan pandangan-
pandangan dari sudut itu semua. Beberapa saja contoh pandangan dari antaranya yang dapat
diberikan di sini.
Suatu penataan mengandaikan adanya aturan atau tatanan yang diberlakukan di dalam
kehidupan manusia. Suatu tatanan mengandung keharusan-keharusan di dalamnya. Oleh sebab
itu maka ada banyak aturan-aturan yang mengharuskan manusia memperhatikannya, baik
manusia sebagai pribadi ataupun ia sebagai anggota masyarakat. Tatanan-tatanan itu merupakan
tatanan yang sudah dipraktekkan dan diuji beberapa abad sebelumnya. Katakanlah, suatu
masyarakat memilih dan mempergunakan suatu tatanan tertentu sebagai aturan main bersama,
pastilah tatanan atau aturan itu telah dipraktekkan dan teruji berpuluh dan beratus tahun
sebelumnya. Aturan itu sendiri juga sudah teruji kebaikannya. Jadi, tatanan apa pun yang kini ada
di dalam suatu masyarakat biasanya memang sudah ada dan berlaku sebelumnya.
Barangkali memang demikianlah watak manusia, cenderung lebih suka melakukan aturan
yang sudah lama dan daripada mencoba melakukan aturan baru Kecenderungan tersebut sering
kita istilahkan dengan gaya hidup tradisional. Memang, kita pada umumnya cenderung
mempertahankan dan melaksanakan aturan yang sudah ada dan sulit untuk melepaskan nya lagi.
Tentu saja itu tidak berarti bahwa kita tidak mau berkembang. Manusia baik pribadi maupun
bersama-sama memang menghendaki perkembangan dan kenyataannya juga demikian Justru oleh
sebab itu, aturan-aturan di dalam masyarakat pun berkembang pula
Marilah sekarang kita lihat bagaimana tatanan-tatanan itu dan bagaimana pula upaya
manusia dalam melaksanakan mandat ilahiat itu di dalam dan antarmanusia. Sebelum kita mem-
bicarakan hal itu, patut ditekankan di sini ialah siapakah yang memiliki kewenangan tertinggi
tentang aturan tersebut? Kata- kanlah, siapa sebenarnya yang mengatur manusia? Menurut
pemahaman kita, maka pengatur dan pemberi mandat memang tak boleh dipisahkan. Jadi,
Tuhanlah yang harus kita pedomani, bukan manusia lain dan bukan alam atau lingkungan. Di
dalam prakteknya, memang manusia tak boleh melupakan peranan alam dan lingkungan yang juga
ikut menentukan bentuk-bentuk dan cara pelaksanaannya
Bagaimana seseorang mengatur dirinya sendiri agar ia dapat memuliakan Tuhan melaui
hidupnya? Beberapa hal di bawah ini barangkali dapat kita catat sebagai cara atau paling tidak
upaya pelaksanaan mandat. Sebagai suatu bentuk pelaksanaannya memang ada variasi dan bahkan
ada kemungkinan berkembang. Perkembangan itu adalah perkem bangan logis, bagi setiap
manusia dan masyarakat. Bukankah kita semua tahu bahwa manusia dan masyarakat berwatak
menyejarah dan berkembang? Oleh sebab itu, bentuk-bentuk pelaksanaan dari mandat itu pun
dapat saja berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan manusia dan jamannya pula.
Manusia mengatur dirinya pertama-tama ditolong oleh ke sadarannya sendiri, kesadaran
itu antara lain mengingatkan manusia untuk sadar bahwa dirinya tidak hidup sendiri. Dengan
kesadaran itu maka tiap-tiap manusia melihat manusia lainnya yang ada di sekelilingnya. Melihat
manusia lain, dapat diartikan sebagai mempertimbangkan dan meneladan apa yang dilakukan
orang lain. Jadi, sebenarnya setiap orang di dalam dirinya selalu ada kesadaran untuk melihat orang
lain, mempertimbangkan orang lain. Inilah yang menurut ahli disebut sebagai kesadaran sosial.
Dengan kesadaran sosialnya itu, maka setiap orang diingat- kan sekaligus diatur oleh
dirinya sendiri untuk berlaku umum dan tidak seenak sendiri. Oleh karena itu, maka ada pola
umum kehidupan manusia, juga dalam hal kerohaniannya. Pola umum itu ialah bahwa setiap orang
mengakui adanya kuasa dan ke kuatan yang lebih tinggi dari manusia yaitu Tuhan Allah. Se-
sungguhnya pengakuan itu sendiri sudah merupakan awal langkah dari pelaksanaan mandat.
Dikatakan sebagai awal langkah, sebab pengakuan bila tidak dilanjutkan dengan tindakan kong-
krit menundukkan diri di bawah kuasa dan kekuatan Tuhan tak berartilah pengakuan itu. Namun
demikian, pengakuan itu sendiri sudah merupakan modal awal yang amat menentukan dan amat
baik
Atas dasar kesadaran sosial itu, dan atas pola pengakuan itulah manusia sebenarnya akan
senantiasa diarahkan hidupnya untuk selalu ingat bahwa ada Tuhan atau Yang Kuasa di dalam
hidup manusia yang harus dijadikan pedoman hidupnya. Dengan istilah lain, manusia senantiasa
diingatkan oleh dirinya sendiri akan masalah ketuhanan dan kerohanian Jadi, tanpa aturan tertulis
pun, di dalam diri manusia ada aturan yang mengendalikan hidup manusia untuk tunduk pada
Yang Menciptakan alam ini.

Penataan diri manusia berikutnya ialah, peranan nilai-nilai dan norma yang diajarkan
kepada manusia dari orang tua mau- pun masyarakatnya. Peranan nilai dan norma dimaksud ialah
apa-apa yang dianggap baik dan apa-apa yang dianggap tidak baik ternyata memiliki kekuatan
untuk menata hidup manusia Ajaran tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik, yang biasanya
kita terima dari orang tua dan masyarakat, memang memiliki daya kekuatan yang tak sedikit
bahkan kadang menjadi luar biasa kekuatannya.
Nilai dan norma yang diberikan oleh orang tua dan masyarakat sebenarnya tidak lain
adalah nilai dan norma masyarakat juga. Sekali lagi nampaklah bahwa manusia memang makhluk
sosial yang memiliki kesadaran sosial besar. Oleh sebab itu, tak mungkin manusia sebagai pribadi
tanpa mengindahkan manusia lainnya. Nilai dan norma masyarakat yang ditanamkan di dalam diri
setiap orang, akhirnya menjadikan setiap orang sanggup menata dirinya sendiri. Padahal setiap
nilai dan norma masyarakat tak bisa lepas dari pengakuan rohaniah bahwa Tuhanlah yang
mencipta manusia dan segala isinya itu.
Sekarang marilah kita lihat upaya pelaksanaan mandat di bidang penataan manusia sebagai
sekelompok manusia yang kita sebut sebagai masyarakat. Prinsip dasarnya sama dengan penataan
diri pribadi manusia, yakni kesadaran sosial dan pengakuan adanya Tuhan di satu pihak serta nilai-
nilai dan norma- masyarakat yang kita jadikan pedoman pelaksanaan norma mandat tersebut.
Dengan demikian, maka dapat kita artikan bahwa manusia di dalam hubungannya dengan
sesamanya berpedoman pada pengakuan bahwa hidup kita saling terkait dan terikat satu sama lain.
Di samping itu, kita juga berpedoman atas apa-apa yang kita sepakati sebagai yang baik dan yang
dianjurkan dilakukan itu berarti pula bahwa setiap manusia tunduk atas kepentingan bersama.

Berdasarkan itulah sebenarnya setiap masyarakat melaksanakan kehidupan bersama.


Marilah kita cocokkan antara teori tadi dengan kenyataan di dalam kehidupan manusia selama ini.
Agaknya memang tidak salah, bahwa landasan kesadaran sosial dan asas kepentingan bersama
sebagai pedoman merupakan rumus jitu penataan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat
terkecil, yaitu keluarga, hal itu tidak perlu kita sangsikan lagi. Prinsip kepentingan bersama dan
hidup bersana jelas merupakan keharusan yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Tanpa landasan itu,
kehidupan keluarga tercerai berai, demikianlah juga dengan masyarakat.
1.4.2. Upaya Pelaksanaan Dalam Hubungan Dengan Alam dan Lingkungannya

Manusia bukan makhluk yang diciptakan sendirian. Ia ada diadakan di dunia ini berada
bersama-sama dengan makhluk lain dan benda-benda lainnya. Memang manusia memiliki ke-
unggulan tersendiri, tetapi itu tidak berarti meniadakan yang lain. Jangankah meniadakan,
memperkecil makna kehadiran yang lain pun tidak boleh terjadi. Manusia menjadi semakin berarti
kalau ia ada di tengah alam dan lingkungannya Manusia justru menjadi tidak manusiawi lagi kalau
ia diceraikan dari alam dan lingkungannya.
Kondisi seperti inilah yang menyebabkan lahirnya mandat ilahiat dan secara lebih kongkrit
lagi nanti mandat kultural kepada manusia. Manusia mendapatkan mandat untuk memulia

kan Tuhan melalui hubungannya dengan alam dan lingkungannya, dapat kita artikan agar
melalui hubungan dengan alam dan lingkungannya itu manusia dapat memberikan pujian-pujian
kepada Tuhan. Dalam bahasa lain dapat kita katakan demikian: kiranya dengan berhubungan
dengan alam dan lingkungannya itu manusiadapat memberikan kesaksian tentang keagungan dan
kemuliaan Tuhan sebagai Pencipta. Itu berarti agar melalui hubungan antara manusia dengan
makhluk serta benda-benda (alam) manusia dapat memberikan suatu kesaksian tentang ke-
muliaan Tuhan di dalam penciptaan dunia ini. Dengan begitu maka manusia diperintah untuk
mengakui bahwa alam dan ling- kungan hidupnya itu menjadikannya manusia utuh dan itulah
berkat Tuhan baginya. Oleh sebab itu, manusia harus bersyukur dan memuliakan Tuhan. Lebih
dari itu, mandat ini sebenarnya meminta kepada manusia agar di dalam berhubungan dengan alam
dan lingkungan, manusia memperlakukan alam dan lingkungan sebagai suatu simpulan yang tak
boleh diuraikan satu dari yang lain. Dengan hubungan itu, diharapkan orang banyak akan
memuliakan Tuhan oleh sebab menyaksikan bagaimana manusia dengan alam dan lingkungannya
hidup secara harmonis dan benar
Oleh sebab itu, berbicara tentang upaya pelaksanaan dalam hubungan dengan alam dan
lingkungan, dapat kita bahas dua hal utama yaitu simpulan yang tak terceraikan antara manusia
dengan alam dan lingkungannya di satu pihak dan sikap terhadap alam dan lingkungan yang
seharusnya kita lakukan. Nah, di bawah ini hendak kita uraikan secara lebih terperinci lagi kedua
hal tersebut.
Keterikatan manusia sebagai makhluk atas makhluk lain sudah kita ketahui bersama
sebagai hal yang tak terceraikan lagi. Sehubungan dengan itu, maka tak usah diragukan lagi ka-
lau di dalam hidupnya, manusia mau-tak-mau harus juga berhubungan dengan alam dan
lingkungannya. Hubungan itu tidak

dapat dihindarkan, selain memang dititahkan demikian hubungan itu juga oleh sebab
kebutuhan manusia. Manusia ter- nyata membutuhkan alat-alat, benda-benda, tumbuh-tumbuhan,
binatang dan zat-zat tertentu dari alam semesta ini. Jadi, tanpa hubungan itu orang akan mengalamí
bencana yang mengerikan Kita ambil contoh saja, bagaimana keterikatan manusia dengan tumbuh-
tumbuhan dan binatang Manusia membutuhkan banyak tumbuh-tumbuhan yang memang
diperlukan di dalam hidupnya. Orang tanpa sayuran dan daun-daunan untuk makan bisa
dibayangkan betapa keringnya tubuh. Demikian pula halnya dengan binatang, misalnya saja ikan
dan beberapa binatang ternak yang selama ini dibutuhkan manusia untuk lauk makanan.

Begitulah manusia, tak mungkin dipisahkan dengan alam dan lingkungannya. Sescorang
memang bisa hidup hanya dengan bernafas dan makan serta minum seadanya saja, meskipun de-
mikian tokh manusia menggunakan juga unsur alam dan benda-benda atau alat-alat tertentu.
Katakanlah, manusia tak pernah bisa dipisahkan dengan tanah, air, udara dan api, demikian juga
tumbuh-tumbuhan. Bahkan sejak jaman manusia pertama pun hubungan itu tak terbantahkan.
Manusia memakan biji-bijian, ia bernafas dengan udara, ia minum air, ia juga menggunakan kulit
kayu untuk pakaian dan sebagainya masih banyak lagi. Demikianlah, hubungan antara manusia
dengan alam dan lingkungannya memang tak terceraikan lagi. Justru di sini nampaklah keagungan
Tuhan yang menciptakan semua itu ternyata bukannya tanpa makna bagi manusia dan sebaliknya.
Jadi, tak satu pun unsur alam dan lingkungan serta makhluk lain di dunia ini yang tanpa arti bagi
kehidupan manusia.
Bagaimanakah sikap manusia terhadap alam dan lingkungan seharusnya? Atau bagaimana
sikap yang benar terhadap alam dan lingkungan yang harus diambil manusia? Pertama-tama me-
mang harus diakui bahwa sikap manusia terhadap alam atau

pun lingkungan amat Jadi manusia bersikap terhadap alam dan lingkungan sebagian besar
ditentukan oleh keberadaannya sendiri sebagai manusia yang tak bisa lain membutuhkan alam dan
lingkungan. Nah, dengan keberadaan demikian, yang adalah juga hakikat manusia, maka manusia
mengambil sikap membutuhkannya, memerlukannya demi kelangsungan dan kesempurnaan
hidupnya. Sikap membutuhkannya itu tidak berarti manusia hanya merasa butuh dan kemudian
menggunakan tanpa perhitungan ataupun perasaan tidak dalam arti demikian. Manusia membutuh-
kan dalam artian manusia tak bisa lain harus berhubungan. Jadi sikap manusia mendekati alam dan
lingkungan kalau tidak dikatakan bergantung kepadanya.
Kebergantungan manusia terhadap alam dan lingkungan secara tak langsung telah kita
catat juga di muka, bahwa orang Indonesia berbeda dengan orang Eropah, berbeda pula dengan
orang India atau Arab. Keperbedaan itu ternyata juga antara lain ditentukan oleh kondisi alamnya
dan kondisi lingkungan- nya. Demikianlah maka kebudayaan manusia memiliki kekhususan-
kekhususan di mana-mana, meskipun ada univer salitasnya. Bukankah kita tahu bahwa
kebudayaan Barat berbeda dengan kebudayaan Timur? Dan kebudayaan Jawa juga tak persis sama
dengan kebudayaan Bali?
Tentu saja dalam kondisi seperti itu sangat mungkin terjadi penyimpangan-penyimpangan
atas prinsip yang seharusnya Misalnya saja, manusia bukan hanya bergantung kepada alam dan
lingkungan melainkan mengeruk dan menggerogoti alam dan lingkungannya demi memperkaya
dan mempertahankan hidupnya. Kerakusan manusia memang merupakan salah satu
kecenderungan yang kurang baik dan keliru bahkan dapat meng- hancurkan diri sendiri. Di dalam
Bab 3 hal itu hendak kita lihat dan lingkungan secara terperinci

Sikap yang terbaik, mengingat kenyataan bahwa memang manusia tak terceraikan lagi
dengan alam dan lingkungan ialah memandang alam dan lingkungan itu sebagai lingkungan hidup.
Menempatkan alam dan lingkungan sebagai lingkungan. hidup berarti menempatkan semua itu
sebagai yang berhubungan dengan masalah hidup dan mati. Kalau demikian, maka kita
menempatkan alam dan lingkungan sebagai yang punya makna tinggi bagi kehidupan manusia
khususnya dan kehidupan makhluk lain di dunia ini. Mengenai hal ini juga akan diuraikan secara
panjang lebar di dalam Bab 3 di belakang
. Kembali kepada manusia sejak dahulu dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan,
rupanya secara tidak langsung juga telah menyadari bahwa hidup mereka tak bisa lepas dari alam
dan lingkungannya itu. Itulah sebabnya mereka bersikap memanfaatkan alam dan lingkungan bagi
kehidupan mereka dengan cara menggarap tanah dan alam untuk kehidupan mereka secara
bersama atau secara pribadi. Itulah sebabnya maka suatu masyarakat atau sekelompok manusia
seringkali mempunyai cara hidup yang sama dan juga corak penggarapan alam serta lingkungan
seragam pula. Bukankah kita tahu bahwa sekelompok manusia atau suatu masyarakat biasanya
mengambil sa tu corak yang sama: bercocok tanam atau bertani bagi ma- syarakat pegunungan
atau pedesaan. Berniaga dan menjadi nelayan bagi kelompok yang hidup di daerah perairan.
Begitulah setiap kelompok manusia ditentukan oleh alam dan lingkungannya.

Anda mungkin juga menyukai